Jumat, 17 Mei 2019

Krisis dan Kegagalan



Perang dan Pemberontakan di Kepulauan Ambon, 1636-1637


(bag 1)
Oleh
Gerrit. J. Knaap


Gerrit. J. Knaap


  1. Pengantar :
Saat pertama kali membaca artikel yang ditulis oleh Gerrit J. Knaap ini, kami tertarik karena isinya tentang “situasi Ambon – Lease dan sekitarnya” pada paruh pertama abad 17. Artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris dengan judul “ Crisis and Fairlure : War and Revolt in Ambon Islands, 1636 – 1637” ini dimuat pada Jurnal Cakalele, volume 3 tahun 1992. Pergolakan dan peperangan ditahun 1636 – 1637 ini, disebut Ambonsche Oorlog (Perang Ambon) jilid 31.
Peristiwa ini, juga bisa dianggap sebagai “pengantar” untuk kita memahami perang di tahun 1652-1656 (jilid 5), dimana Pulau Saparua hancur total, dan kerajaan Iha (Amaihal Ulupahu)  runtuh.
Berdasarkan pada alasan itu, kami memberanikan menerjemahkan artikel ini, dan membaginya menjadi beberapa bagian karena naskahnya lumayan panjang (28 halaman kertas ukuran A4)
Artikel itu kami terjemahkan secara “bebas” berdasarkan pemahaman dan pengetahuan kami yang terbatas dalam bahasa Inggris dan terkhususnya pada “historiografi” sejarah kawasan Ambon - Lease dimasa-masa awal.
Faktor kedua adalah terbatasnya kajian-kajian sejarah berdimensi sosial, yang membahas sejarah sosial Maluku Tengah pada periode ini, sangat terbatas khususnya dalam Bahasa Indonesia. Lebih banyak ditulis dalam Bahasa Asing (Belanda dan Inggris).
Pada proses penerjemahan ini, kami juga memasukan catatan kaki, dimana pada naskah aslinya, tidak terdapat catatan kaki. Hal ini dimaksudkan, agar pembaca bisa mendapat gambaran yang lebih baik, lebih luas dan mendalam. Kami juga menambah beberapa gambar, yang bertujuan agar lebih “berwarna” dan menjadi bahasa tersendiri yang dapat membantu pembaca lebih bisa “mencerna” isi artikel yang agak berat ini.
Kiranya terjemahan artikel ini bisa dibaca dan dinikmati, jikapun tidak, tidak apa-apa...anggap saja ini upaya minimal dalam penciptaan budaya literasi, budaya baca berdasarkan pada sumber, referensi, tidak melulu hanya “setia” pada budaya tradisi lisan......

Selamat membaca.........

            14 Januari 1637, Kimelaha/Kimilaha Leliato1, Wakil Kesultanan Ternate yang berkedudukan di Maluku Tengah, secara mendadak kembali pulang ke markas besarnya di Lusiela, daratan Hoamoal dari ekspedisi ke Saparua dengan armada hongi yang berkekuatan 30 kora-kora. Ia terburu-buru kembali pulang karena mendapat pesan dari Buru,jika armada berkekuatan besar VOC telah “mendekat”. Armada VOC itu di komandani oleh Gubernur Jenderal VOC, Antonio Diemen (1636 – 1645). Alasan kedatangan armada Van Diemen ke kawasan itu karena terjadinya krisis yang melawan penguasa VOC di daerah itu. Saat VOC menguasai sepenuhnya kawasan itu dari tangan Portugis tahun 1605, tercipta suasana damai dengan wilayah-wilayah kekuasaan Ternate di lokasi yang sama. Beberapa tahun sebelumnya, pihak VOC selalu terlibat konflik dengan penguasa-penguasa wilayah yang berada di antara wilayah Ternate dan “wilayah” VOC. Akhirnya, ditahun 1636 pemberontakan pecah di antara penduduk yang berada di dalam “wilayah” VOC yang uniknya lagi, sering mendukung VOC dalam pelayaran Hongi.
            Bisa dikatakan jika peristiwa 1636-1673 itu adalah konflik paling “krusial” yang dialami VOC hingga saat itu. Itu terjadi 200 tahun sebelum terjadinya peristiwa “mirip” yang memiliki “goncangan serupa” yaitu Pemberontakan Pattimura di tahun 1817. Pengiriman armada besar, serta yang dikomandai oleh penguasa tertinggi VOC bisa mencerminkan betapa gentingnya situasi itu. Kita akan melihat bagaimana krisis itu berkembang dan bagaimana Van Diemen berhasil menetramkan para penduduk Kristen di wilayah itu dan pada saat yang bersamaan, dapat “menyingkirkan” musuh mereka yaitu wakil penguasa kesultanan Ternate, Kimelaha Leliato.  Kita juga akan menganalisa faktor-faktor yang membuat sikap anti VOC itu mengalami kegagalan. Rekonstruksi tentang peristiwa dan perkembangannya pada artikel ini bersumber dari manuskrip catatan harian selama ekspedisi Van Diemen itu.

A.     VOC dalam perspektif politik Ambon di tahun 1636

Saat VOC (Belanda) tiba di Maluku dalam tahun 1600, mereka diterima dengan baik oleh pihak kesultanan Ternate yang berpusat di “Maluku Utara”, begitu juga dengan daerah2 lain seperti Hoamoal dan daerah-daerah lain yang terletak di bagian barat. Alasan “sikap hangat” kesultanan Ternate karena Portugis yang merupakan saingan Ternate terus berperang dengan mereka sejak tahun 1570.  Belanda yang merupakan musuh utama Portugis dan Spanyol di jazirah Iberia secara “otomatis” akan membantu Ternate. Ternate ingin agar Belanda turut berperang melawan Portugis. Cara yang ditempuh adalah pemberian hak eksklusif pembelian semua cengkih yang ada di kawasan itu. Di tahun 1605, Belanda (VOC) mengalahkan Portugis di pulau Ambon dan menghancurkan seluruh gudang-gudang mereka di “Maluku Utara”. Setahun kemudian, ditahun 1606, Spanyol turut membantu Portugis “menduduki” beberapa tempat di pulau Ternate. Hal ini menyebabkan Mudafar2,  Sultan Ternate memperbaharui hubungan dengan VOC di tahun 1607, dimana Sultan kembali menjanjikan hak eksklusif pembelian cengkih kepada VOC. Atas “perintah” Sultan Mudafar di tahun 1609, perjanjian antara Hoamoal dan VOC ditandatangani, dimana hak pembelian cengkih di kawasan Hoamol dan sekitarnya diakui dan dilaksanakan.


Namun............suasana “damai” itu tidak berlangsung lama. Sultan Ternate merasa terancam oleh Spanyol yang tak “jauh dari depan hidungnya”, yang selama ini selalu setia pada perjanjian seperti layaknya VOC.  Pada sisi yang lain, daerah “pinggiran” dari wilayah kekuasaan kesultanan Ternate, terkhususnya Hoamoal, yang berkembang menjadi pusat produksi cengkih, “bergerak” ke arah yang “berbeda”. Dari waktu ke waktu, muncul “jurang“ pemahaman yang kian melebar, VOC dengan kebutuhan akan permintaan cengkih di satu sisi serta tuntutan dari para petani cengkih akan harga yang lebih tinggi. Beberapa petani cengkih di Hoamoal, secara diam-diam menjual sebagian panennya kepada para pedagang Jawa dan pedagang dari daerah lain, yang memberikan penawaran harga lebih tinggi dibandingkan VOC. Akibat hal ini, VOC bereaksi, dengan menghancurkan perahu-perahu dagang milik pedagang Jawa dan yang lain sebagai upaya untuk mencegah “ penyelundupan” cengkih3.
Peristiwa itu menciptakan ancaman terhadap keberlangsungan kedudukan dan “jabatan” Kimelaha, yang notabene bukan orang asli Hoamoal, tapi berasal dari keluarga kesultanan yaitu keluarga Tomagola. Kedudukan dan jabatan para Kimelaha di Hoamoal itu, tergantung pada seberapa besar mereka setia pada kesultanan dan ada tidaknya dukungan pihak kesultanan kepada mereka. Akibat faktor inilah, dimasa pemerintahan Kimilaha Sabadin (1611-1619), muncul rasa antipati dari sebagian penduduk Hoamoal dengan cara “mengurangi jatah” cengkih milik kesultanan yang sering diangkut oleh kapal dagang milik Sultan. Pada sisi yang lain, Kimilaha juga terancam oleh VOC, yang memaksakan untuk menerapkan hak yang diberikan oleh pihak kesultanan kepada mereka, yaitu “mengontrol” sebagian besar pulau Ambon dalam upaya “memutus” jejaring para pedagang pribumi dalam perdagangan cengkih. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh VOC adalah menghalangi usaha-usaha Kimilaha dalam kegiatan penyebaran agama Islam terkhususnya di daratan pulau Seram.
Pada masa kekuasaan Kimilaha Hidayat (1619-16234), ia lebih condong memihak VOC, sehingga pasukan Kimilaha jarang terlibat “kontak fisik” dengan VOC. Situasi segera berubah setelah Leliato menggantikan Hidayat sebagai Kimelaha pada tahun 16235. Setahun setelah muncul insiden kecil, VOC mulai berupaya “mengoyang” posisi Leliato di tahun 1625. Pasukan lokal VOC dan armada hongi milik orang-orang Kristen Ambon mulai diperkuat dengan kapal “perang” yang bernama Nassau. Pusat pertahanan terkuat Kimelaha, Gamasongi segera di serang VOC, menghancurkan lebih kurang 10.000 pohon cengkih, banyak perkampungan dan perahu-perahu dagang. Leliato dan pasukannya memilih mundur dan menunggu waktu yang baik untuk membalas. Setahun kemudian, Leliato Kimelaha dan VOC mengadakan genjatan senjata, di tahun yang sama Leliato mulai membangun markas yang baru di Lusiela. Di tahun 1628, dengan bantuan Kaicili Ali dari Ternate, untuk sementara waktu perdamaian tercipta, dimana VOC kembali diberikan jaminan untuk membeli semua panen cengkih. Luhu6, salah satu anggota keluarga Tomagola di calonkan menjadi pengganti Leliato, namun Leliato menolak memberikan jabatan kepada Luhu, dan tetap tinggal di Hoamoal. Tahun 1630, Kimelaha Luhu dan Leliato setuju, untuk memerintah Hoamoal dan sekitarnya secara bersama-sama. Akibatnya hubungan perdagangan dengan para pedagang “pribumi” yang dirusak VOC, kembali berlangsung karena mendapat dukungan. Dua tahun kemudian, di akhir tahun 1632, VOC kembali menerapkan kebijakan untuk menghancurkan hubungan perdagangan yang merugikan mereka, perang kembali terjadi, kedua pihak saling menyerang dengan armada hongi masing-masing. Terkecuali sebagian negeri Luhu, seluruh daerah Hoamoal berada dalam “kontrol” Leliato. Tahun 1635, VOC menyerang Lusiela dengan kekuatan penuh, tetapi serangan ini gagal. Pemimpin armada VOC beralasan, jika pemilihan jalur penyerangan yang buruk, menyebabkan kegagalan ini, sehingga lebih kurang 400 orang Makasar dalam pasukan VOC, tewas dalam serangan ini. Dalam tahun yang sama, Kimelaha Luhu, untuk sementara waktu kembali ke Ternate, meninggalkan Leliato sendiri untuk mengatasi situasi rumit yang berkembang menuju “situasi dramatis”. 

Clan Tomagola

Wilayah-wilayah muslim diantara wilayah VOC dan wilayah kekuasaan Kimelaha  yaitu Hitu, Hatuhaha dan Ihamahu/Ihamao7. – dimana Hitulah yang paling penting karena merupakan negeri “bebas”. Menurut perjanjian sebelumnya antara Hitu dan VOC, Hitu dianggap sebagai “vasal” atau wilayah “satelit”. Hitu juga memberikan hak khusus kepada VOC dalam pembelian panen cengkih dan berkewajiban “melayani” VOC. Hitu juga berjanji akan setia pada Pangeran Oranye, DPR Republik Belanda dan Gubernur VOC Ambon. Dalam masalah-masalah administrasi, kekuasaan untuk mengadili dan keagamaan, Hitu diberikan hak bebas untuk mengatur sendiri.
Seperti Ternate, Hitu juga sangat “ramah” saat menerima VOC karena dilandasi oleh sikap anti Portugis. Pada masa kekuasaan Kapitan Hitu yang bernama Tepil (1602-1633), hubungan Hitu-VOC sangat “harmonis” yang dilandasi oleh sikap “kagum” Kapitan Tepil pada “hebatnya” kekuatan militer orang-orang Eropa yang bisa menghancurkan siapa saja yang bermusuhan dengan mereka. 



Kapitan Hitu, Tepil, pernah mengalami hal itu sendiri di tahun 1602, saat Hitu terdesak karena di serang oleh armada Portugis yang dipimpin oleh Andrea Furtado de Mendonca (Mendoza). Bagi VOC, Kapitan Tepil, dianggap orang yang berwibawa, yang bisa diajak bekerjasama dan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas di “kawasan” itu. Hubungan mereka umumnya harmonis, meskipun ada banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya konflik terbuka diantara mereka, seperti soal harga cengkih, bebasnya para pedagang “pribumi” dalam pembelian cengkih, serta pengawasan atas beberapa negeri di wilayah barat pulau Ambon, seperti Larike, Wakasihu, Tapi, Uring dan Asilulu.
Sepanjang tahun 1630, kebijakan Kapitan Tepil, dipertanyakan orang-orang Hitu, khususnya negeri-negeri yang berada di sebelah timur daerah itu, yang “berpusat” di Kapahaha dan “dipimpin” oleh Samusamu, salah satu anggota keluarga berpengaruh asal Hitu.
Karena pertimbangan strategis dan kebutuhan ekonomi, VOC tetap “mengawasi’ Hitu, menggunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan pengaruh, khususnya masalah-masalah “dalam negeri” Hitu. Kesempatan itu dalam hal “suksesi” jabatan Kapitan Hitu, saat Kapitan Hitu meninggal dan pencalonan penggantinya. Kesempatan itu akhirnya tiba, saat Kapitan Tepil meninggal pada April 1633. Menurut Rumphius, Kapitan Tepil, lebih “menyukai” adik bungsunya, Latu Lisalaik sebagai penggantinya.
Untuk “mencegah penyelewengan” kekuasaan yang hanya dipegang satu orang, VOC berusaha memecah belah, dengan cara membagi tugas-tugas Kapitan Hitu kepada 3 nominator terkuat pengganti Kapitan Tepil. Latu Lisalaik, ditunjuk sebagai “raja” Hila, sedangkan Barus, adik Kapitan Tepil yang lain, diangkat sebagai pemimpin klan Nusatapi, yang secara otomatis, membuat Barus menjadi salah satu dari keempat “perdana menteri”, yang secara tradisi/adat istiadat pula, memerintah seluruh Hitu. Calon tersisa, Kakiali8, yang merupakan anak tertua Kapitan Tepil, akhirnya menjadi Kapitan Hitu. Posisi Kapitan Hitu adalah salah satu posisi bergengsi dan berpengaruh di Hitu.
Kakiali yang tidak suka pada VOC, mulai menunjukan sikap anti VOC, bekerjasama dengan Kimelaha Leliato, dan berharap banyak pada “koalisi”  itu, agar bekerjasama dengan kesultanan Makasar yang sedang “naik daun”.
Untuk menghentikan perkembangan yang tidak baik ini, Gubernur VOC Ambon, Antonij  van de Heuvel (Mei 1634-Apr 1635), pada Mei 1634, menangkap 12 pemimpin “elit” Hitu termasuk Kakiali. Kakiali dituduh terlibat dalam konspirasi anti VOC. Beberapa hari kemudian, semua pemimpin elit Hitu itu di bebaskan, terkecuali Kakiali dan “raja” Wakal, Tamalesi. Kakiali dan Tamalesi tetap ditahan. Dalam tahun 1636 (menurut Rumphius, ini terjadi mendekati akhir tahun 1635, hal ini menurut Knaap, Rumphius agak “keliru”), mereka “dibuang” ke Batavia. Akibat peristiwa ini, seluruh Hitu mulai antipati pada VOC.

Hatuhaha, yang berada di pulau Haruku, adalah wilayah terkecil diantara ke-3 wilayah itu – wilayah muslim diantara wilayah kekuasaan Kimelaha dan VOC  (Hitu, Hatuhaha dan Iha /Ihamao) - .
Seperti Hitu, Hatuhaha pada awal abad itu (abad 17) juga terikat perjanjian dengan VOC untuk menjual semua panen cengkih pada VOC. Pada umumnya, hubungan Hatuhaha dan VOC baik, terkecuali tahun 1619-1621, dimana Hatuhaha memihak pada Kimelaha. Tahun 1630,  hubungan itu “memanas” kembali. Tahun 1632, Hatuhaha memutuskan untuk tidak membantu VOC dalam pembangunan kembali benteng di pulau Haruku, tidak mengirim panen cengkih seperti biasanya, serta tidak menyediakan orang-orang dalam kegiatan pelayaran hongi.

Wilayah ketiga, Iha (Ihamahu – menurut Knaap) pada awal abad itu, bukanlah wilayah penghasil cengkih. Iha (Ihamahu) adalah negeri yang penduduknya lebih banyak bergerak di bidang “kerajinan” dan nelayan yang umumnya menghuni daerah pegunungan yang sulit “ditembus”.
Konflik serius antara VOC dan Iha pertama kali terjadi pada tahun 1610, saat Iha “menyerang” Rutong, negeri di jazirah Leitimor yang berada dalam juridiksi VOC. Seperti Hatuhaha, Iha kembali berdamai dengan VOC di tahun 1621, saat Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623) berkunjung ke Ambon. beberapa tahun kemudian, Iha menolak ikut terlibat dalam pelayaran hongi yang dilakukan oleh VOC, dan puncaknya di tahun 1630, hubungan itu tegang lagi.
Iha, menjadi tempat pelarian bagi orang-orang dari negeri -negeri lain di pulau Saparua, yang berkonflik dengan “raja-raja” mereka. Tahun 1631, Iha bersikap agresif dengan menyerang dan  menghancurkan Itawaka. Setahun kemudian, tahun 1632, kegiatan pelayaran hongi milik orang-orang Ambon dibawah komando VOC, memblokade Iha dan menghancurkan wilayah-wilayah sekitarnya. Akibat peristiwa ini, Iha memutuskan mengadakan gencatan senjata dengan VOC untuk sementara waktu..........................



Saat Portugis merebut benteng Nossa Senhora de Anunciada (nama benteng Victoria dimasa Portugis) di kota Ambon pada 23 Feb 1605, seluruh negeri di Pulau Ambon dan Lease yang beragama Katholik bersumpah akan setia pada Pangeran Belanda (Oranye), Staten Genaraal (DPR Belanda) dan VOC. Dalam tahun-tahun awal itu, hubungan negeri-negeri itu dengan “Penguasa Baru” berjalan “normal” dimana : orang-orang Katholik “bersalin rupa” menjadi Protestan sebagaimana agama orang-orang Belanda (VOC), dan di tahun 1607, pelayaran hongi untuk pertama kalinya di lakukan dibawah komando VOC. Pada dekade pertama di abad 17 itu, cengkih tidak di produksi dalam skala besar. Di negeri-negeri Kristen pada kawasan Lease, cengkih tidak diproduksi hingga tahun 1630, ini menyebabkan muncul sedikit kesulitan antara VOC dan orang-orang Kristen Ambon soal harga cengkih, hingga timbul konflik baru. Pertama, muncul konflik dengan negeri Hutumuri di jazirah Leitimor, dimana VOC menuduh orang Hutumuri terlibat dalam kegiatan “perompakan/bajak laut”. Pada tahun 1618, akhirnya VOC menyerang dan menaklukan Hutumuri ke dalam juridiksi VOC. Kedua, pada tahun 1617 – 1618, terjadi konflik antara VOC dengan negeri Soya, Kilang, Ema dan negeri-negeri disekitarnya. Alasan dari munculnya konflik ini adalah permintaan kebutuhan VOC akan para pekerja dari negeri-negeri itu yang dianggap terlalu “menuntut”, serta fakta dimana Soya, Kilang dan Ema tidak diberikan “jatah kursi” pada dewan Laandrad yang baru.
Laandrad adalah dewan yang berisikan para raja-raja pulau Ambon yang berfungsi sebagai lembaga pengadilan dalam masalah-masalah hukum orang pribumi, sekaligus dewan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan VOC terhadap masalah-masalah “politik orang lokal”.
Konflik itu dipulihkan pada tahun 1617, saat permintaan para pekerja untuk VOC dikurangi serta pemberian “kursi” pada dewan Landraad untuk semua raja-raja di Jazirah Leitimor dan negeri-negeri kristen di bagian selatan, orang-orang Kristen serta negeri Hitu.
Dari kawasan Lease, tuntutan yang sama juga dilakukan oleh negeri-negeri pulau Nusalaut, yang pada periode 1619-1621, sangat anti VOC dan lebih condong “merapat” ke kubu Iha, Hatuhaha dan Kimelaha. Pada 1620an, hubungan VOC dengan orang-orang Kristen Ambon kembali harmonis.
Sepanjang tahun 1630, kegiatan pelayaran hongi sedikit “macet”, ini yang menyebabkan datangnya sejumlah besar kapal-kapal dagang orang Makasar untuk mencari dan membeli cengkih. VOC benar-benar butuh “project pelayaran hongi” di giatkan lagi dalam upaya untuk memutus kegiatan perdagangan itu, sementara permusuhan VOC dengan Kimelaha dan Iha masih “membara”. Ini menyebabkan sepanjang tahun 1630-1635,  pelayaran hongi hanya dilakukan oleh orang-orang Kristen Ambon dan mengadakan pelayaran 2-3 kali setahun, bahkan hanya 1 kali dalam “skop” yang lebih kecil. Dari hari ke hari, sikap para penduduk makin “menjengkelkan” dalam pandangan VOC terhadap situasi yang merugikan VOC ini.
Akhirnya, pada Feb 1636, VOC terlibat konflik terbuka dengan para penduduk pulau Ambon dan Lease. Rumphius menyebut konflik ini adalah awal dari “perang ambon jilid 3”  dimana VOC berperang melawan seluruh negeri di Pulau Ambon – Lease.




B.      VOC “dibawah” tekanan
Pada Juli 1636, Secunde Gubernemen VOC Ambon, Arend/Arent Stevenz Gardenijs (Feb-Agus 1636)9 membuat “analisis” sebab musabab pecahnya pemberontakan terhadap VOC.

Alasan-alasan yang menyebabkan pecahnya pemberontakan, menurut “analisis” dari Gardenijs adalah sebagian besar raja-raja menyatakan jika masalah utamanya adalah masalah pelayaran hongi, yang “macet” beberapa tahun sebelumnya. Masyarakat yang selama ini diikutsertakan dalam pelayaran hongi, tidak memiliki waktu lagi untuk mengurus pertanian yang merupakan sumber utama penghidupan mereka. Bahkan waktu yang tersita itu pun diperburuk lagi dengan tindakan salah urus dari serdadu dan pegawai VOC diatas kapal dalam pelayaran hongi itu yang menimpa para penduduk dan beberapa raja. Para penduduk sering dipaksa berbaris hanya untuk mendapat cacian, dengan kata-kata kasar seperti babi, anjing, setan dan sering kali mengalami kekerasan fisik. Diatas kapal, para penduduk sering dicambuk dengan rotan, dilempari dengan sepatu, jika jatah makanan buat serdadu /pegawai VOC itu kedapatan basi.
Raja Waai10 dan Baguala11 terkadang dirantai, hanya gara-gara kora-kora asal kedua negeri ini “tertinggal” dalam barisan pelayaran hongi. Pada pelayaran hongi terakhir di akhir tahun 1635 itu, beberapa pemimpin orang-orang Ambon bergabung dalam konspirasi dan membunuh serdadu/pegawai VOC yang sering menyiksa mereka. Tapi pembunuhan ini, tidak menimbulkan efek apa-apa bagi VOC. Menjelang akhir tahun, para raja-raja negeri Kristen Ambon-Lease, bersepakat dengan raja-raja negeri Muslim dari Larike, Tapi, Wakasihu dan beberapa pemimpin asal Hitu. Pihak Kimelaha juga turut “bermain” dalam situasi yang kian memanas. Kimelaha mengirim utusan untuk terus memprovakasi “bara” yang mulai terbakar, sementara Gub VOC Ambon,  Jochum Roelofs van Deutocom yang berwatak “lemah” tidak terlalu peduli dengan keadaan yang smakin genting.
Akhirnya, banyak penduduk yang semula “dekat” dengan VOC memutuskan untuk melakukan “matakau” sumpah adat untuk melawan VOC.

Menurut Gardenijs, bahkan setelah para penduduk melakukan “MATAKAU”, orang-orang Ambon masih juga mencari “motivasi tambahan” agar semakin membenci Belanda (VOC). Pada pertengahan Januari 1636, Pendeta Jacob Vertrecht12 yang “murni” karena tugas pelayanan, mulai melakukan sensus pada penduduk Kristen di negeri-negeri Jazirah Leitimor. Gubernur VOC Ambon, Jochum Roelofs van Deutocom yang mendapat keberatan dari raja Kilang dan Ema atas kegiatan itu, segera memerintahkan Vertrecht agar kegiatan itu dihentikan. Akhir Januari tahun itu, tiba kapal VOC yang bernama “Buyren” di Ambon. Segera saja, gosip menyebar bahwa kapal yang baru tiba itu datang membawa banyak rantai, tali dan borgol yang akan dipergunakan untuk membawa dan “mendeportasi” orang-orang Ambon ke Batavia. Para penduduk sangat ketakutan dan membayangkan nasib mereka akan sama seperti yang pernah menimpa para penduduk Pulau Lontor di Banda 15 tahun sebelumnya13.
Bahkan sensus yang dilakukan oleh Pendeta Vertrecht dicurigai sebagai “persiapan awal” dari deportasi itu. Para penduduk menganggap sensus yang dilakukan itu sebagai cara untuk mencatat dan membuat daftar yang akan digunakan oleh VOC untuk membawa/mendeportasi  para penduduk Ambon. Gosip yang terdengar “kencang” adalah gosip tentang penguasa Kesultanan Mataram14 dan Buton akan menyerang Belanda (VOC) dibantu oleh orang-orang Buton, orang-orang Iberia (Portugis + Spanyol), Inggris dan Denmark. Mereka merencanakan akan menyerang dan menghancurkan “Maluku Tengah” dimana jika diserang dengan kekuatan “besar” ini, VOC akan takluk.


Pada 23 Februari tahun itu, Gubernur VOC Ambon mengundang raja-raja untuk hadir dalam perayaan peringatan penaklukan Belanda dilaksanakan di Gereja15.
penduduk yang berdiam disekitar benteng Victoria memutuskan untuk mengungsi ke wilayah pegunungan. Awal April tahun itu, para penduduk secara terbuka menolak untuk dilibatkan dalam kegiatan pelayaran hongi. Seluruh jalan dan lorong di banyak negeri ditutup  dan dijaga. Hanya negeri Nusaniwe, Latuhalat, Hatiwe, Tawiri dan Mardika, serta beberapa negeri lainnya yang masih setia pada VOC, sedangkan negeri Kilang, Ema, Urimesing (awalnya sedkit ragu), Soya, dan Halong mulai memberontak.  Di tempat lain di pulau Ambon, situasinya tidak berbeda jauh, penduduk Baguala (Passo) masih masih tetap berdiam di negerinya, sedangkan Hutumuri, Waai dan Suli, penduduknya telah mengungsi ke gunung (hutan), meski raja-raja mereka (Hutumuri, Waai dan Suli) masih tetap berhubungan dengan pihak VOC. Hal yang sama juga akhirnya dilakukan oleh Raja Halong. Awal Mei, negeri Alang dan Lilibooi menolak mengakui kekuasaan VOC atas negeri mereka, dan bergabung dengan negeri-negeri Muslim seperti Wakasihu, Tapi, Uring dan Asilulu yang anti pada VOC. Akibatnya, pada bagian barat pulau Ambon, hanya negeri Larike yang masih setia pada VOC. Pada awal Juli, negeri-negeri yang anti VOC menyerang Larike dan benteng kecil milik VOC di situ. Dalam penyerangan ini, mereka dibantu oleh armada dari daerah Hoamoal dan sekitarnya yang dipimpin oleh Latukoli dari Lesidi (Lasidi). Gardenijs menyebut Latukoli ini dari Kambelo (yang menurut Knaap, Gardenijs sedikit keliru). Setelah beberapa minggu, akhirnya penyerangan ini bisa ditumpas. Pada bulan Agustus, negeri Alang dan Lilibooi mulai “mendekati” VOC untuk berdamai, pada bulan yang sama, negeri Waai, Suli dan Baguala melakukan upacara adat untuk “membatalkan” sumpah adat mereka yaitu sumpah “MATAKAU”.
Di Pulau Haruku, sejak akhir Februari tahun itu, negeri-negeri Kristen “menarik diri” dan tidak mau berhubungan lagi dengan VOC. Beberapa bulan selanjutnya, mereka menyerang benteng VOC di negeri Oma yang dibantu oleh pihak Kimelaha, dan semakin membuat situasi semakin “kacau”, meskipun benteng VOC tidak jatuh ke tangan para “pemberontak”.
Di Pulau Saparua, banyak negeri-negeri Kristen masih berhubungan dengan VOC hingga kira-kira pertengahan tahun itu, hingga akhirnya hanya tinggal negeri Ullath, Tuhaha, Haria dan Porto yang masih setia pada VOC.
“undangan” untuk bergabung dengan pihak Kimelaha, paling banyak datang dari negeri-negeri Kristen Pulau Nusalaut, terkhususnya negeri Ameth dan negeri-negeri yang “dipimpinnya16”.
Negeri Ameth dan negeri2 yang dipimpinnya, membantu pihak Kimelaha, menjadi “mata-mata” dalam penyerangan terhadap pasukan berkekuatan “mini” yang bertugas di Hatumeten, Seram Selatan. Selanjutnya orang-orang Kristen Nusalaut bergabung dengan orang-orang Muslim. orang-orang Kristen Nusalaut menghancurkan seluruh gereja dan segala hal yang “berbau” Belanda yang membuat mereka sangat anti pada VOC. Bahkan pada bulan Agustus, mereka menangkap pendeta Jan Pricerius17 yang perahunya tanpa “sengaja” berlabuh di pantai Nusalaut. Pendeta itu baru dibebaskan 1 bulan kemudian dan “diantar” ke pantai negeri Saparua, setelah semua barang-barang miliknya dirampas. 


Lantas, apa yang terjadi di Hitu pada saat bersamaan??? Di saat masa-masa gawat ini ????
---- bersambung ---


Catatan Kaki
  1. Rumphuis menyebut Perang pada tahun 1636 ini, sebagai 3de Ambonschen Oorlog (Perang Ambon) ketiga. Kami menerjemahkannya sebagai Perang Ambon jilid 3
§  Rumphuijs, G.E. De Ambonsche Historie, Eerste deel ............hal 126
  1. Kimilaha Leilato adalah putra dari Basaib, yang merupakan putra ke-5  Rubohongi yang berasal dari clan Tomagola. Clan Tomagola adalah salah satu dari 4 clan asal Ternate yang disebut Fala Raha selain Clan Tomaitu, Marsaoli dan Limatahu. Keempat clan ini adalah “eksekutor” project ekspansi kerajaan Ternate ke luar. Clan Tomagola melakukan ekspansi ke wilayah Buru, Ambon dan akhirnya Seram. Clan Tomagola ini menurut sejarahnya pertama kali dipimpin oleh Kibuba. Kibuba memiliki 3 anak yaitu Dudu, Samarau dan Molicanga. Setelah Kibuba meninggal, clan ini dipimpin oleh Dudu. Setelah Dudu meninggal, clan ini terbagi menjadi 2 sub clan yang dipimpin oleh Samarau dan Molicanga. Sub clan Tomagola pimpinan Samarau adalah yang paling menonjol sehingga dipilih oleh Sultan Ternate, Hairun (1535 – 1570) sebagai perwakilan kesultanan di wilayah Buru, Ambon dan Seram. Samarau memiliki 2 orang putra yaitu Rubohongi dan Saptiron. Rubohongilah yang paling menonjol, sehingga dipilih oleh Sultan Baabulan (1570 – 1583) pada tahun 1570 untuk menggantikan ayah mereka Samarau. Rubohongi memiliki 5 anak, yaitu Jumali, Angsara, Kasigu, Dayan dan Basaib. Jumali memiliki seorang putra, bernama Sabadin yang menjadi Kimilaha (1609 – 1619). Sabadin kemudian digantikan oleh Kimilaha Hidayat (1619 – 1623) dan digantikan oleh Kimilaha Leliato (1623 – 1636), yang merupakan putra dari Basaib. Kimilaha Luhu adalah putra dari Dayan, sedangkan Kimilaha Madjira adalah putra dari Kimilaha Sabadin.
§  Amal, M. Adnan. Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250 – 1950, Universitas kairun, Ternate, 2002, Hal 33 - 34
  1. Sultan Mudaffar menjadi Sultan Ternate sejak 1610 – 1627
§  Valentyn, Francois, Oud en Nieuw Oost Indie, eerste deel, tweede boek, Joannes van Braam en Gerard onder deLinden, Dordrecht en Amsterdam,1724 .... Hal 369
§  de Clerk, F.S.A. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890. (edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, Halaman 112
§  Amal, M. Adnan. Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250 – 1950, Universitas kairun, Ternate, 2002, Lampiran I, Hal 325
§  Widjojo, Muridan Satrio. Cross-cultural Alliance-making and local resistance in Maluku during the revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, 2007 apendiks 2, halaman 262,(disertasi doktor di universitas Leiden)
4.       Knaap menggunakan kata smuggling dalam tanda kutip untuk menggambarkan penjualan dan pembelian cengkih yang dilakukan oleh para pedagang Jawa itu, sebagai kegiatan penyelundupan. Perspektif itu berasal dari sudut pandang VOC karena melanggar perjanjian tahun 1609 itu, tentang hak eksklusif pembelian yang hanya bisa dilakukan oleh VOC – catatan tambahan dari penerjemah.
  1. Menurut Knaap, Kimilaha Hidayat berkuasa pada 1619 – 1623, namun menurut de Clerk, Hidayat ditunjuk sebagai Kimilaha pada tahun 1620, sehingga Hidayat berkuasa pada 1620 - 1624
§  de Clerk, F.S.A. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890. (edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, Halaman 112
  1. Menurut Knaap, Kimilaha Leliato menggantikan Kimilaha Hidayat pada tahun 1623, namun menurut de Clerk, Leliato menggantikan Hidayat pada tahun 1624.
§  de Clerk, F.S.A. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890. (edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition, Washington DC, 1999, Halaman 112
  1. Luhu adalah putra dari Dayan, yang berarti sepupu dari Leliato. Lihat catatan kaki no 1 untuk memahami hubungan keluarga mereka.  Kimilaha Luhu ditunjuk oleh Sultan  Hamzah (1627 – 1648) sebagai pengganti Kimilaha Leliato pada tahun 1629, namun Leliato menolak memberikan jabatan itu kepada Luhu.
  2.  Knaap “keliru”  saat secara eksplisit dalam artikel itu menulis kata Ihamahu, bukan Iha, padahal tahun itu, Ihamahu belum “ada” meski faktanya, didalam Iha terdapat “ihamahu” karena terdapat komunitas Kristen, akibat misi Katholik dan Protestan. Knaap membuat kesimpulan itu, karena pembacaannya terhadap arsip VOC yang selalu menyebut “ihamao” saat VOC merujuk pada negeri atau kerajaan Iha. Penyebutan kata “ihamao” dalam arsip VOC harus dimengerti dengan menarik jauh kebelakang 1 abad sebelumnya, dalam tahun 1538, saat Portugis melakukan misi Katholik di Saparua, akibat misi penyebaran ini, didalam kerajaan Iha, sebagian kecil masyarakat mulai memeluk Katholik dan memiliki pemimpin “informal” pada komunitas itu. VOC lebih banyak “berhubungan” dengan pemimpin informal ini, dibandingkan pemimpin sah kerajaan “induk”, sehingga masuk akal jika arsip VOC lebih banyak menyebut “ihamao” meski ada juga yang menyebut Iha secara eksplisit
  3. Kapitan Hitu, Kakiali adalah ipar dari Kimilaha Luhu, karena adik perempuannya menikah dengan Kimilaha Luhu.
10.     Knaap secara eksplisit menulis Gardenijs sebagai a high ranking official of the VOC, yang jika diterjemahkan secara literal berarti pemimpin tertinggi VOC (dalam konteks di wilayah itu yaitu Gubernur VOC Ambon), namun kami  lebih “memilih” menerjemahkannya sebagai Secunde atau “Amboina 2” . pertimbangannya bisa dijelaskan begini, dari beberapa sumber yang kami baca, pada umumnya, kata Gouverneur dalam bahasa Belanda saat diterjemahkan atau diberi penjelasan ke dalam bahasa Inggris menjadi a high ranking official, sedangkan Secunde di terjemahkan menjadi second person high ranking official. Hal ini dilakukan untuk “membedakan” 2 jabatan ini yang juga dianggap sebagai “pejabat tinggi”. Jadi kata a high ranking official secara “khusus” di tujukan pada jabatan Gubernur, bukan pejabat lain. Permasalahannya jika kata itu diterjemahkan menjadi Gubernur, maka kontradiktif dengan Knaap sendiri. Pada bukunya Memorie Overgave Gouverneur Ambon (terbit 1987), dalam salah satu lampirannya, terdapat Daftar Gubernur Ambon.  pada daftar itu, tidak ada nama Arend Gardenijs sebagai Gub pada periode itu, yang menjadi Gub VOC Ambon adalah Jochum Roelofs van Deutocom yang berkuasa tahun 1635-1637. Knaap menyusun daftar ini berdasarkan sumber dari E.A.W Ludeking : Lijst de Gouverneurs van Ambon......... (terbit tahun 1864) dan Francois Valentyn : Oud en Nieuw Oost Indien (vol 2) yang terbit tahun 1724. Sumber yang sama juga digunakan oleh Hendrik E Niemeijer dan Th. Van den End dalam : Bronnen Betreffende Kerk, en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda...... pada lampiran daftar Gubernur VOC Ambon...... (terbit tahun 2015).
Jadi siapa sebenarnya Gardenijs ini yang disebut oleh Knaap sebagai a high ranking official?
Ludeking dalam bukunya, tidak menyinggung sama sekali tentang orang ini, begitu juga dengan Valentyn. Valentyn yang sedikit “terperinci” saat menyusun para official VOC dari tahun 1605 – 1725 juga meninggalkan “misteri” tentang orang ini. Pada daftar itu, Valentyn menulis tahun 1635 Gubernur VOC Ambon adalah Anthoni van de Heuvel dan Secundenya Evert Hulst, pada bulan Mei 1635, Anthoni van de Heuvel ditarik kembali ke Batavia, dan sementara waktu digantikan oleh Aert/Artus Gijsels yang saat itu menjadi Komisaris urusan “Maluku”, yang datang bersama gubernur definitif Jochum Roelofs van Deutocom pada bulan Februari tahun itu. Akhirnya van Deutocom secara resmi menjadi Gub dan Evert Hulst tetap sebagai Secunde dalam tahun itu hingga 1636. Dalam tahun 1636 (entah bulan apa), Evert Hulst kembali ke Batavia, namun meninggal dalam perjalanan di selat Buton. Valentyn kemudian “meloncat” ke tahun 1637, dimana Gubernurnya tetap dan Secundenya adalah Johan Ottens. Pada bulan juni 1637, Johan Ottens kemudian menjadi Gub menggantikan van Deutecom yang kembali bersama Antonio van Diemen yang telah berhasil memadamkan pemberontakan (nanti dibaca pada akhir artikel Knaap ini).
Posisi Johan Ottens sebagai Secunde digantikan oleh Simon Jacobszoon Dompkens (Ludeking menulis namanya Simon Jacobsz Dowkeus).
Jika melihat kronologis yang disusun Valentyn ini, maka dengan mudah kita bisa bilang Johan Ottens lah yang menggantikan Evert Hulst sebagai Secunde saat Evert Hulst meninggal dalam tahun 1636. Jika begitu, lalu bagaimana dengan Gardenijs??? Pada rentang mana, ia harus “disisipkan” agar semua referensi ini tidak “bertabrakan” sehingga Gardenijs yang disebut Knaap sbagai a high ranking official bisa diterima???
Satu-satunya sumber (yang kami punyai sampai saat ini), yang menyebut tentang Arent Stevensz Gardenijs adalah W.Ph Coolhas dalam bukunya : Generale Missiven van Geuverneurs Generaal en Raden aan Heeren XVII VOC, volume 1 yang mencakup rentang antara tahun 1610 – 1638, dan terbit tahun 1960. Pada hal 307 pada buku ini, Coolhas memberikan catatan kaki tentang Gardenijs, sedangkan Ottens pada hal 308. Berdasarkan “biografi singkat” yang diberikan oleh Coolhas, kami mencoba menyusun “jalan ceritanya” agar semua kepingan-kepingan informasi ini “menyatu”.
Kronologisnya bisa diikuti seperti ini : pada Desmber 1635, Gardenijs diangkat sebagai Direktur dan Secunde Gubernemen Ambon yang akan menggantikan Evert Hulst, Februari 1636, Gardenijs tiba di Ambon, Evert Hulst kembali ke Batavia dan meninggal dalm perjalanan. Gardenijs menjadi Secunde hingga Agustus 1636, dan pada Juli 1636 itulah, Gardenijs membuat “analisa/kajian” seperti yang ditulis oleh Knaap dan menyebutnya sebagai a high ranking official VOC. Agustus 1636, Gardenijs ditugaskan sebagai Visitatur yang mengunjungi Persia,Surate dan Coromandel.
Jadi, sejak Sept-Des 1636 itu, posisi Secunde “kosong”, pada Des 1636 armada Van Diemen mulai meluncur dari Batavia menuju Ambon dan tiba pada Januari 1637 (lihat awal artikel ini, saat Kimelaha terburu-buru kembali ke Lusiela, saat menerima informasi tentang kedatangan Van Diemen). Bersama armada Van Diemen itu, turut serta Jan Ottens, yang kemudian menjadi Secunde menggantikan Gardenijs. Jan Ottens pada Mei – Des 1632, pernah menjadi Opperhoofd Hitu, Januari 1633- Mar 1635 menjadi Gubernur Maluku (Ternate), dan ditarik kembali ke Batavia, pada Mar 1636 bertugas sebagai Komandan armada di Surate. Juni 1636 menjadi Wakil Presiden Dewan Pengadilan Batavia, dan Oktober menjadi anggota Luar Biasa Raad van Indie.
Saat van Diemen kembali ke Batavia pada Juni 1637 itu, Jan Ottens ditunjuk menjadi Gub VOC Ambon menggantikan Jochum Roelofs van Deutocom yang kembali ke Batavia bersama Van Diemen.)
  1. Johan Bakarbesij
§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 2, tweede boek, tweede hoofdstuk (hal 107)
  1. Simao/Simau Baguala
§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 2, tweede boek, tweede hoofdstuk (hal 107)
  1. Predikant Jacobus Vertrecht mulai bertugas di Gubernemen Ambon sejak 3 Mei 1634 – medio 1636
§  Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), vierde deel HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, Alfabetische lijst van Predikanten in Ambon, Ternare, Banda, hal 58)
§  Valentyn, Francois Oud en Nieuw Oost Indie (deerde deel), bag 1 ..Omstandig verhaal van de Geschiedenissen en zaaken tot het Kerkelyke of tot den Godsdienst behoorende zo in Amboina,  tweede boek, vyfde hoofdstuk, Joannes van Braam en Gerard onder de Linden, Dordrecht en Amsterdam, 1724, Halaman 140
14.     Kejadian 15 tahun yang lalu itu, terjadi pada tahun 1621, saat Gub Jend VOC Jan Pieterszoon Coen membantai habis penduduk Pulau Banda. Peristiwa ini kemudian “merembet” ke Ambon, di tahun 1623, saat para official Inggris di hukum dengan sadis di benteng Victoria. Peristiwa ini yang kemudian dikenal sebagai Ambonsche Moord atau Pembantaian Ambon di masa Gub VOC Ambon, Herman de Speult (1618-1625)  - catatan tambahan dari kami).
15.      Uniknya lagi, “gosip” ini berulang kembali hampir 200 tahun kemudian ditahun 1817, Belanda mencurigai para penguasa Mataram terlibat bahkan sebagai “otak” dari Perang Pattimura. Orang yang dituduh Belanda adalah Pangeran Mangkudiningrat, putra dari Sultan Hamengku Buwono II, yang turut dibuang bersama ayahnya ke Ambon pada Fbruari 1817. Mereka tiba di Ambon pada akhir Maret, dan ditempatkan di Batu Merah. Menurut sejarahwan, Djoko Marihandono, Belanda mencurigai Pangeran Mangkudiningrat terlibat dalam Perang Pattimura, pada akhir Mei 1817, ia diperiksa dan kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti. Informasi ini bisa dibaca pada artikel Djoko Marihandono yang berjudul : Sultan Hamengku Buwono II : Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa, yang dimuat pada majalah digital Humaniora Vol 12 No 1 terbitan Juli 2008, halaman 27-38)
  1. Maksud Knaap tentang perayaan ini, adalah perayaan penaklukan benteng Victoria yang dilakukan oleh Steven van der Haghen pada 23 februari 1605, jadi tahun itu adalah peringatan ke-31 tahun, VOC berkuasa di Ambon.
17.    Menurut Rumphuis dan Valentyn, dimasa itu, Pulau Nusalaut dipimpin oleh dua pimpinan utama yaitu Titawai dan Ameth. Titawai “menguasai” bagian utara Nusalaut, dan “memimpin” negeri Nalahia, Sila dan Leinitu, sedangkan Ameth “menguasai” bagian selatan Nusalaut  dan “memimpin” negeri Akoon dan Abubu.
  1. Predikant Jan Janszoon Priserius bertugas sejak 1636 – 1637 dan 1639 – 1641
§  Valentyn, Francois Oud en Nieuw Oost Indie (deerde deel), bag 1 ..Omstandig verhaal van de Geschiedenissen en zaaken tot het Kerkelyke of tot den Godsdienst behoorende zo in Amboina,  tweede boek, vyfde hoofdstuk, Joannes van Braam en Gerard onder de Linden, Dordrecht en Amsterdam, 1724, Halaman 140
§  Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), vierde deel HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, Alfabetische lijst van Predikanten in Ambon, Ternare, Banda, hal 55)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar