Sabtu, 08 Februari 2020

Kapan kota Ambon didirikan? (bag 2)

                                                                                    Oleh:

Hubert Jacobs, S.J. 
7.  Periode kemimpinan Kapitein Antonio Pais (1563-1564a))
                    Atas prakarsa Quadrosb), Wakil Raja Portugis di Goa yang bernama Dom Fransisco Coutinhoc), pada bulan September 1562 mengirim Antonio Pais sebagai Laksamana beberapa kapal dari Goa (India), dengan perintah langsung ke Ambon, untuk membangun benteng. Kemimpinan kapitein pertama Portugis di Kota Ambon ini gagal total. Pais tiba di Ambon pada bulan Januari atau awal Februari 1563, berusaha menata kekuasaan Portugis dan melindungi orang-orang Kristen, tetapi “tidak didukung” oleh Kapitein benteng Ternate yang bernama Henrique de Sad), ia meninggal pada musim semi tahun 156426 di Ambon tanpa mampu untuk berpikir serius membangun benteng.
                    Pada bulan Oktober atau November 1565, Quadros tiba di Malaka dengan niat mengunjungi kegiatan misi di Maluku, dan karena itu juga akan mengunjungi Ambon secara “khusus”. Setelah aksi penghancuran terhadap kegiatan misi, salah satu anggota Kaum Jesuit Maluku, yang bernama Marcus Prancudo mengirim salah satu rekannya yang bernama Luis de Gois ke Goa untuk menjelaskan situasi terakhir dan meminta bantuan. Di Malaka, Quadros dan Gois bertemu. Setelah mendengar laporan Gois, Quadros membatalkan kunjungan tersebut, dan kembali ke Goa bersama Gois dengan 2 utusan Kristen Ambone) untuk memohon kepada wakil raja, yang sekarang (saat itu tahun 1565) bernama Dom Antao de Noronha untuk kegiatan misi di Ambon. Ia (wakil raja) sangat yakin dan bertindak tegas.


8.  Periode kemimpinan Kapitein Goncalo Pereira Marramaque (1568 – 1570)

                    Pada tanggal 1 Mei 1566, armada terbesar yang pernah ada berangkat menuju Maluku dari Goa.  Armada ini dipimpin oleh Laksamana Goncalo Pereira Marramaque dengan tugas : menghukum Ternate, memenjarakan Sultan Ternate, Sultan Hairun dan membangun benteng di Ambon, “di pulau Hitu”27. Pereira tiba di Malaka pada bulan Agustus dan pada bulan September tiba di pelabuhan “Kalimantan” yaitu di Brunei untuk “beristirahat”. Dan kemudian terjadilah suatu “bencana”. Di Brunei, Pereira diinformasikan dan diyakinkan, bahwa armada Spanyol telah muncul di perairan Filipina. Yakin bahwa pulau-pulau ini adalah milik Portugis berdasarkan perjanjian Tordesilas (1494) dan Zaragosa (1529), dan karena itu orang-orang Spanyol sedang mencari “gara-gara”, ia lupa seluruh misinya dan berangkat ke Cebu Filipina. Pemimpin armada Spanyol, Miguel Lopez de Legazpif)  memang telah mendarat di sana dan telah memulai pembangunan benteng. Tetapi Pereira tidak dapat mencapai Cebu karena angin, ia “berkeliaran” selama 4 bulan dan kehilangan banyak orang, karena menipisnya perbekalan dan penyakit. Dia akhirnya memutuskan untuk menuju ke Ternate, dalam kondisi lemah dan merasa “terhina”. Pada waktu ini, tidak ada penahanan/penangkapan Sultan Hairun serta pemikiran untuk mengurusi masalah di Ambon. Pada Oktober 1567, ia kembali melakukan upaya kedua untuk berlayar ke Cebu. Waktunya seperti salah, yaitu  pada akhir tahun, dan sekali lagi semua berjalan salah.
                    Lagi-lagi, ia kembali ke Maluku dengan tangan kosong. Ia akhirnya bisa ke Ambon untuk pertama kalinya28, pada tahun 1568. Dia akhirnya berhasil “mengalahkan” Hitu, dan “membawa” kembali semua negeri ke bawah kekuasaan Portugis. Segera saja, ada “serbuan” massa ingin beribadah dan banyak negeri meminta pembaptisan.
                    Tetapi, masih belum ada waktu untuk memikirkan pembangunan benteng, karena Pereira segera bergegas kembali ke Ternate, dimana Ia menyiapkan armadanya untuk kembali ke Cebu untuk ketiga kalinya pada tanggal 26 Agustus 1568. Setidaknya kali ini, ia mencapai Cebu pada bulan Oktober dan terkejut mendapati benteng Spanyol yang besar dan kuat. Jika dia segera meluncurkan serangan, mungkin dia akan menaklukannya, karena hampir semua dari 800 serdadu yang Legazpi punyai, tersebar di seluruh pulau di sekitarnya. Tetapi dengan cerdik, Laksamana Spanyol itu menerima Pereira dengan ramah, menjamu Pereira dengan makanan yang luar biasa serta menggunakan bahasa perdamaian, sementara itu ia (Legazpi) dengan tergesa-gesa mengumpulkan kembali anak buahnya. Segera setelah benteng itu dipenuhi kembali dengan anak buahnya, ia menyatakan dengan terbuka bahwa keberadaannya di Cebu, atas perintah Raja Spanyol dan tidak berpikir untuk meninggalkan Cebu, apalagi menyerah pada Pereira. Terjadi pertempuran kecil, yang sebagian besar merugikan Portugis, yang tidak mampu menghadapi kekuatan Spanyol. Surat terakhir Pereira kepada Legazpi tertanggal 1 Januai 1569, masih tersimpan pada  Archivo General de Indias di Sevilla30 (karena dalam surat itu, orang-orang itu sangat kuat, entah berperang atau tidak), dan pada tanggal 15 bulan itu, armada Portugis tiba kembali di Ternate. Dengan kehadiran Legazpi, Pereira sama sekali “lupa” pada tujuan awal kedatangannya, ia sama sekali tidak mendapatkan apa-apa melawan Spanyol, tetapi sebaliknya, banyak waktu yang berharga dan sebagian besar dari orang-orang hilang – bukan karena berperang, tetapi lebih karena penyakit – dan sekarang tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan Sultan Hairun, Sultan Ternate. Sultan Hairun melakukan segala cara untuk membuat misi dan kemimpinan Pereira gagal. Seperti misalnya, mengirim armada kora-kora dibawah pimpinan putranya, Baab-Ullah ke Cebu, dengan berpura-pura membantu Portugis, namun di tengah jalan, armada kora-kora itu mengubah tujuannya, yaitu melakukan tujuan ekspansionis politik Sultan di tempat lain. Sultan Hairun senang melihat keadaan kacau yang dialami oleh Pereira akibat ambisinya melawan Spanyol. Bahkan sang Sultan berani untuk membuat proposal yang menyedihkan tetapi cerdik : jika anda bisa “mengembalikan” hak kedaulatan saya atas Veranula, Lacide dan Cambelo di Hoamohel, Seram Barat, maka saya sendiri yang akan membangun benteng berbatu di Ambon untuk Raja Portugis dan saya akan menjamin dan memastikan, bahwa orang Hitu tidak pernah memberontak lagi31. Pereira menolak proposal ini, dan tidak mau meninggalkan Maluku, malah sebaliknya, ia hanya menyerahkan/mengembalikan tempat-tempat yang disebutkan di Hoamohel, dan kemudian menuju ke Ambon, yang kembali terlibat dalam pertikaian32. Pereira masih memiliki kekuatan untuk menyerang negeri-negeri di pantai utara Hitu dan menaklukan serta menguasai negeri-negeri di Ambon. Veranula (Seram), Siri Sori (Saparua), Puta dan Hutumuri (Leitimor) dihancurkan33, banyak negeri sekarang merasa senang karena kekuasaan tirani Ternate telah hancur, akhirnya bergabung dengan Portugis dan meminta para pendeta untuk negeri-negeri mereka agar bisa dibaptis. Permintaan semacam itu juga datang dari Buru dan Seram.               
                  

9.   Pembangunan benteng pertama

                    Setelah kekalahan negeri-negeri Hitu, Pereira akhirnya mulai melaksanakan salah satu tugas paling penting, yang membuatnya meninggalkan Goa 3 tahun sebelumnya, yaitu membangun benteng. Seorang saksi mata, anggota kaum Jesuit bernama Pero Mascarenhas, menulis hal ini dalam sepucuk surat dari Ambon, tanggal 3 Agustus 1569 kepada rekannya di Goa, yang berbunyi : dikarenakan waktunya telah tiba untuk kapal-kapal berlayar ke Malaka, dan pembangunan benteng masih belum dimulai, tampaknya sang Laksamana [Goncalo Pereira] dan yang lainnya menginginkan untuk segera melakukan pembangunan, karena begitu benteng itu dibangun para musuh dapat dihancurkan dari sana, dan karena mereka berpikir tidak ada yang akan datang ke benteng, dan menurut Pereira, mereka (orang Hitu) tidak mau tunduk, dan karena itu, mereka tidak mau benar-benar menyerah. Maka Laksama segera pergi ke Hitu, memerintahkan penggalian untuk fondasi benteng dan mengumpulkan kayu-kayu besar. Pekerjaan itu dilakukan dengan kecepatan sedemikian rupa, sehingga pembangunan dimulai tidak lama setelah tanggal 20 Mei [1569] dan telah selesai setelah tanggal 20 Juli, dengan memiliki gerbang serta 4 bastion yang besar dan kuat.Tidaklah mengherankan bahwa pekerjaan itu akan selesai dalam waktu singkat, karena orang-orang bekerja sangat banyak, karena hampir semua negeri-negeri Ambon, baik yang masih “kafir” maupun yang telah Kristen berpartisipasi. Semua bekerja dengan semangat dan antusiasme yang besar. Mereka berpikir bahwa harta dan banyak hal baik untuk mereka tersimpan dalam benteng itu. Dan sebenarnya, benteng itu akan menjadi tempat perlindungan mereka, menjadi tembok pelindung dan perisai mereka melawan musuh-musuh fisik dan spiritual mereka”34.
                    Ini adalah benteng Portugis pertama di Ambon yang benar-benar layak untuk menyandang nama benteng. Benteng itu terletak di pantai utara Hitu, dekat Hila35 dan Kaitetu, tidak jauh dari lokasi dimana Belanda nantinya akan membangun benteng pertama mereka, yang bernama “Kasteel van Verre”. Lokasinya itu lebih dari setengah “legua”, yaitu sekitar 2 hingga 3 km di sebelah timur negeri Kaitetu, di teluk “Senalo”36.
                    Menurut LEMOS, Pereira membangun benteng ini dalam waktu 6 bulan37. Hal ini tidak bertentangan dengan informasi 3 bulan dari Mascarenhas, yang mengatakan bahwa orang-orang masih bekerja, yang secara jelas mengindikasikan bahwa pembangunan itu belum selesai pada awal bulan Agustus. Lokasi di pantai utara dipilih, karena diduga di sanalah pergolakan Hitu dapat dikendalikan. Oleh karena itu, lokasi itu lumayan menguntungkan, karena dari sana ada sebuah jalan melintasi pulau ke arah selatan ke sebuah teluk besar yang tidak jauh dari negeri Hatiwe, serta dapat melakukan kontak yang relatif cepat dengan kapal-kapal yang sedang berlabuh38.
                    Benteng itu berangka kayu, memiliki pagar pelindung dan 4 bastion. Namun, menurut Livro das Cidades, benteng itu berbentuk segitiga dengan 3 bastion, dan terdiri dari tiang-tiang kayu karena tidak ada balok bangunan yang ditemui, serta orang-orang yang bekerja itu tidak mengerti seni membuat tembok tanah yang kokoh. Pereira ditugaskan untuk membangun benteng, dan kemudian segera menunjuk kapitein benteng secara resmi yang bernama Aires Gomes de Brito. Namun, rupanya penunjukan ini tidak diterima atau dibatalkan karena alasan lain40. Kapitein pertama benteng Portugis di Ambon adalah Dom Duarte de Meneses41/g). Ia meninggal sebelum Mei tahun 1571 dan telah menunjuk Sancho de Vasconcelos sebagai penggantinya42.
                    Kekuatan Portugis agak kuat dengan keberadaan benteng ini, dan untuk sementara waktu terjadi kebangkitan agama Kristen di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Tetapi, pada bulan Februari 1570, Sultan Hairun dibunuh secara diam-diam oleh Portugis. Penggantinya, Baab-Ullah bersumpah akan melakukan pengusiran dan penghancuran total terhadap orang-orang Eropa. Perang berlanjut tanpa henti, dengan banyak keberhasilan di Ambon, armada Ternate sukses membombardir negeri-negeri Kristen, bahkan menyerang benteng Portugis. Ini berlanjut sampai kematian Goncalo Pereira Marramaque pada Maret 157243

Benteng Victoria sekitar tahun 1656


10.   Portugis meninggalkan Hitu

                    Sebelum kematiannya, Goncalo Pereira telah menunjuk Laksamana Joao da Silva sebagai penggantinya. Sebelumnya, jabatan itu dipegang oleh Komandan Malaka, Dom Leonis Pereira, seorang kapitein yang pernah memimpin armada bantuan yang dikirim44. Silva segera menyadari dirinya dikelilingi oleh musuh dari semua sisi, karena orang Hitu hanya “berpura-pura” menyerah, namun memberontak lagi. Penduduk negeri Hitu yang telah ditaklukan, seharusnya menetap di sekitar benteng, tetapi tindakan ini terbukti menjadi penyebab intrik baru. Akibatnya, benteng Portugis di Hitu berulang kali dalam bahaya besar. Negeri-negeri di Hitu selatan dan Leitimor yang bersahabat, harus berlayar di sepanjang pantai musuh untuk memberikan bantuan, yang berarti resiko semakin besar bagi negeri-negeri itu45. Ketika Silva melihat kekuatan Portugis semakin hancur dan lebih banyak yang ia lakukan – entah karena putus asa atau kepentingan diri sendiri – mengajukan proposal yang menyedihkan, untuk meninggalkan kepulauan Ambon, meninggalkan neger-negeri Kristen yang telah membantu, dan pergi dengan semua miliknya kembali ke Malaka. Rencana ini sangat ditentang oleh Sancho de Vasconcelos46, yang datang ke Maluku sebagai salah satu kapten kapal perang dalam armada Goncalo Pereira Marramaque dari Goa. Dia adalah seorang pemuda berjiwa petualang dengan keberanian yang tak tertandingi. Sampai kematiannya pada tanggal 15 Agustus 159947, ia mencoba untuk tetap mempertahankan kekuasaan Portugis atas Ambon lewat serangkaian peperangan tanpa henti, selalu berani dan menantang, sopan dan murah hati, tetapi kadang-kadang dalam kekejaman dan kebengisan. Kapitein benteng Portugis di Hitu, pengganti dari Dom Duarte de Meneses ini, sekarang menerima tanggung jawab berat ini : Silva bisa pergi, jika dia mau, tetapi dia, Vascencolos akan tetap tinggal, meski hanya dengan 30 orang anak buah. Ya, bahkan jika tidak ada yang mau membantunya, ia akan tetap pergi ke orang-orang Kristen di Oma (Haruku) atau Ullath (Saparua) dan berperang melawan “orang-orang Moor” di negeri-negeri itu. Tidak masalah bagi dirinya, untuk meninggalkan orang-orang Kristen di kepulauan Ambon dengan ketakutan. “ Tuhan mungkin tidak akan pernah membiarkan iman suci-Nya di wilayah-wilayah ini hilang, begitu juga dengan kehormatan Raja-raja Portugis dan kebesaran nama Portugis”. “ Bagaimana dia, Silva dapat membenarkan hal itu kepada Tuhan Allah dan Raja Portugis, jika dia menyerahkan orang-orang Kristen di wilayah ini?”48.
                    Bahasa tak terucapkan ini, sekarang “membantunya” menciptakan rencana lain menjadi lebih matang. Sebuah proposal sementara datang di atas meja, sebuah kompromi antara tetap tinggal – tanpa – mundur semuanya lebih jauh lagi. Idenya adalah untuk memindahkan benteng ini dari pantai utara ke teluk yang luas. Orang-orang akan berpindah dari wilayah musuh ke wilayah pantai yang lebih bersahabat. Fungsi benteng akan berubah dari menguasai musuh-musuh – setidaknya untuk saat ini – untuk lebih melindungi para sekutu dan orang-orang beriman. Ini merupakan sebuah konsesi untuk kebutuhan mendesak saat itu, namun dari perspektif sejarah, hal itu adalah keputusan yang menguntungkan dan berasal dari pertimbangan yang baik.
                    Ada berbagai alasan yang diberikan. Menurut Relacao Vascencelos,itu dilakukan karena orang-orang Kristen dari Nusaniwe yang mendesak relokasi/pemindahan. Sekarang “ orang-orang Kristen dari Nusaniwe” adalah istilah multi bahasa, karena istilah itu dapat dipahami yang bermakna orang-orang Kristen dari “ uli” Nusaniwe serta orang-orang dari seluruh semenanjung Leitimor. Wilayah Nusaniwe termasuk negeri-negeri di titik barat daya yaitu : Eri-Nusaniwe, Silali/Silale, Hatuhalat/Latuhalat, Hatiari dan Amahusu. Wilayah itu dianggap sebagai uli paling kuat dari Leitimor dan telah menjadi, seperti juga Ulilima, Kristen dan sekutu dari Portugis.  Karena uli ini posisinya sangat dominan, Portugis sering menamai seluruh semenanjung selatan dengan nama “pulau Nusaniwe”49, sementara nama Leitimor belum muncul/belum disebutkan dalam tulisan-tulisan abad ke-16. Dalam pengertian terakhir, istilah “Kristen dari Nusaniwe” berarti akan mencakup semua negeri Kristen di Leitimor, dan ini sangat bermanfaat dalam konteks ini. Lagipula, intinya di sini adalah bahwa negeri-negeri ini harus memasok bahan makanan khususnya sagu ke benteng, tetapi mereka (negeri-negeri itu) segera menyadari bahwa rute untuk memasok, memakan waktu terlalu lama dan terlalu beresiko. Argumen ini memberi lebih banyak kesan, karena persediaan itu belum sepenuhnya atau sebagian telah dikirim lebih dari sekali, telah mengakibatkan kelaparan parah di benteng, dan karena para pengungsi yang “menumpuk” di sekitar benteng50.
                    Livro das Cidades, memberikan kisah yang agak berbeda, yaitu mendasarkan pada permintaan merelokasi benteng Halong, yang seharusnya lebih banyak mendapatkan perlindungan dari benteng di dekatnya51. Oleh karena itu, di sini, motif tempat perlindungan lebih kepada agenda sebelumnya.
                    Lain lagi sumber dari LEMOS. Ia menyampaikan bahwa benteng Hitu menjadi rusak karena terbakar, sehingga diputuskan untuk membangunnya di tempat lain52. Penulis lain tidak menyebut tentang kebakaran ini. Namun Livro das Cidades53, mengatakan bahwa begitu mereka memutuskan meninggalkan benteng, mereka membakarnya sendiri. Pembakaran ini nampaknya menyisakan setengah dari benteng yang tersisa.
                    Mengingat musim hujan, langkah itu harus dilakukan secepatnya sebelum pertengahan Mei [1572].  Joao da Silva berlayar dari Hitu utara melalui arah barat ke teluk luas melewati negeri Ulisiwa Wakasihu yang bersahabat. Sancho de Vasconcelos memilih rute timur, rute yang meskipun lebih lama, namun lebih aman dan lebih menguntungkan dalam hal angin. Ternyata, de Vasconcelos mengalami kekecewaan. Ia bertemu dengan angin timur bukan angin selatan yang diharapkan. Ketika sebagian dari anak buahnya ingin memanfaatkannya untuk langsung berlayar ke Malaka, kapalnya terdampar di pantai tepat sebelum tanjung Nusaniwe ketika ia telah melewati Leitimor. Barang-barang termasuk jenasah Goncalo Pereira Marramaque yang dibawa, hilang tertelan ombak, tetapi semua yang ada di kapal termasuk para anggota kaum Jesuit54, semua bisa diselamatkan. Dibantu oleh orang-orang dari Nusaniwe, mereka melakukan perjalanan darat melintasi pegunungan utara ke teluk, dimana mereka menemukan Joao da Silva55.
                    Orang ini, yang memang bukan pahlawan, sekali lagi mengusulkan untuk meninggalkan Ambon dan berlayar ke Malaka. Sebagian besar orang Portugis setuju dengan usul ini. Tetapi, sekali lagi Vasconcelos dengan rendah hati mempertahankan prinsip bahwa Portugis memikul tanggung jawab besar untuk orang-orang Kristen di Ambon, dan dalam situasi apapun, tidak akan melepaskan kewajiban itu. Silva kemudian mendapatkan solusi yang sekali sederhana namun mengejutkan : ia memerintahkan membangun benteng baru, dan dengan anak buah armada Vasconcelos yang telah berkurang, ia berlayar ke Malaka sendiri pada bulan Mei atau Juni 1572 dengan janji akan mengirim ekspedisi bantuan. Sebelum pergi, ia memanggil semua pemimpin negeri-negeri yang bersahabat: dari Hatiwe, Tawiri, Hukunalo dan Hunut, dari Eri-Nusaniwe dan negeri-negeri bawahannya, dari Soya, Puta, Halong dan Baguala, dari Leahari, Seri, Kilang, Naku, Ema dan Hutumuri56, dan menjelaskan kepada mereka, bahwa ia akan pergi ke Goa untuk melapor kepada Wakil Raja tentang masalah Ambon; sementara ia meninggalkan Vascencelos sebagai Kapitein dengan kekuatan sekitar 100 orang; dan menjamin Wakil Raja akan segera mengirim armada bantuan dengan kekuatan besar. Para pemimpin negeri itu sangat puas dengan pernyataan ini, dan berjanji untuk memberikan bantuan kepada Vasconcelos jika diperlukan, bahkan jika perlu menjual putra-putri mereka untuk mendukung Portugis!. Silva kemudian berlayar, bahkan kapalnya mengalami karam, namun masih berhasil mencapai Malaka. Armada penolong dari 2 kapal yang diambil dari sana, mencapai akhir menyedihkan di sepanjang pantai utara Jawa. Kini, Vasconcelos harus “menyelamatkan” dan “mempertahankan” dirinya di Ambon sendirian57.


11.     Hikayat Vasconcelos”

                    Untuk fase selanjutnya dari sejarah benteng Portugis di Ambon, kita kembali bersandar pada informasi dari Relacao Vasconcelos. Tapi kisah ini adalah epos sejarah, yang ditulis untuk memuliakan dan memuja Sancho de Vasconcelos sebagai pahlawan, sehingga memberi kita laporan  yang kurang eksplisit dan sistematis tentang sejarah pembangunan benteng dari yang kita inginkan. Bercampur dengan kisah-kisah panjang dan kadang-kadang sangat rinci tentang ekspedisi dan pengalaman perang, informasi tentang benteng Portugis muncul di sana-sini. Secara topografis dan kronologis, kisah itu menyisakan “kegelapan” bagi para sejarahwan. Kisah itu harus dibaca dengan cermat, digabungkan dan disortir, serta kadang-kadang harus menafsirkan teks itu berdasarkan data yang berasal dari penulis lain. Jika Relacao mengatakan bahwa sesuatu terjadi atau di lokasi ini atau itu, maka preposisi ini dapat menunjukan jarak 100 meter hingga beberapa kilometer. Salah satu alasan ketidakakuratan dalam hal jarak, terdapat pada fakta bahwa penulis sejarah Portugis tidak memiliki apapun untuk “memecahkan” masalah ini, atau sekurang-kurangnya tidak menggunakan apapun, untuk menempatkan antara “legua” yaitu ukuran jarak mil laut Portugis yang berjarak 5,5 km, dan “braca” atau vadem yang berjarak 2,18 meter. Jarak dari beberapa ratus meter hingga 3 kilometer, karenanya secara kasar diindikasikan sebagai “setengah legua lebih atau kurang”. Hal ini memaksa sejarahwan untuk sangat berhati-hati dalam menunjukan jarak, dan di atas semua itu, tidak menggunakannnya secara harfiah. Selain itu, sangat disadari bahwa orang-orang Portugis tidak melakukan pengukuran, tetapi hanya bergantung pada durasi perjalanan dan perkiraan dengan mata telanjang. Mereka tidak memiliki peta-peta yang dapat diandalkan : bahkan di masa Belanda pun, peta-peta Ambon terlihat “aneh” karena alasan topografi58. Kesimpulan praktis kami dengan pasti, bahwa banyak teks yang mengatakan bahwa suatu tempat memiliki begitu banyak leguas dari benteng, atau sebaliknya, memiliki nilai yang sangat kecil bagi kita dan biasanya dapat diabaikan. Tetapi, untungnya ada banyak yang lainnya di luar teks-teks itu. Setelah berbicara pembangunan benteng pertama pada halaman 209, Relacao menyebutkan yang kedua pada halaman 242, yang ketiga pada halaman 243, dan yang keempat pada halaman 286-287 dan 318-320.


12.    Benteng – sementara - kedua

                    Dengan demikian, kami (penulis) yakin dapat membuat sketsa gambar berikut berikut berdasarkan Relacao Vasconcelos. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Silva meninggalkan penggantinya, Vasconcelos di benteng sementara di Leitimor, yang diperkuat oleh jalan melandai, sebagai titik fokus yang pada akhirnya akan dilakukan pembangunan benteng yang sebenarnya. Itu hanyalah “sejenis benteng atau suatu objek dengan nama benteng”, yang bersifat sementara “hingga dia [Silva] melaporkan kepada Wakil Raja di Goa yang pasti akan membuat pengaturan lebih lanjut/yang diperlukan”59. Benteng sementara ini didirikan pada tahun 1572, sekitar pertengahan tahun. Di mana kita harus mencari dan menemukan lokasi objek ini? Objek ini pasti berada antara Galala dan Hatiwe-kecil, di muara Wai Tua di seberang titik yang menonjol dari pantai selatan Hitu, yang memisahkan teluk bagian dalam dari teluk bagian luar, yaitu di seberang Tanjung Martafons dan negeri Rumahtiga yang sebelumnya lebih dikenal dengan nama Hukunalu/Hukunalo. Alasan apa yang kita miliki untuk menetapkan lokasi ini?
                    Pertama-tama, ada informasi penting dari VALENTIJN, yang mengatakan bahwa “menurut penduduk pribumi”, Portugis sebelum membangun benteng di Rodenberg, pertama-tama menetap di “Kehala” di tepi sungai “ Way-Toeha”60. Tradisi lokal memiliki nilai “penting” dan pastilah didasarkan pada sesuatu61.
                    Juga cukup masuk akal, bahwa dalam situasi darurat dimana musuh sudah dekat untuk menemukan mereka, pertama-tama mereka akan mencari wilayah yang lebih aman dekat dengan negeri Halong (Ulisiwa) yang bersahabat, di tempat Uli, dimana permintaan untuk relokasi telah dibuat, dan juga jarak yang dengan mudah dapat diakses dari negeri-negeri penghasil sagu seperti Halong, Baguala dan Hukunalo62.  Penulis dari Livro das Cidades tidak secara tajam membedakan benteng darurat dari yang berikutnya, namun demikian memulai dengan menitikberatkan pada perpindahan dari benteng di Hitu ke “ dekat Halong di pulau Nusaniwe”63.
                    Keberadaan dusun Hatiwe-kecil juga menunjuk pada lokasi benteng. Hatiwe di pantai selatan Hitu telah menderita serangan hebat dan tetap setia pada Portugis dan Kekristenan meski dengan kehancuran totaal pada awal tahun 156564. Cukup dimengerti bahwa mereka yang menghindari pembantaian berada dibawah perlindungan Portugis, segera setelah Portugis menetap di teluk dalam. Ketika benteng itu kemudia dipindahkan lebih ke arah barat, penduduk Hatiwe juga berpindah mengikutinya, tetapi sekelompok yang lain tetap tinggal di tempat lama yaitu Hatiwe-kecil.
                   


13.    Benteng ketiga

                    Vascencelos yang bersemangat, tidak merasa seperti sedang menunggu ekspedisi bantuan selama 1 tahun atau lebih dengan berpangku tangan. Dengan susah payah untuk memiliki kubu pertahanan di Galala, dan Silva telah berlayar ke Malaka, sebelum dia melakukan apa-apa. Sedikit lebih jauh ke barat daya di sepanjang teluk, Vasconcelos menemukan hamparan tanah yang cocok, yang terletak di antara 2 bukit menonjol dan sepenuhnya tertutup dengan pohon buah-buahan. Dengan bantuan Hatiwe dan Tawiri yang tetap teguh imannya, populasi Kristen yang telah berkurang, Vasconcelos segera mulai menebang kayu-kayu berukuran besar dan membersihkan tempat untuk benteng. Dia membangun benteng baru dari batang kayu dan kayu-kayu bercabang dengan langkah cepat: tembok sekelilingnya dengan gerbang-gerbang dan bastion-bastion yang ia persenjatai, 2 di dalam barak, 1 untuk dirinya dan stafnya, dan satu untuk 2 orang Jesuit yang masih tersisa65. Di sekeliling benteng, ada rumah-rumah yang dibangun untuk penduduk negeri Hatiwe dan Tawiri, serta sejumlah pengungsi dari Ternate, Tidore dan dari tempat lain, yang merupakan orang “moor/islam” dan telah menjadi Kristen, dan dari sinilah untuk pertama kalinya, mereka disebut “merdeka/mardijker”66. Penduduk lokal ini dengan bersemangat mengharapkan armada bantuan yang dijanjikan oleh Silva, tetapi setelah beberapa saat diketahui bahwa kapal itu karam di Malaka. Ada semacam petunjuk bahwa orang-orang telah menetap di sekitar benteng baru pada waktu itu, dan bahwa benteng itu masih dibangun dalam tahun 1572, atau setidak-tidaknya telah selesai.
                    Di mana benteng itu berada ? Relecao Vascencelos tidak menyebutkan tempat. Pernah disebutkan bahwa benteng itu berada pada jarak 2 leguas dari pantai Nusaniwe67. Jika kita benar-benar memahami informasi terakhir ini, lokasi akan menjadi sekitar 11  km dari Silale – Batumerah dalam perspektif melalui jarak jalur udara atau antara Eri-Batumerah via jalur laut. Pada persoalan ini, LEMOS membantu kita memberikan petunjuknya. Ia menyebutkan Uruteto dan Oruteto68 sebagai tempat dimana benteng baru dibangun. Livro das Cidades mengkonfirmasi klaim dari LEMOS; setelah pertama menyebut setelah mereka membakar benteng di Hitu, mereka membangun benteng yang lain di dekat Halong, di pulau Nusaniwe, dan setelah menyatakan pernyataan singkat tentang apa yang disebut Leitimor sebagai “pulau Nusaniwe”, penulis memberikan informasi : benteng baru ini terletak di titik teluk dalam yang disebut Ariteto69.
                    Ejaan nama yang benar tampaknya adalah Uritetu. Pertanyaan besarnya adalah di mana Uritetu itu berada?. Nama tempat/lokasi itu tidak ada lagi. VALENTIJN70 mengetahui bahwa negeri-negeri Amantelo, Ahusen dan Uritetto yang sekarang “punah” secara tradisi berada di bawah pemerintahan/kekuasaan Uli Soya.  Beschrijvinge van Eylant.....van Amboina sesaat setelah tahun 1605 masih menulis/mencantumkan “ Ortetto” di antara negeri-negeri di Ambon71.
                    Bahwa Uritetu ini, secara praktis dapat diidentifikasi dengan negeri Batumerah, yang di masa Belanda disebut Rodenberg, dapat dibuktikan dengan alasan yang cukup sederhana. Bagaimana pun juga, benteng di Uritetu ini merupakan benteng yang terakhir sekaligus benteng sebelum benteng berbatu (Victoria) sekarang di kota Ambon. Tidak ada keraguan bahwa satu benteng di dekat Batumerah ini merupakan benteng yang terakhir, semua sumber Belanda, terkhususnya RUMPHIUS dan VALENTIJN juga setuju dengan hal ini. Penggunaan nama wilayah ini hampir secara eksklusif “digantikan” oleh orang Belanda dengan nama Rodenberg. Para sejarahwan memperhatikan bahwa nama Batumerah tidak pernah muncul dalam teks-teks Portugis. Oleh karena itu, jika yang terakhir menyebut tempat itu sebagai Uritetu, maka tidak dapat tidak, seharusnya lokasi ini ada di suatu tempat, atau di dekat Batumerah, atau mungkin juga lokasi itu yang sekarang disebut Batumerah.
                    Tetapi ada juga argumen lain untuk identifikasi hal ini72. Jika Uritetu berada dibawah kekuasaan/menjadi bagian/milik dari Uli Soya seperti yang disebutkan oleh VALENTIJN, maka Uritetu harus ada di dekat kota disepanjang pantai, dimana Utara Halong dan Selatan Amahusu telah menjadi bagian dari Uli lainnya. Faktanya, yang menjadi buktinya adalah bahwa jika Vasconcelos  mulai membangun benteng berbatu beberapa tahun kemudian, Ia melakukannya di tempat dengan jarak yang sangat dekat dari lokasi benteng yang sebelumnya. Karena itu, maka Uritetu harus sangat dekat dengan kota, yaitu “ lebih sedikit dari tembakan meriam”73 atau kira-kira berjarak “ satu tembakan senjata”74.  LEMOS tetap samar-samar dalam informasi ini : “Benteng itu dibangun di Oruteto, dari tempat sebelumnya yang telah dipindahkan.....tetapi agak jauh dari yang sebelumnya”75.
                    Dua perbukitan atau gunung yang membentang di dataran pantai, dimana benteng itu didirikan juga indah, seperti dengan lokasi Batumerah di mulut Wai Batumerah. Di masa kini, adalah mungkin untuk menemukan lebih dari satu tempat, di sepanjang pantai dimana sebuah muara datar memiliki beberapa bukit/perbukitan di belakangnya, tetapi saya (penulis) ragu, jika lokasi-lokasi itu terlalu tinggi dan terlalu “jauh” dari pantai dibandingkan lokasi yang dimaksud (Batumerah). Di lokasi yang lain ini, kita bisa melihat pada jarak yang pendek arah timur laut “kaki” gunung Batumerah dan arah ke tenggara dari gunung Karangpanjang, dimana bagian utara lebih tinggi dari yang lain, namun keduanya berada pada ketinggian 30 hingga 40 meter76. Gambaran topografis lokasi ini membuat Vasconcelos melihat ada keuntungan diantara 2 gunung ini, yang pada akhirnya membuatnya berpikir yang berbeda.
                    Dari semua ini, cukup jelas bahwa Uritetu haruslah diidentifikasikan dengan Batumerah, dan bahwa Portugis, setelah membangun benteng pertama mereka di Hila/Hitu pada tahun 1569, kemudian berpindah ke benteng sementara di Galala pada tahun 1572, kemudian melanjutkan pada tahun yang sama, membangun benteng lebih ke arah barat daya di mulut Wai Batumerah dan di negeri yang ada pada saat itu menggunakan nama Uritetu. Benteng darurat tentu saja sekarang telah hancur. Semua benteng ini terbuat dari kayu. Benteng yang di Batumerah atau Uritetu akan terus berfungsi selama 3 tahun. Dari sini, Vasconcelos beraksi melawan Hatuhaha77, melawan Tobo di Seram Selatan, melawan orang-orang Banda yang mengancam akan membajak seorang pedagang Portugis, serta berperang dengan Ihamahu (Iha) di Saparua, yang pada tahun 1571  telah mengalihkan dukungannya dari Portugis ke pihak Ternate78.

==== bersambung ====
 
Catatan Kaki 
26.       Akibat Radang selaput dada (Documenta Malucensia I, hal 443-444); disebutkan oleh Manuel Gomes S.J. dalam suratnya dari Hatiwe tertanggal 15 April 1564. Namun segera menyebar berita bahwa ia (Antonio Pais) meninggal karena diracun; lihat misalnya Wessels, Amboina hal 39.
27.       Rel. Vasc. 185.
28.       Livro das Cidades f. 72r-v.
29.       Perlu dicatat bahwa dalam surat-surat pada tahun itu, kata “HITU” seringkali merujuk pada negeri muslim di pantai utara Ambon, dimana secara tradisi, Hitulama juga ada didalamnya.
30.       Patronato lag. 24, ramo 9, no. 9.
31.        Rel.Vasc. 183.
32.       LEMOS, hal 459.
33.       LEMOS, hal 457
34.       ARSI, Goa 11 II ff. 456-457; Documenta Malucensia I, hal 551-552.
35.       Hila sebenarnya adalah Hitu baru, dimana penduduk Hitulama telah berpindah atau diwajibkan untuk pindah oleh Portugis
36.       Senalo (Sinalu) sudah tidak ada lagi atau telah “punah”. Berlokasi di sebelah timur Hila, antara tempat itu dengan muara Wai Wakahuli, namun pada masa itu berada di wilayah pedalaman di pegunungan (lihat Valentijn II a, hal 104). Nama Sinalu/Senalo masih dikenal sebagai “ sebidang tanah kosong di pesisir di belakang negeri Kaitetu)”. (Informasi dari Bpk C.A. Loppies, Raja negeri Hatalai, Ambon. Untuk informasi ini dan beberapa petunjuk lainnya, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulis kepada beliau di sini)
37.       LEMOS, hal 457.
38.       Bahkan sebelum masa itu, jalan ini merupakan jalan sekunder, praktis hanya yang ada jalan gunung; jalan utama membentang dari Hitulama ke Hunut
39.       Livro das Cidades f. 72r-v.
40.      Rel. Vasc, hal 185 dan 190.
41.        Rel. Vasc, hal 211.
42.       Documenta Malucensia I, hal 622; Rel. Vasc, hal 225
43.       SOUZA (II, Conquista III, Divisao 1, par 38) pada akhirnya memberikan informasi pada beberapa penulis tahun 1571 sebagai tahun kematian Pereira, misalnya Wessels (Amboina, hal 59) dan Manuel Teixeira [The Portuguese Missions in Malacca and Singapore, I, hal 474]. Relacao Vasconcelos (hal 237) dan Couto (IX, hal 9) seperti juga Lemos (hal 470) menyebutkan kematian tanpa tahun. Sebagai dasar argumen-argumen yang mendasari kami yakini  bahwa tahun kematiannya haruslah tahun 1572, lihat Documenta Malucensia, I, hal 687, catatan kaki no 71. Salah satu yang bisa digunakan untuk menambahkan argumen lain adalah... Menurut Couto (IX, hal 2), Antonio de Noronha (Wakil Raja 1571-1573, jangan dibingungkan dengan Antao de Noronha yang juga memegang jabatan yang sama tapi pada periode 1564-1568) datang dari Portugis ke Goa pada September 1571, begitu juga  dengan sumber yang sama hal 24, merujuk pada April 1572 (yaitu 6 April, Hari Paskah, itulah yang terjadi pada tahun 1572). Sumber yang sama halaman 27, disebutkan Noronha pada akhir April (masih di tahun 1572) mengirim armada ke Maluku dibawah komando Fernao de Ortiz de Tavora untuk membantu Pereira. Menurut Relecao Vasconcelos (hal 245) kematian Pereira diberitahu oleh Ortiz di Malaka. Kapal-kapal dari Goa biasanya tiba di Malaka pada akhir Mei atau awal Juni serta menunggu angin muson yang baik hingga sekitar tanggal 15 Agustus. Kedatangan kapal-kapal dari Maluku tiba sekitar akhir Juni sesuai jadwalnya, dan kali ini membawa berita tentang kematian Pereira. Hal ini mengasumsikan bahwa Pereira meninggal hanya pada musim semi tahun itu (awal tahun 1572)
44.      Rel. Vasc. 236.
45.       Rel. Vasc. 238.
46.       Dalam Hikayat Tanah Hitu oleh Rijali, ia disebut “ Sandjoeta”; lihat Valentijn, vol II, bag b, hal 8 & 10
47.       Rel. Vasc. 453. Ia bertugas selama 20 tahun sebagai kapitein benteng Ambon; mengenai jabatannya lihat  Relacao Vasconcelos.
48.      Rel. Vasc. 238 en 242.
49.      Rel. Vasc. 239; Livro das Cidades f. 73r.
50.       Rel. Vasc. 238-241.
51.        Livro das Cidades ff. 72»-73r. Negeri Halong adalah Ulisiwa dan Kristen.
52.       LEMOS, hal 470.
53.       loc. cit.
54.       4 orang kaum Jesuit di Ambon adalah :Pero Mascarenhas, Jerónimo de Olmedo, Fernando Alvares, dan Jerónimo Rodrigues.
55.       Rel. Vasc. 240-241
56.       Zie Rel. Vasc. 239-240.
57.       Rel. Vasc. 242-244.
58.       Misalnya, kita dapat melihat peta yang digambarkan dalam Wessels  (Amboina, hal 163), namun dalam edisi bahasa Perancis di halaman 188, peta tahun 1610 jauh lebih baik.
59.       Rel. Vasc. 242; COUTO IX 48.
60.      VALENTIJN II b 15.
61.        Fakta bahwa Valentijn menempatkan peristiwa sekitar 40 tahun lebih awal, tidaklah mengubah hal ini.
62.       Menurut Valentijn (II, a, hal 123) negeri Halong dan semua negeri tetangga mereka sangat kaya akan pohon sagu
63.       Livro das Cidades f. 73r.
64.      Documenta Malucensia I 470-471; SA III 139.
65.       Fernando Alvares dan Jeronimo Rodrigues; barak mereka mungkin berfungsi sebagai gereja atau kapel.
66.      Rel. Vas, hal 243-244. Lihat deskripsi/penjelasan merdeka (Maredhyeka) yang benar oleh Valentijn (II, a, hal 123). Saya agak ragu apakah judul “ keluarga budak yang dibebaskan” dalam ENI VII, hal 1203 adalah benar.
67.       Rel. Vasc. Hal 263.
68.      LEMOS, hal  471.
69.      Livro das Cidades f. 73r.
70.       VALENTIJN II a, hal 118.
71.        Bijdragen en Mededelingen Historisch Genootschap Utrecht 6 (1883) 333-334.
72.       Schurhammer dalam bukunya Franz Xaver II/I, juga bergumul dengan pertanyaan di mana Uriteto berada. Ia tak menjawabnya dengan pasti. Pada sketsa peta di halaman 660, ia menempatkannya di di Batumerah; pada hal 677 catatan kaki no 221, ia mengklaim lokasi itu antara Galala dan hatiwe kecil.
73.       Rel. Vasc, hal 286 : hum tiro de espera; “espera atau esfera adalah bagian kecil dari senjata yang tidak terlalu tahan lama”
74.       RUMPHIUS  I, hal 11 .
75.       LEMOS, hal  471.
76.       Sangat menarik untuk dicatat bahwa penulis Portugis dari buku Rel. Vasc menggunakan kata melayu “gunung” di sini, agak dipotong : entre dous gunos (hal 243)
77.       Haruku-Utara merujuk pada “ Athua o grande”, sebaliknya “ Athua o pequeno” merujuk pada negeri Tuhaha di pulau Saparua.
78.       Untuk aktivitas ini, lihat Rel. Vasc, hal 247-284


Catatan Tambahan (dari kami penerjemah)
a)      Antonio Pais/Paez dianggap sebagai Kapitein pertama benteng Portugis di Ambon, meski faktanya belum ada satu benteng Portugis di Ambon. Para sejarahwan menempatkan orang ini sebagai kapitein pertama dengan dasar bahwa ia adalah orang pertama yang secara eksplisit ditugaskan untuk membangun benteng di Ambon, meski pada akhirnya ia tak bisa mewujudkan tugas itu. Ia bertugas dalam periode Januari/Februari 1563 – Desember 1564.
b)      Antonio de Quadros S.J. menjadi pemimpin/ atasan kaum Jesuit (provincial) yang bermarkas di India (Goa) sejak tahun 1559-1571
c)      Dom Fransisco Coutinho menjadi Wakil Raja sekaligus Gubernur Portugis yang bermarkas di Goa dalam periode 1561-1564
d)      Henrique de Sa menjadi Kapitein ke-16 benteng Portugis di Ternate dan berkuasa pada periode 1561-1564
e)      2 utusan Kristen Ambon ini adalah Dom Antonio dan Dom Manuel 
   f)     Manuel Lopez de Legazpi menjadi pemimpin armada Spanyol di Filipina sejak tahun 1564 
g)   Perlu dipahami maksud kalimat ini, Dom Duarte de Meneses adalah kapitein pertama benteng Portugis di Ambon, maksud kalimat ini adalah orang ini merupakan orang pertama yang menjadi kapitein dalam pengertian, orang pertama yang menjadi kapitein benteng di Ambon, yang juga adalah orang pertama bermarkas di benteng dalam arti sebenarnya. Pemahaman ini tidaklah bertentangan dengan catatan tambahan a) di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar