Jumat, 16 Februari 2024

Penanda bahaya dan kefanaan dalam lanskap magis di Maluku : Analisis terhadap jimat/sihir mengerikan [suku] Nuaulu


(bag 1)

 

[Roy. F. Ellen]

 

  1. Kata Pengantar

Terminologi “matakau” familiar dalam kehidupan sosial orang Maluku, khususnya wilayah Maluku Tengah. Kata matakau, mungkin untuk pertama kalinya ditulis secara eksplisit dalam sebuah laporan pejabat Belanda pada tahun 1621a. Matakau secara umum adalah suatu objek yang didirikan/dibangun/dibuat oleh sang pembuat/pemilik dengan tujuan untuk mencegah pencurian harta miliknya atau properti yang ia miliki.

Roy F Ellen menulis dan mengkaji tentang matakau dari suku Nuaulu di pulau Seram dalam kajiannya yang berjudul Vigilant Signage and the Ephemeral in the Magical Landscape of the Moluccas: An Analysis of Nuaulu Scare Charms, yang dimuat dalam Jurnal Folklore, volume 134, nomor 4, tahun 2023, halaman 556 – 587. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kajian sepanjang 32 halaman ini menjelaskan tentang segala hal yang berkaitan dengan matakau yang digunakan oleh masyarakat suku Nuaulu di Pulau Seram, Maluku. 

Artikel ini kami terjemahkan dan membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan melengkapi 1 catatan kaki, 8 gambar/foto dan 8 tabel yang ditampilkan oleh sang penulis dalam artikel aslinya. Semoga kajian ini bisa bermanfaat untuk memahami tradisi atau kebiasaan para leluhur kita dalam kehidupan sosial mereka di masa lalu, yang hingga kini masih diterapkan.

 

  1. Terjemahan

Abstrak

Sihir atau jimat yang mengerikan [yang] dalam bahasa Melayu Ambon, yaitu matakau, telah lama menjadi ciri khas lanskap Maluku, namun hanya sedikit yang terdokumentasi. Matakau dibuat/didirikan oleh pemilik tanah atau pemilik properti, baik sebagai respon terhadap pelanggaran dan pencurian properti atau untuk melindungi properti dari gangguan atau pencurian. Sanksi atau hukuman yang membuat matakau menjadi efektif adalah ancaman roh atau pembalasan dendam atau hukuman supernatural lainnya. Penyajian sistematis artikel ini tentang matakau suku Nuaulu dari Pulau Seram menunjukkan bagaimana sihir/jimat mengerikan bekerja sebagai bagian dari sistem sanksi/hukuman. Penekanan khusus ditempatkan pada perspektif lanskap yang memungkinkan kita melihatnya sebagai sekumpulan objek material yang tersebar secara spasial dalam kaitannya dengan tanda-tanda fisik lainnya dan lembaga-lembaga yang didukung secara spiritual yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungannya serta pengendalian sosial.

Ketika salah satu pohon aren yang tinggi hendak disadap, mereka menggantungkan [boneka] anak kecil di pohon untuk berjaga-jaga jika ada pencuri. Tubuhnya dipotong dari kayu kasar, panjangnya kira-kira dua kaki, berpakaian compang-camping, dengan kumis dan rambut keriting dari bulu palem hitam, mulut merah menyala, mata hitam-putih berkilau; dan di tengah-tengahnya mereka menusukkan duri rotan hitam, hampir sepanjang/setinggi boneka itu sendiri dan setebal jari, dengan ujung setajam jarum mencuat di depan. Di atas pohon palem yang tinggi, [boneka] anak kecil itu tidak dapat berbuat banyak, namun kadang-kadang dia menuruni tangga rotan kecil, secepat monyet, dan mengejar seseorang dengan durinya! Maka kalian harus berhati-hati, dan bersembunyi dengan cepat. (Dermout 1958, 27)


Ketika saya tiba di pulau Seram, Indonesia pada tahun 1970, salah satu manifestasi fisik pertama dari sistem kepercayaan lokal yang saya temui adalah jimat yang menakutkan/mengerikan atau tanda-tanda tabu. Matakau—kata dalam bahasa Melayu Ambon (selanjutnya AM) yang saya gunakan di sini untuk merujuk secara umum—telah lama menjadi ciri lanskap Maluku, sering disebutkan dan dijelaskan secara singkat, namun secara keseluruhan hanya sedikit yang dianalisis (misalnya Martin 1894; Jensen 1939, 1948; Sachse 1907, 102–103; Stresemann 1923, 360–64; Tichelman 1954). Sejauh yang saya bisa lihat pada saat itu, bangunan-bangunan tersebut didirikan oleh pemilik tanah atau pemilik sumber daya/properti, baik sebagai respons terhadap pelanggaran dan pencurian properti, atau untuk melindungi properti dari gangguan dan pencurian. Sanksi yang menjadikan mereka efektif adalah ancaman roh atau semacam balas dendam atau hukuman supernatural lainnya.

Hanya ada sedikit data perbandingan yang bisa menunjukkan hal tersebut, namun saya menduga kuat bahwa masyarakat [suku] Nuaulu di bagian selatan-tengah [pulau] Seram lebih sering menampilkan, menggunakan, dan mengatur sihir-sihir semacam itu dibandingkan kelompok lokal lainnya, yang sebagian mencerminkan hubungan antara sihir-sihir itu dengan ciri-ciri tertentu dari sistem kepercayaan tradisional dan serangkaian praktik ritual. Selama 15 bulan pertama kerja lapangan, dan kemudian selama kunjungan kembali, saya telah mengumpulkan banyak informasi tentang sihir yang mengerikan. Saya belum menganalisis hal ini hingga kini, sebagian karena sulit untuk melihat bagaimana saya dapat melakukannya sebagai kumpulan data yang koheren dan bukan hanya sebagai daftar berbagai jenis sihir. Stephen Morris pernah mengamati dalam percakapan dengan saya bahwa dia menghadapi situasi serupa dalam memahami praktik keagamaan Oya Melanau yang berkaitan dengan dunia roh Kalimantan (Morris 1967) sebelum munculnya strukturalisme. Namun, menurut klaimnya, Levi-Strauss memberikan kerangka kerja yang dapat memahami data yang sampai sekarang keras kepala dan beragam. Dalam kasus matakau Nuaulu, seperti yang ingin saya tunjukkan, bukan strukturalisme yang mengubah pemahaman saya tentang sistem sihir Nuaulu, melainkan perspektif lanskap atau bentang alam. Benda-benda magis yang serupa di masa lalu cenderung diperlakukan secara individual dan tidak secara kontekstual atau sebagai bagian dari lingkungan sekitarnya. Pendekatan lanskap memungkinkan kita untuk melihatnya sebagai sekumpulan objek material yang tersebar secara spasial, dan berhubungan satu sama lain, dan dengan tanda-tanda fisik lainnya serta lembaga-lembaga yang didukung secara spiritual yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan serta pengendalian sosial. Untuk tinjauan yang bermanfaat mengenai larangan-larangan magis yang mendukung pengelolaan sumber daya secara umum, lihat Colding dan Folke (2001), sementara Hamilton (2002) secara khusus membahas bagaimana “tabu-tabu sumber daya dan habitat” melindungi pohon/tanaman, hutan dan rimba. Untuk contoh dari Seram, lihat Ellen (2016), serta Sasaoka dan Laumonier (2012).

Latar Belakang dan Metodologi Etnografi

[suku] Nuaulu saat ini berjumlah lebih dari 2000 individu yang tersebar di 6 pemukiman di Kecamatan Amahai, Seram (gbr 1). Penelitian lapangan saya di wilayah tersebut telah berlangsung selama 45 tahun dan 10 kunjungan terpisah. Sebagian besar permukiman suku Nuaulu berada dalam wilayah desa (unit administratif lokal) Sepa yang sangat luas, dan data dari salah satu desa tersebut, Rouhua (30 21 S, 1290 08 Eb) adalah data yang banyak saya bahas di sini. Kelompok Nuaulu lainnya telah menetap sejak tahun 1980 di desa Nuanea yang baru didirikan di sekitar pertemuan sungai Nua dan Ruatan, dan di wilayah Waraka dan Wae Pia di Teluk Elpaputih, tempat mereka tinggal sejak konflik komunal antara tahun 1998 dan 2002. Terdapat kelompok yang lebih terpisah secara linguistik di Utara Seram (Ellen 2012, 301-304).

Penghidupan tradisional masyarakat Nuaulu berfokus pada ekstraksi pati palem Metroxylon sagu (sagu), perburuan, perladangan berpindah umbi-umbian dan tanaman lainnya, dan pengumpulan hasil hutan. Meskipun terdapat sejumlah penangkapan ikan di air tawar, dan beberapa rumah tangga melakukan penangkapan ikan di laut, orientasi penghidupan utama mereka adalah ke hutan dan pegunungan, sesuai dengan konsep diri dan sejarah mereka sebagai masyarakat. Meski terletak jauh dari pantai sebelum tahun 1880-an, masyakat Nuaulu telah lama terlibat dalam perekonomian dunia. Sebelum masa modern, mereka menyumbangkan hasil hutan (kayu, rotan, damar) ke dalam sistem pertukaran regional, meskipun pada abad ke-20 mereka tertarik pada perekonomian tunai yang berpusat pada kopra dan cengkih. Penghasilan tunai telah mengalami diversifikasi dalam beberapa dekade terakhir, meskipun kedua komoditas ini tetap menjadi komoditas yang paling penting. Sebagian besar suku Nuaulu di Sepa menganut keyakinan dan praktik yang membedakan mereka dari masyarakat Muslim dan Kristen di sekitarnya, yang berdampak pada cara mereka berinteraksi dan mengelola lingkungan; tapi semua, apapun agamanya, menghormati kekuatan matakau. 

Penjelasan dan pelaksanaan yang diberikan di sini, sebagian besar didasarkan pada kumpulan 107 jimat/sihir mengerikan dan tanda-tanda terkait (lihat lampiran), yang rinciannya dapat saya catat. Hal ini seringkali berupa foto atau sketsa (47 contoh), dan pada saat itu atau setelahnya didiskusikan degan pembuatnya, atau dengan orang lain yang mengetahui hal tersebut dan kekuatannya, serta memberikan komentar mengenai hal tersebut. Meskipun perhatian utama saya di sini terfokus pada jimat/sihir-sihir yang terlihat di sekitar desa Nuaulu di Rouhua, dan pada tingkat yang lebih rendah di Bunara dan Niamonae, ketika saya melakukan perjalanan lebih luas di wilayah Maluku Tengah sejak tahun 1971 dan seterusnya, saya mencatat jimat-jimat itu dimanapun saya meihatnya dan dimana orang-orang bersedia untuk mendiskusikannya. Fisik matakau (dan materi kasus etnografis yang terkait dengannya) merupakan unit analisis saya di sini, dan dalam beberapa hal korpus dapat diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan objek-objek museum dalam koleksi atau kumpulan budaya material. Namun, benda-benda tersebut berbeda dengan benda-benda museum karena benda-benda tersebut sulit untuk dikoleksi, baik karena masalah etika yang melingkupinya maupun karena alasan praktis : benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang rapuh, belum sempurna, dan tidak bertahan lama yang cepat rusak kecuali dalam kondisi kuratorial yang ketat. Objek juga pada dasarnya kontekstual dan relasional. Tidak heran jika benda-benda tersebut kurang terwakili dalam koleksi benda-benda jimat/sihir di museum1.

Oleh karena itu, di sini saya lebih mengandalkan foto-foto dan kadang-kadang sketsa. Foto aslinya telah disimpan dalam koleksi Royal Anthropological Institute (RAI) di London. Tidak semuanya direproduksi di sini, namun nomor identitas untuk semua foto yang merupakan bagian dari kasus individual disediakan dalam Lampiran. Nomor catatan disediakan dalam teks atau keterangan gambar jika relevan.

 

Definisi, Materialitas, dan Beberapa Masalah Konseptual

Kata dalam bahasa Melayu Ambon, “matakau”, biasanya diterjemahkan oleh masyarakat Nuaulu dengan menggunakan kata wate (kadang juga dikenal dengan nama masinnate ). Namun, kata “matakau” digunakan secara luas di seluruh Kepulauan Maluku untuk merujuk pada jimat/sihir mengerikan sehingga saya menggunakannya di sini untuk “menggantikan” kata wate. Dalam bahasa Sepa dan Tamilouw, yang merupakan pemerintahan yang secara historis dominan di sepanjang pantai selatan Seram, dan sebagian penduduk Nuaulu yang fasih, matakau disebut wata kau atau terkadang wawa laio atau wawa taio. Ini (matakau, wata kau, wawa laio, wawa taio) dilakukan oleh masyarakat di semua populasi untuk mencegah pencurian dan pemanenan dini atau untuk menghukum pelaku pencurian, biasanya untuk melindungi sumber daya atau properti di ladang atau hutan. Masyarakat Nuaulu akan mengatakan bahwa wate adalah tentang pena, artinya hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau yang mengantisipasi hukuman supranatural. Sebagai alat untuk melindungi dan mengatur sumber daya, mereka terhubung dan tumpang tindih dengan institusi serupa, seperti sin wesie dan sini (sasi dalam Melayu Ambon), dan dengan tanda-tanda fisik lainnya yang didirikan untuk menandakan kepemilikan dan untuk menghalangi pihak lain melakukan tindakan tertentu, namun tidak harus disertai sanksi supranatural atau sanksi yang disepakati bersama (asinane, kakinate; atau sederhananya tanda dalam bahasa Melayu Ambon. Meskipun matakau ditempatkan di lanskap/bentang alam oleh individu (walaupun selalu sebagai anggota kelompok keturunan atau rumah suci yang memilikinya) sebagai tanggapan/respon terhadap ancaman yang dirasakan atau pencurian yang sebenarnya, matakau sering kali mendukung fungsi sasi dan sin wesie, yang merupakan kontrol dengan batas waktu mengenai pemanenan yang dinegosiasikan dalam suatu kelompok sosial. Hubungan antara berbagai jenis sanksi tersebut dibahas lebih lanjut berikut ini. Namun matakau sendiri secara etis adalah netral – matakau dibuat oleh orang-orang yang mempunyai niat baik dan jahat.

Dalam mengelaborasi konsep matakau kita perlu memulai dengan entitas fisik (gbr 2). Jikat jimat “adalah benda yang diberi kekuatan magis [yang]............mungkin memiliki bentuk yang sangat berbeda dan memiliki banyak tujuan” (RAI 1951, 188), maka matakau tidak seperti kebanyakan jimat lainnya. Mereka tidak disembunyikan tetapi harus terlihat agar bisa berfungsi. Oleh karena itu, materialitasnya sangat signifikan. Namun, mereka juga dibuat dengan cepat dari bahan yang tersedia dan berumur pendek, mulai membusuk dan rusak dalam beberapa minggu setelah pembuatan dan pemasangan. Sedikit usaha yang dilakukan dalam pembuatan/pembangunannya. Dalam hal ini mereka tidak berbeda dengan jimat-jimat lainnya yang telah dilaporkan dalam litetarur etnografi dari seluruh dunia dan dapat digunakan untuk berbagai tujuan : daun palem yang diikat, batu yang digantung, tongkol jagung pada tali, potongan kain merah, kombinasi benda-benda duniawi (lihat misalnya Evans-Pritchard 1937, 424-478; dan khususnya Doris 2011 khususnya foto-foto di dalamnya). Dalam konteks studi ilmu gaib dan jimat/sihir yang lebih luas di dunia Melayu dan Indonesia, hal ini jarang ditemui. Tidak ada yang disebutkan dalam ikhtisar kompherensif milik Skeat. Ada beberapa laporan, misalnya laporan Tichelman (1954) tentang pohung Batak, meskipun distribusinya masih dalam tahap demonstrasi empiris, dan Forth (1981, 116) untuk Sumba. Kepentingan teoritisnya adalah pada landasan dan pemersatu keyakinan budaya (Skeat 1965; Endicott 1970). Malinowski (1965, 151) juga tidak melaporkan jimat/sihir mengerikan untuk melawan pencurian dalam pembahasannya yang kompherensif tentang sihir wilayah Trobriand. Dia menggambarkan instrumen magis/sihir sederhana yang relevan dengan aspek lain dari siklus pertanian, tetapi tidak sebagai alat menakut-nakuti yang ditujukan pada manusia. Hal ini mungkin disebabkan karena secara etnografis mereka tidak ada. 

Secara fisik, matakau sebagian besar terdiri dari satu tiang tegak atau kerangka yang menopang jimat/sihir itu sendiri. sebagian besar berdiri bebas, ditanam di tanah dan bertumpu pada satu atau lebih tiang tegak; tetapi ada pula yang mungkin ditempelkan pada pohon, digantung atau ditancapkan pada batang pohon, atau ditempelkan pada pondok taman atau rumah. Tentang matakau yang saya catat, 11 buah terdiri dari 1 matakau tegak dengan pelengkapnya. Satu melibatkan 2 tiang tegak tunggal yang berdiri bebas (satu untuk elemen yang dilindungi dan satu lagi untuk pelindung) dan satu tiang tegak dengan tiang diagonal pendukung; satu tergantung di pohon; 15 diantaranya berjenis rangka sederhana, dan beberapa lainnya berjenis hybrid (misalnya rangka, namun dilengkapi dengan “matakau botol”). Seringkali beberapa tipe tongkat muncul bersamaan, dan terkadang sebuah bingkai dikombinasikan dengan tipe tongkat, membentuk sebuah susunan. Matakau lainnya terdiri dari susunan fisik yang lebih kompleks, dengan beberapa bentuk yang terhubung atau berdiri bebas. Beberapa rumah terlindung atau pondok taman (gbr 5f), meskipun matakau baileo yang saya catat di negeri Nolloth di pulau Saparua (catatan 79) tidak dikenal di kalangan suku Nuaulu. Bentuk matakau lain yang tampak mencolok dibangun dngan atap jerami sagu atau di dalam semacam “rumah” untuk melindunginya. Matakau yang beratap atau bertempat tinggal cenderung tidak digunakan oleh masyarakat Nuaulu, namun saya pernah melihatnya digunakan oleh masyarakat negeri Sepa dan di desa-desa orang Buton yang berdekatan. Mereka cenderung lebih diasosiasikan dengan kelompok Muslim yang menyebarkannya dalam kombinasi dengan prasasti tertulis (gbr 7). Di antara kelompok non-Nuaulu ini, unsur sihir/jimat ditempatkan di bawah atap, biasanya di dalam botol. 

Matakau secara ontologis dan konseptual beragam, sebuah pengamatan yang memungkiri kesamaan fisik mereka. Agar sistem dapat bekerja, orang/kita harus mampu membaca kode yang tertanam dalam tanda-tanda fisik. Cara paling sederhana untuk memahamai bagaimana hal ini dapat dilakukan adalah dengan membagi matakau ke dalam bagian-bagian kompnen, yaitu benda-benda yang mempunyai sifat-sifat, masing-masing mempunyai makna simbolis (kebanyakan tidak sembarangan) yang diperoleh dari tempat yang ditetapkan padanya di antara bagian-bagian serupa lainnya. Pendekatan semiologis ini, yang menerapkan gagasan Ferdinan de Saussure dan Roland Barthes, sebanding dengan pendekatan yang digunakan oleh Caroline Humphrey (1971, 271 dan 274) dalam menafasirkan ongon Buryat, namun sejak itu telah banyak dikembangkan.

Dalam membaca tanda fisik, ciri penting matakau tipe bingkai adalah penanda barang yang dilindungi atau dicuri umumnya digantung di bawah palang, sedangkan unsur magis yang menandakan jenis hukuman yang dijatuhkan kepada pencuri atau calon pencuri ditempatkan di atas penggaris/palang. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kerangka pendukung umumnya merupakan bahan-bahan yang cocok dan mudah didapat. Namun sihir/jimat atau kandungan aktif matakau akan berbeda-beda tergantung pada pencurian yang diantisipasi atau dilawan : batok kelapa, sabut, dan pelepah kelapa atau kopra; daun, batang, dan umbi tanaman ladang; model batang daun sagu (Nua tope, atau gaba-gaba dalam Melayu Ambon) dari barang yang dicuri, atau barang ancaman. Bahan penyusun bagian dalam dari batang daun sagu bersifat lentur dan mudah dikerjakan, seperti kayu balsa atau polistiren. Ancaman tersebut dapat diwakili oleh model kasar berupa babi atau hewan lain yang terbuat dari batang daun sagu, bentuk abstrak tertentu yang dibuat dari bahan lain yang menandakan hukuman yang akan dijatuhkan, seperti tombak, busur panah, atau gigitan ular. Komponennya juga dapat bervariasi tergantung pada identifikasi pencuri sebagai laki-laki atau perempuan. Jadi, 2 lingkaran daun mungkin menandakan buah zakar, dan duri panjang yang ditempatkan di antara keduanya menandakan kerusakan yang dimaksudkan. Persepsi pencuri sebagai perempuan dapat ditandai dengan ruas bambu dengan rerumputan yang menonjol di kedua ujungnya, menandakan rambut (gbr 5a). Unsur-unsur tersebut digabungkan dengan contoh benda yang telah dicuri atau yang ingin dicegah oleh pemiliknya, misalnya daun dan umbi talas, atau obor/seneter. Duri dan serpihan, seperti banyak peniti atau tusuk gigi kayu, merupakan elemen yang umum, mencerminkan gambaran dan logika yang ditemukan secara global dalam praktik “sihir simpatik” (Skeat 1965, 570-573). Matakau sering terlihat dengan potongan kecil kain merah yang ditempelkan dan diikatkan pada elemen konstruksinya. Masyarakat Nuaulu menyebutnya karanunu sinte. “Karanunu” mengacu pada kain merah yang banyak digunakan dalam sebagian besar ritual penting, yang dikenakan di kepala dan pinggang semua pria pasca-pubertas, terutama saat melakukan ritual, dan yang mewakili kekuatan spiritual atau magis dari roh leluhur yang dipanggil. “Sinte” adalah hiasan apapun yang menyerupai bentuk daun sinsinte (puring Codiaeum variegatumc yang juga menonjol dalam kehidupan ritual masyarakat Nuaulu). Potongan daun beraneka ragam seperti pita panjang dari satu varietas terkadang digunakan sebagai pengganti, atau sebagai tambahan, potongan kain merah (Ellen 2021a). Konstruksi patung pelindung wate terlihat jelas pada gambar 3a: ukiran anjing terbuat dari batang daun sagu dengan kain merah, satu mata dari batu kecil berwarna putih, dan satu lagi batu putih yang dimasukkan ke dalam anus. Batu putih merupakan bagian dari bahan aktifnya.

 


Cara Kerja Matakau

Terlepas dari keunggulan visual dan signifikansi interakaksional matakau fisik, unsur penting mengaktifkannya tidak berwujud, seringkali melibatkan bentuk kata-kata tertentu. Jenis kata-kata, mantra, atau formula magis (umumnya toa atau kasi kasi) juga disebut “wate” oleh suku Nuaulu, dan roh dikatakan menghuni entitas fisik menjadi yang penting/utama. Seperti yang ditunjukkan oleh Margaret Florey (1998, 208-208) untuk suku Alune di bagian barat Seram yang kini sebagian besar menganut agama Kristen, mantra-mantra suku Nuaulu juga merupakan “formula yang berisi kata-kata yang mengandung kekuatan untuk mencapai tujuan tertentu – penyembuhan penyakit, kontrol sosial”, sedangkan wate (kata yang juga digunakan suku Alune untuk kata mantra) melindungi sumber daya/properti yang ditentukan. Hal ini tidak dapat terjadi sampai struktur sebenarnya telah selesai dan pemanggilan dilakukan kepada roh-roh yang bersangkutan, biasanya roh-roh dari nenek moyang tingkat menengah (kadang-kadang disebut) yang dipanggil oleh perantara, atau roh-roh binatang yang dipanggi dalam suatu mantra dan secara fisik diwakili oleh tanda benda tersebut. Dengan demikian, istilah “wate” secara bersamaan mengacu pada entitas fisik dan “sumpah larangan” atau mantra, yang biasanya diambil dari nama roh yang melindungi sumber daya (Florey 1998, 215-216). Jimat kemudian “ditanam”, yaitu diletakkan pada tempatnya. Jika pencuri mengaku bertanggung jawab namun menderita akibat air tertentu, mantra penyembuhan lanjutan dapat diterapkan oleh pemiliknya setelah korban mengaku. Oleh karena itu, air yang menyebabkan penyakit perut dapat disembuhkan dengan mantra balasan yang dihubungkan dengan air asli yang menyebabkan penyakit tersebut. Struktur mantra, dan kesulitan menerjemahkan bahasa yang seringkali kuno dan pengetahuan sensitif, membuat sulit untuk menjelaskan banyak hal tentang mantra tersebut. Namun bahasa jimat suku Nuaulu menampilkan konvensi pidato ritual yang dilaporkan di wilayah lain di Indonesia bagian timur – pengulangan, paralelisme, pasangan leksikal, analogi, sinonim – saat menyapa roh leluhur, matahari, atau bulan. Mantra suku Nuaulu seringkali memiliki struktur tripartit, yang elemen pertamanya adalah sapaan hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa : Upuku Anahatana, nante tuamane (Dewa Anahatana, langit dan bumi). Rumusan kontemporer mungkin meruakan pelemahan dan penyederhanaan rumusan tradisional yang lebih lama.

Matakau berfungsi karena mereka yang melihatnya di benteng alam/lanskap percaya bahwa itu adalah kehadiran fisik mantra pengaktif roh yang dapat membahayakan mereka jika melanggar instruksi yang dikodekan dalam tanda. Alternatifnya, ketika pencuri melihat bahwa matakau telah didirikan setelah pencurian yang menjadi tanggung jawab mereka, mereka akan “mengetahui” bahwa kecuali mereka memberikan imbalan dan mengakui tanggung jawabnya, ancaman yang dikodekan dalam tanda fisik kemungkinan besar akan diaktifkan : mereka akan menjadi sakit atau menderinta kemalangan lainnya. Cara ancaman tersebut terwujud mungkin berbeda-beda. Kalau di papan tandanya, misalnya ada ukiran burung kasuari, maka suatu saat nanti pencurinya akan ditendang oleh burung kasuari saat berada di hutan. Ancamannya tidak perlu melibatkan hewan fisik, melainkan avatar roh. Seperti yang dijelaskan Komisi Soumori (selama bertahun-tahun sebagai pemimpin/kepala desa di Rohua), jika orang itu adalah seorang pencuri yang berada di atas perahu dan sedang memancing, maka roh kasuari mungkin akan menendang orang itu ke laut dan orang kitu akan tenggelam; jika orang itu sedang memanjat pohon kelapa lalu orang itu terjatuh dan patah salah satu anggota tubuhnya, itu karena roh kasuari telah menendang orang itu. Hal ini didasari oleh pengetahuan bersama bahwa tentang keras burung kasuari dapat berakibat fatal, dan berdasarkan kepercayaan akan kehadiran tidak kasat mata dari perwujudan kasuari di dalam air pada setiap kesempatan ketika pencuri kemungkinan besar akan menderita karenanya.

Agar efektif, sebuah matakau harus dilengkapi dengan entitas roh yang diyakini dapat memotivasinya. Tanpa roh, yang hanya merupakan pancaran fisik, secara teori matakau tidak akan berfungsi. Namun, kemungkinan besar banyak matakau yang didirikan tanpa dipersiapkan dengan cara ini, dimana individu tidak mengetahui mantra-mantra yang dianggap tepat, mengetahuinya secara tidak lengkap, atau mengetahuinya hanya dengan cara yang dianggap tidak sah oleh kebanyakan orang. Dalam beberapa kasus, mungkin dipasang tanda-tanda yang sengaja dimaksudkan untuk mengelabui orang lain bahwa itu adalah matakau, atau hanya untuk menakut-nakuti, dan diharapkan mempunyai efek jera yang diinginkan tanpa adanya kemanjuran. Setelah matakau diprioritaskan, ada semacam periode “amnesti”, dimana pencuri boleh mengembalikan barang curiannya. Di beberapa komunitas Muslim di Maluku, masa “amnesti” adalah 9 hari, yang merupakan keberuntungan dalam kalender dan numerologi Muslimd (Crowder 1996).

Setelah matakau suku Nuaulu mencapai tujuannya, baik dengan menangkap pencuri atau dengan mencegah pencurian sumber daya/properti yang kini telah dipanen atau diambil, maka roh pengaktif harus kembali ke tempat dima mereka tinggal secara permanen, seringkali di rumah suci klan/keluarga. Secara fisik, mereka tidak memiliki sifat permanen, sehingga menyebabkan penampilan mereka yang kasar dan siap pakai. Pada bulan November 1970, Lohia Peinisa mengembalikan ke rumah suci clan, roh wate yang telah didirikannya beberapa bulan sebelumnya. Demikian pula, ketika sebuah air “khusus” sudah tua, rusak, dan sudah tidak berguna lagi – kadang-kadang tidak ada jejak fisik yang tersisa – orang yang mendirikannya harus mengembalikan roh ke rumah suci clan dengan membungkusnya dalam karanunu (kain merah) dan mempersembahkannya kepada roh leluhur penjaga darimana datangnya. Karena jenis wate ini diasosiasikan dengan rumah suci dan diaktifkan oleh roh leluhur yang mendiaminya, maka ritual tetua clan yang menerimanya diharuskan mengenakan pakaian ritual yang benar. Tindakan ritual “mengembalikan air ke rumah besar” atau “mengambil roh air” hanya berlaku untuk wat onate (noi num anoi), “wate besar di dalam rumah ritual”. Wate inamatane yang lebih umum, “matakau sehari-hari”, tidak memerlukan elaborasi yang sama seperti yang dibuat untuk roh rumah suci. Di beberapa tempat, matakau juga dapat dinonaktifkan dengan menyiram tanda fisik tersebut dengan air, atau membakarnya, sebuah praktik yang belum pernah saya lihat di Nuaulu.

Keanekaragaman Bentuk dan Tujuan

Matakau hadir dalam beragam bentuk, baik secara fisik maupun konseptual, dan masing-masing memerlukan seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakannya, baik entitas material maupun pengetahuan esoteris yang diwujudkannya. Jimat/sihir tersebut dapat diklasifikasikan dan diberi nama dengan berbagai cara, bergantung pada apakah penekanannya perlu diberikan pada sumber daya yang dilindungi atau dicuri, ancaman yang ditimbulkannya, atau bentuk fisik dari jimat tersebut. Pilihan diantaranya ditunjukkan pada gambar 4. Sebagian besar dirancang untuk melindungi pengguna dari pencurian hasil bumi yang ditanam di ladang atau kebun (misalnya, talas atau kelapa), atau properti seperti ayam (jimat hutu [sarang]), telur, atau menanam labu. Meskipun sebagian besar ditujukan pada pencurian atau potensi pencurian hasil panen, ada pula yang ditujukan pada pencurian properti jenis lain, seperti obor/senter (gbr 2a), parang (gbr 2b), atau keramik pusaka yang berharga (mau inane, mau-mau mengacu pada sejenis sihir dan inane aie pada cangkang Trochus) (gbr 5b). Yang lain masih mungkin melindungi harta benda umum seperti seluruh isi pondok rumah atau rumah kultus/upacara. Meskipun secara umum diasumsikan bahwa air bertujuan untuk mempengaruhi perilaku manusia, ada pula yang ditujukan untuk kekuatan supranatural yang jahat. Misalnya, wate sakahatene didirikan untuk mengusir roh jahat yang mengambil atau merusak sagu. Biasanya didirikan ketika pohon sagu telah ditebang dan harus dibiarkan semalam atau lebih lama.

Alternatifnya, wate dapat diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan hukuman yang dijatuhkan (gbr 5); misalnya wate hatu (“matakau batu”) yang menyebabkan rasa keras dan nyeri pada perut serta ketidakmampun untuk makan, wate rari-tiga-tigane yang menyebabkan malaria dan kaki terpotong, atau wate teke onate yang menyebabkan gigitan ular yang parah/mematikan. Wate lainnya menyebabkan gigitan nyamuk, pembengkakan organ dalam, berbagai jenis infeksi dan peradangan, atau rasa sakit karena kepedasan cabai, atau luka panah. Di antaranya adalah wate poro-poro (membawa wabah katak pohon Litoria infrefrenata), wate tahu anai (pembengkakan buah zakar), wate aswan atau wate rui-rui (tendangan burung kasuari), wate matakopue (infeksi mata menyerupai lendir yang dihasilkan oleh siput darat), wate nimo anai (penyakit kaki gajah yang parah), tinasumai (sakit telinga), loka uni (sakit kepala), hatan totue (sakit punggung) dan kamane (sepsise akibat abrasi). Matakau tombong diibaratkan seperti ledakan mortir atau meriam, yang dapat menyebabkan bengkak dan kaku. Spesies hewan tertentu dapat dipilih karena bersifat totemik bagi marga/keluarga pemilik matakau (misalnya wate enu, mengacu pada penyu laut Dermochelys coriacea dan Eretmochelys imbricata yang dihormati oleh Neipani-tomoien), namun secara umum beratnya hukuman yang dipilih adalah upaya untuk mencocokkan perkiraan kerusakan yang terjadi.

======== bersambung ========

 

Catatan Kaki

  1. Museum Pitt Rivers di Oxford telah menjalankan/mengelola proyek jimat dan mantra/sihir dalam koleksinya (‘Small Blessings’, http://web.prm.ox.ac.uk/amulets/). Namun, tak satu pun objek yang terdaftar memenuhi kriteria yang saya berikan di sini sebagai jimat mengerikan, atau mungkin menunjukkan ketertarikan dengan matakau. Rijksmuseum voor Volkenkunde di Leiden mempunyai sedikit catatan matakau, namun hanya satu benda khas Maluku (RV-1900-152), dari Sula.

 

​Catatan Tambahan

  1. Kata matakau, mungkin pertama kali secara eksplisit ditulis oleh Artus Gijsels dalam laporannya tahun 1621. Artus Gijsels menulis kata matakau dengan kata mattecau/mattekauw.

§  Artus Gijsels, Grondigh Verhael van Amboyna ende Dependentie..............dimuat dalam Kroniek van het Historisch Genootschap, volume 27 (1871), hal 348-394, 397 – 444, dan 450 - 494

§  Gerrit J Knaap, Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987, hal 20 – 76, khusus hal 51 – 52

  1. 30 21 S, 1290 08 E  dibaca 3 derajat 21 menit lintang selatan dan 129 derajat 08 menit bujur timur
  2. Puring Codiaeum variegatum, secara umum dikenal dengan nama tanaman/tumbuhan “gadihu” dalam bahasa Ambon-Melayu
  3. Linda S Crowder menulis khusus tentang dukun di komunitas Muslim Bacan, Maluku Utara dalam kajiannya
  4.  Sepsis adalah suatu kondisi yang terjadi karena reaksi berlebihan dan tidak terkendali dari sistem imun tubuh  terhadap infeksi yang dapat menyebabkan gangguan pada organ dan jaringan tubuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar