Selasa, 06 Juni 2023

Hadiah-hadiah Diplomatik, Upeti dan Kekerasan di Perbatasan: Peredaran Hadiah yang Kontroversial di Maluku (1575–1606)

 

Bag 1

Jose M. Escribano-Páez
[Universidad Pablo de Olavide, Seville, Spain]

 

  1. Kata Pengantar

Kajian yang diterjemahkan ini berasal dari artikel yang ditulis oleh sarjana Spanyol, Jose M. Escribano-Páez, yang berjudul Diplomatic Gifts, Tributes and Frontier Violence: Circulation of Contentious Presents in the Moluccas (1575–1606), dimuat di Jurnal Diplomatica : A Journal of Diplomacy and Society, volume 2, halaman 248 – 269, tahun 2020. Artikel sepanjang 22 halaman ini berisikan 56 catatan kaki dengan banyak referensi dan sumber, serta 1 gambar peta. 

Sesuai judul kajiannya, penulis mengkaji tentang hadiah-hadiah atau upeti diplomatik yang diberikan oleh Portugis, Spanyol, dan akhirnya Belanda kepada para Sultan, baik Sultan Ternate dan Tidore, yang menurut penulis turut memicu eskalasi kekerasan di Maluku pada akhir abad ke-16 hingga awal dekade abad ke-17. Beberapa informasi menarik yang bisa diketahui dari kajian ini adalah penolakan Sultan Ternate yang menolak mengizinkan Inggris mendirikan “gudang” di wilayahnya, dengan alasan bahwa Inggris tidak pernah menepati janjinya dalam hal memberikan hadiah diplomatik, berupa cincin. Ada juga informasi mengenai pengiriman senjata dari Kesultanan Turki Utsmaniyah kepada Sultan Baabullah, meski sang penulis yakin bahwa tidak ada bukti valid bahwa senjata itu dikirim dari Turki, melainkan hanya dari Kerajaan Atjeh atau kemungkinan lain upeti dari para pedagang Rumi yang berdagang di Ternate. Selain itu, ada juga informasi mengenai pengiriman cengkih yang dilakukan oleh Sultan Baabullah kepada otoritas Spanyol di Manila, sebagai langkah awal negosiasi untuk menyerahkan benteng Portugis dan memulai relasi komersial dengan Manila. Ada juga kegagalan utusan Wakil Raja Portugis yang tidak memahami “kode etik” diplomasi orang Maluku dalam hal ini Kesultanan Ternate, serta berbagai informasi penting lainnya.

Penerjemahan ini dilakukan dengan tujuan agar kita bisa mengetahui dan memahami bahwa kolonialisasi pada akhirnya tidak melulu soal penindasan dan penghisapan terhadap rakyat kecil, tetapi juga ada relasi “tingkat tinggi” dalam bentuk hubungan diplomatik, yang selalu disertai dengan pemberian hadiah atau upeti. Seperti yang disebutkan oleh penulis, bahwa pemberian atau pengiriman hadiah-hadiah dan upeti diplomatik seperti ini turut menjadi faktor pemicu meningkatnya eskalasi kekerasan di Maluku pada abad-abad itu. Kami membagi kajian ini menjadi 2 bagian dan menambahkan beberapa ilustrasi serta sedikit catatan tambahan. Semoga kajian yang lumayan “berat” ini bisa bermanfaat bagi kita.

 

  1. Terjemahan

Abstrak

Aset penting untuk komunikasi lintas budaya selama periode modern awal, hadiah-hadiah diplomatik secara tradisional dikaitkan dengan diplomasi kesopanan dan pertemuan damai. Namun, penelitian terbaru tentang topik ini telah menekankan bagaimana hadiah-hadiah dapat mengungkapkan persaingan politik yang pahit dan asimetri kekuasaan. Berdasarkan pertanyaan ini, artikel ini mengeksplorasi peran kompleks dari hadiah-hadiah dalam dinamika kekerasan lintas budaya di perbatasan kerajaan Iberia di Asia Tenggara. Melalui pemeriksaan berbagai sumber, saya bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pemberian hadiah berubah menjadi salah satu dari banyak faktor yang memicu konflik kekerasan antara sultan Maluku dan otoritas Iberia di wilayah tersebut antara tahun 1575 dan 1606.

Pendahuluan

Pada 1605, Said Syaha, Sultan Ternate, mengirim surat kepada Raja James I dari Inggris, menolak permintaan Raja James I dari Inggris untuk mendirikan “pergudangan” di pulau itu. Untuk membenarkan keputusannya, dia menulis:

Ketika Francis Drake datang ke sini ketika almarhum [Sultan Babullah] masih hidupb, dia memberi pesan kepada Francis Drake, disertai dengan tanda kenang-kenangan dalam bentuk cincin, untuk disampaikan kepada teman kami Penguasa Inggris [Ratu Elizabethc]. Tuhan adalah saksi atas permintaan kami bagi Francis Drake, tetapi selama lebih dari dua puluh tahun tidak ada berita sama sekali yang diterima ... Dan sampai saat ini tidak pernah ada tanda-tanda dari Inggris tentang keinginan mereka untuk bersekutu dengan masyarakat Maluku1.

Begitu sampai di Eropa, surat itu menjalani “kehidupannya” sendiri2. Bagi audiens Eropa, negosiasi diplomatik antara Sultan Ternate dan penguasa Eropa sangat menarik, karena perang rempah-rempah global yang sedang berlangsung. Tidak diragukan lagi, kisah tentang seorang Sultan yang menolak memberikan hak komersial karena keluhan di masa lalu memiliki sentuhan yang eksotis, tetapi makna yang jelas dari hadiah di tengah cerita memungkinkan audiens Eropa untuk dengan mudah memahami apa yang sedang terjadi. Dari perspektif Eropa, cincin adalah cara terbaik untuk mengekspresikan hubungan yang kuat, seperti aliansi. Setiap pembaca yang mengetahui sejarah perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris di Hindia Timur akan menganggap surat itu sebagai preseden dari persaingan kekerasan mereka di Kepulauan Rempah-rempah3. Namun, surat itu juga merangkum sejarah panjang perselisihan hadiah yang beredar di Maluku selama periode perempat terakhir abad ke-16. Artikel ini tidak berfokus pada perang abad ke-17 untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah yang menjadi dasar dari insiden cincin-cincin diplomatik dan perhatian global yang dimunculkan, tetapi pada eskalasi kekerasan yang dimulai setelah pengusiran Portugis dari Ternate (1575), yang mengarah ke penaklukan oleh Spanyol atas pulau itu (1606).

Fragmen Melayu surat Sultan Said Syah (Juni 1605)

Konflik antara Iberia dan Maluku telah mendapat perhatian dari beragam sarjana, yang sebagian besar berfokus pada pembahasan peran yang dimainkan oleh perbedaan agama4. Tanpa mengabaikan pentingnya kekerasan yang didorong oleh agama, atau motivasi ekonomi kedua belah pihak, Saya bertujuan untuk mengeksplorasi dimensi lain dalam eskalasi kekerasan ini: konflik dan permusuhan yang terkait dengan pemberian hadiah diplomatik dan upeti. Bukan pendapat saya untuk menunjukkan bahwa konflik atas hadiah dan upeti adalah faktor utama dalam peningkatan kekerasan ini, tetapi untuk memahami peran apa yang dimainkan oleh hadiah dan upeti diplomatik di dalamnya. Dengan melakukan itu, saya bermaksud berkontribusi pada debat baru-baru ini yang mengeksplorasi peran pemberian hadiah diplomatik dalam konflik lintas budaya selama periode modern awal.

Pemberian hadiah telah dipahami secara luas sebagai alat pendamai untuk menjalin ikatan sosial dan politik5. Namun, dalam beberapa tahun terakhir perhatian yang meningkat telah diberikan pada relasi antara pertukaran hadiah diplomatik atau upeti dan persaingan politik atau asimetri kekuatan kekerasan. Sudah menjadi fakta umum, bahwa hadiah diplomatik yang diberikan oleh orang Eropa menyebabkan rasa terhina, dan menghambat negosiasi mereka dengan, penguasa non-Eropa, karena kegagalan orang Eropa untuk memahami kode/lambang dari tradisi pemberian hadiah yang tidak mereka ketahui6. Tanpa mengabaikan relevansi perbedaan dalam budaya diplomatik, penelitian terbaru telah menekankan pada penggunaan hadiah-hadiah dan upeti diplomatik sebagai senjata. Contoh kasus utama adalah praktik luas orang Eropa dalam mempergunakan hadiah untuk memperluas dan melegitimasi aneksasi dengan kekerasan atas wilayah dan masyarakat luar negerinya7. Namun, pemberian hadiah-hadiah lintas budaya sebagai senjata, bukanlah monopoli orang Eropa karena penguasa bangsa-bangsa Asia juga membangun dominasi mereka atas perwakilan-perwakilan bangsa Eropa melalui hadiah-hadiah dan upeti8. Justru karena kedua belah pihak mengandalkan pemahaman mereka sendiri tentang pemberian hadiah sebagai alat untuk kompetisi politik, pertukaran hadiah sering memicu konflik9. Berdasarkan pemahaman ini, literatur terbaru tentang hadiah-hadiah global telah menekankan peran penting yang dimainkan oleh hadiah dan penghargaan diplomatik dalam memahami persaingan politik dan pergeseran keseimbangan kekuasaan lintas budaya10.

Karya-karya ini terutama berfokus pada pertemuan istana dan interaksi diadik (2 arah) yang menjadi ciri diplomasi di tingkat tertinggi. Pendekatan ini terbukti sangat berguna untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendorong di balik konflik diplomatik tingkat atas yang dianalisis. Namun, literatur terbaru tentang diplomasi modern awal telah menggarisbawahi pluralitas aktor yang membentuk hasil dari interaksi diplomatik melintasi perbedaan budaya11. Pendekatan baru ini mengajak kita untuk melampaui penjelasan penyebab tunggal dalam analisis hadiah yang kontroversial. Eskalasi kekerasan, seperti yang dianalisis di sini, tampaknya sangat cocok untuk itu karena melibatkan berbagai aktor dan merupakan hasil dari berbagai faktor. Seperti yang akan kita lihat, hadiah dan persembahan menarik konflik Iberia-Maluku dengan cara yang berbeda dan untuk alasan yang berbeda. Demi kejelasan, artikel tersebut mengikuti struktur tematik dan kronologis yang mengungkapkan peran yang semakin penting yang dimainkan oleh hadiah diplomatik dalam mendorong kekerasan12. Artikel ini dimulai dengan menangani pertempuran lokal yang disebabkan oleh keprihatinan kaum Iberia atas hadiah diplomatik Sultan Ternate. Setelah itu, saya membahas peran yang dimainkan oleh hadiah dalam mencegah berbagai upaya untuk mengurangi konflik melalui diplomasi. Kemudian, fokus bergeser ke cara dimana gagasan bersama tentang instrumentalisasi upeti sebagai ekspresi asimetri kekuasaan menghasilkan episode baru kekerasan yang dipicu oleh masyarakat pribumi. Bagian penutup menjelaskan bagaimana hadiah diplomatik mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang mengarah pada penaklukan Ternate dan perang skala besar di Maluku.

Hadiah-hadiah yang mengancam di konflik kepulauan

Hadiah-hadiah diplomatik yang diperdebatkan yang dianalisi di sini terkait erat dengan konteks peperangan di Maluku pada akhir abad ke-16, tetapi, pada saat yang sama, turut membentuk tatanan konflik semacam itu. Maluku terkenal sebagai tempat terjadinya konflik tak berujung untuk penguasaan perdagangan cengkih selama abad ke-16 dan ke-17. Kedatangan Portugis pada tahun 1513 dan Spanyol pada tahun 1521 menambah lapisan baru kompleksitas pada persaingan tradisional antara kesultanan Ternate dan Tidore, yang bersaing memperebutkan hegemoni dalam politik Maluku. Portugis mendapatkan posisi istimewa dalam perdagangan cengkih setelah pemukiman mereka di Pulau Ternate, dan mengusir saingan mereka, yaitu Sanyol, yang sejak tahun 1560-an dan seterusnya, berfokus di Filipina. Namun, kehadiran Portugis di Ternate berakhir ketika pembunuhan Sultan Hairun memicu pemberontakan kejam yang dipimpin oleh Sultan Baabulah, yang merebut benteng Portugis pada tahun 1575. Dalam upaya putus asa untuk melawan meningkatnya kekuasaan Baabulah dan memulihkan keseimbangan regional, Sultan Tidored menyambut Portugis yang kalah di pulau itu. Pengusiran Portugis dari Ternate menandai era baru dalam hubungan Iberia-Maluku, diakhiri dengan penaklukan Ternate pada tahun 1606 dan perang rempah-rempah selanjutnya.

Meskipun pemerintah Iberia menganggap pengusiran Portugis sebagai suatu casus bellie, sebuah jalan menunju perang skala besar melawan Sultan Ternate bukanlah perang langsung atau linier. Portugis memulai kontak diplomatik yang intens untuk mempertahankan pemukiman perbatasan yang genting dengan dukungan dari sekutu lokalnya. Lebih jauh lagi, langkah pertama Sultan Baabulah setelah merebut benteng adalah mengusulkan gencatan senjata, yang dengan tergesa-gesa diterima Portugis. Pada tahun-tahun berikutnya, Portugis terus berdagang cengkih dengan Ternate dari pemukiman baru mereka di Tidore13. Status quo ini runtuh setelah penggabungan Portugis-Spanyol (1580). Portugis mempertahankan Maluku sebagai wilayah pengaruh eksklusif mereka dan mempertahankan kehadiran mereka di Nusantara dengan dukungan Sultan Tidore. Otoritas Spanyol di Manila, sebaliknya, mencoba untuk mendapatkan pengaruh di Maluku dengan alasan bahwa kehadiran Portugis yang lemah membutuhkan perlindungan mereka, sesuatu yang mengakibatkan peningkatan kekerasan bersenjata terhadap Ternate. Pada tahun 1580an dan awal 1590-an, 4 ekspedisi bersenjata gagal merebut bekas benteng Portugis. Lebih rumit lagi, Inggris dan Belanda mulai mencapai Maluku secara teratur pada tahun 1590-an. Dalam upaya mereka untuk menjadi satu-satunya pedagang Eropa dengan akses kepada rempah-rempah Maluku, VOC merebut pemukiman Portugis di Ambon dan Tidore pada tahun 1605. Tahun berikutnya, Spanyol menaklukan benteng Ternate dan menangkap Said Syah. Kemenangan pyrrhicf ini, bagaimanapun, hanya memicu konflik melawan Ternate dan sekutu mereka, yaitu Belanda, yang pada akhirnya menyebabkan pengusiran garnisun terakhir Spanyol di Nusantara pada tahun 166314. Seperti yang akan kita lihat, hadiah dan upeti diplomatik, memainkan peran penting dalam pembuatan ideologi antagonisme yang mendorong konflik material atas rempah-rempah menjadi perang15

Lukisan kunjungan Francis Drake ke Sultan Baabullah, Nov 1579

Hadiah-hadiah diplomatik terletak pada dasar dari bentrokan kekerasan antara orang Maluku dan Iberia dari pertengahan tahun 1570-an. Otoritas Iberia dulu menganggap hadiah-hadiah yang dikirim ke Ternate sebagai ancaman langsung. Contoh paling jelas adalah senjata-senjata yang diberikan kepada Sultan Ternate. Artileri adalah hadiah-hadiah yang sangat dihargai dalam budaya diplomatik Melayu, dan pedagang dan penguasa asing mengirimkan meriam sebagai penghormatan kepada Sultan Ternate dengan imbalan hak ekspor cengkih. Namun, orang Iberia melihat praktik ini sebagai bukti paling jelas dari plot diplomatik melawan mereka. Pada tahun 1574, Sancho de Vasconcelos (Kapten benteng Portugis di Ambon)g menerima kabar tentang sebuah junk di dekat Kepulauan Banda, yang dikirim ke Ternate oleh Ali Jalla, penguasa Johor. Ini adalah masalah serius karena pada saat itu penguasa ini (Ali Jalla) mengubah Johor (sebuah kesultanan di selatan Semenanjung Malaka) menjadi pesaing Malaka dalam perebutan perdagangan rempah-rempah. Kapten Portugis menafsirkan bahwa kapal atau junk ini pasti membawa utusan. Lebih buruk lagi, para utusan itu membawa apa yang dianggap Vasconcelos sebagai hadiah diplomatik yang berbahaya: sejumlah besar artileri dan mesiu. Dalam upaya putus asa untuk menghalangi utusan musuh, Portugis mencoba menyerang junkn tersebut. Meski gagal dan terpaksa mundur setelah kehilangan 5 orang, tetapi sebelum pergi mereka menyerbu kota terdekat, Pulo Haya, sebagai balasan atas bantuan yang telah dipinjamkan kepada para utusan16. Peristiwa ini menunjukkan orang Portugis membalikkan apa yang tampaknya hanyalah upeti biasa dari utusan tingkat tinggi yang membawa hadiah-hadiah diplomatik yang luar biasa. Yang lebih penting, distorsi ini digunakan untuk membenarkan reaksi kekerasan mereka.

Reaksi kekerasan yang ditimbulkan oleh hadiah-hadiah diplomatik itu terkait erat dengan ketakutan otoritas Iberia. Keprihatinan mereka endiri mengubah upeti biasa menjadi hadiah diplomatik tingkat tinggi yang mewujudkan mimpi buruk bagi mereka. Bagi Portugis, munculnya kesepakatan antara Ternate dan Johor merupakan ancaman langsung bagi perdagangan rempah-rempah Malaka. Dari sudut pandang Spanyol, ancaman utama datang dari tempat lain. Pada tahun 1584, para pejabat di Filipina mengirimkan laporan ke Dewan Hindia yang mencantumkan berbagai alasan untuk khawatir dengan meningkatnya kekuasaan Baabullah. Salah satunya berkaitan dengan apa yang mereka anggap sebagai hadiah-hadiah diplomatik yang sangat istimewa:

Dia (Baabulah) telah menerima beberapa senjata panjang dari Turki, yang dikirimkan kepadanya sebagai hadiah. Dia sangat senang dengan hadiah itu karena, meskipun di orang Hindia (Nusantara) dia adalah orang yang sangat terpelajar dan ingin tahu17.

Kebahagiann Baabullah didasarkan pada faktor budaya. Para penguasa Asia Tenggara biasanya menganggap senjata mereka memiliki sifat supernatural, terutama senjata buatan luar negeri yang spektakuler seperti ini18. Senjata apai ini sangat berharga karena asal-usul Turki-nya dan meningkatnya prestise kaisar Utsmaniyah di kalangan penguasa setempat19. Namun, memang demikian sangat tidak mungkin bahwa senjata-senjata tersebut merupakan hadiah diplomatik dari Murad III, karena tidak ada bukti untuk hubungan diplomatik langsung antara Sublime Porte dan Ternate. Senjata-senjata tersebut kemungkinan besar berasal dari Sultan Aceh, yang perannya dalam perdagangan rempah-rempah dan hubungan diplomatik dengan Sublime Porte yang sangat terkenal20. Kemungkinan lainnya adalah senjata tersebut merupakan upeti dari para diaspora Rumi (Muslim keturunan Anatolia) yang berdagang di Ternate21. Yang menarik di sini, peredaran dan redistribusi hadiah turut mencipkan hubungan antar pihak yang tidak terkait langsung. Dari sudut pandang Baabulah, hubungan tidak langsung dengan Sultan Utsmaniyah ini patut dirayakan. Namun, dari perspektof saingannya, hubungan Turki ini memiliki makna yang mengkhawatirkan : datangnya pengaruh Ottoman ke Maluku. Referensu dugaan hadiah dari Turki mengungkapkan tentang agen hadiah diplomatik dalam menginspirasi ketakutan otoritas Iberia. Bukti ini dibingkai oleh pejabat Spanyol sebagai seruan untuk mempersenjatai diri melawan musuh yang menjadi semakin berbahaya karena kontak diplomatik globalnya. Pembuatan koneksi global melalui peredaran dan redistribusi hadiah-hadiah diplomatik, dikombinasikan dengan ketakutan Iberia, akhirnya memicu kebijakan agresif mereka di Maluku. Namun, meningkatnya permusuhan dan insiden seperti serangan Vasconcelas tidak secara otomatis memicu eskalasi kekerasan berskala besar. Hadiah-hadiah untuk pihak musuh saja tidak cukup untuk memicu tindakan balasan dengan kekerasan. Faktanya, meningkatnya permusuhan akibat pemberian hadiah untuk musuh dan bentrokan yang ditimbulkan tidak mencegah upaya lebih lanjut untuk meredakan konflik dengan cara diplomatik.

Hadiah yang Gagal dan Upaya yang Tidak Berhasil untuk Mengurangi Konflik

Seperti yang ditunjukkan oleh para antropolog kekerasan, langkah-langkah yang mengarah ke perang bukannya tidak dapat diubah dan penurunan ketegangan dapat terjadi karena beberapa alasan. Oleh karena itu, penting untuk memahami peran hadiah-hadiah dalam berbagai keputusan yang mempersempit jumlah opsi untuk resolusi konflik hingga kekerasan22. Seperti yang akan kita lihat, kegagalan untuk mencocokkan pemberian hadiah diplomatik dengan cara kerja dalam diplomasi dan politik lokal juga merupakan faktor dalam eskalasi kekerasan. Contoh paling nyata adalah kegagalan upaya meredakan konflik di sekitar benteng Portugis. Kedua belah pihak, yaitu Sultan Ternate dan penguasa Portugis, mengeksplorasi cara diplomatik untuk meredakan konflik dan pemberian hadiah memiliki peran penting dalam hal ini.

Langkah pertama ke arah ini dilakukan oleh Sultan Baabulah. Salvador Muñoz, seorang saksi mata, melaporkan bahwa ketika penguasa diberitahu tentang penyatuan Portugis-Spanyol, dia memutuskan untuk mengirim utusan berupa 8 kora-kora dengan hadiah 2 bahar cengkih (sekitar 1.000 pon) untuk pemerintah Spanyol. Menurut Muñoz, Baabulah bertujuan untuk memulai negosiasi untuk menyerahkan benteng Portugis dan menjalin hubungan komersial dengan Manila. Mengirim cengkih dalam jumlah besar adalah cara yang baik untuk memulai negosiasi perdagangan, mengingat minat yang besar yang ditunjukkan oleh otoritas Spanyol di Filipina untuk mendapatkan akeses ke perdagangan rempah-rempah. Akan tetapi, Baabulah terbukti tidak mampu memahami hubungan yang rumit antara otoritas Estado da India dan Filipina. Sejak tahun 1580, keduanya (Estado da India dan Filipina) keduanya menjadi subjek kekuasaan Philip II, tetapi mereka mengikuti agenda berbeda yang sulit diakomodasi. Spanyol tidak pernah meninggalkan proyek mereka untuk menaklukkan Maluku dan menganggap Portugis sebagai mitra yang tidak dapat diandalkan. Portugis mempertahankan Maluku sebagai wilayah pengaruh eksklusif mereka tetapi mengandalkan dukungan militer Manila23. Seperti yang dilaporkan Muñoz, ketika Baabulah mengumumkan keputusannya untuk mengirimkan hadiah tersebut, Kapten Benteng Portugis di Tidore, Diogo de Azambujah, meyakinkan Baabullah untuk tidak melakukannya24. Dengan mencegah perjanjian diplomatik antara Ternate dan Manila, Azambuja hanya mengikuti apa yang yang selanjutnya menjadi salah satu dari pilar kunci utama politik Portugis di wilayah ini bahkan selama penyatuan Iberia: mencegah Spanyol memasuki Maluku. Selain itu, kapten lokal seperti dirinya biasa memonopoli pemberian hadiah-hadiah diplomatik untuk membela kepentingan pribadi mereka25.

Singkatnya, Baabullah memilih hadiah yang tepat, tetapi dia merasa terjebak dalam perpecahan internal orang Iberia. Baabullah bukan satu-satunya yang gagal meredakan konflik melalui pemberian hadiah. Pada tahun 1584, Duarte de Meneses, raja muda Portugis dari Estado da India, beralih ke jalur diplomasi agar benteng Portugis di Ternate dipulihkan. Dia mengirim utusan dengan 3 potong tekstil, sebotol anggur dan topi untuk dikirimkan setelah benteng dikembalikan. Para utusan, bagaimanapun, gagal total. Diogo de Azambuja menyarankan utusan Artur de Brito untuk mengirimkan hadiah kepada Baabullah di awal negosiasi, tetapi Brito memutuskan untuk mengikuti instruksi raja muda. Selain itu, dia tidak mengikuti etika diplomatik Ternate dan mengirimkan surat raja muda kepada Baabullah tanpa memberinya hadiah yang mereka sebutkan. Baabullah menolak surat itu dengan mengatakan bahwa surat itu tidak ditujukkan kepadanya, karena dia tidak diberi apa yang dikatakan surat itu. Akhirnya, Baabullah mendengar bahwa hadiah akan dikirimkan setelah pengembalian benteng, dia tertawa dan berkata bahwa dia tidak menyerahkan bentengnya “dengan imbalan 4 potong”26. Pihak berwenang di Goa dan Semenanjung Malaka menyalahkan utusan atas kegagalan untuk memulihkan benteng27. Namun demikian, seluruh utusan itu direncanakan dengan buruk sejak awal. Tidak hanya otoritas di Goa yang memberinya perintah khusus yang tidak sesuai dengan protokol diplomasi Maluku, tetapi nilai hadiah tidak sesuai dengan yang diharapkan sebagai gantinya. Ketidaktahuan utusan raja muda tentang diplomasi Maluku, ketidaksadaran Baabullah tentang perpecahan yang memisahkan kerajaan-kerajaan Iberia, dan manipulasi Azambuja menyebabkan kegagalan semua upaya untuk meredakan konflik.

Kegagalan mengadaptasi hadiah-hadiah diplomatik dengan tujuan upaya kedua belah pihak untuk menurunkan konflik dapat membuat kita berasumsi bahwa perbedaan budaya yang besar antara orang Maluku dan Iberia yang berkontribusi untuk membuat pemberian hadiah-hadiah menjadi kekuatan pendorong eskalasi konflik. Namun, seperti yang akan kita lihat di bagian selanjutnya, untuk memahami sepenuhnya peran kompleks dari hadiah dan upeti dalam eskalasi kekerasan ini, perlu untuk mengeksplorasi bagaimana gagasan-gagasan yang dibagikan tentang upeti, mungkin telah berkontribusi untuk memicu bentrokan kekerasan dan meningkatkan ketegangan di antara mereka.

==== bersambung ====

Catatan Kaki

1.         Gallop, A. “Seventeenth-Century Indonesian Letters in the Public Record Office.” Indonesia and the Malay World 31 (2003), 417.

2.        Farrington, J. “The First Twelve Voyages of the English East India Company, 1601–13: A Guide to Sources.” Indonesia and the Malay World 29 (2001), 144–45; Biblioteca Nacional de España, R/14034, 6; Argensola, B. Conquista de las islas Malucas (Madrid: Alonso Martín, 1609), 263–64; Purchas, S. Purchas his Pilgrimes, or Hakluytus Posthumus (London: William Stansby, 1625), 704–5.

3.        Games, A. “Anglo-Dutch Maritime Interactions in the East Indies During the Early Seventeenth Century.” In Governing the Sea in the Early Modern Era, eds. P. Mancall and C. Shammas (San Marino: The Huntington Library, 2015), 171–95; Loth, V. “Armed Incidents and Unpaid Bills: Anglo-Dutch Rivalry in the Banda Islands in the Seventeenth Century.” Modern Asian Studies, 29 (1995), 705–40; Bassett, D. “The ‘Amboyna Massacre’ of 1623.Journal of Southeast Asian History, 1 (1960), 1–19.

4.        Kartodirdjo, S. “Religious and Economic Aspects of Portuguese-Indonesian Relations.” Stvdia 29 (1970), 175–196; Reid, A. Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power and Belief (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 165–166; Lobato, M. “Épices, conflit et religion. Les Moluques et les Portugais dans la seconde moitié du XVIe Siècle.” Nouvelles orientations de la Recherche sur l’histoire de l’Asie Portugaise (Paris: Fondation Calouste Gulbenkian, 1997), 135–53.

5.        Mauss, M. “Essai sur le don. Forme et raison de l’échange dans les sociétés archaïques.” l’Année Sociologique. Nouvelle série 1 (1923–1924), 30–186. Cita-cita perdamaian di balik karya ini tidak dapat dilepaskan dari lingkungan intelektual antar perang dan konsekuensi globalnya. Liebersohn, H. The Return of the Gift: European History of a Global Idea (Cambridge: Cambridge University Press, 2011). On post-Mauss theories on the gift, see Sykes, K. Arguing with Anthropology: An Introduction to Critical Theories of the Gift (New York, Routledge, 2005).

6.       Tinjauan berbeda tentang diplomasi Portugis di Asia menawarkan contoh yang berarti dalam hal ini. Biedermann, Z. “Portuguese Diplomacy in Asia in the Sixteenth Century: A Preliminary Overview.” Itinerario, 29 (2005), 16–18; Halikowski-Smith, S. “‘The Friendship of Kings Was in the Ambassadors’: Portuguese Diplomatic Embassies in Asia and Africa during the Sixteenth and Seventeenth Centuries.” Portuguese Studies, 22 (2006), 118–20; Melo, J. “Seeking Prestige and Survival: Gift-Exchange Practices between the Portuguese Estado da Índia and Asian Rulers.” Journal of the Economic and Social History of the Orient 55 (2013), 678–82.

7.        Harbsmeier, M. “Gifts and Discoveries: Gift Exchange in Early Modern Narratives of Exploration and Discovery.” In Negotiating the Gift: Pre-Modern Figurations of Exchange, eds. G. Algazi, V. Groebner, and B. Jussen (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 2003), 381–410; Córdoba Ochoa, L. “Gift, Imitation, Violence and Social Change: The Introduction of European Products in the First Decades of the American Conquest.” In American Globalization, 14521850: The Introduction, Reception and Rejection of European and Asian Commodities in the New World, eds. B. Yun-Casalilla, I. Berti, and O. Svriz (New York: Routledge, forthcoming).

8.        Klekar, C. “‘Prisoners in Silken Bonds’: Obligation, Trade, and Diplomacy in English Voyages to Japan and China.Journal for Early Modern Cultural Studies 6 (2006), 84–105; Birkenholz, F. “Merchant-Kings and Lords of the World: Diplomatic Gift-Exchange between the Dutch East India Company (voc) and the Safavid and Mughal Empires in the Seventeenth Century.” In Practices of Diplomacy in the Early Modern World c. 1410–1800, eds. T.A. Sowerby and J. Hennings (London: Routledge, 2017), 219–36.

9.       Burschel, P. “A Clock for the Sultan: Diplomatic Gift-Giving from an Intercultural Perspective.” The Medieval History Journal 16 (2013), 547–63; Hennings, J. “The Failed Gift: Ceremony and Gift-Giving in Anglo-Russian Relations (1662–1664).” In Practices of Diplomacy in the Early Modern World c. 1410–1800, eds. T.A. Sowerby and J. Hennings, 237–53.

10.     Biedermann, Z., A. Gerritsen, and G. Riello, eds. Global Gifts: The Material Culture of Diplomacy in Early Modern Eurasia (Cambridge: Cambridge University Press, 2018).

11.       Tremml-Werner, B., and D. Goetze. “A Multitude of Actors in Early Modern Diplomacy.” Journal of Early Modern History 23 (2019), 407–22.

12.      Saya tidak menganalisis hadiah-hadiah tetapi mendeskripsikannya. Hanya beberapa hadiah dari kaum Iberia yang bertahan dalam koleksi regalia Sultan Maluku. Wall, V. “Het museum Kedaton van Ternate. Korte beschrijving met catalogus.” Oudheidkundig Verslag, 4 (1922), 144, 146–47 and 152.

13.      Jacobs, H. Documenta Malucensia (Rome: JHI, 1980), ii, 31.

14.      Lobato, M. Política e comércio dos portugueses na Insulíndia. Malaca e as Molucas de 1575 a 1605 (Macau: Instituto Português do Oriente, 1999), 135–57; Andaya, L. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993), 114–50.

15.      Tentang proses ini, lihat  Schröder, I., and B. Schmidt. “Violent Imaginaires and Violent Practices.” In Anthropology of Violence and Conflict, eds. I. Schröder and B. Schmidt (London: Routledge, 2001), 1–24.

16.     Sá, A. Documentaçao para a história das missões do padroado portugês do Oriente. Insulíndia (Lisbon: Agência Geral do Ultramar, 1954), iv, 260; Pinto, P. “Captains, Sultans and Liaisons Dangereuses: Melaka and Johor in the Late Sixteenth Century.” In Iberians in the Singapore Melaka Area (16th to 18th), ed. P. Borschberg (Wiesbaden: Harrasowitz, 2004), 142.

17.      “Ha tenido del turco unas escopetas largas que le enbio presentadas de que no está poco ufano porque rrealmente para yndio es hombre entendido y curioso.” agi, Filipinas, 29, 47. [Dia telah memiliki beberapa senapan panjang dari Turki yang dikirim kepadanya menunjukkan bahwa dia sangat bangga karena sungguh bagi seorang Hindia, dia adalah orang yang berpengetahuan dan ingin tahu]

18.      Reid, A. “Europe and Southeast Asia: The Military Balance.” Centre for Southeast Asian Studies Occasional Paper 16 (1982), 3.

19.     Lombard, D. Le carrefour javanais: Essai d’histoire globale. II les réseaux asiatiques (Paris: EHESS, 1990), ii, 48–51.

20.    Reid, A. “Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia.” Journal of Southeast Asian History 10 (1969), 395–414; Casale, G. The Ottoman Age of Exploration (Oxford: Oxford University Press, 2010), 124–34; Römer C., and N. Vatin. “Aceh et la Porte dans les années 1560.” Turcica 46 (2015), 63–111; Göksoy, H., and A. Peacock, eds. Ottoman-Southeast Asian Relations: Sources from the Ottoman Archives (Leiden: Brill, 2019), I, 33–74. On the diplomatic activity of the Rumî diaspora, see Couto, D. “Entre confrontations et alliances:
Aceh, Malacca et les Ottomans (1520–1568).” Turcica 46 (2015), 13–61.

21.      Drake, F. The World Encompassed (London: Hakluyt Society, 1854), 142.

22.     Lihat catatan kaki nomor 15 di atas.

23.     Lobato, M. “As Filipinas e o Estado da Índia no tempo dos Austrias. Tensão, convergência e acomodaçao entre os imperios ibéricos na Ásia do sueste.” In Portugal na Monarquia Hispânica: Dinâmicas de integraçao e de conflito, eds. P. Cardim, L. Costa, and M. Cunha (Lisbon: CHAM, 2013), 277–308.

24.     agi, Filipinas, 34, 73, fols. 7–8 and 29

25.     Pinto, P. Portugueses e Malaios. Malaca e os Sultanatos de Johor e Achém 15751619 (Lisbon: Sociedade histórica da Independência de Portugal, 1997), 145–46.

26.    “E dizia zombando, que a sua Fortaleza a não entregava por quatro pessas.” Couto, D. Decadas da Asia. Decada décima, parte segunda (Lisbon: Regia Officina Typografica, 1788), 37 and 274–84.

27.     Arquivo Historico Ultramarino (hereafter ahu), Conselho Ultramarino, Codice 281, fol. 125.

 

Catatan Tambahan

a.        Said Syah atau Sultan Saidudin menjadi Sultan Ternate pada periode 1584 – 1610. Pada tahun 1606 ia dihukum pembuangan ke Manila dan meninggal di Manila pada tahun 1610. Ia menggantikan Sultan Baabullah (1570 – 1584). Sultan Said Syah atau Saidudin digantikan oleh Sultan Hidayat (1606-1610). Francois Valentijn dalam sumbernya menulis Sultan Said Syah dengan nama Sultan Sahid Berkat.

b.       Francis Drake tiba di Ternate pada 4 November 1579

c.        Queen Elizabeth I berkuasa  1558 – 1603.

d.       Sultan Tidore yang dimaksud adalah Sultan Iskandar Sani, berkuasa sejak 1569 – 1586. Ia disebut juga Tadu Iskandar Sani Amiril Madlemi.

e.        casus belli  adalah frasa bahasa Latin modern yang berarti "Kesempatan untuk memicu peperangan". Casus artinya "insiden", dan belli artinya "perang".

f.         Pyrrhic, adalah suatu istilah yang bermakna sesuatu yang dimenangkan dengan harga yang terlalu mahal untuk bermanfaat bagi pihak pemenang.

g.        Menurut sumber dari Hubert Jacobs, Sancho de Vasconcelos menjadi Kapten Benteng Portugis di Ambon sejak 1576 – awal 1591. Pada tahun 1574 seperti yang disebutkan pada narasi ini, Sancho de Vaconcelos adalah “wakil” dari Kapten Goncalo Pereira Marramaque.

h.     Diogo de Azambuja menjadi Kapten Benteng Portugis di Tidore sejak awal 1578 – Oktober 1582 dan Desember 1582 – Februari 1586

Tidak ada komentar:

Posting Komentar