Senin, 02 Oktober 2023

Perahu Perang Maluku di Pantai Australia : Kontak Seni batu cadas dari Awunbarna, Arnhem Land


[Mick de Ruyter · Daryl Wesley ·
Wendy van Duivenvoorde · Darrell Lewis ·
Iain Johnston]

 

  1. Kata Pengantar

Kepulauan Maluku minimal pada abad ke-15 telah dikenal sebagai wilayah rempah-rempah. Wilayah ini menjadi magnet bagi bangsa Eropa untuk memonopoli dan akhirnya berusaha melakukan kolonialisasi sejak abad ke-16. Lalu lintas perdagangan rempah-rempah itulah yang kemudian menjadi wadah bagi kontak, persentuhan, asimilasi, adaptasi antar budaya yang saling bertemu. Dari pertemuan antar budaya dan etnis ini, ada “kunjungan” yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh kedua belah pihak. Misalnya ada interaksi antara orang-orang “Macassan” atau “Makassar” yang berlayar ke pesisir utara Australia untuk “mengeksplorasi” sumber daya alam yaitu perdagangan teripang, juga diduga kuat orang-orang Maluku sempat “bermain” di wilayah yang sama. Hal ini dibuktikan oleh gambar/lukisan yang dilukis di batu cadas Arnhem Land, di pesisir utara Australia. 

Kontak-kontak inilah yang menjadi “premis” dari kajian yang diterjemahkan ini. Kajian ini berjudul Moluccan Fight Craft on Australian Shores : Contact Rock Art from Awunbarna, Arnhem Land, yang ditulis oleh 5 orang sarjana yaitu Mick de Ruyter, Daryl Wesley, Wendy van Diuvenrode, Darrell Lewis dan Iain Johnston, dan dipublikasi atau dimuat pada Jurnal Historical Archeology, nomor 57, edisi Mei 2023 pada halaman 14-31. Artikel sepanjang 18 halaman ini membahas tentang 2 lukisan perahu di batu cadas Arnhem Land, Australia utara, yang oleh para penulisnya “menyimpulkan” bahwa lukisan tersebut adalah “representasi” dari perahu-perahu perang asal Maluku, terkhususnya dari  wilayah Maluku Tenggara, provinsi Maluku di masa kini. Artikel ini terdiri dari 8 gambar/foto, yaitu 1 peta dan 7 gambar/foto serta banyak referensi yang digunakan oleh para penulis.

Artikel ini diterjemahkan agar kita bisa mengetahui, dan memahami bahwa pernah terjadi kontak antar budaya, atau diduga kuat para pelaut Maluku pernah mengunjungi wilayah utara Australia yang mungkin terjadi sebelum awal abad ke-16. Melalui pengetahuan dan pemahaman kesejarahan itulah, wawasan kesejarahan kita semakin berkembang untuk lebih memahami kita sendiri di masa kini. Semoga kajian ini bisa bermanfaat.

 

  1. Terjemahan

Abstrak

Dua perahu digambarkan pada batu cadas di Awunbarna, Arnhem Land, Australia, tidak seperti prahu Makassar dan “kapal” barat yang ditunjukkan di lokasi kontak lain di Australia Utara, tetapi cukup rinci untuk memberikan bukti identifikasi. Kedua kapal tersebut tampak menampilkan bendera segitiga, panji-panji, dan hiasan haluan yang menunjukkan status pertempuran. Membandingkan kedua penggambaran ini dengan dokumen historis tentang perahu perahu dari daratan Asia Tenggara, kemungkinan asal muasalnya adaalah di bagian timur Maluku Tenggara di Indonesia. Motif-motif ini memberikan bukti arkeologi langsung pertama yang diketahui mengenai keragaman etnis asal usul pelaut dari daratan Asia Tenggara selain Makassar, Sulawesi. Penggambaran seni batu cadas tersebut mewakili perahu perang yang dihias secara seremonial yang digunakan untuk memimpin pelayaran perdagangan dan perompakan, penangkapan ikan, eksploitasi sumber daya, atau perbudakan. Identifikasi yang berpotensi unik terhadap perahu Maluku dalam seni batu cadas Arnhem Land ini memberikan bukti pertemuan yang sulit dipahami antara masyarakat pribumi di Australia Utara dan masyarakat dari Nusantara ke bagian utara itu, suatu bukti yang dapat digunakan untuk memperluas sifat dan konteks narasi masyarakat Australia.

 

Pendahuluan

Dalam artikel ini, kami membahas asal usul dan makna 2 perahu serupa yang digambarkan dalam seni batu cadas di Awunbarna, Arnhem Land, di Australia. Sejarah kontak awal di wilayah yang sekarang disebut Northern Territory, Australia, didominasi oleh narasi penangkapan ikan yang berpusat pada orang Makassar di sepanjang garis pantai Arnhem Land (misalnya, Chaloupoka [1993: 191-192, 1996], Clarke dan Frederikc [2006], Taçon, May, Fallon et al.[2010], dan Taçon dan May [2013]). Orang Makassar adalah kelompok pelaut daratan Asia Tenggara yang berbeda dengan jaringan komersial yang berbasis di kota Makassar, Sulawesi, Indonesia. Perahu yang dibahas di sini tidak seperti kapal penangkap ikan khas Makassar dan kapal kolonial lainnya yang diilustrasikan di tempat lain di situs seni batu cadas di Australia Utara, namun cukup rinci untuk memberikan bukti identifikasi yang kuat. Kedua penggambaran seni batu cadas tersebut tampak menampilkan bendera segitiga, panji-panji, dan hiasan haluan – papan haluan yang dihias secara menonjol di kedua bagian dan “roda matahari” – sebuah perangkat melingkar dengan sinar yang memancar – secara bersama-sama. Dengan membandingkan bentuk, proporsi, konfigurasi, dan detail kedua perahu ini dengan perahu-perahu yang tercatat dalam sejarah dari wilayah terdekat, penelitian ini menunjukkan kemungkinan asal muasalnya adalah wilayah Maluku Tenggara, di bagian timur Indonesia, dan mungkin Pulau Tanimbar pada khususnya. Penggambaran seni batu cadas tersebut mewakili kapal perang yang dihias secara seremonial yang digunakan untuk memimpin pelayaran perdagangan dan perompakan dari Tanimbar, Aru, dan Kei serta wilayah sekitarnya. Ilustrasi terperinci menyiratkan tingkat pengetahuan yang mendalam tentang perahu itu sendiri melalui pengamatan yang lebih lama atau dekat, atau dari pelayaran yang sebenarnya.

Identifikasi perahu perang [orang] Maluku ini mempunyai implikasi yang signifikan terhadap para pelaut dari pulau-pulau ini yang mungkin berada di garis pantai Australia bagian utara, dan selanjutnya terhadap pertemuan antar budaya di pantai Arnhem Land. Alasan mendasar mengapa perahu perang Maluku mengunjungi pantai Arnhem Land kemungkinan besar terkait dengan perdagangan, penangkapan ikan, eksploitasi sumber daya, atau perbudakan. Meskipun para seniman memiliki potensi untuk mengamati perahu ini di kepulauan Maluku dibandingkan di Australia, keberadaan perahu perang tersebut akan menyiratkan konteks kekerasan fisik, atau sebaliknya proyeksi kekuasaan yang tidak berbahaya. Sifat alami perahu-perahu ini sebagai “kapal” perang di wilayah timur Indonesia sangat berbeda dengan narasi aktivitas komersial dan penangkapan ikan [orang] Makassar. Lebih jauh lagi, kedua lukisan ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap 2 model kronologis yang saling bersaing dalam kontak budaya antara Australia bagian utara dan Asia Tenggara

 


Lokasi dan Konteks Situs Budaya

Munculnya industri perikanan trepang, yang biasanya dikaitkan dengan Makassar di Sulawesi bagian selatan, memberikan bukti adanya interaksi yang panjang antara masyarakat Arnhem Land dan masyarakat kepulauan Asia Tenggara, yang di dalam literatur sering disebut sebagai masyarakat Makassar (Macknight 1976, 2011: 128-129). Nama Macassan [Makassar] didasarkan pada bukti sejarah dan etnografis untuk menggambarkan masyarakat kepulauan Asia Tenggara yang banyak terlibat dalam pemanenan dan perangolahan trepang – holothurian atau teripang – walaupun kru yang terlibat secara budaya itu beragam dari seluruh wilayah yang terlibat (Macknight 1976; Taçon dan Mei 2013 :128). Industri trepang ini beroperasi sekitar awal hingga pertengahan abad ke-17, dan berkembang pesat pada tahun 1780-an. Studi arkeologi di Arnhem Land bagian barat masa kini menunjukkan bahwa ada beberapa bentuk keterlibatan yang terjadi antara komunitas pribumi dan masyarakat kepulauan Asia Tenggara sejak awal tahun 1600-an Taçon, May, Fallon dkk. 2010; Wesley, O'Connor dkk. 2016; van Duivenvoorde dkk.2019:41). Meskipun terdapat bukti arkeologis yang substansial di lokasi pengolahan trepang di Australia bagian utara (pecahan tembikar, logam, koin, kaca, kail ikan), terdapat kelangkaan bahan/material yang dapat digunakan untuk membedakan etnis tertentu, atau pulau asal dari para nelayan trepang¸bahkan secara historis diketahui bahwa awal “kapal” dan perahu berasal dari kepulauan Indonesia bagian timur (Earl 1846:240; Macknight 1976). “Kapal” [orang] Makassar secara umum yang memungkinkan kontak ini dikenal sebagai perahu. Mengikuti penggunaan umum para peneliti bahari modern, kata Indonesia untuk perahu digunakan di sini dalam bentuk tunggal dan jamak dibandingkan dengan varian bahasa Inggris sebelumnya seperti prahu, prau, atau proa (Burningham 1987: 103).

Awunbarna, juga dikenal sebagai Gunung Borradaile, berada di barat laut Arnhem Land di Australia bagian utara, di dataran pemilik tradisional [yaitu] Amurdak dan Mengerdji (gbr 1). Wilayah ini terdiri dari serangkaian batu pasir besar “asing” yang dikelilingi oleh sejumlah kecil batu pasir di Mamadewerre Standstone. Kawasan ini diketahui memiliki ratusan situs seni batu vadas dengan beberapa kompleks seni batu cadas paling signifikan di kawasan ini. Awunbarna, atau “gunung berongga”, terletak di pertemuan beberapa kelompok bahasa pribumi dan titik penting antara pantai dan batu daratan (Roberts dan Parker 2003).

Daerah Awunbarna terkenal dengan banyaknya penggambaran budaya material Eropa termasuk kapal dayung uap, kapal uap, luggers (kapal layar), rumah panggung, peralatan makan, surat-surat aksara, dan senjata api (Chaloupka 1996; Roberts 2004; May, Wesley , Taçon dkk.2013; Wesley 2013). Citra Eropa yang paling produktif adalah kapal dan senjata api yang sebagian besar berkaitan dengan tahun 1870an dan awal 1900-an dengan gambar kapal yang dipasang sebagai kapal sekoci, [kapal] “pemotong”, sampan kecil bertiang dua (keci/kici) yang terlihat di pantai dan sungai East Alligator selama penembakan kerbau dan era awal misi (Roberts 2004; Wesley 2013). Kedua perahu yang menjadi fokus kajan ini awalnya dijelaskan oleh George Chaloupka pada tahun 1970an dan kemudian didokumentasikan oleh rekan penulisnya Darrel Lewis pada tahun 1998. Perahu dengan dayung, yang di sini disebut sebagai Awunbarna 1 dan ditunjukkan pada gambar 2 dan 3, adalah kemudian dibahas oleh Roberts (2004: 33-34) yang berspekulasi bahwa itu mungkin sebuah kapal junk Tiongkok. Meskipun ada kemungkinan yang menarik bahwa motif seni batu cadas ini mungkin mewakili peristiwa kontak non-Maccasan [Makassar], namun minat untuk mengidentifikasi perahu-perahu ini, kemungkinan asal-usulnya, dan implikasinya terhadap sesuatu selain para penangkap trepang, masihlah terbatas.

 

Mendokumentasikan Situs

Lewis mendokumentasikan motif-motif perahu di Awunbarna pada tahun 1998 saat mengunjungi kamp turis [milik] Max Davidson di Gunung Borradaile. Motif-motif perahu ini belum begitu dikenal pada saat itu, dan Lewis berhasil memotret Awunbarna 1 dan menelusuri keduanya selama kunjungan 1 hari tersebut. Dia mencatat pengamatannya terhadap situs-situs tersebut dalam catatan lapangan [yang] “kasar”.

Situs ini berupa batu besar yang berdiri bebas dengan tempat berlindung di salah satu sisinya. Dasar tempat berlindung adalah rak batu yang ditinggikan. Awunbarna 1 berada sekitar 1,5 meter di atas rak dan sekitar 3 meter dari permukaan tanah. Motifnya dicat dengan pigmen oker merah dengan isian padat dan panjangnya kurang lebih 64 cm. Lukisan ini terletak di langit-langit miring, rendah menempel pada dinding pelindung dan lebih tinggi pada garis tetesan. Berdiri di garis tetesan dan menghadap dinding, [gambar] perahu tampak terbalik ketika melihat ke langit-langit, sehingga dayung berada di sisi lereng yang menanjak dan tiang kapal berada di sisi lereng yang menurun. Perahu hanya tampak tegak ketika berdiri bersandar pada dinding dan melihat ke atas. Lukisan lain di situs ini bergaya masa kini dan tidak terpelihara dengan baik. Pada saat survei tahun 1998, situs tersebut berisi gambar manusia, ikan, udang air tawar, dan makropoda yang kurang terpelihara. Sisa-sisa samar sosok manusia yang dicat dengan pigmen putih menutupi bagian atas bangunan atas perahu di kiri atas (gambar 2, sebelah kiri). Pigmen putih adalah warna paling tidak stabil yang digunakan dalam seni batu cadas Australia, sehingga gambar tersebut dinilai relatif masih baru. Gaya gambar dan karya seni lainnya menunjukkan bahwa situs ini dibuat dalam beberapa ratus tahun terakhir dan tidak terlalu kuno, tanpa jejak gaya lama seperti gambar Dinamis atau gambar Yam (misalnya, Brandl [1988], Lewis [ 1988], Chaloupka [1993], Jones et al.[2017], dan Taçon, May, Lamilami et al.[2020]).

Awunbarna 2 (gbr 2, sebelah kanan) berada di dalam gua, bukan di luar. Gua seperti itu cukup langka di batu pasir Arnhem Land bagian barat, dengan sebagian besar seni batu cadas berada di tempat perlindungan batu terbuka. Gua merupakan terowongan kecil di sisi singkapan besar dengan sisi terjal, dengan pintu masuk di sisi singkapan kurang lebih berada di permukaan tanah. Gua itu sempit tetapi bisa ditelusuri. Tak jauh dari terowongan itu, terowongan berbelok ke kiri, melandai ke atas dan berbelok ke kiri lagi menuju sebuah bukaan di sisi singkapan. Bukaan ini berada beberapa meter di atas permukaan tanah. Perahu kedua berada sangat dekat dengan bukaan ini dengan posisi banyak cahaya, namun di tempat yang sangat sempit. Lukisan berada dalam ruang yang terlalu sempit untuk memotret tegak lurus permukaan seni, dan satu-satunya sudut miring yang ditawarkan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Oleh karena itu, Lewis hanya mempu menyelesaikan penelusuran di ruang yang sempit dan canggung. Motif sepanjang 65 cm ini dibuat dengan elemen desain terpisah yang masing-masing berwarna oker merah dan diberi garis pigmen putih.

Perahu berukuran panjang dan rendah yang serupa dengan ujung terangkat telah diidentifikasi sebagai kano-kano layar Macassan [Makassar], beberapa diantaranya menunjukan “kehadiran kapal bajak laut Laut Sulu” (Chaloupka 1996: 140-141). Perahu yang mirip dengan motif Awunbarna muncul dalam bentuk kano berukuran panjang dan rendah di situs seni batu cadas di Groote Eylandt (wilayah utara) dan sebelumnya telah diidentifikasi sebagai perahu Jawa (Burningham 1994 : 142-143). Lukisan kulit kayu dari Groote Eylandt menunjukkan perahu nelayan Macassan (May, McKinnon dkk, 2009). Kano dan kapal lugger Eropa digambarkan dalam seni batu cadas Kimberley, tetapi tidak ada perahu (Bigourdan dan McCarthy 2007; O'Connor dan Arrow 2008; Bigourdan 2013, 2016; Paterson dan van Duivenvoorde 2013; McCarthy 2018). Di pegunungan Wellington, di barat laut Arnhem Land, beberapa perahu Macassan telah diidentifikasi di Djulirri dan Malarrak (Wesley, McKinnon dkk. 2012; May, Wesley, Taçon dkk. 2013:86–88). Kora-kora Maluku yang memiliki cadik telah diidentifikasi di Cape Wessel dari gambar yang sudah pudar, meskipun gambar ini tidak menunjukkan dekorasi untuk identifikasi (McIntosh, 2008: 124, gbr 6). Gambaran perahu di seni batu cadas yang ditemukan di kepulauan Selat Torres menggambarrkan kano bercadik tradisional penduduk pulau (Brady dan McNiven, 2022). Kumpulan motif perahu pada seni batu cadas Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres yang diterbitkan sejauh ini tidak mencakup kombinasi bentuk dan detail yang direpresentasikan dalam motif-motif Awunbarna.

 

Identifikasi Jenis-jenis Perahu

Untuk memilih motif-motif perahu untuk penyelidikan lebih lanjut, motif tersebut harus dikenali secara intuitif sebagai motif perahu, yang bergantung pada perspektid budaya sang peneliti/pengamat. Kedua gambar Awunbarna hampir pasti merepresentasikan perahu, namun  kesimpulan intuitif tidak cukup untuk mengidentifikasi jenis dan asal budaya dengan tingkat kepastian apa pun. Mengidentifikasi perahu dengan motif 2 dimensi atau relief rendah dengan bentuk serupa tapi gaya berbeda memerlukan pendekatan sistematis yang mempertimbangkan semua detail yang digambarkan dan berasumsi bahwa semuanya diilustrasikan dengan sengaja (Burningham 1994; Wesley, McKinnon dkk 2012).

Kebanyakan sistem umum untuk mendeskripsikan bentuk dan ukuran perahu dapat diterapkan langsung pada perahu 3 dimensi berukuran penuh. Representasi artistik 2 dimensi atau interpretasi perahu berskala 3 dimensi cenderung mengandung distorsi, betapapun kecilnya, dan kurang detail dari aslinya. Interpretasi ikonografis terhadap perahu melibatkan, sebagian, identifikasi perahu berukuran penuh yang coba direpresentasikan oleh seniman, dengan asumsi itulah maksud sebenarnya/asli. Oleh karena itu, sangatlah tepat untuk menggunakan sistem untuk mendeskripsikan bentuk perahu untuk menafsirkan motif seni batu cadas sambil tetap menyadari potensi distorsi dan hilangnya detail. Metode pengenalan kapal angkatan laut dirancang untuk skenario serupa: identifikasi jenis kapal dari pandangan singkat atau jauh yang berpotensi mengalami distorsi atmosfir dan hilangnya detail (Talbot-Booth 1944: x–xiii).


Meskipun metode pelatihan dalam pengenalan kapal telah maju, pendekatan klasik menggunakan siluet garis air 2 dimensi dari kapal yang hanya memungkinkan untuk membedakan bentuk, konfigurasi, dan detail dasarnya (misalnya, Jane [1941]). Metode ini bertujuan untuk mencapai identifikasi kapal-kapal di laut dengan cepat dan akurat dimana pengamat mengenali keseluruhan bentuk daripada elemen-elemen yang terpisah, meskipun kompetensi tersebut dibangun melalui instruksi panjang mengenai bentuk dan konfigurasi berbagai jenis kapal (Talbot-Booth 1944: xi; Renshaw 1945:227–230). Sistem identifikasi kapal ini memiliki banyak rekomendasi ketika mencoba mengidentifikasi perahu dalam representasi artistik 2 dimensi dengan bentuk yang sangat mirip tetapi detailnya berbeda-beda. Keakraban dengan bentuk dan konfigurasi perahu bersejarah membantu identifikasi, suatu bentuk keakraban yang terdiri dari “ketrampilan visual komparatif” dari keahlian yang memungkinkan “diskriminasi yang tepay berdasarkan inspeksi visual yang dekat” terhadap sumber-sumber sejarah (Jordanova 2012:211–212). Keahlian semacam ini biasa terjadi dalam arkeologi, meskipun artikulasi suatu identifikasi dengan cukup detail untuk memungkinkan replikasi, peninjauan, dan perbandingan lebih lanjut memerlukan penerapan metode yang eksplisit. Sebuah sistem yang mencerminkan pendekatan ini dikembangkan oleh Lewis (2017) untuk identifikasi akurat fauna dalam seni batu cadas Arnhem Land dimana masalah metodologi serupa terjadi ketika mencoba mengidentifikasi pesies fauna secara akurat.

Jenis perbandingan yang ditempatkan di sini adalh bentuk visual analisis multivariat yang sederhana (Kroonenberg 2021:227–247). Dengan memecah gambar menjadi komponen utamanya, prosedur ini memungkinkan deskripsi dan perbandingan proporsi, dan mencerminkan teknik statistik seperti analisis komponen utama dan analisis cluster (Kroonenberg 2021:233–235). Dalam bentuknya yang paling sederhana, analisis komponen utama adalah teknik reduksi data yang dirancang untuk memusatkan sebagian besar variabilitas pada komponen yang sesedikit mungkin (Kroonenberg 2021: 397). Bentuk analisis ini dicapai dengan relatif mudah oleh persepsi manusia dalam tugas pengenalan perahu, dimana bentuk-bentuk yang jelas-jelas berbeda segera dapat dibuang. Kumpulan data yang lebih besar dapat memperoleh manfaat dari pendekatan pembelajaran mesin, meskipun dalam seni batu cadas, hal ini lebih sering dikaitakan dengan gaya dan kronologi (misalnya, Kowlessar dkk. [2021] dan Kroonenberg [2021:227–247]). Oleh karena itu, metode pengenalan kapal, menawarkan cara untuk mengartikulasikan identifikasi perahu dengan mendeskripsikan bentuk, proporsi, konfigurasi, dan detail kapal – yang merupakan “komponen utama” pengenalan. Perahu yang digambarkan dalam ketinggian, atau profil, memiliki bentuk tertentu, dengan elemen yang disusun secara spasial di dalam gambar memberikan proporsi pada bentuknya. Elemen menunjukkan tenaga penggerak dan supra sutruktur disusun dalam konfigurasi tertentu, dan detail elemen tersebut dan elemen lainnya, seperti orang, warna, dan bendera, dapat memberikan petunjuk tentang identitas.

 

Ciri-ciri Identifikasi Perahu Awunbarna

Kedua motif perahu di Awunbarna dapat digambarkan berdasarkan bentuk, proporsi, konfigurasi, dan detail. Dalam kasus [perahu] Awunbarna 2, kedua ujung lambungnya hampir simetris, dengan 2 ujung melengkung dan tinggi yang ujungnya runcing. Salah satu ujung [perahu] Awunbarna 1 yang terlihat jelas bentuknya serupa. Kedua perahu tersebut memiliki lambung rendah yang panjang. Kedua perahu tersebut mempunyai bentuk persegi panjang tunggal yang tampak seperti layar dan sebuah palang horizontal ganda yang kira-kira berada di tengah kapal, yang mungkin mewakili struktur yang biasa digunakan untuk menopang tiang kapal dan untuk menyandarkan tiang serta “halaman” (Horridge 1981:40,98). [Perahu] Awunbarna 1 menunjukkan tiang tunggal sekitar sepertiga panjang perahu dari yang diduga haluan, sedangkan tiang di tengah perahu hanya tersirat di [perahu] Awunbarna 2 dengan posisi layar dan panji puncak tiang. Kedua perahu tersebut memiliki detail berupa bentuk segitiga di ujung dan kepala tiang, atau di atas layar dalam kasus [perahu] Awunbarna 2, yang kemungkinan besar melambangkan bendera atau dekorasi. [Perahu] Awunbarna 1 mempunyai 6 buah dayung dengan gagang ketujuh terlihat di ujung kiri. Ujung haluan dan buritan yang terlihat dari kedua perahu berakhir dalam bentuk segitiga yang jelas, dan [perahu] Awunbarna 2 memiliki fitur melingkar di ujung kanannya.

Kombinasi bentuk, proporsi, konfigurasi, dan detail ini tidak ada dalam sumber sejarah atau etnografi perahu [orang] Aborigin atau kepulauan Selat Torres, dan tampaknya tidak mewakili jenis perahu Eropa atau kaum kolonial yang diketahui (Thomas 1905; Thomson 1952; Haddon dan Hornell 1975: 179–198; O'Connor dan Arrow 2008; May, Wesley, Taçon dkk. 2013; Gapps dan Smith 2015). “Kano” dengan ujung tinggi dan rendah ditampilkan dalam seni batu cadas di tempat lain di pantai utara Australia (O'Connor dan Arrow 2008:400–401; Bigourdan 2016:11, 14–16,18–22), namun tidak ada yang muncul dengan detail serupa dengan yang ada di Awunbarna. Kandidat paling dekat adalah perahu-perahu [masyarakat pribumi Australia yang paling rumit, yaitu kano-kano dari kepulauan Selat Torres (Haddon dan Hornell 1975:193–198; McNiven 2015; Brady dan McNiven 2022). Kano-kano ini memiliki bentuk dan proporsi yang mirip dengan motif [perahu] Awunbarna namun berbeda dalam elemen penting seperti konfigurasi dan detail. Kano-kano kepulauan Selat Torres hanya memiliki satu ujung yang tinggi, yaitu 3 “barang” dan tiang kapal, jika dipasang, berada di ujung depan dan bukan di tengah perahu. Bentuk dan detail hiasan buritannya tidak berbentuk segitiga, dan bentuk layarnya juga lebih umum berbentuk persegi panjang yang berorientasi verikal (lihat gambar di McNiven [2015]). Oleh karena itu, morif-motif [perahu] di Awunbarna kemungkinan besar menggambarkan perahu-perahu kepulauan Asia Tenggara.

 

Jenis-jenis Perahu

Jenis perahu yang digambarkan di Awunbarna mudah dibedakan dari perahu biasa yang digunakan sebagai kapal penangkap ikan dan pelayaran oleh orang Makassar. Keterbatasan kelayakan laut dari perahu dengan lambung timbul yang rendah seperti yang ada pada motif [perahu] Awunbarna tampaknya membatasi jangkauan mereka, dan perahu Macassan diamati pada awal abad ke-19 sebagai perahu besar dan tinggi yang lebih cocok untuk jalur laut dibandingkan dengan perahu dengan lambung timbul yang rendah (Burningham 1987: 106). Burningham menggunakan 11 sumber visual sejarah, termasuk sketasa dan foto, dari abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk merekonstruski tampilan perahu Macassan dari periode tersebut (Burningham 1987). Rekonstruksi skala penuh Hati Marege dibangun berdasarkan rencana ini untuk mewakili perahu Padewakang Makassar abad ke-19 (Burningham 1988). Sumber visual sejarah dan terjemahan risalah pembuatan perahu Makassar menunjukkan bahwa bentuk perahu yang digambarkan di Awunbarna bukanlah desain Makassar yang umum pada abad ke-19 dan ke-20 (Burningham 1987). Meskipun bentuk badan goyang atau lunas melengkung dari perahu Makassar ditunjukkan dalam penggambaran Awunbarna (Burningham 1987: 112-114), hal ini bukanlah ciri khas yang membedakannya. Rata-rata penempatan tiang di belakang haluan dalam sumber sejarah perahu Makassar adalah sepertiga panjang perahu (Burningham 1987: 117), yang tampak serupa dengan tiang di [perahu] Awunbarna 1, namun posisinya tidak tersirat di [perahu] Awunbarna 2. Namun demikian, freeboard yang rendah, ujungnya yang tinggi, dan tidak adanya ciri khas perahu padewakang lainnya menunjukkan bahwa perahu Awunbarna bukanlah perahu penangkapan ikan khas Makssar. Macknight (1980: 124) membedakan perahu “bulat” khas Makassar dengan perahu “panjang” yang “sangat berbeda” di Maluku. Perahu lambo yang lebih modern, desainnya “kebarat-baratan” dan diklaim sebagai “salah satu perahu layar dagang yang paling berkembang di Indonesia (Burningham 1989: 179). Profil khas perahu lambo dengan “meja”, jendela di atas pintu, atau platform buritan yang menonjol membuatnya mudah untuk diabaikan di sini. 

Pembanding yang lebih memuaskan terhadap motif [perahu] Awunbarna di antara jenis perahu perairan kepulauan Asia Tenggara dapat diidentifikasi dalam survei dan catatan sejarah dan etnografi (Haddon 1920; Horidge 1981). Burningham mengulas sejumlah perahu dari kepulauan Sunda Kecil, beberapa diantaranya memiliki kualitas yang tinggi, meskipun tidak ada satu pun yang muncul dalam profil seperti perahu Awunbarna (Burningham 1990). Bentuk lambung perahu Awunbarna tampaknya mewakili ruang istirahat yang diperluas, dan jenis perahu seperti ini banyak terdapat di Indonesia. Tidak satu pun jenis sope atau lepa yang ditinjau oleh Burningham cocok dengan profil bentuk atau proporsi ujungnya (Burningham 1993). Penggambaran Awunbarna serupa bentuknya dengan perahu jaring di Madura Utara (Horridge 1981: 38-29), golekan Madura (Horridge 1981: 42-43), dan leti-leti (Horridge 1981: 44-45). Masing-masing dari hal ini dapat diabaikan karena alasan yang berbeda-beda – jaring adalah perahu yang bersifat lokal dan terlalu kecil untuk menjelajah laut, golekan memiliki haluan dan profil buritan yang khas, seperti halnya leti-leti, yang merupakan perkembangan relatif baru yang digunakan untuk perdagangan dan penangkapan ikan, dan tidak terlihat dengan dekorasi yang digambarkan di Awunbarna. Pilihan lainnya adalah mayang dari Jawa, meskipun perahu ini juga memiliki profil buritan yang berbeda dan bentuk haluan melengkung yang mencolok sehingga tidak mudah salah (Horridge 1981: 47-49; Burningham dan Stenross 1994). Sekali lagi, ini adalah perahu penangkap ikan dan dagang dan belum tercatat dengan dekorasi seperti yang dipajang pada perahu Awunbarna. Jenis lain yang kurang umum di Indonesia bagian timur dapat diabaikan karena bentuk dan konfigurasi profilnya tidak sesuai (Macknight 1980; Henderson dan Crawford 1986; Dwyer dan Ackerman 1998).

Dari catatan Eropa, Kora-kora adalah perahu perang yang umum di Filipina selatan dan Maluku pada abad ke-16, masing-masing perahu berkekuatan 100-300 orang (Horridge 1981: 4). Kebanyakan kora-kora awal digambarkan dengan pelampung, tiang cadik, dan tiang tripod (Horridge 1981: 4). Namun demikian, kora-kora berubah seiring waktu menjadi lambung yang lebih luas dan kehilangan cadik dan platform pada abad ke-18 (Horridge 1981: 4).Chaloupka (1996: 140) mencatat bahwa cadik tidak digambarkan dalam seni batu cadas di Arnhem Land, meskipun ia tidak mengetahui kora-kora yang digambarkan dengan cadik di Wessel Island (McIntosh 2018:124, gambar 6).

Belang modern di kepulauan Aru akan tampak serupa profilnya, namun umumnya memiliki tiang tripod dan hanya digunakan sebagai perahu penangkap ikan bagi penduduk di perairan setempat (Henderson dan Crawford 1986:39–44). Namun pada masa lalu, belang adalah perahu perang di Maluku bagian selatan pada abad ke-16, 17 dan 18 (Horridge 1981: 51), dan orembai adalah perahu serupa dari Maluku (Haddon 1920: 118). Belang dari Tanimbar telah mengubah penampilan mereka dengan ukiran haluan perahu dan papan buritan (Gbr. 4) (McKinnon 1988: 169).

 

Asosiasi Kebudayaan berdasarkan Jenis

Berbagai jenis perahu tersebar di seluruh kepulauan di sebelah utara Australia dan dapat dihubungkan ke wilayah tertentu. Kora-kora, belang, dan orembai merupakan jenis yang paling mirip bentuk dan konfigurasi umumnya dengan motif Awunbarna. Catatan sejarah dan etnografi mengaitkan jenis perahu berlambung panjang ini dengan wilayah ujung timur kepulauan Indonesia, dan khususnya dengan kepulauan Maluku (Macknight 1980: 124-125).

Kora-kora yang lebih besar juga dikenal di Filipina selatan tempat Kesultanan Sulu mengoperasikan perahu perang seperti ini, bersama dengan beberapa jenis lainnya, selama abad ke-18 dan ke-19. Dekorasi yang tergambar pada motif [perahu] Awunbarna merupakan indikator identitas yang lebih jelas dibandingkan bentuk dan konfigurasi lambang perahu dan bangunan atasnya saja.  

Setelah kita mempertimbangkan bentuk, proporsi, dan konfigurasi penggambaran perahu ini, petunjuk lebih lanjut mengenai identitasnya terletak pada detailnya, khususnya yang ditunjukkan di kedua ujung lambung perahu. Meskipun pengamatan sebelumnya menujukkan bahwa para seniman Aborigin tampaknya menunjukkan “sedikit perhatian terhadap gaya dan dekorasi perahu Makassar” (Burningham 1994: 141) pada contoh seni batu cadas bahari lainnya di Australia utara, kedua motif di Awunbarna ini menunjukkan dekorasi yang cukup untuk mendorong penelitian lebih dekat.

Bendera yang digambarkan pada kedua ujung motif ini berbentuk segitiga dengan panji-panji di atasnya. Jenis perangkat ini umumnya dikaitkan dengan kekuasaan dan prestise, simbol yang dikibarkan oleh pemimpin armada (Warren 1981: 45), atau sebagai indikator kemenangan atau kehebatan perang (Scott 1994: 63). Contohnya diketahui dari armada Sulu di Filipina selatan dan Maluku, dan bahkan perahu dari Vietnam (Warren 1981: 45; Vega Pinielle 2018:256). Perangkat ini umumnya diperuntukkan bagi perahu-perahu penting atau terdepan dalam suatu armada, “dihiasi dengan bendera dan spanduk” dan biasanya dikaitkan dengan perahu penangkap ikan atau perahu/kapal dagang (Kjellgren 2007:252). Motifnya bahkan menunjukkan bentuk atau batas pada benderanya. Panji-panji pada perahu [orang] Kei seringkali mempunyai gambaran naga, burung, atau ikan (de Jonge dan T. van Dijk 1995:83), namun desain di sini terlalu tidak jelas. Kedua motif perahu Awunbarna juga memperlihatkan panji-panji berbentuk segitiga panjang yang tampak berkibar dari puncak tiang.

Pengibaran bendera tertanam dalam sistem sosial yang kompleks dan membawa banyak simbolisme, mengidentifikasi kelompok clan atau asosiasi komunitas, dan mengusir roh jahat (Riedel 1886: 25, 202 ,234 291). Pada saat konflik, bendera berbentuk segitiga dikibarkan di bagian ujung perahu sebagai bagian penting dalam peperangan (Riedel 1886: 234), sedangkan bendera tersebut diturunkan setelah konflik diselesaikan, kekuatan gaib menjadi tidak efektif, dan pesta diadakan oleh masing-masing komunitas secara mandiri untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu merayakan kemenangan (Riedel 1886: 234). Di kepulauan Tanimbar, bendera berbentuk segitiga di haluan dan buritan disebut sair dan mereka secara historis dikaitkan dengan kelompok clan atau komunitas (negari) – misalnya, perahu-perahu dari Tenim membawa bendera merah dengan pinggiran hitam, perahu-perahu dari Uaratan berbendera putih dengan sair merah, dan perahu-perahu dari Rumsalut dan Kamatubun berwarna putih (Riedel 1886: 291). Bendera Belanda sering terlihat di perahu, namun tidak serta merta menandakan perahu tersebut berlayar untuk armada kolonial. Ditempatkan di haluan dan buritan, bendera Belanda mengusir roh jahat karena masyarakat pulau setempat mengasosiasikan penyakit dengan Belanda dan menganggap mereka sengaja dikirim untuk mendatangkan malapetaka (Riedel 1886: 25).

Masyarakat pribumi Arnhem Land mempertahankan proses kompleks untuk memberi sinyal melalui produksi seni batu cadas dan budaya material dekoratif (bandingkan lukisan tangan di Arnhem Land pada bulan Mey, Taylor dkk [2020]). Masyarakat pribumi sangat menghargai kain dan tekstil [masyarakat] pendatang yang diperdagangkan dari Makassar (Warner 1969: 440). Penggunaan bendera juga diadopsi dari masyarakat Makassar oleh masyarakat pribumi Arnhem Land (Clarke dan Frederick 2006; Marika dan West 2008). Wesley dan Viney (2016) menemukan bahwa desain yang dimasukan ke dalam motif seni batu cadas dipengaruhi oleh desain tekstil Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan elemen dekoratif seperti bendera dan panji-panji berwarna serta desainnya kemungkinan besar akan diperhatikan dengan cermat oleh kelompok masyarakat pribumi yang melihat perahu-perahu tersebut. 

Bentuk ujung lambungnya berbentuk segitiga dalam 3 contoh yang terlihat jelas, dan kedua perahu menunjukkan ciri melingkar di bawah bendera. Penempatan bentuk segitiga ini konsisten dengan penggunaan papam haluan pada kora-kora dan belang dari Maluku (gbr 4,5,6,7,8) (Barbier dan Newton 1988: 314–315, hal. 61). Gambar-gambar perahu belang Maluku dari abad ke-19 dan ke-20 seringkali menunjukkan perahu-perahu tersebut berada di pantai dengan 2 tiang atau tiang bendera, bukan tiang tunggal yang terlihat pada gambar Awunbarna. Perahu dari Tanimbar dan Kei memiliki haluan dan papan buritan berukir kerawang, sedangkan perahu dari Aru memiliki hiasan binatang atau ikan di buritannya (de Jonge dan T. van Dijk 1995 :70). Dalam simbolisme gender pada perahu di Maluku Tenggara, papan haluan “dianggap sebagai simbol harga diri dan status laki-laki” (de Jonge dan T. van Dijk 1995 :71). Papan haluan dikenal sebagai kora ulu dan papan buritan disebut kora muri  (McKinnon 1988: 163). Disebut sebagai “salah satu bentuk pahatan yang paling rumit secara visual di kepulauan Asia Tenggara”, papan ini hanya digunakan untuk pelayaran penting perahu/kapal dan jika tidak, papan ini akan diturunkan dan disimpan (Kjellgren 2007: 250). Papan haluan akan menjadi fitur yang penting dan menonjol di perahu-perahu ini; contoh yang masih ada di Metropolitan Museum of Art, New York, memiliki tinggi 163 cm (gbr 5) (Barbier dan Newton 1988: 314–315, hal. 61).

Pelayaran dagang dan pelayaran “persahabatan” atau diplomatik dilakukan di seluruh Maluku (Jonge dan T. van Dijk 1995:80–81), namun pelayaran perang dan perburuan kepala, yang membuat orang Tanimbar mempunyai reputasi yang sangat baik, terjadi hingga awal tahun 1900-an dan penuh dengan ritual yang rumit (de Jonge dan T. van Dijk 1995: 79,81–83). Selama pelayaran yang penuh dengan perang ini, upacara perahu akan digunakan, dihiasi dengan papan haluan dan buritan, panji-panji, dan, dalam kasus perahu-perahu Tanimbar, dengan roda matahari di haluan, yang merupakan simbol kehebatan, status, dan perang (de Jonge dan T. van Dijk 1995: 83–84;Kjellgren 2007: 252). Roda matahari, khususnya, menunjukkan bahwa perahu itu “panas” atau sementara berperang, dan motif matahari seringkali digunakan pada haluan perahu-perahu Maluku Taylor dan Aragon 1991: 231–233; de Jonge dan T. van Dijk 1995: 84 ;Kjellgren 2007: 252). Roda matahari mirip dengan “lingkaran konsentris yang bersinar” pada situs seni batu cadas Dudumahan [Dunwahan] di kepulauan Kei (Ballard 1988: 148, gambar 4a), dan dengan yang ada di situs-situs Timor Leste (O'Connor 2003: gambar 14b,21,27).

 

Koneksi Maluku

Maluku telah menarik minat Eropa terhadap perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan sejak abad ke-16, dan kepulauan tersebut semuanya berada di bawah kendali Belanda pada abad ke-17. Kolonisasi mengganggu perdagangan yang sudah mapan dan menimbulkan perlawanan, meskipun hal ini juga menyebabkan peningkatan/perluasan Belanda dalam aspek administrasi, perjalanan, dan pencatatan etnografis, dan sejak tahun 1820-an misionaris Belanda aktif di pulau-pulau tersebut. Selain teks, catatan Belanda juga mencakup sumber visual perahu, dan sejumlah model yang kini tersimpan di Museum Belanda dan Indonesia (McKinnon 1988; de Jonge dan T. van Dijk 1995). Sumber-sumber ini memberikan bukti mengenai bentuk, konfigurasi, dan ornamen perahu-perahu Maluku selama beberapa abad dan menjadi dasar perbandingan dengan motif [perahu] Awunbarna.

Pembuat perahu yang penting di Maluku sebelum abad ke-20 adalah Suku Kei, yang membuat perahu sepanjang 31 m, dan menjualnya hingga ke Ambon dan Banda. Suku Kei memasok sebagian besar permintaan perahu dari Tanimbar dan Aru, sedangkan Tanimbar dan Aru meniru model Kei ini (Nooteboom 1932:185; de Jonge dan T. van Dijk 1995:70,107; Boomgaard dan J. van Dijk 2001:461). Masyarakat Maluku mempunyai kontak dagang yang luas dengan masyarakat dari Sulawesi bagian selatan, yaitu Makassar, dan Bugis (de Jonge dan T. van Dijk 1995:23), sehingga mereka sudah mengetahui peluang di Australia bagian utara dan bahkan mungkin merasakan adanya permintaan akan produk-produk yang bersumber dari Australia, seperti teripang. 

Motif-motif perahu di Awunbarna kemungkinan besar mewakili kora-kora, belang, atau orembai khas Maluku, yaitu perahu yang profilnya serupa dengan atau tanpa cadik. Tidak adanya cadik, umumnya menunjukkan adanya orembai di Maluku (Haddon 1920: 118), meskipun varian kora-kora yang belakangan muncul tanpa cadik. Belang modern umumnya mempunyai tiang berkaki tiga dan mungkin terlalu kecil untuk berlayar ke Australia, namun varian sebelumnya yang dijelaskan dalam catatan kolonial Belanda berukuran lebih besar dengan tiang tunggal dan tentu saja dilengkapi dengan papan haluan (Barbier dan Newton 1988: 314). Oleh karena itu, motif [perahu] Awunbarna mungkin mewakili perahu perahu perang yang dihiasi secara seremonial dari bagian timur Maluku Tenggara, di Indonesia, dan mungkin Tanimbar pada khususnya. Perahu-perahu tersebut digunakan untuk memimpin pelayaran dagang dan penyerbuan dari Tanimbar, Aru, dan Kei ke pulau-pulau berdekatan dan regional.

 

Penggambaran Apa yang dilakukan Masyarakat Maluku di Arnhem Land???

Ada beberapa kemungkinan skenario untuk menjelaskan pertemuan yang terjadi antara seniman Aborigin dari Arnhem Land dan perahu-perahu asal Maluku tersebut. Identifikasi motif-motif perahu orang Maluku di Awunbarna tidak serta merta berarti bahwa perahu-perahu tersebut mengunjungi pantai utara Australia, karena masyarakat Aborigin melakukan perjalanan ke kepulauan Indonesia di Asia Tenggara dan kapal-kapal/perahu kolonial, baik secara sukarela maupun di bawah paksaan (Earl 1841: 116; Lamilami 1974 ; Mulvaney 1988: 45–46; Spilet 1989; O'Connor dan Arrow 2008: 399; Reid 2013). Mereka yang melakukan perjalanan bisa saja menemukan perahu-perahu seperti yang digambarkan di Awunbarna dan mungkin melukis motif ini sekembalinya mereka.

Kemungkinan besar masyarakat maritim dari kepulauan Kei dan Tanimbar membawa perahu mereka ke perairan Australia untuk memancing, mengumpulkan cangkang mutiara, dan/atau memanen teripang sejak tahun 1645, dan mungkin sebelum tahun itu (Reid 2013). Adriaen Dortsman yang memimpin ekspedisi penjelajahan bagian timur dan tenggara kepulauan Indonesia pada tahun 1645 dan 1646 melaporkan kepada Dewan VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) di Batavia bahwa penduduk pulau-pulau di tenggara Banda (Maluku Tenggara) tidak ada pulau yang belum dikunjungi dan sering berlayar ke pantai utara Australia (National Archief 1646: folio 371; van Duivenvoorde dkk. 2019:41). Dortsman menegosiasikan perjanjian perdagangan dengan para tetua di Maluku Tenggara yang memberikan perusahaan hak perdagangan eksklusif atas cangkang penyu, budak, kulit ikan pari, kayu, amber, lilin (lebah), mutiara, cangkang mutiara, dan teripang (Riedel 1886: 248,276). Sumber-sumber dan foto-foto dari Belanda juga menunjukkan banyak contoh perahu-perahu ini di Maluku Tenggara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (de Jonge dan T. van Dijk 1995; Gelman Taylor 2015). Schapper (2021) baru-baru ini mempertimbangkan potensi kata serapan dari bahasa-bahasa Maluku di Australia bagian utara, dan khususnya untuk kata”sisik penyu”. Schapper berpendapat bahwa “kemunculan leksem sisik penyu di Australia utara tampaknya mendukung gagasan bahwa masyarakat Aru, khususnya dari wilayah timur, mungkin telah melakukan perjalanan ke sana untuk mengumpulkan hasil laut pada masa sebelum perdagangan teripang (Schapper 2021: 443). Tampaknya para seniman Arnhem Land mempunyai kesempatan berinteraksi dengan perahu-perahu Maluku di negara mereka sendiri, atau mungkin melukis perahu-perahu tersebut setelah kembali dari pelayaran, atau bahkan mungkin melalui kedua skenario tersebut. 

Contoh lain kora-kora kora-kora atau profil serupa pada seni batu cadas Arnhem Land cenderung mendukung identifikasi perahu-perahu Maluku (Chaloupka 1996: 141; O'Connor dan Arrow 2008: 401, gbr. 2; McIntosh 2018: 124, gbr. 6). Hal ini juga menunjukkan bahwa kunjungan orang ke Maluku kemungkinan besar berperan dalam memicu terjadinya peristiwa-peristiwa artistik ini, sama seperti tipe-tipe seni batu cadas Makassar dan kolonial lainnya yang dapat diidentifikasi dalam kumpulan seni batu cadas. Jika perahu-perahu yang digambarkan di Awunbarna diamati di perairan Indonesia, patut dicatat bahwa dari semua perahu yang mungkin ditemui pelaut Aborigin dalam perjalanan melintasi Nusantara, para seniman memilih untuk menampilkan perahu-perahu perang tersebut. Kaitan karya seni ini dengan potensi ancaman sesuai dengan interpretasi bahwa seni batu cadas kontak maritim di Arnhem Land mewakili relasi lintas budaya yang lebih singkat dan berbahaya dibandingkan yang dinikmati masyarakat Aborigin dengan para nelayan Makassar (May, Wesley, Goldhahn dkk. 2021).

Mengingat potensi sifat perang dari perahu-perahu yang digambarkan/dicat, dan keterkaitannya dengan pembajakan dan transportasi di Maluku dibandingkan dengan penangkapan ikan (Macknight 1980:1 24), motif-motif ini mungkin merupakan indikasi dari tindakan-tindakan kekerasan fisik di masa lalu, atau seniman yang menggambarkan proyeksi kekuasaan yang baik dari pihak luar. Klaim yang lemah dibuat pada abad ke-19 bahwa armada yang diidentifikasi sebagai orang Makassar melakukan perbudakan di Australia, dan orang Aborigin tercatat “dijual di pasar budak di Makassar” (Macknight 1972: 289; O’Connor dan Arrow 2008: 400). Meskipun ketidakjelasan kora-kora atau perahu perang lainnya dalam seni batu cadas Aborigin menunjukan bahwa perompakan di Maluku jarang terjadi, penggambaran perahu-perahu utama dari masyarakat perompak budak yang diketahui menunjukkan bahwa perompakan semacam itu mungkin memang pernah terjadi. Jika demikian, maka akan terdapat bukti lain dalam sejarah lisan Aborigin dan Maluku, serta dalam catatan kolonial dan kemungkinan arkeologi dari Maluku Tenggara. Bukti leksikal, seperti yang dikemukan oleh Schapper (2021: 442–444), dan seni batu cadas ini mungkin merupakan bukti pertama yang secara eksplisit diidentifikasi dalam konteks modern.

Terlepas dari motivasi yang mendorong penggambaran perahu-perahu tersebut, kehadiran perahu-perahu perang ini memberikan bukti langsung mengenai keragaman etnis para pelaut dari kepulauan Asia Tenggara yang dikenal oleh para seniman Arnhem Land, dan lebih lanjut menunjukkan isu-isu yang terkait dengan penggunaan terminologi umum “Macassan” untuk perahu-perahu non-Eropa. Kehadiran perahu-perahu perang di Arnhem Land akan mendukung penyimpangan yang signifikan dari narasi yang diterima mengenai aktivitas perdagangan dan penangkapan ikan di pesisir Makassar dan mempunyai implikasi penting bagi 2 model kronologis yang bersaing dalam kontak budaya dengan Asia Tenggara (Wesley, O'Connor et al. 2016). Motif-motif ini mendukung kesimpulan Mitchell (1994: 42) bahwa “pelayaran secara sporadis atau tidak disengaja dari Indonesia ke garis pantai Australia mungkin terjadi sebelum industri [teripang] berkembang”. Kurangnya pengamatan orang Eropa terhadap perahu-perahu jenis ini diperairan Australia pada abad ke-19 menunjukkan bahwa waktu kunjungan perahu-perahu perang ini mungkin terjadi sebelum tahun 1800. Hal ini merupakan bukti lebih lanjut untuk mendukung keterlibatan yang lebih lama dan lebih luas dengan Australia bagian utara melalui kepulauan maritim Asia Tenggara.

 

Kesimpulan

Ciri-ciri yang ditampilkan pada motif-motif perahu Awunbarna banyak terdapat pada jenis perahu Asia Tenggara lainnya yang belum tentu merupakan perahu perang atau berasal dari Maluku. Namun, penafsiran yang disajikan di sini didasarkan pada bukti-bukti yang ada saat ini, menjelaskan semua fitur yang digambarkan, dan telah terbukti layak secara spasial dan temperol. Jika diterima, maka hal ini akan menjadi bukti arkeologis pertama mengenai asal-usul etnis para pelaut Asia Tenggara yang mengunjungi Australia utara selain “Macassan”. Ilustrasi mendetail menyiratkan tingkat pengetahuan mendalam tentang perahu itu sendiri melalui pengamatan yang panjang dan pendek, atau dari perjalanan yang sebenarnya di dalamnya. Tujuan mendasar mengapa perahu-perahu perang Maluku ditemukan di sepanjang pantai Arnhem Land di utara Australia kemungkinan besar terkait dengan perdagangan, penangkapan ikan, eksploitasi sumber daya, perburuan kepala, dan/atau perbudakan, dan kehadiran perahu-perahu perang tersebut menyiratkan adanya tindakan fisik kekerasan atau setidaknya proyeksi kekuasaan. Identifikasi yang berpotensi unik terhadap perahu-perahu Maluku di Australia ini memberikan bukti pertemuan yang tidak terlalu jelas secara arsip antara masyarakat Aborigin di Australia utara dan orang-orang dari kepulauan di sebelah utara mereka. Perahu-perahu perang Asia Tenggara di seni batu cadas Arnhem Land ini memberikan bukti yang memperluas sifat dan konteks narasi kontak masyarakat Australia.

 

====== Selesai ====

 

References

  • Ballard, Chris 1988 Dudumahan: A Rock Art Site on Kai Kecil, S.E. Moluccas. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 8:139–161.
  • Barbier, Jean Paul, and Douglas Newton (editors) 1988 Islands and Ancestors: Indigenous Styles of Southeast Asia. Prestel-Verlag, Munich, Germany.
  • Bigourdan, Nicolas 2013 Overviews and Developments on Indigenous Maritime Rock Art Studies in Western Australia. Great Circle 35(2):16–29.
  • Bigourdan, Nicolas 2016 Aboriginal Watercraft Depictions in Western Australia. Report, Department of Maritime Archaeology, Western Australian Museum, No. 206. Fremantle, Australia.
  • Bigourdan, Nicolas, and Michael McCarthy 2007 Aboriginal Watercraft Depictions in Western Australia: On Land, and Underwater? Bulletin of the Australasian Institute for Maritime Archaeology 31:1–10.
  • Boomgaard, Peter, and Janneke van Dijk 2001 Het Indië Boek (The India book). Waanders, Zwolle, the Netherlands.
  • Brady, Liam M., and Ian J. McNiven 2022 The Presence of Absence: Why Does the Post-Contact Rock Art of Torres Strait (Northeastern Australia) Not Include Paintings of European Ships? Cambridge Archaeological Journal 32(1):99–115.
  • Brandl, Eric J 1988 Australian Aboriginal Paintings in Western and Central Arnhem Land, Temporal Sequences and Elements of Style in Cadell River and Deaf Adder Creek Art. Australian Institute of Aboriginal Studies, Canberra, Australia.
  • Burningham, Nick 1987 Reconstruction of a Nineteenth Century Makassan Perahu. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 4(1):103–128.
  • Burningham, Nick 1988 Description of Hati Marege, A Replica 19th Century Makassan Perahu. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 5(1):155–161.
  • Burningham, Nick 1989 Four Double-Ended Perahu Lambo. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 6(1):179–193.
  • Burningham, Nick 1990 Stemless Boats of Ende Bay. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 7(1):105–119.
  • Burningham, Nick 1993 Bajau Lepa and Sope: A “Seven-Part Canoe” Building Tradition in Indonesia. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 10(1):193–222.
  • Burningham, Nick 1994 Aboriginal Nautical Art: A Record of the Macassans and Pearling Industry in Northern Australia. Great Circle 16(2):139–151.
  • Burningham, Nick, and Kurt Stenross 1994 Mayang: The Traditional Fishing Vessel of Java. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 11(1):73–132.
  • Chaloupka, George 1993 Journey in Time: The 50,000 Year Story of the Australian Aboriginal Rock Art of Arnhem Land. Reed, Chatswood, Australia.
  • Chaloupka, George 1996 Praus in Marege: Makassan Subjects in Aboriginal Rock Art of Arnhem Land, Northern Territory, Australia. Anthropologie 34(1&2):131–142.
  • Clarke, Anne, and Ursula Frederick 2006 Closing the Distance: Interpreting Cross-Cultural Engagements through Indigenous Rock Art. In Archaeology in Oceania: Australia and the Pacific Islands, Ian Lilley, editor, pp. 116–133. Blackwell, Oxford, UK.
  • de Jonge, Nico, and Toos van Dijk 1995 Forgotten Islands of Indonesia: The Art and Culture of the Southeast Moluccas. Periplus Editions, Hong Kong, China.
  • Dwyer, Dan, and Kim Ackerman 1998 The Peledang: The Lashed-Lug Whaling Craft of Lamalera, Lomblen (Lembata), Nusa Tenggara Timur, Indonesia. The Beagle: Records of the Northern Territory Museum of Arts and Sciences 14(1):123–147.
  • Earl, G. W 1841 An Account of a Visit to Kisser, One of the Serawattí Group in the Indian Archipelago. Journal of the Royal Geographical Society of London 11:108–117.
  • Earl, G. W 1846 On the Aboriginal Tribes of the Northern Coast of Australia. Journal of the Royal Geographical Society of London 16:239–251.
  • Gapps, Stephen, and Mariko Smith 2015 Nawi—Exploring Australia’s Indigenous Watercraft: Cultural Resurgence through Museums and Indigenous Communities. AlterNative: An International Journal of Indigenous Peoples 11(2):87–102.
  • Gelman Taylor, Jean 2015 Visual History: A Neglected Resource for the Longue Durée. In Environment, Trade and Society in Southeast Asia: A Longue Durée Perspective, David Henley and Henk G. C. Schulte Nordholt, editors, pp. 181–202. Brill, Leiden, the Netherlands
  • Haddon, Alfred C 1920 The Outriggers of Indonesian Canoes. Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, London, UK.
  • Haddon, Alfred C., and James Hornell 1975 Canoes of Oceania, Vol. II, The Canoes of Melanesia, Queensland and New Guinea. Reprint of 1937 edition. Bishop Museum Press, Honolulu, HI.
  • Henderson, Graeme, and Ian Crawford 1986 Sampans, Belangs, and Junkos: The Pearling Boats of the Aru Islands. Expedition 28(1):36–46.
  • Horridge, Adrian 1981 The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia. Oxford University Press, New York, NY.
  • Jane, Fred T 1914 Warships at a Glance: Silhouettes of the World’s Fighting Ships. Sampson Low, Marston and Co., London, UK.
  • Jones, Tristan, Vladimir A. Levchenko, Penelope L. King, Ulrike Troitzsch, Daryl Wesley, A. Alan Williams, and Alfred Nayingull 2017 Radiocarbon Age Constraints for a Pleistocene– Holocene Transition Rock Art Style: The Northern Running Figures of the East Alligator River Region, Western Arnhem Land, Australia. Journal of Archaeological Science: Reports 11:80–89.
  • Jordanova, Ludmilla 2012 The Look of the Past: Visual and Material Evidence in Historical Practice. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
  • Kjellgren, Eric 2007 Oceania: Art of the Pacific Islands in the Metropolitan Museum of Art. Yale University Press, New Haven, CT.
  • Kowlessar, Jarrad, James Keal, Daryl Wesley, Ian Moffat, Dudley Lawrence, Abraham Weson, Alfred Nayinggul, and Mimal Land Management Aboriginal Corporation 2021 Reconstructing Rock Art Chronology with Transfer Learning: A Case Study from Arnhem Land, Australia. Australian Archaeology 87(2):115–126.
  • Kroonenberg, Pieter M 2021 Multivariate Humanities. Springer, Cham, Switzerland.
  • Lamilami, Lazarus 1974 Lamilami Speaks: The Cry Went Up, a Story of the People of Goulburn Islands, North Australia. Ure Smith, Sydney, Australia.
  • Lewis, Darrell 1988 The Rock Paintings of Arnhem Land, Australia: Social, Ecological and Material Culture Change in the Post-Glacial Period. British Archaeological Reports, International Series 415. Oxford, UK.
  • Lewis, Darrell 2017 Megafauna Identification for Dummies: Arnhem Land and Kimberley “Megafauna” Paintings. Rock Art Research 34(1):8299.
  • Macknight, Campbell C 1972 Macassans and Aborigines. Oceania 42(4):283–321.
  • Macknight, Campbell C 1976 The Voyage to Marege’: Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne University Press, Carlton, Australia.
  • Macknight, Campbell C 1980 The Study of Praus in the Indonesian Archipelago. Great Circle 2(2):117–128.
  • Macknight, Campbell C 2011 The View from Marege’: Australian Knowledge of Makassar and the Impact of the Trepang Industry across Two Centuries. Aboriginal History 35:121–143.
  • Marika, Bandu, and Margie West 2008 Yalangbara: Art of the Djang’kawu. Charles Darwin University Press, Darwin, Australia.
  • May, Sally K., Jennifer F. McKinnon, and Jason T. Raupp 2009 Boats on Bark: An Analysis of Groote Eylandt Aboriginal Bark-Paintings Featuring Macassan Praus from the 1948 Arnhem Land Expedition, Northern
    Territory, Australia. International Journal of Nautical Archaeology 38(2):369–385.
  • May, Sally K., Luke Taylor, Catherine Frieman, Paul S. C. Taçon, Daryl Wesley, Tristen Jones, Joakim Goldhahn, and Charlie Mungulda 2020 Survival, Social Cohesion and Rock Art: The Painted Hands of Western Arnhem Land, Australia. Cambridge Archaeological Journal 30(3):491–510.
  • May, Sally K., Daryl Wesley, Joakim Goldhahn, Ronald Lamilami, and Paul S. C. Taçon 2021 The Missing Macassans: Indigenous Sovereignty, Rock Art and the Archaeology of Absence. Australian Archaeology 87(2):127–143.
  • May, Sally K., Daryl Wesley, Paul Taçon, and Michael Pearson 2013 Painted Ships on a Painted Arnhem Land landscape. Great Circle 35(2):83–102.
  • McCarthy, Michael 2018 Indigenous Maritime Investigations at the Western Australian Museum’s Department of Maritime Archaeology: An Overview after Nearly 50 Years. Australasian Journal of Maritime Archaeology
    42:53–64.
  • McIntosh, Ian S 2018 Australia’s Kilwa Coins Conundrum. In Early Maritime Cultures in East Africa and the Western Indian Ocean, Akshay Sarathi, editor, pp. 113–137. Archaeopress, Oxford, UK.
  • McKinnon, Susan 1988 Tanimbar Boats. In Islands and Ancestors: Indigenous Styles of Southeast Asia, Jean Paul Barbier and Douglas Newton, editors, pp. 152–169. Prestel-Verlag, Munich, Germany.
  • McNiven, Ian J 2015 Canoes of Mabuyag and Torres Strait. Memoirs of the Queensland Museum—Culture 8(1):127–207.
  • Mitchell, Scott R. A 1994 Culture Contact and Indigenous Economies on the Cobourg Peninsula, Northwest Arnhem Land. Doctoral dissertation, Faculty of Arts, Northern Territory University, Darwin, Australia.
  • Mulvaney, J 1988 Aboriginal Australians Abroad 1606–1875. Aboriginal History 12:41–48.
  • National Archief 1646 Archieven van de Verenigde Oostindische Compagnie, 1602–1795 (Archives of the United East India Company, 1602–1795). Deel I/E.5.a Overgekomen brieven en papieren uit Indië aan de Heren XVII en de kamer Amsterdam, Ref. code 1.04.02, inv. no. 1158 1646 HHH, Vierde boek 1646, fols. 371–389
    (scans 797–834). 1.04.02 Inventaris van het archief van de Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1602–
    1795 (1811), National Archief <
    https://www.natio naalarchief.nl/onderzoeken/archief/1.04.02/invnr/ 1158/file>. Accessed 17 February 2023.
  • Nooteboom, Christiaan 1932 De Boomstamkano in Indonesië (The dugout canoe in Indonesia). Brill, Leiden, the Netherlands.
  • O’Connor, Sue 2003 Nine New Painted Rock Art Sites from East Timor in the Context of the Western Pacific Region. Asian Perspectives 42(1):96–128.
  • O’Connor, Sue, and Steve Arrow 2008 Boat Images in the Rock Art of Northern Australia with Particular Reference to the Kimberley, Western Australia. In Islands of Inquiry: Colonization, Seafaring and the Archaeology of Maritime Landscapes, Geoffrey Clark, Foss Leach, and Sue O’Connor, editors, pp. 397–409. ANU Press, Canberra, Australia.
  • Paterson, Alistair, and Wendy van Duivenvoorde 2013 The Sea, Inland: Aboriginal Rock Art Depictions
    of Boats from the Western Pilbara. Great Circle 35(2):30–54.
  • Reid, Anthony 2013 Crossing the Great Divide: Australia and Eastern Indonesia. In Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters and Influences, Marshall Clark and Sally K. May, editors, pp. 41–53. Australian National University E Press, Canberra, Australia.
  • Renshaw, Samuel 1945 The Visual Perception and Reproduction of Forms by Tachistoscopic Methods. Journal of Psychology 20(2):217–232.
  • Riedel, Johan G. F 1886 De Sluik- en Kroesharige Rassen tusschen Selebes en Papua (The straight- and curly haired races between Selebes and Papua). Martinus Nijhoff, the Hague, the Netherlands.
  • Roberts, David A 2004 Nautical Themes in the Aboriginal Rock Paintings of Mount Borradaile, Western Arnhem Land. Great Circle 26(1):19–50.
  • Roberts, David A., and Adrian Parker 2003 Ancient Ochres: The Aboriginal Rock Paintings of Mount Borradaile. JB Books, Marleston, Australia.
  • Schapper, Antoinette 2021 Beyond “Macassans”: Speculations on Layers of Austronesian Contact in Northern Australia. Australian Journal of Linguistics 41(4):434–452.
  • Scott, William H 1994 Barangay: Sixteenth Century Philippine Culture and Society. Ateneo de Manila University Press, Manila, Philippines.
  • Spillet, Peter 1989 Aboriginal and Makassan Relationships. The Beagle: Records of the Museums and Art Galleries of the Northern Territory 6(1):241–243.
  • Taçon, Paul S. C., and Sally K. May 2013 Rock Art Evidence for Macassan–Aboriginal Contact in Northwestern Arnhem Land. In Macassan History and Heritage: Journeys, Encounters and Influences, Marshall Clark and Sally K. May, editors, pp. 127–139. Australian National University E Press, Canberra, Australia.
  • Taçon, Paul S. C., Sally K. May, Stuart Fallon, Meg Travers, Daryl Wesley, and Ronald Lamilami 2010 A Minimum Age for Early Depictions of Southeast Asian Praus in the Rock Art of Arnhem Land, Northern Territory. Australian Archaeology 71:1–10.
  • Taçon, Paul S. C., Sally K. May, Ronald Lamilami, Fiona McKeague, Iain G. Johnston, Andrea Jalandoni, Daryl Wesley, Ines Domingo Sanz, Liam M. Brady, Duncan Wright, and Joakim Goldhahn 2020 Maliwawa Figures—A Previously Undescribed Arnhem Land Rock Art Style. Australian Archaeology 86(3):208–225.
  • Talbot-Booth, Eric C 1944 What Ship Is That? Didier, New York, NY.
  • Taylor, Paul M., and Lorraine V. Aragon 1991 Beyond the Java Sea: Art of Indonesia’s Outer Islands. National Museum of Natural History, Smithsonian Institution, Washington, DC.
  • Thomas, N. W 1905 Australian Canoes and Rafts. Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland 35(1):56–79.
  • Thomson, Donald F 1952 1. Notes on Some Primitive Watercraft in Northern Australia. Man 52(1):1–5.
  • van Duivenvoorde, Wendy, Daryl Wesley, Mirani Litster, Fanny Wonu Veys, Widya Nayati, Mark Polzer, John McCarthy, and Lidwien Jansen 2019 Van Delft before Cook: The Earliest Record of Substantial Culture Contact between Indigenous Australians with a Dutch East India Company Expedition Prior to 1770. Australasian Journal of Maritime Archaeology 43:27–49.
  • Vega Pinielle, Ramón (editor) 2018 Asia y el Museo Naval (Asia and the Naval Museum). Ministerio de Defensa, Madrid, Spain.
  • Warner, W. Lloyd 1969 A Black Civilization: A Social Study of an Australian Tribe. P. Smith, Gloucester, MA.
  • Warren, James F 1981 The Sulu Zone 1768–1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State. Singapore University Press, Singapore.
  • Wesley, Daryl 2013 Firearms in Rock Art of Arnhem Land, Northern Territory, Australia. Rock Art Research 30(2):235–247
  • Wesley, Daryl, Jennifer F. McKinnon, and Jason T. Raupp 2012 Sails Set in Stone: A Technological Analysis of NonIndigenous Watercraft Rock Art Paintings in North Western Arnhem Land. Journal of Maritime Archaeology 7(2):245–269.
  • Wesley, Daryl, Sue O’Connor, and Jack N. Fenner 2016 Re-Evaluating the Timing of the Indonesian Trepang
    Industry in North-West Arnhem Land: Chronological Investigations at Malara (Anuru Bay A). Archaeology in Oceania 51(3):169–195.
     
  • Wesley, Daryl, and Jessica Viney 2016 South East Asian Influences in Western Arnhem Land Rock Art Decorative Infill. Journal of the Anthropological Society of South Australia 40:35–69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar