Sabtu, 07 Desember 2019

Produk Tembikar dan Perdagangan di Maluku Tengah, Indonesia : Situasi Moderen dan Implikasi Historis


Oleh
Roy. F. Ellen dan Ian.C. Glover




Roy Frank Ellen


  1. Kata Pengantar

Selama ini, jika kita membicarakan  tembikar dalam konteks historiografi Indonesia, kita selalu merujuk pada sejarah Jawa.  Maksudnya adalah produk dan sejarah sekelilingnya, itulah yang kita banyak ketahui.  Namun tanpa disadari, mungkin sejak masa kecil hingga sekarang, pada konteks lokal di Maluku, khususnya di Maluku Tengah, kita familiar dengan obyek itu, meski hal itu dianggap sesuatu yang telah “biasa”. Negeri Ouw di pulau Saparua, selama ini dikenal sebagai salah satu negeri/desa yang  memiliki hak “prerogratif” dalam pembuatan tembikar. Pot, sempe balangan, forna sagu, dan bentuk-bentuk lain, telah kita kenal dan familiar dalam kehidupan sehari-hari orang Saparua.  Tapi, pernahkah kita berpikir sedikit lebih “kritis”, darimana “kepakaran” itu berasal?, apakah itu hanya melulu soal warisan “genetika” orang negeri Ouw? darimana teknik, gaya, peralatan, material yang digunakan dalam pembuatan tembikar itu?
Roy Frank Ellen seorang pakar Antropologi dan human ekologi berkolaborasi dengan Ian C Glover, seorang arkeolog menulis artikel ini untuk membahas persoalan itu. Artikel ini, memang telah berusia “mature”, ditulis hampir setengah abad lalu, tepatnya 45 tahun lalu, dan dimuat pada majalah Man, New Series, Volume 9 Nomor 3, edisi September 1974 pada halaman 353-379.  Pada kajian sepanjang 28 halaman, Ellen dan Glover menduga kuat bahwa tradisi pembuatan tembikar di Maluku, khususnya di Maluku Tengah, lebih kuno dari yang kita perkirakan selama ini. Mereka berdua membandingkan teknik pembuatan tembikar di Ouw dengan di Jawa, dan menyimpulkan bahwa unsur kekunoan teknik pembuatan di Ouw, lebih tua dibandingkan di Jawa, dengan melihat relief di candi Borubudur. Hipotesis ini, kemudian membawa asumsi yang mengarah kepada proses perdagangan lokal, perdagangan jarak dekat dan menengah, yang telah eksis, jauh sebelum pedagang Maluku mengadakan kontak dengan pedagang Jawa dan China. Gaya, dan corak tembikar yang kita lihat di masa kini, menurut analisis mereka adalah persentuhan dengan kontak luar itu, termasuk periode kolonial. Namun mereka juga mengakui, ada semacam “keanehan” untuk menyambungkan analisis dan dugaan mereka dengan bukti-bukti kesejarahan dan minimnya tinggalan arkeologis. Bukti-bukti sejarah dan tinggalan arkeologis seperti  bertolak belakang, dimana sepintas itu terlihat bahwa tradisi pembuatan tembikar di Maluku Tengah, barulah dikenal pada periode modern.

Saat membaca artikel ini, kami tertarik untuk menerjemahkannya, dengan pertimbangan bahwa harus ada perspektif lain untuk diketahui oleh kita, khususnya mengenai kajian tradisi pembuatan tembikar, sehingga tidak melulu tergantung pada sejarah “luar”.  Pada sisi yang “terdalam” dalam kajian ini, kami menemukan semacam “kunci” untuk memahami pola migrasi tentang asal usul leluhur-leluhur orang Saparua, terutama leluhur-leluhur negeri Saparua sendiri.  Pada salah satu bagian, Ellen dan Glover secara eksplisit menyebut bahwa damar atau Agathis Alba, yang digunakan di negeri Ouw itu berasal dari Papua. Selain itu, teknik pembuatan tembikar di Ouw lebih “kuno” dan mirip dengan di Melanesia. Bartels dalam bukunya menyebut bahwa leluhur orang Siri Sori itu berasal dari Onin Papuaa. Asisiten Residen van Saparua, W.J.M. Schmid dalam artikel panjangnya, menulis bahwa salah satu leluhur negeri Saparua, Rian Santuwa Titaleij berasal dari Nieuw Guineab, begitu juga yang ditulis oleh Adolf Bastianc.
Artikel asli yang kami terjemahkan ini, kami bagi menjadi 2 bagian, sehingga bisa dibaca dan diikuti dengan baik. Artikel aslinya, berisi 23 catatan kaki yang ditandai dengan angka, sedangkan catatan tambahan dari kami, ditandai dengan abjad.
Akhir kata, selamat membaca, selamat belajar sisi sejarah untuk memahami proses panjang sejarah sosial kita sendiri.........selamat...........

Penerjemah : Kutu Busu


  1. Terjemahan

Artikel  ini menyajikan suatu laporan deskriptif tentang produk tembikar era moderen dan perdagangan di (kawasan) Maluku Tengah (gambar 1) berdasarkan konteks arkeologis dan bukti kesejarahan tradisi pembuatan tembikar di Indonesia



I

Permasalahan

Haruslah diakui bahwa catatan arkeologis dari Indonesia, termasuk “miskin” tentang Maluku Tengah, yang sesungguhnya tidak cukup untuk menemukan  informasi awal tentang keramik dan teknologi yang melingkupinya atau perkembangan corak hiasannya. Meskipun eksavasi-eksavasi (penggalian) di Jawa, Bali, Sulawesi, Sabah, Flores, Timor dan Philipina menunjukan bahwa tradisi pembuatan tembikar telah menyebar luas di kepulauan Nusantara jauh sebelum permulaan era Kristen, tidak ada tembikar era prasejarah dari Maluku yang diketahui secara pasti1.  Pekerjaan arkeologis yang lebih intensif di wilayah Melanesia, khususnya di Timur Papua Nuigini dan pulau-pulau lepas pantainya, seperti Kaledonia Baru, Hebrides, Fiji dan bagian barat Polinesia mengarah pada kebenaran penyebaran tembikar ke arah timur dan selatan  yang diduga berasal dari kawasan daratan Asia,  dan bukti ini haruslah menjadi pertimbangan jika kita ingin “mengembangkan” suatu hipotesis mengenai tembikar era purbakala di Maluku.
Keterangan tentang produk dan perdagangan tembikar di era modern telah dikumpulkan oleh Ellen antara Desember 1969 hingga Mei 1971 di Seram, Ambon dan pulau Saparua. Penilaian terhadap tradisi kesejarahan (tradisi lisan dan catatan kolonial) yang diringkas di bawah nanti, dan pengujian tentang  kumpulan ukuran tembikar kontemporer dan teknik produksi, tampaknya memberi kesan bahwa sebelum kontak perdagangan umum Jawa dengan Maluku, yang mungkin dimulai pada abad ke-12, tidak ada tembikar yang dibuat di Maluku Tengah2, dan produk tembikar di masa sekarang, yang meliputi beberapa lokasi kecil di pulau Ambon, Haruku dan Saparua, hanya “menguatkan” bahwa itu merupakan hasil perdagangan dari Indonesia bagian barat. Pada sisi lain, bukti tentang tradisi tembikar era prasejarah di Sulawesi, Timor dan Melanesia memberi kesan bahwa sepertinya itu adalah akhir pengenalan pembuatan tembikar  sangat tidak mungkin, dan penyelidikan arkeologis di Maluku  pastilah akan mengungkap tradisi tembikar zaman pra-sejarah beberapa ribu tahun lebih tua daripada laporan-laporan awal kesejarahan. Bagaimanapun juga, tidak ada keraguan bahwa perdagangan intensif yang berkembang diantara kepulauan ini (Maluku Tengah) dan  orang-orang Jawa, India, Arab dan akhirnya Eropa  serta pedagang-pedagang lainnya mempengaruhi banyak aspek budaya lokal termasuk, mungkin bentuk-bentuk, teknik-teknik dan pola distribusi tembikar.
Dalam bagian berikut artikel, berisi uraian bukti sejarah dan arkeologis yang ditampilkan setelah deskripsi tentang masa kini. Akhirnya usaha yang dilakukan untuk membuat hipotesis yang lebih produktif  mengenai (proses) pengenalan tembikar ke Maluku yang bisa diuji oleh penelitian lapangan di masa depan.


II

Produksi dan Distribusi Tembikar masa kini di Maluku Tengah
            Dewasa ini produksi tembikar atau sempei-belangan3 di Maluku Tengah, terbatas pada hanya beberapa lokasi, khususnya pada negeri Ouw, sebuah negeri Kristen Protestan di pantai timur pulau Saparua (gambar 2). Penduduk negeri di sini percaya bahwa mereka selalu memiliki pengetahuan tentang (pembuatan) pot. Sedikit tembikar juga diproduksi di negeri Oma dan Aboru di pulau Haruku, meskipun barang-barang disini dianggap bermutu lebih “rendah” (Lies Resmol tahun 1973, komunikasi pribadi dengan Ellen). Di pulau Ambon, negeri Larike dan 2 negeri Muslim yaitu Mamala dan Morela (selanjutnya untuk sederhananya disebut Mamala  saja) di pantai barat daya pulau Ambon, juga memproduksi beberapa tembikar, dengan keahlian pada bentuk yang lebih khusus yaitu produksi forna (Ellen dan Glover menulisnya forma) cetakan sagu (lihat juga Van Ruinen n.d.: 25-6)4
            Terbatasnya produksi tembikar bisa merefleksikan, dalam beberapa bagian, yaitu terbatasnya kesediaan material tanah lempung  pembuatan pot, yang secara lokal disebut liat, tanah liat  atau batu tela, yang diperoleh dari beberapa tempat di dalam hutan.  Hal ini memunculkan bahwa negeri-negeri pembuat tembikar juga menjaga “hak warisan” keahliannya, dimana masing-masing desa/negeri yang menghasilkan produk-produk khusus, produk khusus itulah yang dianggap menjadi “hak prerogatif” atau “simbol” dari negeri itu, jadi negeri Ouw dikaitkan dengan tembikar dan sopi (palm-wine), dan negeri Ullath dikaitkan gula merah/gula aren (palm sugar) yang dibuat dari pohon aren (Arenga saccharifera). Usaha-usaha untuk memperkenalkan tradisi teknik atau “ilmu”  kepada negeri-negeri lain dapat dianggap sebagai pelanggaran hak (c.f Hutton 1951).


            Negeri Mamala berlokasi sangat dekat dengan pusat perdagangan historis yaitu Hitu5, dan produksi tembikar disini, mungkin berasal dari rangsangan  kehadiran pasar yang lebih dekat. Pada sisi lain, negeri Ouw di masa kini adalah penghasil paling besar, nyaris menguasai pusat pasar-pasar penting  di Ambon sendiri, dan wilayah-wilayah berpopulasi padat seperti Saparua, Haruku, Nusa Laut dan pantai selatan pulau Seram. Di sini, menjadi beberapa bukti tak langsung yang menunjukan bahwa negeri Ouw berhasil “mengalahkan” negeri Mamala dari penguasaan pasar, namun alasan untuk hal ini tidaklah jelas. Penyebab dari pra-keunggulan di pasar pada deskripsi berikut, umumnya berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Ouw.
            Pada masa sekarang, banyak transaksi-transaksi pasar dijalankan oleh para penghasil sendiri, atau oleh perantara/pedagang pada pusat-pusat penting di Saparua, Haruku dan Ambon, meskipun perdagangan juga dilakukan di negeri-negeri pesisir dari pulau Buru, Seram dan Ambon-Lease, dimana para pembuat tembikar sendiri atau pedagang memasarkan barang-barang mereka melalui perjalanan menggunakan perahu, kano atau orembai. Negeri-negeri pegunungan di pulau-pulau yang lebih besar atau pemukiman terpencil lainnya memperoleh tembikar dari titik perdagangan pantai yang lebih gampang dicapai/diakses.  Ambon-Lease juga merupakan sumber penting tembikar untuk Banda dan pulau-pulau lain di sebelah tenggara dan bagian utara Maluku, sejauh wilayah Vogelkop dan tempat-tempat lain di pesisir bagian barat pulau Papua.  Riedel (1886:66) mendokumentasikan/melaporkan perdagangan model ini yang “hidup” pada paruh kedua abad ke-19 dan menyatakan bahwa orang-orang Jawa, Makasar, dan pedagang-pedagang lainnya yang bukan Maluku, ikut terlibat.  Meskipun skala perdagangan jenis ini menurun, akibat gempuran peningkatan ketersediaan material-material impor dan penggantinya (misalnya plastik, aluminium, glasir), tidaklah beralasan untuk menduga bahwa perdagangan tembikar mengalami perubahan “dashyat” sejak saat itu.
            Tembikar semata-mata merupakan domain wanita, dan tembikar juga bisa dihubungkan dengan pelanggaran sanksi –sanksi ritual (pemali)  dimana merupakan rahasia jika para lelaki “mengetahui”nya :  para lelaki umumnya bahkan tidak diperbolehkan untuk sering kali ke tempat dimana tanah liat diambil/diperoleh.  Gadis-gadis muda yang baru memulai membuat tembikar, belajar membuat versi-versi mini dari versi yang lebih besar dan beragam  objek baru misalnya jambangan bunga (fas bunga). Kira-kira 15 tahun, mereka umumnya sangat ahli.
            Tanah liat dan “pasir” putih6 halus dikumpulkan kedalam keranjang (niru) oleh wanita dari berbagai tempat di hutan terdekat. Disitu hanya sedikit dalam pembuatan tanah liat daripada pemindahan beberapa material “asing”. Banyak waktu diperlukan dalam pemilihan tanah liat yaitu proses pencampuran dengan sedikit air, sebelum pasir yang mengandung zat kapur diayak kedalam campuran itu, dimana proses ini disebut pasir goyang. Ayakan (goyang, penapis) adalah keranjang yang dasarnya berlubang-lubang, dan pasir yang ditambahkan menjadi seperti tidak liat dan lebih “padat”. Tubuh tanah liat dibentuk dengan cara menjepit, mencampur, meremas dan mengolah dengan tangan, yang dilakukan dengan bertenaga dan terus menerus sekitar 10 menit (tanah campur). Tempurung kelapa dan mangkok tembikar digunakan untuk “pengisi” dan bejana-bejana rusak atau yang tidak digunakan (umumnya sempei) dipakai sebagai penadah air. Tanah liat yang telah “jadi” ditempatkan papan kayu yang lebar dan bundar, dan siap digunakan.
            Sebuah pot dimulai dengan menempatkan gumpalan tanah liat yang telah “jadi” diatas papan kayu tipis atau papan, yang berputar di atas belahan kayu halus dari batang pohon (bola) dengan membentuk meja kaku terbalik yang berputar di dalam terminologi Foster (1959) (gambar 3).  Pembuatannya dilakukan dengan keahlian  menggunakan telapak tangan, kepalan dan jari-jari tangan, dan memutar papan dengan tangan pada bola umumnya searah jarum jam. Sepanjang proses pembentukan, tanah liat selanjutnya ditambahkan dengan cara menempatkan potongan-potongan tanah liat dengan arah berputar/bergulung ke dalam lingkaran dengan posisi yang pas untuk membentuk dinding bejana. Pembuatan bejana, mungkin menghabiskan  waktu lebih kurang 30 menit, dan umumnya dilakukan di tempat rindang, di depan rumah atau berandah. Para pembuat duduk dengan posisi jongkok dan bekerja di atas lantai. Wadah berbentuk bola dihasilkan dengan cara menempatkan landasan batu kerikil (batu) kedalam bejana dan menggunakan pemukul kayu yang rata (pukul, pukul belangan) pada sisi bagian luar, suatu proses untuk mengeraskan dan menguatkan tanah liat. Hal ini umumnya dilakukan dengan menaruh bejana dipangkuan para pembuatnya daripada di atas papan. Kadang-kadang bagian dari proses ini dibantu oleh para pembuatnya yang duduk pada pelepah daun sagu. Paling umum itu dilakukan dengan posisi berlutut. Batu-batu juga digunakan dalam  pembentukan dan tujuan penghalusan lainnya, serta potongan kecil belahan bambu (bulah) digunakan untuk menggores “serampangan” dan membentuk “urat-urat” pada tanah liat. Bagian permukaan akhirnya dibakar pada sisi luar dengan kulit kerang (huli) yang juga mengakibatkan perpindahan sisa pasir, tanah liat atau kotoran, suatu teknik yang digambarkan sebagai kikis (scraping). Spesies-spesies  kulit kerang yang diperoleh di negeri Ouw, berasal dari spesies Cypraea arabica dan Amphiperas ovum. Kami tidak tahu, proses pengilapan  yang dilakukan itu berfungsi untuk apa atau itu murni hanyalah alasan-alasan estetika, dimana pot-pot air yang sesuai permintaan misalnya  seperti belangan, pelapisan  dengan damar dilakukan , seperti yang digambarkan dibawah ini. 


            Tahapan selanjutnya tergantung pada tujuan barang-barang ini dibuat, namun sering berhubungan dengan “penyemburan” warna merah (haka kau, tanah merah). Pot-pot siap dibakar kemudian dijemur sesaat (antara setengah hingga 1 jam) dan kemudian dihaluskan dengan menggosoknya menggunakan daun pisang kering.  Jika sebuah belangan dibuat, bejana setengah jadi itu permukaannya masih kasar, kemudian dikeringkan sebelum dibakar pada tahap akhir proses.
            Pelapisan damar agar bejana tidak bocor/merembes (ule, halasir, rengas) dilakukan , yang diperoleh dari pohon damar (Agathis alba), terkhususnya warna putih atau terang yang dikenal sebagai dammar putih. Damar dihancurkan menggunakan batu yang berat diatas daun pisang, sebuah papan, atau pakaian bekas, dan hasilnya dikumpulkan di wadah yang lain, biasanya di wadah bekas, siap untuk dipakai.
            Awalnya perdagangan damar secara aktif berlangsung antara Seram dan Ambon-Lease, dipakai dalam proses pembuatan tembikar, atau diekspor ulang ke tempat-tempat lain, namun di masa kini, perdagangan itu telah menurun, dan masyarakat Alifuru telah mencari cara lain untuk mendapatkan uang. Dammar masih tetap diperdagangkan oleh suku Alune di Seram bagian barat, melalui Piru ke Mamala. Namun, hampir semua dammar yang digunakan di Ouw di masa sekarang, diperoleh dari pasar di Ambon dan aslinya berasal dari Irian Barat7.
            Pada langkah-langkah proses pembakaran, susunan kayu dibuat di atas 4 batu kecil yang terpisah sekitar 1 meter, dan pada bagian atasnya, ikatan-ikatan kayu itu diletakan dengan posisi tunggal. Kayu bakar umumnya dari bambu, yang dikumpulkan dan dipotong oleh perempuan. Periuk-periuk diatur dengan menempatkannya pada bagian tengah yang tegak lurus dengan “kayu api” dengan bambu yang selanjutnya, dan umumnya daun yang panjang (atap) dari daun sagu, yang dibakar secara cepat dan sangat panas. Proses pembakaran hanya dilakukan pada jumlah kecil, hanya 4 periuk dalam sekali bakar dan kira-kira selama 10 menit. Selama pembakaran, api tetap dijaga agar tidak “keluar” dari tungku pembakaran. Biasanya, menurut para informan, 1 kali pembakaran menghasilkan 24-28 periuk dan memakan waktu antara 1 – 2 jam. Periuk-periuk yang dibakar itu, berwarna coklat kemerahan dengan garis-garis gelap yang dihasilkan oleh pembakaran yang tidak merata serta akan diangkat dengan menggunakan kayu panjang dari pelepah daun sagu. Kemudian bubuk  dammar segera digunakan pada tembikar yang masih panas serta menggosoknya disekeliling sisinya hingga melekat seperti cairan lengket, atau lebih gampangnya digosok diatas tatakan balok. Retakan-retakan kecil atau lubang yang terjadi selama pembakaran, ditutup dengan dammar pada tahap ini, meskipun jarang ditemukan “kegagalan” dalam proses ini, karena pengisi pasir telah dicampur dengan tanah liat secara hati-hati sehingga menciptakan celah yang akan menahan perubahan temperatur secara cepat selama pembakaran.
            Adakalanya desain sederhana menggunakan bahan yang sederhana yaitu kapur, kapur mati, yang digosok pada bibir atau sisi periuk sebelum dibakar (plate 1a), namun cara ini tak diuraikan, seperti yang ditemukan dari Kei (Wagner 1959:49, lihat juga plate 1b, yang asalnya tidak diketahui).
            Bukti-bukti yang digambarkan sebelumnya bahwa tembikar yang dibuat dewasa ini di Maluku Tengah dapat digambarkan menggunakan temperatur rendah, proses oksidasi tembikar dihasilkan oleh “api unggun”. Batu pembakaran atau tempat pembakaran dengan temperatur tinggi serta dengan menggunakan kacamata pelindung, tidaklah dikenal disini seperti yang tersebar di timur pulau Bali atau selatan Philipina. Meskipun tidak ada analisis mendetail soal jenis yang dikumpulkan atau material “kasar” yang digunakan oleh para pembuat tembikar di Maluku, kami dapat dengan pasti mengatakan bahwa tanah liat “murni” yang mengandung paling banyak atau 3 jenis mineral tanah liat (Shephard 1965 : 8) dan yang telah bercampur dengan pasir menjadi paling terbaik seperti mirip tanah liat yang “ringan”, dan itu  lebih baik daripada yang digunakan oleh pembuat tembikar dalam budaya teknik pembuatan yang lebih maju.


III

            Jika kita melihat penyebaran beragam elemen teknik pembuatan tembikar di Indonesia yang dikumpulkan oleh Gasser (1969 : Plan 1), kita menemukan bahwa teknik yang digunakan di Maluku Tengah, yang juga umumnya dilakukan di pulau-pulau dekatnya, sangat berbeda jauh dengan elemen penting dalam teknik yang digunakan di Jawa.  Di Maluku, seperti juga hampir di mana-mana di Indonesia, bahwa hanya para perempuan yang membuat tembikar, namun titik penting perbedaan  yang dapat dicatat adalah bahwa semua contoh-contoh di Jawa yang dikutip oleh Gasser, dimana metode pembuatan dan pembakaran digambarkan menggunakan roda-roda cepat yang “sederhana” dengan salah satunya terus menerus bergerak atau menggunakan poros yang berputar, serta juga menggunakan alat pembakaran tertutup. Akan tetapi, Gasser seringkali dikritik pada kajian etnografisnya dan sumber-sumber kesejarahan yang digunakan, khususnya data-data dari Jawa Timur sangatlah “buruk” (Gasser tidak menyebut penjelasan dari Snelleman (1919:491) tentang jambangan-jambangan melingkar), mungkin sebaiknya tidak mengharapkan terlalu banyak untuk menggunakan penjelasan demikian dalam usaha untuk menilai kekunoaan dan keaslian barang-barang yang ada di Maluku.  Yang dapat dinyatakan adalah bahwa teknik-teknik “lanjutan” seperti itu muncul di Jawa belakangan, dan tidak dibawa oleh para pelaut yang melakukan perdagangan antara Majapahit dan Maluku. Tidak ada kajian tembikar Jawa periode ini yang kami ketahui, namun tampilan sepintas pada relief-relif di candi Borobudur memberi kesan bahwa tembikar-tembikar Jawa abad ke-9 dibuat menggunakan teknik tongkat dan landasan/paron (Bernet Kempers 1970: pls, 180-I).
            Saat kita memeriksa kumpulan tembikar yang dibuat di Maluku Tengah, bentuk-bentuk moderen dan tradisional nampak terlihat jelas. Dikarenakan kami  menitik beratkan pada aspek etnografis daripada aspek contoh-contoh arkeologis tembikar Maluku, misalnya sejumlah kecil dari semua kumpulan barang itu telah diketahui atau berhubungan dengan fungsi-fungsinya, sehingga kami menggolongkan benda-benda itu dalam kategori bentuk dan fungsi8. Kelompok pertama dari tembikar-tembikar yang kami punyai memiliki bentuk-bentuk terbuka (Shephard 1965:228) yang digunakan dalam penyiapan makanan, untuk makan, namun jarang digunakan untuk menyimpan makanan atau benda-benda cair atau untuk memasak. Pada kelompok ini, kita dapat memasukan  mangkuk-mangkuk (sempei, gambar 5 dan 14), piring-piring (teloi, piring makan, gambar 6), lesung/lumpang-lumpang dan alu (cobe, muntu, gambar 7), piring-piring kecil atau mangkuk (mangku kwa, mankwa, mangkok, gambar 8), juga sejumlah barang-barang  yang nampak dibuat akibat persentuhan dengan gaya hidup kolonial Belanda, misalnya tempat abu, pot-pot bunga dan cetakan untuk membakar roti dan kue (lempengan 1c). 


            Pada tahap ini, hanya sedikit yang seharusnya dapat disebutkan  tentang kategori terakhir yang disampaikan di atas. Hal itu memungkinkan bahwa inovasi  dari bentuk-bentuk demikian diperoleh dari peniruan dari barang-barang yang diperkenalkan sebagai bentuk tanggapan dari persaingan yang datang dari luar, serta penambahan dalam penyediaan terhadap kebutuhan-kebutuhan baru akibat pengaruh dunia kerumahtanggaan orang Eropa (c.f. Nicklin 1971: 20). Koleksi museum Belanda yang berupa tembikar-tembikar Ambon terdiri dari banyak item dari jenis ini. Koleksi museum Roterdam terdiri dari ceret air, teko, kendi, panci, mangkuk, panci pembakaran, anglo, ceret kopi, cetakan untuk kue kismis, cangkir teh, piring cawan, dan mangkok rebusan telur (seri dari RMV 203 dan RMV 229)9. Suatu seri di Museum Leiden (lihat lempeng 1c dan 1e, gambar 9 dan 10) dibuat dalam bentuk mirip, namun juga termasuk tambahan tipe seperti jambangan-jambangan, tutupan, kendi air, model penyuling arak/tuak, serta baskom cucian, yang merupakan bentuk-bentuk kuno lainnya (spesimen 370.2052-370.2053, 370.2055-370.2060, 370.2074-370.2076, 1971.444-1971.444a)10.  Pada masa kini, bentuk-bentuk itu tidak banyak diproduksi lagi, dan mungkin itu disebabkan jenis-jenis demikian sebagian telah digantikan oleh jenis porselin atau barang-barang import lainnya, sehingga tak dapat dipercaya, bahwa barang-barang itu pernah dibuat dalam skala yang lebih besar. Hal ini dikomentari oleh ibu Veldhuisen-Djajasoebrata (komunikasi dengan Glover tahun 1972), bahwa kepingan-kepingan itu “dibuat secara serampangan” dapatlah dipahami/diterima. Dalam sikap menghormati ini, koleksi-koleksi museum yang memuat tembikar-tembikar Maluku Tengah tidaklah terwakili menurut perbandingan sebenarnya dari produksi jenis-jenis yang berbeda.
            Diantara bentuk-bentuk tertutup ada bentuk kendi air (belangan, gambar 4), termasuk varietas berleher panjang, gindi (gambar 9), belangan kukus/dangdang (gambar 11) yang juga digunakan untuk merebus singkong/ubi kayu. Ada juga beragam periuk untuk memasak seperti panci atau tajela, dan barang-barang untuk menghidangkan (basi), yang secara umum disebut sebagai ketel tanah (gambar 12, lempeng 1d). Bentuk tutupan mungkin tiruan dari bejana-bejana porselin China. Kendi siraman atau ceret (gambar 13) mungkin berasal dari kendi Jawa atau dari berbagai tempat lain di Asia Tenggara, dimana bentuk ini tersebar luas.
Dalam kajian soal aspek fungsional dari tipologi tembikar, adalah hal penting untuk mengingat bahwa sagu adalah faktor signifikan dalam soal makanan di seluruh Maluku, dimana pohon sagu (Metroxylon sagu) tumbuh berlimpah ruah pada wilayah rendah berpaya-paya.  Pada banyak wilayah, sagu masih disiapkan  (meskipun tidak selalu) tanpa bantuan perkakas tembikar, dengan cara membungkus tepung basah dengan daun hijau dan memasaknya menggunakan panasnya api dari bakaran bambu atau memasukannya kedalam bambu dan membakarnya sehingga menghasilkan sagu buluh, atau mencampur tepung kering dengan kenari (Canarium commune) dan membakarnya dengan bantuan batu yang panas. Akan tetapi, cara yang paling umum, sagu dihidangkan di wilayah Maluku Tengah dan sering disebut papeda: tepung basah yang dicampur dengan air panas dalam wadah dari jenis lain selain dari tembikar, khususnya terbuat dari pelepah pohon sagu atau dari bambu.  Meskipun begitu, penggunaan tembikar  memiliki kelebihan  yang dilapisi oleh damar, sehingga menyempurnakan barang-barang itu  dalam hal menghidangkan papeda, dibandingkan dengan wadah dari jenis lainnya.  Tanah liat/lempung memiliki sifat kekenyalan dan kuat, sehingga dapat digunakan untuk membuat wadah dari berbagai  ukuran dan bentuk.


Hal demikian menampilkan bahwa sempei diadaptasi secara khusus untuk menghidangkan papeda, dimana kedua bentuk itu telah disebutkan serta bentuk yang lebih “khusus” adalah sempei pinggir (gambar 14). Dalam kenyataannya, orang-orang Ambon tetap menggunakan sempei sebagai wadah khusus untuk papeda. Namun ada hal yang lebih menarik lainnya yaitu forma/forna, cetakan sagu atau oven (dari kata Belanda, vorm), yang kadang-kadang disebut batu kosong (lempeng 1f)11. Cetakan-cetakan tembikar muncul secara umum di  wilayah pesisir Seram minimal pada pertengahan abad ke-19, saat barang-barang itu digambarkan dalam deskripsi pemrosesan sagu oleh Wallace (1962 (1869): 291). Sempei dan sempei pinggir, dari seluruh bentuk tembikar Maluku Tengah merupakan subjek  paling banyak dari segi ukuran.
Sebelum kita mempertimbangkan bukti-bukti kesejarahan tentang perdagangan orang-orang Jawa dan Maluku, adalah hal penting untuk memahami luasnya penyebaran  teknik tembikar di masa lalu.  Kadang-kadang hal demikian  (e.g Wagner 1959 :60-I, Loeber 1915) menyatakan bahwa alasan mengapa tembikar tidak berkembang di beberapa tempat di Indonesia, disebabkan oleh banyak wadah “asli”  untuk membawa, menyimpan dan memasak telah tersedia. Pada akhirnya pastilah hal itu tidaklah cukup benar  untuk menjelaskan kumpulan wadah-wadah organik yang mirip, dimana bambu dan lainnya paling signifikan, serta tersebar luas dari India melalui daratan Asia Tenggara, China dan dan Jepang, serta memasuki wilayah tropis Amerika Selatan/Latin.  Dan di China, suatu wilayah yang paling banyak dijadikan contoh, tembikar berkembang menuju tercapainya standar estetika dan teknik tertinggi.  Pada sisi lain, wilayah bagian timur Polinesia yang miskin secara botanis, tradisi tembikar periode awal dan kelanjutannya, sangat “asing” atau tak diketahui (Sinoto 1968 :114-115). Merupakan hal yang sangat meragukan, bahkan jika suatu kasus dapat menjadi lebih daripada kurangnya keaslian diantara tradisi tembikar di Indonesia. Gasser (1969 : 156-159) mendaftarkan lebih dari 120 lokasi dimana tembikar dibuat tercatat, juga termasuk beberapa pada hampir semua wilayah utama. Memang benar,kita  juga menyampaikan bahwa Gasser tak bisa dikritik/disalahkan tentang sumber-sumbernya, dan terkadang tidak akurat, namun hal ini umumnya dapat dipahami.  Pada Timor Portugis (Timor Leste) sebagai contoh, Gasser hanya menyebut 2 lokasi dan 3 sumber untuk informasi perencanaan 1 miliknya,  Timor Timur dan desa Baguia (nos 46 dan 47; 48 untuk penduduk utara Belu, lokasinya keliru).  Namun Jardim (1903-1904) melampirkan beberapa tempat yang tidak disebutkan oleh Gasser, dan sepanjang pekerjaan arkeologis tahun 1966-1967, Glover mencatat kurang lebih 10 desa pembuat tembikar lagi, yang salah satunya sekarang telah dicatat (Glover 1968). Hal yang sama juga, saat kunjungan Ian Crawford dari Museum Western Australia (komunikasi peribadi dengan Ellen tahun 1971) mengindikasikan bahwa produk tembikar lebih meluas pada wilayah kepulauan Kei dan Aru daripada yang Gasser usulkan.
Saat kita mengamati situasi di Maluku Tengah dan Utara (lihat gambar 1), akan tetapi peta distribusi/penyebaran milik Gasser, terlihat sangat “kosong” dan kami tak bisa menemukan lokasi-lokasi tambahan terpisah dari munculnya tembikar di Morotai yang juga dirujuk1. Ia mencatat bahwa pusat-pusat tembikar ada di Ambon dan Saparua yang digambarkan dalam artikel ini (1969 : rencana 1, nomor 56), tetapi penempatan anak panah di Seram Tengah (41c) untuk hal ini, tak ada bukti menurut sumber yang dikutipnya (Sachse 1907 : 121-122)12. Ia hanya melampirkan  bejana tunggal yang dikaitakan dengan satu tempat dari kepulauan Raja Ampat (Misool, 1958), yang sekarang ada di koleksi milik Museum voor volkenkunde Roterdam (namun lihat catatan kaki no 13), dan meskipun ia mengklaim produksi tembikar untuk Watubelo, menurut sumber yang dikutipnya sebagai contoh (Riedel 1886 : 203 -204) tidak menyebutkan apapun tentang subjek itu, walaupun itu ada dalam daftar bejana-bejana diantara jenis-jenis yang didatangkan/diimpor.  Ia tidak menyebut tembikar di pulau Buru, dan di Maluku Utara hanya pulau Mare, pulau kecil di pantai barat Halmahera (59) yang kelihatan memiliki tembikar.  Faktanya, Gasser tidak menyebut apa-apa mengenai wilayah ini, yang merupakan pusat penyebaran pembuatan tembikar, yang telah dipublikasikan lebih dari 40 tahun lalu oleh Schurig (1930 : Peta 1).
Ada juga beberapa bukti yang menunjukan bahwa tradisi tembikar di Ambon dan Saparua masa kini, tidak memiliki sifat-sifat kekunoan yang hebat, Cooley (1962 : 17) dan yang lainnya berpendapat bahwa hadirnya penduduk pada wilayah ini, datang dari Seram bagian barat kira-kira awal abad ke-15, dan kita tak bisa menemukan penyebutan produksi/pembuatan tembikar dari Seram. Referensi Gasser tentang kejadian di Seram Tengah, seperti yang kami utarakan pastilah merupakan kesalahan, dan laporan ekspedisi Frobenius tahun 1937-1938 ke Seram dan Papua Nuigini barat, tidak mendeskripsikan tentang tembikar, meskipun data etnografis yang sangat kaya dikumpulkan di sana. Jensen (1948 : 30) secara khusus menerangkan bahwa penduduk suku Wemale di Seram Barat kurang memiliki pengetahuan dalam hal pembuatan tembikar14.
Tidak adanya dokumentasi terbaru, bersama dengan kuatnya bukti sejarah tentang perdagangan, yang berarti bahwa kemungkinan tidak adanya tradisi asli/kuno pembuatan tembikar di Maluku Tengah, haruslah minimal dianggap serius.
Jika kita mengamati situasi di Melanesia, kita bisa memperhatikan suatu kemiripan, yang dapat membantu menjelaskan “kacau “ dan tidak “sempurnanya” penyebaran  tembikar di timur Indonesia. Di Melanesia, mungkin hal yang benar untuk mengatakan  pembuatan tembikar, penyebarannya sebagian besar dilakukan di pesisir (Schurig 1930 : peta 2, Tuckson 1966 ), meskipun tembikar-tembikar itu memiliki sifat kekunoan yang luar biasa di banyak tempat, seperti yang akan kita tunjukan pada bagian kedua dari akhir artikel ini.  Tembikar menempuh beberapa jalur memasuki wilayah sungai Sepik dari pantai utara Papua Nuigini, namun jarang  memasuki wilayah dataran tinggi, terkecuali di wilayah bagian timur (Coutts 1967, Watson 1955 ), atau seperti pola perdagangan yang sporadis/kadang-kadang. Lagipula hal ini merupakan pola kuno yang terjadi di wilayah timur dan tengah dataran tinggi pada periode akhir masa pleistosen, dan masih juga ada tembikar yang munculnya jarang bahkan di bagian baru pada situs-situs yang sepanjang ini telah dieksavasi/digali (White 1972 : 142 – 143 ). Seperti umumnya di wilayah pesisir, pada banyak kasus tembikar dibuat pada pulau-pulau kecil lepas pantai, daripada hunian-hunian di pulau utama, misalnya pulau Sekar dan Arguni di teluk MacCluer (Roder 1959, Schurig 1930 ), Doreh, Rooon dan Japen di wilayah teluk Geelvink, Tumleo dan Seleo di pesisir Maprik, Togain, Bila dan Jambon, Bilibili di teluk Astralobe, Rooke di selat Vitiaz, Danila, Godenough dan kepulauan Amphlett, Misima, Utian, Tubetube dan Teste di Massim, serta Mailu di pesisir tenggara Papua Nuigini. Faktanya, dari 73  pusat tembikar yang didaftarkan oleh Schurig, 23 tempat berada di pulau-pulau lepas pantai : suatu perbandingan yang tidak cocok dengan penyebaran populasi, bagaimana pun juga hampir pasti, sumber-sumber tanah liat, meskipun pada akhirnya sulit ditunjukan.  Tembikar di Papua Nuigini, dibuat untuk diperdagangkan, dan beberapa desa pembuat tembikar memenuhi kebutuhan pasar di wilayah pedalaman mereka. Pelayaran perdagangan besar dari Bilibili, Mailu dan Porebada mungkin merupakan yang paling terbesar, yang dilakukan dengan armada kano berlambung besar mereka membawa ribuan bejana (Groves 1960 : 8-10), namun etnografis Melanesia menunjukan bahwa produksinya berupa barang-barang khusus untuk pasar-pasar yang jauh tersebar dan berkembang luas (Brookfield dan Hart 1971 : 314-332).
Bukti-bukti menunjukan bahwa jenis perdagangan jarak jauh ini bukanlah perkembangan yang baru-baru saja. Hal ini sekarang telah diketahui bahwa obsidian (kaca vulkanik) yang digunakan berasal dari periode paling awal kira-kira milenium pertama sebelum masehi (BC), yang berasal dari Talasea di semenanjung Willaumez Inggris hingga pulau Watom, dari Ambilie di Irlandia hingga wilayah Buka di Solomon hingga Gawa, satu dari pulau-pulau karang kelompok  Santa Cruz  di wilayah kepulauan Solomon bagian timur; yang jaraknya berturut-turut 270,500 dan 2000 kilometer dari sumber kaca vulkanik (Ambrose & Green 1972 : 31). Masyarakat Melanesia yang terpencil, meskipun seringkali berperang antar mereka, terhubung secara sosial, politik dan ekonomi melalui perdagangan, dan ritual serta sanksi-sanksi adat melindungi  sistim monopoli dari desa-desa lain dari produksi khusus mereka seperti : tikar, kampak batu, tong kayu, mangkuk, kaca vulkanik, gelang tangan dari kerang, hartal/oker, tembikar, sirih, kapur, babi, keladi, sagu, ubi rambat dan lain-lain. Pada saat  mata rantai timbal balik ini hancur , maka yang baru tercipta, namun kerja-kerja arkeologis di Melanesia sejak awal menunjukan bahwa  wilayah ini termasuk  “istimewa”, yang dapat direkonstruksi dari tembikar, tetap berlangsung melampui periode-periode yang panjang (Egloff 1971 : 133-134, Lauer 1970 : 216), dan hal ini menunjukan bahwa (lihat Brookfield dan Hart 1971 : 332) jaringan perdagangan Melanesia berfungsi pada tataran  yang lebih tinggi yaitu aspek kemanfaatan, sosial dan peranan politik serta menjaga keseimbangan antara penduduk dan sumber-sumber penghasilan. 


Tidak hanya rapatnya penduduk yang menghuni  wilayah pegunungan Papua dan besarnya ketiadaan tembikar, tetapi juga di wilayah pesisir selatan Papua, lebih dari 1500 mil dari kepulauan Yule ke Fakfak (selatan teluk MacCluer) itu, ada bukti bagus untuk menunjukan bahwa pada masa lalu baru-baru ini, tidak ada tembikar yang dibuat.  Barang-barang dari Arguni dan desa Motu dapat dicapai oleh masyarakat  hanya pada 2 ujung ekstrim pesisir ini.  Meskipun begitu, kerja arkeologis di kepulauan Yule dalam teluk Papua oleh R. Vanderwal dari Universitas Australia Nasional menunjukan bahwa tradisi tembikar telah ada hampir 2000 tahun yang lalu  (Vanderwal 1973, komunikasi pribadi kepada Glover). Solheim (1952 : 2) mencoba untuk menjelaskan  tak meratanya distribusi tembikar di Papua, menjelaskan ada 2 faktor utama yaitu : terbatasnya sejumlah tempat untuk mendapatkan tanah liat yang baik untuk tembikar, serta fakta bahwa di masing-masing pusat hanya ada beberapa keluarga, dan secara tradisi hanya para perempuan yang yang membuat tembikar. Epidemis/Wabah atau penyerangan oleh tetangga-tetangga yang bermusuhan mungkin dengan mudah menghancurkan tradisi pembuatan tembikar di desa-desa kecil, serta kebiasaan, sanksi adat dan kewajiban yang sering menjalin dengan aktivitas ekonomi di Melanesia dapat mencegah para pembuat tembikar baru atau desa-desa lain yang tetap bertahan hidup dengan keahlian mereka.  Namun pada faktanya, penggunaan tanah liat tidaklah terbatas, hampir sebagian besar rawa-rawa mangrove atau lembah-lembah sungai tua dapat menyediakan tercukupnya tanah liat untuk barang tembikar yang dibakar dengan pengapian rendah, bahkan penambahan sengaja pengisi tanah liat, ketersediaannya langka di Melanesia.  Dan di banyak komunitas yang dikhususkan dalam pembuatan tembikar (misalnya kepulauan Amphlett, Lauer 1971, atau masyarakat Motu, Groves 1960: 8-11, 18-19), paling banyak, jika tidak semuanya, pembuat tembikar adalah para perempuan dewasa.
Tidak adanya penjelasan tunggal atau sederhana cukup dapat menjelaskan  tidak meratanya penyebaran tembikar di Indonesia Timur dan Melanesia, lebih baik kita perlu melihat/memahami banyak penjelasan yang tersedia pada tingkat berbeda dalam banyak kasus. Pastinya sumber-sumber tidak sama rata tersebar, sebagai contoh kepulauan Amphlett, tidak gampang membuat tembikar  dari tanah yang berasal dari kepulauan mereka sendiri, namun bahan bakunya dibawa oleh perahu yang jaraknya 30 mil dari kepulauan Fergusson (Lauer 1971 : 141-142). Beberapa komunitas kecil boleh jadi hancur karena penyakit, kelaparan dan perang.  Namun faktor ekonomi dan demografi perlu ditekankan, dimana tembikar dan produk kerajinan lainnya dibuat secara reguler untuk diekspor ke komunitas-komunitas tetangga, yang secara umum juga mengimpor makanan (Brookfield dan Hart 1971 : 327, Groves 1960 : 5). Untuk pulau-pulau kecil  yang mengembangkan kekhususan ketahanan  sumber ekonominya, mungkin seringkali menjadi pilihan yang lebih bisa menerima imigrasi atau produksi intensifikasi makanan, dan mata rantai perdagangan dengan komunitas-komunitas tetangga untuk saling mempertukarkan produk-produk kerajinan, perhiasan, ikan, sayur-sayuran, garam dan babi menghasilkan keuntungan sosial, mungkin lebih bernilai daripada pertukaran barang-barang itu sendiri. Selain itu, hubungan antar perairan menciptakan kemungkinan terjadinya perdagangan jarak jauh, dan  seperti yang ditunjukan oleh Nicklin (1971 : 14) bahwa perkembangan transport air dan pentingnya perekonomian  di wilayah ini, mungkin sangat baik  dalam polanya , yang juga menjelaskan penyebaran-penyebaran sporadis pusat-pusat produksi tembikar.

---- bersambung ---


Catatan Kaki
  1. Pada tahun 1945, Karl Schmitt (1947) mengumpulkan pecahan-pecahan dari 4 situs di pulau Morotai, paling utara kepulauan Halmahera, Maluku Utara. Beberapa situs itu nampak seperti desa-desa yang telah hancur. Namun Schmitt menyatakan bahwa satu lokasi pada tebing timur sungai Totodoke di pantai selatan boleh jadi memiliki sifat-sifat kekunoan, dimana ia menyatakan bahwa “ tidak ada barang-barang asal China, atau tanda-tanda lain dari kontak moderen yang terlihat pada situs ini” (1947 : 334). Deskripsi singkat tentang bentuk, tempelan dan dekorasi dibuat oleh Schmitt, namun koleksinya tak “dikembalikan”. Tembikar ini mungkin diperdagangkan dari pulau Mare, sebelum industri lokal tercatat di Morotai.
  2. Terminologi Maluku Tengah  yang digunakan di sini khusus merujuk pada sistim administrasi Maluku Tengah di Indonesia, dengan pengecualiaan pada kepulauan Banda. Yang berarti hanya termasuk Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut (ketiganya disebut Lease), Seram dan Buru
  3. Standar Ortografi Indonesia yang telah diubah pada tahun 1972, telah mengadopsi terminologi/istilah lokal dan tempat seperti ditulis disini. Sinonimnya diberikan sepanjang kata itu masih digunakan
  4. Riedel (1886: 125) juga melaporkan produk tembikar dari desa Loun di pulau Manipa, ujung bagian barat pulau Seram, namun juga menambahkan bahwa banyak tembikar itu faktanya diimpor dari Saparua. Schrieke (1960 :230) menerangkan kondisi  menyedihkan yang mana industri lokal mengalami penurunan (termasuk tembaga, tenunan dan tembikar) dihadapan produksi besar-besaran abad 19 pada industri barat dan meningkatnya transportasi yang bermakna, dan kemudian menyimpulkan  secara umum pentingnya faktor-faktor ekonomi dalam mempengaruhi pengadopsian unsur-unsur luar  pada benda-benda budaya.  Pada masa kini, produksi tembikar lokal, tidak mengalami kemunduran, yang tentu saja suatu kompetisi dengan barang-barang produksi eropa, serta bentangan barang-barang yang diproduksi benar-benar mengalami kenaikan (lihat dibawah)
  5. Telah diketahui bahwa pada awal abad ke-17, Ambon merupakan pos penyediaan dalam rute menuju wilayah produksi cengkih di Ternate, Tidore, Bacan, Makian dan Motir, dan dari sini jugalah kekuasaan dijalankan meliputi kepulauan Banda yang merupakan produsen pala. Schrieke, salah satu diantara sejarahwan lainnya menyimpulkan bahwa Ambon adalah kunci menuju kepulauan rempah-rempah (1960: 33). Hitu sendiri hampir menjadi “koloni” Jawa yang didirikan oleh Tuban, suatu pusat penyebaran Islam, dan pada akhirnya juga menjadi pusat perlawanan terhadap eksploitasi VOC. Lihat Manusama (1971)
  6. Pasir ini, pada faktanya hampir seluruhnya tersusun dari karakteristik plankton foraminifera yang berasal dari batas era Plio-Pleistosen di Indonesia Timur. Foraminifera bukanlah material semen, yang mana dikesankan bahwa material tanah berbahan semen itu terlepas saat dicuci/dibersihkan oleh para perempuan pembuat tembikar, daripada didapatkan dalam bentuk konsentrat tanah/pasir mengandung unsur kapur. Kajian etnografis bertentangan dengan hasil laboratorium, dimana buktinya tidak terlalu meyakinkan pada poin ini. Tanah berbahan semen seperti itu banyak terdapat di Indonesia, namun jenis ini hanyalah contoh sejauh yang kami ketahui digunakan. Seperti contoh tanah liat dan filler dari negeri Ouw di masa moderen, semua pecahan/kepingan-kepingan yang dikoleksi, juga yang dibuat di Saparua, sejauh yang telah diuji memiliki tipe filler yang sama, sebuah perangkat yang mungkin menjadi titik penting dalam menentukan penyebaran tembikar-tembikar yang dibuat dari Maluku. Kami (penulis) menyampaikan terima kasih kepada D. Carter dari School of Mines, Imperial Colege, London atas usaha identifikasinya.
  7. Dammar  telah lama digunakan pada wilayah-wilayah Indonesia untuk berbagai tujuan dan bertentangan dengan pendapat sebelumnya (Foster 1956 : 732-733) yang menyebutkan bahwa barang-barang berlapis damar tersebar luas. Orang-orang Jawa mengimpor dammar bersamaan dengan produk-produk hutan lainnya seperti lilin, darah naga (ekstrak obat dari pohon jenis Dracena dan Daemonohorps), myrabolans (buah-buahan dari jenis Terminalia sp sebagai bahan baku celup untuk industri batik), rotan dan dahan/ranting untuk pembuatan anyaman dari Kalimantan bagian selatan, Palembang dan Timor sebagai contohnya (Schrieke 1960 : 29). Agatis alba sendiri, terdapat luas di Maluku, khususnya di pedalaman Buru dan Seram dan secara tradisional digunakan untuk obor (Burkill 1935 :62-65, Ellen 1967-1971 : hasil kerja lapangan yang tidak dipublikasikan), atau seperti di Ouw pada masa kini digunakan sebagai geretan api/pemantik api.
  8. Contoh terdiri dari 11 spesimen bejana yang keseluruhannya dikumpulkan di lapangan , ditambah 14 spesimen  (21 bagian) yang sekarang berada di Museum Leiden dan 37 spesimen (48 bagian) di Museum Roterdam.
  9. Spesimen yang di Roterdam dikoleksi oleh R Bossert di Ouw (RMV 203) dan H.L. Langervoort juga di Saparua (RMV 5229)
  10. Meskipun (lempengan 1b) rupanya diperoleh di Ambon (dan dilabeli seperti itu) spesimen 370.2052 adalah tipe yang paling tidak memiliki sifat kekhasan. Spesimen Leiden dilabeli dengan buruk, namun semua itu dirujuk asal provinsi Ambon
  11. Tanur/Tungku yang mirip juga diketahui atau dilaporkan berasal dari lokasi lain, sebagai contohnya dari Makasar (Museum Jakarta spesimen 27131), dan Irian Barat (Forrest 1969 : lempeng 27, Roder 1959 : bild 6). Terkadang, cetakan juga dibentuk dengan desain yang lebih rumit
  12. Pada faktanya, dalam riset Valerio Valeri (komunikasi pribadi dengan Ellen 1972) di Manusela, Hualu dan teluk Saleman yang berada pada wilayah Seram Tengah, bertentangan dengan Gasser dalam kasus ini. Valeri sungguh tegas pada point ini dan menyatakan bahwa pengenalan sempei sebagai wadah untuk bubur sagu (papeda) relatif masih baru. Bejana dari kulit kayu sebelumnya digunakan untuk tujuan ini.
  13. Yang nampak, pada faktanya adalah Gasser membingungkan disini, saat spesimen yang ia rujuk (RMV 10945-10946) berasal dari kepulauan Sangir (Veldhuisen-Djajasoebrata, komunikasi pribadi dengan Glover 1972)
  14. Lebih lanjut, minoritas penduduk Seram masih mengandalkan cara-cara sederhana pada barang-barang yang diperdagangkan. Penduduk tradisional memecahkan masalah wadah itu dengan menggunakan bambu dalam berbagai cara, tetapi untuk hal yang lebih kecil menggunakan tempurung kelapa, daun sagu, anyaman keranjang dan kalabasa.


Catatan Tambahan
  1. Bartels, Dieter.  Di bawah Naungan Gunung Nunusaku : Muslim-Kristen hidup berdampingan di Maluku Tengah (edisi Bahasa Indonesia), Jilid II : Sejarah, Bag III, Bab IX, KPG, Jakarta, Agustus 2017, hal 478
  2. Schmid, W.J.M. van.  Aanteekeningen nopens de zeden , gewoonten en gebruiken , benevens de vooroordeelen en bijgeloovigheden der bevolking van de eilanden Saparoea ,Haroekoe , Noessa Laut , en van een gedeelte van de' zuid - kust van Ceram ( dimuat Tijdschrift voor Nederlands Indie vijfde jaargang, Landsdrukerij Batavia,1843 (terkhusus halaman 619 -622)
                 c. Bastian, Adolf. Indonesien oder Die Inseln Des Malayisichen Archipel, Berlin, 1884 (hal 155)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar