Minggu, 19 Januari 2020

Kapan kota Ambon didirikan? (bag 1)


Oleh:
Hubert Jacobs, S.J.
 
A.      Kata Pengantar

                         Setiap tanggal 7 September tiap tahun, warga kota Ambon selalu merayakan “hari jadi” kota itu. Sebagian dari kita, mungkin tahu alasan historis mengapa tanggal itu “dipilih” dan mengapa bukan tanggal yang lain,serta mungkin sebagian dari kita belum tahu apa-apa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul suara-suara “mempertanyakan”  dan “mengkritik” alasan dan dasar historis mengapa “harus” tanggal 7 September. Intelektual-intelektual muda Ambon, seperti M. Aziz Tuny dan Frits H Pangemanan  dalam artikel-artikel merekaa), menyajikan “historiografi” yang berlawanan dengan “sejarah umum” yang kita ketahui dan mungkin yakini selama ini. Dengan menggunakan sumber Portugis, mereka mendasari argumentasi “penolakan” terhadap tanggal 7 September, dan “mempresentasikan” tanggal lain sebagai tanggal yang paling “tepat dan benar” sebagai tanggal kelahiran kota Ambon. Mereka menyebut tanggal 25 Maret adalah tanggal yang benar itu.
                    Sayangnya, mereka mendasari argumentasinya hanya dengan 1 sumber saja. Jauh sebelum mereka, sejarahwan Jesuit asal Belanda, Hubert Jacobs S.J (13 Mei 1909 – 1996) telah menulis artikel membahas persoalan itu 45 tahun yang lalu. Jacobs menulis artikel sepanjang 34 halaman dalam bahasa Belanda dengan judul Wanner werd de Staad Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest, yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde volume 131, no 4, terbitan Leiden tahun 1975, pada halaman 427 – 460. Pada artikel itu, sang penulis dengan eksplisit menyebut bahwa artikel itu sebagai bagian sumbangsih pemikiran dan kesejarahan tentang persoalan “hari kelahiran” kota Ambon. Ia mendasari kajiannya dengan banyak sumber-sumber Portugis kontemporer dan sumber-sumber Belanda untuk merekontruksi “histori” pendirian sebuah benteng Portugis, yang “dianggap” sebagai fondasi terbentuknya sebuah kota. Kajiannya itu berupa analisis dan sintesis terhadap sumber-sumber itu, bahkan “mengkritik” sumber-sumber seperti Rumphius, Valentijn, Tiele dan Wessels.
                    Artikel itulah, yang kami terjemahkan ini. Tentunya hasil terjemahan ini tidaklah sempurna, dan pasti tidak sempurna, hal itu dikarenakan keterbatasan kami dalam berbahasa Belanda. Perlu juga disampaikan bahwa artikel sepanjang 34 halaman itu, terdiri dari 115 catatan kaki, 1 halaman berisikan bibliografi dan sayangnya tidak ada gambar pendukung. Catatan kaki dari penulis kami tandai dengan angka, sedangkan catatan tambahan dari kami, ditandai dengan huruf. Gambar/lukisan/peta dalam artikel terjemahan ini, berasal dari kami sehingga bisa lebih “berwarna” dan “meringankan” isi artikel. Kami juga membagi artikel ini menjadi 3 bagian, agar mudah diikuti dan tidak terlalu panjang.
                    Semoga dengan membaca artikel ini, pemikiran kesejarahan kita lebih luas dalam memahami suatu konteks dan tidak terjebak dalam misalnya perdebatan definisi sebuah kota.
                    Akhir kata, selamat membaca dan selamat menikmati... salam.
                   
Benteng Victoria Ambon (1607)


B.      Terjemahan (oleh Kutu Busu)

                         Kota Ambon, di pulau dengan nama yang sama di sebelah timur Republik Indonesia, perlahan-lahan mendekati perayaan 400 tahun “berdirinya” kota itu. Telah dipelajari dari sumber yang otoritatif, bahwa Pemerintah Kota dan dan penduduknya tidak akan membiarkan “peristiwa” ini berlalu tanpa diketahui. Mereka menyadari fakta bahwa, “asal usul” kota mereka berhubungan kembali dengan orang-orang Portugis, yang pada masa itu, dalam konflik yang semakin tajam dengan Penguasa Ternate dan Muslim Ambon di pantai utara Hitu pulau Ambon, berusaha mati-matian mempertahankan Kerajaan Portugis dan Kekristenan. Asal usul “kolonial” ini, tampaknya tidak akan meredam antusiasme Kota Ambon ingin merayakan/ memperingati hari “kelahirannya”. Namun, diduga, kepastian tentang tanggal pendiriannya berbanding terbalik dengan antusiasme perayaan itu. Sekarang orang bisa saja tidak peduli dengan keakuratan historis suatu tanggal, dan hanya puas dengan “perkiraan” semata. Tetapi, perayaan pada waktu yang tepat dan ditentukan secara ilmiah, tetap akan memberikan kepuasaan dan juga lebih banyak alasan untuk merayakan serta membenarkan kebanggaan lokal. Dalam kontribusi ini, kami (penulis) ingin mencoba menjawab pertanyaan :
Kapan (kota) Ambon didirikan? Tanggal berapa yang paling tepat, atau paling tidak, tahun berapa yang paling benar?


1.   Hal Penting

                   Pertanyaan kita (penulis) itu terlebih dahulu, perlu diklarifikasi. Orang-orang Portugis tidak tiba-tiba ada di sana dan secara formal mendirikan sebuah kota; mereka awalnya membutuhkan yang terutama adalah sebuah benteng, dimana mereka dapat mempertahankan diri, dan dari situlah mereka bisa “bersahabat” dengan sebagian besar, tetapi tidak selalu dengan negeri-negeri Kristen. Kota Ambon bermula dengan dan di sekitar benteng Portugis. Karena itu, pertanyaan kami berfokus pada hal ini : Kapan Portugis membangun benteng di suatu tempat di kota Ambon yang sekarang ini berada?.
                    Penjelasan kedua muncul dari pertimbangan sederhana, bahwa suatu bangunan tidak selalu merupakan suatu benteng. Memang benar, bahwa pada masa itu hampir tidak ada pemukiman atau pemukiman orang Eropa yang ada di luar negaranya, yang dapat terpikirkan tanpa membangun pagar pelindung atau membuat pertahanan, yang berupa bastion, redoubt, benteng kayu atau “forje”, dan orang-orang Portugis di Ambon telah memiliki beberapa pemukiman seperti itu sejak sekitar tahun 1524, namun dapat dipastikan bahwa sesuatu yang secara sah dapat menyandang  nama “ vesting” atau “fort”, dan itu juga diakui oleh para pemimpin politik di Goa dan Portugis, tidak ada di Ambon sebelum tahun 1569. Meskipun ada rencana sebelumnya (sebelum tahun 1569), tidak ada usaha realisasinya sebelum tahun itu. Tetapi di sisi lain, tidak ada yang menentukan periode pendirian benteng Portugis di sana (Ambon) lebih dari tahun 15801. Karena itu, “dasar” tahun pendirian (kota) Ambon akan dipersempit sebagai berikut : Apa yang terjadi pada benteng di Ambon antara tahun 1569 dan 1580?

Sketsa Benteng Victoria Ambon (1650)

2.  Sumber-sumber Belanda

                    Tampaknya tidak ada kepastian atau kesepakatan di antara para sejarahwan. Mereka yang tertarik dengan sejarah Ambon, tentu saja kebanyakan orang Belanda atau orang Ambon dengan latar belakang pendidikan atau “budaya” Belanda. Sangat jelas, bahwa mereka mengetahui sejarah itu dengan “bersandar” pada penulis seperti RUMPHIUS dan VALENTIJN. Tetapi, dengan ini mereka harus kecewa.
                    RUMPHIUS dalam bukunya Ambonsche Historie, menyebut pada awal tahun 1538, armada Portugis dibawah pimpinan Diogo Lopes de Azevedo, berpindah dari pantai utara Hitu ke teluk Ambon, dan membangun benteng “aan den Rodenberg” (Batumerah). Jika dia (Rumphius) kemudian menyebutkan relokasi benteng ini “ een musquets schootb) ke barat, ia tidak menjelaskan suatu tahun sebelum tahun itu, namun hanya menyatakan bahwa benteng baru itu tidak selesai sampai tahun 15882.
                    VALENTIJN, seorang yang rajin menyalin– kemudian masih terus – karangan-karangan Rumphius yang belum diterbitkan, menguraikan sejarah orang Portugis di Kota Ambon dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien, khususnya pada volume 2 bagian b hal 15-16, dan volume 3 bagian a hal 27-31. Bahkan secara eksplisit melalui contoh, ia (Valentijn) mengatakan Diogo Lopes de Azevedo membangun benteng di Batumerah pada tahun 1538-1540. Penduduk negeri Hatiwe dan sekelompok “mardijker” telah – dan sudah- menetap di benteng3. Bagi RUMPHIUS dan VALENTIJN, sejak tahun 1538 dan seterusnya, telah ada benteng Portugis di dekat Batumerah selama sekitar 30 tahun, persis di sebelah timur laut kota Ambon. Dokumen-dokumen kontemporer para sejarahwan dan para penulis laporan Portugis, tidak mengetahui apa-apa tentang keberadaan benteng semacam itu di tahun-tahun awal. Kedua penulis tersebut tentu saja memberikan detail yang menarik; sebagai “sang seniman” bagi negara dan orang-orang yang hidup dengan mereka selama beberapa tahu, mereka lebih paham untuk”menamai” nama-nama lokal bagi orang dan benda-benda, serta menyebarkan tradisi lisan yang tidak dapat diabaikan. Namun, mereka berdua bergantung pada sumber pengetahuan  yang tidak cukup dan memperoleh data mereka, sebagian dari tradisi lokal/lisan satu atau dua abad kemudian, serta sebagian dari penulis-penulis lain, seperti (sejarahwan) Jesuit bernama Giampietro MAFFEI dan karangan tanpa sumber milik Pierre DU JARRIC (JARRICUS), yang keduanya sendiri tidak mengetahui kisah tentang benteng kuno di Batumerah.


3.  Sumber-sumber Portugis

                    Lebih baik dari mereka, saat ini kita dapat melihat dan membandingkan dengan sumber-sumber Portugis kontemporer. Sebenarnya sangat jelas untuk menjawab pertanyaan : Apa yang dilakukan orang Portugis di Ambon pada tahun 1569-1580?, pertama-tama adalah dengan memeriksa sumber-sumber Portugis itu sendiri. Sekarang, hal demikian tidaklah sesederhana itu. Hanya dalam 30 tahun terakhir, teks-teks utama telah diterbitkan yang memenuhi syarat untuk hal ini, seperti yang akan kita lihat nanti. Untuk serial artikelnya yang berjudul De Europeers in den Malaischen Archipel, TIELE telah memeriksa dengan rajin dan cermat tulisan-tulisan para penulis Portugis, yang untuk peristiwa-peristiwa di Ambon, ia terutama mengandalkan tulisan dari COUTO4, tetapi dari isinya, kita tahu bahwa ia menuliskan laporan panjang dari Vasconcelos (yang akan segera dibahas), tidak selalu benar atau sepenuhnya mengenai kisah itu, serta di sana –sini dengan ketidaktahuan yang jelas tentang situasi lokal5. TIELE menceritakan hal itu pada bagian ke-4 dalam artikel itu, bahwa ada 3 lokasi tentang benteng di Ambon, yaitu : pada halaman 440, 4 baris tentang lokasi pertama; halaman 449-450, 10 baris tentang lokasi ketiga; halaman 452-453, 5 baris tentang lokasi keempat. Sementara ia tidak tahu lokasi yang kedua, dan ia menempatkan lokasi ketiga “ di Nusaniwe” (di halaman 453, kontradiksi dengan catatan kaki no 2 pada halaman 449). Ia tidak berusaha menentukan waktu dan lokasi dengan akurat. Karena COUTO juga tidak lagi memberikan informasi lanjutan, maka miskinnya data dari TIELE tidaklah mengejutkan.
C.    WESSELS, dalam bukunya yang berjudul De Geschidenis der R.K. Missie in Amboina, menulis dan dapat memeriksa lebih banyak sumber  Portugis  yang tersedia dibandingkan TIELE, khususnya dari arsip-arsip Jesuit di Roma, juga menyoroti peristiwa-peristiwa ini (halaman 48, 59-60,64), tetapi dalam catatan di halaman 48, ia tidak mengetahui bahkan tidak bisa menentukan di mana benteng Portugis pertama berada. Ia dengan keliru, menduga bahwa benteng itu berada di suatu teluk yang luas, kedua ia menempatkannya di Nusaniwe, dan ia mengidentifikasi (kata) batu itu dengan Batumerah.  
                         Untuk menjawab pertanyaan kita, tulisan-tulisan Portugis yang sangat relevan adalah : Relacao dos feitos eroicos em armas, que Sancho de Vasconcelos fez nas partes de Amboyno e Maluco, sendo capitao em ellas vinte annos pouco mais ou menos (Laporan pencapaian heroik Sancho de Vasconcelos di tanah Ambon dan Maluku saat kemimpinannya selama 20 tahun), diterbitkan pada tahun 1956 oleh Artur Basilio DE SA dengan judul A Capitania de Amboino dalam Documentacao .....Insulinda IV 164-4546. Laporan ini mencakup rentang waktu antara tahun 1565 – 1599, dan penulis yang tidak disebutkan namanya ini adalah saksi mata dari banyak peristiwa yang diceritakannya, yang kadang-kadang digambarkan dengan sangat terperinci, banyak detail tentang tempat dan orang. Dokumen aslinya mungkin hilang; hanya kopian dari tahun 1636 oleh Antonio BOCCARO, tersimpan di Biblioteca Nacional di Lisbon Portugis. Tulisan inilah yang digunakan oleh COUTO dan terkadang bahkan disalin secara harfiah7.
                         Extracto dalgumas cousas que Goncalo Pereira jez em Maluco, desde o anno de 68 por diante, e do que depois sucedeo (Maluku sejak tahun 1568 dan peristiwa yang terjadi sesudahnya), ditulis oleh Estevao DE LEMOS, seorang prajurit dan saksi mata, juga diterbitkan oleh Artur DE SA pada tahun 1956 (o.c. 456-474) dengan judul Accao de Goncalo Pereira Marramaque nos mares do sul, 1568-1578. Dokumen ini telah disalin dan disimpan pada arsip-arsip abad ke-16 oleh Joao REBELO S.J. di Arsip-arsip Jesuit kota Roma8.
                         Livro das Cidades e fortalezas que a coroa de Portugal tem nas partes da India, e das capitanias e mais cargos que neles ha e da importancia delles (Buku tentang kota-kota dan benteng-benteng yang dimiliki oleh Kerajaan Portugis di wilayah-wilayah India, dan kapten-kapten mereka serta kantor-kantor lainnya yang penting), ditulis pada tahun 1582; naskah ini disimpan di Biblioteca Nacional di Madrid Spanyol, diterbitkan pada tahun 1950 dan kemudian tahun 1960. Buku ini ditulis sebagai persembahan kepada Raja baru, Philip dari Spanyol, yang pada tahun 1580 juga menjadi Raja Portugal yang telah mendapatkan informasi tentang penunjukan kapten juru sita dan perwira-perwira serta pejabat lainnya, juga berisi informasi data historis yang menarik. Bab ke-14 menceritakan tentang Maluku, 4 halaman terakhir membahas Ambon secara khusus9.
                         Jesuitenbrieven (Surat-surat para Jesuit) dari abad ke-16, sebagian diterbitkan oleh Artur DE SA, sebagian diterbitkan dalam Documenta Malucensia, dalam seri Monumenta Historica Societatis Iesu, oleh Historical Institute of Ordo Jesuit di Roma. Arsip-arsip ini berada dalam bentuk hs,asli atau kopian di ARSI dan di berbagai arsip di Lisbon.  Sayangnya arsip-arsip ini yang berkaitan dengan periode tahun 1572 – 1577 tidak ada. Jadi kita tidak akan mendapatkan banyak informasi tentang hal itu, kecuali benteng pertama dan sejarahnya.
                        
Teluk Ambon (1600an)

4.  Pemukiman-pemukiman awal Portugis

                    Seperti yang kami katakan sebelumnya, pemukiman tidaklah sama dengan benteng. Pemukiman-pemukiman Portugis yang paling awal di Ambon, kita tidak tahu banyak dengan pasti, RUMPHIUS dan VALENTIJN, saya yakin adalah yang paling terperinci dalam hal ini, tetapi masih tidak jelas darimana kisah-kisah mereka didasarkan. Kami menelusuri tulisan-tulisan para penulis Portugis tentang masa-masa awal namun hasilnya sia-sia. Karena Ambon, bukanlah pulau penghasil cengkih seperti Ternate, dan tidak menghasilkan pala seperti Banda, maka pulau itu kurang mendapat perhatian. Bagi Portugis, tempat itu praktis hanya penting sebagai tempat perhentian sejenak  untuk “mendinginkan” kapal-kapal yang tiba dari Ternate dan berlabuh di teluk luas antara Hitu dan Leitimor sambil menunggu musim angin yang “baik” untuk kembali ke Malaka, dan pada sekitar pertengahan bulan Mei, perjalanan kembali itu harus dilakukan.
                    Orang Portugis pertama yang tiba di Ambon adalah Fransisco Serrao dengan sekelompok orang sekitar 8 orang10. Kejadian itu terjadi pada tahun 1512. Setelah kapal mereka karam dan hancur di terumbu karang Nusa Penyu (Pulau Penyu), mereka menuju ke Nusatelo (Pulau tiga) dilokasi negeri Asilulu sekarang, di ujung barat negeri Hitu. Mereka mendapat sambutan yang sangat baik di sana, dan oleh para pemimpin Hitu dijanjikan bahwa mulai sekarang (saat itu) Kapal-kapal Portugis yang tiba dari Ternate dan Banda, sebelum meneruskan perjalanan pulang, dapat singgah untuk “menyegarkan diri” di pantai Hitu sambil menunggu musim angin yang baik. Menurut RUMPHIUS dan VALENTIJN, sejumlah pemukim diberi tempat tinggal di tepi sungai Pikapoli di selatan negeri Mamala. Namun bertahun-tahun kemudian, orang-orang Muslim Hitu mulai tidak menyukai Portugis karena 2 alasan : karena tindak yang tidak pantas dan keras dari beberapa orang Portugisc), dan karena usaha-usaha pengkristenan yang tidak diinginkan. Sulit untuk mengatakan apakah orang-orang  Portugis “diusir keluar” menuju teluk Ambon di sisi lain negeri Hitu sebagai akibat dari ini, atau apakah mereka sebelumnya telah menemukan lokasi ini sendiri. Orang Hitu sendiri akan menunjukan kepada mereka suatu teluk yang lebih besar sebagai tempat berlabuh yang lebih aman untuk kapal-kapal, serta memberikan negeri Hatiwe dan Tawiri11, tetapi kapan hal ini terjadi ???. Apapun masalahnya, pada saat Kapten pertama benteng Portugis di Ternate, Antonio de Brito (1522 – 1525), pemukiman kecil di Pikapoli tampaknya telah pindah ke selatan ke arah teluk, yang pertama di Poka, kemudian ke Hukunalo, negeri Rumahtiga sekarang. Setidaknya itu menurut RUMPHIUS dan sang penjiplaknyad), VALENTIJN.
                    Para kru kapal sekarang secara teratur mengakhiri setiap tahun dengan “tinggal” di teluk mulai dari Februari hingga pertengahan Mei, bergaul dan bersahabat dengan negeri-negeri di sepanjang pesisir, khususnya dengan Hatiwe12 dan Tawiri. Kedua negeri ini berada dibawah kekuasaan Hitulama, tetapi mereka tidak pernah memeluk agama Islam dan masih tetap “kafir”13. Tidaklah diketahui apakah Portugis telah melakukan “pengkristenan/pertobatan” pada mereka sebelum tahun 1538. Namun, pada tahun itu (1538), negeri Hatiwe, Amantelo dan Nusaniwe telah menjadi Kristen14. Hal ini terjadi pada saat ekspedisi yang dikirim oleh Antonio Galvao, kapten benteng di Ternate (1536-1539) yang dipimpin oleh Diogo Lopes de Azevedo ke Ambon untuk membela kepentingan perdagangan Portugis15. Jika VALENTIJN mengklaim bahwa Lopes de Azevedo juga merebut kembali Pikapoli dan membangun “benteng kayu” di sana, maka itu mungkin – jika memang benar – sebuah benteng sederhana atau “gudang kayu”; Portugis juga akan memiliki yang serupa di Rumahtiga dan mungkin di Hatiwe.
                    Pada tahun 1535, Tabarija, Sultan Ternate digulingkan oleh Kapten Tristao de Ataide (1533-1536) dengan tuduhan memberontak dan di kirim ke Goa untuk diadili. Di sana, ia dinyatakan tidak bersalah dan dipertobatkan menjadi Kristen dan mengganti namanya dengan nama Dom Manuel. Ia berada di Malaka dalam perjalanan pulang saat meninggal di sana pada tahun 1545. Pendukung dan pembantunya yang hebat adalah Jordao de Freitas, yang menjadi Kapten benteng di Ternate pada periode 1544 – 1546. Saat masih di Goa, karena rasa terima kasih, telah “menyerahkan” Pulau Ambon dan “tanah-tanah jajahannya”  kepada Freitas sebagai bentuk keagungan dirinya dan keturunannya16. Dari Ternate, Freitas mengirim sepupunya, Vasco de Freitas ke Ambon untuk mengambil alih pulau itu dan membangun “kubu pertahanan”. Hal ini terjadi pada tahun 1544, dan lokasi itu “diantara teluk tempat kapal-kapal berlabuh dan negeri Hatiwe”17, yang pasti ada di suatu tempat di sebelah barat negeri Rumahtiga. Kami kemudian tidak mengetahui informasi lagi soal ini. Situasi tetap seperti itu selama sekitar 25 tahun. Fransiscus Xaverius menjadikan negeri Hatiwe sebagai tempat tinggal dan titik awal perjalanannya pada tahun 154618. Beberapa kaum Jesuit yang bertugas di Ambon pada tahun-tahun berikutnya, juga ditempatkan di Hatiwe hingga tahun 156919.
 
Sketsa Penaklukan Kota Ambon oleh Steven van der Haghen (1605)

5.  Memburuknya situasi

                    Sementara itu, hubungan antara Portugis dan Kerajaan Ternate serta Raja atau Sultan Hairun menjadi semakin tegang. Berbagai macam penyebab menyebabkan hal ini. Tidak dapat dikatakan bahwa Portugis sangat taktis dalam tindakan mereka untuk membangun dan memelihara persahabatan dan relasi yang baik dengan tuan rumah mereka. Semangat kaum Jesuit setelah tahun 1546 untuk mengkhotbahkan agama Kristen di ranah Sultan-Sultan Muslim Ternate atau di daerah-daerah yang mereka klaim, tentu bukan di tempat yang tepat. Ternate sedang dalam proses berkembang menjadi kekaisaran yang kuat. Sultan Hairun dan Baab-Ullah telah menjalankan kebijakan ekspansionis ini tanpa malu-malu, dengan sangat cerdik dan dengan sukses besar. Menjelang akhir abad ke-16, kekuatan dan kekuasaan Ternate meluas dari Mindanao ke Kepulauan Sunda Kecil, dan dari Selebes/Sulawesi Timur (Banggai dan Butung) hingga ke pulau-pulau “ Papua’. Islam menjadi faktor penting yang dinamis dan menyatukan dalam kebijakan ekspansi ini. Ada sesuatu yang benar-benar absurd dalam situasi dimana seorang Sultan muslim telah menyatakan dirinya sebagai pengikut Raja Kristen Portugis dan bahkan telah menyerahkan kerajaannya20.
                    Kebijakan kerajaan Portugis mengejar 2 tujuan di Maluku : keuntungan perdagangan dan penyebaran agama. Di antara para perwira dan pejabat benteng Ternate, minat terhadap tujuan pertama umumnya sebagian besar melebihi tujuan yang kedua, sementara untuk kepentingan kantong uang mereka sendiri, mereka memboikot kepentingan kerajaan sama kerasnya dengan keyakinan agama mereka. Kaum Jesuit juga mengeluh tentang sikap penentangan mereka dari Ternate, dan mereka juga sering terlalu sedikit memiliki kerjasama dengan pihak orang-orang sebangsa mereka, dan terkhususnya dengan pihak pemerintah. Mempertimbangkan Maluku yang dianggap oleh Goa sebagai koloni hukuman dan tempat pengasingan21, maka seseorang memiliki alasan apriori untuk tidak berharap banyak dari tingkat moral dan agama Portugis yang ditempatkan di sana. Namun, ada juga orang-orang hebat di antara mereka, seperti Antononio Galvao,bangsawan yang terlalu idealis. Tetapi, bahkan seorang pria yang setia seperti Baltasar Veloso22, yang datang ke Ternate dan keluar dari penjara setelah melakukan pembunuhan, serta laksamana Goncalo Pereira Marramaque (yang akan dibicarakan) telah dikirim oleh raja muda itu ke Maluku karena ia “mengalahkan” seorang bangsawan Spanyol di jalan di Goa23. Kesalahan mendasar, bagaimanapun, terletak pada hubungan yang mustahil dari 2 pengejaran politik yang berlawanan, Portugis mengharapkan  orang-orang Ternate untuk memahami dan mengimplementasikan perjanjian sesuai dengan konsep hukum Romawi-Eropa, sedangkan orang-orang Maluku yang cerdik memainkan permainan politik mereka sesuai pandangan “kuno” mereka tentang adat dan konsep hukum yang tidak tertulis.  Hasilnya adalah bahwa kedua belah pihak selalu menyebut “pengkhianatan” ketika pihak lawan melakukan sesuatu yang tidak memenuhi harapan mereka.
                    Sudah lama Ternate mengklaim semenanjung barat Seram, Hoamohel dan Ambon. Negeri-negeri di sepanjang pantai utara Hitu telah diislamkan; ketika penduduk mereka merasa terancam oleh Portugis, mereka memohon bantuan ke Ternate yang dengan senang hati membantu. Tetapi, Hitu juga berulang kali meminta bantuan kepada kerajaan Demak di Jawa24. Namun, negeri-negeri Ulisiwa yang masih pagan di Hitu selatan dan Leitimor, tidak menyukai “wajib kerja” yang diperintahkan oleh Hitu, dan kemudian melihat Portugis sebagai penyelamat mereka. Atas dorongan Ternate dan bantuan orang Jawa, Ambon lebih dari satu kali menjadi “tempat” penganiayaan langsung terhadap orang-orang Kristen : negeri-negeri mereka dibakar, harta mereka dicuri, penduduknya dibantai atau dijual sebagai budak. Para kapten benteng Ternate, tidak selalu mau atau mampu melindungi orang-orang Kristen dan menghukum para penuntut mereka. Tampaknya lebih serius bagi mereka, bahwa awak kapal-kapal Jawa tidak hanya melakukan perang, tetapi juga memuat banyak cengkih dan pala selundupan sebelum kembali ke Jawa, sehingga merugikan monopoli perdagangan Portugis.

Dom Sebastio/Sebastian, Radja Portugal (1557-1578)

                   
6.  Rencana Benteng di Ambon

                    Di bawah tekanan peristiwa-peristiwa ini, gagasan tentang adanya benteng sehingga kekuatan efektifnya akan berkurang. Benteng di Ambon akan mencegah Raja/Sultan Ternate untuk menjadi lebih kuat, yang berarti cakupan dan pasokan pada benteng Ternate dan orang Jawa, yang setiap tahun lebih dari 1000 kwintal akan dipertahankan bahkan akan berkurang. Hal ini, akan menjamin 2000 kwintal langsung ke kerajaan Portugis setiap tahun, dan terlebih lagi Kekristenan, akan menjadi sarana yang baik untuk menciptakan negara lebih “aman” dan menguntungkan. Itu menurut Raja Dom Sebastioe) dari Portugis dalam sepucuk suratnya kepada wakil raja di Goaf) pada 15 Maret 156525.
                    Lebih dari siapa pun, para misionaris Jesuit menyaksikan tindakan anti-Portugis dan anti-Kristen dari Ternate terhadap Ambon. sejak tahun 1558-1561, orang-orang Kristen telah menderita banyak, tetapi pada tahun 1564, perang penghancuran yang sesungguhnya terjadi terhadap negeri-negeri Kristen, yang menyebabkan kemurtadan besar dan pada tahun 1565 terjadi pengusiran para kaum Jesuit, sehingga tidak ada tempat yang aman lagi. Berkali-kali keluhan dan proposal para Jesuit diterima dengan pemahaman penuh dan terbuka oleh atasan provinsial mereka di Goa, Antonio de Quadrosg). Dan kali ini, ia berhasil membuat wakil raja melakukan sesuatu untuk Ambon.
                   

=== bersambung ===


Catatan Kaki
1.         Valentijn, II a hal 129
2.        Rumphius, I, hal 9 dan 11
3.        Valentijn, III a, hal 29
4.       Couto VIII cap. 25-26; IX cap 7-10 dan 12
5.   Lihat misalnya VIII 197 : cleate for Ulate; IX 39 : “ as ilhas de Bacao por Negoriche, atau “ as ilhas de Bacao por nome Goriche’ (kepulauan Bacan disebut Goraici); IX 60 : Ative daripada Atua (Hatuhaha); VIII 205 : Laksamana Portugis mendadak meninggalkan Dom Duarte de Meneses di Ambon sebagai panglima/kapten benteng sebelum pembangunan benteng tanpa diketahui oleh Couto.
6.  Dikutip oleh kami (penulis) sebagai Relacao Vascencelos (Real. Vasc)
7.   Bandangkan dengan Couto IX cap 10 dengan Real Vasc 238-243 dan IX cap 12 dengan halaman 243-245
8.  Archivum Romanus Societatis Iesu (ARSI), Goa 38 ff 113r-120v. Kami mengutip : Lemos
9.  Kami mengutip Livro das Cidades  dengan folio, dimana itu dapat ditemui dalam edisi fotografis hs dalam Studia 6 ( Lisbon, Juli 1960) halaman 352 dan 353
10.Treatise, hal 197
11.   Real Vasc, hal 195-196
12. Sekarang Lata atau Hatiwe Besar. Berbeda dengan negeri Lata yang didirikan oleh Belanda di jazirah Leitimor di teluk dalam, timur laut negeri Halong
13.   Menurut Rumphius (hal 19) dan Valentijn (II b hal 15 dan III a hal 28), Hatiwe mengirim utusan ke Goa sekitar tahun 1525 meminta bantuan untuk melawan Hitu. Sumber-sumber Portugis tidak melaporkan hal ini . – Tidak ada keraguan tentang itu bahwa hubungan negeri-negeri selatan hitu dengan Portugis juga dipengaruhi oleh pertikaian “kuno” yang ada antara Ulima dan Ulisiwa. Ini adalah semacam dikotomi politik dalam semacam aliansi dimana setiap negeri adalah bagian dari salah satunya. Negeri Hitulama adalah Ulilima yang memiliki 7 “negeri” yang disebut Uli, yang terletak di sepanjang pantai utara dan timur Hitu, yang sebagian besarnya adalah Ulilima.  Pada sisi lain, di sudut barat Hitu, negeri Uring/Ureng atau Lilibooi adalah Ulisiwa, sementara di pantai selatan hingga sampai dekat Rumahtiga adalah Ulisiwa, termasuk Hatiwe dan Tawiri. Mereka dengan senang hati menyingkirkan dukungan Portugis dari Hitulama dan dari Islam. Begitulah situasi perlahan mulai berkembang, dimana Ulisiwa – tidak selalu namun dominan – mendukung Portugis dan Kristen, sementara Ulilima mendukung Hitu dan Islam. Negeri Kristen Ulilima dan negeri Muslim Ulisiwa juga mulai terlibat dan bergabung. Leitimor didominasi oleh Ulisiwa tetapi Nusaniwe adalah Ulilima. Untuk istilah Uli khususnya Ulilima dan Ulisiwa, lihat J Keuning Ambonezen, Portuguezen and Nederlanders dalam : Indonesia 9 (1956) hal 135-168, khususnya 137-142; Adatrechbundel 36 (Den Haag, 1933) hal 438-444
14.Castenheda (VIII 522) : Ativa, Mantelo dan Nunciel. Amantelo adalah negeri kecil di teluk sepanjang pantai Leitimor, kira-kira di utara kota Ambon. Nusaniwe lebih merupakan uli dari satu tempat dan termasuk seluruh titik barat daya Leitimor. Dalam sumber Portugis, ada referensi berulang untuk “tempat Nusaniwe” (biasa dieja sebagai Roganive)
15. Castenheda VIII, hal 521-522
16.     Text of this donation and official confirmation by King D. Joao III from Portugal in 1543, in SA IV 31-35.
17.     COUTO VII / II 543.
18.     SCHURHAMMER, Franz Xaver II / I 661 note 107.
19.     SA III 12-13, 32-33, 89-90; Documenta Malucensia I 46; 52; 57 note 10;442; 445; 609 note 44.
20.    SA II 19; III 74; IV 36
21.     See, for example, Treatise 73.
22.    Verg. SA, Indices; SCHURHAMMER, Franz Xaver I / I 746-747.
23.    Rel. Vasc. 172.
24.    Dalam sumber-sumber Portugis, “kerajaan” itu selalu merujuk pada pelabuhan pelayaran yang disebut Japara/Jepara
25.    SA III 128, borrowed from Seb. GONCALVES III 173-174; also in Documenta Malucensia I 461-462.

Catatan Tambahan (dari kami penerjemah):
a)      M. Aziz Tunny, Anomali Kelahiran Kotaku, Ambon dimuat oleh tabloid Tabloid Id tertanggal 07 Sept 2019
§  Frits H Pangemanan, Hari lahir kota Ambon yang termanipulasi dimuat pada Harian Ambon Ekspres tertanggal 22 Maret 2012
b)    Arti harfiahnya adalah 1 tembakan senapan jenis muskuet. Kalimat ini biasanya dipergunakan dalam literatur-literatur Eropa abad ke-16 atau 17 sebagai istilah untuk menggambarkan ukuran jarak yang tidak terlalu jauh. Jarak tembak senapan jenis ini, kira-kira 50an meter. Sehingga makna dari kalimat ini adalah untuk menjelaskan jarak dari suatu objek ke objek lainnya tidaklah terlalu jauh atau bisa “terlihat”. Kalimat ini pengertiannya sama dengan kalimat “selemparan batu”. Kalimat een musquet schot secara eksplisit disebutkan dalam MOG Gub Ambon Jasper Janszoon (1611 – 1614) tertanggal 25 Juni 1614. Ia menggunakan kalimat ini untuk menggambarkan jarak antara pulau Haruku dengan pulau Saparua.
c)     Hubert Jacobs tidak menulis secara eksplisit menulis tentang tindakan keras dan tidak pantas yang dilakukan oleh Portugis. Namun sumber dari Adolf Heuken menulis bahwa salah seorang sedadu Portugis yang mabuk menganiaya seorang putri pemimpin Hitu Jamilu. Bahkan serdadu mabuk itu menampar Jamilu.
d)    Orang yang pertama kali menuduh Valentijn sebagai plagiator adalah sejarahwan sekaligus arsiparis Frederik de Haan dalam artikelnya yang berjudul Rumphius en Valentijn als Geschiedschrijvers van Ambon, yang ditulis pada Februari 1902, dan dimuat dalam buku berjudul Rumphius Gedenboek 1702 – 1902, yang diterbitkan di Harlem pada Juni 1902. Sejarahwan Indonesia, almarhum R.Z. Leirissa juga menulis soal tuduhan-tudahan ini dalam artikelnya yang berjudul Francois Valentijn : Antara Etika dan Estetika, dimuat dalam Jurnal Wacana volume 10, nomor 2, Oktober 2008, halaman 207 – 213
e)     Dom Sebastio atau Sebastian lahir pada 20 Januari 1554 dan meninggal pada 4 Agustus 1578. Ia adalah putra dari Joao Manuel Prince of Portugal dan Joana of Austria. Ia menjadi Raja Portugal saat berusia 3 tahun sejak 11 Juni 1557 – 4 Agustus 1578.
f)      Wakil Raja/ Vicerei atau Vicerooi pada masa ini adalah Dom Antao de Noronha (1564-1568)

       g)     Antonio de Quadros S.J. menjadi pemimpin/ atasan kaum Jesuit (provincial) yang bermarkas di India (Goa) sejak tahun 1559-1571

Tidak ada komentar:

Posting Komentar