Jumat, 10 November 2023

“Tentang Dokter Pribumi”

 

[Willem Karel Tehupeiorij]

 

  1. Kata Pengantar

Willem Karel Tehupeiory adalah salah satu orang Ambon yang merupakan lulusan pendidikan tinggi di awal abad ke-20. Ia memulai pendidikan di STOVIA atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen di Weltevreden pada tahun 1896 dan lulus pada tahun 1902. Meski pernah diajar oleh para pengajar asal Belanda, ia dengan berani mengkritik mereka. Kritikannya berawal dari ketersinggungannya ketika 2 orang Belanda mempublikasikan tulisan mereka yang menurutnya merendahkan orang pribumi, dalam konteks dirinya sendiri sebagai seorang dokter pribumi.

Kritikan Tehupeiory ini berjudul dalam bahasa Belanda “Lets over de Inlandsche Geneskundigen”  yang dimuat dalam jurnal Handelingen van het Indisch Genootschap, tahun 1908, halaman 101 – 121. Kritikan ini menanggapi 2 tulisan dari Prof J.H.F. Kohlbrugge dan A.H.J. Scherp yang ia nilai merendahkan dan menghina orang pribumi. Jika kita membaca dengan cermat tulisan dari Tehupeiory ini, ada hal-hal visioner yang bisa dijadikan pertimbangan dan “nasihat” bagi generasi muda yang memutuskan bersekolah di tanah rantau di masa kini. Ia memaparkan tentang faktor-faktor kegagalan seorang pelajar untuk menuntaskan ambisi dalam pendidikan, seperti soal kebebasan yang terlalu bebas, faktor senioritas, faktor kebiasaan di kampung halaman yang seperti mendapat “angin segar” saat di kota metropolis dan lain-lain. 

W.K. Tehupeiory bersama ibu, istri dan anak, ca 1915

Tulisan Tehupeiory ini diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Greta O. Wilson dengan judul The Native Physicians (1908) dan dimuat bersama dengan tulisan-tulisan lain dari P. A. Achmad Djajadiningrat, Agus Salim, Muhamad Thamrin, Mohamad Natsir, Mohamad Hatta, Soekarno dan L.N. Palar dalam buku berjudul Regents, Reformers and Revolutionaries : Indonesian Voices of Colonial Days, Selected Historical Readings 1899-1949. Tulisan dari Tehupeory ini ditempatkan pada bagian II, pada bagian Reformers atau para Reformator, halaman 43 – 59.

Kami menerjemahkan tulisan dari W.K. Tehupeiroy ini dari versi bahasa Inggrisnya, dan bukan dari tulisan asli dalam bahasa Belanda. Pada terjemahan ini kami menambahkan beberapa catatan tambahan, selain 13 catatan kaki dari editor, beberapa foto dan gambar pendukung. Semoga tulisan dari W.K. Tehupeiory ini bisa bermanfaat buat kita semua, terkhusus buat generasi muda dalam ambisi mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.

 

  1. Terjemahan

W.K. Tehupeiory :  Juru Bicara Orang Ambon untuk kaum elit baru (1883-1946)  [dari editor]

Meskipun W.K. Tehupeiory bukanlah orang Indonesia pertama yang menentang perlakuan terhadap dokter djawa dan kondisi dimana mereka bekerja, sebagai seorang Ambon Kristen, ia lebih mungkin bertemu dengan pendengar yang reseptif di kalangan orang Belanda dibandingkan para pembicara sebelumnya.

Penduduk Ambon selama berabad-abad berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Barat; pada akhir abad ke-19 mayoritas penduduknya menganut agama Kristen, dan melalui upaya para misionaris, tingkat melek huruf di pulau itu menjadi tinggi. Orang Ambon adalah orang-orang yang bangga yang menganggap diri mereka [sebagai] orang Belanda berkulit coklat, namun mereka mengharapkan imbalan atas kesetiaan mereka kepada penguasa kolonial.

W.K. Tehupeiory lahir dan besar di Ambona, dimana ia bersekolah di sekolah umum. Pada tahun 1896 bersama kakak laki-lakinyab, ia berangkat ke Batavia untuk belajar di sekolah dokter djawa. Pelatihannya gratis, tetapi persyaratan penerimaannya sangat ketat dan selektif. Tehupeory lulus pada tahun 1902. Setelah menyelesaikan beberapa tahun pengabdiannya pada pemerintah kolonial di Jawa dan Sumaterac, ia pergi ke Belanda untuk mendapatkan sertifikat kesehatand.

Kesempatan bagi dokter pribumi untuk melanjutkan pendidikan di Belanda merupakan hal baru. Usaha dari seorang dokter djawa, [yaitu] Abdul Rivai yang sempat sia-sia masuk universitas Belandae, akhirnya menghasilkan peraturan bahwa dokter pribumi, setelah berhasil belajar selama 1,5 tahun, bisa memperoleh sertifikat kesehatan.

Tehupeiory adalah seorang reformis yang tidak memiliki keinginan untuk mengubah masyarakat melalui kekerasan. Sampai kematiannya ia tetap setia pada kolonial. Namun ia mempunyai rasa keadilan sosial yang tinggi dan penderitaan serta kemiskinan rakyat jelata sangat memprihatinkannya. Ketertarikannya pada pendidikan dan fasilitas pendidikan yang lebih baik mendorongnya pada tahun 1908 untuk membentuk [lembaga] dana belajar bagi orang Ambonf yang membutuhkannya1/g. Pemerintah kolonial menghargai komentar-komentarnya dan meminta nasehatnya mengenai pendidikan tinggi di Hindia Belanda. Tehupeory mengajukan proposal yang menjelaskan perlunya pelatihan medis yang lebih banyak dan lebih baik.

Seperti banyak elit intelektual pada zamannya, ia mencoba terjun ke dunia politik. Pada tahun 1929 bersama teman lamanya, Dr Apituleyh, anggota Dewan Rakyati, ia membentuk Aliansi Politik Malukuj untuk mengimbangi pengaruh Sarekat Ambonk yang secara terbuka menganjurkan kemerdekaan Indonesia. Tujuan aliansi ini adalah untuk mendorong emansipasi masyarakat Maluku dan mengamankan otonomi wilayah itu tanpa memutuskan hubungan dengan Belanda; mendukung kelompok etnis lain di Nusantara dalam upaya memperoleh otonomi; dan untuk membentuk federasi dengan partai-partai lain di Nusantara2. Program ini hanya menarik sedikit anggota, dan aliansi ini mengalami kemunduran. Sebagai seorang politisi, Tehupeiory tidak sukses besar. 

Dr H.D.J. Apituley (1885-1944), teman baik W.K. Tehupeiory

Tetapi dia melayani rakyat dengan cara lain. Hingga kematiannya pada tahun 1946, ia berpraktek dokter di Jakarta. Pasien-pasiennya termasuk orang Tionghoa kaya yang hidup dalam kemegahan di rumah-rumah mereka yang berperabotan kayu jati di balik tembok-tembok tinggi dan orang-orang burger Belanda yang kaya dan kurang mampu. Tetapi supir mobil Citroen-nya, juga membawanya ke kampong-kampong, ke kampung Tionghoa di Glodok, dan rumah-rumah orang Indos yang miskin, yang semuanya mendapat perawatan gratis.3

Tehupeory tidak bisa disebut sebagai seorang nasionalis atau seorang paladin perjuangan nasionalis. Namun ia merupakan juru bicara yang efektif bagi kelompok elit baru dan mampu mendukung pendidikan yang lebih baik. Sekarang dia dilupakan. Namun di hati semua orang yang hidupnya ia sentuh, ia meninggalkan kenangan yang tak terhapuskan.

 

Pendahuluan [dari editor]

Pembelaan Sekolah Dokter Indonesia :

W. K. Tehupeiory menyampaikan ceramah ini pada tanggal 28 Januari 1908, di Indies Society (Indisch Genootschap) di Den Haag. Dorongan ini dipicu oleh dua ceramah sebelumnya yang diberikan di lembaga itu, pertama pada tanggal 12 Februari 1907 oleh Dr. J. H. F. Kohlbruggel yang berbicara tentang bantuan medis yang tersedia bagi penduduk aslim; yang lainnya pada tanggal 26 Maret 1907 oleh Tuan Scherpn, yang memberi ceramah tentang pelatihan para dokter pribumi dan, khususnya, tentang pembentukan nilai-nilai moral merekao. Ceramah Scherp memberikan kesan yang sangat merendahkan tidak hanya terhadap sekolah Dokter djawa tetapi juga terhadap konsep moral para siswanya. Meskipun Mr.  J. H. Abendanonp, mantan direktur Departemen Pendidikan di Hindia Belanda, mengirimkan surat kepada lembaga  untuk mencoba menghilangkan beberapa komentar buruk yang dibuat, Tehupeiory, yang membacakan cuplikan ceramah tersebut ketika masih di Hindia, merasa diminta untuk menguraikan kondisi di sekolah. Dia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk menyarankan cara-cara untuk meningkatkan pelatihan dan posisi dokter pribumi.

 

“ Tentang Dokter Pribumi “4

Niat saya adalah menyampaikan seakurat mungkin kondisi tempat dokter pribumi bekerja. Saya juga akan memberikan gambaran tentang relasi aneh yang ada antara dokter pribumi dan masyarakat Eropa, sehingga opini yang lebih baik dapat terbentuk tentang kelompok kami daripada bisa didapat dari ceramah-ceramahnya [yang mengkritik para Dokter Djawa]. Selanjutnya saya akan mencoba membuat sketsa masalah-masalah yang dihadapi dokter pribumi dalam praktiknya, dan saya akan berbicara tentang konsekuensi prikologis dari perjuangan untuk eksistensi. Yang terakhir, saya akan menunjukkan cara-cara yang, menurut saya dan rekan-rekan saya, dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada. 

J.H.F. Kohlbrugge (1865-1941)

Namun, saya ingin memulai dengan menggambarkan kehidupan sekolah, dimana akan menjadi jelas bahwa pembagian institusi menjadi bagian medis dan bagian persiapan yang tidak akan mencapai tujuan ........dibayangkan.5

Mari kita perhatikan anak-anak yang baru tiba/datang. Mr Scherp berkata tentang mereka :

Setibanya mereka di sekolah, sebagian besar anak-anak pribumi adalah anak-anak yang ramah dan baik. Setiap kelas memberikan kesan kelompok yang menyenangkan. Para pendatang baru ini mendapat persetujuan dari para guru baru karena mereka sopan santun dan tidak sombong dalam berperilaku. Namun sang guru bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada banyak muridnya; berapa banyak yang akan hilang dari sekolah – atau lebih buruk – karena lingkungan yang tidak menguntungkan di mana mereka dibawa.

Memang benar, anak laki-laki berusia antara 12 dan 14 tahun seringkali terlibat; mereka tetaplah anak-anak yang baik, polos dan naif.  Sekolah menerima siswa-siswa berusia antara 12 dan 17 tahun. Selama jam pelajaran, anak-anak lelaki ini berbagi ruang kelas, mereka tidur bersama di satu asrama dan, selama beberapa bulan pertama, jarang sekali berhubungan dengan murid-murid di kelas yang lebih tinggi, kecuali mereka yang memiliki saudara atau teman diantara murid-murid yang lebih tua...........

Karena waktu senggang umumnya dihabiskan di asrama.........ada sedikit kontak antara siswa dari kelas yang lebih tinggi dan lebih rendah; sedangkan di ruang reakreasi harus berpangkaian lengkap, di asrama boleh memakai baju tidur. Faktanya adalah bahwa siswa yang lebih tua hanya dalam kasus-kasus luar biasa akan mengunjungi siswa yang lebih muda.

Jadi............niat saya untuk memperjelas kondisi kehidupan di sekolah dokter-djawa bagi para remaja putra berusia 12 hingga 25 tahun. Kondisi-kondisinya tidak sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh buruk yang merusak kepada siswa-siswa baru.

Menurutku, bahaya terbesar bukan datang dari siswa-siswa yang berada di kelas yang lebih tinggi, tapi dari para pendatang baru yang berusia 15 dan 16 tahun atau yang mencapai usia tersebut dalam setahun. Mayoritas siswa belum melewati masa pubertas, namun di daerah tropis, anak-anak berusia 15 dan 16 tahun secara fisik sudah menjadi “laki-laki”. Karena mereka semua adalah teman sekelas, maka siswa baru yang lebih tua umurnya seringkali memberikan pengaruh yang merusak kepada siswa yang lebih muda umurnya. Karena mereka tinggal bersama dan diantara siswa-siswa yang lebih muda usianya dan hanya dengan kekuatan fisik saja mereka dapat menjalankan kekuasaan atas anak-anak berusia 12 dan 13 tahun. Terlebih lagi, pertimbangkan bahwa tidak ada peraturan yang memaksa penduduk pribumi untuk mencatatkan kelahiran; oleh karena itu, sering kali anak laki-laki berusia 17 atau 18 tahun yang usianya diterima dan dilaporkan jauh lebih muda. Jadi, di tahun pertamaku, saya berada di kelas yang sama dengan anak laki-laki yang kemudian tampak berusia lebih dari 18 tahun.

Karena alasan ini saya tidak melihat keuntungan apa pun di dalam......pemisahan bagian persiapan dan sekolah kedokteran.........Karena kontak antara remaja putra berusia 12 tahun dan remaja putra berusia 15 tahun ke atas akan terus berlanjut..............Argumen bahwa anak laki-laki tersebut berhenti sekolah karena terlalu lama berada di institusi yang sama menurut saya terlalu tidak masuk akal.......

Sekarang mari kita lihat pengaruh kampong terhadap para pelajar. Karena makanan tidak disediakan di sekolah, siswa harus makan di luar. Sebagian kecil dari mereka mempunyai kerabat di Batavia yang mengasuh mereka, namun sebagian besar makan di rumah orang “asing”, seringkali adalah bekas pelajar (yang dikeluarkan) yang mendapat pekerjaan di Batavia dan menikah dengan perempuan kampong.

Tidak lama setelah jam 13.00, para siswa berangkat ke kampong untuk makan siang; setelah itu mayoritas kembali ke sekolah, namun hanya sedikit yang kembali ke sekolah yang sudah cukup lama mengenal “inang pengasuhnya”, [maka] bersantailah mereka sejenak daripada melakukan perjalanan pulang di bawah terik matahari. Mereka menunggu sampai panas terik mereda dan kemudian kembali pulang. Mereka telah membawa buku-buku mereka ke rumah inang pengasuh, tetapi mereka jarang menyentuhnya. Sepanjang sore mereka dihibur dengan senang hati oleh inang pengasuh dan keluarganya. Tidak perlu saya tekankan, pembicaraannya akan menggunakan bahasa Jawa atau Melayu. Beberapa siswa tetap berada di kampong sampai menjelang tugas malamnya. Pada hari minggu, siswa-siswa yang sama ini tetap berada di rumah inang pengasuh mereka sepanjang hari dan kembali hanya sebelum absensi malam.

Mengapa sebagian siswa masih suka tinggal di kampong padahal fasilitas sekolah sangat lengkap dan menawarkan banyak kesempatan untuk bersantai ?? Sebelumnya saya sempat berkomentar bahwa panas membuat para siswa enggan kembali ke sekolah segera setelah mereka makan. Alasan lainnya adalah musik. Bagi mereka yang akrab dengan lagu-lagu pantun dan stambul serta penuh mendengarnya menginterpretasikannya dengan gitar, yang tahu menggugah karakter dari lagu lagu tersebut, apalagi jika dimainkan di bawah sinar bulan yang menyenangkan di Hindia Belanda, tidaklah mengherankan jika ada pendatang baru yang rentan akan suasana seperti itu, akan sangat terharu dan akan membutuhkan kemauan yang besar untuk kembali ke sekolah dimana hanya ada pelajaran biasa yang telah menunggunya.

Ditambah lagi dengan adegan-adegan kecil yang biasanya membangkitkan semangat yang sering terjadi di kampong, dan anda akan memahami mengapa kehidupan ini mempunyai pengaruh yang merusak terhadap para siswa............Pelajar yang tidak mempunyai saudara di Batavia sepenuhnya hidup mandiri; namun, saya harus menekankan bahwa pelajar yang lebih tua usianya secara tidak sadar memberikan pengaruh positif yang banyak dan besar, karena menyadari bahaya yang mengancam bagi siswa yang lebih muda usia, seringkali memberikan peringatan.

Meskipun siswa tinggal di rumah, selalu ada otoritas yang lebih tinggi – yaitu orang tua – tidak peduli seberapa ringan penegakannya. Di sekolah, setelah pelajaran, dia bebas. Karena kebebasan besar yang diperolehnya secara tiba-tiba, ia “mengusir jauh” jejak-jejaknya; pada awalnya dia masih pendiam dan malu terhadap murid yang lebih tua umurnya, kemudian dia menjadi lebih berani karena tidak ada orang yang akan memarahi dia atas perilakunya. Pertanyaan pentingnya di sini adalah, apakah pendidikan di rumah sedemikian rupa sehingga memberikan kesadaran bahwa kebebasan harus dinikmati dengan cara yang terkendali???

Mayoritas anak-anak pribumi memang sangat manja, terutama di kelas sosial yang lebih tinggi dimana mereka dikelilingi oleh rombongan pembantu, yang selalu mendampingi anak tersebut dan menelpon serta memaafkan segala sesuatunya. Sejak masa kanak-kanak, mereka selalu menginginkan apa yang mereka inginkan, dan kegemaran orang tua mengeraskan kecenderungan mereka.........siswa biasanya tidak membaik setelah 1 tahun bersekolah. Pengawasan sehari-hari yang dilakukan kedua pengasuh tersebut hanya bersifat regulasi dan tidak memberikan ide dan konsep yang lebih baik kepada siswa. Seringkali anak laki-laki seperti itu akan tersesat, namun ada pula yang tidak tersesat karena ambisi mereka terdorong oleh kemajuan teman-temannya. Akar kejahatan umumnya terletak di rumah........upaya untuk membawa perubahan baru akan membuahkan hasil setelah beberapa dekade. Saat ini yang bisa dilakukan hanyalah mencegah pelajar berkunjung ke kampong tersebut. 

W.K. Tehupeiory bersama keluarga di Blinjoe

Kita melihat para pemuda terpaksa pergi ke kampong karena sekolah tidak menyediakan makanan. Kalau kita bisa menyajikan makanan di sekolah, maka keharusan mengunjungi kampong akan hilang. Hanya mereka yang punya teman dan kenalan saja yang kadang-kadang pergi ke kampong, tetapi hal ini pun jarang terjadi.

Bagaimana mungkin kita masih menemukan banyak dokter pribumi yang melaksanakan tugas mereka, yang faktanya lebih banyak dari tugas-tugas mereka, meskipun kondisi yang kurang menguntungkan terjadi  sebelum dan selama tahun-tahun bersekolah??? bahwa diantara para lulusan kita menemukan orang-orang yang menurut kesaksian dari banyak dokter mempunyai rasa iba yang besar terhadap mereka yang kekurangan???.

Begitu banyak keutamaan yang diajarkan dalam pendidikan kedokteran; dalam setiap kasus penyakit ada pencarian kebenaran. Di sini pujian diberikan kepada guru – dokter tentara – karena, melalui keteladanan mereka, mereka menasehati para siswa untuk melakukan perbuatan baik dan tanpa gembar-gembor menanamkan rasa sosial.

Untuk operasional sekolah yang efisien, guru tetaplah sangat penting...........pada tahun kedua studi saya, saya memiliki 4 guru fisiologi dalam 1 tahunp. Hampir setiap tahun banyak guru yang dimutasi yang berarti terganggunya pendidikan.

Saat ini mengajar adalah pekerjaan paruh waktu bagi dokter tentara; hanya pada jam pelajaran dia melihat institusi tersebut...Ketertarikan yang lebih besar terhadap sekolah dan siswa akan dibutuhkan dari para guru, ketika makanan yang disediakan di lembaga akan meniadakan perjalanan ke kampong. Kemudian anak laki-laki perlu disibukkan pada sore hari, dan guru dapat melakukan fungsi yang sangat berguna dengan berpartisipasi dalam permainan..............

Melalui kontak informal dengan para pendidiknya, anak-anak tersebut dapat belajar banyak hal; secara diam-diam mereka akan diajari sopan santun; ide dan pendapat mereka akan diubah menjadi lebih baik.

Sangat disayangkan saat ini hanya ada 2 orang guru tetap yang terhubung dengan sekolah tersebut. Pengangkatan guru tetap merupakan keharusan demi kepentingan sekolah........

Para Pengajar di STOVIA

Dalam keadaan sekarang, untuk sekolah kedokteran pribumi, saya menganggap penunjukan perawat [untuk] warga sudah cukup dibandingkan dengan dokter [untuk] warga, seperti yang telah disarankan. Dia bisa mengajar keperawatan dan mencurahkan waktu luangnya untuk merawat anak laki-laki. Dan orang sakit akan menerima perawatan yang lebih baik daripada yang diberikan oleh istri seorang guru.

Tampaknya bagi saya.......bahwa para guru, walaupun tidak bertempat tinggal, dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan karakter peserta didik. Meskipun menurut peraturan hanya direktur dan 2 pengawas yang bertanggung jawab terhadap remaja putra di luar jam sekolah, namun menurut saya, hal ini tidak boleh menghalangi guru untuk melakukan apa yang dianggap perlu untuk pendidikan moral anak laki-laki. Meskipun di sebagian besar sekolah, tugas guru adalah selalu menjaga agar orang tua selalu mengetahui perkembangan anak-anaknya, namun hal ini tidak mungkin dilakukan di sekolah kedokteran setempat. Para pelajar tersebut direkrut dari seluruh pelosok Nusantara; korespondensi pada nilai yang meragukan harus dilakukan. Sebaliknya, apakah menunjukan minat pada perkumpulan pelajar beberapa kali seminggu atau mengundang siswa ke rumah dan menghibut mereka dengan permainan dan sejenisnya merupakan sebuah pengorbanan??? Betapa mudahnya bagi siswa terbaik untuk berkenalan dengan anak laki-laki dari keluarga-keluarga berpengaruh.

Sebelumnya saya telah menyebutkan kehidupan kampong sebagai penyebab utama kegagalan banyak siswa yang seringkali berprestasi. Namun, ada alasan lain yang menghilangkan keinginan untuk belajar.......dan kita bisa...... memahami mengapa begitu banyak dokter pribumi meninggalkan dinas pemerintah. Sebagai contoh : dari 9 lulusan tahun 1906, 3 orang sudah mengajukan pengunduran diri.

Sampai tahun 1898, gaji dokter djawa adalah 50 gulden sebulan. Dokter pribumi berhak melakukan perjalanan kelas II dengan kapal KPM dan kelas III dengan kereta api. [Dengan hak-hak ini] mereka setara dengan mantri; untuk perjalanan sehari, mereka menerima 1 gulden dan penggantian biaya perjalanan apabila menempuh perjalanan lebih dari 6 palen [lebih dari 11 km] dari tempat tinggal mereka.

Dokter djawa memperoleh semua hak ini setelah menyelesaikan pendidikan dasar, sebagai salah satu siswa terbaik, dan 7 tahun belajar yang sulit. Adalah mengherankan bahwa pelajar Ambon, setelah beberapa tahun bersekolah dan memperdalam pengetahuannya tentang bahasa Belanda, dengan prospek gaji sebesar itu, mencari posisi lain, terutama sebagai juru tulis, yang untuk itu ia (dengan bahasa Belanda dan kecerdasannya) akan menerima 30 gulden dan yang membuka kemungkinan untuk menjadi pejabat bea cukai– dan dengan demikian menjadi pejabat Eropa.

Yang paling menjengkelkan adalah pemikiran bahwa seorang dokter djawa selalu diperlakukan dan dianggap sebagai penduduk biasa, sedangkan sebagai pegawai terendah ia dianggap orang Eropa jika secara hukum diterima setara6. Situasi ini masih terjadi, meskipun pada tingkat yang lebih rendah; orang-orang Eropa semakin jarang merendahkan kaum pribumi yang terpelajar, demikian pula kami para siswa sekolah dokter djawa tidak lagi merasa malu menjadi pribumi. Saya kira tidak ada seorang pun pegawai yang menganggap dirinya lebih tinggi dari dokter djawa, semata-mata karena ia berasal dari golongan penguasa, padahal warna kulitnya tidak menunjukkan hal tersebut7. Saya akan memberikan contoh yang menunjukkan bahwa keluarga-keluarga indo yang kaya bahkan sekarang masih menghormati penduduk pribumi, tidak peduli seberapa terlatih atau berkembangnya, sebagai makhluk yang lebih rendah. Seorang dokter pribumi yang praktiknya berkembang pesat di kalangan pejabat Eropa, senang dengan kepercayaan yang ia nikmati di antara keluarga-keluarga ini (hampir semuanya orang Eurasia). Dia diundang ke pesta, berpartisipasi dalam semua acara, dan dianggap sebagai teman tuan rumah. Pada suatu waktu dia menyarankan untuk mendirikan klub tenis, sebuah rencana yang disetujui oleh semua yang hadir. Coba tebak apa yang terjadi kemudian??? Klub tenis dimulai tanpa dia, bahkan dia dikeluarkan. Alasannya jelas begini : sesorang tidak bisa diharapkan bermain di lapangan tenis bersama penduduk pribumi. Masuk akal bahwa, jika seorang pejabat Eropa merasa malu untuk menunjukkan dirinya di depan umum bersama dokter pribumi, maka hubungan yang konstruktif tidak akan mungkin terjadi. 

Apakah pengaruh rendahnya gaji yang sudah terlihat pada masa sekolah ditunjukkan dengan tingginya angka putus sekolah??? Hal ini semakin terlihat ketika dokter djawa dengan berbekal ijazahnya memasuki dunia. Di sini ia mampu membandingkan dirinya dengan pejabat-pejabat lain, baik dari Eropa maupun pribumi, dan pasti posisi-posisi lain tampak lebih menarik. Memang benar bahwa pada tahun 1898, gajinya dinaikan dari 50 menjadi 70 gulden, dan gaji maksimum dari 90 menjadi 150 gulden, tetapi hal ini pada akhirnya tidak cukup bagi dokter djawa8.

Mari kita telaah dulu apa saja yang harus dilakukan dokter djawa atas gaji dan hak yang disebutkan. Karena saya secara alami paling akrab dengan pekerjaan yang saya lakukan ketika saya masih menjadi dokter pribumi, saya secara bebas menggunakan hal ini sebagai contoh.

Saya bertugas di bidang pelayanan kesehatan masyarakat di sub distrik Medan [Pantai Timur Sumatera]........merawat orang sakit di rumah sakit laki-laki, dengan rata-rata 70 pasien, di rumah sakit perempuan dan penderita kusta........masing-masing rata-rata 20 pasien; selain itu setiap pagi pada hari kerja, ada rawat jalan di rumah sakit laki-laki yang rata-rata berjumlah sekitar 20 orang setiap hari. Saya juga harus memasuki penjara karena mendapat panggilan orang sakit, rata-rata 10 kasus dalam 1 hari.

Saya juga bertanggung jawab atas pemeriksaan kesehatan para pelacur : sekitar 40 orang Jepang dan Klingaleser pada hari Selasa dan Sabtu, dan sekitar 100 orang Cina datang pada hari Kamis.

Selain itu, saya adalah petugas koroner hukum, [sebuah posisi] yang seringkali melibatkan banyak pekerjaan karena saya harus membantu hakim dengan nasihat dan informasi tertulis......... 3 kali seminggu dan itu menyita banyak waktu saya. Seminggu sekali saya harus pergi ke desa Sunggal – yang jaraknya lebih dari 3,5 palen [lebih dari 6 km] untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduknya.

Saya juga dipercaya untuk merawat 60 orang Tionghoa di rumah sakit yang disponsori oleh orang Tionghoa; untuk ini saya menerima tambahan 50 gulden.

Ini adalah pekerjaan saya dalam keadaan normal. Selama epidemi (in casu cholera) saya diharapkan untuk mendisinfeksi rumah-rumah dan bangunan-bangunan umum yang terkontaminasi, seperti penjara dan sekolah; kemudian saya sering harus pergi ke berbagai desa [orang] Batak yang kadang dipisahkan oleh 20 palen [37 km]..........

Jadwal yang begitu padat bukan pengecualiaan. Di beberapa tempat di Jawa, dokter djawa dipercaya untuk melakukan rawat jalan dan pengawasan terhadap pelacur di desa-desa yang jauh dalam wilayah hukumnya. Selain itu, setelah matahari terbenam, pekerjaan belum selesai karena seringkali terbangun karena keadaan darurat : kasus hukum dan kegilaan. Kebanyakan peraturan mengenai dokter djawa di Hindia Belanda berlaku untuk seluruh Nusantara, hanya saja jarang sekali peraturan tersebut diubah untuk memenuhi kebutuhan lokal. Itu akan menimbulkan terlalu banyak masalah. Dan, jika suatu perubahan akhirnya terjadi, pekerjaan akan terselesaikan secara tidak lengkap dan banyak kategori pejabat yang terlupakan. Jadi, ketika peraturan perjalanan diubah, para pejabat Eropa dengan gaji 300 gulden atau lebih dapat melakukan perjalanan kelas I secara gratis, sementara pejabat berpangkat lebih rendah, juru tulis, dan tamtama [pegawai biasa] berhak mendapatkan perjalanan kelas II secara gratis. Mantri polisi, juru lelang pun bisa naik kelas II, tapi dokter djawa hanya bisa naik kelas III secara gratis.

Untuk memahami situasi ini, kita harus menyadari bahwa mantri polisi direkrut dari kalangan penulis pribumi atau sipir terbaik. Mereka dituntut melakukan penyelidikan pendahuluan dalam kasus-kasus pengadilan distrik/wilayah. Juru lelang adalah juru tulis pribumi yang memimpin penawaran di lelang. Baik mereka maupun mantri polisi tidak bisa berbahasa Belanda, dan pendidikan mereka hanya sebatas menyelesaikan sekolah dasar pribumi. 

Saya yakin kalian akan setuju bahwa kami berhutang pada posisi kami untuk melakukan perjalanan setidaknya [berstatus] kelas II (hanya kuli dan tahanan yang melakukan perjalanan [berstatus] kelas III) namun berdasarkan peraturan saat ini, kami harus membayar biaya tambahan dari upah minimal kami sendiri. Penggantian biaya harian yang diterima seseorang selain biaya transportasi berjumlah 1 gulden; tetapi biasanya kami hanya menerima setengah gulden, karena kami berusaha untuk kembali ke pos pada hari yang sama, apalagi jika kami ingin bekerja di rumah sakit keesokan harinya. Seperti yang mungkin kalian ketahui, hanya setengah dari pengeluaran harian yang diperbolehkan yang dikembalikan jika kita tidak bermalam di kota lain. Jumlah tersebut tentu saja tidak cukup untuk membiayai tambahan biaya perjalanan, belum lagi biaya transportasi angkutan dari stasiun ke rumah sakit. Atas desakan saya yang berulang kali dan setelah adanya permintaan resmi kepada Residents, peraturan perjalanan bagi dokter pribumi di Deli [Sumatera Timur] akhirnya diubah9.

Pada tahun 1904, pemerintah menyampaikan pemberitahuan kepada kepala pemerintah daerah untuk memastikan bahwa dokter lokal diberi imbalan yang layak atas layanan khusus dan menjamin kerja mereka dalam memerangi pelanggaran jika hal ini diperlukan. Meskipun demikian, terjadi bahwa seorang sekretaris [administrator daerah] yang meminta seorang dokter djawa hadir secara resmi di kantornya untuk mencela dokter djawa yang mengirimkan tagihan kepada orang Eropa yang tidak berhak mendapatkan pengobatan cuma-cuma. Hanya setelah dokter djawa, dalam jawaban tertulisnya, memberitahukan sekretaris mengenai peraturan tersebut dan dengan demikian menunjukkan bahwa tindakannya tepat, barulah tagihan tersebut dibayar.

Sebelumnya telah saya sebutkan bahwa pada tahun 1898 gaji awal dinaikan menjadi 70 gulden dan gaji maksimum, setelah 12 tahun mengabdi, menjadi 150 gulden. Perumahan gratis disediakan hanya dalam 2 atau 3 kasus. Di Batavia, ganti rugi yang diberikan untuk sewa tidak mencukupi, sehingga seseorang hanya mampu membeli rumah yang terletak jauh di dalam kampong. Karena jabatannya, dokter pribumi tidak bisa tinggal di kos seperti pejabat muda lainnya yang belum menikah. Saat mengunjungi penduduk pribumi, pakaiannya cepat kotor, karena selaian membalut luka, ia juga sering duduk di bangku atau tikar yang kotor. Doktor pribumi harus mengeluarkan uang lebih banyak daripada petugas biasa untuk pakaian dan cucian, karena dengan mempraktikkan kebersihan sebaik mungkin dia kana menjadi teladan/contoh bagi penduduk pribumi, yang berhubungan dengannya sehari-hari.

Di Jawa, untuk mendapatkan makanan yang layak, ia harus membayar 40 gulden sebulan, sedangkan di luar provinsi [di luar Jawa] jauh lebih tinggi. Gajinya hanya tersisa sedikit, karena uang sewanya 20 gulden, satu pembantu dengan biaya 6 gulden, lalu hanya tersisa 4 gulden : cukup untuk membayar cucian.

Kemudian dia masih harus melengkapi rumahnya dengan nyaman, dan yang terakhir, membayar surat kabar, jurnal, dan buku. Ini adalah biaya untuk bujangan, tetapi masalah apa yang dihadapi oleh dokter pribumi yang sudah menikah, dapat diketahui dengan perhitungan sederhana.

......... Mudah saja kita menuduh dokter djawa tidak mempunyai rasa kasihan terhadap sesamanya, namun saya ingin mengajak semua orang untuk menelaah bagaimana seorang dokter djawa hidup bersama keluarganya, memikirkan bagaiman ia harus menjadi budak, setelah melemahkan kerja di pemerintahan, untuk menutupi defisitnya dengan pendapatan tambahan dari praktik pribadinya10.

Akankah dia, yang berusah payah demi orang Tionghoa yang sakit, tidak segera mengobati rekan “senegaranya” jika dokter djawa bisa menikmati gaji yang memadai dan terbebas dari kekhawatiran finansial ??? Bukan suatu prestasi, ketika seseorang mempunyai penghasilan lebih dari cukup, untuk merawat beberapa ribu penduduk pribumi secara gratis, itu semua hanya dalam pekerjaan sehari-hari. Namun patur dipuji ketika, dalam keadaan sulit, seseorang siap membantu orang miskin.

Jangan mengira dokter pribumi bisa hidup seutuhnya seperti pejabat pribumi lainnya. Setelah 9 tahun bersekolah, dia menjadi terbiasa dengan lingkungan Eropa, dan dengan model inilah dia nantinya akan melengkapi rumahnya. Sebagai seorang pejabat Eropa, ia mempunyai kebutuhan akan buku dan musik, dan ia ingin anak-anaknya bersekolah di sekolah Eropa yang bagus. Semua ini harus ia coba bayar dari gajinya yang minim.

Jika dia jatuh sakit, dia hanya akan menerima gaji penuh selama 1 bulan; setelah itu dia akan diberi setengah gaji atau dipecat. Seperti semua pejabat pribumi lainnya, seorang dokter djawa akan menerima pensiun setelah 30 tahun mengabdi tanpa terputus. Sepeninggalnya, istri dan keturunannya tidak bisa berharap apa pun. Pejabat Eropa mana yang, dalam keadaan seperti itu, akan melanjutkan pengabdiannya pada dinas pemerintah??? Kelompok mana yang sudah lama menerima kondisi ini???

Ditambah lagi, dokter djawa bisa saja dipindahkan ke daerah yang paling jauh........, dimana dia selalu mengalami kerugian dalam penjualan perabotan dan barang-barang rumah tangganya. Saya sekarang telah menyebutkan semua keadaan dalam permohonan kenaikan gaji.

Bukan dalam pelatihan atau dalam gagasan-gagasan ketimuran yang aneh, seseorang harus mencari penyebab dari kepeduliannya yang kecil terhadap rekan sebangsanya, tetapi pada kenyataan bahwa dokter pribumi dibayar terlalu rendah dan sering diperlakukan tidak adil. Tidak heran jika ia semakin acuh tidaka cuh dalam menjalankan tugasnya.........namun sebagian kesalahannya disebabkan oleh kurangnya pengawasan dari atasan, pejabat administratif, dan dokter sipil.

Orang-orang ini harus memberikan pengaruh terhadap perkembangan dokter djawa lebih lanjut.......... Mereka diberi tugas yang sangat sulit karena mengetahui kepribadian dan karakter bawahannya merupakan prasyarat keberhasilan mereka [para dokter djawa] di masa depan.

Dokter-dokter Eropa, khususnya, harusnya lebih menghargai mereka [dokter djawa] sebagai rekan kerja. Kami terlalu menghormati pengetahuan yang lebih besar dari para dokter Eropa bahwa persahabatan ini dapat membahayakan status dokter tersebut.........Dalam percakapannya, dokter Eropa dapat menyampaikan bahwa gagasannya tentang tugas, filantropi, tekad, dan sebagainya. Mr Kohlbrugge menegaskan bahwa tidak mungkin menanamkan konsep-konsep ini kepada manusia di daerah tropis. Saya tidak dapat mempercayai ini. 

Bolehkah saya menyebutkan perkumpulan-perkumpulan yang berkembang pesat, baik di Ambon maupun Batavia, yang memberikan bantuan kepada para janda dan anak yatim piatu serta membantu rekan sebangsanya??? Bolehkah saya menunjukkan energi dan rasa tanggung jawab polisi militer? Pasukan ini, yang dipilih dari tentara pribumi dan tentara Ambon, melakukan tugas-tugas yang sangat melemahkan orang-orang Eropa dalam jangka panjang, dan oleh karena itu hasilnya lebih kecil dibandingkan jika dilakukan oleh tentara pribumi yang dilengkap dengan naluri detektif dan karakteristik-karakteristik lainnya.

Sebagai seorang polisi militer ia menganggap dirinya lebih tinggi dari seorang prajurit biasa, baik orang Eropa maupun pribumi. Ia tidak hanya sekadar nama tetapi nyatanya lebih dihargai lebih, terbukti dengan gajinya yang lebih tinggi. Dia siap, kapan saja, untuk menunjukkan bahwa dia pantas mendapatkan penghargaan tersebut; dia melakukan yang terbaik dan sering menunjukkan kepemimpinan yang, sebelumnya, tidak diharapkan oleh siapa pun darinya.

Penduduk pribumi menginginkan pengakuan atas sifat-sifat baiknya, jika hal ini tidak terjadi maka ia akan menjadi pasrah dan acuh tidak acuh. Sebaliknya, seseorang harus waspada terhadap pujian yang berlebihan yang dapat dengan mudah membuatnya ceroboh dan kehilangan rasa hormat terhadap pejabat. Oleh karena itu, kekurangan serius di kalangan dokter pribumi harus segera mendapat hukuman berat.... Hukuman yang efektif juga memiliki nilai pendidikan yang besar bagi dokter pribumi..............

......... dokter pribumi yang baru lulus harus mendapat pengawasan, tetapi hal ini harus dilakukan dengan sangat bijaksana..........Tidak boleh ada kecurigaan dalam kata-kata atasannya; sebaliknya segala sesuatu harus memancarkan kepercayaan. Memang tugas sangat sulit, namun hanya dengan cara itulah seseorang dapat menghasilkan sekelompok orang yang kelak dapat menduduki posisi kepemimpinan.

Dan menurut saya, inilah tujuan yang harus kita capai. Singkatnya, saya menganggap sekolah dan profesi sangat diperlukan untuk :

1.         Menyediakan makanan di sekolah

2.        Mempekerjakan perawat bagi orang sakit

3.        Mempekerjakan guru tetap

4.       Meningkatkan kualitas dokter pribumi oleh pejabat Eropa

5.        Memberikan remunerasi yang lebih baik dan memadai bagi dokter pribumi

 

................gaji yang cukup akan memungkinkan mereka mendapatkan akses ke lingkungan sosial yang lebih tinggi, dan dengan demikian mereka dapat mengembangkan apa yang telah mereka pelajari, melindungi mereka dari perlakuan kurang sopan dari orang-orang Eropa......

Posisi dokter pribumi memang unik. Setelah ditugaskan, mereka bertugas merawat orang-orang Eropa yang berpenghasilan kurang lebih dari 150 gulden. Karena pekerjaan mereka, mereka lebih banyak berhubungan dengan orang-orang Eropa dibandingkan dengan kelompok pejabat pribumi lainnya, meskipun beberapa dari mereka mungkin pernah belajar bahasa Belanda dan menerima pendidikan Eropa. Selain itu, dokter pribumi berada di bawah pengasawan pemerintah lokal Eropa sehingga ia memiliki lebih sedikit kontak dengan pemimpin-pemimpin pribumi dibandingkan dengan pejabat pribumi lainnya. Dia tidak terlalu tertekan untuk menjalankan adat, lebih bebas dan bisa berperilaku lebih seperti pejabat-pejabat Eropa11. Oleh karena itu, dia lebih cenderung bergaul dengan pejabat-pejabat Eropa...

......Kita harus mencari teman-teman dokter djawa di kalangan yang lebih baik, yaitu di kalangan pegawai pos, pengawas, dan guru. Namun di sini kita menemui batu sandungan. Cara hidup para pejabat Eropa dan dokter pribumi sangat berbeda; hanya jika para dokter pribumi mendapatkan gaji yang lebih tinggi barulah terdapat lebih banyak kontak sosial dengan para pejabat Eropa. Jika dokter pribumi ingin berpartisipasi dalam kehidupan spiritual keluarga terpelajar, maka menurut pendapat saya, penting baginya untuk selalu mengikuti perkembangan terkini dengan membaca jurnal-jurnal [kedokteran] dan dengan demikian terus menerus melatih bahasa Belandanya.......

Ketakutan bahwa, ketika ia menerima gaji yang lebih tinggi, ia akan menjadi terasing dari kelompok dimana ia menjadi bagiannya, adalah tidak berdasar; ketika ia berada dalam posisi mandiri secara finansial dia akan memiliki lebih banyak waktu untuk memberikan perhatian khusus kepada penduduk pribumi. Sekarang dia seringkali harus menyisihkan waktu untuk pasien-pasien swasta agar mereka bisa memberinya uang yang dia perlukan untuk mencar nafkah.... apalagi sekarang para dokter pribumi diterima mengikuti ujian teori di universitas, yang merupakan indikasi bahwa mereka dievaluasi dengan lebih akurat, dan kesenjangan gaji tidak lagi dapat dibenarkan12.

Bahwa revisi gaji di masa depan lebih memihak dokter pribumi dibandingkan dokter djawa bukan hanya hal yang diinginkan namun juga merupakan insentif untuk studi lebih lanjut oleh dokter djawa. Hal ini tidak hanya adil tetapi juga memberikan semangat bagi dokter djawa untuk mempelajari ilmu kebidanan13. Bagaimana keadaannya sekarang? Dokter djawa melihat tidak ada keuntungan finansial dalam mempelajari ilmu kebidanan karena sebagai dokter pribumi ia akan menerima gaji yang sama. Sebagai dokter djawa, ia dapat membantu ibu bersalin jika ia merupakan satu-satunya dokter yang ditempatkan di suatu pos.

W.K. Tehupeiory, L.J. Tehupeory dan M.J. Ommering

Gaji awal kami tentu terlalu rendah. . . . Setelah sembilan tahun belajar, gaji awal 150 gulden tentu tidak terlalu banyak, mengingat dari situlah perlu dibayar sewa rumah yang bagus. Gaji maksimum harus ditetapkan tiga ratus gulden setelah mencapai dua belas tahun masa kerja. Dokter djawa yang mengenyam pendidikan lama, paling banyak menerima dua ratus gulden.

Untuk biaya sehari-hari dan biaya transportasi melalui darat dan laut, peraturan yang serupa dengan yang diterapkan oleh pejabat Eropa harus diterapkan. . . . Yang paling penting adalah peraturan mengenai pembayaran jika sakit dan pensiun bagi para janda dan anak yatim piatu agar situasi yang tidak menentu ini dapat diakhiri.

 

Melalui ceramah ini saya ingin memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan dokter djawa, khususnya kedudukannya dalam masyarakat Eropa dan memberi tahu kalian tentang pekerjaan dan statusnya.

Sejauh ini orang-orang Eropa telah menjadi juru bicara kami dan merekalah yang menaikkan gaji. . . hampir seluruhnya diselesaikan oleh direktur kami sendiri. Oleh karena itu, saya merasa bahwa pendapat seseorang yang pernah bekerja sebagai dokter pribumi dapat bermanfaat.

Saya akan merasa cukup dihargai, jika, melalui ceramah ini, saya telah membangkitkan minat pada kelompok di mana saya pernah menjadi bagiannya, suatu minat yang saya harap akan membawa perbaikan pada posisi dokter pribumi.

 

===== selesai ====

Catatan Kaki

1.         "Reorganizatie van het onderwijs aan de school voor opleiding van Inlandsche Artsen te Weltevreden," Indische Gids 1909, II, pp. 922-929.

2.        J. T. P. Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie (Haarlem: Tjeenk Willink, 1931), pp. 303-304

3.        Dr Tehupeory adalah teman lama ayah saya dan keluar kami di Batavia

4.        Terjemahan ini dibuat dari artikel “lets over de Inlandsche Geneeskundigen,” Handelingen van het Indisch Genootschap (1908): 101-121. Versi terjemahan ini lebih singkat.

5.        Sekolah Dokter djawa didirikan pada tahun 1851 dan pada awalnya menawarkan program pelatihan dua tahun bagi para pemberi vaksin yang, selama epidemi, dapat membantu imunisasi masyarakat. Program studi terus diperluas; pada tahun 1875 sekolah tersebut dibagi menjadi divisi persiapan dua tahun dan program kedokteran lima tahun. Pada tahun 1902 sekolah tersebut direorganisasi dan program lengkapnya mencakup pelatihan sembilan tahun. Sekolah dokter djawa yang dulu kala itu menjadi Sekolah Pelatihan Dokter Pribumi (STOVIA). Ontwikkeling van het Geneeskundig Onderwijs di Weltevreden (Weltevreden:Kolff, 1926), hlm.1-30.

6.       Undang-undang membedakan antara warga negara Belanda dan warga negara Belanda (yang terakhir mencakup sebagian besar penduduk asli Indonesia). Orang Indonesia yang beragama Kristen dan sebagian besar orang Indonesia yang berpendidikan disebut setara (dalam bahasa Belanda geiijkgesteld). Dengan cara ini mereka memperoleh sebagian hak dan kewajiban orang Eropa dan diadili di pengadilan Eropa, bukan di pengadilan pribumi.

7.        Tehupeiori di sini mengacu pada orang Eurasia (disebut Indo) yang meskipun banyak yang tidak dapat dibedakan dengan orang Indonesia berdasarkan warna kulitnya, namun menurut hukum mereka dianggap sebagai orang Eropa.

8.        Atas rekomendasi Christiaan Snouck Hurgronje gaji dokter djawa ditingkatkan dan beberapa kondisi kerja diperbaiki. E. Gobée dan C. Adriaanse, eds., Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje (Den Haag: Nijhoff, 1956), Bagian II, hlm. 1040-1046.

9.       Pejabat pemerintahan Belanda yang menjadi kepala keresidenan, pangkatnya di bawah gubernur.

10.     Dokter Djawa diperbolehkan merawat pasien swasta. Mayoritas pasien mereka adalah orang Tiongkok, dan di pos-pos di mana tidak ada dokter Eropa yang ditempatkan, terdapat orang Eropa dan Eurasia.

11.       Pelanggaran adat yang terus-menerus dilakukan oleh para dokter Indonesia dan kebiasaan mereka mengenakan pakaian Eropa menimbulkan kemarahan banyak pejabat Indonesia, khususnya di Jawa. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften (Leipzig: Schroeder, 1924), 4, no. 2, hal.35-43.

12.      Pada tahun 1904, lulusan Sekolah Pelatihan Dokter Pribumi diterima mengikuti ujian teori di fakultas kedokteran di Belanda dan, setelah satu setengah tahun belajar, dapat menerima gelar kedokteran Belanda. Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (Den Haag: Nijhoff, 1960), hal. 52.

13.      Dengan berdirinya STOVIA, kursus kebidanan menjadi wajib.

 

Catatan Tambahan

a.        Willem Karel Tehupeory lahir pada 18 November  1883 di negeri Ema, Ambon, anak ke-2 dari ??? Tehupeory dan Constantina Tehupeory. Willem Karel Tehupeory biasa dipanggil “Wim” atau “Empie”, menikah dengan Maartje Johana Ommering (1884-1963) pada 15 Juli 1909 di s,Gravenhage, Belanda, putri dari Rokus Ommering dan Maartje van Heist. Willem Karel Tehupeory meninggal di Jakarta pada tanggal 1 November 1946, sedangkan istrinya meninggal pada 13 September 1963 di Alkmaar. Belanda.

b.       Kakak laki-laki Willem Karel Tehupeory bernama Johannes Everardus Tehupeory, biasa dipanggil “nanie”, lahir di Ema pada tanggal 25 Juni 1882 dan meninggal dunia pada 22 Desember 1908 di Utrecht, Belanda.

c.        Di Sumatera, W.K. Tehupeory bertugas di Penjara di Medan dan perkebunan di Deli untuk melayani perawatan bagi buruh/pekerja perkebunan asal Jawa dan orang Cina.

d.       Willem Karel Tehupeory, Johannes Everardus Tehupeory dan adik perempuannya, Leentje Jacomina Tehupeory (1886-1948) pergi ke Belanda pada Juli 1907.

§  Poeze, Harry. A., In het Land van de Overheeser  I Indonesiers in Nederland 1600 – 1950, Foris Pubications, Dordrecht, 1986, hal 58

e.        Pada tahun 1899, Abdul Rivai pergi ke Belanda dan berencana berkuliah di Utrecht, sayangnya ia hanya diperbolehkan mengikuti kuliah namun tidak boleh mengikuti ujian [yang berakibat tidak mendapat gelar atau sertifikat]. Abdul Rivai mengetahui bahwa para dokter dari West Indies [Hindia Barat] diperbolehkan mengikuti ujian, sehingga ia mengajukan permintaan kepada pemerintah Hindia Belanda [Hindia Timur] di Batavia untuk meminta saran, namun ini ditanggapi secara negatif. Abdul Rival akhirnya memutuskan untuk berkuliah di Ghent (Belgia)

§  Hesselink, Liesbeth,. Healers on the Colonial Market : Native doctors and Midwives in the Dutch East Indies, KITLV Press, Leiden, 2011, hal 201-202

§  Pols, Hans,. Nurturing Indonesia : Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies, Cambridge University Press, 2018,  hal 26 - 27

f.         Ambonsch-Studiefunds didirikan oleh Willem Karel Tehupeory pada tanggal 24 September 1909, dengan pengurus J.A. Soselisa (President), P. Kuhuwael (Wakil President), H. Pesulima (Sekretaris), D.J. Siahaya, W. Soselisa dan J.M.M. Hetharia

§  Manusama, A.Th., Beknopte Geschiedenis van de Vereeniging “Ambonsch-studiefonds” (1909 – 1917), Boekhandel Visser & co, Weltevreden, 1917,  hal 5-7, 24

g.        Artikel yang berjudul seperti yang dicantumkan di catatan kaki nomor 1 di atas ditulis sendiri oleh Willem Karel Tehupeory

h.       Dr Apituley yang dimaksud adalah Dr Hubert Jan Domingo Apituley atau biasa dipanggil “Bert”, lahir di Ihamahu pada tanggal 8 Desember 1885 dan meninggal dunia di Nederland pada tanggal 13 Juli 1944. H.D.J. Apituley adalah putra dari Hermanus Johanes Apituley dan Louise Leatemia. Ia menikah dengan Suzana Jeanette Manangka

i.         H.D.J. Apituley atau Dr Apituley menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat pada periode 16 Mei 1927 – 15 Juni 1931 (status anggota ditunjuk) dan 15 Juni 1931 – 15 Juni 1935 (status anggota dipilih). Sebelumnya ia menjadi anggota Ambonraad pada tahun 1921 -1924.

§  Tien Jaar Volksraad Arbeid, 1918 – 1928, Landsdrukkerij, Batavia, 1928, hal 55

§  Tien Jaar Volksraad Arbeid, 1928 – 1938, Landsdrukkerij, Batavia, 1938, hal 85

j.         Aliansi Politik Maluku atau dalam bahasa Belanda Moluksch Politiek Verbond, sebenarnya telah didirikan pada tahun 1928, namun baru pada 15 Juli 1929 diajukan secara resmi  sebagai badan hukum dan oleh Gub Jend Hindia Belanda disahkan pada tanggal 10 Desember 1929

§  Javasche Courant nomor 101 tertanggal 17 Desember 1929

§  J.Th. P. Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie (Haarlem: Tjeenk Willink, 1931), hal 303

§  R.C. Kwantes [editor], De ontwikkeling van de nationalistische beweging in Nederlansch-Indie, deel III, stuuk no 116, UCBNI nos. 8-11, Groningen, 1981.

k.        Sarekat Ambon didirikan di Semarang pada tanggal 9 Mei 1920 oleh Alexander Jacob Patty.

§  J.Th. P. Blumberger, De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie (Haarlem: Tjeenk Willink, 1931), hal 47

l.         Jacob Herman Friedrich Kohlbrugge, lahir di Pruisen pada tanggal 28 Maret 1865, dan meninggal dunia di Zeist pada tanggal 24 Agustus 1941, putra dari Gerrit Kohlbrugge dan Mathilde Henriette Beate barones von Bode. Ia menikah dengan Wilhelmina Petronella Berendina van Baak (1869-1956) pada 29 Februari 1896. Ia mempertahankan thesisnya di Freiburg pada 4 September 1890 dengan judul Muskeln und periphere Nerven des Genus Hylobates

§  H.G. Coumou, 'Kohlbrügge, Jacob Herman Friedrich (1865-1941)', in Biografisch Woordenboek van Nederland

m.      Artikel yang ditulis oleh J.H.F. Kohlbrugge yang dimaksud berjudul Hygienische Toestanden in de Desa dimuat di Indisch Genootschap pada 12 Februari 1907, hal 189-205

§  Pols, Hans,. Nurturing Indonesia : Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies, Cambridge University Press, 2018,  hal 101 [catatan kaki nomor 32]

n.       Mr Scherp yang dimaksud adalah A.J.H. Scherp, lahir pada 5 Januari 1871 dan meninggal dunia pada 30 September 1929. Mr Scherp adalah dosen/pengajar di STOVIA dalam tahun 1903/1904

§  Jaarlijksch Verslag der School Tot Opleiding van Inlandsch Artsen te Weltevren over den cursus 1904, Landsdrukkerij, Batavia, 1905,  hal 66-67 [atau dalam edisi Indonesia, Marihandono, Djoko., Laporan Tahunan Sekolah untuk mendidik Dokter Bumiputra di Weltevreden selama tahun ajaran 1904, Jakarta, 2017, hal 66-67]

o.        Artikel yang ditulis oleh A.J. H. Scherp berjudul De Inrichting der Gouvernements-Internaten voor Inlandsche
Jonglieden in Nederlands-Indië in Verband met de Zedelijke Vorming der Leerlingen,
dimuat di Indisch Genootschap pada 26 Maret 1907, hal 219-241

§  Pols, Hans,. Nurturing Indonesia : Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies, Cambridge University Press, 2018,  hal 101 [catatan kaki nomor 32]

p.       Jacques Henry Abendanon, lahir di Suriname pada 14 Oktober 1852 dan meninggal dunia di Monaco pada 13 Desember 1925, putra dari Simon Abendanon dan Julia Abendanon. Menikah pertama kali dengan Ana Elisabeth de Lange pada 22 Desember 1876, setelah istri pertama meninggal pada 8 Januari 1882, menikah lagi dengan Rosa Manuela Mandri pada 1 Agustus 1883. Abendanon menjadi President Department van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid Nederlandsch Indie (semacam Menteri Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda) pada sejak 4 Maret 1900 – 15 Agustus 1905, mengantikan Jhr O van der Wijk (12 Sept 1895 – 4 Maret 1900)

§  C. Fasseur, 'Abendanon, Jacques Henrij (1852-1925)', in Biografisch Woordenboek van Nederland

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1900, tweede gedeelte, Landsdrukkerij, Batavia, 1901, hal 321

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1901, tweede gedeelte, Landsdrukkerij, Batavia, 1902, hal 321

q.       4 guru/pengajar yang dimaksud oleh Tehupeory, mungkin diantara 5 orang pengajar yang bernama Dr W. Pauw, Dr. P.A. Boorsma, A.H. Nijland, J.F. Langenbergh dan Dr F.S. Stibbe

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1898, tweede gedeelte, Landsdrukkerij, Batavia, 1899, hal 371

§  Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1899, tweede gedeelte, Landsdrukkerij, Batavia, 1900, hal 386

r.        Klingalese atau orang Keling yang berasal dari daratan India

s.      Resident Afdeeling Oostkust van Sumatera [Pantai Timur Sumatera] bernama G. Schaap sejak 24 Juli 1902

Tidak ada komentar:

Posting Komentar