Kamis, 02 Mei 2024

Cengkeh dan pala, pedagang dan perang: Kontak bahasa di Kepulauan Rempah-rempah


Barbara Dix Grimes

 Kata Pengantar

Tulisan yang kami terjemahkan di sini adalah tulisan dari Barbara Dix Grimes, dengan judul Cloves and nutmeg, traders and wars : Languange contact in the Spice Islands. Tulisan sepanjang 24 halaman ini dimuat pada Jurnal Languange contact and change in the Austronesian World, volume 77, halaman 251-274, tahun 1994, yang diterbitkan oleh Walter de Gruyter.

Barbara Dix Grimes, adalah seorang sarjana dikenal melalui thesis dan disertasinya mengenai masyarakat Pulau Burua. Melalui tulisannya ini, ia mengkaji tentang kontak bahasa yang kemudian “melahirkan” apa yang dikenal sebagai bahasa Melayu-Ambon. Tulisan ini berisikan 5 catatan kaki, 4 buah peta dan bibliografi.

Pada terjemahan ini, kami hanya “menyisipkan” sedikit catatan catatan tambahan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dalam memahami “sejarah” bahasa yang kita gunakan dalam relasi sosial di masa kini.

 

Terjemahan

Pendahuluan

Seperti halnya di sebagian besar dunia, bahasa yang digunakan di kepulauan di Maluku Tengah di Indonesia bagian timur telah mengalami berbagai tingkat kontak dan pengaruh asing selama berabad-abad. Pulau-pulau khusus ini adalah bagian dari wilayah yang secara historis dikenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah – habitat asli pohon cengkeh dan pala – tempat para pedagang asing terpikat selama berabad-abad oleh perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan. Selama abad ke-15, beberapa pelabuhan perdagangan utama di kepulauan ini menganut agama Islam, agama para pedagang dari bagian barat. Dengan mengadopsi hierarki sosial dari Islam, dua pulau di Maluku utara, Ternate dan Tidore, berkembang menjadi kesultanan, mencakup wilayah yang luas termasuk sebagian besar Maluku tengah sebagai saingan mereka dalam persaingan itu. Rempah-rempah tidak hanya menarik pedagang Asia, tetapi juga orang Eropa. Setelah menaklukan kota Malaka di semenanjung Malaysia dan memperoleh jasa seorang navigator Melayub, Portugis tiba di Maluku pada tahun 1512. Selama hampir 1 abad, Portugis adalah satu-satunya bangsa Eropa yang hadir secara signifikan di Maluku tengah, tetapi pada awal abad ke-17, Kompeni Hindia Belanda (VOC) mengusir Portugis dari wilayah itu dan berusaha mendirikan monopoli mereka sendiri atas perdagangan rempah-rempah. Selama beberapa abad berikutnya, Belanda terlibat di kepulauan ini, pertama sebagai Kompeni dan kemudian sebagai Pemerintah Kolonial. Selama Perang Dunia II, kehadiran Belanda berakhir dan tak lama kemudian kepulauan rempah-rempah dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia yang baru merdeka.

Tulisan ini menyajikan gambaran tentang kontak bahasa di Maluku tengah dalam konteks sejarah tersebut. Sekitar 40 bahasa asli Austronesia digunakan di pulau-pulau ini dan kontak internal yang cukup besar telah terjadi dan terus terjadi di antara bahasa itu. Ada juga kontak dengan bahasa Austronesia dari bagian lain kepulauan Indonesia, terutama dengan bahasa Melayu, bahasa yang digunakan selama berabad-abad sebagai bahasa perdagangan. Kontak juga terjadi dengan berbagai bahasa non-Austronesia di Maluku utara, khususnya bahasa Ternate. Bahasa-bahasa Eropa, yaitu bahasa Portugis dan Belanda juga meninggalkan jejaknya pada bahasa-bahasa di Maluku tengah.

Telah lama diketahui bahwa ketika bahasa saling kontak/bertemu, bahasa sering berubah. Banyak penelitian tentang perubahan bahasa hingga saat ini hanya berfokus pada satu jenis perubahan bahasa, baik itu peminjaman, kematian bahasa, penciptaan, atau apa pun. Baru-baru ini, Thomason dan Kaufman (1988) telah memberikan kerangka kerja yang berguna yang mempertimbangkan seluruh spektrum kemungkinan perubahan yang dapat muncul dalam situasi kontak bahasa. Mereka mengusulkan 2 proses dasar : peminjaman/meminjam, dan apa yang mereka sebut “interferensi melalui pergeseran”. Peminjaman / meminjam adalah jenis perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak pemeliharaan bahasa dan dapat terjadi pada tingkat intensitas manapun pada kontinum dari beberapa item kosakata non-inti yang dipinjam hingga pinjaman struktural besar-besaran di ujung lain kontinum. Proses kedua, “interferensi melalui pergeseran”, terjadi ketika suatu populasi mengadopsi bahasa lain sebagai bahasa utamanya. Dalam situasi ini berbagai tingkat gangguan dari bahasa pertama dapat mempengaruhi bahasa target ketika populasi bergeser. Sekali lagi sebuah kontinum terlibat : gangguan dari bahasa yang ditinggalkan mungkin hampir tidak ada/minimal atau mungkin ekstrim seperti dalam kasus dimana tata bahasa dari bahasa yang ditinggalkan menggantikan tata bahasa dari bahasa target untuk semua penutur bahasa target. Kreol dan Pidgin dimasukan dalam kerangka mereka sebagai kasus khusus kontak bahasa yang tidak melibatkan pemeliharaan tradisional maupun pergeseran tradisional ke bahasa target. Kasus-kasus ini melibatkan perkembangan linguistik baru sebagai hasil dari interaksi sosial tertentu.

Tidak mungkin membuat generalisasi tunggal tentang konsekuensi kontak bahasa di Maluku tengah karena geografi dan sejarah individu telah memberikan situasi kontak yang unik pada setiap bahasa. Banyak bahasa asli terus dipertahankan dengan kuat dan pada saat yang sama menunjukkan berbagai tingkat peminjaman dari bahasa lain. Dalam kasus lain, pergeseran bahasa telah terjadi. Sebuah pidgin dan selanjutnya kreol juga berkembang secara historis di pulau-pulau ini. Tulisan ini menyajikan contoh dari masing-masing jenis perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak tersebut, dan juga mempertimbangkan beberapa faktor sosial dan budaya yang terkait dengan berbagai jenis perubahan bahasa yang telah terjadi Maluku tengah.

Dalam sejarah perdagangan rempah-rempah, dua agama dunia dibawa ke wilayah ini : Islam diadopsi dari pengaruh pedagang Asia, dan Kristen dan Portugis yang Katolik dan kemudian Belanda yang Calvinis. Di Pulau Ambon selama 150 tahun terakhir, telah terjadi pergeseran bahasa di desa-desa Kristen sementara di desa-desa Muslim ada pemeliharaan bahasa. Banyak orang di Ambon hari ini menunjukkan korelasi ini, dengan menyatakan bahwa penyebab pergeseran dan pemeliharaan bahasa adalah agama. Tulisan ini, bagaimanapun, mempertimbangkan perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak di wilayah yang lebih luas, dimana hal ini korelasi tidak bertahan, membutuhkan penjelasan penyebab tunggal sederhana dari perubahan bahasa untuk diperiksa ulang. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas kontak bahasa di Maluku tengah.

 

Kasus “bahasa campuran” : Bahasa Melayu Ambon

Kasus pertama yang perlu dipertimbangkan adalah “bahasa campuran” Maluku tengah, yaitu bahasa Melayu Ambon, yang digunakan sebagai bahasa kedua di seluruh wilayah dan sebagai bahasa pertam di desa-desa tertentu di beberapa wilayah pada sebagian Ambon dan wilayah kepulauan Lease yang berdekatan, yaitu Saparua, Haruku dan Nusalaut, serta di beberapa desa pesisir di pulau-pulau lain (lihat peta 2). Berbagai kajian tentang bahasa Melayu Ambon telah diterbitkan (Ludeking [1868]; van Hoevell [1877]; de Clercq [1876]; Collins [1974, 1980a, 1983]; C. Grimes [1985]; B. Grimes [1991]), dan tujuannya di sini bukan untuk mengulasnya, melainkan untuk menempatkan bahasa Melayu Ambon dalam konteks historisnya sebagai salah satu jenis perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak yang telah terjadi di Maluku tengah.

Istilah Melayu telah digunakan untuk merujuk pada berbagai jenis linguistik dan kecuali jika lebih berhati-hati untuk lebih spesifik, penggunaan istilah tersebut dapat mengakibatkan kebingungan. Prentice (1978 : 20) membahas 3 jenis utama bahasa Melayu yang digunakan saat ini, yang mencerminkan pola yang telah ditetapkan sebelum tahun 700 M : dialek / bahasa Melayu asli di semenanjung Malaya, Sumatera dan Kalimantan; Melayu sastra dan istana yang mulai digunakan di kerajaan Sriwijaya; dan bahasa Melayu lingua franca yang kemudian digunakan dalam perdagang di seluruh Nusantara1. Meskipun kategorisasi ini mungkin sedikit disederhanakan, namun tetap berguna. Bahasa Melayu pertama kali datang ke Maluku melalui pedagang. Sastra atau “Melayu tinggi” datang dalam bentuk liturgi gereja dan terjemahan Alkitab dan sekarang sebagai bahasa Indonesia, yaitu bahasa nasional. Perbedaan bahasa Melayu Ambon dengan jenis terakhir telah dijelaskan dalam beberapa buku tentang bahasa Melayu Ambon yang telah diterbitkan.

Penggunaan awal bahasa Melayu di Maluku, seperti di tempat lain di Asia Tenggara, sangat terkait dengan perdagangan dan Islam. Ketika Portugis tiba di Maluku pada tahun 1512 mereka menemukan perdagangan yang telah mapan, bahasa Melayu digunakan secara luas, dan Islam menjadi agama yang dianut di pelabuhan perdagangan dan beberapa komunitas pesisir. Francis Xavier dan para imam Jesuit lainnya yang berada di Maluku pada abad ke-16 sering berkomentar dalam surat-surat mereka tentang penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah yang memiliki banyak bahasa ini dan bagaimana bahasa itu sama dengan bahasa yang digunakan jauh ke barat di Malaka. Dengan demikian, para imam dapat belajar bahasa Melayu di Malaka sambil menunggu untuk berlayar lebih jauh ke timur dan kemudian menggunakannya dalam penyebaran agama Kristen di Maluku.

Masing-masing pulau ini memiliki bahasanya sendiri dan

ada beberapa pulau yang bicaranya berbeda di setiap tempat.

Bahasa Melayu, yang mereka gunakan di Malaka, tersebar

luas di wilayah ini. Ke dalam bahasa Melayu, dengan banyak pekerjaan

saya Syahdat........[dan beberapa doa].

(ditulis oleh Francis Xavier dari Ambon 10 Mei 1546 di dalam Jacobs 1974 : 13, 14)

Ketika Belanda menguasai wilayah tersebut pada tahun 1605, hal-hal penting terjadi dalam hal kontak bahasa. Portugis sebelumnya telah dipaksa meninggalkan Ternate dan Tidore, dan benteng utama mereka pada waktu itu terletak di pulau Ambon. Benteng ini diambil alih oleh Belanda dan aktivitas mereka di Maluku tengah bertumpu pada lokasi ini. Meskipun Portugis telah menggunakan bahasa Melayu dalam perdagangan dan penyebaran agama Kristen, keinginan awal orang Belanda adalah agar bahasa Belanda digunakan di seluruh wilayah. Mereka mengirim seorang kepala sekolah ke Ambon dengan maksud untuk mengajar bahasa Belanda kepada anak-anak Ambon yang tinggal di sekitar benteng. Namun, dia segera menyerah pada gagasan itu.

Pendeta Casper Wiltens, yang merupakan pengkhotbah pertama yang ditempatkan di Ambon pada tahun 1615, awalnya lebih menyukai penggunaan bahasa Belanda. Namun, dengan cepat ia melihat kenyataan : “Tidak cocok dengan orang Ambon yang membosankan dan malas yang tidak memiliki keinginan [untuk belajar bahasa Belanda] (Valentijn [1724]: Vol 3; p. 36”. Jadi bahasa asli harus menjadi bahasa gereja dan sekolah. Bahasa Ambon? Tampaknya ini telah terbagi menjadi begitu banyak dialek sehingga penduduk Ambon bagian barat pun tidak dapat memahami penduduk Ambon bagian timur. Jadi pilihan Wiltens jatuh pada bahasa Melayu, bahasa yang sudah menemukan pintu masuk sebagai bahasa perdagangan umum di wilayah itu (diterjemahkan dari Brugmans 1938: 22)                     

Bahasa Melayu dengan demikian menjadi bahasa sekolah Belanda pada abad ke-17. Dengan demikian, bahasa Melayu adalah bahasa kedua baik untuk guru sekolah Belanda maupun anak-anak Ambon dan ada berbagai laporan yang menyatakan bahwa bahasa Melayu tidak dipahami dengan baik oleh satu pihak. Karya Valentijn tahun 1724 mencatat bahwa sedikit anak yang bisa membaca bahasa Melayu di sekolah ini tidak tahu apa yang mereka baca. Pada kesempatan lain “anak-anak absen dari sekolah karena pengkhotbah berbicara bahasa Melayu yang buruk dan tidak dapat dimengerti oleh mereka” (Cooley 1961: 354).

Pada tahun 1689, Belanda mengakui bahwa bahasa Melayu yang digunakan di sekitar Ambon telah menjadi berbeda dari apa yang diucapkan di bagian barat Nusantara. Untuk memperbaiki keadaan tersebut, pejabat VOC di Batavia memutuskan bahwa bahasa Melayu Tinggi harus diperkenalkan di Ambon. Setelah banyak perdebatan di Belanda, juga diputuskan bahwa terjemahan resmi dari Alkitab adalah dalam bahasa Melayu tinggi. Variasi bahasa Melayu yang berbeda ini kemudian digunakan di gereja-gereja di Ambon, dan meskipun orang-orang berbicara bahasa melayu lokal mereka, ada banyak referensi tentang fakta bahwa “Melayu Tingkat Tinggi” tidak dapat dipahami oleh mereka. Bahkan sampai tahun 1800, situasi di Ambon digambarkan sebagai salah satu

dimana bahasa Melayu sastra masih dihormati dan digunakan, tetapi justru bahasa itu kurang cocok untuk mengkomunikasikan Kitab Suci dan khotbah karena jemaat dan sebagian besar guru sendiri memahaminya dengan sangat tidak sempurna (Enklaar 1960: 26-27; terjemahan dari Cooley 1961: 357)

Saya telah menunjukkan di tulisan lain (B.Grimes, 1991) bagaimana ragam bahasa Melayu yang digunakan di Maluku tengah selama masa VOC pada abad ke-16 dan ke-17 harus dianggap sebagai pidgin. Selama masa Portugis pada abad sebelumnya, bahasa Melayu yang digunakan di Maluku tampaknya telah banyak digunakan di tempat lain di Nusantara. Pada abad ke-16 dan ke-17, bagaimanapun, jauh dari tanah air asalnya, bahasa Melayu ini berkembang menjadi bahasa pidgin di Ambon sebagai hasil dari akomodasi saling berbahasa di antara penutur berbagai bahasa dalam pengaturan multi-bahasa di sekitar benteng Belanda di Ambon. Kota yang bertumbuh di sekitar benteng terdiri dari orang-orang dari berbagai desa dan bahasa setempat, pedagang Cina, pegawai kompeni Belanda, serta komunitas yang berbeda dari budak-budak berbahasa Portugis (mardijkers) yang dibebaskan yang tetap di Ambon setelah Portugis meninggalkan Ambon. Pada tahun 1689, variasi bahasa yang digunakan di sekitar benteng telah mengkristal menjadi bentuk yang berbeda, berulang kali dicatat sebagai bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu yang digunakan di atau di dekat tanah airnya. Variasi ucapan ini juga dapat dianggap sebagai pidgin selama berabad-abad ini karena tidak mengakibatkan siapa pun melepaskan bahasa ibu mereka. Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, laporan mulai muncul dalam literatur bahwa bahasa asli di beberapa desa Kristen di Ambon dan Lease tidak lagi digunakan, telah digantikan oleh bahasa Melayu Ambon. Dengan demikian, dalam menjadi bahasa pertama, bahasa Melayu Ambon bisa dikatakan sudah “dipribumikan” atau dikreolisasi. Pengaruh struktur tata bahasa dari bahasa-bahasa di Maluku tengah mencerminkan umur panjang bahasa Melayu Ambon sebagi pidgin.

Bahasa Melayu Ambon benar-benar bahasa campuran di Maluku tengah dan mencerminkan sejarah sosial di daerah tersebut. Saat ini leksikonnya sebagian besar adalah bahasa Melayu tetapi mencakup item leksikal dari bahasa Portugis dan Belanda, serta dari bahasa asli. Meskipun diungkapkan dengan kata-kata Melayu, banyak idiom dan metaforanya yang memcerminkan sumbernya dalam budaya lokal. Sejarah bahasa Melayu Ambon menjadi lebih kompleks dengan masuknya bahasa Melayu dalam bentuk “tinggi” sebagai bahasa gereja selama abad ke-18 dan dengan penggunaan bahasa Indonesia standari sebagai bahasa nasional sejak kemerdekaan. Hari ini bahasa Indonesia adalah bahasa pemerintahan, pendidikan dan agama, sedangkan bahasa Melayu Ambon adalah bahasa rumah dan persahabatan. Tetapi seperti bahasa kreol yang lain yang bersentuhan dengan bahasa leksifikasi aslinya, juga memungkinkan untuk berbicara dalam campuran bahasa Melayu Indonesia dan Ambon yang sangat beragam (lihat B. Grimes 1991).

 

Kasus lain pergeseran bahasa : Pesisir Buru

Di bagian ini, kasus lain dari pergeseran bahasa di Maluku tengah diperiksa. Di sini pergeseran juga ke bahasa Melayu Ambon, tetapi melibatkan sejarah yang sangat berbeda dengan pergeseran yang terjadi di beberapa desa di Ambon dan Lease selama abad ke-19. Pada abad ke-16 orang-orang Ternate telah memapankan diri mereka di Buru dan sebagian pesisir Buru untuk dikonversi menjadi Islam. Berbagai Kimelaha atau “gubernur” Ternate menetap di Buru dan tempat-tempat lain di Maluku tengah seperti semenanjung Hoamoal di Seram, yang dianggap sebagai “wilayah vasal” Ternate. Namun wilayah vasal dan kimelaha bertindak tidak selalu demi kepentingan Sultan Ternate. Ketika Portugis dan Sultan Ternate memonopoli perdagangan cengkeh, orang-orang di beberapa daerah di Maluku tengah mulai menanam cengkeh secara lokal2. Wilayah-wilayah utamanya termasuk semenanjung Seram bagian barat Hoamoal dan semenanjung utara Ambon yaitu Hitu, tetapi cengkeh juga ditanam di Buru, di wilayah Wae Sama pada pertengahan abad ke-16.

Ketika Belanda tiba pada awal abad ke-17, sejumlah besar cengkeh ditanam di Maluku tengah dan ada perdagangan yang sama besarnya dengan pedagang Jawa, Makasar, dan Asia lainnya. Untuk mendirikan monopoli mereka, Belanda menandatangani kontrak dengan orang-orang Banda dan Sultan Ternate yang memberikan hak perdagangan eksklusif kepada Belanda dengan Banda, Ternate dan semua wilayah vasal Ternate. Lebih jauh lagi, Belanda berharap, bahwa wilayah vasal seperti Buru dan Hoamoal ini akan menghormati kontrak yang telah ditandatangani oleh Sultan mereka. Masalahnya, bagaimanapun, pedagang-pedagang Asia selalu menawarkan harga lebih tinggi daripada Belanda. Beberapa gubernur Belanda mula-mula berusaha bersikap moderat dalam menangani penjualan rempah-rempah “ilegal” kepada para pedagang Asia, tetapi pada akhirnya tindakan yang lebih keras diambil. Dibawah Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jend Ambon pada tahun 1620-an, sebagian besar penduduk Banda dibunuh karena mereka terus menerus mengabaikan kontrak yang memberi Belanda monopoli atas perdagangan  pala. Monopoli atas cengkeh sama pentingnya, dan Hitu, Hoamoal dan Buru, semuanya diperlakukan sebagai musuh di perang hebat selama pertengahan abad ke-17. Kompeni memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk dapat memonopoli perdagangan cengkeh adalah dengan mengusir semua pedagang asing dari daerah tersebut dan membatasi produksi cengkeh ke Ambon dan Lease jika mereka dapat memantau situasi secara dekat. Di semua tempat lain, pohon cengkeh harus ditebang atau dicabut dan ekspedisi tahunan keluar dari Ambon untuk memastikan bahwa tidak ada cengkeh yang ditanam di tempat yang tidak seharusnya. Selain itu, Belanda membawa banyak “pemberontak” di Maluku tengah untuk tinggal di tempat yang dekat dengan kompeni mengawasi aktivitas mereka.

Arnold de Vlamingh van Oudsthoorn, panglima Belanda dalam perang ini, juga melancarkan serangan terhadap lawan-lawan VOC di tempat lain, antara lain di Buru dan Seram bagian timur.....Hoamoal, ..... dihancurkan seluruhnya.....para pemimpin Hoamoal ditawan di Batu Merah, di sekitar benteng utama VOC di Ambon. Penduduk pulau Boano, Kelang, dan Ambelau dipindahkan ke pulau Manipa, diman kompeni memiliki benteng kecil. Semua pemimpin Muslim di daerah pesisir Buru diwajibkan untuk menetap di sekitar benteng kompeni di Kayeli.......Daerah-daerah yang dievakuasi secara sistematis dihancurkan dan tidak layak dihuni kembali. Kontrak disepakati dengan para pemimpin Buru dan Seram utara dan timur dimana pemimpin Seram timur mengakui diri mereka sebagai bawahan VOC; berjanji untuk tidak memiliki hubungan dengan negara atau penguasa lain, untuk mencegah semua orang Makasar, Melayu, dan Jawa (van Fraasen, 1983: 17, penekanan dari saya).

Sebagai hasil dari usaha monopoli Belanda, para pemimpin pesisir Buru beserta komunitasnya dibawa untuk tinggal di sekitar benteng Belanda di Kayeli, di timur laut Buru (lihat peta 3). Di sekitar benteng, setiap pemimpin diizinkan untuk mendirikan desanya sendiri, mesjidnya sendiri, dan sumur untuk menafkahi komunitasnya. Desa-desa ini tetap menjadi komunitas sosial dan bahasa yang berbeda selama beberapa abad. Pada pertengahan abad ke-18, Valentijn mencatat 13 “pemimpin/kepala” Buru yang tinggal di desa-desa di sekitar benteng Kayeli : Roemah ite (Loema-ete), Waij-sama, Kajelie, Lelialie, Tagalisa, Licella: Tomahoe, Balamata (Palmata), Topi: Bara, Hoekoemina, Maroelat dan Masarete. Pada pertengahan abad ke-19, Willer mencatat angka populasi untuk 12 desa Muslim di Kayeli dengan total populasi sebanyak 1411 jiwa. Pada tahun 1882, naturalis Inggris Forbes mencatat bahwa raja-raja Buru tinggal di sekitar benteng Kayeli dan masih mempertahankan identitas asli mereka yang khas (1989: 307). Peta 3 menyajikan estimasi terbaik dari situasi bahasa di Buru pada saat para pemimpin pesisir dan komunitas mereka dipindahkan ke benteng pada tahun 16563.

Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda pindah dari lokasi benteng Kayeli yang berawa-rawa ke daerah kering di sebelah teluk yang sekarang menjadi kota Namlea, kota terbesar di pulau itu. Sekarang Kayeli adalah kota yang terlupakan, telah digantikan oleh Namlea. Beberapa orang yang masih tinggal di sekitar benteng tua di Kayeli menganggap diri mereka sebagai keturunan raja-raja ini dan komunitasnya, tetapi mereka tidak lagi berbicara bahasa asli mereka : bahasa Melayu Ambon adalah bahasa utama mereka. Pada tahun 1979, hampir 350 tahun setelah pemindahan paksa ke benteng, hanya ada satu penutur bahasa bagian sisi barat (hukumina) yang masih dapat ditemukan di Kayeli dan tidak ada satu pun di lokasi aslinya. Hanya ada 4 penutur bahasa Kayeli yang diketahui dan penutur terakhir dialek Leliali dari bahasa tersebut meninggal pada tahun 1989 (C.Grimes 1991). Tidak ditemukan penutur bahasa Lumaete, yang mungkin merupakan dialek lain dari Kayeli yang dituturkan di sepanjang pantai tenggara.

Dengan demikian, pergeseran bahasa terjadi di Buru dimana beberapa populasi berbeda dipindahkan ke benteng Belanda dan dipaksa untuk hidup dalam situasi multi bahasa selama berabad-abad. Saat ini satu bahasa asli Buru disebut sebagai bahasa Buru dan digunakan baik di pegunungan maupun di pesisir/pantai. Pada masa Belanda, penuturnya dianggap sebagai Alfurus. Baik sebagai non Muslim maupun orang pegunungan, mereka tidak terlibat dalam perdagangan cengkeh dan oleh karena itu tidak termasuk dalam perpindahan ke benteng. Secara signifikan, beberapa orang yang tinggal di sekitar benteng tua di Kayeli yang menggunakan bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa utama mereka juga mempelajari bahasa pedalaman Buru sebagai bahasa kedua. Saat ini berbagai pendatang bermukim di sepanjang pesisir Buru, terutama pendatang dari Sula, Buton, dan baru-baru ini dari Jawa. Dialek dari salah satu bahasa Buru yang tersisa ditunjukkan pada peta 4.

 

Pemeliharaan bahasa di Maluku Tengah

Kegunaan lingua franca bahasa Melayu yang digunakan selama lebih dari 500 tahun di daerah yang memiliki keragaman bahasa di Maluku tengah dan fakta bahwa beberapa desa telah beralih ke penggunaan lingua franca sebagai bahasa utama mereka seharusnya tidak mengaburkan fakta bahwa pemeliharaan bahasa telah kuat dalam konteks Maluku tengah secara keseluruhan. “Terlepas dari penetrasi bahasa Melayu yang tersebar luas dan sangat lama di Maluku tengah, banyak bahasa asli masih bertahan” (Collins 1982: 88). Dengan pemeliharaan bahasa yang jauh lebih banyak daripada pergeseran bahasa di Maluku tengah, jenis perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak yang paling umum telah terjadi peminjaman – penggabungan elemen asing ke dalam bahasa yang dipertahankan. Dalam skala peminjaman yang dikemukakan oleh Thomason dan Kaufman (1988: 74-75), tingkat peminjaman mencerminkan intensitas kontak antara 2 bahasa. Di bagian lain, 2 bahasa dipertimbangkan, yang mencerminkan tingkat kontak yang berbeda dengan bahasa lain. Yang pertama adalah bahasa pedalaman Buru dan yang kedua adalah bahasa desa Laha di Ambon.

Tingkat kontak internal dan peminjaman antara bahasa-bahasa tetangga bisa sangat signifikan di Maluku tengah, terutama ketika bahasa-bahasa berhubungan erat. Di Buru, dialek Lisela (Li Enyorot) mengalami perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak yang luas sebagai akibat dari interaksi yang kuat di pantai utara Buru dengan banyak koloni dari 12.000 atau lebih penutur Sula dari Maluku utara yang telah tinggal di Buru selama beberapa generasi. Merefleksikan kontak intensifnya dengan Sula, Lisela adalah dialek bahasa Buru yang paling berbeda saat ini (C. Grimes 1991).

Banyak “kosakata non-dasar” dari Portugis, Belanda dan Ternate ditemukan di semua dialek Buru. Meskipun tidak mungkin untuk mengetahui apakah mereka dipinjam oleh penutur bahasa Buru yang bersentuhan langsung dengan bahasa-bahasa ini, atau melalui bahasa Melayu Ambon, ada banyak item yang bahasa sumbernya jelas. Dari bahasa Portugis, misalnya, adalah kapitan “panglima perang/pejuang”4; kadera “kursi”; lenso “sapu tangan”; Dari bahasa Belanda, misalnya blasteng “pajak/upeti”; straat “jalur/jalan desa”; mandak “Senin”; baal “bola”; bisluit “putusan/keputusan”; efluit “suling bambu”. Dari Ternate : joh “penguasa”; mat gugul “seorang pemimpin di Buru yang berhubungan dengan Sultan Ternate”. Pengaruh Ternate, Portugis dan Belanda tampaknya terbatas pada pinjaman leksikal. Hal ini sesuai dengan realitas sosial bahwa meskipun orang pedalaman Buru berhubungan dengan kekuatan asing ini pada waktu yang berbeda dan meminjam benda dan gelar yang berbeda dari mereka, intensitas kontak dengan bahasa-bahasa tersebut rendah.

Mengingat bahwa bahasa Melayu Ambon sebagai lingua franca telah ada lebih lama dari bahasa kontak asing lainnya dan itu terus berlanjut digunakan sebagai bahasa kedua, tidak mengherankan ditemukan tingkat peminjaman yang lebih tinggi dari bahasa Melayu Ambon ke bahasa Buru. Pada masa sekarang ini mencakup berbagai item leksikal Melayu serta kadang-kadang peminjaman kata-kata fungsi dan penanda wacana. Peminjaman seperti ini dipandang oleh Thomason dan Kaufman (1988: 74) sebagai refleksi kontak yang sedikit lebih intens daripada ketika hanya item kosakata yang dipinjam.

Meskipun ini mungkin tipikal dari tingkat peminjaman yang terjadi dari bahasa Melayu ke banyak bahasa asli di Maluku tengah, ada bahasa asli di Maluku tengah yang memiliki kontak yang jauh lebih intensif dengan bahasa Melayu Ambon. Ini adalah bahasa Laha, bahasa yang digunakan di desa Muslim di teluk Ambon. Di desa-desa sekitar Laha, bahasa Melayu Ambon dituturkan dan penutur Laha sendiri juga menuturkannya. Desa ini sebenarnya adalah lokasi bandara untuk pulau Ambon, bandara utama provinsi. Collins (1980b) telah menulis catatan singkat tentang bahasa Laha, satu-satunya baahsa asli yang bertahan di teluk Ambon :

Di Laha terdapat penjajaran yang aneh antara yang baru dan yang lama. Di pagi hari, beberapa pemuda bersiap-siap untuk seharian memeriksa tiket sementara yang lain membawa kapak dan parang menuju hutan untuk membersihkan ladang. Anak-anak berkerumun di sekitar bus dari Ambon atau bergegas ke pantai untuk membantu para nelayan memilah ikan hasil tangkapan (1980b: 3)

Thomason dan Kaufman mencatat bahwa ketika tekanan budaya begitu kuat sehingga semua penutur bahasa harus mempelajari bahasa dominan masyarakat (seperti dalam hal ini, Laha), akan ada hasil linguistik yang berbeda. Biasanya terjadi pergeseran bahasa, baik secara cepat dalam satu generasi, atau lambat dalam kematian bahasa karena gesekan. Namun ada juga kasus, dimana “karena alasan bahasa yang keras kepala dan kesetiaan budaya, kelompok yang tertekan dapat mempertahankan apa yang mereka bisa dari bahasa aslinya sambil meminjam sebagian besar tata bahasa yang tidak menyenangkan sehingga mereka menggantikan semua, atau setidaknya bagian cukup besar dari tata bahasa asli” (1988: 100). Beginilah cara Collins mendeskripsikan bahasa Laha.

Laha tetap mempertahankan bahasa aslinya dalam menghadapi tekanan yang meningkat dari bahasa Melayu Ambon tetapi hanya dengan biaya dari revisi drastis tata bahasanya........sedikit demi sediki tata bahasa Laha telah menjadi hampir dapat dipertukarkan dengan tata bahasa AM (Ambon Melayu). Kemampuan beradaptasi dalam bahasa Laha ini telah berkontribusi pada kelangsungan hidupnya (1980b : 14)5.

Adalah penting bahwa sebagai hasil dari kontak, bahasa Laha dan Melayu Ambon secara struktural serupa namun berbeda secara leksikal, namun bahasa bahasa Laha tetap bertahan meski dibayang-bayangi oleh bahasa Melayu Ambon. Tentu saja tidak ada yang intrinsik dalam bahasa Laha itu sendiri yang memberinya kemampuan beradaptasi dan memungkinkannya bertahan – sejarah sosio-linguistik dan ideologi penutur Laha-lah yang memotivasi mereka untuk mempertahankan bahasa asli mereka bahkan dalam menghadapi kontak yang intens dengan bahasa Melayu Ambon. Saya akan menyarankan di bagian berikutnya bahwa motivasi ini setidaknya sebagian berasal dari anggapan bahwa ada kebutuhan untuk mempertahankan perbedaan etnis dan agama dari penutur bahasa Melayu Ambon lainnya.

 

Mengapa berubah?

Lebih banyak contoh dapat diberikan dan kasus di atas hanya ilustrasi singkat dari sifat kontak dalam pengaturan multi bahasa Maluku tengah. Seperti yang telah ditunjukkan pada bagian sebelumnya, perubahan yang terjadi sebagai akibat dari kontak dengan bahasa lokal dan bahasa asing bervariasi. Banyak dari bahasa asli telah dipertahankan sambil memasukan fitur leksikal dan tata bahasa dari bahasa lain. Namun, tidak semua bahasa dipertahankan; Melayu kreol mengembangkan pembicara di beberapa desa yang beralih dari menggunakan bahasa asli. Bagian ini membahas mengapa konfigurasi perubahan khusus ini terjadi di Maluku tengah.

Dalam mempertimbangkan segala jenis perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak, baik peminjaman atau pergeseran, penting untuk diingat bahwa pemeliharaan dan pergeseran bahasa pada dasarnya merupakan hasil kolektif jangka panjang dari pilihan bahasa (Fasold 1984: 213). Pilihan bahasa dengan demikian merupakan bagian dari perilaku manusia dan beberapa model sosial telah dikembangkan untuk menjelaskan faktor-faktor yang relevan dengan penggunaan bahasa melalui model mereka, pendukung model ini tidak mengklaim nilai prediktif untuk mereka. Kebanyakan ahli, menurut Fasold (1984: 217), sepakat bahwa memprediksi pergeseran bahasa tidak mungkin dilakukan. Bagi Thomason dan Kaufman (1988: 47), “prediksi berbasis sosial yang sederhana pasti akan gagal”. Dalam mempertimbangkan beberapa model di sini, saya tidak menggunakannya untuk memprediksi pemeliharaan atau pergeseran bahasa di masa depan, tetapi untuk menyoroti fakta yang berpotensi relevan tentang masa lalu.

 

Intensitas Kontak

Thomason dan Kaufman (1988) menganggap intensitas kontak sebagai salah satu faktor sosial luas yang tampaknya berdampak pada perubahan bahasa. Beberapa faktor tunggal dapat mempengaruhi intensitas kontak bahasa termasuk waktu, derajat bilingualisme, dan ukuran populasi relatif. Namun, tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut yang cukup untuk memprediksi apakah perubahan bahasa akan mengakibatkan pemiliharaan dan peminjaman atau pergeseran. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pergeseran dan pemertahanan bahasa di Ambon sering dianggap sebagai akibat dari afiliasi agama. Meskipun agama merupakan ciri khas sosial yang penting di sana, hal ini jelas bukan penyebab utama dipertahankannya atau terjadi pergeseran bahasa lokal. Baik penduduk Kristen maupun Islam telah mengalami pergeseran bahasa di Maluku tengah dan dalam kasus lain, baik penduduk Kristen maupun Islam masih mempertahankan kesetiaan bahasa yang kuat terhadap bahasa asli. Untuk mencari alasan yang lebih substansial mengapa beberapa desa Kristen beralih ke Melayu Ambon di Ambon dan Lease, ada baiknya kita mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas kontak dengan Melayu. Sebelum kedatangan salah satu agama asing ini, terdapat jaringan politik tradisional di banyak tempat di Maluku tengah :

Setiap desa bergabung dalam Patalima/Ulilima atau Patasiwa/Ulisiwa, dan di setiap wilayah, pulau, atau gugusan pulau, desa-desa Patalima dan Patasiwa didistribusikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan pembagian wilayah ganda. Jelas terlihat dari sumber-sumber abad ke-16 dan ke-17, bahwa kedua “wilayah” itu menganggap satu dengan yang lain sebagai lawan/musuh........akibat pengatuh sistem ini, desa-desa di salah satu dari “wilayah” itu akan membuat pilihan politik dan budaya yang bertentangan dengan pilihan desa-desa terdekat dari  “wilayah” yang lain. Desa-desa di pesisir utara Hitu yang tergabung dalam Patalima/Ulilima, memeluk agam Islam dan mencari dukungan dari pihak-pihak Jawa. Desa-desa di pesisir selatan Hitu, termasuk Hatiwe dan Tawiri, tergabung dalam Patasiwa/Ulisiwa, masih pagan, dan mencari aliansi dengan Portugis. Pada umumnya desa-desa pagan di Ambon.......dan Lease......yang tergabung dalam Patasiwa/Ulisiwa pada abad ke-16 menjadi sekutu Portugis, yang biasanya menyiratkan bahwa mereka menganut agama Kristen. Desa-desa yang tergabung dalam Patalima/Ulilima di kepulauan ini cenderung menerima Islam dan sebaliknya mencari dukungan dari masyarakat Jawa dan Ternate (van Fraasen 1983: 5).

Dengan demikian, desa-desa Patasiwa/Ulisiwa di Ambon dan Lease bersekutu dengan Portugis dan menganut agama Kristen, sedangkan Patalima/Ulilima menganut agama Islam. Karena sudah digunakan di daerah tersebut, Portugis menggunakan bahasa Melayu dalam menyebarkan agama Kristen. Sejak awal abad ke-17, Belanda menargetkan usaha-usaha keagamaan dan pendidikan mereka yang lebih intens di desa-desa ini, dengan menggunakan – karena kebutuhan – bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Baru 250 tahun kemudian menjelang akahir abad ke-19 terjadi perubahan politik di Belanda yang menyebabkan pemisahan pendidikan dan agama di Maluku tengah. Baru pada saat inilah sekolah-sekolah dibuka di desa-desa Muslim dan bahasa Melayu mulai dipelajari oleh perempuan dan anak-anak Muslim. Afiliasi politik dan keagaamn yang terjadi di desa-desa Patasiwa/Ulisiwa bukanlah penyebab pergeseran bahasa itu sendiri, namun afiliasi tersebut membawa masyarakat ke tingkat kontak yang lebih besar dengan bahasa Melayu dibandingkan yang terjadi di desa-desa Patalima/Ulilima. Ketika beberapa desa Patasiwa/Ulisiwa akhirnya mulai beralih ke bahasa Melayu Ambon pada abad ke-19 dan ke-20, bahasa Melayu tidak hanya menjadi lingua franca, namun juga bahasa agama dan pendidikan di desa-desa tersebut selama lebih dari 250 tahun. Bahasa yang datang ke Maluku secara historis diasosiasikan dengan Islam, secara lokal digunakan secara lebih intensif dengan agama Kristen.

                      

Vitalitas Etnolinguistik

Model lain yang telah dikembangkan oleh psikolog sosial yang mencoba mengintegrasikan variabel sosiologis dan sosio-psikologis ke dalam model kontek etnolinguistik. Giles (1977) mengembangkan konsep vitalitas etnolinguistik, yang didefenisikan sebagai “apa yang membuat suatu kelompok cenderung berperilaku sebagai entitas kolektif yang khas dan aktif dalam situasi antar kelompok” (1977: 308). Faktor-faktor yang menunjukkan vitalitas etnolinguistik yang dikemukakan oleh Giles (status, demografi, dan dukungan kelembagaan) kemudian dimodifikasi oleh Prujiner dkk (1984) yang menyatakan bahwa modal demografi, ekonomi, politik dan budaya kelompok etnolinguistiklah yang menjadi indikator vitalitas etnolinguistik mereka (lihat Allard dan Landry, 1988). Konsep vitalitas etnolinguistik yang berasal dari kebutuhan yang dirasakan oleh kekhasan dalam situasi antar kelompok adalah penting dan tampaknya menjadi setidaknya satu faktor dalam pemeliharaan baahsa Laha seperti yang dijelaskan Collins. Meskipun struktur bahasa Laha juga mirip berbicara bahasa Melayu Ambon, dan meskipun penutur Laha adalah minoritas kecil, mereka tetap menjaga kesetiaan terhadap bahasanya. Mengingat hubungan historis yang berkembang antara agama Kristen dan penutur pertama Melayu Ambon, bahasa Laha diperlukan untuk menegaskan identitas etnis dan agama yang berbeda.

 

Diglosia

Gagasan diglosia dan poliglosia telah dikembangkan dan disempurnakan oleh beberapa ahli sosiolinguistik selama bertahun-tahun (Ferguson 1959; Fishman 1967,1972; Platt 1977; Fasold 1984; selain banyak studi kasus) untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan fungsi ketika ucapan tertentu varietas dianggap sesuai dengan fungsi atau domain kehidupan tertentu. Diglosia dan bahkan poliglosial merupakan aspek penting dalam penggunaan bahasa di Maluku tengah. Bahasa Indonesia formal digunakan dalam ranah pemerintahan dan pendidikan. Di dalam domain agama, bahasa Indonesia digunakan dan juga bahasa Arab. Bahasa daerah dan bahasa Melayu Ambon digunakan dalam interaksi masyarakat sehari-hari (lihat B.D. Grimes 1991)

 

Gagasan Budaya terkait dengan bahasa

Berbagai model yang dibahas di atas telah menjelaskan berbagai faktor yang relevan dengan perubahan yang disebabkan oleh kontak dan penggunaan bahasa di Maluku tengah. Namun, lebih banyak lagi yang dapat dipahami tentang pilihan bahasa di Maluku tengah, dengan mempertimbangkan gagasan budaya masyarakat di sana tentang bahasa. Beberapa poin di bahas di sini.

Pertama, di Maluku tengah terdapat hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Dalam menganalisis jenis pengetahuan yang diakui masyarakat Huaulu di Seram Tengah, Valeri (1990) menggunakan bahasa sebagai kriteria klasifikasi. Penggunaan bahasa asli Huaulu dikaitkan dengan apa yang disebutnya “pusat pengetahuan”. Pengetahuan unggul semacam ini mendefenisikan masyarakat Huaulu dan asal-usul Huaulu – hal-hal yang hanya bisa didiskusikan dalam bahasa Huaulu. Ada jenis pengetahuan lain di Huaulu (nyanyian penyembuhan, cerita rakyat umum, lagu) yang disebutnya “pengetahuan periferal/pinggiran” karena pengetahuan tersebut diakui oleh masyarakat Huaulu sebagai pinjaman dari musuh dan sekutu, dan dikaitkan dengan bahasa asing. Valeri (1990: 5) mencatat “pengetahuan bahasa asing merupakan bagian tidak terpisahkan dari penguasaan praktik budaya asing (kebanyakan ritual)”. Dengan kata lain, ketika praktik budaya asing dipinjam, bahasa asing juga dipelajari sebagai bagian dari paket tersebut. Asumsi yang mendasari mengenai tidak dapat dipisahkannya perilaku pinjaman dan bahasa pinjaman ini terjadi di seluruh wilayah Maluku tengah dan menjadi landasan lokal bagi diglosia dan poliglosia. Nyanyian penyembuhan seringkali dipinjam dan dipelajari dalam bahasa asing. Ritual keagamaan Islam dan Kristen dilakukan dalam bahasa asing yang sesuai. Pendidikan formal adalah sejenis ilmu yang dilaksanakan dalam bahasa Indonesia.

Gagasan penting kedua tentang bahasa dalam budaya Maluku tengah adalah hubungannya dengan nenek moyang/leluhur dan kekuasaan. Kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat di wilayah timur Indonesia telah dicirikan oleh Fox sebagai kelompok asal usul dalam :

....... apa yang mereka klaim untuk dibagikan dan dirayakan adalah suatu bentuk turunan yang sama. Derivasi ini dikonstruksi secara sosial dan dapat didasarkan pada pengakuan nenek moyang yang sama, sekte yang sama, nama atau kumpulan nama yang sama, tempat asal yang sama, dan/atau bagian dalam koleksi artefak suci yang sama (1990: 3)

Individu-individu di Maluku tengah berafiliasi dengan kelompok kekerabatan tersebut, sehingga tidak hanya memberi mereka nama keluarga, namun juga nenek moyang dan asal usul mereka. Para leluhur ini bukan sekedar kerabat yang telah lama meninggal, namun merupakan pendiri masyarakat yang mendirikan adat istiadat (adat). Mereka mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi kehidupan sehari-hari keturunan mereka yang masih hidup dan hal tersebut dilakukan sehubungan dengan pemeliharaan adat. Cooley menggambarkan konsep ini di antara desa-desa Kristen di Ambon :

Kekuasaan yang dimiliki nenek moyang atas makhluk hidup ini dapat diwujudkan dalam bentuk berkah dan kutukan, tergantung apakah adat tersebut dilaksanakan dengan baik atau tidak (1961: 156)

Hubungan antara bahasa dan pengetahuan berarti bahwa ritual pinjaman dilakukan dengan bahasa pinjaman, namun ritual tradisional, agar efektif, harus dilakukan dalam bahasa asli, bahasa nenek mooyang. Seperti yang sekali lagi dikemukakan oleh Cooley, “dipercaya secara luas bahwa agar menjadi sah [,] adat harus dilakukan dalam bahasa asli, yang memungkinkan adanya hubungan langsung dengan roh nenek moyang” (1962: 88). Bagi banyak masyarakat di Maluku tengah yang masih mempertahankan bahasa mereka, adat dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa asli sebagai hal yang biasa. Namun permasalahan ini cukup problematis bagi masyarakat di desa-desa Kristen di Ambon yang telah kehilangan bahasa asli mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka terpaksa mencari orang-orang dari desa-desa Muslim untuk melakukan ritual tradisional mereka dalam bahasa asli Ambon.

Di Maluku tengah, gagasan tentang nenek moyang dan tempat juga bertemu. Kebijakan pemukiman kembali Belanda pada abad ke-17 telah dicatat. Kebijakan ini secara paksa memindahkan masyarakat dari tempat asalnya ke benteng Kayeli di Buru, benteng di Manipa, ke Batumerah dekat kota Ambon, dan ke berbagai tempat lainnya. Selain itu desa-desa pegunungan dipindahkan ke pantai di Ambon. Meskipun semua perpindahan ini terjadi di wilayah umum yang sama, di Maluku tengah tempat asal usul leluhur sangatlah spesifik dan terjadi keterasingan yang cukup besar dari tempat asal di seluruh wilayah sebagai akibat dari kebijakan ini. Bagi masyarakat yang terkena dampak, keterpisahan dari tempat asal dan nenek moyang pada akhirnya akan menurunkan moral budaya dan vitalitas linguistik bahasa asli.

Keterasingan dari tempat asal sangat penting mengingat sejarah Melayu di Maluku tengah. Kota Ambon, yang merupakan pusat pendidikan, keagamaan dan administrasi pada masa Belanda dan saat ini menjadi ibukota provinsi, berkembang di sekitar benteng yang dibangun oleh Portugis di teluk Ambon. Tidak pernah ada desa adat/pribumi di tempat itu; daerah ini tidak pernah menjadi tempat asal suatu desa atau kelompok kekerabatan tertentu. Kota ini berkembang selama bertahun-tahun karena karena orang-orang datang dengan berbagai alasan dan dari berbagai tempat untuk tinggal di sekitar benteng. Di sini orang-orang hidup, baik karena terpaksa atau karena pilihan, jauh dari tempat tradisional mereka dalam lingkungan multi etnis dan multi bahasa. Kota Ambon bukanlah desa tak bertuan, namun desa setiap orang. Bahkan hingga saat ini, setelah beberapa generasi, masyarakat kota Ambon masih mengetahui tempat asal mereka, selalu di desa lain, mungkin di pulau lain. Jadi bukan hanya intensitas kontak dengan bahasa Melayu yang lebih besar di daerah sekitar benteng di Ambon, tetapi juga terjadi keterasingan masyarakat dari tempat asalnya sehingga bahasa Melayu Ambon menjadi bahasa pertama yang layak dan digunakan lebih dari sekedar lingua franca.

Dalam hal ini, ada beberapa kesamaan antara ibukota yang berkembang pesat, Ambon, yang lalu lintasnya padat dan bertindak sebagai wilayah satelit, serta kota Kayeli yang terpencil dan terlupakan, dekat reruntuhan benteng Belanda yang tersembunyi di rawa-rawa bakau di Buru. Secara historis di kedua tempat tersebut terdapat benteng, perpindahan penduduk dari tempat asal mereka, populasi multi etnis, multi bahasa yang sudah berlangsung lama, dan akhirnya – setelah 250 tahun- pergeseran bahasa. Gagasan budaya tentang bahasa di Maluku tengah ini berkontribusi pada pemahaman mengapa pergeseran bahasa terjadi di kedua tempat tersebut serta mengapa perlu waktu beberapa generasi sebelum hal itu terjadi.

 

Kesimpulan

Berbagai model teoritis yang dipertimbangkan telah menyarankan beberapa faktor yang relevan untuk menjelaskan mengapa perubahan bahasa yang disebabkan oleh kontak tertentu terjadi di Maluku tengah. Ada baiknya juga untuk mempertimbangkan gagasan-gagasan yang terkait dengan bahasa dan penafsiran orang-orang di Maluku tengah mengenai hubungan mereka dengan dunia sosial mereka yang lebih luas. Kebutuhan akan kekhasan sosial di desa Laha mempengaruhi pemertahanan bahasa ini hampir dikalahkan oleh bahasa Melayu Ambon. Di balik kepecayaan umum bahwa agama Kristen telah menyebabkan pergeseran bahasa, terdapat fakta bahwa terdapat intensitas kontak yang jauh lebih besar dengan bahasa Melayu di desa-desa Kristen sebagai hasil dari upaya keagamaan dan pendidikan yang dilakukan oleh orang Belanda. Namun terdapat juga tingkat keterasingan yang tinggi terhadap tempat asal usul dan nenek moyang di antara sebagian besar penduduk Kristen di Ambon serta di antara penduduk Muslim di Buru (Kayeli) dan Ambon (Batumerah).  Akibat kebijakan pemukiman kembali Belanda, komunitas multi etnik dan multi bahasa berkembang dengan masyarakat yang tinggal jauh dari tempat asal nenek moyang mereka. Dalam semua kasus ini ­– di antara populasi Kristen dan Muslim – pergeseran bahasa ke lingua franca akhirnya terjadi setelah bertahun-tahun.

Fenomena diglosia dan poliglosia yang tersebar luas di Maluku tengah paling baik dipahami bukan dalam kerangka gagasan teoritis tentang bahasa “tinggi” dan “rendah”, namun dalam kerangka gagasan budaya lokal tentang bahasa dan pengetahuan. Akumulasi pengetahuan dalam masyarakat adat manapun tidak murni merupakan pengetahuan asli dan juga tidak sepenuhnya diucapkan dalam bahasa asli. Analisis Valeri (1990) mengenai pengetahuan “pusat” dan bahasa Huaulu dibandingkan dengan pengetahuan dan bahasa “pinggiran” yang dipinjam tampaknya lebih sesuai dengan bagaimana bahasa dipahami dan digunakan di Maluku tengah. Intinya, peminjaman dan pemeliharaan itu penting. Meminjam bahasa dan pengetahuan orang lain adalah tindakan yang bijaksana; menjaga bahasa dan pengetahuan nenek moyang sangatlah penting. Di Maluku tengah, pilihan individu dan kolektif mengeai penggunaan bahasa dibuat dalam konteks budaya seperti itu, dan dalam konteks yang sama, masyarakat Ambon berusaha menjelaskan pergeseran bahasa dan pemeliharaan bahasa yang terjadi di pulau mereka.

====== selesai ======

 

Catatan Kaki

1.         Para sarjana Tiongkok yang mengunjungi kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh mencatat bahwa bahasa yang disebut K'un-lun merupakan lingua franca yang tersebar luas di kekaisaran pada saat itu. Prentice (1978: 19) berpendapat bahwa ini hampir pasti merupakan bentuk bahasa Melayu.

2.        Meskipun cengkeh merupakan tanaman asli beberapa pulau di Maluku utara, kondisi iklim dan tanah yang baik juga terdapat di Maluku tengah, sehingga budidaya cengkeh dapat dilakukan di luar Maluku utara (Ellen 1979).

3.        Dari sisa-sisa bahasa yang digunakan, terlihat jelas bahwa setidaknya ada tiga bahasa yang berbeda (C. Grimes 1991). Mengingat telah terjadi pergeseran bahasa, tidak mungkin untuk menentukan dialek dan pembagian bahasa lebih lanjut meskipun ada kemungkinan bahwa pada tahun 1650-an setiap komunitas yang pindah ke benteng memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda.

4.        Bahasa Portugis Kapitan dimasukkan ke dalam morfologi Buru sebagai pakitan dan ep-kita-n yang diartikan kembali menjadi “yang mengawasi” yang justru berperan sebagai panglima perang di Buru yang harus selalu waspada terhadap datangnya seorang musuh

5.        Argumen dasar Collins adalah bahwa bahasa Laha telah menjadi calque [kalah] terhadap Melayu Ambon. Akan tetapi, orang Melayu Ambon, sebagai seorang kreol, juga terlihat menganut bahasa-bahasa asli, seperti yang diungkapkan Collins sendiri di tempat lain (1980a, 1983) (lih. juga B.D. Grimes 1990). Beberapa perubahan tata bahasa Laha yang ia kaitkan dengan kontak dengan bahasa Melayu Ambon juga terjadi pada bahasa-bahasa lain di Maluku tengah yang kontak dengan bahasa Melayu Ambon jauh lebih sedikit. Terlepas dari bagaimana bahasa Laha berkembang, poin yang menjadi poin dalam tulisan ini adalah bahwa bahasa Laha dan Melayu Ambon memiliki kemiripan secara gramatikal namun sangat berbeda secara leksikal dan masih terdapat loyalitas dalam mempertahankan bahasa Laha.

 

Catatan Tambahan :

  1. Thesis Barbara Dix Grimes berjudul The return of the bride: affiliation and alliance on Buru, dipublikasikan oleh The Australian University Press, tahun 1990, sedangkan disertasinya berjudul  The pursuit of prosperity and blessing: Social life and symbolic action on Buru Island, eastern Indonesia, dipublikasikan oleh The Australian University Press, tahun 1993.
  2. Navigator itu bernama Nakhoda Ismail

§  Manuel Lobato, 2011, berjudul A Man in the Shadow of Magellan : Francisco Serrão, the First European in the Maluku Islands (1511 -1521), Journal Revista de Cultura (RC), hal 102 – 120

 

Bibliography

  • Allard A. - R.Landry 1988 "Ethnolinguistic vitality beliefs and language maintenance and
    loss." Paper presented at the International Conference on Maintenance and Loss of Ethnic Minority Languages Noordwijkerhout, The Netherlands, August 30-September 2, 1988.
  • Andaya, Leonard Y. 1990 "The structure of authority in North Maluku in the sixteenth
    century." Working Paper No. 4. Comparative Austronesian Project. Research School of Pacific Studies, Australian National University.
  • Brugmans, I. J. 1938 Geschiedenis van het onderwijs in Nederlandsche-Indie [History of education in the Dutch East Indies]. Batavia/Groningen: Wolters.
  • Clercq, F. S. A. de 1876 Het Maleisch der Molukken [Molucca Malay]. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Künsten en Wetenschappen.
  • Collins, James T. 1974 "Catalan ringkas tentang bahasa Ambon" [Brief notes on Ambonese], Dewan Bahasa 18: 151-162.
    1980a Ambonese Malay and creolization theory. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
    1980b "Laha, a language of the Central Moluccas", Indonesia Circle 23: 3-19.
    1981 "Pertembungan linguistikdi Indonesia Timur: Bahasa Melayu dan Bahasa Asilulu di Pulau Ambon", Dewan Bahasa 25(7): 30-55.
    1982 "Linguistic research in Maluku: A report of recent field work", Oceanic Linguistics 21: 73-146.

1983 "Syntactic change in Ambonese Malay: the possessive construction", in: J. Collins (ed.), Studies in Malay Dialects, Part II. NUSA: Linguistics Studies in Indonesian and Languages in Indonesia 17:281.

  • Cooley, Frank L. 1961 Altar and throne in Central Moluccan societies: A study of the relationship between the institutions of religion and the institutions of local government in a traditional society undergoing rapid social change. [PhD dissertation, Yale University.]
    1962 Ambonese adat; a general description. New Haven: Yale University Cultural Report No. 10.
  • Ellen, Roy F. 1979 "Sago subsistence and the trade in spices: a provisional model of ecological succession and imbalance in Moluccan history", in: P. Burnham & R. F. Ellen (eds), Social and ecological systems. Association of Social Anthropologists Monograph 18. London: Academic Press. 43-74.
  • Enklaar, L. H. 1960 Joseph Kam, Rasul Maluku. Djakarta: Badan Penerbit Kristen.
  • Fasold, Ralph W. 1984 The sociolinguistics of society. Oxford: Basil Blackwell.
  • Ferguson, Charles 1959 "Diglossia", Word 15:325-340.
  • Fishman, Joshua 1967 "Bilingualism with and without diglossia; diglossia with and without bilingualism", Journal of Social Issues 32: 29-38.
    1972 The sociology of language. Rowley, Mass: Newbury House.
  • Forbes, Henry O. 1885 A naturalist's wanderings in the eastern archipelago. New York: Harper & Brothers. [ 1989] [Reprinted Oxford UniversityPress.]
  • Fox, James J. 1990 "Hierarchy and precedence." Working Paper No. 3. Comparative Austronesian Research Project. Department of Anthropology, Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
  • Fox, James J.(ed.) 1988 To speak in pairs: Essays on the ritual languages of eastern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Fraassen, Ch. F.van, 1983 "Historical introduction", in: K. Polman (ed.), The Central Moluccas: An annotated bibliography. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Bibliographical Series 12. 1-59. Cinnaminson, New Jersey: Foris.
  • Giles, Howard(ed.) 1977 Language, ethnicity and intergroup relations. European Monographs in Social Psychology 13. New York: Academic Press.
  • Grimes, Barbara Dix 1990 The return of the bride: Affiliation and alliance on Buru. [MA Thesis, AustralianNational University.]
    1991 "Thedevelopment and use of Ambonese Malay", 83-123. (Pacific Linguistics Series A-81). Canberra: Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
  • Grimes, Barbara F.- Joseph E.Grimes - Malcolm D. Ross - Charles E.Grimes - Darrell T.Tryon
    in press "Listing of Austronesian languages", in: Darrell Tryon (ed.), Comparative Austronesian Dictionary. 5 Vols. Berlin: Mouton de Gruyter.
  • Grimes, Charles E. 1985 "Ambonese Malay: A brief orientation", Bits & Pieces (April 1985). Abepura, Irian Jaya: Summer Institute of Linguistics. 14- 28.
    1991 The Buru language of eastern Indonesia. [PhD dissertation, Australian National University.]
  • Hoevell, G. W. W. C. van 1877 "lets over de vijf voornaamste dialecten der Ambonsche landtaal
    (bahasa Tanah) [Notes on the five main Ambonese dialects], Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 4/1: 1-136.
  • Jacobs, Hubert S. J. 1974 Documenta Malucensia Vol. 1 Rome: Institutum Historicum Societatis lesu.
  • Ludeking, E. W. A. 1868 Schets van de Residentie Amboina [Sketch of residence in Ambon]. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
  • Metcalf, Peter 1990 "That's what I say': status and voice in Indonesian ritual languages." Comparative Austronesian Project Working Paper No. 1. Department of Anthropology, Research School of Pacific Studies, AustralianNational University.
  • Platt, John T. 1977 "A model for polyglossia and multilingualism (with special reference to Singapore and Malaysia)", Language in Society 6(3): 361-378.
  • Prentice, D. John 1978 "The best chosen language", Hemisphere 22(3): 18-13; 22(4): 28- 33.
  • Prujiner, A. - D. Deshaies - J.F. Hamers - M. Blanc - R. Clement - R. Landry 1984 Variation du comportement langagier lorsque deux langues sont en contact. Quebec: Centre international de recherches sur le bilinguisme.
  • Thomason, Sarah G.- Terrence Kaufman 1988 Language contact, creolization and genetic linguistics. Berkeley: University of California Press.
  • Travis, Edgar W. "Ambonese Malay-English-Indonesian word list." Ambon: Pattimura University and Summer Institute of Linguistics. [Unpublished MS.]
  • Valentijn, F. 1724-1726 Oud en Niew Oost-Indien [The old and new East Indies]. 8 vols. Amsterdam: Dordrecht.
  • Valeri, Valerio 1990 "The genres of knowledge in Huaulu (Seram)." Paper presented at Conference on Halmahera Research and its consequences for the study of Eastern Indonesia, Koninklijk Instituut voor Taal-, Landen Volkenkunde, Leiden, October 1990.
  •  Willer, T. J. 1858 Het eiland Boeroe, zijne exploitatie en Halfoersche instellingen [The island of Buru, its exploitation and original organisation]. Amsterdam: Frederik Muller.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar