Sabtu, 30 April 2016

Duurstede Untold Stories #1


Penulis : Aldrijn Anakotta

Kenangan Masa Kecil

Bebatuan melingkar itu terasa aneh, misterius dan selalu sunyi, namun seperti yang sering terjadi, jika sebuah bangunan bertumbuh, bersahabat dengan hidup manusia, maka itu dianggap biasa. Tak ada yang spesial di situ. Begitu juga yang terjadi pada bebatuan melingkar itu. Bebatuan yang seperti ditumpuk di atas batu karang itu, layaknya mercusuar yang menjaga “mulut” perairan teluk saparua. Memelototi pulau nusalaut yang mengambang di atas lautan di depan matanya. Menatap pada kesunyian deburan ombak, belitan gelombang, hilir mudiknya para nelayan bertaruh nyawa mencari sesuap nasi dan kehidupan sederhana yang terus berjalan mengalahkan zaman. Ya, batu-batu yang melingkar di atas karang itu, yang kita kenal sebagai benteng Duurstede!!! Sebuah benteng peninggalan bangsa belanda di jantung uliaser, di negeri saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu). Seperti sebuah misteri pada masa kanak-kanak, tempat itu hanya cukup dikenal sebagai benteng duurstede, tempat bermain, tempat menonton pertandingan sepak bola, tempat duduk berleha-leha karena angin pantai yang bertiup mengusap rambut dan pipi. Di masa kanak-kanak yang teringat, saat ada pertandingan sepak bola, tempat itu dijadikan “tribun VIP” karena tinggi dibandingkan nonton di pinggiran lapangan. Atau bisa juga tempat itu dijadikan sebagai “solusi terakhir” saat anak-anak tak punya uang membeli tiket masuk untuk menyaksikan pertandingan bola. Jika itu yang terjadi, anak-anak akan berjalan menyusuri tepian pantai, bersembunyi dari tatapan mata para “intel” penjual tiket, memanjat tebing-tebing batu di kaki benteng dengan nafas satu dua, memanjat dinding yang tebal itu, dengan  berbekal potongan kayu yang bersandar, dan akhirnya “free… merdeka” duduk nangkring di “pundak batu” selayaknya para “hooligans” para ultras, penggemar fanatik sepakbola sambil berteriak-teriak. Ada juga tempat lain, di masa kanak-kanak yang dikenal sebagai lubang tikus. Terowongan berbentuk setengah lingkaran yang sempit, dan dipergunakan anak-anak untuk masuk kedalam benteng. Hal itu dilakukan jika anak-anak tak mampu atau tak mau susah-susah memanjat dinding benteng. Lubang terowongan itu kira-kira panjangnya 6 meter dari luar hingga menembus perut benteng. Dan akhirnya tiba di dalam sebagai the winner dalam petualangan menaklukan rasa takut untuk tujuan final yaitu menonton sepak bola. Atau tempat itu akan ramai saat peringatan Pattimura Day, setiap tanggal 14 Mei, meski tetap saja “tersingkir” karena TKP-nya lebih banyak berpusat di hutan saniri, lapangan pattimura atau baileu negeri saparua.


Ya, begitulah yang masih teringat tentang tempat itu. Yang kami tahu hanya itu. Bangunan melingkar dari batu-batu yang menjadi sahabat kehidupan tiap hari sampai sekarang. Hanya sebatas itu yang kami tahu, sebatas tempat itu adalah “korban” dari perang pattimura di bawah komando Thomas Matulessy alias kapitan Pattimura. Hanya itu, sejarah “kelahirannya” diliputi banyak tanda tanya, banyak misteri, paling-paling yang diketahui, benteng itu didirikan oleh Arnold/Arnout de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1676 dan di “selesaikan” oleh Nicholaas Schagen di tahun 1691. Itupun diketahui dengan “bantuan” plakat yang ditempelkan di dinding pintu masuk. Itu bukan hal istimewa untuk dibanggakan, setiap anak-anak yang sering bermain di daerah benteng pun tahu hal itu, karena seperti papan nama yang bisa dibaca kapan saja. Soal lain, anak-anak pun tak tahu, apa gunanya sejarah buat dunia anak-anak??? Dunia mereka adalah dunia bermain, bermain dan hanya bermain. Itu saja… pastilah hal-hal rumit itu dikesampingkan, atau memang tidak mau tahu. Ditambah lagi, tempat itu seperti “menutup mulutnya” tak mau bercerita banyak tentang kelahirannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga masa tuanya buat anak-anak. Ya, memang benteng duurstede seperti “malu” bercerita tentang sejarah hidupnya. Yang ada hanyalah fragmentasi sejarah hidup yang bercampur antara fiksi, legenda, tuturan, dan arsip-arsip terbatas yang melingkupinya. Bagaimana rancang bangunnya, siapa arsiteknya, siapa para pekerjanya, siapa mandornya, bagaimana upah para pekerja dibayar, kapan tepatnya, tanggal bulan peletakan batu pertama, kapan peresmiannya, bagaimana suasana peresmiannya, bagaimana suasana sosial atau kehidupan tiap hari saat benteng itu mulai dibangun, bagaimana perasaan para pekerja, apakah dalam pembangunan itu ada kerja paksa di luar kemanusiaan atau bagaimana??? Bagaimana sketsa asli benteng itu, maketnya, berapa skalanya dalam lembar-lembar arsitektur di tangan para insinyur yang mengepalai “mega project” itu, dan masih banyak soal yang tak diketahui dengan pasti. Sampai saat ini, semuanya seperti tertutup. Tak ada arsip yang bisa dibaca, dipahami agar bisa diketahui, dimengerti. Entahlah, mengapa bisa begitu. Mungkin arsip-arsip tentang pembangunan itu, telah terbakar saat perang pattimura, atau mungkin saja telah diselamatkan oleh para kompeni, atau mungkin juga telah terkubur dan menjadi unsur hara dalam proses penghumusan tanah. Entahlah… semuanya seperti gelap… seperti benteng duurstede yang tetap gelap di saat malam. Jadi patung bisu di atas batu karang, jadi monumen masa lalu yang mencoba bertahan hidup menantang zaman yang terus berubah.

Tulisan tersaji ini ibarat potongan, sobekan, percah kain yang coba dijahit dan dianyam kembali menggunakan benang-benang masa kini, menggunakan mesin jahit yang bersandar pada basis data, cerita, legenda, fiksi, tuturan serta beberapa buku yang berkaitan dengan benteng duurstede sebagai referensi sejarah. Tentulah hasil jahitan itu akan berwarna-warni, tak akan bisa sempurna, dan memang tak sempurna, akan berwarna-warni seperti mozaik dalam pandangan tiap orang saat membaca, merenungi serta meresponinya. Yang penting adalah tulisan ini dibuat sebagai bentuk kecintaan, bentuk kenangan pikiran anak-anak yang menjelajahi dunia sejarah kolonial dalam kecintaan dan ketagihan membaca. Semoga tulisan ini bisa dibaca, dinikmati dan bisa menggugah para sejarahwan berkompeten untuk menelisik lebih jauh, lebih banyak menampilkan banyak data, serta menulis ulang tentang saksi sejarah di jantung uliaser itu.

Bebatuan melingkar” itu bercerita
     Bagian I

Semuanya bermula di tahun 1580, saat Raja Phillip dari Spanyol naik tahta, dan menganeksasi Portugis dalam kekuasaannya, dua raksasa Katholik di Eropa Barat itu, memblokade portal distribusi pembelian rempah-rempah di pelabuhan-pelabuhan mereka, Belanda pun megap-megap karena kebutuhan wangi-wangi rempah dicekik, mereka memutar otak, berusaha mencari akal untuk menabrak dan menelusuri sumber rempah-rempah itu. Tak kuat menghadapi “strategi ekonomi ala mafia”, Belanda pun mengajak Spanyol “berkelahi” dalam arena perang 80 tahun yang melelahkan (1568-1648).  Tahun 1592, saat Jan Huygen van Lincshoten seorang Belanda (dari haarlem), yang telah menghabiskan 4 tahun di Portugis dan 5 tahun di Goa (India), sebagai Sekretaris Archibisop kembali pulang ke Belanda, dengan setumpuk pengetahuan berharga tentang perdagangan dan pelayaran ke Samudera Hindia. Tahun 1595, ia menerbitkan buku yang berjudul Reysgescrift van de navigatein der Portugaloysers in Orienten. Setahun kemudian tahun 1596 bukunya yang lain terbit dengan judul Itinerario near oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timur/Hindia Portugis). Dalam buku ini berisi rincian–rincian pelayaran orang-orang Portugis ke Asia 1 abad sebelumnya yang sengaja dirahasiakan kepada dunia luar. Berdasarkan kedua buku ini, serta bantuan Plancius dan Mercantor, ahli pembuat peta, serta ahli navigasi laut, yaitu Lucas Janz Waghenaer. Di tanggal 2 April 1595, Cornelis de Houtman, seorang pemabuk bersama  Pieter de Keyzer memimpin 4 armada menuju Nusantara dari pelabuhan Texel. Berbekal 4 buah kapal dengan 249 awak kapal dan 64 pucuk meriam mereka berlayar. Pelayaran mereka dibiayai oleh sebuah sindikat yang terkenal dengan nama Compagnie van verre yang bermarkas di Amsterdam. Di tanggal 23 Juni 1596, armada itu berlabuh di Pelabuhan Banten, pelabuhan lada yang terbesar di Jawa Barat. Di kawasan itu mereka segera terlibat konflik dengan orang-orang Pribumi. De Houtman kemudian meninggalkan Banten dan berlayar menuju ke Timur menyusuri pantai utara Jawa. Akhirnya di bulan Agustus 1597, sisa-sisa ekspedisi yang hanya 3 kapal dan 89 awak kapal  itu kembali ke Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah. Pada tahun 1598, tidak kurang dari 5 ekspedisi, jumlah seluruhnya 22 kapal meninggalkan Belanda menuju Hindia Timur. 13 Kapal melewati Tanjung Pengharapan, 9 kapal melewati Selat Magelen. Armada besar ini dipimpin oleh Jacob van Neck, Van Warwick, dan Van Heemskerck. Van Neck tiba di Banten setelah 6 bulan berlayar. Van Warwick dan Van Hemskerck kemudian menuju ke Ambon, dan singgah di Pulau Banda. Van Warwick terus menuju ke Ternate dan kembali pulang ke negerinya di tahun 1600. Saat kembali keuntungan mereka 400%. Terjadi persaingan di antara 6 perusahan ekspedisi Belanda di masa itu untuk berkuasa. Persaingan itu menyebabkan naiknya harga rempah-rempah dan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Menyikapi hal itu, di tahun 1598 atas prakarsa 2 tokoh Belanda, Pangeran Maurice van Nassau dan Johan van Olden Barnevelt, parlemen Belanda (staten general) mengajukan usul agar perseroan/ekspedisi yang saling bersaing itu, sebaiknya dilebur kedalam satu badan. Butuh 4 tahun kemudian baru usul itu diwujudkan. Tahun 1601, berangkat lagi 14 ekspedisi yang berbeda melakukan pelayaran. Di tahun 1600, Inggris mendirikan EIC (the East Indian Compagnie) atau Maskapai Hindia Timur atas dasar oktroi yang dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth I. Belajar dari Inggris dan setelah melewati perdebatan panas selama 4 tahun di Parlemen, atas dasar Octroi dari UU Kerajaan Belanda tertanggal 20 Maret 1602, berdirilah VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC semula bernama de Generale Nederlandsche Geortrovide Oost Indische Compagnie. Kepentingan yang saling bersaing dalam VOC itu diwakili oleh sistim majelis (kaamer) untuk 6 wilayah di negeri Belanda. Ke-6 wilayah (sekarang adalah negara bagian/provinsi-red) adalah Amsterdam, Zeeland (bermarkas di Middelburg), Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui dan  semuanya berjumlah 17 orang dan disebut Heeren XVII (tuan-tuan tujuh belas). Pendirian VOC ini berdasar pada octroi yang dinyatakan berlaku selama 21 tahun dan bisa diperpanjang lagi, di tahun 1622/1623 octroi ini diperpanjang lagi untuk 21 tahun kedepan. Mulai saat itu VOC mengirim armada ke Hindia Timur dengan kekuatan yang lebih dashyat. Selama 7 tahun, VOC dikendalikan oleh Heeren 17, di belanda. Di tahun 1609, mereka memutuskan menyerahkan kekuasaan sentral di Asia kepada seorang Gubernur Jenderal VOC dan dewan penasehat serta menunjuk Pieter Both sebagai Gouvernur General VOC pertama berdasarkan Resolusi Staten General bertanggal 27 November 1609 yang berkedudukan di Hindia Timur. Atas instruksi Pieter Both, dibentuklah dewan penasehat yang disebut Raad van Indie. Kedua lembaga ini kemudian dikenal sebagai Hogere Regering atau Pemerintahan Agung. Di masa itu (1611-1619) Hogere Regering tak punya markas tetap di darat, mereka biasanya berkantor di atas kapal yang berlabuh di lautan antara Ternate, Ambon dan Banten. Pieter Both mulai berkuasa sejak 19 Desember 1610 hingga 6 November 1614. Sebelum menjadi seorang Gubernur Jenderal, ia berkarir sebagai perwira laut utama belanda antara tahun 1599 - 1601. Laki-laki kelahiran Amersfoot di tahun 1568 itu mulanya ragu, karena merasa kurang mengenal tentang Hindia Timur, namun akhirnya meluncur pada Januari 1610 dengan armada 8 kapal, ia sendiri berada di kapal yang bernama Wapen van Amsterdam. 10 bulan kemudian baru ia mendarat di pelabuhan Banten, di tanggal 19 Desember 1610 dan memulai tugasnya. Di bawah komando Both, pulau Banda Naira (Maluku) akhirnya takluk. 5 tahun sebelumnya, tepatnya 23 Februari 1605, Portugis tersingkir dari Pulau Ambon dengan jatuhnya benteng mereka ke tangan sang petualang Steven van Der Haghen yang kelahiran Amersfoot tahun 1563 seperti Pieter Both. Portugis tersingkir dari ambon yang dikuasai sejak 23 Maret 1575. Tanggal ini adalah tanggal pembangunan benteng Portugis di Ambon. Awalnya Benteng ini  dibangun oleh Portugis di bawah pemerintahan Nuno Pareira de Lacerda kapten Portugis yang berkuasa sejak Desember 1574 - 28 Desember 1575 dan berkedudukan di ternate, batu pertama dari benteng tersebut diletakkan oleh seorang panglima armada Portugis di Ambon, Sancho de Vasconcelos, pada tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya. Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada, artinya sampai di sini Bunda Maria dibangun. Pemberian nama tersebut berkaitan dengan hari Kenaikan (“Anunciada”) yang bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut. Setelah direbut, benteng ini kemudian dinamakan Victoria. Van der Haghen adalah seorang petualang yang malang melintang dalam pelayaran menaklukan daerah-daerah timur, jauh sebelum ia bekerja di VOC, ia pernah bekerja di Spanyol dan Italia. Pengalaman “berkeliaran” ini dijadikan “curriculum vitae” saat ia menjadi partner para pedagang dari Hoorn (Belanda) untuk mereka bereksplorasi dalam kemungkinan perdagangan dengan Spanyol bagian timur serta pantai barat Italia. Kawasan Hoorn inilah yang nantinya “melahirkan” seorang bajingan Jan Pieterzoon Coen itu. Ia juga pernah berkonflik panjang dengan VOC soal gajinya, dan atas permintaannya kepada staten general, staten general menekan VOC agar mengakhiri konflik ini. Di tahun 1613, dalam pelayaran terakhirnya, ia membawa Gerard Reynst, calon Gubernur Jenderal VOC kedua yang akan menggantikan Pieter Both. Pada periode terakhir hidupnya ia menjadi Gubernur Amboina ke-4 yang memerintah dari 1616 - 1618 menggantikan Adriaen Maartenzoon Blok (1615-1616) dan kemudian, ia sendiri digantikan oleh Herman van Speult (1618-1625). 3 tahun kemudian 1621, van Der Haghen meninggal dunia di Utrecht. Setelah Ambon jatuh ketangan Belanda, Fredrik de Houtman, saudara Cornelis de Houtman ditunjuk menjadi Gubernur Amboina (1605-1611) yang pertama, sedangkan Gubernur Malukunya adalah Anthoni van Suylen van Nyevelt (1604-april 1605).

Juni 1607, Belanda membangun benteng pertamanya di Ternate yang bernama benteng Malayu dan diganti namanya menjadi benteng Oranye di tahun 1609. Saat Belanda membangun benteng pertamanya di Ternate itu, nun jauh di negeri Belanda, tepatnya di Hoorn, JP Coen kembali dari “magangnya” di Roma Italia. Di sana ia magang selama 6-7 tahun dan belajar pada pedagang Flandria Belgia bernama Joost de Visscher (Justus Pescatore). JP Coen lahir di Hoorn pada tahun 1586/1587. Ia dibaptis pada 05 Januari 1587 sebagai Putra Pieter Janszoon. Pada umur 13 (1601), ia dikirim ke Roma seperti yang dijelaskan di atas. Tahun 1607 dia menjadi pegawai VOC dengan pangkat asisten saudagar (onderkoopman), pada 22 Desember 1607 ia berangkat ke Hindia Timur dengan menumpang kapal “Hoorn” dan tiba pada 08 April 1608 di pulau Banda, ia menjadi Scriba (juru tulis) dari bosnya Pieter Willemszoon Verhoeff/Verhofen. Pengalaman buruk terjadi pada perjalanannya yang pertama ini, saat “bos besarnya” Pieter Willemszon Verhoeff, saudagar Jacob van Groenwegen bersama 26 orang lainnya tewas dibunuh orang Banda saat negosiasi pembelian rempah-rempah. Rasa dendam inilah yang jadi bara api dalam kekejian JP Coen pada orang Banda di masa depan. Ia kemudian kembali lagi pada tahun 1610. Di tahun ini, (1608-1609) benteng Belanda di pulau Banda bernama benteng Nassau dibangun di atas rerentuhan benteng Portugis, benteng ini didirikan oleh admiral Pieter Willemszoon Verhoeff/Verhofen yang merupakan “bos” JP Coen itu. Tahun 1612 dia naik pangkat menjadi saudagar tinggi (operkoopman) dan komandan dari kapal Galiasse saat pelayaran kedua. Pada bulan Oktober 1613 dia ditunjuk sebagai akuntan – jenderal (boekhouder-general) yang membawahi seluruh kantor cabang VOC hingga kantor pusat di Hindia yang berpusat di Banten dan Jayakarta, yang nantinya bernama Batavia. Banten adalah pusat kegiatan administrasi dan pelayanan VOC di Hindia. Antara penguasa Banten dengan VOC sebetulnya kurang baik karena pihak keraton Banten melihat VOC sangat dominan dalam mengurus perdagangan dengan pihak asing yang juga merupakan pelanggan dari Kerajaan Banten. Tahun 1614 JP Coen menjabat sebagai Direktur Jenderal, jabatan tertinggi kedua setelah Gubernur Jenderal pada masa Pieter Both yang juga teman dekatnya.
  
Tentang pusat kekuatan, kala itu, Bantenlah yang menjadi pusat. Hanya saja, kondisi Banten kemudian mengalami kekacauan sejak 1602 dan mencapai puncaknya pada 1608. Dan karena itu, Belanda maupun Inggris mulai mendekati pangeran Jayakarta supaya mereka diperbolehkan memindahkan kantor, gudang dan markas mereka ke negeri Jayakarta yang lebih teratur. Negosiator Belanda itu adalah Kapten Jacques L'Hermite, wakil perusahaan di Banten yang bertindak atas instruksi Pieter Both, Gubernur Jenderal VOC pertama. Adapun perjanjian itu ditandatangani secara resmi pada 18/28 Januari 1611 di Jayakarta. Perjanjian ini kemudian diperbaharui pada 21 Oktober 1614 yang ditandatangi Gubernur Jenderal Gerard Rijnst (Reynst), yang memasukan tambahan izin untuk membongkar rumah-rumah Tionghoa yang terlalu dekat dengan gudang Belanda. Adapun hasil perundingan L'Hermite dengan Pangeran Jayawikarta, putera Pangeran Tubagus Angke, adipati Jayakarta II (1600-1620), adalah persetujuan untuk membangun sebuah rumah kayu dan batu untuk pangkalan niaga. Dengan membayar 1.200 ringgit (real?) orang Belanda mendapatkan tanah seluas 50 x 50 depa dekat muara di pinggir timur Ciliwung. Di tempat ini, di pinggir kampung Cina, mereka boleh membangun apa yang dengan berbagai istilah disebut rumah (huis), tempat berkumpul (loge) atau kantor dagang (factorij). Bangunan yang kemudian disebut Nassau Huis (Rumah Nassau) itu dilengkapi dengan sebuah bangunan yang lebih kecil, tak jauh dari sana, yang kemudian dikenal sebagai Rumah Kapten Watting, saudagar yang menetap pertama. Bangunan ini berukuran 31,5 M x 11,44 M didirikan tahun 1611 oleh Abraham Theunemans. dari bahan gedek dan batu serta selesai tahun 1613. Selain menjadi Gubernur Jenderal VOC Pieter Both (1610-1614), ia juga menjadi Gubernur Maluku (1612-1616), jadi saat ia meletakan jabatannya di tahun 1614, ia tetap menjadi Gubernur Maluku. Belum selesai mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur Maluku, ia pulang ke Belanda dan tewas tenggelam bersama 4 kapal yang mengiringinya di kepulauan Mauritius, atas jasanya Belanda membangun  dataran tinggi bernama Pieter Bothberg di Mauritius. Sang penggantinya adalah Gerard Reynst yang datang bersama istrinya Margaretha Niquet bersama 9  armada di bawah komando van Der Haghen pada 2 juni 1613. Gubernur Jenderal Gerard Reynst, lahir di Amsterdam (1568). Sebagai seorang saudagar dia ikut mendirikan dan duduk di dewan direksi Nieuwe Brabantsche Compagnie, sebuah perusahaan kongsi yang berfusi dengan Verenighde Compagnie van Amsterdam (1600), yang selanjutnya menjadi Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602. Reynst menyetor modal sebesar 12.000 gulden, namun masih meneken modal disetor atas nama tiga pihak lainnya. Atas permintaan sesama anggota De Heren XVII (Tuan-tuan 17), organ tertinggi VOC, dia akhirnya bersedia menjadi Gubernur Jenderal (1613). Ia ditunjuk oleh Heeren 17 pada tanggal 20 Februari 1613, dan butuh 1,5 tahun dalam perjalanan, barulah ia sampai di Hindia Timur. Selama bertugas ia digaji 700 gulden/bulan dan 1000 gulden/tahun. Tak lama berkuasa, ia meninggal tanggal 07 Desember 1615, 4 tahun kemudian istrinya juga tutup usia dan dimakamkan di Batavia. Gubernur Jenderal ketiga yaitu Laurens Reae (19  juni 1616-21 maret 1619), yang mengawali tradisi dalam merekomendasikan Direktur Jenderal perdagangan sebagai pengganti Gubernur Jenderal yang telah habis masa tugasnya. Tradisi ini sangat jarang diintervensi oleh para direktur VOC. Ia dilahirkan pada 1583 dan meninggal pada tahun 1637. Selain menduduki posnya sebagai Gubernur Jenderal VOC, orang ini pun menjadi Gubernur Maluku (1616-1621) menggantikan Pieter Both. Ia kemudian digantikan oleh Frederik de Houtman (1621–1623) yang beberapa tahun sebelumnya menjadi Gubernur Amboina (1605-1611).

Waktu terus berputar, dan tibalah pada cerita seorang bajingan yang jadi “cetak biru” sebuah kekuasaan dan rasa tamak seorang manusia. Dialah JP. Coen sang Gubernur Jenderal VOC ke-4. Ia menjabat selama 2 kali, pada pemerintahan yang pertama tercatat dari tanggal 30 April 1618 hingga 1 Februari 1623. Sebenarnya saat kembali ke Belanda dari kunjungan kedua ke Hinda di tahun 1610 itu, ia “nongkrong” di Belanda sampai ditunjuk oleh Heeren 17 pada 25 Oktober 1617. JP Coen menerima penunjukan itu pada 30 April 1618. Ia bertolak ke Hindia Timur dan secara “resmi” menduduki jabatannya pada 21 Maret 1619. Hal ini disebabkan pada masa itu, perjalanan ke Hindia Timur memakan waktu cukup lama antara 10 bulan - 1,5 tahun karena belum dibukanya terusan Zues. Di tangan Jan Pieterszoon Coen, Nassau Huis ditingkatkan kualitasnya dan bahkan ia juga membangun gedung kembarannya, Mauritius Huis. Antara kedua gedung ini kemudian dibangun sebuah tembok batu, dan di atas tembok ini dideretkan beberapa buah meriam. Coen, juga memperbesar regu penjagaannya yang terdiri dari 25 orang menjadi 50 orang yang dipersenjatai secara kuat dengan senapan musket dan arquebuses. Bangunan-bangunan ini kemudian menjadi serupa benteng segi empat di tangan Piere de Carpentier, yang menjabat Gubernur Jenderal selama Coen bepergian ke Maluku mencari bantuan. Dinding-dindingnya, setinggi 6 - 7,5 meter, terbujur 150 meter sepanjang pinggir sungai dan sama panjangnya membujur ke pedalaman. Dinding-dinding ini berhadapan dengan tembok batu, sama halnya dengan tanggul-tanggul tanah liat yang letaknya agak kejauhan, yang kemudian akan menjadi dinding-dinding kota dengan di dalamnya dikenal sebagai Kasteel Jacatra (Kastil Jakarta). Apa yang dilakukan Coen ini, makin mempertajam persaingannya dengan Inggris dan juga Jayakarta. Persaingan ini mencapai puncaknya pada Desember 1618. Dan, Pieter van den Broecke, komandan benteng Belanda pun ditangkap tentara Pangeran Jayawikarta yang kala itu dibantu armada Inggris pimpinan Sir Thomas Dale. Namun, pada bulan Februari 1619 Sultan Banten (Pangeran Rananenggala) yang adalah atasan Pangeran Jayawikarta menggeser (memecat) penguasa Jayakarta dan mengasingkannya ke Tanara (Citanara). Tentu saja, orang Belanda merasa lega dan berusaha mengeratkan hubungan (sementara) dengan Banten. Garnisun benteng, yang terdiri dari orang Belanda dan sewaan Jepang, Jerman, Perancis, Skotia, Denmark dan Belgia merayakan perubahan situasi ini dengan pesta meriah. Mereka pun kemudian menamai benteng ini dengan Batavia (12 maret 1619), untuk mengenang suku bangsa Germania, yang disebut C.J. Caesar, dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM), yaitu suku bangsa Batavir yang menghuni daerah di sekitar mulut Sungai Rhein. Suku Batavir, dianggap leluhur orang Belanda. Dari benteng di tepi timur Ciliwung itu, tentara Belanda di bawah JP Coen menyerang dan menghancurkan kota serta kraton Jayakarta, pada 30 Mei 1619. Sejak itu pula, Belanda praktis menguasai bandar Jayakarta. Dan kemudian, VOC mendirikan Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta, yang tidak lagi ada rajanya kecuali Coen).
Adapun nama Batavia untuk kasteel dan kota baru disahkan pada 1620, untuk kemudian dikukuhkanlah sebuah pemerintahan (Stad) Batavia pada 04 Maret 1621 Setelah memberikan nama Batavia, mereka pun membangun Kasteel baru yang berbentuk persegi empat dengan empat benteng (Bastion) menjulang berbentuk tajam yang diberi nama Parel, Diamant, Saphir, dan Robijn. 11 Oktober 1619 ia menunjuk Souw Ben Coen/Beng Kong (Bencon – dalam pengucapan orang Belanda) sebagai kapiten China pertama. Saat inilah dimulai sebuah hubungan simbiosis mutualisme dalam pembangunan kota Batavia. Semua project pembangunan selalu dipegang oleh “para kontraktor” bangsa kuning itu. 2 tahun memerintah, 10 Maret  1621 ia melakukan pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Banda. Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 - 100 pedagang Jepang; beberapa di antaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia. Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan.
Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 08 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain :

“… Keempat puluh empat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar
perjanjian perdamaian. Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat.
Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya. Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar. Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini...”

Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit. Mereka inilah yang menjadi “cikal bakal” munculnya penduduk Jakarta, di samping orang china, dan para budak yang diambil dari seluruh pos-pos dagang belanda di Asia.
Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, dimana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, di Benteng Victoria Ambon, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van der Post) :

The Admiral’s Baby”, John Murray, London, 1996):
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”

Inggris pun membalas dengan merampok kapal Belanda de swarte leeuw yang penuh muatan. Terjadi pertempuran besar-besaran, dan sejarah mencatat JP Coenlah yang jadi pemenang.  Saat peristiwa ini, yang menjadi Gubernur Maluku adalah Frederik de Houtman (1621-1623) sedangkan gubernur Amboina adalah Herman van Speults (1618-1625) yang sebelumnya menggantikan Steven van Der Haghen (1616-1618). Peristiwa biadab ini terjadi pada masa pemerintahan Pieter van de Carpentier. JP Coen menyerahkan tongkat kekuasaannya kepada Gubernur Jenderal VOC ke-5 Pieter de Carpentier (01 februari 1623-30 september 1627) dan kembali ke Belanda. Laki-laki ini adalah kelahiran Antwerpen (Belgia sekarang - masa itu masih jadi wilayah Belanda) tahun 1586 dan meninggal pada 1659. Ia ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal VOC oleh Heeren 17 pada tanggal 8 September 1622. Di masa pemerintahannya, terjadi Ambonese Moord yang menjadi kasus internasional dan diberlakukannya lagi Hongi Tochten Stelsel yang sebelumnya telah dibekukan oleh Gubernur Jenderal VOC Laurens Real. Peristiwa pemberlakuan Hongi Tochten ini menjadi alasan terjadinya perang Alaka II (1625-1637) di pulau Haruku. 4 tahun berkuasa, ia kembali menyerahkan posisinya kepada JP Coen yang 3 tahun sebelumnya telah ditunjuk kembali oleh Heeren 17 pada 3 Oktober 1624. Butuh 3 tahun barulah JP Coen menerima tugas ini dan kembali ke “daerah pembantaiannya”. Ia meluncur dan secara resmi menduduki jabatan Gubernur Jenderal VOC ke-6 pada 30 September 1627 - 21 September 1629. Di masa pemerintahan kedua inilah ia bertempur hebat dengan Mataram di bawah komando rajanya Sultan Agung. 21 September 1629, ia meninggal dunia secara tiba-tiba setelah 4 hari sebelumnya, istrinya Eva Ment bersama anaknya meninggal. Ada 2 versi tentang kematian mendadaknya, ada yang berpendapat ia meninggal karena penyakit kolera, sedangkan yang lain berpendapat ia meninggal karena “konspirasi” tingkat tinggi dalam permainan spionase Mataram di bawah anggota intel bernama Nyi Utari Sandijayaningsih yang meracuninya lewat arsenikum dalam minuman. Beberapa tahun sebelumnya, terjadi sebuah skandal sex yang jadi cikal bakal munculnya istilah “si hidung belang”. Skandal sex yang melibatkan Sarah Specx, JP Coen sebagai “papa piara dan ana piara” dan pacar Sarah, Pieter Cortenhoeff.  Sarah Specx adalah anak haram direktur VOC di Jepang (hirado) yaitu Jacques Specx dengan wanita jepang saat ia bertugas di sana (20 september 1609-28 agustus 1612). Nantinya, orang inilah yang akan menggantikan JP Coen menjadi Gubernur Jenderal meski Heeren 17 tak menyetujuinya. Jacques Specx berkuasa sejak 25 September 1629 - 27 September 1632, sementara di Maluku yang berkuasa adalah, Gijsbert van Lodestein (1629-1633) sebagai Gubernur Maluku dan Gubernur Amboina adalah Philip Lucaszoon (1628-163) yang menggantikan Jan van Gorcum (1628-1631) yang menggantikan Herman van Speults yang terkenal dalam pembantaian orang inggris di benteng victoria (ambonese moord).

Ambonese Moord yang terjadi pada 1623, membuat hubungan “bilateral” inggris - belanda memburuk cukup lama dan salah satunya membuat inggris “patah hati” dalam merebut Hindia Timur dan beralih pada hindia muka yaitu India. Seperti sebelumnya diceritakan, penunjukan Jacques Specx sebagai Gubernur Jenderal tidak mendapat restu dari Heeren 17. Hal ini disebabkan karena  ia memaksa Raad van indie untuk mengangkat dirinya sebagai Gubernur Jenderal tanpa persetujuan Heeren 17. Saat itu ia baru tiba di Hindia Timur 4 hari setelah meninggalnya JP Coen secara tiba-tiba. Ia ditugaskan oleh Heeren 17 menjadi konsul pertama untuk Hindia. Pengangkatan dirinya menjadi Gubernur Jenderal VOC di tengah kepungan pasukan Mataram kedua kalinya sejak Agustus 1629. Pengepungan itu berakhir pada 1 November 1629.  Sebenarnya “calon tunggal” pengganti JP Coen adalah Pieter van Carpentier yang telah kembali ke Belanda saat menyerahkan posisinya kepada JP Coen untuk periode kedua itu. Namun Carpentier menolak tawaran ini. Kasus Sarah Specx juga menjadi alasan Heeren 17 tidak menyetujui Specx menjadi Gubernur Jenderal. Namun Specx tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan tugasnya. Saat ia bertugas, ia melarang para anggota makhamah/dewan keadilan (Raad van Justicie) untuk mengikuti sakramen perjamuan kudus di gereja. Ini dilakukan untuk membalas dendam pada mereka yang telah menjatuhkan hukuman buat anaknya dalam skandal sex yang melibatkan JP Coen. 3 tahun berkuasa ia menyerahkan kekuasaan kepada Hendrik Brouwer karena dipaksa pulang oleh Heeren 17. Sekali lagi Carpentier ditawari namun tetap menolak posisi ini. Posisi ini kemudian jatuh ke tangan Hendrik Brouwer. Laki-laki kelahiran 1581 ini adalah penjelajah maritim. Pada usia 25 tahun (1606) ia memulai petualangannya ke Hindia Timur namun tak lama ia balik lagi. Pada 10 april ia kembali ke Hindia Timur dengan 3 armada. Pada pelayaran ini tercipta sejarah baru dalam dunia maritim saat itu hingga sekarang. Ia menemukan jalur baru semacam “jalan tol” yang memperpendek jalur pelayaran dari Belanda ke Hindia Timur. Selama itu, setiap pelayaran selalu menggunakan jalur Portugis, namun ia merubahnya. Penemuan itu terjadi pada 1611, 2 tahun kemudian 1613 Portugis pun mengakuinya dan menggunakan jalur ini. Jalan tol ini disebut Roaring Forties 2 yang memotong langsung menuju kepulauan Beacon (Australia) dari kepulauan Mauritius di Afrika Selatan. Ia tidak lama di Hindia Timur karena tak cocok dengan Pieter Both yang saat itu berkuasa. 1612 ia ditawari menjadi kepala perdagangan di Jepang (Hirado) menggantikan Jacques Specx, namun ia tak lama menduduki posisi ini (28 agustus 1612-06 agustus 1614) karena dipanggil pulang untuk menduduki pimpinan Heeren 17. Ia menjabat selama 15 tahun. Posisinya di Jepang digantikan oleh Jacques Specx untuk kedua kalinya pada 06 Agustus 1614 - 29 Oktober 1621. Tahun 1632 ia ditugaskan sebagai utusan ke London untuk mengakhiri pertikaian Inggris Belanda akibat kasus Ambonese Moord 10 tahun sebelumnya. Tugas ini pernah dipikul oleh Carpentier di tahun 1629. 18 April 1632, ia menumpang kapal Zutphen menuju Hindia Timur untuk menerima penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal VOC setelah Carpentier menolak untuk kedua kalinya. Ia berkuasa sejak 27 September 1632 - 01 Januari 1636. Pada masa pemerintahannya terjadi penangkapan Kapitan Kakiali di Hitu Maluku karena ketangkap basah berdagang rempah-rempah dengan kerajaan Gowa. Ia digantikan oleh Antonio van Diemen yang memerintah sejak 01 Januari 1636 - 19 April 1645. 5 januari 1636, de Brouwer kembali ke Belanda menumpang kapal Amsterdam, ia menolak ketika ditawari untuk menjadi pimpinan Heeren 17, tahun 1642, ia ditugaskan untuk menciptakan “kembaran” VOC di Hindia Barat (Benua Amerika) yaitu WOC. Jika VOC berpusat di Batavia, maka WOC berpusat di Valdivia (peru). Itu adalah jasa Hendrik Brouwer pada Belanda. Anthonio van Diemen adalah laki-laki kelahiran Culemborg Belanda pada 1593, anak dari Bartholemeus van Diemen dan Elizabeth Hovenaar. Awalnya ia adalah pedagang namun usahanya bangkrut pada 1618. Pada tahun itu ia berkenalan dengan Thonis Meeusz yang adalah pegawai VOC. Ia diajak bergabung dan mereka berdua pergi ke Hindia Timur menumpang kapal Mauritius dan mendarat di Banten pada 22 Agustus 1618. Pada 1619 ia ditunjuk menjadi clerk/scriba juru tulis oleh JP Coen di kantor VOC Batavia. 1623 pangkatnya naik menjadi Opperkopman (saudagar senior), 1626 menjadi anggota Raad van Indie dan 1629 menjadi Direktur Perdagangan, orang nomor 2 di bawah Gubernur Jenderal VOC alias “VOC 2”. 1633 ia ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal, dan secara resmi menduduki jabatan itu pada 01 Januari 1636. Pada masa pemerintahannya Kapitan Kakiali dibebaskan dari penjara Batavia (1637). Sementara itu nun jauh di Maluku terjadi perubahan kepimpinan dalam jabatan Gubernur Maluku dan Amboina, Gubernur Maluku saat itu dipegang oleh Jan van Broekom (1635-1640) sedang Gubernur Amboina dijabat oleh Joachim Roelofszoon van Deutekom (1635-1637). 1638 Kakiali kembali memberontak dan coba dihancurkan namun gagal total.

Pada masa kepimpinannya di tahun 1641, markas VOC di Jepang (Hirado) dipindahkan ke Deshima. Di tahun itu juga, Belanda merebut Malaka yang selama 1 abad lebih dikuasai oleh Portugis sejak 1511. Di masa kepimpinannya pula muncul “Bataviasche Statuta” yang mengatur gaya hidup kalangan jetset para pejabat VOC Batavia. Khususnya istri dan anak-anak perempuan kaum elite. Perubahan gaya hidup inilah yang nantinya akan menjadi kebudayaan indies, sebuah kebudayaan hasil asimilasi kebudayaan Belanda dan Indonesia yang sangat terkenal itu. 1 minggu menjelang kematiannya, ia menyerahkan tongkat kekuasannya pada Cornelis van de Lijn pada 12 April 1645. Ia meninggal pada 19 April 1645 dan dimakamkan di Batavia. Penunjukan van de Lijn menimbulkan kontraversi karena ditunjuk secara diam-diam tanpa sepengetahuan Heeren 17, namun mengingat jasa-jasanya yang besar, Heeren 17 “merelakan” dan merestui van de Lijn menjadi Gubernur Jenderal. Ia menikah dengan Maria van Aelts. Salah satu baluwarti (benteng) di Batavia menggunakan nama kampung halamannya atau “tampa putus pusa” Culemborgh. Prestasi lainnya adalah saat memerintah ia menyelesaikan kanal Molenvliet yang terkenal itu. Kanal ini idenya sudah dimulai pada masa pemerintahan JP Coen.

Sang pengganti, Conelis Janszoon van der Lijn adalah kelahiran Alkmaar 1608. Tahun 1630, ia menikah dengan Levina Polet dan 1632 - 1636 menjadi kepala akuntan di Batavia, 1640 ia menjadi Direktur Jenderal Perdagangan di bawah Gubernur Jenderal Antonio van Diemen. Menjelang diangkat, ia adalah anggota Raad van Indie, meski telah ditunjuk sejak 12 April 1645, ia baru direstui menjadi Gubernur Jenderal VOC oleh Heeren 17 pada 16 Oktober 1646, namun ia secara “resmi” menduduki jabatannya pada 19 April 1645 - 26 April 1650. Beberapa bulan kemudian, tepatnya di bulan November 1645, di pos malaka, terjadi perubahan kepimpinan, sang laki-laki “misterius” Arnold de Vlaming van Oudshoorn menjadi Gubernur Malaka. Ia hanya berkuasa selama 1 tahun saja, dari 06 November 1645 - 24 November 1646 menggantikan gubernur sebelumnya Jeremias van Vliet (15 desember 1642-06 november 1645). Sementara itu di Maluku, Gubernurnya adalah Wouter Seroijen (1642-1648) dan Gubernur Amboina adalah Gerard Demmer (1642-1647). Arnold de Vlaming van Oudshoorn menjadi popular saat berhasil dalam negosiasi penagihan hutang permata dengan Sultan (Sultana/Ratu) Atjeh Sri Ratu Tajul Alam Safiatudin (memerintah dari 1641-1675). Karena keberhasilan ini, ia dipromosikan menjadi Gubernur Malaka (06 november 1645-24 november 1646). Ia “ditarik” oleh Gubernur Jenderal VOC menjadi Gubernur Amboina dan menjabat pada 1647 - 1651 pada periode pertama. Ia menjadi Gubernur Amboina sebanyak 2 kali. Pada periode pertama ia menggantikan Gerad Demmer, ia sendiri digantikan oleh Willem Veerbek (1651-1654) dan kembali menduduki posisinya pada periode kedua pada 1654-1656. Ia pun digantikan oleh Jacob Hustaart (1656-1662). Setelah tak menduduki pos penting lagi, ia seperti “menghilang” dalam catatan sejarah. Pada masa Gubernur Jenderal VOC Van der Lijn inilah, kapitan Kakiali dari Hitu Maluku dibunuh. 26 April 1650 ia menyerahkan jabatannya kepada Carel Reyners yang memerintah sejak 26 April 1650 - 19 Mei 1653 dan kembali pulang ke Belanda pada 1651. Pada 1668 ia menjabat walikota Alkmaar dan meninggal pada 27 Juli 1679.
Sang pengganti, Carel Reyners adalah kelahiran Amsterdam pada tahun 1604 (sumber lain mengatakan pada 1602) dan meninggal di Batavia pada 19 Mei 1653 dalam usia yang cukup muda yaitu 49 tahun. Orang ini berasal dari daerah selatan Belanda dan berayahkan Dirck Reyniersz serta beribukan Suzanna de Beaulteu. Ia bergabung dengan VOC dalam usia muda, pada 1627 dengan pangkat opperkopman dan pergi ke Koromandel (pos VOC di india). Pada 1636 ia menjadi Gubernur Pantai Coromandel hingga tahun 1638. Pada 1639 ia diberhentikan karena diduga terlibat dalam penggelapan dan akhirnya ke Hindia Timur, di situ, ia menjadi anggota konsul kehormatan di Batavia. Ia sempat pulang ke Belanda dan balik lagi pada 26 April 1645, dengan menumpang kapal salamander dan merapat pada 03 desember 1645, tahun 1646 ia kembali menjadi anggota konsul kehormatan. Pada saat menjadi anggota konsul ini, ia mengusulkan pembatasan kuota cengkih di Maluku. pembatasan itu dengan cara pembakaran dan penebangan pohon cengkih pada usia produktif. Ia juga meminta kebijakan ini dilakukan secara tegas termasuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Seram Barat. Saat itu penduduk Seram Barat melakukan pemberontakan karena tak mau kebun cengkihnya dibakar dan ditebang. Pemberontakan ini sangat lama dan baru bisa ditumpas pada 1658. Ia menjadi Gubernur Jenderal sejak 26 April 1650 hingga 19 Mei 1653 saat kematiannya. Pada masa pemerintahannya, sejumlah besar kebun cengkih di Pulau Buru dihancurkan. Sebenarnya pada awal tahun 1653, Heeren 17 telah mengeluarkan surat keputusan memberhentikan dirinya dengan alasan tidak cakap dalam memimpin, namun ia terlebih dulu mengajukan pengunduran diri. Heeren 17 setuju dengan surat pengunduran dirinya, namun surat keputusan itu tak jadi dikirim karena Carel Reyners keburu meninggal secara mendadak pada tanggal yang sudah disebutkan di atas. Ia digantikan oleh Direktur Jenderal perdagangan pada masa pemerintahannya, yaitu Joan Maetsuycker.

Orang ini adalah Gubernur Jenderal VOC yang paling lama berkuasa, selama 25 tahun alias seperempat abad lamanya terhitung sejak 19 Mei 1653 hingga 04 Januari 1678. Pada masa berkuasanya terjadi 2 peristiwa besar yaitu perang Bone-Gowa Tallo serta pemberontakan Trunojoyo. Dalam kedua peristiwa inilah muncul tokoh “antagonis” dalam sejarah Indonesia yaitu Arung Palaka dan Kapitan Jonker. Joan Maetsuycker adalah kelahiran Amsterdam pada 14 Oktober 1606 dan dibesarkan dalam lingkungan Katholik Roma. Ia juga satu-satunya Gubernur Jenderal VOC yang beragama Katholik berbeda dengan yang lain yang beragama Protestan. Orang ini adalah lulusan sarjana hukum di Leuven dan menjadi pengacara di Den Haag (the hague). Pada 1635 ia bergabung dengan VOC dan ditugaskan ke Hindia Timur. 02 mei 1635 ia menumpang kapal Prins Willem dan bertolak dari Belanda, pada 26 september 1636 ia sampai di Batavia. Di Batavia ia menjabat sebagai kepala rumah tangga Raad van Justicie/dewan keadilan. Di tahun yang sama ia juga diangkat sebagai presiden komite yatim piatu (college van weesmeesters). Komite ini telah didirikan pada 1624, 12 tahun sebelumnya. Karirnya terus menanjak, pada tahun 1640 ia menjadi ketua Raad van Justicie yang telah didirikan pada 1620. Tahun berikutnya (13 agustus 1641) ia diangkat menjadi anggota kehormatan konsul. Saat menjadi anggota konsul inilah, ia bersama Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen “merancang” apa yang disebut Bataviasche Statuta. Peraturan ini mulai berlaku pada 05 Juli 1642.  Karena keberhasilannya dalam tugas berat di Srilangka, ia kemudian diangkat menjadi Gubernur Ceylon pada 24 Maret 1646 - 26 Februari 1650. Sehabis menjalani tugasnya, ia ditarik pulang untuk menjadi ketua Raad van Indie sekaligus Direktur Jenderal perdagangan seperti disinggung di atas. Saat memimpin VOC ia memiliki ambisi besar untuk memperluas wilayah VOC di Hindia Timur. Ambisi ini didukung oleh kompatriotnya yang setia, bisa dipercaya dan sangat tangguh yaitu Rijckloff van Goens dan Cornelis Speelman. Kedua orang inilah yang nantinya akan menjadi Gubernur Jenderal VOC berikutnya atau berturut-turut. Orang pertama menggantikan Maestsuycker, sedangkan orang kedua menggantikan van Goens. Pada masa di awal kekuasaannya ia melakukan pengusiran besar-besaran kepada penduduk di Ambon dan pembakaran kebun cengkih di Hoamoal (seram barat). Setahun berikutnya giliran penduduk pulau Buru juga diusir.

Peristiwa ini dikomandani oleh Gubernur Amboina yaitu Arnold de Vlaming van Oudshoorn (periode jabatan kedua). Tujuan dari strategi ini adalah mengincar kerajaan Gowa Tallo yang selama itu, tak mau berhubungan  dengan VOC tapi dengan Portugis yang juga saingan berat VOC pada masa itu. Pada 1663 atas perintah Maetsuycker, triumvirat alias koalisi 3 raksasa di masa itu, Admiral Cornelis Speelman, Arung Palaka dan Kapitan Jonker, akhirnya Gowa ditaklukkan, Sultan Hasanudin menyerah dan menandatangani perjanjian Bongaya (18 november 1668). Perang ini berlangsung selama 7 tahun  dan berakhir dengan meninggalnya Sultan Hasanudin pada 1670. 2 tahun berikutnya, nun jauh di kampung halamannya, Perancis di bawah komando Louis XIV menginvasi belanda, belanda lumpuh total namun VOC tetap berjaya. Di masa Maetsuycker inilah, keuntungan yang didapatkan VOC sangat besar bahkan pada tahun 1670, keuntungan yang diterima VOC adalah sebesar 15 juta guilden, dan para pemegang sahamnya menerima deviden lebih tinggi 60% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Joan Maetsuyker tetap menjadi Gubernur Jenderal hingga akhir hayatnya, Heeren XVII tidak ada niat untuk mengganti posisinya dengan orang lain, mengingat prestasi yang diukir oleh Maetsuyker. Maetsuyker sendiri meninggal dunia di Batavia pada tanggal 04 Januari 1678 dan dimakamkan di Netherlandsche Kerk (Batavia), penggantinya adalah teman setianya Rijckloff van Goens yang juga Direktur Jenderal Perdagangan. Di akhir masa jabatannya ini (1676), jauh dari Batavia, tepatnya di jantung uliaser, diketahui Arnold de Vlaming van Oudshoorn mulai membangun sebuah benteng di pulau Saparua, di atas batu karang di negeri Saparua. Benteng inilah yang akan diberi nama benteng Duurstede dan menjadi ladang pembantaian penuh darah pada masa perang Pattimura di awal abad 19 (1817). Pada masa berkuasanya Maetsuycker, terjadi tsunami tertua dan pertama yang tercatat secara mendetail yaitu tsunami di Maluku pada tahun 1674 (14 februari).

Rijckloff van Goens menggantikan Joan Maetsuycker sejak 04 Januari 1678 - 25 November 1681. Ia adalah kelahiran kleve jerman pada 24 Juni 1619 dan meninggal di Den Haag pada 14 November 1682. Pada saat ia berkuasa, yang menjadi Gubernur Maluku adalah Robertus Padtbrugge  (1677-1682), Sedangkan gubernur Amboina adalah Robert de Viqc (1678-1682) yang nantinya akan digantikan oleh Robertus Padtbrugge (1682-1684) pada masa Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman.  Sebelum menjadi Gubernur Jenderal, van Goens pernah 3 kali menjadi Gubernur Ceylon yang bermarkas di Galle sejak tahun 1656. Periode pertama yaitu sejak 12 Mei 1660 - 1661, periode kedua pada 1663 - 27 Desember 1663, dan periode ketiga pada 19 November 1664 - 1675. Pada periode ketiga ini ia menggantikan Jacob Hustaart (27 desember 1663-19 november 1664) yang sebelumnya pernah menjadi Gubernur Maluku pada 1653-1656 dan Gubernur Amboina (1656-1662). Sebelum menjadi Gub Jenderal, Van Goens adalah Direktur Jenderal Perdagangan di bawah Gub Jen Maetsuycker. Saat ia menjadi Gubernur Jenderal, posisinya digantikan oleh Cornelis Speelman.

Cornelis Speelman menggantikan Rijckloff van Goens sejak 25 November 1681 - 11 Januari 1684. Nama lengkapnya adalah Cornelis Janszoon Speelman kelahiran Rotterdam 3 Maret 1628 dan meninggal di Batavia pada 11 Januari 1684. Karirnya dimulai sebagai sekretaris Kedutaan Belanda di Persia dalam tahun 1651 - 1652. Beberapa tahun kemudian karirnya menanjak dengan menjadi Gubernur VOC Pantai Coromandel India (12 Juni 1663-1665). Ia adalah mentor sekaligus “godfather” bagi Jouncker de jouwa van Manipa alias Kapitan Jonker yang tetap jadi legenda dan mitos bagi anak-anak muda Maluku dewasa ini. Dalam tahun 1676, ia menjadi anggota Raad van Justicie. Ia menikah dengan Petronela Wonderaer yang meninggal pada 02 April 1681, saat ia menjadi Direktur Jenderal perdagangan. Saat itu yang menjadi ketua raad van justicie adalah Willem van Outhoorn yang nantinya akan menjadi Gubernur Jenderal VOC. Saat menjadi Gubernur Jenderal VOC, posisinya sebagai Direktur Jenderal digantikan oleh Balthazar Bolt yang pernah menjadi Ketua Raad van Justicie. Posisi Bolt di Raad van Justicie digantikan oleh Dirk Bloom dan akhirnya diganti oleh Willem van Outhoorn seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ia meninggal pada 11 jan 1684 karena penyakit menahun akibat batu ginjal , uniknya 2 jam kemudian teman baiknya Balthazar Bolt pun juga menemaninya ke alam baka. Anthony Hurdt yang menggantikan Balthazar Bolt menjadi Direktur Jenderal Perdagangan bersamaan dengan Gubernur Jenderal VOC yang baru Joannes Camphuys. Saat meninggal, Nicholaas Schagen bersama Marten Pit menjadi kuasa hukum harta peninggalannya. Nicholaas Schagen nantinya akan menjadi Wakil Ketua Raad van Justicie sebelum ia menjadi Gubernur Amboina pada periode 1691-1696. Nicholaas Schagen, kita kenal sebagai orang yang menyelesaikan pembangunan benteng Duurstede pada 1691 yang mulai dibangun oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn pada 1676. Cornelis Speelman  menyerahkan tongkat kepimpimpinannya kepada Joannes Camphuys.

Joannes Camphuys memerintah sejak 11 Januari 1684 – 24 November 1691. Ia dilahirkan pada 1634 dan meninggal pada 1695.  Dalam masa pemerintahannya di tahun 1686, ia pernah mengirim Kapten Francois Tack untuk menjemput Untung Surapati sang pemberontak terkenal, yang pernah menjadi budak di keluarga Belanda Pieter Cnoll 10-20an tahun sebelumnya. Francois Tack ini adalah saudara ipar dari Johan van Hoorn.  Johan van Hoorn nantinya akan menjadi Gubernur Jenderal VOC menggantikan Willem van Outhoorn yang menggantikan Joannes Camphuys. Pada masa kekuasaannya, terjadi 3 kali pergantian Gubernur Maluku yaitu, Jacob Lobs (1682-1686), Johan Henrik Thim (1686-1689) dan Johannes Cops (1689-1692).  Di Amboina, juga terjadi 3 kali perubahan gubernurnya yaitu Robertus Padtbrugge (1682-1687), Dirk de Haas (1687-1691) dan “tokoh kita” Nicholas Schagen (1691-1696). Camphuys menyerahkan kekuasaannya pada Willem van Outhoorn, sang Presiden/Ketua Raad van Justicie. Sang penganti Willem van Outhoorn adalah kelahiran Maluku, tepatnya di Larike, Leihitu Barat Maluku Tengah pada 4 Mei 1635 dan meninggal di Batavia pada 7 November 1720. Menghabiskan masa kecilnya di Larike, menjelang dewasa ia dikirim ke Belanda untuk belajar ilmu hukum di Universitas Leiden. Sehabis kuliah ia kembali ke Hindia Timur. Dan karirnya seperti diceritakan pada masa kepimpinan Gubernur Jenderal Cornelis Speelman. Saat ia menjadi Gubernur Jenderal VOC, posisi orang no 2 atau Direktur Jenderal Perdagangan dipegang oleh Joan van Hoorn yang diangkat pada 1691. Orang ini pernah menjadi menantunya saat menikah dengan anak perempuannya, Susanna van Outhoorn, namun bercerai. Mereka menikah setelah istri pertama Van Hoorn yaitu Anna Struis meninggal pada tahun 1692. Namun perkawinan mereka tidak lama. Van Hoorn menikah lagi untuk ketiga kalinya dengan  Joanna van Riebeek, anak perempuan Abraham van Riebek.

Willem van Outhoorn menjabat sejak 24 November 1691 - 15 Agustus 1704. Sebenarnya pada 20 September 1701, ia telah mundur dan mengusulkan bekas menantunya Johan van Hoorn yang saat itu menjadi Direktur Jenderal Perdagangan  untuk menggantikan dirinya, namun Van Hoorn menolak. Alasan yang dikemukakan adalah, ia ingin ketiga teman dekatnya (Matheus de Haan, Henricus Zwaardecroon dan W. de Roo) masuk dalam “kabinetnya” saat ia menjabat, maksudnya ketiga teman itu harus menjadi anggota Raad van Indie (Dewan Penasehat). Lagipula ia tak cocok dengan Abraham van Riebeek dan Christoffel van Swoll yang saat itu menjadi anggota Raad van Indie di masa kepimpinan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn. Uniknya pula, ia malah menikah untuk ketiga kalinya dengan putri Abraham van Riebeek yaitu Joanna van Riebeek. Joanna van Riebeek adalah janda dari Gerard van Beverre yang menjadi anggota Raad van Indie semasa Gubernur Jenderal VOC Joannes Camphuys. Meski terus didesak untuk menerima tongkat kepimpinan dari Willem van Outhoorn, Van Hoorn tetap menolak. Kemelut ini terus berlarut-larut hingga Heeren 17 menyetujui permintaan Van Hoorn dan secara resmi mengangkat dirinya menjadi Gubernur Jenderal VOC  menggantikan Willem van Outhoorn pada. 15 Agustus 1704. Johan van Hoorn memerintah sejak 15 Agustus 1704 - 30 Oktober 1709, dan menyerahkan kekuasaan kepada “bapak mantunya” Abraham van Riebeek yang saat itu menjadi Direktur Jenderal Perdagangan. Abraham van Rieebek memerintah sejak 30 Oktober 1709 - 17 November 1713. Abraham pun kemudian digantikan oleh temannya yang pernah tidak disukai/tak cocok dengan Van Hoorn yaitu Christoffel van Swoll (17 november 1713-12 november 1718). Van Swoll pun kemudian digantikan oleh teman-teman baiknya yaitu Henricus Zwaardecroon (12 november 1718-08 juli 1725) dan Matheus de Haan (08 Juli 1725-01 juni 1729). Benar-benar unik dan penuh dengan kolusi nepotisme di lingkaran elit yang terang benderang.

 Pada masa kepimpinan Willem van Outhoorn itulah, benteng Duurstede telah selesai dibangun pada 1691 di tangan Gubernur Amboina Nicholaas Schagen. Sejak  mengakhiri jabatannya pada 1696, “nasib” Nicholaas Schagen seperti “hilang” dalam catatan sejarah. Begitu juga yang dialami oleh sang pembangunnya Arnold de Vlaming van Oudshoorn, mereka berdua menghilang, senyap dalam pemberitaan. Sang “bayi” mereka, benteng duurstede pun mengalami “nasib” yang sama… 1 abad lamanya  Benteng Duurstede senyap, diam, dan bisu… Gubernur Jenderal VOC pun terus berganti, Gubernur Amboina dan Maluku terus berganti, namun kabar Duurstede  tetap bisu... hingga 1 abad  kemudian tepatnya di akhir Februari 1796… Duurstede kembali bersuara… dan suara ini adalah cerita “pengantar” untuk cerita yang “menggemparkan” di awal abad XIX, di permulaan tahun 1800an. 


Bersambung .................... ( Lihat Edisi Kedua )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar