Kamis, 03 Oktober 2024

J. Carey, Penginjil Ambon [1814 – 1817]

[P.H. Van der Kemp]

Bekas Direktur Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda.

 

  1. Kata Pengantar

 Masyarakat Kristen Maluku, khususnya Kristen Ambon lebih mengenal Joseph Kam sebagai “Rasul Maluku”, meski menurut sejarahwan H.J. de Graaf, Joseph Kam disebut sebagai “Rasul Maluku ketiga” setelah Fransiscus Xaverius dan Justus Heurniusa. Namun, tetaplah Joseph Kam lebih “tenar” dibandingkan dengan banyak pendeta atau penginjil yang telah bertugas di wilayah Maluku. Salah satunya adalah Jabez Carey. Nama Carey kurang “dikenal” dibandingkan Joseph Kam, meski waktu pelayanan mereka bersamaan. Mungkin salah satu alasannya adalah Jabez Carey sendiri merupakan orang Inggris, sedangkan Kam adalah orang Belanda. Pertarungan politik Inggris-Belanda selama abad-abad sebelumnya, yang berujung pada ketidaksukaan Belanda terhadap Inggris, mungkin membuat Carey seperti “hilang” dalam sejarah Maluku, khususnya sejarah Ambon. Selain itu, teologia Carey yang mengusung dogmatika Menonite atau Anabaptis, yang melarang atau menolak baptisan anak-anak (bayi), sedangkan Kam yang berasal dari Gereja Reformed yang mengizinkan baptisan anak (bayi).

Seperti disebutkan, masa pelayanan Carey dan Kam berlangsung pada periode yang sama yaitu pada tahun 1814 – 1818 untuk Carey dan pada periode tahun 1815 – 1833 untuk Kam. Jabez Carey saat bertugas di Ambon pada periode 1814 – 1818, selain menginjil juga ditunjuk sebagai Pengawas Sekolah (Superintendent atau Schoolopziener) dalam sistem pendidikan atau sistem sekolah di Maluku (Ambon) saat pemerintahan peralihan Inggris. Meski bertugas selama 4 tahun, namun pekerjaan Carey tidak banyak dibahas dalam tulisan-tulisan. 

William Carey (1761 - 1834), ayah dari Jabez Carey (1793 - 1862)

Pieter Hendrik van der Kemp, dalam tulisan sepanjang 18 halaman ini membahas tentang pekerjaan Carey selama 4 tahun pada dekade pertama abad ke-19 itu. Tulisan van der Kemp ini berjudul Van den Ambonschen zendeling J. Carey, 1814 – 1817, dimuat pada Jurnal Mededeelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap Tijdschrift voor Zendingswetenschap, jaargang 61, halaman 218 – 235, dan diterbitkan oleh Penerbit M.Wyt & Zonen, di Rotterdam, tahun 1917. Tulisan 18 halaman ini juga memiliki 18 catatan kaki oleh penulis, namun sayangnya tidak ada gambar ilustrasi di dalamnya.

Melihat periode tugas Carey dan Kam, maka pelayanan mereka berdua berada pada periode krusial, salah satunya adalah pada masa pemberontakan Pattimura pada Mei – November 1817. Jika kita membaca tulisan ini, maka ada beberapa informasi penting yang bisa diperoleh, misalnya ada semacam “pertikaian” teologis dan dogmatika di antara kedua penginjil ini, rasa tidak simpati antara satu dengan yang lain, permintaan Kam agar pengelolaan sistem sekolah dialihkan kepada dirinya, persaingan dalam pengelolaan sistem pendidikan/sekolah, tugas para Radja, Pattij dan Orangkaija di tiap negeri/desa untuk mengunjungi sekolah sebanyak 2 kali dalam 1 bulan dalam tugas mereka untuk “mendengar dan mencatat” kehadiran siswa sekolah serta mengingatkan mereka untuk bersekolah, pelarangan melibatkan para siswa untuk kepentingan pribadi guru dalam pekerjaan, izin melibatkan siswa saat masa panen cengkih jika benar-benar diperlukan dengan syarat bahwa siswa harus dikembalikan setelah selesai masa panen disertai surat keterangan dari para pemimpin negeri yang menyebutkan tanggal selesai panen, guru diwajibkan tidak menoleransi pemimpin negeri untuk mengeksploitasi para siswa untuk dijadikan tenaga kerja, dan lain-lain. Memahami tulisan ini, maka akan membuat kita sedikit memahami pemberontakan yang dilakukan oleh Thomas Matulesia.

Kami menerjemahkan tulisan ini, dan melengkapinya dengan sedikit catatan tambahan dan sedikit gambar, lukisan ilustrasi. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat buat untuk mengetahui, mengerti tentang pendidikan para leluhur kita di masa lalu, suatu bentuk dan sistem pendidikan yang membentuk karakter mereka dan pada akhirnya “menciptakan” kita di masa kini.

  1. Terjemahan

Dalam buku “Handboek voor de vrienden der zendingszaak” yang diadaptasi dari “Bahasa Jerman tinggi” oleh seorang pendeta Leiden, yaitu Dr. A. Rutgers van der Loeff (1851), pada halaman 363-364 di bawah sub judul De Molukken, terbaca : “Baru belakangan ini pekerjaan penginjilan/misionaris yang penting ini digarap oleh Nederlandsch Zendelinggenootschap (Perkumpulan Misionaris Belanda) atau NZG, sejak tahun 1814 – 1817 terdapat seorang putra dari Dr Careyb di Serampore, bekerja penuh giat di Amboina”. Setengah abad kemudian, S. Coolsma, dalam bukunya “Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie” yang terbit tahun 1901, pada halaman 675, catatan kaki nomor 1, tentang pekerjaan yang giat itu menulis : “tetapi baik Kamc maupun orang lain tidak melaporkan apa pun tentang hal itu”.

Bagi mereka yang mengetahui sejarah zaman Maluku, ketika “Resident” Inggris, [yaitu] Martind, harus mengembalikan pemerintahan ini kepada Komisaris Belanda, N. Engelharde dan Van Middekoopf, yang juga seorang Gubernur, nama Careyg sama sekali tidak asing, karena saya telah berulang kali menyebutnya dalam terbitan-terbitan; tetapi saya juga tidak tahu apa yang telah dilakukannya secara terperinci. Namun, hal ini berubah pada tahun ini dengan diterbitkannya Laporan Tahunan Algemeen Rijksarchief  (Arsip Umum Negara) di ‘s Gravenhage (Den Haag) pada tahun 1915. Hal ini dicatat pada halaman 355, nomor 128, berfokus pada dokumen-dokumen dari masa restorasi/pemulihan “betreffende de Molukken” atau “mengenai Maluku”; semuanya merupakan koleksi yang sangat penting, yang mengungkapkan kepada saya, antara lain, banyak karya Carey yang belum diterbitkan di manapun.

Oleh karena itu muncul pertanyaan di benak saya, apakah saya tidak bisa memperkaya jurnal untuk zendingwetenschap (ilmu pengetahuan penginjilan/misi) ini dengan data yang diperoleh. Saya melihat paman dari kakek buyut saya, Dr. Johannes Theodorus van der Kemph, salah seorang pendiri Nederlandsch Zendelinggenootschap, dan saudara dari kakek buyut saya yang tidak saya kenal, D. van der Kemp, tersenyum setuju kepada saya.

Fort Victoria, Ambon, ca. 1818

Beberapa tanggal berikut ini menjadi panduan bagi peristiwa-peristiwa bergejolak di Maluku yang muncul segera setelah Restorasi [atau Pemulihan]. Pada tanggal 25 Maret 1817, bendera kita [bendera Belanda] dikibarkan di Ambon dan restorasi dimulai; pada bulan yang sama wilayah Oeliasser juga terjadi hal yang sama. Pada tanggal 15 – 16 Mei [1817] terjadi pemberontakan di Saparua yang mengakibatkan antara lain keluarga Van den Berg tewas, kecuali satu orang putranyai. Untuk meredam pemberontakan tersebut, pemerintah di Batavia yaitu Komisi Jenderal, yang terdiri dari Elout, Van der Cappellen dan Buijskesj, dimana Buijskes yang juga seorang Laksamana Muda (schout-bij-nacht) dikirim dengan kekuasaan penuh ke Maluku. Pada tanggal 30 September [1817] ia tiba di Ambon; pada tanggal 3 Oktober 1817, Buijskes membubarkan komite yang terdiri dari Engelhard dan Van Middelkoop, dan memberhentikan Van Middelkoop sebagai Gubernur, sementara ia sendiri memimpin pemerintahan. Pada akhir Februari 1818, ia menganggap tugasnya telah selesai dan ia kembali ke Batavia.

Saya sangat menyarankan kepada pembaca yang mungkin tertarik dengan peristiwa ini untuk membaca bab I dari tulisan saya “Het Nederlandsch-Indisch bestuur in het midden 1817” (terbit tahun 1915) dan “Het Nederlandsch-Indisch bestuur van 1817 op 1818” (terbit tahun 1917); tetapi semua yang saya bagikan di sini tentang Carey, organisasi sekolahnya, dan semangat keagamaan Mennonite [anabaptis]-nya, benar-benar baru.

 

I.

Upaya Protestantisme untuk mengirimkan orang-orang khusus untuk mempertobatkan/mengkonversi orang-orang non-Kristen dimulai pada pertengahan abad ke-18; lembaga dibentuk untuk tujuan ini di Eropa dan Amerika Utara. Apa yang luar biasa dalam “arah yang lebih baru” ini adalah pengaruh yang sangat besar dari aliran Mennonite juga di Hindia Belanda, sedemikian rupa sehingga kadang-kadang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pihak berwenang. Misalnya, kita menemukan penyebutan seorang bernama Robinsonk, yang menetap di Bengal dan kemudian “tidak diizinkan tinggal di sana”, pada tahun 1813 mendirikan komunitas /jemaat Mennonite di Weltevreden, dimana ia akhirnya dilarang bekerja, sementara “seseorang yang sepemikiran dengan Trowt” pergi bekerja di Semarang1. Misionaris terkenal, Brücknerl, seorang Protestan Reformasi, yang dikirim oleh NZG, berpindah “agama” ke kaum Anabaptis di Semarang, yang membuatnya terasing dari para pelindung lamanya. Ayah Carey – William (1761 – 1834) – juga diterima sebagai seorang Prostestan Reformasi di Inggris, namun ia juga berpindah ke aliran Mennonite. Di sana, dia adalah seorang anak pembuat sepatu di masa mudanya; di masa ia dewasa, ia menjadi “pelopor misionaris modern”. Pada tahun 1793, William Carey pergi ke Bengal, kemudian ke Serampore, di mana ia mendirikan, antara lain “mesin cetak untuk penerbitan kitab suci dan karya filsafat”2. Para pembaca mengetahui bahwa penginjil Kamp kemudian mencoba mengikuti/meniru contoh terakhir (maksudnya menerbitkan kitab suci dan karya filsafat), namun dalam skala yang begitu sederhana sehingga tidak bisa disebutkan sama dengan apa yang dilakukan di Serampore. Ekspansi besar-besaran penerbitan di Serampore dan keyakinan iman menjelaskan perjalanan Brückner ke sana dan penerbitan tulisan keagamaannya di sana yang ditujukan untuk Jawa. 

Dalam lebih dari satu enskiklopedia utama – dan tidak hanya dalam karya-karya berbahasa Inggris – saya menemukan penyebutan William Carey sebagai seorang sarjana dan sebagai orang penting, sehingga “keterkenalan” Van der Loeff tidak perlu dianggap berlebihan. Putra dari orang ini, [yaitu] J. Carey, telah pergi ke Maluku; tahun yang disebutkan adalah tahun 1814, tapi hal ini mungkin terjadi lebih awalm, karena pemerintah Inggris telah memerintah di sana bertahun-tahun sebelumnyan. Kepala pemerintahan secara resmi menyandang gelar Residen, meskipun ia memimpin residen-residen lain di bawahnya, sehingga ia sebenarnya adalah Residen tertinggi atau bisa juga disebut Gubernur; namanya W. Bryant Martin dan dia membuat saya terkesan sebagai orang yang cakap.  Tentang Carey – yang sekarang kita bahas secara eksklusif – dia selalu senang dengannya. Sebagai seorang pendeta dia menerima ƒ 330 per bulan, yang kemudian diberikan kepada Kam di bawah pemerintahan Inggris, ketika dia juga menyatakan : Saya percaya bahwa peraturan ini berasal dari Resident. Mari kita mulai dengan aktivitas Carey di bidang pendidikan, seperti yang terungkap dari laporan sekolah pada masa itu.

 

II.

Di wilayah Maluku, atau tepatnya di Ambon bersama wilayah Oeliasser (Haroekoe, Saparoea, dan Noesalaoet), serta di wilayah Seram bagian selatan, terdapat sistem sekolah yang cukup berkembang pada akhir abad ke-18, meskipun tidak signifikan sejauh menyangkut pendidikan itu sendiri, tetapi negeri-negeri ingin melihat sebagai suatu aturan bahwa setiap orang mempunyai gereja dan sekolah dengan seorang guru pribumi sebagai kepalanya/pemimpinnya, yaitu “kepala sekolah”, dibantu, jika diperlukan oleh guru dan “wakil kepala sekolah”. Pendidikannya tersebut meliputi, selain pembelajaran agama dari lembaran-lembaran katekismus yang sangat tidak memadai (buruk), membaca dan menulis dalam bahasa Melayu tinggi dengan aksara Latin (di beberapa sekolah dalam aksara Arab), serta berhitung di beberapa lembaga pendidikan. Minimnya bahan ajar, belum memadainya pembinaan guru-guru yang juga merangkap sebagai guru agama, dan terakhir tingginya angka bolos (ketidakhadiran) di sekolah : semua itu membuat hasil yang dicapai kurang maksimal. Pada masa kompeni, para guru masih digaji dari kas keuangan negara; namun di bawah pemerintah Daendels, yang menjadi “prefek” Maluku adalah Heukevlugto yang membawa bencana, hal ini dihapuskan dan diperintahkan bahwa desa-desa sendirilah yang harus membayar para guru sekolah merekap. Tindakan tersebut menimbulkan ketidakpuasan yang begitu besar sehingga berdampak buruk pada popularitas pemulihan/restorasi Belanda. “Para Guru”, [seperti] kita baca dalam laporan sekolah tertanggal 15 April 1817, dari Resident van Saparoea, Van den Berg, yang dibunuh sebulan kemudian karena ketidakpuasan itu, “tidak tahan menanggung penghinaan karena dibayar oleh negeri, dan sebagai akibatnya, tidak hanya menolak untuk melakukannya, yang menyebabkan semuanya menjadi kacau dan sistem sekolah akan benar-benar hancur, jika pihak Inggris tidak terus membayar mereka sesuai dengan aturan/kebijakan perusahaan”3. Memang, orang Inggris tidak begitu saja tunduk pada kebutuhan ini, tetapi sebagian besar sekolah didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan ras yang beragam. Mereka menetapkan gaji dalam ropia per bulan : untuk kepala sekolah sebesar 30 ropia (namun, saya juga menemukan ada yang 16 ropia di Saparoea); untuk guru sebesar 7 – 10 ropia; untuk guru junior antara 4 – 20 ropia; kepala sekolah juga mengajar dan memeriksa atau menguji para guru yang bertugas. 

J.R. van den Berg, Resident Saparoea (Maret - Mei 1817)

Sebagai pimpinan cabang pelayanan ini, dengan gelar “superintendent” atau “pengawas”, adalah penginjil J. Carey, yang menerima gaji bulan sebesar ƒ 300.- (atau 300 gulden), yang mungkin ia terima sebagai tambahan atas pendapatan penginjilannya sebesar ƒ 330.-. Kesatuan pendidikan agama dan sekuler, yang selalu populer di sana, bukanlah suatu hal yang aneh jika Carey ditugaskan untuk bertanggung jawab atas sistem sekolah. Ada peraturan sekolah yang ia rancang, yang konsepnya hanya memberikan kesan yang baik. Dalam laporan bertanggal 1 dan 22 April 1817, dia menyampaikan hal berikut kepada Komisaris Engelhard dan Van Middelkoop yang disebutkan di atas, yang telah mempertahankannya sebagai “pengawas” atas rekomendasi dari Martin. Wajib belajar telah diberlakukan; anak-anak menjadi sasarannya, dari usia 7 – 16 tahun untuk anak laki-laki dan hingga 12 tahun untuk anak perempuan; kedua jenis kelamin duduk terpisah; orang tua dihukum dengan denda paling sedikit 1 rijksdaalder, jika murid tidak hadir karena kesalahan mereka sendiri tanpa alasan yang wajar; saya pikir mereka tidak terlalu teliti dalam hal ini !!!. Pengawas diizinkan untuk menghukum anak-anak yang tidak hadir atas inisiatif mereka sendiri, sesuai dengan apa yang ia anggap tepat. Pejabat ini harus dibantu dalam menjalankan tugasnya di Pulau Ambon oleh seorang yang disebut “superintendent negorijen” atau “pengawas di desa”, seseorang yang menggantikan posisi kepala administratif di sana, agar Resident di Maluku dapat menjalankan pemerintahan umum dengan lebih baik; di wilayah Oeliassers, Carey dibantu oleh kepala administratif di sana. Ketidakhadiran anak di sekolah – yang masih menjadi masalah besar – sebagian besar disebabkan oleh orang tua yang membiarkan anak-anaknya untuk bekerja di ladang/kebun. Ketika pengawas sekolah menerima pemberitahuan tentang hal ini, dia harus melaporkan hal ini kepada administrator, yang kemudian harus menegur para kepala/pemimpin negeri “dan dalam semua kasus menggunakan kewenangannya untuk mondorong anak-anak tersebut bersekolah”. “Pada masa panen cengkih”, anak-anak juga tidak diperbolehkan untuk tidak masuk sekolah : “kecuali jika benar-benar diperlukan, dan jika memang demikian, mereka harus segera dikembalikan setelah panen, disertai surat keterangan dari pemimpin negeri yang menyatakan tanggal selesainya panen”. Para guru tidak diperbolehkan menggunakan “dengan cara apapun”, “untuk pekerjaan khusus mereka atau memberi keuntungan kepada murid manapun yang merupakan murid sekolah mereka”. Mereka wajib hadir pada jam-jam yang ditentukan dan memberitahukan kepada pengawas jika berhalangan hadir. Para pemimpin negeri harus “secara ketat” mengawasi kinerja guru dalam menjalankan tugasnya; sebaliknya, para guru tidak boleh menoleransi para pemimpin negeri yang mengeksploitasi anak-anak untuk dijadikan tenaga kerja, “kecuali dalam pemanenan cengkih”. Para kepala negeri/desa diwajibkan mengunjungi sekolah 2 kali dalam 1 bulan : “untuk mendengarkan nama anak-nama yang dibacakan di sana dan dengan demikian mencatat siapa saja anak-anak yang tidak hadir, untuk mengingatkan mereka untuk bersekolah”. Terlepas dari semua ketentuan atau usaha untuk meningkatkan kehadiran di sekolah, Carey terpaksa mengakhiri laporan tersebut dengan kesaksian : “bahwa dia sedih harus mengatakan bahwa karena kurangnya perhatian dari para pemimpin negeri/desa, banyak anak yang tidak bersekolah”. Yang mereka lakukan tetap sama, saya harap saya bisa memahaminya. Seorang Controleurq di Binnenlandsch Bestuur baru-baru ini melaporkan bahwa telah terjadi banyak perbaikan, namun “persentase ketidakhadiran di sekolah masih cukup tinggi; 6 – 8% adalah hal yang biasa”4.

Merupakan tugas setiap kepala sekolah untuk menyampaikan laporan bulanan kepada pengawas : “mencatat kemajuan yang dicapai oleh siswa” dan merinci setiap ketidakhadiran di sekolah. Ketentuan tersebut tampak agak aneh : “untuk mencegah penyalahgunaan, penyimpangan, dan kelalaian di kalangan guru”, mereka “tidak diperbolehkan bekerja di sekolah yang sama selama lebih dari 1 tahun” dan karena alasan tersebut mereka harus “dimutasi setiap tahun”. Pengawas sendiri harus memeriksa kondisi sekolah-sekolah di pulau Amboina 2 kali dalam setahun, dan sekolah-sekolah di Saparoea, Haroekoe dan Hila 1 kali dalam setahun, yang dapat disimpulkan bahwa Hila tidak dianggap bagian dari “Ambon” dan bahwa Noesalaoet berada di luar pengaturan. Dokumen tersebut disediakan oleh pemerintah. Di ibukota, [yaitu] Ambon, terdapat – ini menjadi poin yang cukup penting – sebuah sekolah pusat, yang didirikan di bawah pengawasan langsung Carey; yang untuk tujuan tersebut sebuah rumah telah disewa dari kepala pemerintahan, [yaitu] Neijsr, seharga 25 matten Spanyol. Di sini anak-anak dari 4 desa/negeri sekitar, termasuk Noesananas, bersekolah; dengan demikian, mengorbankan prinsip : sebuah sekolah di setiap desa, maka telah terjadi konsentrasi; para siswa diajar “dalam bahasa Melayu”. 

Dengan adanya Restorasi/Pemulihan kekuasaan, sebagaimana telah saya sebutkan, pemerintahan baru membiarkan kondisi terus berlanjut di bawah pengawasan Carey. Dalam sebuah laporan rahasia tertanggal 16 Oktober 1817, nomor 4, Laksamana Muda Buijskes, pengganti Komisaris Belanda yang diberhentikan, menulis kepada pemerintah di Batavia : “Bekas Resident Inggris, Martin, sangat menghargai penginjil ini dan merekomendasikannya dengan sangat gigih dan sangat diperlukan dalam sistem sekolah kepada para Komisaris pengambilalihan wilayah ini, yang oleh karena itu tidak mengalami kesulitan dalam melanjutkan tugas khusus ini”. Namun, ketika menjalankan pemerintahannya, para Komisaris ingin memperoleh informasi lebih lanjut tentang “kondisi sistem sekolah di Maluku, agar dapat menilai apakah lembaga yang bermanfaat ini dapat ditingkatkan”. Untuk tujuan ini, mereka tidak hanya mendengarkan administrator lokal [atau Resident van Saparoea], Van den Berg, dan pengawas sistem sekolah, Carey, tetapi mereka juga melalui keputusan tanggal 6 April 1817, nomor 24a, membentuk sebuah komite di Ambon, dan memberikan 6 pertanyaan untuk dijawab. Komite ini terdiri dari “Yang Mulia Tuan-tuan” Kam, Carey, dan orang ketiga, yang menurut saja dieja [sebagai] Vdin. Namun, saya tidak mengenal sama sekali tentang pendeta ketiga ini; apakah ini salah penulisan, saya tidak mengetahuinya. Pokok-pokok yang dibahas antara lain : “Apakah diperlukan kepala sekolah di masing-masing residensi saat ini”, dan “apakah tidak akan lebih baik dan bermanfaat jika 2 atau 3 sekolah didirikan di Saparua sendiri dibawah pengawasan langsung dari Residen [van Saparoea], dibandingkan jika ada sekolah luar biasa dan guru di setiap negeri/desa” – demikianlah konsentrasi Carey di Ambon; akhirnya : “ Apakah tidak mungkin mendapatkan dana untuk menyediakan pemeliharaan yang memadai bagi semua guru yang dianggap perlu, tanpa biaya dari pemerintah dan mengorbankan seluruh penduduk; dan bagaimana cara pengorganisasian dapat atau harus dilakukan sesuai dengan keadilan bagi setiap negeri, mengingat setiap umat Kristiani wajib menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya”. 

Joseph Kam

Kita dapat melihat bahwa semua pertanyaan ini [pokok –pokok di atas] berakibat pada pengurangan, [yaitu] pengurangan posisi keuangan para kepala sekolah. Kita tidak perlu berasumsi sama sekali – sebagaimana yang telah dilakukan sejak sebelum Saparoea dan yang sering dilakukan dalam pemerintahan nasional, ketika upaya yang tercela berakhir dengan buruk – bahwa penyelidikan dilakukan secara lokal dengan cara yang tidak tepat; pertanyaan-pertanyaan mengenai pokok-pokok ini sudah cukup untuk menimbulkan keresahan umum di kalangan masyarakat, mengingat tindakan Heukevlugt dan ketidakpuasan secara umum tentang pergantian pemerintahan Inggris ke pemerintahan Belanda. Maka keluhan pertama menjadi alasan terjadinya pemberontakan yang terjadi sebulan kemudian : “pemerintahan Belanda ingin memecat para guru sekolah”.

Ketika Buijskes, yang dikirim ke Ambon, membubarkan komite pengambilalihan wilayah Maluku, [yaitu] Engelhard dan Van Middelkoop, dan memberhentikan Van Middelkoop sebagai Gubernur, dalam surat bertanggal 2 Oktober 1817 no 2, ditambahkan : “memerintahkan anda untuk berangkat ke Jawa sesegera mungkin, untuk mempertanggungjawabkan semua tindakan dan pemerintahan anda kepada Komisaris Jenderal”. Van Middelkoop memenuhi perintah pertanggungjawaban tersebut melalui sebuah laporan tertanggal Surabaya, 23 Maret 1818. Di dalam laporan itu, ia menyatakan bahwa survei sekolah hanya diperintahkan untuk memberikan informasi lengkap kepada pemerintah “sehubungan dengan beban-beban yang ada”, sehingga tidak ada tindakan yang dapat diambil; lebih jauh lagi, setelah menerima berita tentang pecahnya pemberontakan di Saparua pada tanggal 20 Mei [1817], ia mengundang penginjil [yaitu] Kam untuk menyatakan dari mimbar, baik di Ambon maupun di tempat lain, bahwa masyarakat tidak sepenuhnya berada dalam posisi pembangkangan, harus khawatir tentang penyelidikan. Pernyataan tersebut diakhiri dengan tuduhan biasa bahwa “penanganan yang salah terhadap penyelidikan itu sendiri oleh beberapa orang ditugaskan atau yang dipekerjakan di dalamnya” telah menyebabkan keresahan.

Adapun hasil dari saran Panitia di Ambon sendiri adalah sebagai berikut. Landasan sistem sekolah yang didirikan pada masa Pemerintahan Peralihan (Interegnum Inggris) “sangat sesuai dengan kepentingan Pemerintah”; jumlah kepala sekolah di masyarakat tidak boleh dikurangi “dengan pengecualian di tempat-tempat yang hanya dihuni oleh kaum burger”, yang menurut dugaan pelapor “mampu membiayai diri sendiri”, yaitu di Hila, Larike dan Loehoe. Dengan pengecualian pada satu hal, para kepala sekolah dapat dianggap cocok untuk “melakukan tugas yang dipercayakan kepada mereka, dengan mempertimbangkan keterbatasan sarana yang tersedia untuk menjadi kompeten”. Para penasihat menganggap tidak disarankan/tidak bijaksana untuk kembali ke kebijakan Heukevlugt : “karena hal ini akan menyebabkan sistem sekolah kehilangan martabatnya dan mungkin hancur total”. Komisi tersebut, termasuk Carey, memutuskan selain itu,  “tidak mungkin” untuk “mendirikan sekolah utama di Saparoua dan menarik semua sekolah lainnya, karena desa-desa tersebut terlalu berjauhan satu sama lain”. Dan akhirnya ia menyatakan bahwa tidak mungkin untuk menyerah : “bagaimana meringankan pemerintah dari beban sistem sekolah, karena telah terbukti benar bahwa orang tua yang terlalu miskin untuk menanggung sendiri biayanya, dan bahwa masyarakat selalu memberikan kontribusi untuk Dana Miskin”. Di kalangan umat Kristen di Maluku, kenang H. Dijkstra, kotak persembahan adalah benda/objek yang “yang sangat dihormati, bahkan bersifat takhayul oleh banyak orang”5. Komite memutuskan untuk merekomendasikan skema gaji yang lebih baik, dengan pembagian kepala sekolah ke dalam beberapa kelas.

Resident van Saparoea, Van den Berg, mematuhi perintah tanggal 9 April 1817 itu, untuk memberikan informasi dalam laporan tertanggal 15 April tahun itu, setelah dia memanggil Radja Nollot dan Siri Sorit untuk berkonsultasi : 2 kepala negeri yang nantinya akan mengambil bagian dalam pemberontakan. Jumlah sekolah di Hatawano “atau negorij Lima”u dapat ditetapkan menjadi 26 : satu sekolah untuk 4 negeri [yaitu] Paperoe, Nollot, Tohaha dan Hawaka : “karena letaknya bersebelahan”7; satu sekolah untuk [negeri] Ihamahoe : “karena terlalu jauh dari yang lain dan juga mempunyai gereja”8. Para kepala sekolah adalah “orang-orang yang sangat cakap” dan, seperti yang diyakinkan oleh kepala sekolah kepada mereka, “setara dengan tugas resmi mereka”; orang-orang inilah, yang pertama dan terutama adalah kepala sekolah di Saparoeav, yang membantu membunuh keluarga Van den Berg. Sama-sama tidak mendukung kebijakan Heukevlugt, Resident van Saparoea akhirnya menulis : “Jika memungkinkan untuk membangun dan memelihara sebuah sekolah atau institut di Saparoea, tempat dimana anak-anak dapat tinggal dan diberi makan tanpa harus kembali atau pulang ke negeri mereka, maka lembaga/institut itu akan berguna; tetapi jika mereka harus selalu datang dan kembali dari rumah mereka sepanjang waktu, hal ini tidak praktis dan tidak dapat dilaksanakan serta tidak disarankan, karena negeri-negeri tersebut berjauhan, dan akan mengakibatkan kekacauan besar”. 

Lembah Batoe Gadjah, Ambon, ca 1817

Kita bisa melihat : bahwa tidak satupun dari nasihat-nasihat ini, bahkan nasihat dari Resident Van den Berg, yang kemudian dibunuh, menunjukkan adanya niat buruk terhadap para kepala sekolah yang berpengaruh tersebut9.

Dengan kedatangan misionaris Kam, setidaknya pada masa pemerintahan Belanda, Carey sampai batas tertentu mendapat pesaing dalam upaya mengelola sistem sekolah. Kedua pria ini tentu saja tidak merasa terlalu simpati satu sama lain. “Dalam beberapa kesempatan”, Kam telah meminta, Van Middelkoop melaporkan dalam laporannya, “agar sistem sekolah juga berada di bawah pemeliharaan dan pengawasan langsungnya” dengan alasan bahwa kepala sekolah tidak harus dianggap sebagai hanya kepala sekolah, tetapi juga “sebagai seorang pendeta atau misionaris/penginjil”, namun Gubernur Van Middelkoop menegaskan kepadanya : “bahwa seperti lembaga-lembaga di tanah air [maksudnya di Belanda], dan juga kebiasaan yang berlaku di pulau Jawa, sistem sekolah berbeda dengan sistem gereja, dan oleh karena itu suatu organisasi yang sama sekali berbeda harus dilaksanakan daripada yang telah dilaksanakan selama ini”. Gubernur Van Middelkoop juga menunjukkan bahwa, menurut pendapatnya, “metode pengajaran pada umumnya sangat cacat dan tidak sempurna” dan, pertama-tama, “bahwa tidak hanya bahasa Melayu, tetapi terutama bahasa Belanda” harus diajarkan “dengan demikian akan mengikat masyarakat/penduduk Maluku lebih kuat lagi ke tanah air”. Begitu ada waktu, dia akan memberitahu Tuan Kam tentang sistem sekolah, ia akan mengajukan usulan kepada pemerintah mengenai hal ini, dan kemudian “juga mengusulkan untuk menunjuk komisaris yang bertugas untuk mengelola keseluruhan sistem sekolah tersebut, yang mana Yang Mulia akan menjadi salah satu diantaranya, dan melalui itu jabatan Pengawas Sekolah juga akan dihapuskan”. Dalam laporan Gubernur yang diberhentikan kepada Buijskes tertanggal 4 Oktober 1817, yang di dalamnya terdapat kutipan-kutipan berikut10, Van Middelkoop juga menyatakan bahwa Resident Inggris, Martin, telah bekerja dengan arah yang sama sehubungan dengan bahasa Inggris : “dan bahkan ingin mengirim beberapa orang muda ke Bengal untuk tujuan itu, yang telah ia sendiri tanyakan terlebih dahulu dalam sebuah pertemuan umum oleh Pengawas Sekolah tersebut dan memberikannya melalui akta”.

Sangat disayangkan Van Middelkoop tidak mampu mewujudkan niatnya untuk mengajarkan bahasa Belanda di sekolah. Ia dikatakan berhasil, paling tidak jika kita menilainya dari pengalaman orang tua pada masa sekarang, yang dibuktikan dengan : “keinginan umum masyarakat” untuk memperbolehkan anak-anak mereka memperoleh manfaat dari “kesempatan belajar bahasa Belanda”, sebagaimana dibuktikan oleh “sekolah besar” di Saparoea, dimana mereka diajarkan bahasa Belanda di kelas I, sementara bahasa tersebut menjadi bahasa pengantar di kelas-kelas lainnya11. Akan sangat dipertanyakan apakah Pemerintah akan menyetujui usulan semacam ini. Tidak ada bukti adanya tindakan keras dan tegas yang serius terhadap Pendidikan Masyarakat pribumi di Maluku pada tahun-tahun setelah penumpasan pemberontakan tahun 1817. 

Arnold Adriaan Buijskes

Komisaris Buijskes, yang bertindak sebagai administrator di Ambon, sama sekali tidak setuju dengan penugasan pengawas sekolah untuk memberikan pendidikan dilakukan oleh orang Inggris, dan terlebih lagi kepada seorang Mennonite/Anabaptis yang tidak menyukai/menentang agama Reformed. Dia telah, sebagaimana dinyatakan dalam laporannya, tertanggal 24 Februari 1818, nomor 240, kepada pemerintah, agar “dengan hati-hati/cermat” menyelidiki kegunaan dari seorang pengawas; menjadi jelas baginya bahwa “walaupun tuan Carey telah berusaha keras dan mengawasi pendidikan (setidaknya di negeri-negeri utama) dengan hati-hati, jabatan ini dapat dihapus dan pekerjaan tersebut dapat dipindahkan/ditugaskan kembali kepada sebuah komite, yang di dalamnya guru-guru dari gereja Reformed adalah anggotanya, dan dengan demikian tetap mempunyai pengaruh terhadap para kepala sekolah pribumi, yang penting dan bermanfaat bagi praktik agama umum/publik di sebagian besar pulau-pulau ini”.

Maka keluarlah surat keputusan pemberhentian, tertanggal Ambon pada hari itu, dengan nomor 232, pada saat Laksamana Muda itu juga kembali ke Batavia, dengan meninggalkan Jendral De Kock sebagai Gubernur Malukuw :

Menimbang bahwa jabatan Pengawas Sekolah di sini sebelumnya tidak ada di bawah pemerintahan Belanda, tetapi pengawasan terhadap pendidikan generasi muda, yang sangat penting bagi masyarakat, sebagaimana yang selalu di lakukan di negara Belanda dan di koloni-koloni Belanda lainnya, telah dipercayakan kepada suatu komite yang terdiri dari beberapa orang, yang kedudukan dan hubungan-hubungannya dalam masyarakat dapat dengan tepat dan pantas dipercayakan/ditugasi tanpa keberatan dari Pemerintah;

Dan mengingat bahwa para kepala sekolah di Maluku semuanya adalah anggota agama Reformed dan di negeri-negeri mereka masing-masing menjalankan tugas sebagai lektor dan katekis di gereja dan di jemaatnya mereka bertindak sebagai penghibur bagi orang sakit, dan karena itu, bisa dibilang, termasuk golongan agama, atau paling tidak berkaitan erat dengannya, oleh karena itu adalah bijaksana untuk menempatkan mereka di bawah pengawasan tertinggi suatu komite, yang di dalamnya para guru agama, serta beberapa pejabat sipil pertama dan kaum burger terkemuka, menjadi anggotanya;

Bahwa selanjutnya, dalam hal pendidikan para pemuda di wilayah kekuasaan Baginda Raja di sini, semua peraturan dan ketentuan yang sudah berlaku di Jawa, yang menjadi dasar pengajaran Bahasa Belanda, harus dipatuhi di masa mendatang, dan untuk tujuan tersebut beberapa guru akan dikirim ke sini, sehingga pengawasan tertinggi Pendidikan sekolah perlu dikembalikan ke fungsi biasanya;

Telah menganggap perlu untuk menghapus jabatan Pengawas sekolah-sekolah di Maluku………..dan mendelegasikan tugas tersebut…………kepada sebuah komite yang terdiri dari Kepala Administrasi atau Ketua Dewan Peradilan, guru-guru gereja reformed di Maluku, kepala-kepala sekolah di Amboina, dan salah satu warga terkemuka yang ditunjuk untuk tujuan ini oleh Gubernur.

Oleh karena itu, Tuan J. Carey dengan ini diberhentikan dari jabatannya sebagai Pengawas Sekolah………

Kita membaca, bahwa Bujskes, menurut keputusan ini, juga menganjurkan pendidikan dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu, ia juga mempertimbangkan apakah ia dapat memperkuat stafnya dengan guru-guru Eropa yang mungkin tersedia di wilayahnya. “Akan lebih baik”, katanya dalam laporannya tertanggal 16 Oktober 1817, nomor 4, kepada pemerintah, “agar beberapa kepala sekolah yang memahami bahasa Belanda dan Melayu dengan baik, dapat ditempatkan di sini, agar dapat mengajar anak-anak muda dari keluarga kepala sekolah terlebih dahulu dan dengan cara ini mereka diajari bahasa Belanda; mereka kemudian akan menyebarkan pengetahuan yang mereka peroleh  lebih lanjut; Mungkin saya akan mendapatkan beberapa guru sekolah atau penghibur orang sakit dari kapal -kapal Yang Mulia yang tiba di sini, dari dinas tentara, asalkan mereka berkomitmen untuk tetap di sini demi mengajar anak-anak muda, jika saya yakin dengan perilaku mereka. 

Namun dia melaporkan dalam laporan yang disebutkan di atas, tertanggal 24 Februari 1818, tentang pemecatan Carey12 : “Saya belum dapat menemukan salah satu penghibur orang sakit atau kepala sekolah dari kapal-kapal Yang Mulia yang ada di sini; oleh karena itu akan sangat diperlukan setidaknya satu orang yang dikirim ke sini dari Jawa untuk sementara waktu, yang mampu memberikan Pendidikan yang diperlukan kepada anak-anak muda yang ditakdirkan akan menjadi kepala sekolah pribumi. Di sini sangat kekurangan buku, terutama buku-buku agama berbahasa Melayu, karena ada beberapa negeri/desa yang hanya mempunyai beberapa halaman Alkitab”.

Apa hasil dari rekomendasi-rekomendasi ini masih belum saya ketahui.

Seperti yang telah disebutkan, penyelidikan terhadap pemotongan dana pendidikan yang diperintahkan oleh Komisaris Engelhard-Van Middelkoop dianggap sebagai faktor dalam pemberontakan terjadi tidak lama kemudian. Untuk dapat menghargainya dengan baik, perlu diingat bahwa gagasannya untuk mengurangi jumlah sekolah-sekolah kecil yang cukup banyak dengan mendirikan beberapa “sekolah-sekolah besar”, contohnya adalah di Ambon, ketika pemerintah Inggris mendirikan sekolah yang lebih besar di sana yang melayani 4 negeri/desa, dan bukan satu sekolah kecil di masing-masing desa/negeri, sama sekali tidak boleh dianggap salah. Namun, di sini juga pepatah itu benar : dia yang melakukan hal yang sama, tidak selalu melakukan hal yang sama. Namun baru saja saya mendapat perhatian dari sebuah artikel/tulisan yang secara serius menganjurkan penyederhanaan tersebut, yaitu tulisan dari Tuan Kruseman yang disebutkan di atas13. Dengan beberapa pengecualian, katany, “setiap desa/negeri, betapapun kecilnya, mempunyai sistem pendidikannya sendiri”. Penduduknya memang membangun gedung-gedung tersebut, namun pemerintah harus menyediakan biaya pendidikan, yang oleh karena itu “menjadi terlalu mahal”. G.W.W.C. van Hoëvel, dalam bukunya tahun 1875 tentang Ambonx, juga menyebutkan “antusiasme terhadap sekolah” seperti yang dijelaskan oleh Kruseman: “fragmentasi kekuatan yang tidak bertanggung jawab dan pemborosan sumber daya keuangan negara secara sembrono”. Fragmentasi ini merusak nilai pendidikan. “Jika seseorang ingin mereformasi pendidikan penduduk pribumi secara mendasar, maka ia harus melanggar prinsip bahwa setiap desa/negeri harus mempunyai sekolah”, yang juga diyakini oleh penulis tahun 1875 itu. Akan tetapi, Komisaris Engelhard-Van Middelkoop secara khusus mempunyai rencana untuk melakukan pengurangan/pemangkasan tertentu dan hal ini merusak kemurnian wawasan, sebagaimana yang sering terjadi di Hindia Belanda. Penghapusan biaya sekolah gratis, seperti yang terjadi selama ini, juga telah menjadi subjek pertimbangan akhir-akhir ini, karena ada yang ingin menggantinya dengan pungutan biaya sekolah, setidaknya bagi mereka yang terbukti memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk melakukannya. Namun, dikhawatirkan banyak penduduk miskin yang kemudian akan melarang anak-anak mereka bersekolah, namun Controleur Kruseman, meskipun tentu saja tidak menyangkal kemungkinan ini, hanya memperkirakan beberapa konsekuensi negatif untuk sementara waktu, dengan menyatakan: “bahwa keinginan untuk pembangunan secara bertahap akan mengatasi keengganan terhadap biaya sekolah dan bahwa sekolah-sekolah tersebut akan segera memiliki jumlah siswa yang cukup, meskipun mungkin lebih sedikit dari sebelumnya”.

Melalui uraian di atas, kita telah mengenal Tuan Carey terutama karena keterlibatannya dengan sekolah-sekolah di Maluku, sekarang kita akan melihat bagaimana aktivitasnya sebagai pengkhotbah berakhir pada saat yang sama dengan masa jabatannya sebagai Pengawas Sekolah.

 

III.

Seperti telah disebutkan, Carey adalah anggota Anabaptis. Namun, dia sama sekali tidak membatasi dirinya untuk mengikuti arahan ini, dan dia juga tidak ingin mengajak/mengkonversi orang-orang non-Kristen untuk memeluk iman yang dia percayai atau untuk menjadi pengikutnya, namun, dengan izin dari Resident Martin, rupanya dia berusaha untuk membawa orang-orang Kristen pribumi, yang telah didik dalam doktrin iman Reformed ke iman Anabaptis. Tidak mengherankan bahwa hal ini menimbulkan banyak perselisihan seperti yang terjadi kemudian, ketika penyebaran agama Katolik mulai mengganggu perdamaian di Minahasa. Bahwa tindakan Carey memang memiliki konsekuensi yang patut disesalkan, setidaknya itu dinyatakan oleh bekas Gubernur Van Middelkoop, dimana dalam laporannya tertanggal 4 Oktober 1817 yang disebutkan di atas, dia memberi tahu Buijskes hal berikut tentang Carey : “dia adalah orang Inggris sejak lahir dan mengaku sebagai penganut Anabaptis dan hal ini juga telah dicoba diperkenalkan di sini; akibatnya perselisihan yang terjadi diantara para pendeta karena hal ini diketahui oleh semua orang, dan hal ini mungkin juga telah mempengaruhi keadaan saat ini, setidaknya jika kita menggabungkan hal ini dengan perilaku beberapa pemuka agama dan dengan kepura-puraan yang dibuat oleh para pemberontak di Saparua”. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Gubernur; [karena] para pemberontak juga menyampaikan/menyebutkan keluhan bahwa pemerintah Belanda ingin “menghancurkan agama Kristen”; tetapi apapun kesalahan yang dilakukan Carey di masa pemerintahan peralihan/sementara Inggris, pemerintah baru [atau Belanda] tidak dapat juga disalahkan  atas hal tersebut; dan andai saja Van Middelkoop membiarkan misionaris itu melakukan apa yang diinginkannya; tanggung jawab tersebut tetap akan dipikul oleh gubernur sendiri. Saya tidak mengerti masalahnya, apalagi karena Carey, dalam surat tertanggal 13 Oktober 1817, kini juga meminta Buijskes untuk diizinkan bertindak sebagai pengkhotbah di kalangan penduduk pribumi, dan tentu saja dengan maksud yang jelas untuk membawa mereka ke iman Anabaptis. Pada saat itu, Carey masih menjadi Pengawas Sekolah, sehingga permintaan yang agak konyol ini pastilah membuat Laksamana Muda itu semakin tidak setuju untuk mengizinkannya menduduki jabatan ini. Melalui surat bertanggal Ambon, 15 Oktober 1817 nomor 30, Buijskes menjawab dengan negatif :

          “Kepada Tuan Carey, Pengawas Sekolah”, dengan kalimat berikut :

                          Tuan Yang Mulia !!!

Menanggapi surat Anda tertanggal 13 bulan ini, penting untuk dicatat bahwa saya tidak dapat mengabulkan permintaan Anda yang tercantum di sana, yaitu “untuk diizinkan berkhotbah di sini sebagai misionaris Mennonite/Anabaptis”.

Betapapun saya menganggap tujuan didirikannya Perkumpulan Misionaris Mennonite, yaitu (jika saya tidak salah) untuk mewartakan Injil yang berharga itu kepada bangsa-bangsa kafir, sebagai hal yang paling berguna, dan betapapun besarnya saya menghormati para misionaris Mennonite, saya percaya bahwa mereka melewati kekuasaan mereka dan sama sekali tidak memenuhi tujuan misi mereka, jika mereka menyampaikan doktrin Kekristenan di dalam suatu komunitas Kristen yang sudah mapan, yang juga sudah dibekali dengan guru-gurunya sendiri, meskipun mereka membatasi diri pada kebenaran-kebenaran pokoknya dan tidak mengungkapkan pendapat-pendapat tertentu yang termasuk dalam keyakinan mereka sendiri.

Saya juga khwatir bahwa akibat dari khotbah semacam itu di jemaat ini akan menimbulkan perpecahan, perselisihan, kejengkelan, perpisahan, dan menimbulkan kepahitan di kedua belah pihak, seperti yang telah ditunjukkan oleh pengalaman di tempat lain, dan karena hal ini dapat dengan mudah mengganggu tatanan sosial itu sendiri, Yang Mulia merasa bahwa itu adalah tugasku untuk mencegah hal ini. Saya juga harus memperingatkan Anda bahwa Pemerintah Belanda di Jawa tidak menoleransi kehadiran Mennonite Robinson di sana untuk menyampaikan pendapat-pendapat khususnya kepada jemaat Reformed atau mencoba membuat mereka berpindah agama14.

Lagi pula, kita berada di wilayah yang penduduk pribuminya telah memeluk agama Kristen sejak zaman dahulu dan sangat terikat dengan sentimen-sentimen yang ditetapkan dalam Gereja Reformasi, sehingga tidak boleh diketahui adanya perpecahan diantara orang-orang Kristen yang mungkin disebabkan oleh kesalahan mereka, yang dapat dengan mudah mengilhami mereka dengan ketidakpercayaan terhadap agama Kristen itu sendiri.

Akan sangat menyenangkan bagi saya, jika semangat Anda yang sangat terpuji untuk agama dibatasi pada pekerjaan itu, yang pada zaman pencerahan ini hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga misionaris, khususnya pertobatan orang-orang kafir [atau kaum pagan] dan penganut agama Islam. Dalam upaya-upaya ini, anda dapat selalu mengandalkan perlindungan dan kerjasama dari pemerintah secara umum dan saya secara khusus.

Buijskes mengirimkan salinan surat yang sangat sopan ini kepada pemerintah di Batavia dalam surat rahasia yang disebutkan di atas, tertanggal 16 Oktober 1817, nomor 415. “Saya belum cukup lama berada di sini”, tambahnya, antara lain, “untuk memutuskan manfaat yang dapat diberikan oleh penginjil asing ini; oleh karena itu saya rasa tidak bijaksana untuk membiarkan seorang pendeta asing memiliki pengaruh fanatik atas penduduk, terutama ketika saya mencermati dengan cermat semua tindakan orang Inggris selama periode terakhir mereka tinggal di Maluku”. 

Kubur Jabez Carey di Calcutta, India

Bahwa Buijskes tidak bertindak tergesa-gesa terhadap Carey dibuktikan dengan fakta bahwa, seperti yang saya sampaikan16 komisaris baru memberhentikannya sebagai Pengawas Sekolah menjelang akhir bulan Februari 1818, ketika ia sendiri siap untuk kembali ke Batavia. Mungkin faktor yang menentukan dalam hal ini adalah kenyataan bahwa Carey sungguh-sungguh memiliki keberanian, atau lebih tepatnya, keangkuhan, untuk sekali lagi meminta Buijskes untuk menjadi pengikut baru [Menonite] diantara penduduk Kristen pribumi. Saya tidak mengetahui banyak tentang permintaan tersebut, atau jawaban yang diberikan kepadanya; dan keputusan pemberhentian itu sendiri tidak menyebutkan keluhan ini17; tetapi Laksamana Muda menulis dalam surat yang disebutkan di atas, tertanggal 24 Februari 1818, kepada Komisaris Jenderal : “Saya juga diwajibkan untuk sekali lagi menolak permintaan Tuan Carey yang disebutkan di atas, untuk mengizinkan anggota jemaat Gereja Reformasi mengubah keyakinan mereka [ke Anabaptis] dan berkhotbah kepada mereka, seperti yang Anda lihat dari jawaban saya kepada misionaris yang disebutkan di atas, serta disposisi saya berkenaan dengan pemberhentiannya sebagai Pengawas Sekolah (yang mendapat kehormatan untuk saya sampaikan kepada Anda dalam salinan di bawah ini), dan oleh karena itu silahkan untuk dirujuk [atau merujuk pada pendapat saya]18.

Saya tidak mengetahui lagi tentang kehidupan selanjutnya dari orang yang diberhentikan dari pekerjaannya di Maluku ituy.

====== selesai ======

Catatan Kaki

1.         Geschiedenis van het Nederlandsche Zendelinggenootschap, oleh Dr. E. F. Kruijff (1894), halaman  513. Tentang Robinson, lihat misalnya Coolsma, contohnya di halaman 63 : “de eerste zendeling”. — Over Robinson, zie o. a. Coolsma t. a. p., blz. 63 : „de eerste zendeling".

2.        Lihat lebih jauh pada The Encyclopaedia Britanica, di item Carey (William)

3.        [kata] Compagniesgewijze atau “kebijakan perusahaan” secara eksplisit tertulis dalam arsip; meskipun mungkin itu adalah salah tulis untuk [kata] negorijsgewijze atau “kebijakan/aturan desa/negeri”, saya [penulis] tidak mengerti maksudnya.

4.        J.J.G. Kruseman dalam sebuah artikel yang dimuat pada “Koloniaal Tijdschrift”, November 1916, 5de jaargang., dengan judul; “Eenige opmerkingen omtrent den Eeredienst, het Inlandsch onderwijs en het Inlandsch bestuur op de Oeliassers”, halaman 1437.

5.        Het evangelie in onze Oost” (1901), halaman 105

6.       Saya tidak mengetahui tentang Negeri Lima pada kalimat ini. Hingga saat ini saya hanya mengetahui nama Hatawano untuk wilayah itu; ada beberapa negeri/desa di sini, tetapi bukan [bernama] Lima, tapi [bernama] Iha; mungkin inilah yang dimaksud.

7.        [Negeri] Paperoe di masa kini sangat jauh dari [negeri] Nolloth. [Kata] Hawaka mungkin berarti [negeri] Itawaka

8.       [Negeri] Imahoe, Iha, Nolloth, Itawaka setidaknya saat ini terletak berdekatan satu sama lain, tetapi di masa lalu negeri tersebut tampaknya terletak di wilayah Hatawano

9.       Saya belum membaca laporan sekolah yang disebutkan di sini dalam versi aslinya; tetapi Laksamana Muda Buijskes telah menginstruksikan Sekretaris Von Baumhauer untuk membuat laporan mengenai keadaan sistem sekolah, yang hasilnya adalah laporan bertanggal Amboina, November 1817 : “semuanya”,lapor pembuat laporan, “ia telah berhasil mendapatkan informasi mengenai sistem sekolah”. Bagian ini, yang berisi saran, saya kutip dari Kam-Carey, dari Carey sendiri dan dari Resident Van den Berg, adalah salah satu lampiran pada arsip Buijskes, yang saya sebutkan dalam buku saya berjudul Het Bestuur van 1817 – 1818, bagian Pendahuluan halaman xxx, terbitan tahun 1917. Bukan tidak mungkin dalam penyusunan bagian ini, darimana saya mengambil kutipannya, telah terjadi kesalahan-kesalahan “besar”

10.      Laporan ini disusun oleh Van Middelkoop berdasarkan keinginan Buijskes untuk memberikan “beberapa petunjuk mengenai keadaan” di Maluku. Saya menyebutkannya pada No I, halaman xxix, dari karya Van 1817-1818 yang disebutkan pada catatan kaki di halaman 228.

11.       Lihat artikel Kruseman halaman 1437 - 1438, dikutip pada catatan kaki di halaman 223 [dari artikel ini].

12.      Lihat halaman 229 [dari artikel ini]

13.      Lihat halaman 223 [dari artikel ini]

14.      Dikutip pada halaman 220 [dari artikel ini]

15.      Lihat halaman 224 [dari artikel ini]

16.      Pada halaman 229 [dari artikel ini]

17.      Dikutip pada halaman 230 [dari artikel ini]

18.      Kutipan tersebut mengikuti kata-kata di hal. 230 "seperlunya berguna"; sedangkan kutipannya diikuti dengan kata-kata pada hal. 231: "Ini belum berhasil.............

 

Catatan Tambahan

a.        Graaf, H.J. de, 1977, De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukke, halaman 208. Franeker : Wever

§   Steenbrink, Karel dan Tapilatu, Mesakh, Mollucan Christianity in the 19th and 20th century between Agama Ambon and Islam, halaman 383 – 418 [bab ix], khusus halaman 388,  dimuat dalam Aritonang, Jan Sihar, and Steenbrink, Karel (editor), 2008, A History of Christianity in Indonesia, Brill : Leiden and Boston  

b.       Dr Carey yang dimaksud adalah William Carey (1761 – 1834), seorang penginjil yang bertugas di Serampore, India. Ia adalah ayah dari Jabez Carey, yang menjadi penginjil dan bertugas di Maluku.

c.        Joseph Kam

d.       William Byam Martin, Resident Inggris yang memerintah Maluku pada periode 1811 – 1817

e.        Nicalaus Engelhard, Komisaris Pertama Pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan Inggris

f.         Jacobus Albertus van Middelkoop, Komisaris Kedua Pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan Inggris

g.        Jabez Carey, lahir pada 12 Mei 1793 di Piddington (Northamptonshire), putra dari William Carey (1761 – 1834) dan Dorothy Plecket (1756 – 1807). Jabez Carey menikah dengan Anne Eliza Hilton (22 Nov 1797 – 1 Maret 1842) pada tanggal 24 Februari 1813 di Serampore.

h.       Dr. Johannes Theodorus van der Kemp, lahir di Rotterdam pada 17 Mei 1747 dan meninggal dunia di Cape Town, Afrika Selatan, pada 15 Desember 1812, putra dari Prof Dr Cornelius van der Kemp dan Anna Maria van Teylingen. Hubungan Johannes Theodorus van der Kemp dan Pieter Hendrik van der Kemp (penulis artikel) adalah sebagai berikut : kakak dari Johannes Theodorus van der Kemp bernama Didericus van der Kemp (1731 – 1780), Didericus van der Kemp memiliki anak bernama Johannes Cornelius van der Kemp (1768 – 1823), Johannes Cornelius van der Kemp memiliki 6 anak, salah satunya bernama bernama Pieter Hendrik van der Kemp sr (1801 – 1867), dan Pieter Hendrik van der Kemp sr inilah ayah dari Pieter Hendrik van der Kemp (penulis artikel ini)

i.         Jean Lubbert van den Berg, lahir pada 3 Februari 1812 di Vught, dan meninggal dunia pada 18 Mei 1892.

j.         Komisi Jenderal ini terdiri dari Cornelis Theodorus Elout, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Cappellen dan Arnold Adriaan Buijskes

k.        William Robinson, lahir pada 18 Januari 1784 di Olney, Inggris, dan meninggal dunia di Dacca, Bangladesh, pada 2 September 1853. William Robinson adalah putra dari John Robinson dan Sara Barnett (Barnard). William Robinson menikah sebanyak 4 kali, yaitu dengan Elizabeth Walker (pada tahun 1806), dengan Margareth Gordon (pada 13 Januari 1812), dengan Mary Burgh (pada 11 April 1827) dan Eliza Sturgean (pada 4 Juli 1839)

l.         Gottlob Brückner, lahir di Jerman pada tanggal 19 Juli 1783 dan meninggal di Semarang pada 9 Juli 1857

m.      Kedatangan Jabez Carey ke Maluku, khususnya Ambon, dimulai dengan surat Resident W.B. Martin kepada Sekretaris Dewan Penginjilan di Calcutta, India, per tanggal 23 februari 1813, dilanjutkan surat kepada Henry Saint George Tucker, Sekretaris Departemen Kolonial pada Gubernemen Inggris di Bengal, India, pada tanggal 18 Juni 1813, dilanjutkan dengan Surat Henry Saint George Tucker per tanggal 6 November 1813 kepada penginjil William Carey dan anggota Dewan Penginjilan di Serampore. Surat balasan dari anggota Dewan Penginjilan di Serampore kepada Henry Saint George Tucker per tanggal 22 November 1813, dimana dalam surat ini disebutkan bahwa mereka akan secepatnya mengirim salah satu penginjil untuk tugas di maksud, tanpa ditunda-tunda lagi. Pada arsip surat ini, Chr. Van Fraasen, memberikan catatan kaki nomor 2, yang menyebutkan bahwa pada April 1814, Jabez Carey tiba di Ambon.

n.       Inggris memerintah wilayah Maluku, khususnya wilayah Ambon pada 2 periode yang berbeda, yaitu pada periode 1796 – 1803, dan 1810 – 1817. Periode inilah yang disebut pemerintahan peralihan atau pemerintah sementara (interegnum) Inggris dalam perspektif orang Belanda.

o.       Levinus Heukevlugt, prefek Ambon pada periode 1 Januari – 19 Februari 1810.

p.       Penetapan ini melalui besluit Levinus Heukevlugt per tanggal 26 Januari 1810.

q.       J.J.G. Kruseman atau Johan Jacob George Kruseman, pernah menjadi Controleur van Saparoea pada periode 1912 – 1913

r.        Johannes Alexander Neijs

s.        Noesanana, kami tidak mengetahui secara persis apa maksud kata Noesanana pada narasi ini, tetapi mungkin maksudnya adalah Nusaniwe. Hal ini “logis” jika kita membaca kalimat-kalimat sebelumnya, yang secara implisit, bisa disimpulkan bahwa Noesanana berada di wilayah kota Ambon.

t.         Radja negeri Nollot bernama Izaak Nicolas Huliselan (min 1803 – 1820) dan Radja negeri Siri Sori bernama Johannes Salomon Kesaulija (12 Des 1804 – Mei 1817)

u.       Negorij Lima yang dimaksud mungkin adalah kekeliruan penulisan, “seharusnya” Lima (5) negeri atau 5 buah negeri. Pemahaman kami berdasarkan pembacaan kalimat sebelumnya dan setelahnya, dimana disebutkan secara eksplisit bahwa ada 5 negeri di wilayah tersebut (di Hatawano pada masa itu) yaitu Paperoe, Nollot, Tohaha (Tuhaha) dan Hawaka (Itawaka) dan Ihamahoe.

v.        Kepala Sekolah di [negeri] Saparua pada tahun 1817 adalah Jacob Sahetapy. Sebelumnya ia bertugas di [negeri] Siri Sori (1805 - ???).

w.      Jendral De Kock yang dimaksud adalah Hendrik Merkus de Kock, menjadi Gubernur Maluku pada periode 1818 – 1819.

x.        G.W.W.C. van Hoëvel, Ambon en meer bepaaldelijk de Oeliasers : Geographisch, Ethnographisch, Politisch en Historisch, Blusse en van Bram, Dordrecht, 1875.

y.        Tidak banyak diketahui tentang Jabez Carey setelah meninggalkan Ambon pada Februari 1818, namun diketahui ia meninggal di Calcutta pada 13 Mei 1862 (menurut sumber lain pada 19 Mei 1862). Pernikahannya dengan Anne Eliza Hilton memiliki 2 anak, yaitu William Henry Carey (lahir di Ambon pada 1817 – 1889) dan Charlotte Isabella Carey (1818 – 1819). Jabez Carey juga menikah dengan Sarah Hawkins (31 Des 1815 – 17 Sept 1843) pada tanggal 20 Juni 1842 di Old Mission Church, Calcutta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar