Sabtu, 28 Oktober 2023

Bagaimana Bahasa Melayu dalam Kronik Ambon Hikayat Tanah Hitu???

 

[Gijs.L. Koster]

  1. Kata Pengantar

Artikel yang diterjemahkan ini adalah tulisan dari Prof Filologi dari University of Minho, Braga, Portugis, Gijs. L. Koster dengan judul How Malay is the Ambonese chronicle Hikayat Tanah Hitu?. Seperti diketahui, Hikayat Tanah Hitu ditulis oleh Imam Sifar Ridjali, pada paruh pertama abad ke-17 atau antara tahun 1647 dan 1652. Kronik ini dianggap sebagai penulisan sejarah tentang Hitu yang berada di jazirah utara Pulau Ambon. Tulisan Rijali ini banyak digunakan oleh Francois Valentijn, seorang pendeta Belanda untuk menulis sejarah Ambon dalam buku terkenalnya, Oud en Nieuwe Oost-Indien, khususnya pada volume II.

Pada kajiannya ini, Gijs.L. Koster, tidak membahas atau menganalisis tentang aspek historiografi pada hikayat tersebut, melainkan menganalisis soal kebahasaan yang ada pada tulisan Rijali itu. Ia membahas mengenai unsur-unsur Melayu atau konvensi Melayu yang menjadi pola penulisan hikayat atau babad pada masa itu. Ia akhirnya menyimpulkan bahwa berdasarkan ciri-cirinya, seorang Rijali masih menerapkan konvensi umum Melayu pada karyanya itu, meski ada juga ciri-ciri yang “menyimpang” dari pola umum penulisan babad atau dalam hal ini, Hikayat Tanah Hitu, ia anggap berada dalam kategori epos kepahlawanan atau epik kepahlawanan.

Kajian dari G.L. Koster ini terdiri dari 23 halaman, 29 catatan kaki dan berbagai tulisan referensi yang digunakan oleh penulis dalam artikelnya, namun sayangnya, tidak menyertakan gambar ilustrasi. Pada terjemahan ini, kami hanya memuat 28 catatan kaki, dikarenakan catatan kaki nomor 1 hanya berisi penjelasan mengenai “asal usul” mengenai tulisan ini. Kami juga menambahkan beberapa catatan tambahan yang ditandai dengan huruf dan beberapa gambar ilustrasi untuk “mempermanis” artikel terjemahan ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita dalam hal memahami sejarah orang Ambon dari perspektif yang sedikit berbeda, yaitu masalah linguistik. Bahwa minimal, kita mulai memahami dan berpikir ulang bahwa kebudayaan Ambon tidak lahir dari ruang angkasa, tetapi ada faktor-faktor eksternal dan internal yang saling bertemu dan “beradaptasi” sehingga melahirkan sebuah kebudayaan yang kita lihat di hari hari ini.

 

  1. Terjemahan

Pendahuluan

Penggalan sejarah Ambon, Hitu, Makasar, Banda pada masa/periode sebelum kedatangan bangsa Eropa dan setelahnya. Teks yang ditulis dengan sangat buruk ini mungkin diterjemahkan dari bahasa Makasar; apakah tulisan ini mempunyai nilai sejarah, tidak dapat dikatakan tanpa kajian yang tekun/pembacaan yang cermat dan perbandingan dengan catatan sejarah lainnya. (Ronkel 1921: 43)1

Melalui kata-kata ini [di atas], Van Ronkel dalam katalog suplemen Manuskrip Melayu dan Minangkabau tahun 1921 di Perpustakaan Universitas Leiden, dengan cepat menolak teks yang terdapat dalam manuskrip Code 5448, [yaitu] Hikajat Tanah Hitu, sebuah kronik Ambon yang ditulis pada pertengahan abad ke-17 oleh Ridjali.  Mengapa ia (Van Ronkel) menganggap teks itu ditulis sangat buruk, Van Ronkel tidak menjelaskannya. Kemungkinan besar salah satu alasannya adalah, meskipun hikayat tersebut ditulis dalam bahasa Melayu, ia merasa ada sesuatu yang tidak Melayu di dalamnya sebagai karya sastra. Oleh karena itu, dia memutuskan/menyimpulkan bahwa itu pasti terjemahan dari tradisi asing.

Pada masa van Ronkel, hikayat tentu saja hanya dapat dibaca dalam bentuk naskah melalui pembacaan yang sangat lambat dan tidak jelas. Selain itu, pemahaman narasinya kemudian terhambat oleh kurangnya informasi kontekstual, yang dapat membantu seseorang untuk berhasil menetapkan sifat, makna, dan maksudnya. Berkat edisi baru hikayat ini (Rijali 2004), yang seperti edisi rintisannya dalam Manusama (1975) didasarkan pada naskah Cod.Or 54482, dimana isinya kini menjadi lebih mudah diakses, setidaknya bagi pembaca berbahasa Belanda. 

Lembar Pertama Hikayat, Cod.Or 5448, Leiden University Library

Dalam Rijali (2004) – edisi yang akan saya rujuk dalam kajian ini – kita tidak hanya diberikan romanisasi yang cermat dan terjemahan hikayat ke dalam bahasa Belanda. Kini kita juga mempunyai banyak informasi mengenai latar belakang sejarah, geneologis atau silsilah, antropologis, geografis, dan linguistiknya. Selain itu, buku ini memberikan diskusi bermanfaat tentang keyakinan dan niat penulis yang memotivasi poin-poin yang ia coba sampaikan dalam narasinya3.  

Hikayat Tanah Hitu menceritakan tentang sejarah Tanah Hitu. Hitu adalah semenanjung bagian utara serta terbesar dari 2 semenanjung – semenanjung bagian selatan, yang lebih kecil adalah Leitimor – yang bersama-sama “membentuk” Pulau Ambon. Di sana, pada tahun-tahun awal abad ke-16, gabungan 7 (hitu) “desa” yang baru saja memeluk agama Islam telah membentuk “negara” perdagangan cengkih. Pendirinya, [yang bernama] Jamilu, perdana (pemimpin/kepala) salah satu dari 4 kelompok yang membentuk masyarakat Hitu, memerintah “negara” ini, yang disebut Tanah Hitu,bersama dengan 3 perdana lainnya yang secara kolegial sebagai yang pertama di antara yang sederajat. Hikayat Tanah Hitu terdiri dari 4 bagian.

Bagian pertama dari hikayat yang mencakup periode tahun 1500 – 1537 ini menceritakan tentang berdirinya Hitu, dipeluknya agama Islam dan hubungan dengan “negara” dagang lain di kepulauan Indonesia. Bagian kedua dari hikayat membahas peristiwa-peristiwa dari periode tahun 1538-1605, meskipun bagian ini juga menggambarkan kedatangan Portugis pada tahun 1512 dan periode singkat hubungan baik dengan mereka, dimana Raja Portugis memberikan gelar Kapitan Hitu kepada Jamilu. Kisah ini menceritakan tentang “Perang Suci” – demi agama dan juga penguasaan atas perdagangan cengkih – yang dilakukan oleh orang Hitu, seringkali dibantu oleh sekutu-sekutu Islam mereka, [yaitu] Japara, Ternate, dan pemimpin-pemimpin Banda, yang berperang di selatan Hitu, Leitimor dan pulau-pulau lain di wilayah Ambon, yang dibantu oleh Portugis dan sekutu-sekutu Kristen mereka. Bagian ini diakhiri dengan diusirnya Portugis dari Ambon pada tahun 1605, dengan bantuan sekutu baru Hitu, [yaitu] Belanda.

Bagian ketiga dari hikayat ini, yang mencakup periode tahun 1605 – 1646, menceritakan bagaimana Belanda, setelah mereka menetap di benteng Portugis di Leitimor, di tempat yang sekarang menjadi Kota Ambon, dan semakin mencampuri urusan orang Hitu untuk memaksakan monopoli mereka atas perdagangan rempah-rempah. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan baik, orang Hitu berperang melawan mereka, dengan dukungan militer dari Kesultanan Makassar. Dalam perang ini, Rijali berperan penting dalam perlawanan terhadap Belanda. Perang berakhir dengan hilangnya kemerdekaan Hitu. Bagian keempat yang merupakan penutup hikayat ini, yang mencakup peristiwa-peristiwa dari tahun 1646 hingga sekitar tahun 1650, memberikan penjelasan tentang perubahan-perubahan yang dialami oleh penulis hikayat tersebut, yaitu Rijali, ketika ia melarikan diri ke pengasingan, dan akhirnya menetap di Makassar.

Hikayat tersebut ditulis oleh pemuka/pemimpin agama (imam) [Sifa] Rijali yang lahir sekitar tahun 1590 dan merupakan cicit dari pendiri Hitu, [yaitu] Jamilu. Kemungkinan besar ia menyusun hikayat ini antara tahun 1647 dan 1652 ketika ia tinggal dalam pengasingan di Makassar sebagai tamu dari “Raja” yaitu Karaeng Patinggaloanga (Rijali 2004: 13-14, 71, 80). Raja ini adalah seorang poliglot, yang fasih berbahasa Portugis di antara bahasa-bahasa barat lainnya, dan seorang yang sangat terpelajar, yang memiliki perpustakaan besar yang memuat banyak buku-buku barat (Andaya 1981: 39; Rijali 2004: 23).

Rijali mungkin menulis kroniknya atas dorongan tuan rumah [Karaeng Pattinggaloan], dengan harapan mendapatkan dukungan bagi perjuangan Hitu dari Makassar, suatu kekuatan terakhir di Nusantara yang saat itu masih mampu melawan VOC yang perkasa. Mungkin dia juga berharap untuk menghasut orang Ternate agar bangkit melawan Sultan mereka, Mandar Shah, yang telah memihak Belanda. Indikasi dari dari hal itu adalah ia menulis kroniknya bukan dalam bahasa Hitu, melainkan dalam hikayat-Melayu yang kemudian digunakan dalam historiografi Melayu. Pada zamannya, bahasa Melayu masih dipahami oleh sedikit orang di Hitu, meskipun bahasa ini banyak digunakan di kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara. Ia juga menghindari menyebut lembaga-lembaga di Hitu dengan bahasa/nama Hitu dan bahkan menambahkan penjelasan mengenai adat-istiadat Hitu demi kepentingan pembaca yang dianggap bukan orang Hitu (Rijali 2004: 25-31).

Untuk menjangkau pembaca non-Hitu, Rijali tidak hanya menulis hikayatnya dalam bahasa Melayu tetapi juga mendasarkan narasinya pada genre dan konvensi Melayu. Seperti yang akan kita lihat dalam bacaan hikayat yang saya sajikan secara garis besar berikut ini, Rijali telah menyajikan narasinya dalam bentuk keseluruhan semacam babad. Genre lain yang tampaknya ia gunakan adalah bentuk epos kepahlawanan (heroik). Menyelami lautan sastra Melayu hingga ke salah satu ceruk terjauhnya, dalam kajian ini saya akan mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan apakah, ­- dan jika demikian – sejauh mana, Rijali telah mengadopsi konvensi yang berbeda dari kedua genre Melayu ini, selain itu beberapa konvensi sastra hikayat pada umumnya4.

Babad dan Epos kepahlawanan dalam Historiografi Barat

Jika kita menggolongkan sebuah teks Melayu sebagai sebuah kronik/babad atau epos kepahlawanan, kita melakukannya karena kita melihat ciri-ciri di dalamnya yang mengingatkan kita pada genre abad pertengahan barat yang berjudul sama, yang berkembang antara tahun 800 dan 1200. Secara umum di Barat terdapat periode itu, dimana ada 4 genre historiografi yaitu, silsilah, epos kepahlawanan, sejarah dan babad/kronik. Hanya 2 dari genre ini yang melibatkan narasi : epos kepahlawanan dan babad/kronik.

Epos kepahlawanan berkaitan dengan menceritakan tentang aksi/peristiwa berdarah yang dilakukan dalam pertempuran oleh para pahlawan di masa lalu ketika mereka berjuang demi Tuhan dan dewa mereka, sikap mengesankan yang mereka tunjukan di sana dan kata-kata yang mengesankan dan berani yang mereka ucapkan, dengan memperhatikan contoh-contoh mulia dari nenek moyang mereka. Hal-hal tersebut dikenang dalam sebuah ritual peringatan dengan suara pendongeng di hadapan hadirin yang mendengarkan, sebagai teladan/moral yang harus dikenang dan diikuti oleh generasi sekarang dan mendatang. Setelah bermula sebagai genre sastra lisan, epos kepahlawanan memasuki sastra tertulis, yang terus bercirikan formula narasi lisan (Vance 1979: 374-383; Brandt 1973: 122-5).

Babad/kronik berbeda dengan epos kepahlawanan karena memiliki kelengkapan yang lebih besar. Ia mengatur materinya berdasarkan topik dan mengatur serta berkembang seputar subjek utama, seperti kehidupan individu yang penting secara sosial atau politik atau sejarah sebuah institusi atau pekerjaan. Hal ini kurang lebih mengikuti urutan kronologis peristiwa-peristiwa yang terjadi (Barnes 1963: 64-8; White 1990: 16-7). Kronologinya berbeda dengan epos kepahlawanan dan catatan sejarah karena perhatian utamanya terletak pada perdebatan melalui cara naratif –bukan sekedar asumsi – dimana letak legitimasi dan otoritas (White 1990: 13).

Walaupun babad/kronik sudah merupakan produk karangan tertulis dan bukan hasil formula rekreasi lisan dalam pertunjukan, namun seperti historiografi naratif modern, babad belum termasuk dalam ranah sastra tulis. Masih diarahkan pada resepsi oleh penonton yang mendengarkan dan bukan oleh pembaca yang diam, ia juga tetap menjadi bagian dari ranah pertunjukan. Oleh karena itu, genre ini, dan genre narasi kontemporer lainnya seperti kehidupan orang suci, sampai batas tertentu terus ditandai oleh formula gaya lisan, yang merupakan ciri khas epos kepahlawanan yang diimprovisasi secara lisan, dan mempertahankan kehadiran komentar yang terlihat jelas oleh narator (Duggan 1973; Ryding 1971; Spiegel 1997: 183-94). 

Di Barat, setelah tahun 1200, babad/kronik tersebut perlahan-lahan berkembang menjadi apa yang sekarang kita anggap sebagai sejarah yang sebenarnya: suatu cara narasi yang mana narator yang secara tegas terlihat dan bermoral telah menghilang dan realitas masa lalu, bisa dikatakan “berbicara dengan sendirinya”. Dalam modus ini, yang masih menjadi ciri historiografi naratif modern, peristiwa-peristiwa tidak dihubungkan secara serial, seperti dalam epos kepahlawanan, melainkan secara kausal. Didorong oleh tujuan, semuanya dibuat untuk berkontribusi pada pergerakan narasi menuju akhir dan kesimpulan yang jelas. Sebaliknya, kronik yang belum sepenuhnya dinarasikan tidak mempunyai penutup naratif dan berakhir begitu saja (White 1990: 16-22)5.

Membaca Hikayat Rijali dari sudut pandang Barat

Hikayat Riijali, dalam formula babad/kronik, memberikan gambaran menyeluruh tentang suka-duka yang dialami sebuah institusi, “negara” Hitu. Peristiwa-peristiwa kurang lebih diuraikan dalam urutan kronologis, seperti yang dapat diperoleh dari informasi sejarah yang disediakan di seluruh teks. Namun, seperti dalam kronik-kronik Melayu, kronologi Hikayat tersebut tidak bersifat pasti dalam hal tanggal dan waktu, melainkan relatif antara sebelum dan sesudahnya. Hikayat tidak pernah menyebutkan tanggal kejadiannya, dengan satu pengecualian : kematian dini yang menentukan di Batavia pada tanggal 15 Januari 1623 – saat menjalankan misi diplomatik bersama Rijali – cicit Jamilu, yaitu Mihirjiguna, yang diproyeksikan menggantikan ayahnya yaitu Tepil, sebagai Kapitan Hitu (Rijali 2004: Mal 60.9-13)6.

Bagian pertama dari hikayat (Rijali 2004: Mal. 1.1-18.14), dalam serangkaian cerita menetapkan legitimasi “negara” Hitu dan hukum negara. Kisah-kisah ini didorong oleh pertentangan mendasar – yang sangat penting sepanjang hikayat – terhadap hukum versus keinginan. Kita melihat “negara” muncul berkat keberhasilan harmonisasi keinginan (kehendak) 4 kelompok yang seiring berjalannya waktu tiba dan membentuk masyarakat Hitu.

Masing-masing kelompok menyelaraskan keinginannya tidak hanya dengan hukum yang telah ditetapkan atas keinginan Allah (kehendak Allah, takdir), yang menyebabkan segala sesuatu – termasuk pendirian Hitu – terjadi dan tidak dapat terjadi yang bisa dibantah. Pertama-tama ditentukan siapa yang mempunyai hak atas tanah dan mengapa. Hitu diperlihatkan terbuka bagi orang asing (dagang) dengan syarat mereka datang untuk berdagang (bedagang, benyagah) dan menghormati hukum dan adat-istiadat orang yang sudah tinggal di sana.

Susunan pemerintahan “negara” baru dan cara memerintahnya ditetapkan sebagai kebiasaan yang tidak boleh diubah (adat). Tempat sentral di sini diberikan pada prinsip pemerintahan kologial melalui musyawarah (muafakat) oleh para perdana. Kita juga belajar bahwa sekutu ideal Hitu hingga Hari Penghakiman (sampai hari kiamat) haruslah kerajaan-kerajaan Muslim di Japara dan Ternate, dan agama mereka selamanya adalah Islam. Selama Allah tidak menghendakinya, pemerintahan raja-raja di Hitu ditolak karena tidak mendatangkan keuntungan (faedah) bagi Hitu, namun kedaulatan Sultan Ternate atas Hitu tetap diakui.

Yang terakhir, prinsip kepemimpinan tertinggi Jamilu meskipun berada di antara yang sederajat – dan implikasinya juga keturunannnya – ditegakkan dengan menunjukkan bahwa dia adalah seorang pejuang (pahlawan) yang berani dan politisi yang bijaksana (bijaksana), yang paling dihormati di negeri ini. Kita diberitahu bahwa melalui tipu muslihat, dia menyelamatkan Hitu dari perebutan kekuasaan bersenjata antara 2 perdana yang ingin mengangkat diri mereka sebagai raja dan bahwa dia secara pribadi membunuh seorang panglima perang yang menentang otoritas pemerintah.

Setelah menetapkan legitimasi, otoritas dan hukum pada bagian pertama, narasi pada bagian kedua (Rijali 2004: Mal. 18.15-40.9) bercerita tentang Perang Suci yang terjadi selama bertahun-tahun demi agama Nabi dan untuk membela tatanan politik Hitu. Konflik ini terjadi setelah Portugis terpaksa meninggalkan pos perdagangan mereka di utara Hitu menuju Hatiwe, di sisi selatan semenanjung. Alasan mereka harus keluar adalah karena dalam suatu kejadian kerusuhan dalam keadaan mabuk di pasar, mereka menunjukkan diri mereka memang perampok, bukan pedagang, dan tidak menghormati adat-istiadat Muslim Hitu.

Bagian kedua dari hikayat ini menunjukkan bagaimana para pemimpin Hitu, dengan mematuhi hukum Hitu dan menolak upaya kafir Portugis yang ingin mengambil alih kekuasaan tersebut, menjaga “negara” tetap kuat dan sejahtera : periode Portugis dapat menjadi pelajaran dan contoh positif. Dalam melakukan ini, narasinya jarang membatasi dirinya hanya pada penyebutan perang-perang yang telah terjadi, melainkan berfokus pada kualitas perang-perang tersebut dalam bentuk epos kepahlawanan, merayakan para panglim perang terkenal yang terlibat, mengingat dan memperingati perbuatan mulia mereka.

Kadang-kadang narasinya disela dengan bagian-bagian epos kepahlawanan, pada bagian ketiga hikayat (Rijali 2004: Mal. 40.9-101.4) babad tersebut menunjukkan bagaimana beberapa pemimpin – satu pengecualian, tentu saja Rijali – dengan mengabaikan hukum para pendiri Hitu yang mendirikan “negara” Hitu dan kemakmurannya dihancurkan oleh Belanda. Seperti halnya Portugis, Belanda tidak dapat dipercaya, seperti yang terlihat jelas ketika setelah mengusir Portugis, mereka menolak menyerahkan benteng tersebut orang Hitu untuk dihancurkan, yang menurut kontrak, wajib mereka lakukan. Dalam perjuangan Hitu melawan VOC, Sultan Ternate, Mandar Shahb, mengabaikan banyak bukti kesetiaannya kepada kesultanan yang telah diberikan sepanjang sejarahnya. Berbeda dengan orang Makassar, dia tidak hanya gagal menyelamatkan Hitu dan dengan demikian menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim yang buruk. Dia juga menyerahkan Hitu di atas piring kepada orang-orang kafir yang merebut kekuasaan. Periode Belanda adalah sebuah pelajaran dari contoh negatif.

Secara teratur sepanjang hikayat, sang narator, dengan gaya kronik/babad, menyatakan kehadirannya dengan kata-kata yang dirumuskan, seperti “dikatakan – dan saya menceritakan kepada kalian kisah yang saya miliki” atau “tentang orang lain selain [orang-orang] itu yang tidak saya ceritakan”7. Kadang-kadang ia juga mengomentari narasinya, seperti ketika ia menjelaskan kepada para pendengarnya, bahwa atas kehendak Tuhan, konsensus (muafakat) antara Hitu dan Belanda dilanggar, dan bahwa Gubernur Ambon, Herman van Speultc, yang pada masa jabatannya hal ini terjadi, lebih memilih konflik bersenjata dibandingkan penyelesaian masalah secara damai melalui musyawarah mufakat, karena dilatarbelakangi oleh niat jahat (endak kejahatan) (Rijali 2004: Mal. 45.10-14; 48.22-24).

Khususnya pada 2 bagian pertama hikayat, kisah-kisahnya bersifat serial dan bukan hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, narasi dalam episode Portugis sebagian besar terdiri dari rangkaian kisah-kisah pertempuran yang tampaknya tidak ada hubungannya, yang diceritakan dalam gaya formula-lisan. Satu-satunya kaitan antara cerita-cerita ini adalah bahwa semuanya berkaitan dengan Perang Suci Hitu. Tidak ada indikasi hubungan sebab-akibat, sehingga sulit bagi pembaca saat ini untuk memahami alasannya – tepat di tengah-tengah rangkaian ini dan memotongnya dengan kasar – hikayat tersebut menceritakan bagaimana para pemimpin Hitu mengelabui kapten Portugis di Ambon agar mengizinkan mereka mengunjungi tuan mereka, Sultan Ternate, ketika kapal Portugis yang ditumpangi Yang Mulia dibawa ke pengasingan, berlabuh di benteng tersebut (Rijali 2004: Mal.23.22-24.31). Makna dan fungsi cerita ini hanya dapat dipahami dengan membacanya sebagai bagian dari rangkaian lain, yaitu berkaitan dengan kesetiaan (setia) Hitu kepada Kesultanan Ternate.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk membuktikan hal ini, namun nampaknya, meskipun hubungan serial masih banyak buktinya, hubungan sebab dan akibat menjadi lebih penting pada bagian ketiga hikayat ini. Pada saat ini, dan khususnya ketika Rijali menceritakan kejadian setelah Hitu menyatakan perang terhadap Belanda, ia menunjukkan kecerdasan sastra yang luar biasa. Ia melakukannya dengan mengubah narasi yang pada 2 bagian pertamanya menceritakan kisah sukses kebangkitan dan pertahanan Hitu yang gemilang, menjadi sesuatu yang menyerupai tragedi jubah dan belati : kejatuhan Hitu sebagai kisah pengkhianatan yang menyedihkan yang dilakukan tidak hanya oleh sekutu tradisionalnya, [yaitu] Ternate, tetapi juga oleh beberapa pemimpinnya sendiri (Rijali 2004: 88.8-90.14; 99.22-100.3).

Seperti biasa dalam genre ini, kronik Rijali tidak mencapai penutupan yang kuat. Namun ada usulan penutupan pada bagian keempat hikayat tersebut (Rijali 2004: Mal. 101.4-106.16), yang menceritakan pelarian Rijali dari Hitu dan mengasingkan diri setelah kekalahannya di tangan Belanda. Di sana, hikayat menyajikan sebuah adegan yang mengesankan dan simbolis, penuh dengan kesedihan, yang tentunya membawa narasi menjadi lingkaran penuh, membawa kita kembali ke awal mula Hitu.

Ketika benteng di Kapahaha, tempat pertahanan terakhir orang Hitu yang anti-Belanda, runtuh karena pengkhianatan, Rijali dan sekelompok kecil anak buahnya, ketika melarikan diri dari Belanda, bertemu dengan Patinggi, yang digendong oleh pengasuh orang Papuanya. Patinggi adalah bayi laki-laki dari Kapitan Hitu terakhir, Kakiali, dan cicit dari pendirinya, Jamilu. Dengan enggan para laki-laki memutuskan lebih baik meninggalkan anak tersebut karena tersebut tidak akan selamat dari kesulitan di hutan (Rijali 2004: 102.12-21). Patinggi (Yang Tertinggi) adalah gelar yang diberikan kepada Jamilu pada masa ia memimpin kebangkitan Hitu sebagai pemerintahan yang kuat dan sukses oleh Ratu Japara, Nyai Bawangd, karena namanya dalam bahasa Jawa berarti “Jangan Mengikuti” (Rijali 2004: Mal. 14.11-14-19). Bahwa keturunan terakhir dari garis keturunan Jamilu yang memerintah Hitu – terlalu muda untuk mempertahankan warisannya melawan Belanda dan memimpin kehancurannya – disebut juga Patinggi adalah sebuah ironi : sebagai anak kecil, ia jelas tidak mampu menolak nasib Hitu.

 

Hikayat Rijali sebagai Kronik Silsilah Melayu?

Dua model penting penulisan babad gaya Melayu yang mungkin beredar pada masa Rijali adalah Hikayat Raja Pasai (Sejarah Para Penguasa Pasai; Jones 1987) dan Sulalat al-Salatin (Silsilah Para Sultan Melayu, yang populer juga disebut Sejarah Melayu; A. Samad Ahmad 19798). Sebagaimana juga halnya dengan kronik-kronik dalam kebudayaan-kebudayaan lain di kepulauan Melayu-Indonesia, kronik silsilah Melayu terdiri dari kerangka silsilah – suksesi masa pemerintahan raja-raja suatu dinasti – yang di dalamnya dirangkai untaian narasi-narasi moral tentang masa lalu, yang memuat untuk meniru model perilaku ideal raja dan rakyatnya (Teeuw 1984: 43-4).

Kerangka silsilah tidak hanya mewakili waktu sejarah. Hal ini juga menunjukkan legitimasi dinasti tersebut. Hal ini dilakukan dengan 2 cara, salah satunya adalah dengan menunjuk kembali pada asal muasal dinasti supernatural dalam diri seorang pendiri yang, menurut kepercayaan pra-Islam yang kurang lebih kuat, pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil memiliki kekuatan suci yang memungkinkannya untuk menjamin keharmonisan dunia. Cara lain yang digunakan untuk menempatkan legitimasi dinasti ini adalah dengan menekankan kesinambungan suksesi kerajaan yang tidak terputus sejak asal muasalnya yang bersifat mitos (Braginsky 2004: 184; 187-8; Chambert-Loir 2005: 149-50).

Dalam kronik silsilah Melayu, asal muasal supernatural dan kesinambungan suksesi penguasa yang terputus bukanlah satu-satunya cara untuk menunjukkan legitimasi sebuah dinasti. Kronik tersebut juga harus melalui narasinya menunjukkan bahwa raja-rajanya dapat memerintah rakyatnya dengan adil. Oleh karena itu, dalam kronik silsilah Melayu, selain asal muasal supernatural dari garis keturunan kerajaan, ada momen penting lain yang harus diingat dan diperingati dari masa lalu: terbentuknya tatanan sosial yang patut dicontoh di dunia, dimana penguasa dan subjeknya membentuk kesatuan yang harmonis (Braginsky 2004: 184; 187-8).

Dalam kroniknya Rijali, kita tidak mendapatkan narasi yang dikembangkan dalam kerangka silsilah seorang penguasa. Karena Hitu tidak diperintah oleh seorang Raja tetapi oleh sebuah Dewan tinggi yang terdiri dari 4 perdana, maka kronik silsilah Melayu tidak dapat dijadikan model di sini. Hikayat juga tidak dimulai dengan mitos yang berasal dari supra natural atau bangkitnya kepercayaan pra-Islam terhadap kekuatan magis penguasa. Sesuai dengan doktrin Islam, Hitu terbukti didirikan berdasarkan kesepakatan bersama antar kelompok masyarakat, sebuah tatanan sosio-politik yang patut dicontoh, sebuah proses yang terjadi karena kehendak Allah.

Sebagaimana dalam kronik silsilah Melayu (Braginsky 2004: 184; 188-9), demikian pula dalam hikayat Rijali, naik turunnya sejarah “negara” diperlihatkan sebagai akibat dari dipatuhi atau dilanggarnya prinsip-prinsip pemerintahan yang benar, sebagaimana hal ini telah ditetapkan oleh para pendiri “negara”. Di sini, hikayat ini memiliki kesamaan dengan Hikayat Raja Pasai dan Sulalat al-Salatin – dan bahkan dengan kronik-kronik Muslim pada umumnya – yang memiliki daya tarik terhadap tema naik turunnya suatu negara sebagai perwujudan gagasan tentang hakikat manusia yang bersifat mulia (Braginsky 2004: 184; 189): historiografi sebagai homilie.

Sesuai dengan gagasan historiografi yang saleh ini, Rijali dalam epilog hikayatnya, yang menceritakan pelariannya dari Hitu dan pengasingannya, secara signifikan menggambarkan dirinya sebagai seorang dagang (orang asing/pedagang yang jauh dari kampung halaman). Ia melakukan hal tersebut ketika ia berbicara kepada salah satu tuan rumah selama pelariannya dengan kata-kata yang cukup lumrah dalam kesusastraan Melayu :” [S] orang asing yatim piatu/pedagang [................] tidak penting dan sendirian”9. Dengan kata-kata ini, ia tidak hanya mencirikan dirinya sendiri sebagai orang buangan dalam arti duniawi : orang asing yang terdampar di negeri asing tanpa sanak saudara yang melindunginya, yang meminta kesediaan tuan rumahnya untuk bertindak sebagai keluarga pengganti baginya (Koster 2007: 230-1)10

Pada saat yang sama, ia menggambarkan dirinya sebagai orang buangan dalam pengertian keagamaan : Setiap orang yang tidak berdaya, yang atas kehendak Yang Maha Kuasa telah dikutuk untuk hidup sebagai orang buangan di dunia ini dan seperti pedagang menunggu angin muson, berharap untuk kembali kepada Allah. Selama di dunia ini ia dengan sabar menanggung pukulan yang tidak dapat dipahami oleh takdir, seperti Ayub (Job-Ayub) yang sangat menderita, dengan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui (Koster 1997: 75). Rijali dan anak buahnya menunjukkan sikap tawakkal (percaya kepada Tuhan) ketika mencoba menerima kenyataan pahit jatuhnya Hitu, mereka pasrah pergi ke pengasingan sambil berkata : “Bagaimana bisa seseorang menentang kehendak Allah yang nama-Nya dipuji?? Yang terbaik adalah kita pergi ke pengasingan [........]”11

Sebenarnya cukup tepat jika Rijali memilih untuk menjadikan naratornya sepanjang hikayat berperan sebagai orang asing/pedagang yang jauh dari rumah (Koster 1997: 64-75), namun ia tidak melakukannya12. Sebaliknya, ia memilih peran narasi lain: peran sebagai “pemilik cerita” yang anonim (yang empunya cerita atau sahib ul-hikayat) (Brakel 1979: 4-5; Koster 1997: 53; 57; 59; 90). Rijali menggunakan rumusan peran konvensional ini dengan cara yang sangat menyimpang dari tradisi Melayu. Selain rumusan yang benar, “cerita berjalan dan diceritakan oleh pemilik cerita”, Rijali menghasilkan versi yang secara konvensional tidak dapat diterima, seperti “cerita berjalan dan saya menceritakan kisah yang saya miliki”. Seringkali Rijali hanya meminta naratornya mengatakan “Sekarang saya beritahu kalian bahwa [................]”13. Dalam sastra Melayu tradisional, narator tidak boleh berbicara sebagai individu pribadi yang memberikan pendapat atas otoritasnya sendiri (Koster 1997: 76-85; 152-3).

Apakah Rijali menyimpang dari konvensi Melayu karena dia belum begitu memahaminya atau hanya memberi isyarat sementara dia dengan sengaja memutarbalikkannya untuk mencapai tujuannya sendiri, masih belum jelas. Apapun jawaban yang benar, peran narator sebagai pemilik cerita tidak hanya meluas dalam genre kronik silsilah Melayu pada masa Rijali. Hal ini juga terdapat pada narasi prosa genre lain yang kemudian beredar, seperti Hikayat Inderaputera (Mulyadi 1983), Hikayat Seri Rama (Achadiati Ikram 1980), Hikayat Muhammad Hanafiyyah (Brakel 1975), Hikayat Iskandar Zulkarnain (Khalid Muhammad Hussain 1986), Hikayat Amir Hamzah (A. Samad Ahmad 1987), Hikayat Ibrahim bun Adham (Jones 1985) dan Bustan as-Salatin (Jones 1974; Siti Hawa Salleh 1992)14.

 

Epos kepahlawanan Melayu dalam Hikayat Rijali.

Epos kepahlawanan Melayu, yang pada dasarnya merupakan wacana tentang hal yang benar (patut) yang ditujukan untuk pengawasan sastra yang ketat terhadap realitas sejarah, hanya mengasumsikan legitimasi dan tidak memperdebatkannya seperti yang dilakukan oleh kronik silsilah. Meskipun kronik memberikan banyak ruang untuk merepresentasikan ketidakpantasan, epos kepahlawanan memberikan peringatan dan penegasan secara langsung terhadap agama (Islam) dan tatanan sosial-politik (kerajaan) (Koster 1997: 6). Sikap genre yang terpolarisasi dapat dicontohkan dengan mengutip epos kepahlawanan Prancis kuno, Chanson de Roland : Paiens unt tort et chrestiens unt dreit (Heathens are false and Christians are right – Kaum Kafir adalah salah dan kaum Kristen adalah benar;  Koster 1997: 6; Klein 1983: laisse 79, line 1015).

Plot yang biasanya ingin dihadirkan oleh epos kepahlawanan Melayu adalah kisah sukses: sebuah kisah tentang keberanian para pejuang untuk tujuan yang adil yang mendapat imbalan yang pantas. Motivasi alur cerita seringkali diungkapkan secara eksplisit dalam narasi, yaitu dengan mengucapkan sumpah kepahlawanan (bercakap) : pernyataan publik oleh bawahan, yang dibuat di hadapan junjungannya atau panglima perang lainnya, bahwa ia akan melakukan suatu perbuatan besar. Sumpah kepahlawanan merupakan landasan tatanan kerajaan-kerajaan Melayu. Dengan mengucapkannnya, sang bawahan mendapat kehormatan untuk melaksanakan apa yang telah ia bersumpah, seolah-olah ia telah menandatangani kontrak tertulis. Asumsi tersirat dari sumpah adalah keabsahannya dijamin oleh suara pembicara (Koster 1997: 6).

Sumpah kepahlawanan adalah sebuah doa, suatu peringatan yang dirumuskan, tentang asal-usul yang mulia, dan juga identitas, dari pembicara. Oleh karena itu, hal ini dapat dipahami sebagai upaya representasi diri (mengadakan) oleh pembicara. Keterpisahan yang bertahan lama antara sumpahnya dan tindakannya – yaitu, antara penanda dan petanda – tidak dapat diterima; ketika disjungsi tersebut terjadi dan kenyataannya yang tampak ternyata hanyalah kemiripan atau kepura-puraan (mengada-ada), maka hal tersebut harus diluruskan dengan menerapkan keadilan puitis : hukuman naratif bagi pembicara karena kesombongannya yang kosong, kepengecutannya, atau pengkhianatannya diejek di depan umum atau bahkan dibunuh (Koster 1997: 97-80; 111-3; 113-4; 119-20; 136).

Perhatian utama dari epos kepahlawanan ini adalah untuk memuji, sebagai contoh yang harus diikuti oleh generasi mendatang, bagaimana daulat sejati dari penguasa dan bawahan sejati dari anak buahnya terwujud dalam kata-kata, sikap dan perbuatan heroik mereka di dewan dan di lapangan. Dampak negatif dari hal ini adalah menyalahkan pihak-pihak yang tidak setia atau tidak layak dan – tentu saja – pihak musuh. Oleh karena itu, dibuatlah penyebutan selengkap-lengkapnya (sebut) nama-nama orang yang terlibat dalam perang tersebut, agar dapat dilestarikan untuk anak cucu (Koster 1997: 108-9). 

Seperti yang telah saya tunjukkan dalam Syair Perang Mengkasar (Skinner 1963) – sebuah karya yang ditulis dalam bahasa Melayu tidak lama setelah Makasar kalah perang dengan VOC (1666-1669) guna membantu menyelamatkan mukany dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya (Koster 2005: 78-79) – narasi telah dibangun dengan bantuan perangkat formula : formula tetap, sistem formula, dan tipe-tipe adegan. Tipe adegan yang banyak terdapat dalam puisi ini dan epos kepahlawanan lainnya dalam bentuk syait, seperti Syair Perang Siak (Goudie 1989; disusun pada kuartal terakhir abad ke-1815) dan Syair Perang Menteng (Woelders 1975; ditulis sekitar tahun 1820), adalah: lembaga perang, seringkali disertai dengan ikrar publik untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh pengikut penguasa (cakap), persiapan tentara, perjalanan ke medan perang, pertempuran, pelarian dari musuh, laporan kepada penguasa, dan sebagainya (Koster 1997: 109).

Meskipun puisi-puisi seperti Syair Perang Mengkasar dan Syair Perang Menteng seluruhnya ditulis berdasarkan genre epos kepahlawanan, ada juga teks yang genre tersebut dipadukan dengan genra lain. Salah satu genre yang dipadukan dengan epos kepahlawanan adalah kronik silsilah, seperti yang bisa kita lihat misalnya dalam Syair Perang Siak (Koster 1997: 7,128, 7; 133-139). Genre lain yang sering dipadukan dengan epos kepahlawanan adalah roman Panji dalam varian epiknya yang panjang – berbeda dengan liris pendek yang dicontohkan oleh karya seperti Syair Ken Tambunan (Teeuw 1996) – seperti yang kita temukan dalam Hikayat Cekel Wanengpati (Baharuddin Zainal 1965), Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma (Abdul Rahman Kaeh 1976), dan masih banyak karya sejenis lainnya (Koster 1997: 197-198).

Dalam kisah-kisah peperangan Hikayat Tanah Hitu, banyak ciri khas epos kepahlawanan Melayu yang dapat ditelusuri, tentu saja seringkali dengan perbedaan yang jelas. Ketika cerita-cerita ini tidak membatasi diri pada menceritakan pertempuran saja, mereka mengikuti pola dasar genre epos kepahlawanan: pengucapan sebuah janji yang diikuti dari jarak yang kurang lebih dekat dengan tipe adegan pertempuran. Contoh pola tersebut adalah kutipan Syair Perang Mengkasar berikut ini :

Kaicili’ Kalimata adalah pemandangan yang indah. / Dia adalah saudara ipar Raja Tallo'. / ‘Di mana pun kamu melihat Palakka dan pasukannya, / biarkan aku yang pertama menyerang mereka.’ // Beberapa hari kemudian / Kaicili’ Kalimata memimpin penyerangan. / Pertempuran tidak berlangsung lebih dari tengah hari / dan Arung Palakka, yang melihatnya, merasa ketakutan16.

      Kita melihat pola ini direplikasi dalam cerita berikut, tentang bagaimana seorang panglima perang Hitu berperang melawan Portugis:

Kemudian panglima perang Ulu Ahutan menyatakan di hadapan semua orang: ‘Jangan melakukan serangan mendadak dulu, kawan-kawan, biarlah saya yang pertama melakukannya. Jika musuh tidak mau menyerah, kalian semua harus menyerangnya.’ Kemudian dia mengucapkan seruan perang dan melemparkan dirinya ke tengah-tengah para pejuang yang tidak beriman, mengayunkan pedangnya, sehingga orang-orang yang terkutuk Allah dapat dikalahkan17.

Contoh yang lebih rumit mengenai pola perebutan janji dalam hikayat Rijali adalah kisah tentang bagaimana perdana Jamilu di pantai Hunimoa mengakhiri perlawanan pendudukan tersebut terhadap otoritas Hitu dengan membunuh komandannya:

Kemudian Perdana Menteri Jamilu berkata: ‘Bagaimana situasi perang itu?’ Dan mereka menjawab: ‘Komandan mereka sangat gagah berani. Ketika kami mendarat, dia keluar dan setiap kali mengambil posisi di haluan kapal kami di mana dia menyerang kami. Itu sebabnya kami tidak bisa mendarat. Itulah masalahnya orang itu.’ Setelah mendengar apa yang mereka katakan, Jamilu menyingsingkan lengan bajunya dan kemudian di hadapan semua orang membuat janji dengan kata-kata berikut: Dengan Kehendak Tuhan, Yang terpujilah namanya. , dan dengan restu agama Nabi, yang diberkati dan diselamatkan oleh Tuhan, jika saya tidak dapat mengalahkan pendudukan itu, saya tidak akan kembali.' Setelah itu dia membuat sebuah alat yang cerdik, memasang semacam ketapel di haluan kapalnya . Ketika dia sampai di wilayah pendudukan, dia mendarat. Kemudian komandan pendudukan itu keluar, dan setiap kali mengambil posisi di haluan [yaitu. kapal Jamilu]. Kemudian pelatuk alat cerdik itu dilepaskan dan atas Kehendak Tuhan, Yang Mahakuasa, sang komandan terkena pukulan mematikan dan orang banyak mundur dan mulai berlari mencari keselamatan; orang-orang itu dikejar dan pemukiman mereka dikalahkan. Setelah itu dia kembali dengan penuh kemenangan untuk makan, minum, dan berpesta. Dan semua orang kini berkata: ‘Memang benar perdana Jamilu adalah orang yang paling gagah berani dan paling pandai di Hitu!’ Setelah itu ia diberi hadiah berupa satu set baju baru dan mendapat kehormatan, dan tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya di tanah Hitu. (…)19.

Sambil menjalankan sumpah kepahlawanan konvensional dari tradisi Melayu, Rijali membuat Jamilu mengucapkan sumpahnya (becakap) bukan kepada seorang Raja – sesuai dengan konstitusi politik Hitu yang lebih egaliter dan republik – tetapi kepada para pejabat dan panglima perangnya, saat mereka berkumpul dalam dewan. Alih-alih membuka suasana dewan dengan rumusan umum “apa yang harus kita katakan” (apa bicara kita)20, yang antara lain merupakan cara penguasa mengundang mereka yang hadir untuk membuat janji, seperti yang kita lihat misalnya di Syair Perang Siak (Goudie 1989: vs. 237-244; Koster 1997: 131-2), Rijali memulai dewan dengan pertanyaan Jamilu “bagaimana situasinya” (betapa perintah). Kata-kata ini, yang juga digunakan di tempat lain dalam hikayat (Rijali 2004: Mal.54.12), mungkin merupakan rumusan yang berasal dari tradisi narasi lokal Hitu21.

Dalam epos kepahlawanan Melayu, pertarungan tersebut digambarkan sebagai pertarungan satu lawan satu antara bangsawan yang berstatus sama. Demikian pula, hikayat Rijali cenderung menggambarkan pertempuran tersebut sebagai konfrontasi antara 2 panglima perang berstatus tinggi yang bertindak sebagai paladin dari kedua belah pihak, dan orang-orang biasa pada umumnya hanya menonton. Sepanjang hikayat, panglima perang yang berperang di pihak Hitu – baik orang Hitu maupun sekutunya – digambarkan sebagai pahlawan (paladin), mardan (pahlawan) atau pendagar (pemimpin pasukan)22. Dalam peperangan semacam ini, pertempuran ditentukan ketika salah satu dari 2 paladin dikalahkan oleh yang lain, seperti yang kita lihat terjadi dalam kisah Rijali tentang kemenangan Jamilu atas komandan Hunimoa serta dalam kisah perang lainnya dalam hikayat. 

Wijbrant Warwick bertemu dengan para pemimpin Hitu, ca 1599

Sedangkan dalam hikayat penyebutan pemberian hadiah-hadiah (karunia), misalnya satu set baju baru (persalinan), sebagai penghargaan bagi pejuang yang berhasil, sepenuhnya sesuai dengan konvensi Melayu, seperti terlihat dalam Syair Perang Mengkasar (Skinner, 1963: vs.200-202.b; Koster 1997: 121-122), hal ini tidak dapat dikatakan tentang kata-katanya “kemudian dia (yaitu Jamilu) kembali dengan penuh kemenangan untuk makan dan minum dan berpesta”, meskipun kata-kata tersebut sering muncul bersamaan dengan pemberian imbalan. Kata-kata ini, yang diulang-ulangi dalam cerita-cerita hikayat tentang perang (Rijali 2004: Mal. 8.23-9.2; 18.7-8; 22.4-5; 32.19-20; 71.18-19; 75.18-20) juga nampaknya sebuah formula yang diambil alih dari tradisi Hitu.

Contoh terbaik dari epos kepahlawanan ala Melayu dalam hikayat terdapat dalam sebuah kisah perebutan (menurut sumber VOC tanggal 12 April 1621) pemukiman orang Banda di Lontor oleh Belanda. Kisah ini diceritakan oleh Rijali, yang merupakan saksi mata peristiwa tersebut, dari sudut pandang seorang Hitu yang saat itu masih bersahabat dengan Belanda. di dalamnya ia menceritakan bagaimana pasukan Gubernur Jend Jan Pieterszoon Coen mengakhiri perlawanan bersenjata para pemimpin Banda, yang menolak monopoli Belanda atas perdagangan rempah-rempah dan bertahan untuk terakhir kalinya di Lontor :

Kemudian Jenderal (yaitu Gubernur Jenderal) berkata: ‘Bagaimana perang ini berlangsung?’ Lalu semua orang berkata: ‘Perang ini berlangsung sedemikian rupa.’ Kemudian Jenderal berkata: ‘Jika situasinya seperti itu lalu apa yang harus kami katakan sekarang?' Dan orang-orang itu semua berkata: 'Apa pun perintah kalian, kami akan melaksanakannya.' Setelah masing-masing dari mereka berjanji [kesediaannya untuk berperang], Jenderal berkata: 'Untuk dia yang mendarat lebih dulu dan mengalahkan pemukiman akan saya berikan seribu real, ditambah makanan dan pakaian, dan dari rampasan yang ditaklukkan oleh tentara rakyat jelata dia akan mendapatkan pilihan pertama apa pun yang dia suka. Sisanya kemudian akan dibagi di antara prajurit biasa. Kemudian seorang kapten, bernama Vogel, membuat janji di hadapan Jenderal dan semua pejabat, sambil mengucapkan kata-kata berikut: 'Saya akan menjadi orang pertama yang pergi ke darat, dan jika saya tidak dapat mengalahkan pemukiman tersebut, saya tidak akan melakukannya. kembalilah.’ Setelah itu dia menegaskan janjinya kepada sang Jenderal dan diberi brendi dalam rummer yang digunakan untuk memberi penghormatan kepada sang Pangeran. Itulah kebiasaan mengukuhkan janji dengan orang-orang itu. Selanjutnya, ketika malam tiba, Gubernur Houtman dan para kaptennya diturunkan ke darat. Dia naik ke darat di belakang pemukiman dan kapten Vogel, kapten Colff, kapten Gomale, kapten Jepang, kapten Siau dan semua kapten lainnya serta anak buahnya naik dari pantai sampai mereka berdiri di depan pemukiman. Ketika matahari terbit, genderang perang yang besar dibunyikan dan suara serta gemuruh senjata bagaikan guntur di langit. Dan orang-orang Banda juga maju dalam formasi pertempuran. Kemudian kedua belah pihak bertempur seperti orang-orang yang berbondong-bondong pergi ke pasar, berjualan, membeli, dan bertukar dagangan. Tidak ada hal lain yang bisa diceritakan selain bahwa mereka bertempur di sana sejak dini hari. Ketika hari sudah sore atas kehendak Penguasa Segala Alam, orang Belanda Kapten Houtman yang telah mendarat di belakang pemukiman berhasil memasuki pemukiman dan terdengar gemuruh senjata dan kegaduhan besar di dalamnya. Setelah itu perlawanan para pejuang Muslim dipatahkan, dan karena tidak dapat masuk kembali ke pemukiman tersebut, mereka pergi ke desa Dender dan Waier untuk berkumpul kembali di sana dan Belanda menduduki pemukiman Lontor. Dan para kapten serta orang-orangnya kembali ke kapal mereka dan sang Jenderal menepati semua janji yang telah dibuatnya kepada para panglima perangnya23.

Dalam contoh di atas kita melihat bagaimana Rijali menyusun deskripsinya tentang dewan perang Belanda berdasarkan pola konvensional dari contoh-contoh sastra Melayu yang ia buat. Secara struktural dan dalam penggunaan formula bahasa, dewan ini juga sangat mirip dengan dewan perang Jamilu dengan perdana dimana ia berjanji secara pribadi untuk pengakhiri perlawanan orang-orang Hunimoa (Hunimoan). Meski demikian, Rijali tidak sekedar mengikuti konvensi, namun juga tetap membuka mata terhadap apa yang secara khusus bersifat Belanda dalam adegan-adegan yang digambarkannya. Kita melihat hal in dalam referensinya yang realistis tentang Kapten Vogel24/f yang menegaskan janjinya kepada Gubernur Jenderal dengan meminum brendi dari minuman yang digunakan untuk menghormati Pangeran Oranye.

Salah satu unsur yang jelas-jelas tidak sesuai dengan konvensi Melayu dalam sumpah Kapten Vogel adalah rujukannya pada dirinya sendiri dengan kata ganti orang pertama [yaitu] Beta. Dalam bahasa Melayu, kata ganti ini hanya digunakan oleh kalangan bangsawan, namun dalam bahasa Melayu Ambon yang berbentuk pidging yang berkembang pada awal abad ke-18 (Rijali 2004: 25; 30) kata ganti ini adalah kata yang dapat digunakan oleh siapapun untuk menyebut dirinya sendiri. Konvensi Melayu dengan setia diikuti dalam deskripsi Rijali tentang pasukan yang mengambil posisi dan pertempuran yang mereka lakukan. Di sini – dan di bagian lain dalam hikayatnya (Rijali 2004: Mal. 20.16-18; 29.21-23) – ia menggambarkan pertempuran tersebut dengan metafora pertukaran dagang : sebagai “perdagangan” pukulan/perkelahian. Rijali juga mengikuti konvensi Melayu dengan menyebutkan (sebut)25dan dengan demikian dikenang oleh anak cucu – nama-nama orang yang menonjol dalam aksi militer penting ini.

Dalam kesusastraan Melayu yang serius dan juga lebih lucu yang beredar pada masa Rijali, penulis diharuskan membuat deskripsi pertempuran yang lebih luas berdasarkan pola formula motif tradisional. Pola ini, yang akan kita temukan diwujudkan dengan banyak variasi dan dengan sedikit banyak amplifikasi dalam setiap teks, kira-kira terdiri dari motif-motif berikut : 1. Memasuki medan perang; 2. Permainan musik; 3. Pengibaran spanduk; 4. Penyusunan laki-laki dalam barisan pada kedua sisinya; 5. Meningkatnya seruan/panggilan perang; 6. Dentang pedang; 7. Sorak-sorai kemenangan, dan sebagainya. Corak motif inilah yang dapat kita lihat juga dalam uraian Rijali tentang pertempuran antara Belanda dan Banda di Lontor. 

Uraian peperangan berdasarkan pola rumusan tersebut banyak ditemukan dalam hikayat yang beredar di dunia Melayu pada masa Rijali, seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain (Khalid Muhammad Hussain 1986), Hikayat Panda Lima (Khalid Muhammad Hussain 1992), Hikayat Seri Tama (Achadiati Ikram 1980), Hikayat Raja Pasai (Jones 1987), dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah (Brakel 1975). Saya mengutip contoh dari paruh kedua Hikayat Muhammad Hanafiyyah (Kisah Muhammad Hanafiyyah)26, sebuah karya yang diterjemahkan dari bahasa Persia ke bahasa Melayu sekitar tahun 1450. Pada paruh ini –yang secara keseluruhan merupakan semacam epos kepahlawanan- kita diceritakan tentang 13 tahun perang oleh Muhammad Hanafiyyah dan 8 saudara angkatnya. Mereka berperang dengan gerombolan orang Portugis, Cina, Etiopia, dan Zanzibar yang dipimpin oleh Yazid, putra khalifah Mu’awiah yang merebut kekuasaan dari Umayyah, untuk membalas pembunuhan yang dilakukan Yazid terhadap putra sah khalifah Ali, yaitu Hasan dan Hussain (Brakel 1975: 64-71; Braginsky 2004: 180-183).

Kemudian Muhammad Hanafiyyah memerintahkan tentaranya untuk menabuh genderang perang dan mereka menabuh genderang perang. Dan Muhammad Hanafiyyah dan saudara-saudaranya bergerak maju ke tengah lapangan dan mengambil posisi masing-masing, berdiri dalam barisan. Dan para prajurit Yazid pun bergerak maju ke tengah lapangan, dan mengambil posisi berdiri dalam barisan. Kemudian tentara dari kedua belah pihak berdiri saling berhadapan, dan tentara Yazid kini memasuki medan pertempuran dan masing-masing menyerang ke arah Muhammad Hanafiyyah. Ketika dia melihat hal ini Muhammad Hanafiyyah pun ikut berperang bersama saudara-saudaranya dan masing-masing menyerang  (ke arah musuh). Kemudian terjadilah pertempuran besar […]. […] Kemudian teriakan perang para panglima perang juga terdengar, dan dentang pedang terdengar nyaring, dan teriakan perang serta sorak-sorai kemenangan bergema seperti gemuruh guntur di langit27.

Kita menemukan persamaan – yang sangat mirip sehingga orang hampir mengira bahwa ini diambil dari Hikayat Muhammad Hanafiyyah – dalam deskripsi Rijali tentang pertempuran dalam episode Portugis dalam hikayat tersebut. Di sana ia menceritakan kepada kita dengan kata-kata berikut bagaiman Dom Duarte de Meneses, setelah tiba dari Portugis dengan armadanya (pada tahun 1569, sebenarnya sebagai orang kedua di bawah komando Laksamana Gonçalvo Perreira Marramaque, lihat Rijali 2004: 116, catatan kaki 55) menghadapi orang Hitu :

Lalu dia [yaitu. Dom Duarte] mendarat dan memasuki medan perang saat seruling, drum, dan “obo” [shawm]h memainkan berbagai nada. Dan [Portugis] kemudian mengibarkan panji-panji mereka dan para pejuang Muslim pun melakukan hal yang sama. Komandan dan paladin mereka mengambil posisi masing-masing. Dan kedua belah pihak berdiri saling berhadapan bagaikan orang yang sedang shalat menghadap ke arah Mekkah. Dan kemudian kedua belah pihak melontarkan seruan perang yang terdengar seperti gemuruh guntur di langit. Dan dalam waktu singkat pahlawan Khatib ibn Maulana dan pahlawan Tahalele, putra Abubakar Nasiddik, keduanya bersaksi tentang keimanan mereka dengan mengorbankan nyawa mereka28.

 

Kesimpulan

Di atas saya telah mengkaji apakah dan jika demikian, sejauh mana Rijali telah memberikan bentuk dan makna pada narasi Hikayat Tanah Hitu dengan mengikuti model dan konvensi umum dari sastra Melayu, lebih khusus lagi yang ada dalam kronik silsilah dan epos kepahlawanan. Apa yang saya temukan adalah bahwa hikayatnya hanya sebagian meniru kronik silsilah Melayu : sebuah kerangka silsilah yang di dalamnya dirangkai narasi-narasii moral/teladan. Hikayat Rijali memiliki kesamaan dengan genre tersebut mengenai keprihatinan mengenai perdebatan legitimasi. Namun, karena Hitu adalah sebuah republik para pedagang yang diperintah oleh sebuah lembaga perdana yang hanya menganut prinsip-prinsip Islam saja dan bukan sebuah kerajaan dengan kepercayaan yang kurang lebih tertanam dalam mistik kerajaan pra-Islam, maka Hitu tidak dapat menggunakan satu garis pun dari suksesi oleh para penguasa sebagai kerangka waktu narasinya, dan tidak ada tempat untuk menceritakan mitos yang berasal dari supranatural.

Kesamaan Hikayat-nya Rijali dengan kronik silsilah Melayu yang beredar pada zamannya, seperti Hikayat Raja Pasai dan Sulalat al-Salatin, adalah dimulai dengan penetapan pakta sosial politik yang terjalin sesuai dengan kehendak Allah dan kemudian menceritakan tentang naik turunnya sebuah “negara”, sebagai akibat dari mematuhi atau melanggar perjanjian ini. Hikayat ini juga memiliki kecenderungan yang sama dengan kedua kronik ini ­– dan historiografi Muslim pada umumnya – untuk mengubah sejarah menjadi homili dengan memberinya bentuk perumpamaan tentang lenyapnya seluruh kebesaran manusia dan kejayaan duniawi.

Sebagai sebuah kronik, hikayat tidak menceritakan tentang pendakian tanpa henti dari dusun yang tidak dikenal menuju kejayaan, yang hanya diikuti menjelang akhir teks dengan kejatuhan yang tiba-tiba, seperti yang terjadi dalam Sulalat al-Salatin (Braginsky 2004: 189). Sebaliknya – dan dalam hal ini paling dekat dengan Hikayat Raja Pasai – buku ini menceritakan kebangkitan dan kejatuhan Hitu dengan menyeimbangkan kedua periode ini secara simetris dalam narasi yang panjangnya kurang lebih sama (Braginsky 2004: 184). Khususnya pada bagian ketiga hikayat ini, dimana narasinya cenderung tidak hanya terdiri dari rangkaian episode-episode yang disandingkan secara naif namun juga menunjukkan tragedi pengkhianatan tersebung, hal ini mencapai apa yang bagi sebuah kronik merupakan tingkat narasi yang cukup tinggi, kekuatan penjelas dan penutup.

Sehubungan dengan kecenderungan homiletiknya, hikayat tersebut, sesuai dengan konvensi Melayu, bisa saja diberi seorang dagang (pedagang/orang asing) sebagai naratornya. Dalam epilognya, Rijali memang menggambarkan dirinya seperti demikian. Namun demikian, sepanjang narasinya ia tidak menampilkan dirinya sebagai seorang dagang, melainkan sebagai yang empunya ceritera (pemilik cerita), sebuah peran yang tidak hanya ditemukan dalam kronik silsilah tetapi juga dalam genre hikayat lain. Namun, ia mendistorsi konvensi ini dan bertentang dengan semangatnya dengan sesekali mengubah rumusan referensi diri narator menjadi, misalnya, aku yang empunya ceritera dan dengan demikian mengedepankan otoritasnya sebagai orang pribadi yang berbicara atas namanya sendiri.

Dalam bagian-bagian epos kepahlawanananya, kita melihat hikayat tersebut di satu sisi mengikuti model Melayu, namun di sisi lain memperkenalkan ciri-ciri yang pasti berasal dari Hitu. Narasinya berpola setia pada matriks adu ikrar/sumpah, yang modelnya tidak hanya ditemukan dalam teks-teks yang sepenuhnya dan hanya berdasarkan genre tersebut, seperti Syair Perang Mengkasar, namun juga dalam teks-teks yang epos kepahlawanannya hanya sekedar campuran dan genre lain yang adalah dominan, seperti roman Panji Hikayat Cekel Wanengpati. Dalam upayanya untuk mengabadikan kenangan orang-orang yang berperang dengan menyebutkan nama mereka (sebut) dan juga dalam deskripsi rumusan pertempurannya, kita melihat hikayat ini sangat mengikuti konvensi Melayu.

Yang membedakan epos kepahlawanan Rijali dengan epik kesusastraan Melayu adalah bahwa ia tidak memasukan ciri-ciri genre yang penting dalam tatanan kerajaan-kerajaan Melayu, seperti menganggap ikrar/sumpah para pejuang didorong oleh kekuasaan kerajaan (daulat) dari penguasa atau memikirkan kemegahan dan keadaan saat berbaris untuk berperang (Koster 1997: 106-7; 111-2; 116-117). Seperti dalam kasus kronik silsilah, demikian pula dalam kasus epos kepahlawanan, tatanan sosio-politik Hitu tidak memberikan ruang bagi penggabungan unsur-unsur yang berhubungan dengan tatanan kerajaan.

Meskipun Van Ronkel salah dalam mendeskripsikan isi hikayat sebagai sebuah sejarah dan penilaian negatifnya terhadap kualitasnya sebagai karya sastra, ia benar setidaknya dalam satu hal: sebagai akibat dari penyimpangannya dari model-model Melayu – bahkan terkadang menggunakan rumusan yang mungkin berasal dari Hitu – kadang-kadang menunjukkan kualitas yang jelas-jelas bukan Melayu. Namun, karena Rijali dengan jelas mempolakan karyanya berdasarkan genre dan konvensi Melayu, kita tidak boleh menolak untuk memberikannya tempat, meskipun mungkin agak margina, dalam warisan sastra Melayu tradisional.

===== selesai =====

 

Catatan Kaki:

  1. Fragment van eene geschiedenis van Ambon, Hitoe, Makassar, Banda in den tijd vóór de komst der Europeanen en kort daarna. Waarschijnlijk is deze uiterst slecht geschreven tekst vertaald uit het Makassaarsch; of dit geschrift eenige historische waarde heeft, valt zonder gezette lectuur en vergelijking met andere geschiedverhalen niet te zeggen
  2. Mengenai sejarah naskah Cod. Or 5448, yaitu varian versi Hikayat Tanah Hitu dalam naskah Cod Or 8756 yang disimpan di Legatum Warnerianum, dan alasan mengapa edisi dalam Rijali (2004) didasarkan pada Cod.Or 5446, lihat Rijali (2004: 15-19)
  3. Untuk evaluasi buku dan ringkasannya dalam versi bahasa Inggris pada bagian pendahuluannya, lihat artikel review tambahan di Koster (2008)
  4. Tentu saja tidak dapat diabaikan bahwa Rijali, selama tinggal bersama Karaeng Patinggaloang, selain membaca karya-karya historiografi Melayu, melalui diskusi dengan tuan rumahnya, juga memperoleh pengetahuan tentang kronik-kronik Barat dan Makassar. Tentang kronik Makassar, lihat Noorduyn (1975) dan Cummings (2007)
  5. Mengenai tulisan-tulisan sejarahwan naratif modern yang pada dasarnya merupakan produk operasi pembuatan fiksi, lihat White (1978: 81-100)
  6. Nomor-nomor tersebut mengacu pada halaman dan baris teks hikayat Melayu yang diRomanisasi seperti yang diterbitkan dalam Rijali (2004)

7.       Al kissah dan kuceriterakan yang empunya ceritera (Rijali 2004: Mal.18.15); Lain daripada itu tiada kuceriterakan (Rijali 2004: Mal. 35.8-9).

8.       Mengenai banyaknya varian Sulalat al-Salatin, lihat Chambert-Loir (2005: 131-3). Demi kemudahan saya hanya merujuk pada varian yang diterbitkan oleh A. Samad Ahmad, yang tersedia untuk konsultasi di internet pada Malay Concordance Project.

9.       [D]agang (…) piatu yang hina kara(n) (Rijali 2004: Mal. 105-17-21).

10.     Pada awal hikayatnya Rijali, kita melihat pemimpin kelompok pendatang baru mengambil sikap seperti dagang piatu terhadap Jamilu, yang kemudian telah mapan di Hitu dan oleh karena itu menjadi milik anak empunya negeri, yaitu mereka yang tanahnya Hitu, seperti saat ia meminta tangan putrinya (Rijali 2004: Mal. 5.3-5; 5.17-18; 6.3)

11.       Apatah daya kehendak Allah ta’ala? Baik membuang diri kita […] (Rijali 2004: Mal. 104.10-12).

12.      Halaman pertama atau halaman Cod.Or 5448 hilang. Bisa dibayangkan, seperti yang dilakukan Rijali pada epilog hikayat tersebut, ia menampilkan dirinya dalam prolog di halaman yang hilang dalam peran sebagai orang buangan (dagang) dalam arti duniawi dan religius.

13.      Al kissah dan diceriterakan oleh yang empunya ceritera (Rijali 2004: Mal. 12.5; 25.10); al kissah dan kuceriterakan yang empunya ceritera (Rijali 2004: Mal. 16.22; 18.15; 31.10; 32.6; 33.3); maka kuceritakan (Rijali 2004: Mal. 38.5; 61.23; 65.26; 75.6; 79.20; 86.4).

14.     Penelusuran dalam konkordansi Melayu Proudfoot untuk kemunculan kata empunya dan ceritera secara berurutan dalam teks-teks ini, menghasilkan sejumlah hasil sebagai berikut: 14 in Hikayat Raja Pasai; 16 in Sulalat as-Salatin; 19 in Hikayat Inderaputera; 1 in Hikayat Seri Rama; 23 in Hikayat Muhammad Hanafiyyah; 3 in Hikayat Iskandar Zulkarnain; 42 in Hikayat Amit Hamzah; 8 in Hikayat Ibrahim ibn Adham; 4 in  Bustan as-Salatin.

15.      Lihat Koster (1997: 129-31) tentang tanggal penyusunan. Untuk pandangan yang berbeda mengenai hal ini, lihat Goudie (1989: 36; 39-43; 47-63).

16.     Cili Kalimata terlalu elok / menjadi ipar kepada rajá di Telo’ / barang di mana ketumbukan si Tunderu’ / biarlah aku ke sana masuk // selang pun tidak berapa hari / Cili’ Kalimata yang mengeluari / berperang tidak setengah hari / si Tunderu’ melihat adalah ngeri. (Skinner 1963: vs. 319-20; Koster 1997: 109-10).

  1. Maka hulubalang Ulu Ahutan ia becakap di hadapan orang sekalian: ‘Janganlah dahulu orang keluar, biarlah aku sendiri keluar dahulu. Apabila tiada patah orang itu, tuhan-tuhan sekalian keluar.’ Lalu ia bertempik ke dalam tentara kafir itu serta menettak, maka patah parang laknat itu. (Rijali 2004: Mal. 33.19-24).

18.      Untuk contoh lebih rinci mengenai pola adu ikrar/sumpah dalam Syair Perang Mengkasar, lihat Koster (1997: 111-122).

19.     Maka kata perdana Jamilu: ‘Betapa perintah parangnya itu?’ Maka menyahut orang itu: ‘Ada pun panglimanya itu terlalu sangat gagahnya. Apabila kita langgar ke darat, maka ia keluar, lalu sekali-kali di aluan angkatan itu serta menetta. Sebab itulah maka tiada dapat turun. Demikianlah halnya orang itu.’ Tellah didengar kata orang demikian itu, serta menyingsing tangan bajunya, lalu ia becakap di hadapan orang sekalian, demikian katanya: ‘Insya Allah taala berkat agama rasul Allah salla ‘llahu alaihi wa-sallama, jika beta tiada dapat alah kepada negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Tellah demikian itu maka ia membuat suatu maslahat serta dengan panah di aluan kelengkapannya itu, Hatta ia datang, lalu langgar ke darat. Maka panglima negeri itu keluar, lalu sekali-kali di aluan kelengkapan itu. Maka dilepas kepada maslahat itu serta dengan kehendak Allah taala kennah panglimanya itu mati dan orang banyak itu pun undur serta lari. Maka diikut belakangnya orang itu, lalu alah kepada negerinya. Tellah demikian itu, maka ia kembali dengan kemenangannya makan minum bersuka-sukaan. Maka kata orang sekalian: ‘Bennarlah perdana Jamilu pahlawan dan bijaksana dalam tanah Hitu.’ Lalu disalin dan dimuliah kepadanya, tiada seupamanya lagi dalam tanah Hitu. […] Itulah kehendak Tuhan Yang Mahamurah kepada makhluknya, berbahagia seseorang-orang dalam dunia (Rijali 2004: Mal. 17. 13 -18. 15).

20.    Dalam adegan-adegan dewan hikayat rumusan apa bicara kita hanya muncul satu kali dalam varian betapa bicara kita sekarang (Rijali 2004: Mal. 54.14-15). Mungkin merupakan ciri khas masyarakat pedagang, dalam hikayat Rijali rumusan normal untuk membuka suasana dewan adalah betapa tipu kita (Rijali 2004: Mal. 10.12; 10.18; 24.6; 42.6; 51.2; 91.6; 93.10; 102.15). Latar belakang sosio-politik yang sama mungkin juga menjelaskan pentingnya beberapa adegan dewan Rijali – berbeda dengan adegan dewan dalam teks-teks tradisi sastra Melayu – yang dikaitkan dengan pertanyaan apakah menerima proposal dapat membawa faedah (keuntungan) (Rijali 2004: Mal .4.22-24; 9.11; 15.20-25; 16.2-4; 39.6-7).

21.      Sekitar tahun 1544, sebuah sumber Portugis melaporkan bahwa orang-orang Tenatea pada dekade pertama abad keenam belas tidak menuliskan sejarah mereka tetapi 'mempercayakan masa lalu mereka ke dalam ingatan, dengan bantuan ucapan, lagu dan balada, yang mereka sukai' (Yacobs 1971: 84-5). Dengan masuknya Islam masyarakat mulai semakin banyak menuliskan sejarahnya dalam bentuk hikayat, sejarah-sejarah dan syair (Rijali 2004: 23). Meskipun Hikayat Tanah Hitu sebagian ditulis berdasarkan sumber lisan, namun menurut catatan redaksi Rijali 2004, terdapat jarak yang cukup jauh dalam bentuk dan isi antara tulisan Rijali dan sumber lisan Hitu (Rijali 2004: 25). Mengenai tradisi bercerita di Maluku, lihat Straver (1993).

22.     Untuk penggunaan semua istilah ini lihat, misalnya, deskripsi dalam Rijali (2004: Mal. 22-23) tentang Perang Suci yang dilancarkan pada tahun 1569 oleh orang Hitu di Hatiwe melawan pasukan Dom Duarte de Meneses.

  1. [M]aka kata jeneral: ‘Betapa perintah parang itu?’ Maka kata orang semuhanya: ‘Demikianlah parang orang itu.’ Maka kata jeneral: ‘Jika bagai demikian itu betapa bicara kita sekarang?’ Maka kata orang semuhanya: ‘Mana perintah jeneral itu kami kerjakan.’ Serta dengan cakapnya orang semuhanya itu, lalu kata jeneral: ‘Jika siyapa naik dahulu maka alah negeri itu, seribu real kuberi kepadanya. Lain makanannya dan pakaiannya dan apa-apa rampasan dalam orang banyak itu mana sukanya ia ambil dahulu. Kemudian tinggalnya itu kepada orang sekalian.’ Maka seorang kapitan Pugel namanya, ia bercakap di hadapan jeneral dan orang besar semuhanya, demikian katanya: ‘Beta naik dahulu, jika tiada boleh alah negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Lalu ia berteguhan kata dengan jeneral, maka diberinya minum arak pada tempat minuman prings. Itulah adat berteguhan janji kepada orang itu. Tellah demikian, hatta datang malam, maka diturunkan gurendur Hutman akan kapitan. Ia naik dari belakang negeri dan kapitan Pugel dan kapitan Kuluf dan kapitan Gemala dan kapitan Jupun dan kapitan Siyau dan sekalian kapitan serta orang banyak semuhanya naik dari laut di hadapan negeri. Hatta terbit matahari, dipalu gendarang parang dan riuh serta bunyi bedil seperti guruh di atas langit, dan orang Bandan pun serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang berpasarang beramai-ramaian, jual beli, tukar-menukar. Tiada habar kepada yang lain lagi sehingga sana berparang daripada bakda subuh. Hatta datang bakda lohor serta dengan kehendak Tuhan sarwa sekalian alam, maka Wolanda daripada kapitan Hutman ia naik dari belakang negeri, ia masuk ke dalam serta bunyi bedil dan riuh dalam negeri. Maka patahlah parang Islam itu, tiada boleh masuk ke negeri lagi, lalu masuk ke negeri Ander (Dender) dan Waier, berhimpunlah di sana dan Wolanda pun duduk di negeri Lontor. Maka sekalian kapitan serta orang banyak itu pun pulang kepada kelengkapannya dan jeneral pun pekatahan yang diperjanjikan kepada panglimanya itu semuhanya dikerjakannya. (Rijali 2004: Mal. 54.12-55.22).
  2. Sebenarnya Kapten Marten Jansz.Visscher, yang nama panggilannya adalah ‘Vogel’ (Burung) (Rijali 2004: 153, catatan kaki 149).

25.     Tentang pentingnya [kata] sebut, lihat khususnya permintaan maaf Rijali (Rijali 2004: Mal. 29.1-17) karena tidak menyebutkan nama seluruh komandan armada Ternate yang pada tahun 1570 tiba di Hoamoal menemani stadtholder semenanjung sultan Ternate, Rubohongi ( Penghancur Armada), yang datang untuk membantu orang Hitu di sana dalam perjuangan mereka melawan Portugis (Rijali 2004: 121 note 75). Untuk referensi lain mengenai perlunya [kata] sebut lihat (Rijali 2004: Mal. 75.2-6; 81.11-15; 98.2-4).

26.    Contoh adegan pertempuran berdasarkan pola motif ini di Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Seri Rama, Hikayat Raja Pasai, Hikayat Si Miskin, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Inderaputra and Hikayat Cekel Wanengpati, see Brakel (1979: 26-30).

  1. Maka Muhammad Hanafiyyah pun lalu menyuruh memalu genderang perang pada segala laskarnya, maka dipalu oranglah genderang perang. Maka keluarlah Muhammad Hanafiyyah dengan segala saudaranya ketengah medan berdiri, bersaf-saf. Maka segala laskar Yazid pun keluarlah ketengah medan berdiri, bersaf-saf. Maka kedua pihak laskarpun berhadapanlah, maka laskar Yazid pun masuk peranglah ia masing-masing menyerbukan dirinya kepada Muhammad Hanafiyyah. Setelah dilihat Muhammad Hanafiyyah, maka iapun masuk perang dengan segala saudaranya masing-masing menyerbukan dirinya. Maka pada ketika itu jadi perang besarlah [...]. [...] Maka tempik segala hulubalang juga kedengaran, dan bunyi khanda segala hulubalang gemerencang bunyinya, dan tempik sorak segala hulubalang seperti guruh dilangit bunyinya [...]. (Brakel 1975: Vol. 1, II.19: 6-43). For other such battle-scenes in Hikayat Muhammad Hanafiyyah, see Brakel 1975: Vol. 1, II.1: 153-161; II.7: 185-194; II.9: 157-162; 373-378; II. 20: 39-44.
  2. [M]aka ia naik ke darat, lalu masuk ke medan dan berbunyilah gendang, suisa dan serunai, caramel pelbagailah bunyi-bunyian. Maka didirikan panji-panji parang dan tentara Islam pun demikian lagi. Panglimanya dan pendagarnya serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak berhadapan seperti orang bersembahyang mengadap kepada kiblat. Lalu bertempik kedua pihak itu upama guru di atas langit bunyi tempiknya. Hatta seketika juga mardan Khatib ibn Maulana dan maradan Tahalele ibn Abubakar Nasiddik keduanya syahid (Rijali 2004: Mal. 20-29).

 

Catatan Tambahan

a.        Karaeng Pattingaloan adalah Penguasa Kerajaan Tallo yang berkuasa pada tahun 1641 – September 1654. Karaeng Pattingaloang adalah putra dari Karaeng Matoaya, yang juga penguasa Kerajaan Talo pada periode 1593 – 1623.

§  Andaya, Leonard.Y. The Heritage of Arung Palakka : A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, Martinus Nijhoff, Nederland, 1981, hal 39

§  Reid, Anthony, A Great Seventeenth Century Indonesian Family : Matoaya and Pattingalloan of Makasar, dimuat di Jurnal Masyarakat Indonesia, edisi VIII, bagian 1, Jakarta-LIPI, 1987 [kembali dimuat oleh Anthony Reid dalam buku yang dieditorinya, Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia, bab 7)

§  Cummings, William .P., A chain of Kings : The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq, KITLV Press, Leiden, 2007, hal 110

b.       Mandar Shah menjadi Sultan Ternate pada periode 1648 – 1675, namun sumber Francois Valentyn dan M. Adnan Amal menulis Mandar Shah menjadi Sultan Ternate pada periode 1648-1672

§  Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost Indie, eerste deel, tweede boek, Joannes van Braam en Gerard onder deLinden, Dordrecht en Amsterdam,1724 .... Hal 369

§  de Clerk, F.S.A. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890. (edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, Halaman 114

§  Amal, M. Adnan. Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250 – 1950, Universitas kairun, Ternate, 2002, Lampiran I, Hal 325

§  Widjojo, Muridan Satrio. Cross-cultural Alliance-making and local resistance in Maluku during the revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, 2007 apendiks 2, halaman 262,(disertasi doktor di universitas Leiden)

c.        Herman van Speult menjadi Gubernur VOC Amboina pada periode 1618-1625

§  Rumphuijs, Georgius Everhardus, De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal Der Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp: Het Besit in Amboina Gehadt Heeft. "s-Gravenhage, Martinus Nijhoff (eerste deel), caput 6, hal 35, caput 7, hal 35

§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel), [part II) Amboina Zaaken, zevende hoofdstuk, hal 2, Joannes van Braam, Dordrecht, 1724

§  Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 14-22)

§  Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 525

§  Knaap, G.J. Memories van Overgave van Gouverneur van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, 1987, hal xvi

d.       Nyai Bawang, Ratu Japara, adalah nama lain dari Ratu Kalinyamat, putri Sultan Demak, Sultan Trenggana. Sumber de Graaf dan Pigeud menulis nama lain dari Ratu Kalinyamat atau Nyai Bawang dengan nama Ratu Aria Japara atau Ratu Pajajaran

§  De Graaf, H.J. en Pigeaud, Th.G.Th, De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java : Studien over de Staatkundige Geschiedenis van de 15 de en 16 de eeuw, Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, 1974, hal 104 [edisi Bahasa Belanda]

§  De Graaf, H.J. en Pigeaud, Th.G.Th, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa : Peralihan dari Majapahit ke Mataram, PT. Graffiti Press, Jakarta, 1985 [edisi bahasa Indonesia]

e.        Homili berasal dari bahasa Yunani, Homilia, yang bermakna penjelasan atas suatu bacaan kitab suci yang telah dibacakan sebelumnya.

f.         Kapten Marten Jansz.Visscher atau Vogel, menurut sumber dari H.T. Colenbrander adalah seorang burger di Ambon pada paruh pertama abad ke-17

§  Colenbrander, H.T., Jan Pietersz Coen : Bescheiden Omtrent zijn bedrijf in Indie, deel I, Martinus Nijhoff, s,Gravenhage, 1919, hal 628

§  Tiele, P.A, Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, eerste deel, Martinus Nijhoff, s,Gravenhage, 1886, hal 276

g.        Pidgin adalah sebuah bentuk bahasa kontak yang digunakan oleh orang-orang dengan latar belakang penutur bahasa yang berbeda-beda

h.       Shawm adalah alat musik tiup abad pertengahan dan renaisans, cikal bakal alat musik obo, dengan buluh ganda yang dibungkus corong kayu dan memiliki nada yang tajam

 

Bibliography

§  Samad Ahmad (ed.). 1979. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  A. Samad Ahmad (ed.). 1987. Hikayat Amir Hamzah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Abdul Rahman Kaeh (ed.). 1976. Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma. Sebuah cerita Panji Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Achadiati Ikram (ed.). 1980. Hikayat Seri Rama; Suntingan naskah disertai telaah amanah dan struktur. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

§  Andaya, Leonard Y. 1981. The heritage of Arung Palakka. A history of South Sulawesi (Celebes) in the seventeenth century. ‘s-Gravenhage: Nijhoff.

§  Baharuddin Zainal (ed.). 1965. Hikayat Cekel Waneng Pati. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Barnes, Harry Elmer, 1963. A history of historical writing. New York: Dover Publications.

§  Braginsky, Vladimir. 2004. The heritage of traditional Malay literature. A historical survey of genres, writings and literary views. Leiden: KITLV Press

§  Brakel, L. F. 1975. The Hikayat Muhammad Hanafiyyah. A medieval Muslim-Malay romance. The Hague: Nijhoff.

§  Brakel, L.F. 1978? (ref in fn 26)

§  Brakel, L. F. 1979. On the origins of the Malay hikayat. Review of Indonesian and Malaysian Affairs (RIMA) 1979, pp.1-33

§  Brandt, William J. 1973. The shape of medieval history. Studies in modes of perception. New Haven and London: Yale University Press.

§  Chambert-Loir, Henri. 2005. The Sulalat al-Salatin as a political myth. Indonesia 79, pp. 131-60.

§  Cummings, William P. 2007.  A chain of kings. The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq. Leiden: KITLV Press.

§  Duggan, J.J. 1973. The Song of Roland: formulaic style and poetic craft. Berkeley: University of California Press.

§  Goudie, D. J. (ed.). 1989. Syair Perang Siak: A court poem presenting the state policy of a Minangkabau royal family in exile. Kuala Lumpur: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.

§  Jacobs, H. Th. Th. M. (ed.). 1971. A treatise on the Moluccas (c. 1544). Probably the preliminary version of António Galvão’s lost História das Molucas. Rome: St. Louis,

§  Jones, Russell (ed.). 1974. Nuru’d-din ar-Raniri, Bustan al-Salatin Bab IV, Fasal 1. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Jones, Russell (ed.). 1985. Hikayat Sultan Ibrahim ibn Adham; An edition of an anonymous Malay text with translation and notes. Lanham: University Press of America; Berkeley Center for South and Southeast Asia Studies, University of California.

§  Jones, Russell (ed.). 1987. Hikayat Raja Pasai.  Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti.

§  Khalid Muhammad Hussain (ed.). 1986. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Khalid Muhammad Hussain (ed.). 1992. Hikayat Pandawa Lima. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Klein, H. W. (ed.). 1983. La Chanson de Roland, Wilhelm Fink: München.

§  Koster, G. L. 1997. Roaming through seductive gardens. Readings in Malay narrative. Leiden: KITLV Press.

§  Koster, G. L. 2005. Of treaties and unbelievers: images of the Dutch in seventeenth and eighteenth-century Malay historiography. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 78, part 1, pp. 59-96.

§  Koster, G.L. 2007. Enemies or relatives: images of the Portuguese in Hikayat Hang Tuah. In Braginsky, Vladimir and Ben Murtagh (eds), The portrayal of foreigners in Indonesian and Malay literature. Essays of the ethnic ‘Other’, Lewiston, Queenston, Lampeter: The Edwin Mellon Press. pp. 207-262.

§  Koster, G. L. 2008. Hikayat Tanah Hitu: A rare local source of 16th and 17th century Moluccan history, Issue ‘Forgotten chroniclers of East Asia (16th-18th century)’, Revista de Cultura 28, 4th quarter, pp. 30-38.

§  Manusama, Z. J. 1975. Hikayat Tanah Hitu. Historie en sociale structuur van de Ambonse eilanden in het algemeen en van Uli Hitu in het bijzonder tot het midden der zeventiende eeuw. Leiden [unpublished Ph. D.].

§  Mulyadi, S. W. R. (ed.). 1983. Hikayat Indraputra. A Malay romance. Dordrecht: Foris.

§  Noorduyn, J, 1975. Origins of South Celebes Historical Writings. In Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink and G. McT. Kahin. An introduction to Indonesian historiography, Ithaca and London: Cornell University Press. pp.  137-155.

§  Ridjali. 2004. Historie van Hitu. Een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw. Bezorgd en ingeleid door Hans Stravers, Chris van Fraassen en Jan van der Putten. Utrecht: Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers.

§  Ronkel, Ph. S. van. 1921. Supplement-catalogus der Maleische en Minangkabausche handschriften in de Leidsche universiteits-bibliotheek. E.J. Brill: Leiden, 1921.

§  Ryding, W. W. 1971. Structure in medieval narrative. The Hague and Paris: Mouton

§  Siti Hawa Salleh (ed.). 1992. Bustan al-Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

§  Skinner, C. (ed.). 1963. Sja’ir Perang Mengkasar (The rhymed chronicle of the Macassar war) by Entji‘ Amin. s-Gravenhage: Nijhoff.

§  Spiegel, Gabrielle M. 1997. The past as text. The theory and practice of medieval historiography. Baltimore and London: Johns Hopkins University Press.

§  Straver, Hans. 1993. De zee van verhalen. De wereld van de Molukse vertellers. Utrecht: ISEM.

§  Teeuw, A. 1966. Shair Ken Tambuhan. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

§  Teeuw, A. 1984. Indonesia as a ‘Field of Literary Study’. A case study: genealogical narrative texts as an Indonesian literary genre. In Josselin de Jong, P. E. de, Unity in Diversity. Indonesia as a Field of Anthropological Study, Dordrecht-Holland/Cinnaminson-U.S.A:  Foris, pp. 38-57.

§  Vance, E. 1979. Roland and the poetics of memory. In Harari, J. V. (ed.). Textual strategies. Perspectives in post-structural criticism. Ithaca: New York, pp. 374-403.

§  White, Hayden V. 1978. Tropics of discourse. Essays in cultural criticism. Baltimore/London: Johns Hopkins University Press.

§  White, Hayden. 1990. The content of the form; Narrative discourse and historical representation. Baltimore and London: Johns Hopkins University Press. 

Woelders, M. O. 1975. Het sultanaat Palembang, 1811-1825. Een bijdrage tot de studie van de Maleise gescheidschrijving. ’s-Gravenhage: Nijhoff.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar