Sabtu, 10 Juni 2023

Hadiah-hadiah Diplomatik, Upeti dan Kekerasan di Perbatasan: Peredaran Hadiah yang Kontroversial di Maluku (1575–1606)

Bag 2

Jose M. Escribano-Páez
[Universidad Pablo de Olavide, Seville, Spain]

Upeti-upeti kontroversial dan kekerasan antara sekutu

Selain meningkatnya antagonisme antara Ternate dan Iberia, hubungan antara Iberia dan sekutu Maluku mereka, yaitu Sultan Tidore, juga memburuk. Kehadiran Portugis di Tidore didasarkan pada persetujuan mereka dengan penguasanya dan, seperti biasa, pembayaran upeti merupakan bagian penting darinya. Seperti yang telah kita lihat, beberapa otoritas Portugis gagal beradaptasi dengan etiket diplomatik Maluku. Ini tidak terjadi pada pengaturan perjanjian wilayah-wilayah vasal dengan Sultan Tidore. Pengaturan semacam itu diuntungkan dari pemahaman bersama tentang makna politik suatu upeti. Namun, perubahan sifat keseimbangan kekuasaan antara Iberia dan Sekutu Maluku mereka mengubah gagasan bersama tentang makna politik upeti dan asimetri kekuasaan menjadi sumber baru konflik kekuasaan.

Perubahan besar dalam volume dan sifat upeti ini memberi tahu kita banyak hal tentang sifat pergeseran asimetri kekuasaan dan bagaimana mereka dipersepsikan oleh masing-masing pihak. Bagi Sultan Tidore, upeti dari tamu Portugisnya adalah yang terpenting. Barang-barang luar negeri memainkan peran kunci dalam politik internal Nusantara. Sebagian kecil dari hadiah-hadiah diplomatik disisihkan untuk membentuk pusaka (tanda kebesaran) para Sultan, tetapi bagian terbesar lepas dari tangan para penguasa. Begitu barang-barang luar negeri memasuki arena sosial-politik Maluku, mereka menjadi komoditas strategis yang ditukar dengan dukungan dan kesetiaan28. Sejak abad ke-15, pulau-pulau menyaksikan proses transformasi politik yang sejalan dengan maraknya perdagangan rempah-rempah. Permintaan Eropa akan cengkih hanya berkontribusi untuk mendorong sentralisasi produksi rempah-rempah yang sedang berlangsung di tangan Sultan Ternate dan Tidore. Cengkih dipersembahkan kepada mereka oleh rakyatnya dengan imbalan barang-barang asing, yang disimpan dan digunakan oleh rakyatnya untuk keperluan seremonial. Pertukaran simbolik ini memainkan peran penting dalam menempa dan memperkuat ikatan politik yang menyatukan masyarakat29. Meningkatnya arus barang luar negeri dari perdagangan rempah-rempah dan kemudian komodifikasi di arena politik dalam negeri memicu persaingan antar penguasa lokal, karena jumlah barang luar negeri yang bisa mereka peroleh dan didistribusikan kembali di antara kolani dan sengaji menentukan kapasitas mereka untuk mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaan mereka. Menyambut Portugis di pulau-pulaunya, Sultan Tidore tidak hanya memperoleh sekutu militer melawan saingannya, tetapi juga lebih banyak upeti dari perdagangan cengkih.

Otoritas Portugis menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dengan praktik upeti sekutu lokalnya dan, yang lebih penting, untuk mengubah relasi kekuasaan yang mereka cerminkan. Menurut catatan resmi, Sultan Tidore terpaksa membayar 100 bahar cengkih setiap tahun sebagai pareas, suatu istilah untuk upeti yang dibayarkan sebagai imbalan perlindungan militer. Ini mencerminkan posisi dominan yang dipegang oleh Portugis ketika mereka menjadi satu-satunya kekuatan Eropa di Nusantara. Akan tetapi kedatangan kekuatan asing lainnya dan kelemahan mereka sendiri membuat mereka kehilangan pengaruh dalam hubungannya dengan Sultan Tidore. Akibatnya, pada kuartal terakhir abad ke-16, Portugis harus membayar cengkih-cengkih ini30. Pengaturan ini seperti jauh dari biasa di Asia Tenggara dan Portugis terbukti mampu beradaptasi dengannya. Bukti nyata dari hal itu adalah seperangkat norma yang mereka kembangkan untuk menentukan siapa yang harus membayar upeti yang diminta raja-raja setempat sebagai ganti hak berdagang. Portugis terus mengacu pada barang-barang yang dikirimkan kepada penguasa seperti Sultan Tidore sebagai dádivas, suatu istilah yang dapat diterjemahkan sebagai hadiah, karena mengacu pada barang yang dikirim secara bebas. Namun, otoritas Portugis mengasimilasi “hadiah” ini dengan upeti yang sebenarnya, karena menurut norma mereka hanya mereka yang berkontribusi mendanai dádivas yang dapat mengambil untung dari perjanjian perdagangan yang diperoleh darinya31. Sayangnya, penyatuan Iberia mengubah perjanjian upeti antara Sultan Tidore dan sekutu Portugisnya.

Sejak awal, otoritas di Manila terbukti tidak dapat memahami atau menerima perjanjian upeti dengan Sultan Tidore. Setelah berita tentang penyatuan kerajaan Iberia tiba, persekutuan Gapi Bagunaa, Sultan Tidore dengan Raja baru Portugis, Philip II, harus diresmikan. Untuk melakukan itu, sebuah surat dikirim kepada Gonzalo Ronquillo (Gub Filipina)b menawarkan upeti-upeti untuk Gapibagunac. Surat itu berakhir membahas masalah krusial dalam diplomasi Maluku: yaitu hadiah-hadiah. Gapibaguna mengirim 2 bahar cengkih. Hadiah ini menunjukkan potensi masa depan hubungan yang Gapibaguna coba bangun dengan Manila. Dengan mengirimkan cengkih, dia mengakui keinginan Spanyol untuk memasuki perdagangan rempah-rempah. Dia juga mencoba untuk memperkuat posisinya terhadap Ternate dengan memasukkan Spanyol dalam hubungan sebelumnya dengan Portugis, dan dengan demikian meningkatkan keuntungan politik yang dia peroleh dari perdagangan cengkih. Sebagai imbalan atas hadiah ini, Gapibaguna akan menerima “ sepotong surat....sebuah panah Spanyol....panah lain dari Tiongkok, sebuah pisau, dan 2 gunting emas yang bagus”. Surat itu ditutupi dengan permintaan maaf atas permintaannya “tolong, Yang Mulia, jangan marah dengan tuntutan ini karena orang asing yang sangat menginginkan barang-barang bagis memiliki ketidaknyamanan ini”32. Alih-alih mendapatkan jawaban yang sopan/bijak dari Gubernur Filipina, dia malah mendapati penolakan keinginannya :

Saya ingin memiliki di negeri ini semua hal yang diminta Yang Mulia dari saya, tetapi bertentangan dengan apa yang dikatakan, barang-barang itu tidak tersedia di pulau-pulau ini karena di sini kami semua adalah tentara, dan kami hanya peduli untuk memiliki senjata yang bagus dan amunisi yang cukup. Namun, kapten Juan Ronquillod  akan memberi Yang Mulia atas nama saya beberapa hal kecil dari hal-hal yang tersedia di sini”33.

Penolakan Gubernur atas permintaan Sultan adalah contoh yang jelas tentang bagaimana dia menganggap pertukaran hadiah sebagai alat untuk mengancam sekutu baru Maluku-nya. Lebih jauh ini menunjukkan pandangannya sendiri tentang asimetri kekuasaan antara otoritas Iberia dan Sultan Maluku dan mencerminkan sisi pahit dari pemerintahan agresif di Filipina34. Dengan mengirimkan “beberapa hal kecil/sepele” ke Gapibaguna, dia menyatakan status rendah yang dia berikan ini terhadap subjek baru Philip II. Sifat, kualitas, dan waktu hadiah yang dikirim Gubernur Spanyol padanya di tahun-tahun berikutnya mengungkapkan status yang mereka berikan kepadanya dan apa yang mereka harapkan darinya sebagai imbalan. Pemeriksaan catatan keuangan memungkinkan kita untuk memahami tempat yang dia adakan dalam agenda diplomatik Gubernur Manila. Pada tahun 1583 “ 3 potong besar sutera Cina berhias burung” dibeli untuk dikirim ke Gapibaguna, bersama dengan sejumlah besar “beludru hijau dari Castile”. Serupa dengan itu, 4 tahun kemudian, “ 4 potong dan 2 pon sutera, bersama dengan 6 ons civet musk” dikirimkan kepadanya atas nama Gubernur Filipina. Bagaimanapun, hadiah-hadiah ini lebih baik daripada jubah, manik-manik kaca dan pecahan harquebuse yang diterima oleh seorang pemimpin/kepala Sambal (sebuah kelompok etnis dari Luzon tengah) setelah penaklukan Pampanga35. Namun, itu tidak seberapa dibandingkan dengan 800 peso yang Gubernur investasikan setiap tahun untuk mengirimkan hadiah ke Jepang36. Waktu pemberian hadiah-hadiah juga cukup bermakna. Gubernur Filipina dan para kaptennya biasa mengirim hadiah untuk Sultan Tidore sebagai bagian dari persiapan ekspedisi bersenjatanya melawan Ternate37. Waktu, jumlah, dan sifat pemberian otoritas Spanyol menunjukkan bahwa mereka menganggap Gapibaguna sebagai partner yang lebih rendah tingkatannya dalam perjuangan mereka melawan Ternate. Oleh karena itu, pembentukan relasi upeti seperti yang ada antara Gapibaguna dan Portugis sama sekali tidak mungkin dari sudut pandang mereka.

Hubungan pemberian hadiah-hadiah antara Gubernur Manila dan Sultan Tidore berdampak langsung pada hubungan upeti antara Sultan dan Portugis. Mengirim hadiah-hadiah secara sporadis ketika layanan dibutuhkan sudah cukup dari sudut pandang Spanyol, tetapi dari perspektif Gapibaguna ini jelas tidak cukup. Sebagaimana dicatat, hadiah-hadiah dan upeti luar negei adalah komoditas penting yang dipertukarkan untuk kesetiaan di arena politik Maluku. Hal ini menyebabkan 2 kekuatan utama regional, Sultan Ternate dan Sultan Tidore, mencoba untuk mendapatkan barang-barang luar sebanyak mungkin. Pada tahun 1580-an, Sultan Ternate telah menetapkan sistem yang efisien untuk mengumpulkan upeti dari pedagang-pedagang asing. Seorang saksi mata asal Spanyol melaporkan bahwa: “Raja Ternate dengan telah memerintahkan kaptennya di pulau Ambon untuk tidak mengizinkan kapal asing manapun yang tidak membawa artileri, harquebus dan amunisi lewat [menuju Ternate]”38. Catatan yang sama juga menunjukkan bahwa Sultan mendistribusikan kembali sebagian besar senjata ini di antara para penguasa pulau yang berbeda untuk memperkuat otoritas atas mereka. Para Sultan Maluku sangat memperhatikan hadiah-hadiah atau penghargaan yang diterima saingan mereka dan bereaksi terhadap hal itu39. Pada saat saingan tradisionalnya meningkatkan kekuasaannya dengan bantuan upeti asing, Gapibaguna tidak dapat menerima pengiriman hadiah diplomatik secara sporadis. Sebagai gantinya, dia perlu memastikan aliran penghargaan/hadiah secara reguler yang mirip dengan saingannya. Karena tidak mungkin baginya untuk memaksakan hubungan upeti kepada Gubernur Manila yang kuat dan jauh, maka Sultan memutuskan untuk beralih ke Portugis.

Dalam upaya untuk tidak tertinggal jauh dari saingannya, Gapibaguna mencoba untuk menegosiasikan kembali status upeti tamunya, yaitu Portugis. Di masa lalu, Portugis telah menunjukkan fleksibilitas tertentu untuk beradaptasi dengan sistem upeti yang mencerminkan sifat asimetri kekuasaan yang berubah. Namun, negosiasi kali ini semuanya mudah. Meningkatnya permintaan Gapibaguna menimbulkan reaksi pahit. Surat yang ditujukan kepada Philip II pada tahun 1597 oleh Kapten Julião de Noronhaf cukup jelas dalam hal ini. Menurutnya, Sultan Tidore

melakukan banyak keluhan kepada orang-orang ini........seperti sering menghentikan penangkapan ikan dan persediaan makanan, hanya untuk menjelaskan bahwa kita akan berada di sini selama dia mau, dan memaksa kapten untuk memberikannya lebih banyak hadiah (dádivas), yang dibayar dari perbendaharaan Yang Mulia, tetapi dia sangat menginginkannya sehingga seolah-olah dia bukan “bawahan” Yang Mulia40.

Seperti yang ditunjukkan dengan jelas dalam surat tersebut, Gapibaguna tidak ragu menggunakan kekerasan terhadap orang Portugis yang merupakan tamu dan sekutunya untuk meningkatkan kemurahan hati mereka. Sikap Gapibaguna dapat dipahami sebagai upaya untuk memaksa tamunya membayar upeti yang seharusnya atau menambah jumlahnya. Yang jelas bahwa Noronha, meskipun menggunakan istilah dádivas, mencela bahwa ini sebenarnya hanyalah penghormatan yang menuntut. Inilah mengapa dia menggarisbawahi bahwa, dengan meminta terlalu banyak dádivas, Sultan Tidore tidak berperilaku sebagai “bawahan” Yang Mulia. Selain itu, mengingat hadiah-hadiah ini didanai dari perbendaharaan Yang Mulia, kesimpulan yang jelas bahwa Philip II membayar páreas kepada Sultan yang tamak.

Sikap Gapibaguna terbukti berhasil dan, pada kenyataannya, otoritas Portugis yang ditempatkan di Tidore melakukan yang terbaik untuk memenuhi tuntutannya, tetapi hal ini tidak mencegah ketegangan kekerasan lebih lanjut. Menurut Noronha, bekas Kapten Benteng Portugis di Tidore, Diogo de Azambuja, mempersembahkan seekor kuda kepada Gapibaguna. Kuda adalah alat diplomatik efisien yang biasa digunakan oleh otoritas Potugis Estado da India, karena kuda sangat didambakan oleh para penguasa Asia. Kita dapat berasumsi bahwa kuda itu menjadi salah satu aset paling berharga untuk kebesaran Gapibaguna41. Sayangnya, bahkan hadiah-hadiah yang sangat dihargai pun menyebabkan bentrokan yang hebat. Kuda itu secara tidak sengaja oleh merdica (Kristen lokal) atau casado Portugis, dan Sultan menyuruhnya digantung sebagai balasannya. Hukuman yang tidak proporsional tersebut menunjukkan sejauh mana Gapibaguna menghargai kuda tersebut, tetapi juga penghinaannya yang kejam terhadap  sekutu Portugisnya. Ketika Kapten Portugis mengeluhkan hukuman yang berlebihan ini, Gapibaguna dengan kasar memerintahkannya untuk menyembuhkan kudanya sebelum terlambat. Saat Noronha menyesali dengan pahit, kapten Portugis dan anak buahnya bergegas untuk melakukannya “karena kami selalu mematuhi kehendaknya karena kekuatan kecil yang kami miliki di sini”42. Saat Noronha mencoba mencela, apa yang ada di balik insiden kuda itu adalah asimetri kekuasaan antara Sultan dan tamunya. Ancaman kasar Sultan dan tanggapan patuh Portugis menunjukkan sejauh mana Gapibaguna mampu memaksakan kehendak atas tamu Iberia-nya. Seperti Gubernur Spanyol di Filipina sebelumnya, dia menggunakan hadiah-hadiah untuk mengirim ancaman kekerasan kepada sekutunya.

Gambaran yang muncul dari interaksi penuh badai ini adalah sebuah negosiasi dimana berbagai pihak mengandalkan pertukaran hadiah-hadiah dan upeti untuk menegaskan posisi mereka sendiri. Semua setuju pada sesuatu yang penting, bahwa hadiah-hadiah dan upeti adalah alat yang cocok untuk menetapkan status mereka sendiri dan orang lain. Namun, mereka semua tidak setuju tentang siapa yang lebih unggul dalam asimetri kekuatan mereka. Perselisihan antara Gapibaguna, Portugis, dan Spanyol bukan disebabkan oleh kesalahpahaman budaya tentang perbedaan makna pemberian dan penghargaan diplomatik, tetapi atas upaya mereka untuk memaksakan pandangan mereka sendiri43. Aliansi mereka berhasil bertahan dari ketegangan ini, tetapi ketidakpercayaan terhadap Sultan Tidore terus menjadi perhatian otoritas Iberia. Cukup berarti, di masa depan rencana untuk menaklukkan ketegangan Maluku dan ketidakpercayaan ini dipertimbangkan dengan serius44. Singkatnya, pemahaman bersama tentang makna politik upeti berkontribusi pada eskalasi kekerasan di Nusantara.

Hadiah-hadiah Global dan Penciptaan Musuh Global

Tahap terakhir dalam perjalanan menuju perang terbuka ditandai dengan ekspedisi bersenjata yang diorganisir oleh otoritas Iberia untuk memulihkan benteng di Ternate dan oleh penaklukan Spanyol sehingga, untuk memahami eskalasi kekerasan yang mengikutinya, perhatian khusus perlu diberikan terhadap motivasi mereka. Setelah kedatangan Inggris dan Belanda, intervensi militer di Maluku menjadi urusan perlindungan diri, tidak hanya untuk Manila. Hebatnya, hadiah-hadiah diplomatik memainkan peran kunci dalam mempromosikan dan menyebarkan ancaman baru ini dan secara kritis membawa masalah ke arah kekerasan. Seperti yang akan kita lihat, dari sudut pandang otoritas Iberia di wilayah tersebut, hadiah-hadiah yang dikirim dan diterima oleh Inggris dan Belanda dari Sultan Ternate berkontribusi untuk mengubahnya menjadi musuh global.

Hadiah-hadiah diplomatik berkontribusi pada pembentukan musuh global baru ini secara progresif. Pada November 1579, Francis Drake tiba di Ternate. Selama kunjungannya, orang Inggris memiliki kesempatan untuk mengagumi kebesaran Baabullah dan memberinya beberapa hadiah sebagai “konfirmasi labih jauh dari rasa suka dan persahabatan yang sudah dimulai”45. Orang-orang Iberia melaporkan kunjungan Drake dengan memberikan perhatian khusus pada hadiah yang telah dia tukar dengan Baabullah. Dalam surat tahunannya tahun 1580, Gomes Vaz, seorang Jesuit dari Malaka, menceritakan kunjungan Drake baru-baru ini ke Maluku dan menyebutkan hadiah yang telah kami temui. Menurut Vaz, Drake menerima dari Baabullah: “stempel dari Raja Ternate, sebagai tingkah laku yang baik”. Menurut rumor yang dia dengar, sebagai imbalan atas hadiah ini, Drake berjanji untuk kembali dengan 1 armada46. Para pegawai di Manila melaporkan pertukaran hadiah ini dengan cara yang lebih dramatis. Pada musim panas tahun 1582, kapten Juan Pacheco Maldonado menulis surat kepada Raja muda Spanyol yang baru untuk memberitahukan kepadanya tentang situasi di Maluku dan merujuk pada ekspedisi Drake dalam istilah berikut:

Orang Inggris itu pergi ke pelabuhan Ternate...........dan dia sangat pintar, sehingga dia bersekutu dengan Sultan dengan memberinya memberi beberapa barang yang dia curi di sana [di Amerika]. Mereka tetap sebagai teman sejati dan setuju bahwa dia akan segera kembali untuk mengusir Portugis dan Spanyol dari negerinya. Dan mereka setuju bahwa, sekembalinya orang Inggris itu, Raja Ternate akan menyerahkan benteng itu kepada mereka”47.

Perwira itu terus menjelaskan bahaya yang ditimbulkan oleh kedatangan musuh ini, yaitu berakhirnya ekspansi Spanyo atau runtuhnya Estado da India, dan meminta bala bantuan untuk menaklukan Ternate sebelum serangan Inggris yang akan segera terjadi. Tidak mengherankan, kehadiran pesaing Eropa dipahami sebagai ancaman berbahaya bagi kepentingan Iberia di Asia Tenggara. Yang lebih menarik bagi kami di sini adalah bahwa hadiah-hadiah mereka digunakan oleh otoritas Manila untuk meminta lebih banyak sumber daya militer untuk perjuangan mereka melawan Ternate. Namun, bertentangan dengan apa yang terjadi pada tahun 1600-an, ketika cincin ini menjadi bahan perdebatan di skala global (seperti yang telah kita lihat di bagian pendahuluan), referensi tentang hadiah-hadiah ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan.

Seperti yang disebutkan di bagian pertama, pihak otoritas di Manila telah merujuk pada pemberian-pemberian global Sultan Ternate dalam upaya mereka untuk menggambarkannya sebagai musuh yang kuat sejak tahun 1580-an, tetapi laporan mereka tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Namun, pada pergantian abad ke-17, referensi hadiah-hadiah global serupa mendapatkan momentum dan mulai bergema dalam komunikasi politik kekaisaran Iberia. Untuk memahami mengapa, penting untuk dipahami bahwa dalam dekade-dekade terakhir abad ke-16 dan tahun-tahun awal abad ke-17, Inggris, dan terutama Belanda, tiba dengan kekuatan di Asia Tenggara, menyebabkan kerusakan serius pada kepentingan Portugis di wilayah tersebut. Alhasil, penguasa Portugis (di Tidore, Malaka, dan Goa) memprioritaskan perang melawan ancaman Belanda48. Hal serupa terjadi di Filipina, dimana Belanda menjadi ancaman paling berbahaya dari sudut pandang penguasa Spanyol49. Namun demikian, yang benar-benar membuat perbedaan adalah bahwa sekarang berita tentang hadiah-hadiah global Ternate mulain mencerminkan ketakutan yang sudah bersumber pada pengambil keputusan di kerajaan Iberia50. Otoritas Spanyol dan Portugis (tidak hanya di Malaka atau Manila) memandang aliansi antara Belanda dan Sultan Ternate sebagai mimpi terburuk mereka. Akibatnya, dan sangat kontras dengan ekspedisi sebelumnya yang dilakukan oleh Gubernur Manila seperti pada tahun 1593g, ekspedisi sebelum penaklukan merupakan operasi skala besar yang mengumpulkan sumber daya militer dalam skala global51. Seperti studi tentang penaklukan Iberia di Asia lainnya, telah menunjukkan operasi militer skala besar seperti itu adalah hasil dari interaksi dan negosiasiasi antara inti keputusan kekaisaran yang berbeda. Dengan kata lain, dalam kekaisaran Iberia yang terfragmentasi dan terdesentraliasi, penaklukan seperti yang terjadi di Ternate membutuhkan banyak negosiasi antara Madrid, Lisbon, Malaka, Manila, Goa dan Meksiko52. Misalnya, pada tahun 1601, Raja muda Spanyol yang baru, yang asalkan banyak pasukan yang dikirim untuk melawan Ternate, membenarkan dukungannya pada usaha ini dengan merujuk pada aliansinya dengan musuh kekaisaran Eropa dan ancaman serius yang diwakilinya53. Dalam kerangka inilah, hadiah-hadiah global Ternate memainkan peran kunci dalam fase terakhir dari eskalasi kekerasan.

Ilustrasi paling jelas tentang bagaimana berita hadiah-hadiah diplomatik yang dikirim dari Ternate memicu strategi kekerasan yang mengarah pada penaklukan, adalah surat kerajaan tertanggal awal tahun 1603. Dalam surat itu, Philip III, memerintahkan Aires de Saldanhah, Raja muda Estado da India, mengambil tindakan mendesak untuk menghentikan penetrasi Belanda di Maluku, karena Sultan Said Syah telah mengirimkan “ sekeranjang bumi kepada Ratu Inggris atau Count Mauritius”. Hadiah yang menarik ini menyampaikan sebuah pesan: penguasa yang menerima keranjang itu akan dipaksa untuk mengirimkan armada untuk mengusir Portugis dari Maluku. Sebagai gantinya, menurut surat tersebut, Syaid Syah berjanji akan mengirimkan kembali kapal-kapal penuh cengkih. Penjelasan raja tentang hadiah-hadiah diplomatik yang berbahaya itu diikuti dengan perintah untuk mengatur armada dan mengirimkannya ke Maluku untuk mencegah Belanda menguasai Nusantara54. Perintah kerajaan ini menunjukkan bahwa otoritas Iberia menganggap perjanjian diplomatik antara Sultan Ternate dan saingan Eropa mereka sebagai ancaman langsung bagi kepentingan mereka, dan membenarkan intervensi militer. Singkatnya, ini menunjukkan referensi ke hadiah-hadiah diplomatik tertentu membuat otoritas Iberia mengadopsi strategi kekerasan yang semakin meningkat di wilayah tersebut.

Surat tersebut menunjukkan bahwa pihak otoritas Iberia, tidak hanya di lapangan tetapi juga di kota metropolitan, mencoba untuk memahami dengan kuat pemberian hadiah-hadiah di Maluku dan memasukannya ke dalam proses pengambilan keputusan mereka. Sebagaimana dicatat, seruan sebelumnya terkait dengan berita tentang hadiah didasarkan pada proyeksi makna kaum Eropa untuk hadiah-hadiah Maluku, cincin Drake menjadi contoh yang paling jelas. Di lain waktu,penilaian mereka terhadap item yang ditukar oleh musuh mereka benar-benar salah. Ini adalah kasusnya, misalnya, dengan semua itu upeti yang menjadi hadiah dipolomatik penting di mata otoritas Iberia. Setiap hadiah yang dipertukarkan antara musuh adalam ancaman, tetapi, tidak seperti cincin Drake, arti khusus dari hadiah aneh seperti keranjang bumi sulit untuk dipahami dari sudut pandang Eropa. Namun, penafsiran yang termasuk dalam surat kerajaan itu sangat mirip dengan penafsiran yang dibuat dari pemberian serupa. Dalam catatan penaklukan penduduk Ambon kepada pasukan Portugis yang ditulis pada tahun 1602, hadiah serupa dari tanah dan ranting cengkih dipahami sebagai “tanda bahwa mereka menyerahkan tanah dan hasil utamanya kepada penakluknya”55. Menerima begitu saja bahwa kesalahpahaman atau asumsi yang salah tentang budaya diplomatik asing mendorong konflik ke akhir yang penuh kekerasan. Dalam hal ini, pemahaman yang seharusnya lebih akurat tentang praktik diplomatik musuh hanya membantu meningkatkan konflik. Paradoksnya, hadiah yang sama yang membawa dan mengakhiri konflik di Ambon berkontribusi untuk mendorong serangan kaum Iberia. Nyata, surat kerajaan dan pemberitaan tentang hadiah-hadiah dipolomatik ini tidak bisa dilepaskan dari keputusan orang Iberia untuk menaklukkan Ternate. Pada saat surat itu berangkat dari Lisbon, dewan Hindia telah membahas dan memutuskan pengorganisasian armada yang pada akhirnya kan merebut Ternate56. Faktor yang mendorong dewan untuk mengadopsi strategi kekerasan bukanlah derajat kesesuian budaya diplomatik musuh, tetapi potensi bahaya yang melekat pada kontak diplomatiknya.

Kesimpulan

Jalan yang mengarah dari konflik ke penaklukan tidak langsung ataupun langsung. Beberapa faktor berperan dalam eskalasi kekerasan yang menyebabkan perang terbuka. Relasi bermasalah antara orang Iberia dan Maluku (baik musuh atau sekutu), perpecahan politik internal di kerajaan-kerajaan Iberia, persaingan tradisional Maluku, dan persaingan Eropa, semuanya berkontribusi untuk memicu kekerasan. Hadiah-hadiah dan pemberian diplomatik memainkan peran kunci dalam meningkatkan tingkat kekerasan dalam hubungannya dengan semua faktor ini. Hadiah-hadiah dipolomatik yang dikirim atau diterima oleh Sultan Ternate selalu mengingatkan otoritas Iberia. Namun, terdapat perbedaan yang mencolok dalam hal konsekuensinya. Sedangkan pada akhir 1570-an dan awal 1580-an, mereka hanya menyebabkan pertempuran kecil atau laporan tanpa disadari, pada 1600-an mereka dianggap sebagai seruan senjata global. Perbedaan mencolok ini menunjukkan bagaimana persepsi tentang hadiah-hadiah musuh berubah dari waktu ke waktu, tetapi yang lebih penting, ini menunjukkan agen kontingen dari hadiah-hadiah ini dalam menghidupkan ketakutan otoritas Iberia. Hadiah-hadiah saja tidak cukup menimbulkan rasa takut akan persekutuan antara Ternate dan Belanda, tetapi mereka tentu saja berkontribusi untuk menciptakan konsensus di antara badan-badan keputusan yang berbeda tentang perlunya menangani ancaman tersebut dengan kekerasan. Dengan melakukan itu, mereka membantu memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengubah konflik regional menjadi konflik global.  Peran hadiah-hadiah global menjadikan Sultan Ternate sebagai musuh global baru mengkristal di akhir konflik. Sebelumnya, situasi telah memburuk secara dramatis ke berbagai arah dan pemberian hadiah-hadiah diplomatik serta upeti telah memainkan peran kunci dalam hal ini. Sultan Baabullah, serta raja muda Portugis, mencoba meredakan konflik di sekitar benteng dengan cara diplomatik, Keduanya mengandalkan budaya hadiah-hadiah bersama sebagai aset yang dapat memfasilitasi negosiasi ini, tetapi keduanya gagal memenuhi target mereka. Ketidakmampuan untuk memecahkan kode budaya diplomatik dan politik menggagalkan upaya untuk meredakan konflik. Namun, tidak semua interaksi Maluku-Iberia yang menyebabkan eskalasi kekerasan dapat dipahami dalam kaitannya dengan asimetri ini. Relasi bermasalah antara otoritas Iberia dan Sultan Tidore setelah penyatuan Iberia adalah hasil dari kesepahaman bersama tentang bagaimana bahasa hadiah dan upeti mengungkapkan asimetri kekuasaan.

Hadiah-hadiah dan upeti memainkan peran berbeda dalam eskalasi kekerasan yang melanda Maluku pada akhir abad ke-16. Analisis berbagai cara dimana hadiah-hadiah dan penghargaan diplomatik berkontribusi pada eskalasi kekerasan ini menunjukkan perlunya melampaui interpretasi sebelumnya yang berfokus pada asimetri budaya diplomatik yang berbeda atau dalam pemahaman bersama lintas budaya. Eskalasi kekerasan yang dianalisis di sini adalah hasil dari beragam lintas budaya yang didorong oleh pemahaman bersama dan kesalahpahaman yang berbahaya. Kedua fenomena tersebut berkontribusi untuk mengubah percakapan melalui hadiah-hadiah dan upeti menjadi bahan bakar untuk kekerasan. Ini adalah hasil dari banyaknya aktor yang memperparah konflik multilateral kompleks yang terjadi di kepulauan rempah-rempah. Kehadiran banyak aktor tidak hanya berarti asosiasi tujuan dan kepentingan yang bebeda dengan hadiah-hadiah, tetapi juga cara berbeda untuk memahami (atau kesalahpahaman) hadiah-hadiah itu sendiri. seperti yang telah diilustrasikan oleh contoh kami, dalam pengaturan diplomatik multipolar seperti ini, alih-alih mencoba mengurangi semua konflik pada hadiah dan upeti untuk penjelasan penyebab tunggal, jauh lebih produktif untuk menganalisis bagaimana friksi terkait hadiah-hadiah akhirnya memicu eskalasi kekerasan dengan cara yang berbeda dan untuk alasan yang berbeda.

== selesai ===

Catatan Kaki

28.       I rely here on Appadurai, A. “Commodities and the Politics of  Value.” In The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspective, ed. A. Appadurai (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 3–63.

29.       Villiers, J. “The Cash-Crop Economy and State Formation in the Spice Islands in the Fifteenth and Sixteenth Centuries.” In The Southeast Asian Port and Polity, ed. J. Kathirithamby-Wells (Singapore: Singapore University Press, 1990), 83–105; Andaya, L. The World of Maluku, 56– 57 and 77.

30.       ahu, Conselho Ultramarino, Codice 217, fol. 131; Lobato, M. Política e comércio, 121–122, 137 and 231.

31.        Arquivo Nacional Torre do Tombo, Ms Livraria, 805, fols. 169–170.

32.       “Huma saya de macha boa… e huma ballesta ao uzo d’espanha… e outra ballesta ao uzo da china e hum canyveto e huãs tisoras douradas bem feytas. Não se enfade v s con este pititorios porque hum estraneiro e famyto de cousas boas tenhe estos descontos.”agi, Filipinas, 34, 43.

33.       “Las cossas que Vuestra Señoría me pide, quisiera yo que en esta tierra las hubiere tan abundantemente como lo signiffican. Pero como aquí todos somos soldados no se tiene cuidado sino de lo que toca a tener buenas armas y muniçiones, mas de lo que aquí ay dara a Vuestra Señoría de mi parte el cappitan don Juan Ronquillo algunas menudençias.” agi, Patronato, 24, R.58.

34.       Kekuasaan Spanyol di Filipina dianggap lebih lunak daripada Amerika. Phelan, J. The Hispanization of the Philippines: Spanish Aims and Filipino Responses, 1565– 1700 (Madison: University of Wisconsin Press. 1959). Namun, penaklukan ini juga mengakibatkan depopulasi yang signifikan. Menariknya, pemerasan upeti dan kebencian terhadap umat Islam, memainkan peran kunci di dalamnya.  Newson, L. Conquest and Pestilence in the Early Spanish Philippines (Honolulu: University of Hawaii Press, 2009), 24–36.

35.       agi, Contaduría, 1200, fols. 979–80, 1247 and 1052. Mungkin hadiah-hadiah ini dipilih untuk menyesuaikan dengan selera penerimanya. Golombek, L. “The Draped Universe of Islam.” In Content and Context of Visual Arts in the Islamic World, ed. P. Soucek (University Park: Pennsylvania State University Press, 1988), 25–38.

36.       agi, Filipinas, 29, 94 and Tremml-Werner, B. Spain, China, and Japan in Manila, 1571–1644: Local Comparisons and Global Connections (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2015), 193–208.

37.       agi, Contaduría, 1200, fols. 979–80 and 1247; and Patronato 52, R.15, fol. 10.

38.       agi, Patronato, 46, R.18, fol. 4.

39.       Thomaz, L. “As cartas malaias de Abu Hayat, Sultão a El-Rei de Portugal e os primórdios da presença portuguesa em Maluco.” Anais de História de Além-Mar 4 (2003), 442.

40.        “Ele faz muitos agravos a este povo… he tolher muitas vezes no ano que não pesquen nem nos vendão manetinimentos, tudo a fim de dar a entender que estaremos aqui en coanto ele quizer e para os capitães lhe darem muytas dádivas as coaes lhe dão da fazenda de Vosa Magestade, mas quer tantas que lhe não lembra que he vaçalo de Vossa Magestade”agi, Filipinas, 35, 11.

41.        Boomgaard, P. “Horse Breeding, Long-Distance Horse Trading and Royal Courts in Indonesian History, 1500–1900.” In Breeds of Empire: The ‘invention’ of the Horse in Southeast Asia and Southern Africa, 1500–1950, eds. G. Bankoff and S. Swart (Copenhagen: NIAS Press, 2007), 33–34. Mengirim hewan adalah tradisi diplomatik Islam yang mapan.  Rogers, M. “The Gorgeous East: Trade and Tribute in Islamic Empires.” In Circa 1492: Art in the Age of Exploration, ed. J. Levenson (New Haven: Yale University Press, 1991), 72.

42.       “Pelo pouco poder que aqui temos se lhe fez a vontade.”agi, Filipinas, 35, 11.

43.        Tentang interpretasi hadiah-hadiah dan upeti yang kompleks dan terus berubah dalam komunikasi lintas budaya, lihat Windler, C. “Tribut und Gabe. Mediterrane Diplomatie als interkulturelle Kommunikation.” Saeculum 51 (2000), 24–56.

44.       agi, Filipinas, 1, 48, fols. 13–15

45.       Drake, F. The World Encompassed, 140–43.

46.       “Levando hum sinete d’el-rey de Ternate de seguro.” Jacobs, Documenta Malucensia, ii, 93.

47.       “Fuese el inglés al puerto del rey de Ternate… y allí tuvo tal maña que se confederó con el dándola algunas cosas de las que por allá avia hurtado. Quedaron muy amigos y concertados de que el volvería con mucha brevedad allí y le henchiría la mar de navíos y echaría los portugueses de la tierra y aún los españoles. Y quedaron que si volviese le estregaria el rey de Ternate aquella fortaleza.”agi, Filipinas, 34, 47.

48.       Loureiro, R. “Early Portuguese Perceptions of the ‘Dutch’ Threat in Asia.” In Rivalry and Conflict. European Traders and Asian Trading Networks in the 16th and 17th Centuries, eds. E. van Veen and L. Blussé (Leiden: CNWS, 2005), 166–87.

49.       Sanchez, J-N. “A Prismatic Glance at One Century of Threats on the Philippine Colony.” In The Representation of External Threats: From the Middle Ages to the Modern World, eds. E. Crailsheim and M. Elizalde (Leiden: Brill, 2019), 357–59.

50.       Tentang sirkulasi mimpi buruk ini dan kaitannya dengan strategi kekerasan, lihat  Pérez Tostado, I. “La globalisation de la peur: massacre et altérité, entre empires espagnol et britannique dans la premiere moitié du XVIIe siècle.” Itinera 38 (2015), 131–55.

51.        Crossley, J. The Dasmariñases, Early Governors of the Spanish Philippines (London: Routledge, 2016), 166–177. Jacobs, Documenta Malucensia, ii, 561–71; agi, Filipinas, 1, 36, fol. 3.

52.       Biedermann, Z. (Dis)Connected Empires: Imperial Portugal, Sri Lankan Diplomacy, and the Making of a Habsburg Conquest in Asia (Oxford: Oxford University Press, 2018), 144–91.

53.       agi, Filipinas, 1, 48, fol. 7.

54.       “Hum zesto de terra ofereçido a rainha da Ingallaterra ou á o comde Mauriçio” ahu, Conselho Ultramarino, Codice 282, fol. 141.

55.        “Em sinal que lhe entregavão a terra e o principal fruito della.” Jacobs, H. Documenta Malucensia, ii, 563.

56.       agi, Filipinas, 1, 48, fols. 13–15. Makna pertukaran semacam itu dalam upacara perdamaian di Ambon berbeda dan lebih berkaitan dengan kepercayaan animisme mereka.  Knaap, G. “Headhunting, Carnage and Armed Peace in Amboina, 1500–1700.” Journal of the Economic and Social History of the Orient 46 (2) (2003), 173.

 

Catatan Tambahan

  1. Gapi Baguna menjadi Sultan Tidore pada periode 1586 – 1599. Ia disebut juga Gapi Baguna Sirajul Arifin.
  2. Gonzalo Ronquillo memiliki nama lengkap Gonzalo Ronquillo de Penalosa, menjadi Gubernur Spanyol di Manila pada 1580 – 1583. Ia meninggal pada 10 Maret 1583. Menikah dengan Anna del Castillo Jofre dan Ines de Monterrey. Pada saat meninggal, jabatannya sementara digantikan oleh keponakannya, Diego Ronquillo (Maret 1583-Mei 1584), dan kemudian dilanjutkan/digantikan oleh Santiago de Vera (Mei 1584 – Mei 1590)

§  https://www.geni.com/people/Gonzalo-Ronquillo-de-Pe%C3%B1alosa/6000000025556075503

§  Emma Helen Blair & James Alexander Robertson, The Philippine Islands 1493-1803, volume 17, The Arthur H. Clark Company Cleveland, Ohio, 1904,pp. 285-289.

§  https://www.zamboanga.com/html/Spanish_governors_of_the_philippines.htm

  1. Agak sedikit membingungkan membaca kalimat dari penulis artikel jika kita melihat tahun pemerintahan Sultan Tidore, Gapibaguna (1586-1599) dan Gubernur Spanyol Manila, Gonzalo Ronquillo de Penalosa (1580-1583), dimana tidak mungkin Gapi Baguna sebagai Sultan Tidore mengirim surat kepada Gonzalo Ronquillo, di saat ia belum bertahta atau dengan kata lain, di saat Gonzalo Ronquillo sudah meninggal pada tahun 1583. Mungkin ini adalah kekeliruan teknis atau memiliki kemungkinan lain yaitu pengiriman surat dari Gapibaguna di saat ia masih menjadi pangeran.
  2. Juan Ronquillo memiliki nama lengkap  Juan Ronquillo del Castillo, lahir di Spanyol pada tahun 1558 dan meninggal pada tahun 1620, putra dari Gonzalo Ronquillo de Penalosa dan Anna del Castillo Jofre

§  https://www.geni.com/people/Juan-Ronquillo-del-Castillo-Maestre-de-Campo/6000000025556485331

  1. Harquebus adalah senapan senapan yang diisi dari bagian belakang laras atau juga dikenal dengan nama senapan sundut atau senapan sulut.
  2. Julião de Noronha menjadi Kapten Benteng Portugis di Tidore pada periode 1595 – 20 November 1598.
  3. Ekspedisi yang dimaksud ini dilakukan oleh Gubernur Spanyol Manila Gomez Perez Dasmarinas pada tanggal 19 Oktober 1593 ke Maluku 
  4. Aires de Saldanha memiliki nama lengkap Aires de Albuquerque e Saldanha, lahir pada 10 Mei 1542 dan meninggal pada 19 Agustus 1605. Ia adalah putra dari Antonio de Saldanha. Ia menjadi Viceroy atau Raja Muda Portugis di India pada 1600 – 1605, sebelumnya menjadi Kapten Benteng Portugis di Malaka (1577-1579).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar