Jumat, 17 Mei 2019

Krisis dan Kegagalan


Perang dan Pemberontakan di Kepulauan Ambon, 1636-1637
(bag 2)
Oleh
Gerrit. J. Knaap

Sementara itu, Kimelaha Kakiali dan Raja Wakal, Tamalesi masih tetap ditahan di Batavia. Kayoan, saingan “berat” Kakiali dan Perdana Tanahitumesing yang juga calon pejabat sementara pengganti Kakiali, menuju Batavia bersama beberapa orang penting Hitu dalam upaya membebaskan Kakiali. Kayoan melakukan hal itu, karena ia menyadari bahwa pembebasan Kakiali adalah satu-satunya cara agar keutuhan dan “kedamaian” di Hitu bisa tercipta kembali. Saat ia kembali ke Ambon pada awal tahun 1636 itu, ia kembali dicalonkan sebagai Kapitan Hitu, dan kali ini didukung oleh Gubernur Jend VOC di Batavia. Kejutan yang lain adalah pencalonan Latu Lisalaik, yang merupakan orang kaija Bulang menjadi Perdana Nusatapi, menggantikan Barus yang adalah saudaranya sendiri. Latu Lisalaik sendiri tidak senang dengan pencalonan ini dan secara tegas menolaknya. Dalam kesempatan pembicaraan dengan “otoritas lokal” VOC di daerah itu, ia menyatakan bahwa Gub Jend VOC tidak punya hak berbuat seperti itu atau “mencampuri” urusan pemerintahan negeri Hitu, sama seperti ia sendiri, tidak punya hak mencalonkan Gub VOC Ambon untuk menjadi Raja Hitu.
Menjelang akhir tahun 1636, Latu Lisalaik memimpin delegasi yang kedua kembali menuju Batavia, untuk membebaskan Kakiali. 



Clan Nusatapi (sumber gambar: Http//: Mamala-Amalatu.blogspot)
Paruh kedua tahun itu, nampak VOC dan negeri-negeri pendukungnya yang hanya sedikit, menahan diri untuk tidak menyerang balik. Sikap “diam” mereka ini, diwujudkan dalam bentuk “perburuan dan penculikan”. Serangan balik yang “frontal” sulit untuk dilakukan oleh VOC saat itu. Di Hitu dan Jazirah Leitimor, situasi tidak berubah. Mereka berdua ingin menjadi penyedia bubuk mesiu dan menerima bantuan dari Kimelaha, tapi disaat yang sama, berusaha tampil menjadi pihak “netral”. Raja-raja negeri Leitimor mengunjungi markas besar Kimelaha di Lusiela, namun tidak “menjanjikan” apa-apa pada pihak Kimelaha. Kimelaha Leliato memahami “dilema” ini, karena itu dalam suratnya kepada orang-orang Kristen, ia menyerukan agar mereka memutuskan “hubungan” dengan VOC, jangan lagi menjadi “budak” dari siapapun, dan menjadi orang bebas yang bisa melakukan apa saja sesuai keinginan hati. Meskipun begitu, orang-orang Leitimor dan sebagian besar orang Hitu menolak untuk mengirim cengkih pada pihak Kimelaha. Mereka tetap menyimpan panen cengkih dengan pertimbangan, ada harapan terjadinya “perubahan” jika situasinya kembali normal. 
Akhir tahun itu, pihak Kimelaha melakukan kegiatan pelayaran Hongi dan memberi “tekanan” pada negeri-negeri pendukung VOC di kawasan Lease. Ia menyerang negeri Tuhaha dan Ullat, namun gagal mengalahkan mereka.
Pada Juli 1636, Secunde Gubernemen VOC Ambon, Arend Stevensz Gardenijs, memberikan pertimbangan kepada “pemerintah pusat” VOC di Batavia. Ia menyebut solusi terbaik untuk mengatasi situasi adalah lewat intervensi langsung oleh Gub Jend VOC sendiri.  Antonio van Diemen selaku Gub Jend VOC menerima usul ini. Pada awal 1637, armada Van Diemen muncul di perairan Ambon dengan kekuatan “raksasa” yaitu 17 kapal perang yang mengangkut 2000 ABK dan serdadu. Kakiali dan Raja Wakal, Tamalesi turut serta dalam rombongan itu....................


A.                 Van Dieman di Ambon

Armada van Diemen tiba di “Maluku Tengah” lebih tepatnya di Buru, pada tanggal 13 Januari 1637, setelah 2 minggu berlayar. 5 hari kemudian, armada itu mendekati tanjung Sial, titik paling selatan dari Hoamol. Van Diemen segera memutuskan untuk menyerang Lusiela. Para serdadu yang telah dipersiapkan untuk perang melawan pihak Kimelaha, sekali lagi diperintahkan untuk taat dan mengikuti perintah para komandan mereka, dilarang meninggalkan pasukan dan segera bersiap di pinggir pantai untuk berperang. Perampasan, pembakaran, pembunuhan atau pelecehan seksual tidak boleh dilakukan, dan akan dihukum jika kedapatan melakukan hal itu, terkecuali ada izin untuk melakukan hal itu. Pada sore hari, tanggal 19 Januari 1637, armada van Diemen membuang jangkar di perairan Lusiela, dari jauh terlihat begitu banyak kubu pertahanan dan menyulitkan armada van Diemen untuk merapat ke pantai. Pasukan pengintai diluncurkan untuk mencari jalan agar armada itu bisa merapat, usaha ini dibantu oleh Kayoan, calon kuat Kimelaha yang didukung VOC serta Abdul Rahman, Raja Luhu yang pro VOC.  Luhu adalah salah satu negeri utama di jazirah Hoamoal.
Dari atas kapal, orang-orang Belanda menyaksikan, para penduduk berusaha untuk menyelamatkan diri.
Keesokan harinya, 20 Jan 1637, setelah sarapan pagi, dan doa bersama yang dipimpin oleh pendeta, pasukan besar yang berisikan 1525 orang turun ke darat, langsung menuju titik target yaitu Lusiela yang kira-kira sekitar setengah jam perjalanan. Pasukan Kimelaha, yang jumlahnya sedikit, kurang lebih 100 orang segera merespon balik serangan ini, mereka menembakan meriam, memanah, melempar menggunakan batu dan tombak, namun balasan ini tak mampu menahan gerak laju pasukan VOC. Pasukan VOC akhirnya bisa memanjat tembok-tembok kubu pertahanan dengan menggunakan potongan bambu yang disandarkan di dinding. Pasukan Kimelaha akhirnya menyerah, dan dibawah keluar dari dalam kubu pertahanan itu. Pasukan VOC segera menurunkan bendera kebesaran Kimelaha dan menempatkan pasukan mereka di kubu pertahanan itu. Hanya dalam waktu 5 jam, Lusiela “jatuh”. Di dalam kubu itu, pasukan VOC hanya menemukan 2 jenazah dan 20 potong alat penembak “kode” serta 3000 pound bubuk mesiu1, menawan seorang perempuan, serta 125 perahu, yang semuanya disita  di tepi pantai. 1 perahu kemudian dijadikan sebagai kayu bakar untuk alat penerangan dan penghangat badan. Di pihak VOC sendiri, 10 orang tewas, 38 luka berat, beberapa orang akhirnya meninggal karena luka luka itu. Setelah hari “kemenangan” itu, pasukan VOC sibuk membongkar bagian-bagian lain dari kubu pertahanan serta menghancurkan area sekeliling kubu itu, khususnya memusnahkan seluruh tanaman cengkih. 27 Januari, armada van Diemen meninggalkan Lusiela dan menempatkan pasukan berkekuatan 400 serdadu serta 5 kapal besar untuk berpatroli disekitar perairan itu.
3 hari kemudian, armada van Diemen berlabuh di pantai depan Benteng Victoria.  setelah dijamu oleh para pejabat tinggi Gubernemen VOC Ambon, serta menginspeksi pasukan dan milisi, Van Diemen memutuskan untuk “berkantor” disitu. Pada kesempatan itu, Van Diemen juga menemui beberapa raja Leitimor, dan raja-raja dari bagian tenggara Hitu. Seminggu sebelumnya, Gub VOC Ambon memerintahkan agar negeri-negeri Kristen yang terlibat dalam pemberontakan melawan VOC agar menyerah dan memohon pengampunan dari Gub Jend VOC, namun tak direspon. Sebelum tanggal 6 Februari itu, datang surat dari para pemberontak asal Leitimor. Dalam suratnya, mereka menyatakan jika Raja Soya2, Kilang, Ema3 dan Urimesing4 telah berunding di Soya dan
Bersepakat untuk berdamai, namun mereka butuh waktu. Di hari yang bersamaan datang juga surat dari Hatiwe, diikuti Alang dan Lilibooi.
VOC memutuskan “target” berikutnya, yaitu sisi barat semenanjung Hitu. Sesaat setelah Van Diemen tiba di Benteng Victoria, Imam Larike meminta “keadilan” agar menghukum orang-orang Wakasihu5, Tapi, Uring dan Alang6 yang pada bulan Oktober tahun 1636, telah membunuh para penduduk Larike dan membumihanguskan negeri Larike. 6 Februari, Gub VOC Ambon menuju ke Larike dengan pasukan yang berkekuatan 10 kapal perang dan 700 serdadu. Serangan ini ditujukan untuk menaklukan kubu pertahanan Wakasihu dan Tapi, namun gagal karena para penduduk telah diungsikan oleh para pemberontak. 4 hari kemudian, pasukan Gub VOC Ambon kembali ke Benteng Victoria. Negeri Alang  yang takut diserang akhirnya mengirim utusan untuk memohon pengampunan dari VOC. Begitu juga yang dilakukan negeri-negeri yang berada di bagian timur laut, seperti Baguala, Suli dan Waai. Pada tanggal 17 dan 18 Februari tahun itu, Gub Jend VOC, Antonio van Diemen, para pejabat tinggi Gubernemen VOC Ambon dan keluarga bahkan berkunjung dan “berlibur” di Baguala.
  
Sepanjang Februari, banyak energi “terkuras” untuk melakukan rekonsiliasi dengan negeri-negeri di jazirah Leitimor. Van Diemen sangat berperan dalam hal ini. Ia menjanjikan pengampunan kepada semua orang serta sekutu mereka yang selama ini melawan VOC. Beberapa delegasi terlihat “keluar masuk” benteng Victoria dalam rangka rekonsiliasi ini. Orang Kaija Mardika, yang bernama Louis Gomes bertindak sebagai “mediator” utama dalam masalah ini.
Soya, Ema, Kilang, Urimesing, dan Hutumuri7  menyampaikan bahwa mereka ingin berdamai, namun sesuai dengan “adat” orang Ambon, mereka butuh waktu, untuk berdiskusi dengan negeri-negeri lain di Pulau Ambon dan Lease, mengenai masalah sumpah “ MATAKAU” yang telah mereka lakukan.
Pada tanggal 14 Februari, Van Diemen mengirim surat kepada Raja Soya dan sekutunya, yang isinya ia mendesak agar Raja Soya bertemu dengan dirinya sebelum tanggal 21 di bulan itu. Soya dan negeri-negeri sekutunya, berusaha untuk menunda pertemuan itu. Mereka mengajukan “syarat” agar raja-raja dari negeri pendukung VOC agar bertemu dengan mereka di bawah pohon beringin yang jaraknya setengah perjalanan dan bersama-sama menemui Gub Jend VOC
Van Diemen menolak penundaan tanggal pertemuan, namun menerima usulan “ proposal pohon beringin”. Pertemuan itu akhirnya batal karena hujan deras di tanggal itu, pertemuan kedua yang direncanakan tanggal 22 Februari juga batal, karena masing-masing pihak tidak saling percaya.
Setelah beberapa kali ultimatum, akhirnya raja-raja negeri Leitimor “menyerah” dan datang menemui Gub Jend. Mereka memohon pengampunan, setelah panjang lebar menyampaikan alasan kenapa mereka mengungsi ke pegunungan setahun sebelumnya. Pengampunan diberikan oleh Gub Jend, yang dalam kesempatan itu menyampaikan jika, semua yang telah terjadi biarlah dilupakan saja8.
Tuduhan atas sumpah “MATAKAU” dengan pihak Kimelaha serta pengiriman cengkih ke mereka di sangkal oleh para raja Leitimor. Masalah ini akhirnya diselesaikan sebelum Van Diemen bertolak ke Haruku pada 27 Februari. Keberangkatannya kali ini didukung oleh 10 kapal perang dan 3 kora-kora, 2 minggu kemudian 5 kora-kora dari Leitimor menyusul. Akibat laut yang dangkal, armada Van Diemen mengalami kesulitan untuk berlabuh di perairan pulau Haruku. Itu terjadi sebelum tanggal 5 Maret. Pada sore hari 5 Maret, armada itu akhirnya membuang sauh di perairan Hatuhaha. Di hari yang sama pula, datang serombongan “kapitan9  Alifuru dari Sumit dan Sahulau berjumlah 170 orang turut bergabung.
Armada VOC segera turun ke darat, dengan kekuatan lebih dari 1000 orang. Setelah mengalami kesulitan karena mendaki jalan menanjak ke arah pegunungan, akhirnya mereka merebut kubu pertahanan pertama Hatuhah yang telah kosong di negeri Kabau. Mereka kemudian melanjutkan penyerangan ke negeri Kailolo, dan menghadapi perlawanan sengit, namun akhirnya mereka bisa mengalahkan para pemberontak. Mereka menghabiskan malam itu di Kabau, dan keesokan harinya mereka mendekati ALAKA, kubu pertahanan yang sangat tangguh dan di “jaga” oleh 1000 orang kapitan. Setelah kontak pertama berlangsung, para komndan pasukan VOC, menyimpulkan bahwa sangat sulit merebut ALAKA tanpa banyak korban, dan jika diteruskan, akan memakan banyak korban dari pihak mereka. Mereka memutuskan kembali mundur ke Kabau. Hujan yang lebat semakin mempersulit serangan. Hari itu, 14 serdadu VOC tewas, dan 50 orang terluka. Dengan bantuan para Kapitan Alifuru yang telah bertambah menjadi 200 orang, VOC melancarkan strategi perang gerilya, dengan menghancurkan semua pohon cengkih, dan pohon-pohon di sekitarnya. Dalam 1 minggu, Pasukan Alifuru bertambah lagi menjadi lebih 400 orang. Pada 15 Maret, VOC menghancurkan “perkemahan” mereka di Kabau dan kembali ke atas kapal dan tetap berlabuh diperairan Hatuhaha. 3 hari kemudian, pasukan Alifuru dizinkan kembali ke Seram setelah membunuh 16 orang dari pihak “musuh”.

(kita mundur sebentar beberapa hari di saat armada Van Diemen dalam perjalanan menuju Haruku)

Dalam perjalanan menuju Haruku itu, Van Diemen telah mengirim “nota diplomatik” agar pihak pemberontak menyerah dan memohon pengampunan. Dalam bulan Februari, 5 negeri Kristen di Haruku telah mengadakan dengan para pemberontak dari Leitimor, bisa atau tidakkah mereka berdamai dengan VOC. Setelah armada van Diemen buang jangkar di perairan Hatuhaha, beberapa negeri mengirim utusan ke kubu pertahanan VOC dekat negeri Oma, untuk berdamai dengan VOC. Para utusan itu diterima oleh Manuel Quelju, raja negeri Kilang yang bertindak sebagai mediator.

(kita kembali lagi ke waktu setelah, para pasukan Alifuru kembali ke Seram )

Manuel Quelju dibantu beberapa raja negeri Leitimor lainnya, memulai negoasiasi untuk melakukan rekonsiliasi pada tanggal 21 Maret. 4 hari kemudian, beberapa orang Kristen pulau Haruku menemui van Diemen diatas kapal perang dan memohon pengampunan. Di kesempatan itu juga, mereka menjanjikan akan berusaha untuk “menghentikan” pemberontakan yang dilakukan oleh Hatuhaha. Pada tanggal 27 Maret, pihak Hatuhaha mengirim surat yang disampaikan oleh Raja Aboru, Laurens Ririasa, dimana mereka ingin berdamai, karena mereka tahu, pada akhirnya mereka tak bisa terus berperang dengan VOC. Keesokan harinya, utusan dari Hatuhaha datang dan diberikan jaminan untuk didengarkan semua keberatan dan diberikan pengampunan. Pada kesempatan itu, mereka juga menyampaikan pada Van Diemen, jika sebenarnya, mereka hampir menyerah saat pasukan van Diemen menyerang mereka pada tanggal 6 Maret itu, namun hanya karena hujanlah, yang untuk sementara waktu menyelamatkan mereka dari “kekalahan”....
Sehari kemudian, pada 29 Maret armada van Diemen meninggalkan pulau Haruku dan bertolak ke pulau Saparua..................................

Bagaimana “aksi” Van Diemen di Saparua??? Juga di Nusalaut.....?

Sehari kemudian, pada 29 Maret armada van Diemen meninggalkan pulau Haruku dan bertolak ke pulau Saparua. 5 hari kemudian, 4 April, Van Diemen tiba di redout Hollandia,Honimoa, Siri Sori. Saat masih diatas, kapal perangnya, Van Diemen “mengamati” dan “memahami” hubungan antara Saparua dan Nusalaut.
Pada Desember 1636, Kimelaha Leliato menyerang Tuhaha dan Ulat dengan pasukan Hongi mereka. Raja Tuhaha, Pedro Mahubesi meletakan bangkai babi dan anjing pada “sungai/kali” kecil yang dipergunakan oleh pasukan Kimelaha sebagai air minum. Berperang menghadapi srategi “cerdas dan licik” ini membuat pasukan Kimelaha kalah dan kembali pulang ke Lusiela.
Saat Van Diemen masih berada di Ambon, raja-raja negeri Kristen yang lain asal Saparua datang menemui van Diemen, dan bersumpah untuk kembali berhubungan dengan VOC. Berdasar hal itulah, orang-orang Kristen Saparua lebih diperhatikan VOC, terkhusus negeri Tuhaha, dimana rajanya diberikan “hadiah” dan “pujian”, oleh van Diemen  serta sekaligus menjadi “orang tua saksi” bagi “pertobatan” seorang penduduk Tuhaha yang bernama Labo atau Lobo10.

Saat armada Van Diemen dalam perjalanan menuju Haruku, beberapa penduduk negeri Iha ke Ambon, untuk menyampaikan tujuan kedatangan mereka. Akibat berperang dengan Ullat, negeri Iha kehilangan seorang pendukungnya yaitu Patih Nolloth. Menyadari kuatnya militer VOC, negeri Iha memutuskan untuk berdamai dengan VOC. Di saat armada Van Diemen berlayar menuju Saparua dari Hatuhaha, kapitan-kapitan negeri Paperu menyergap dan membantai beberapa pemimpin rombongan penduduk negeri Iha yang kembali ke negerinya dari Hatuhaha. Rombongan itu menyatakan jika tujuan mereka ke Hatuhaha adalah ingin menemui van Diemen dan memohon pengampunan (mungkin, setelah mendengar kabar jika Van Diemen tidak berada di Ambon, tapi telah menuju ke Hatuhaha/Haruku). Saat rombongan itu tahu, Van Diemen telah menuju ke Saparua, mereka memutuskan untuk kembali ke negerinya. Saat rombongan itu berada disekitar negeri Hulaliu, mereka diserang secara tiba-tiba dan dibunuh.
Sesaat setelah tiba di Saparua (Siri Sori), van Diemen mengeluarkan ultimatum kepada negeri Iha, untuk sebaiknya menyerah dan berdamai dalam jangka waktu 5-6 hari kedepan. Tanggal 7 April, dengan “ditemani” oleh patih Siri Sori yang bernama Herman11, utusan dari negeri Iha menemui Gub Jend VOC dan berdamai dengan VOC.
Kedua pihak sepakat, akan diadakan rekonsiliasi terhadap para “pejabat/pemimpin” negeri, yang semuanya akan dihadapkan pada “sidang landag”, sebuah “pengadilan” bagi semua negeri Ambon-Lease12, yang akan diadakan bulan depan di benteng Victoria.


Selama krisis itu, Nusalaut benar-benar sangat anti pada VOC, khususnya negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Inalohu yang dipimpin oleh negeri Ameth. Pada awalnya, telah terjadi kontak yang berlangsung hanya sekali, antara orang-orang Nusalaut dengan negeri-negeri Leitimor.  Pada tanggal 1 april, negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Inahaha yang dipimpin oleh raja negeri Titawai datang menemui Van Diemen diatas kapal perang dan memohon pengampunan. Mereka diampuni oleh van Diemen, setelah “diomeli” tentang ketidaksetiaan mereka terhadap VOC dan agama Kristen. 3 hari kemudian, utusan dari negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Inalohu yang dipimpin oleh raja negeri Ameth, datang menemui van Diemen di tepi pantai Honimoa Siri sori, jatuh bersimpuh dikaki Van Diemen dan memohon pengampunan. Van Diemen kemudian mengampuni mereka.
Pada 11 April, armada van Diemen meninggalkan Saparua dan menuju Lusiela. Dalam perjalanan kembali ini, armada van Diemen menyusuri perairan diantara Saparua dan Nusalaut

11 April 1637, armada Van Diemen meninggalkan Saparua menuju Lusiela dan tiba 2 hari kemudian. Tiba juga, utusan “khusus” dari Sultan Ternate Sultan Hamzah yang bernama Kaicili Sibori. Ia ditugaskan membantu usaha rekonsiliasi di “dalam” wilayah kekuasaan kesultanan Ternate. Pada 17 April, pasukan VOC mulai menghancurkan sisa-sisa kubu pertahanan milik Kimelaha, selama 3 hari. Pada tanggal 24 April, armada VOC bersama pasukan VOC (yang ditempatkan sebelumnya) di Lusiela, berlayar menuju Hitu. Di saat bersamaan, Kaicili Sibori berusaha membujuk Kimelaha Leliato, yang “bermarkas” di Kambelo untuk ke Luhu dan menerima “ surat dinas” dari “atasannya” yaitu Sultan Hamzah. Namun Leliato takut terjebak oleh undangan Sibori, yang datang ke Luhu “dikawal” oleh kapal perang VOC. Leliato meminta “surat dinas” itu dikirim ke Gamasongi, daerah yang tak jauh dari Luhu. Meskipun Sibori menganggap permintaan itu adalah tindakan tidak patuh pada Sultan, namun ia menyetujui permintaan Leliato. Setelah menerima surat itu, Leliato buru-buru kembali ke Kambelo, sebelum Sibori tiba di Gamasongi. Akibatnya, Sibori hanya bisa “membuat” Luhu dan wilayah-wilayah dibawah “kekuasannya”  untuk kembali setia kepada kesultanan Ternate, melalui sumpah sakral “MATAKAU”. 

Armada Van Diemen tiba di Hila pada tanggal 25 bulan itu. Di daerah Hitu, kubu pertahanan pihak anti VOC berada di dua tempat yaitu Wawani dan Kapahaha. Yang sangat anti VOC adalah yang berada di Wawani, dan mereka terdiri dari uli/kelompok Nau-Binau, Leala, dan Hatunuku serta sebagian dari Sawani. Sedangkan yang di Kapahaha, lebih banyak berasal dari uli/kelompok Saylesi yang ingin berdamai dengan VOC dibandingkan “saudara” mereka yang di Wawani. Sejak awal krisis itu, kelompok Wawani menuntut pembebasan Kakiali dan Tamalesy, sebagai syarat atau “prakondisi” untuk negosiasi lebih lanjut. VOC “memanfaatkan” syarat ini. Sehari sebelum armada van Diemen tiba, Kakiali “diizinkan” kembali ke Hitu bersama Tamalesy, setelah sebelumnya, mereka diajak kerjasama untuk “menenangkan” orang-orang Hitu. Melalui Latu Lisalaik, pemimpin kelompok Wawani mengirim pesan kepada VOC, jika mereka siap untuk bertemu dengan Van Diemen. Kakiali dan Tamlesy menuju dan segera tiba di Wawani, dimana seluruh raja-raja berkumpul dan berunding menentukan delegasi yang akan bertemu dengan Gub Jend VOC. Tamalesy juga membantu dalam usaha “melibatkan” kelompok Kapahaha pada proses rekonsiliasi itu. Akhirnya, pada tanggal 3 Mei, kelompok Wawani yang dipimpin oleh Barus, pejabat Perdana Nusatapi, hadir dan bertemu dengan Van Diemen di Hila. Dalam pertemuan itu, diputuskan jika kedua kelompok itu akan “hadir” dalam sidang Landaag yang akan dilaksanakan di benteng Victoria pada bulan Juni.  Hari berikutnya, armada van Diemen meninggalkan Hila bersama Kakiali yang secara “resmi” akan di bebaskan setelah sidang Landaag.
Armada Van Diemen sempat singgah sebentar di Larike, dan tiba di Benteng Victoria pada tanggal 5 Mei.

Pada tanggal 16 Mei, Gub Jend VOC Antonio van Diemen mulai membuka persidangan Landaag. Seluruh raja-raja negeri di Pulau Ambon-Lease berkumpul di benteng Victoria. Pada hari pertama persidangan, berisikan agenda penyelesaian masalah terhadap seluruh negeri-negeri Kristen di Pulau Ambon,  terkecuali negeri Alang yang masih tidak ingin berdamai.
Persidangan hari kedua berlangsung pada tanggal 18 Mei, berisikan agenda penyelesaian terhadap negeri negeri Lease dan pantai selatan Seram. Dalam persidangan itu, para penduduk di 2 wilayah itu dijanjikan jika kegiatan pelayaran hongi akan dibatasi paling banyak hanya 5 minggu dalam setahun, dan jika diperlukan untuk bekerja lebih dari waktu itu, akan dibayar. Di hari yang sama, Kaicili Sibori tiba dari Hoamoal dan langsung mengikuti persidangan. Ia dihadapkan pada pertanyaan : apakah negeri-negeri Muslim seperti Iha, Hatuhaha, Latu dan Hualoy itu, “tunduk” pada VOC dalam hal monopoli cengkih dan penyediaan tenaga bagi pelayaran Hongi ataukah tidak. Pertanyaan ini ditanyakan oleh van Diemen, karena negeri-negeri itu “bingung” apakah mereka “mengabdi” pada Sultan Ternate atau VOC. “ Menghindari” pertanyaan menjebak tentang “kekuasaan” Sultan, Sibori menjawab pendek, jika itu merupakan keinginan Sultan agar negeri-negeri patuh pada Gub VOC Ambon dan bukan pada Kimelaha.

Lukisan benteng di Lesidi masa VOC

Pada persidangan hari ketiga tanggal 19 Mei, penduduk Kristen Ambon menyampaikan “petisi” kepada Gub Jend VOC, dimana mereka meminta pembayaran terhadap pembelian kora-kora mereka, pengurangan permintaan tenaga kerja hongi, dan memperbaiki manajemen dalam pelayaran Hongi, serta ditambah dengan pemberian jaminan akan hak tanah dan hak melaut di sekitar perairan pulau Ambon. Van Diemen bersikeras menolak kompensasi pembayaran pembelian kora-kora, namun membatasi waktu pelayaran Hongi seperti yang ia putuskan pada negeri-negeri Lease. Ia juga berjanji akan melarang perbuatan-perbuatan “salah urus” dalam kegiatan pelayaran hongi, dan menyarankan kepada para raja agar protes dan menyampaikan keberatan jika perbuatan itu terjadi lagi. Van Diemen juga berjanji akan “merevisi” aturan agar lebih “memperhatikan” hak tanah dan hak melaut seperti yang diminta oleh penduduk Kristen Ambon. disamping merespon petisi ini, ia juga memerintahkan penutupan sekolah-sekolah Kristen yang ada di tiap negeri. Semua penduduk jazirah Leitimor yang ingin anaknya mendapatkan pelajaran agama, harus mengirim mereka bersekolah di kota Ambon, aturan yang sama juga berlaku untuk negeri-negeri di Lease. 3 hari kemudian, semua raja-raja pulau Ambon-Lease, terkecuali negeri Hitu yang tidak hadir, bersumpah dengan khidmat untuk “bersahabat” kembali dengan VOC. Raja-raja negeri Kristen bersumpah di bawah kitab suci Alkitab, sedangkan yang muslim di bawah kitab suci Al-quran.

Di saat bersamaan, tak ada perkembangan “signifikan” dalam hubungan Hitu dengan VOC. Para pemimpin Hitu menunjukan sikap tidak ingin menemui  Gub Jend VOC di benteng Victoria. Meski begitu, Van Diemen membebaskan Kakiali secara “resmi” pada tanggal 20 Mei. Kakiali di terima dengan hangat oleh pendukungnya saat kembali ke Wawani, dan akhirnya para pemimpin Hitu memutuskan resolusi “terakhir” untuk menghadiri persidangan Landaag. Kakiali sendiri datang menghadiri persidangan pada tanggal 31 Mei 1637 dan memimpin delegasi sebanyak 100 orang, bukan hanya dari Hitu saja, tapi juga dari Uring, Asilulu, Wakasihu, Tapi, Alang dan Lilibooi. Kedua belah pihak setuju untuk “mengembalikan” perdamaian dan membuat perjanjian baru. VOC dijanjikan untuk mendapatkan hak monopoli atas pembelian cengkih, yang berarti Hitu “melarang” para pedagang “luar/pribumi” untuk berdagang di daerahnya. Sebaliknya, Van Diemen tidak akan mencampuri urusan “dalam negeri” Hitu dan “mengijinkan” negeri Hitu untuk memulihkan sistim pemerintahan “lokal” mereka sendiri. Kakiali akhirnya diangkat lagi menjadi Kapitan Hitu, Kayoan Perdana Tanahitumesing, “melepaskan” jabatan Kapitan Hitu, dan diberikan jabatan “kehormatan” yaitu Orang Kaija. Barus, di kembalikan ke posisi lama yaitu Perdana Nusatapi dan menggantikan Latu Lisalaik, yang mulai sakit-sakitan dan sejak awal tidak menginginkan jabatan itu. Soulisa menjadi Perdana Totohatu dan Beraim-ela menjadi Perdana pati Tuban. Orang-orang Hitu juga menyatakan jika VOC adalah sahabat dan mereka bukan “anak buah” Sultan Ternate, serta tidak pernah mengklaim Uring, Asilulu, Wakasihu, Larike, Tapi, Alang dan Lilibooi sebagai negeri “bawahan” mereka. Tanggal 1 Juni, Hitu dan negeri-negeri sekutu mereka yang lain bersumpah untuk “bersahabat” lagi dengan VOC. Gubernur VOC Ambon yang baru13, Johan Ottens juga bersumpah untuk selalu melindungi dan mengakui jika Hitu serta negeri-negeri yang lain adalah “sahabat sejati” VOC.

Saat armada van Diemen meninggalkan Hoamoal menuju Ambon pada 29 April, Kaicili Sibori berusaha keras “menjinakan” Kimelaha Leliato. Seminggu kemudian, ia melaporkan jika telah mengirim “surat dinas” kepada Leliato dan para pengikutnya. Sepanjang minggu pertama di bulan Mei itu, Sibori terus “merayu” Leliato agar datang ke persidangan Landaag di benteng Victoria. Ia juga gagal “melarang” para pedagang “pribumi” berdagang di wilayah kekuasaan Ternate.akhirnya Sibori mulai “mengakui” satu-satunya cara untuk menghadapi sikap “keras kepala” Leliato adalah dengan aksi militer. Leliato sendiri menunjukan sikap tidak peduli lagi, karena mulai berdatangan ratusan “serdadu pribumi” yang terus berdatangan sejak beberapa bulan terakhir dan akan membantu Lelaiato. Satu-satunya kesuksesan yang diperoleh Sibori adalah membuat para pemimpin Luhu dan beberapa negeri “bawahannya” bersahabat kembali dengan VOC pada tanggal 2 Juni.
Di hari yang sama pula, persidangan Laandag memasuki persidangan hari ke-9, dan secara resmi ditutup. Pada penutupan persidangan itu, dihadirkan pihak-pihak yang selama ini telah turut “membantu” VOC dalam “mengatasi” konflik selama itu. Pujian dan penghargaan paling banyak diterima oleh Louis Gomes, orang Kaija Mardika, yang “sukses” menjadi mediator dan membantu VOC selama krisis itu.
Akhirnya, tanggal 4 Juni 1637, Gub Jend VOC Antonio van Diemen meninggalkan benteng Victoria, kembali ke markas besarnya di Batavia14................

Selesai............

Catatan tambahan
Sebenarnya, artikel ini masih berlanjut, namun kami memutuskan untuk tidak menerjemahkannya, karena bagian lanjutan itu adalah bagian penutup dan kesimpulan yang berisikan “analisis” dari penulis tentang faktor yang membuat Van Diemen berhasil “meredam” konflik itu.
Namun di bagian penutup itu ada beberapa info yang penting yang perlu disampaikan:
1.         Setahun kemudian, 1638 Van Diemen di undang lagi ke Ambon oleh Sultan Ternate Hamzah
2.        5 Tahun kemudian (1642) pecah lagi konflik besar, yang disebut sebagai perang Ambon jilid IV
3.        Dalam perang ini, Iha “tidak campur tangan” hingga tahun 1650, saat Iha bergabung dengan Kimelaha Majira, pengganti Kimelaha Luhu yang sebelumnya menggantikan Kimelaha Leliato
4.       Tahun 1651 – 1656 terjadi perang Ambon jilid V, dan tahun 1652 itulah kerajaan Iha runtuh. Tahun 1653, sebagian besar penduduk kerajaan Iha dipaksa meninggalkan negerinya dan berdiam di Seram Selatan, tepatnya tidak jauh dari negeri Latu.
5.        Beberapa Regent di Pulau Saparua pada periode ini (dalam tahun1636-1637)
a)       Orang Kaija van Itawaka : Patij Naij (Patinaya?)
b)      Pattij van Siri Sori : Herman
c)       Radja van Tuhaha : Pedro Mahubesij
d)      Pattij van Haria : Anthoni


Catatan Kaki
1.       kira-kira 1360 Kg, 1 Pound sama dengan 0,45359237 kilogram
2.       Radja Soya pada masa ini adalah Laurens da Silva
3.       “regent” negeri Ema pada tahun ini adalah Simau Ema
4.       Orang kaija Urimesing pada saat ini Jan Tampesij/Tambesij
5.       Orang Kaija Wakasihu pada tahun ini adalah Naucolia
6.       Orang Kaija Alang pada tahun ini adalah Pedro
7.       Orang Kaija Hutumuri Don Pedro kemudian digantikan oleh Laurens Patiusen
8.       Knaap menggunakan kalimat puitis dalam teks inggrisnya : was “buried in the darkness of the sea” dikuburkan/terkubur dalam gelapnya samudera.
9.       Kami memberanikan diri menerjemahkan kata “warriors” yang dipergunakan oleh Knaap pada artikelnya. Ia menulis : a group of 170 Alifuru warriors......kami melakukannya dengan pertimbangan, mungkin kata “kapitan” lebih “cocok” dibandingkan dengan misalnya kata “ prajurit/pejuang”. Kata kapitan menurut kami lebih “familiar” dengan konteks orang Maluku, khususnya Ambon –Lease yang merujuk pada atau dikaitkan dengan Alifuru)
10.     secara jujur, sampai saat ini, kami tidak mengetahui banyak tentang penduduk Tuhaha yang bernama Labo atau Lobo yang dimaksud oleh Knaap ini. Namun sumber dari Justus Heurnius, menulis namanya sebagai Pati Lobo. Ia disebut sebagai twede hooft Touhaha, yang kami artikan sebagai pemimpin kedua Tuhaha atau mungkin, sekali lagi ini mungkin, dugaan kami, ia seperti tokoh “oposisi”. Dugaan kami berdasarkan pembacaan terhadap surat Heurnius yang menyebut Pati Lobo, beberapa tahun sebelumnya berpindah keyakinan menjadi seorang muslim dan lebih condong atau bergabung dengan kelompok “pemberontak” negeri Iha. Konteksnya kemudian berujung pada “pertobatan” Pati Lobo setelah Iha memutuskan berdamai dengan VOC. Konteks ini yang menjadi background dari “pertobatan” seperti yang disebut Knaap. Ia menulis seperti ini : As far as the Christians on Saparua were concerned, Van Diemen's only task was to give presents and compliments to the chief of Tuhaha and to witness the return to Christianity of the most prominent dissident of Tuhaha, a certain Labo or Lobo.
11.       Izinkan kami menjelaskan sedikit, tidak bermaksud sok tahu atau “mencampuri” sejarah negeri lain, hanya menjelaskan berdasarkan pembacaan terhadap arsip dan sumber........ jika dilihat nama Patih Siri Sori yang bernama Herman, kita secara langsung mengetahui itu nama seorang Kristen, ya memang benar... Pendeta Justus Heurnius yang bertugas di Saparua dalam tahun2 itu (markasnya di Ullath) menyampaikan dalam suratnya dan mendeskripsikan bahwa di negeri Siri Sori, setengah penduduknya beragama Muslim. Heurnius menulis seperti ini : Op Sirisory sijn de helft van outs Mahometisten, ende hebben een Moorse Priester ende tempel, doch leven vresamelic met de christenen........dst. kira-kira terjemahannya : di negeri Siri Sori, setengah penduduknya beragama Muslim, di situ juga (maksudnya pada komunitas Muslim) ada seorang pendeta agama (maksudnya ustad/ulama) dan sebuah masjid. Mereka hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen.
Dari sumber ini, maka kita bisa berasumsi, jika Patih Herman, adalah pemimpin dari komunitas Kristen di Sirisori itu. Mungkin karena pertimbangan “agama” yang sama, maka tentunya VOC lebih banyak berhubungan dengan komunitas Kristen. Jadi wajar jika dalam arsip VOC, Herman disebut Patih Sirisori.
12.    Joan (Jan) Pays menjadi Secretary van Laandrad dimasa ini
13.      (Knaap didalam artikel ini, tidak eksplisit menyebut kapan Johan Ottens dilantik menjadi Gub VOC Ambon menggantikan van Deutecom. Menurut sumber dari Rumphuijs, Johan Ottens secara resmi menjadi Gub pada tanggal 17 Mei 1637)
14.     turut pula dalam rombongan itu, Gub VOC Ambon yang lama,  Jochum Roelofs van Deutocom.Menurut W.Ph Colhaas dalam GM vol 1 pada catatan kaki tentang Jochum Roelofs van Deutocom,  8 bulan kemudian, bulan Februari hingga Agustus 1638 ia dipercayakan menjadi komisaris yang bertugas di Aceh. Tahun 1646 ia menjadi anggota Raad van Indie, tahun 1648 ia menjadi Presiden Weesmester (Lembaga/DewanPenguru Yatim Piatu yang bertugas mengurus anak-anak yatim piatu asal Belanda),  setahun kemudian, pada bulan Juli 1649  ia meninggal di Batavia.
Johan Ottens sendiri bertugas hingga meninggal di Ambon tahun 1641 dan dimakamkan di Ambon


Pada artikel ini Gerrit J Knaap menggunakan referensi :
1)          Bartels, D. 1977. Guarding the invisible mountain. Intervillage alliances, religious syncretism and ethnic identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas. Ph.D. dissertation, Cornell University.
2)         Colenbrander, H. T., ed. 1899a. Daghregister gehouden int Casteel Batavia
vant passeerende daer ter plaatse als over geheel Nederlandts-Jndien Anno
1636.
's-Gravenhage.
---. 1899b. Daghregister gehouden int Casteel Batavia vant passeerende daer ter plaatse als over geheel Nederlandts-lndien Anno 1637. 's-Gravenhage.
3)         Enkhuizen 399. "Journael" of Governor-General Anthonie van Diemen's expedition to Amboina in 1637. Oud Archief Enkhuizen 399. Ms., West Friesland Regional Archives, Hoorn.
4)         Fraassen, Ch. F. van. 1987. Temate, de Molukken en de lndonesische archipel.
Van soa-organisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving
en cultuur in Indonesie, 2 vols. Ph.D. dissertation, Universiteit te Leiden.
5)         Heeres, J. E. 1907. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, vol. 1 (1596-
1650). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie 57
6)         Karlsruhe 480. Report of the Landdag 1637. Karlsruher Handschriften
480: l69r-189v. Ms., Badische Landesbibliothek, Karlsmhe.
7)         Knaap, G. J. 1987a. Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oost-Indische
Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696.
Verhandelingen van
het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125. Dordrecht.
---. 1987b. Memories van overgave van gouverneurs 1•an Ambon in de
zeventiende en achttiende eeuw.
Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine
Serie 62. 's-Gravenhage.
8)         Manusama, Z. J. 1977. Hikayat Tanah Hitu. Ph.D. dissertation, Universiteit te
Leiden.
---. 1983. G. E. Rumphius. Ambonsche Land beschrijving. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah, no. 15. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
9)         Rumphius, G. E. 1910. De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen.... Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-lndiii 64.
10)       Tiele, P. A., ed. 1886. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, vol. 1. 's-Gravenhage.
11)        Tiele, P. A., & Heeres, J. E., eds. 1890. Bouwstoflen voor de geschiedenis der Nederlanders in den
Maleischen Archipel, vol. 2. 's-Gravenhage.
12)       VOC 1114. Resolutions of the High Government in Batavia, from 5 December 1634 to 29 December 1635.
13)       Verenigde Oost-Indische Compagnie 1114: 96r-191v. Ms., General State Archives, The Hague.
VOC 1124. "Dagregister" of Jochum Roelofsz. van Deutecom, from 4 Decem ber 1634 to 31 January 1637. Verenigde Oost-lndische Compagnie 1124: 100r-240v. Ms., General State Archives, The Hague

1 komentar:

  1. Sekedar Masukan.
    Kakiali bukan Kimelaha. Yang memangku jabatan kimelaha di Hoamoal itu berasal dari keluarga Tomagola: Hidayat, Leliato, Luhu dst. Kakiali memangku jabatan Kapitan Hitu, menggantikan ayahnya, Kapitan Tepil (1602-1633).

    BalasHapus