Rabu, 08 Januari 2020

Saniri 3 (batang) Air (di) Seram : Suatu Catatan tentang Penemuan dan penafsirannya antara tahun 1675 dan 1950 (bag 3 – selesai )


Oleh Gerrit. J. Knaap


Alifuru Buria (sumber foto/gambar dari F.J.P.Scahse)



Pandangan-pandangan pada abad ke-20 tentang Saniri

            Segera setelah pertemuan saniri terakhir diadakan,  aliran “volume-volume kertas” dari jenis penafsiran tentang hal itu mulai muncul. Sachse, dalam tulisan-tulisan awalnya, mengemukakan gagasan bahwa Kakean dan Saniri adalah fenomena yang relatif baru, karena penulis-penulis sebelumnya seperti Valentijn yang menulis pada abad ke-18, tidak menyebutkannya. Ia menyatakan bahwa Inggris mungkin yang “bertanggung jawab”atas penciptaan institusi-institusi itu selama pemerintahan singkat mereka sekitar tahun 1800. (Sachse 1907: 61,80; KITLV H 1051, 108b: 5). Penulis-penulis lain tidak setuju dengan pandangan Sachse tersebut, dikarenakan mereka membaca Valentijn lebih baik dari Sachse, sehingga akibatnya menemukan hal-hal yang menarik tentang masalah itu. Setelah Sachse, Tauern mengungkapkan kemiripan Kakean dengan beberapa perkumpulan rahasia Melanesia. Berdasarkan pada pengamatan-pengamatan yang “dangkal” terhadap ciri-ciri fisik orang Seram, ia menarik kesimpulan bahwa suku Wemale adalah kaum migran dari Melanesia dan karena demikian, maka akibatnya asal usul Kakean harus dicari  di Melanesia (Tauern 1918: 29, 152). Namun, Stresemann, rekan kerja Tauern dalam ekspedisi Freiburg, memiliki pendapat berbeda. Berdasarkan riset linguistik (kebahasaan), ia menyatakan bahwa Seram  secara keseluruhan harus dianggap sebagai wilayah dimana kelompok-kelompok etnis Indoneisa dan Papua-Melanesia berjumpa dengan berbagai cara, termasuk soal migrasi. Namun untuk Seram Barat, hanya ada sedikit bukti pengaruh Melanesia. Mengenai asal usul Kakean, Stresemann kurang lebih mengikuti jejak Van Ekris, yang mendalilkan bahwa organisasi itu muncul dalam upaya melindungi kehidupan orang Alifuru terhadap gelombang meningkatnya ekspansi kesultanan Ternate dan terhadap proses Islamisasi yang berjalan seiring dengan ekspansi ini pada abad ke-15 (Stresemann 1918: xiii; 1923: 388).
                Meskipun Stresemann jelas-jelas membantah teori migrasi Melanesia milik Tauern, Deacon masih mempertahankan hipotesis ini pada pertengahan tahun 1920an. Namun, Duyvendak menolak gagasan migrasi Melanesia tersebut (Deacon 1925: 336,357; Duyvendak 1926: 112-120). Sebaliknya, ia melihat solusinya pada soal pembagian populasi Seram menjadi 2, mungkin perkawinan campuran, patalima dan patasiwa di masa pra-sejarah. Konsep pembagian bipartit ini, menurut Duyvendak, telah berulang dengan skala yang lebih kecil di Seram Barat, di Saniri 3 (batang) Air, dimana terjadi perpecahan di antara orang-orang yang tinggal di dekat sungai Sapalewa dan mereka yang tinggal di dekat sungai Tala. Demi teorinya itu, Duyvendak mengklasifikasikan orang-orang yang tinggal di distrik ketiga, di dekat sungai Eti yang lebih kecil, sebagai semacam “penyimpangan” dari tatanan “normal”. Seperti di Melanesia, persaudaraan rahasia Kakean karenanya harus dilihat sebagai perkumpulan ritual di dalam suku yang “pada suatu waktu” terpecah/terpisah menjadi 2 bagian. Namun, Duyvendak sendiri mengakui, bahwa tidak jelas apa sebenarnya “suku” itu pada saat pembagiannya (Duyvendak 1926: 122, 134-138, 173-178). 

3 laki-laki asal Hunitetu (sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse)

                Pada tahun 1930an, Van Wouden menulis tentang struktur sosial Indonesia Timur. Karena fokus utamanya adalah pada hubungan antara perkawinan dan klasifikasi sosial, ia tidak terlalu tertarik pada Kakean dan Saniri. Beberapa pandangan yang dibuat Van Wouden mengenai hal ini, menunjuk ke sudut pandang yang berbeda. Van Wouden cenderung untuk mengklasifikasikan patalima-patasiwa bukan dalam hal pembagian satu suku tetapi dari pembentukan beberapa suku. Konsepnya tentang “suku” didasarkan pada unit-unit yang cukup kecil, secara kasar identik dengan apa yang sejauh ini kita sebut sebagai “ negeri-negeri” (Van Wouden 1968: 147, 151). Akibatnya, Van Wouden akan menyebut Saniri 3 (batang) Air sebagai perkumpulan “ supra-tribal”. Jensen juga, memperlihatkan dirinya agak tidak senang dengan teori Duyvendak tentang pembagian beberapa “suku’ pra-sejarah. Dia menyatakan agar masyarakat rahasia Melanesia dan Kakean Seram Barat menjadi bagian dari lapisan peradaban yang lebih tua, yang “pada suatu waktu” dapat ditemui di seluruh wilayah mulai dari Melanesia hingga bagian timur Indonesia. Kakean, dalam pandangannya, dengan demikian haruslah dilihat sebagai sisa-sisa peradaban dari lapisan ini, yang di daerah sekitar lainnya telah digantikan oleh unsur-unsur budaya yang lebih baru. Konsep “lapisan - lapisan” peradaban dapat juga ditemukan dalam karya Vroklage (Vroklage 1936: 470,478-479, 484; Jensen 1948: 123-125).
                Beberapa penulis menyatakan bahwa ada 2 jenis pertemuan di tingkat “supravillages” yaitu Saniri untuk distrik “masing-masing” dan pertemuan gabungan untuk ketiga distrik yang disebut Saniri Hutu (Tauern 1918: 153; Sachse 1922: 138). Informasi paling lengkap Saniri 3 (batang) Air ditemukan dalam laporan yang tidak dipublikasikan oleh perwira militer Belanda, W.K.H. Feuilleteau de Bruyn dari tahun 1916. Versi singkat dan sedikit koreksi ini, diberikan oleh rekan seniornya, yang disebutkan Sachse di atas, dalam salah satu tulisannya kemudian (KITLV H 1051, 108a: 10-14; 108b: 5; Sachse 1922: 137-138). Keduanya, mendaftarkan Kepala Saniri tinggal di Kaibobo, Eti Tanunu dan Nuniali, Kapitan Saniri di Kairatu, Sole dan Hatuale, Pohon Bendera dan Ujong Bendera, serta 2 pejabat tinggi jenis baru, yang pertama disebut Sarimeten atau “parang/pedang hitam”, yang kedua disebut Patih Tanah. Patih tanah adalah Raja-raja negeri muslim dari negeri Latu, Luhu dan Lisabata, yang tidak diwajibkan untuk menghadiri pertemuan, namun harus selalu diberi informasi tentang keputusan yang dicapai. Menjadi jelas dari apa yang dikatakan Feuilleteau dan Sachse kepada kita semua bahwa semua fungsi ini adalah turun temurun dalam garis keturunan atau klan tertentu. Dengan pengecualiaan patih tanah, identitas pejabat tinggi Saniri sama sekali tidak sama dengan kepala desa. Sachse lebih lanjut menceritakan bahwa di masa lalu juga ada 3 raja, yang sekarang telah bermigrasi ke berbagai wilayah berbeda di Maluku Tengah. Deskripsi Stresemann tentang kepemimpinan saniri kurang lengkap. Namun, ia menyebutkan beberapa “lambang” , yang salah satunya adalah portero, diantara gelar-gelar lainnya (Stresemann 1923: 390-391). 

Peta Pulau Seram (sumber peta dari F.J.P. Sachse)

Pandangan-pandangan akhir

        Diskusi tentang asal usul Saniri 3 (batang) Air dan Kakean mungkin bisa dilabeli sebagai “jalan buntu”. Gagasan bahwa institusi-institusi ini merupakan hasil penciptaan Inggris dan itu adalah reaksi terhadap intervensi Belanda di pertengahan abad ke-17, jelas salah. Catatan-catatan pertama tentang Seram Barat dari abad ke-17, menunjukan bahwa kita sedang berurusan dengan sesuatu yang sudah ada sebelum kedatangan bangsa Eropa. Cerita bahwa di suatu tempat di abad ke-17, Raja Sahulau konon berperan penting dalam pengenalan Kakean dari Hoamoal ke daerah 3 sungai tersebut, kecuali bagi daerahnya, juga tidak berdasar seperti yang disebutkan di atas. Penjelasan bahwa asal mula harus dicari dalam perlawanan terhadap kebijakan Islamisasi Ternate adalah satu-satunya pilihan yang tersisa di antar penjelasan “historis” lainnya. Ekspansi Ternate ke Maluku Tengah harus ditempatkan pada abad ke-16 dan bukan pada abad ke-15. Sejalan dengan penjelasan ini, ada kecenderungan yang jelas di antara para pemimpin Alifuru abad ke-17, untuk bergabung dengan front Belanda yang anti muslim. Namun ada yang berlawanan, yaitu fakta bahwa inisiatif untuk bergabung dengan Belanda, tidak diambil oleh kepemimpinan Saniri, tetapi oleh orang-orang yang “menganggap dirinya” sebagai pemimpin dari Sahulau, Sumit dan Siseulu. Argumen lain yang menentang penjelasan anti Ternate, adalah bahwa tidak ada penyebutan motif ini sama sekali dalam catatan-catatan awal saniri, selain fakta bahwa para pemimpin yang terlibat, pastilah menyadari berapa banyak keuntungan yang dapat mereka peroleh dari Belanda, namun tidak mengatakan sesuatu yang negatif tentang Ternate dan Islam.
                    Teori Tauern tentang migrasi dari Melanesia ditolak dalam beberapa tahun setelah teori itu dimunculkan. Namun demikian, beberapa penulis tetap berpendapat bahwa, institusi-institusi Kakean dan Saniri merupakan bagian dari “lapisan” budaya, yang pernah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia Timur dan Melanesia. Teori pembagian milik Duyvendak, di sisi lain, tidak dapat menjelaskan fakta bahwa ada 3, bukannya 2 sub divisi dalam apa yang seharusnya “pada suatu waktu” adalah satu “suku”. Jauh lebih menarik adalah uraian lebih lanjut dari apa yang dikemukakan oleh Van Wouden, yaitu bahwa kita harus berpikir dalam hal “koalisi” daripada “perpecahan/pembagian”. Akibatnya, saniri harus dilihat sebagai asosiasi dari beberapa suku. Motif untuk asosiasi semacam itu masih belum jelas. Gagasan bahwa itu dirancang untuk melindungi sejak awal gaya hidup tradisional Alifuru, agak tidak mungkin. Yang paling masuk akal adalah penjelasan sederhana dari tahun 1678, yaitu bahwa Saniri adalah sebuah konfederasi yang bertujuan menciptakan/mengusahakan perdamaian  di wilayah –wilayah yang menjadi korban endemik perang. Namun, apa yang dimulai sebagai institusi yang berkaitan dengan masalah internal, lambat laun berkembang menjadi sesuatu yang juga bertujuan  untuk menolak masuknya warisan budaya. Aspek kegiatannya ini menjadi semakin penting ketika Islam dan Krisren mulai “berdesakan” di depan pintu Seram. 

Rumah Kakehan di Huku Anakotta dan Sketsanya
 (sumber dari F.J.P. Sachse)

                    Tidak semua Patasiwa di Seram Barat adalah bagian dari Kakean atau Saniri. Seperti disebutkan di atas, Siseulu dan semua negeri bawahan dari Sahulau adalah bukan anggota saniri. Suku Wemale dari lembah Uwin juga harus disebutkan dalam hubungan ini. Menurut beberapa penulis, negeri-negeri dari lembah Uwin pernah berafiliasi pada distrik sungai yang bernama Ulibatai, yang juga berhubungan dengan sejenis organisasi Kakean yang bernama Wapulane. Beberapa informan Jensen mengklaim bahwa Ulibatai/Wapulane adalah institusi asli dari suku Wemale, sedangkan saniri Waele Telu/Kakean berasal dari suku Alune (KITLV  H 1051, 108a: 14-15; Jensen 1948: 109-111). Meskipun Jensen enggan mengambil kesimpulan dari informasi ini, mungkin ada beberapa kebenaran di dalamnya. Jika kita melihat kepemimpinan saniri, yaitu Kepala Saniri, Kapitan Saniri, Pohon Bendera, Ujong Bendera, Portero dan Sarimeten, jelas bahwa mayoritas dari mereka, setidaknya 13 dari 18 adalah berasal dari suku Alune. Dari 5 yang tersisa, saya tidak dapat menentukan apakah mereka berasal dari Alune atau Wemale. Selain itu, agak sulit dipercaya bahwa kepemimpinan saniri sejak awalnya, juga termasuk raja dan patih tanah. Penulis-penulis abad 20, berbicara tentang Raja sebagai figur-figur penting di masa lalu, sementara patih tanah  selalu digambarkan sebagai orang luar yang relatif berkaitan dengan saniri. Orang-orang luar itu, mungkin telah dikenalkan oleh otoritas kolonial  dengan “tugas” untuk mengawasi segala hal. Patih Tanah mungkin identik dengan tangan kiri yang disebutkan dalam laporan Von Gaffron.
                    Apa yang jelas dari bukti sejauh ini, adalah bahwa organisasi saniri telah mengalami banyak perubahan. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena periode yang dibahas cukup panjang. Selain itu, masyarakat Alifuru selalu dalam keadaan perubahan terus menerus dan menunjukan banyak ketidakstabilan. Rupanya, banyak dari mereka yang terlibat dalam saniri sendiri tidak menerima struktur tertentu begitu saja. Seringkali, orang-orang yang “berpura-pura” mencoba menggunakan institusi kuno ini untuk kepentingan dan keuntungan pribadi mereka sendiri. Mereka tidak selalu merupakan anggota masyarakat Alifuru itu sendiri, seperti Sumit atau Sahulau, tetapi mungkin juga orang luar seperti patih tanah. Raja Kaibobo, Tanunu dan Nuniali, yang pertama memberi tahu orang Belanda tentang Saniri, dapat digolongkan juga sebagai “pembohong”, karena laporan-laporan belakangan, sering menegaskan bahwa kepala desa dan para pemimpin saniri tidak identik. Jelas, bahwa banyak orang yang berpura-berpura mencoba mengeksploitasi hubungan baik mereka dengan pemerintah kolonial sebanyak yang bisa dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Kepemimpinan tradisional mungkin sangat menderita, kehilangan otoritas setiap kali orang-orang “pembohong” ini ikut terlibat. Namun, bukan hanya dalam kepemimpinan saniri terlihat perubahan, tetapi keanggotaan juga tidaklah tetap. Ini menjadi jelas ketika kita membandingkan daftar yang relevan dari abad ke-17 dengan orang-orang dari awal abad ke-20 (VOC 1334: 240r, KITLV H 1051 108a: 11-130. Hal yang paling mencolok di sini adalah  bahwa bahkan Sahulau secara bertahap dianggap sebagai anggota, setidaknya dari sekitar seperempat terakhir abad ke-19 (Sachse 1922: 281). Lokasi kepemimpinan saniri juga cenderung berubah seiring waktu. Pada abad ke-17, kepala saniri tinggal di negeri-negeri pesisir pantai. Menjelang abad ke-20, sebagian besar pemimpin-pemimpin lainnya juga telah berpindah ke wilayah pesisir. Perpindahan menuju ke wilayah pesisir ini merupakan proses yang berkelanjutan, yang  juga diakibatkan oleh Belanda. Untuk waktu yang lama, otoritas kolonial menganggap “pemusatan” di wilayah pesisir sebagai satu-satunya cara untuk mengendalikan populasi secara efektif.
                    Selama 2oo tahun pertama setelah “penemuannya”, Saniri tetaplah tidak penting bagi Belanda, karena Seram tidaklah terlalu menarik bagi mereka (Belanda), baik secara ekonomi maupun pertimbangan strategis. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda bertindak sebagai bagian dari otoritas yang benar-benart tidak tertarik pada apa yang terjadi. Belanda bahkan tidak menghiraukan pembagian dalam pertemuan saniri menjadi  bicara di laut dan bicara di darat. Namun, pada abad ke-19, ideologi kolonial mulai berubah. Fakta bahwa saniri tidak dapat menyelesaikan masalah Seram dalam soal perang endemik, telah menempatkan Belanda dalam kesulitan yang serius, karena pembuat kebijakan kolonial bertujuan untuk secara bertahap menciptakan perdamaian dan ketertiban semua masyarakat di Hindia, bahkan di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomi seperti Seram. Gelombang “imperialisme moderen” yang berakar pada ideologi “beban manusia kulit putih” atau “misi sipilisasi” Eropa, pada akhirnya menjadi “musuh” Saniri 3 (batang) Air.
                   
        
=== selesai ===

Catatan :
Saya (penulis) mengucapkan terima kasih kepada Chris van Fraasen atas komentar kritiknya pada draft awal artikel ini, dan kepada Rosemary Robson atas koreksi Bahasa Inggrisnya

SUMBER-SUMBER

  1. Yang tidak diterbitkan
1.         KITLV H: Koninklijk Instituut voor Taal-. Land- en Volkenkunde. Leiden.
Westerse Handschriften.
2.        VOC: Algemeen Rijksarchief. The Hague. Verenigde Oost-Indische Compagnie
archive. Dalam referensi ini, singkatan kata “res’ merujuk pada Resolutieboek (Daftar Resolusi-resolusi) dan kata “BI” merujuk pada “Inkomde Brieven” atau (Surat-surat masuk), yang berasal dari pos-pos terluar di Gubernemen VOC Ambon ke Benteng Victoria

  1. Yang diterbitkan
1.         Collins. J.Th., 1980. The Historical Relationships of the Languages of Central
Maluku, Indonesia.
Chicago: Unpublished Ph.D. thesis, University of Chicago.
2.        Crab, P. van der. 1862. De Moluksche eilanden; Reis van Z.E. den Gouverneur Generaal Ch.F. Pahud door den Molukschen archipel, Batavia: Lange.
3.        Deacon, A.B., 1925, 'The Kakihan Society of Ceram and New Guinea Initiation Cults'. Folklore 36:332-361.
4.       Duyvendak. J.Ph.. 1926, Het Kakéan-genootschap van Seran. Almelo: Hilarius.
5.        Ekris, A. van. 1867, 'Iets over het Ceramsche Kakianverbond', Tijdschrift voor
Indische Taal-,Land- en Volkenkunde
16:290-315.
6.       Fraassen. Ch.F. van, 1987, Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel. Van soa-organisatie en vierdeling: Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië. Volumes I and II, Leiden: Unpublished Ph.D. thesis. University of Leiden.
7.        Hoëvell, G.W.W.C van. 1896, 'Bijschrift bij de kaarten van Seran (vulgo Ceram)'. Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap. 2nd series, 13:508-532.
8.       Jensen, A.E., 1939, Hainuwele; Volkserzahlungen von der Molukken-lnsel Ceram, Frankfurt: J.W. Goethe-Universitat.
-, 1948, Die drei Strörne; Zuge aus dem geistigen und religiösen Leben der Wemale, einem Primitiv-Volk in den Molukken. Leipzig: J.W. GoetheUniversitat.
9.       Knaap. G.J.. 1987a. Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Dordrecht: Foris. [Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Verhandelingen 125.1
-. 1987b, Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, 's-Gravenhage: Nijhoff. [Rijks Geschiedkundige Publicatiën, Kleine Serie 62.1
10.     Leirissa. RS.. et ai.. 1982, Maluku Tengah di Masa Lampau; Gambaran sekilas lewat arsip abad sembilm belas. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. [Penerbitan Sumber Sumber Sejarah 13.1
11.       Ludeking. E.W.A.. 1868, Schets van de residentie Amboina ,'s-Gravenhage: Nijhoff.
12.      Manuhutu. W., 1985, 'Pacificatie in praktijk; De expansie van het Nederlands gezag op Ceram. 1900-1942'. in: J. van Goor (ed.). Imperialisme in de marge; De afronding van Nederlands-Indië, pp. 267-315. Utrecht: Hes.
13.      Manusama. Z.J., 1983, G.E. Rurnphius, Ambonsche Landbeschrijving, Jakarta: Arsip Nasionai Republik Indonesia. [Penerbitan Sumber Sumber Sejarah 15.1
14.     Polman, K.. 1983. The Central Moluccas; An Annotated Bibliography. Dordrecht: Foris. [Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Bibliographical Series 12.1
15.      Rees. W.A. van, 1863. 'De krijgstocht op Ceram in 1860'. Koloniale Jaarboeken 3:65-86, 129-163.
16.     Riedel. J.G.F., 1886, De sluik- en kroesharige rassen tusschen Selebes en Papua, 's-Gravenhage: Nijhoff.
17.      Rumphius, G.E., 1910, 'De Ambonsche Historie behelsende ...'. Bijdragen tot & Taal-,Land- en Volkenkunde 64.
18.     Sachse, F.J.P.. 1907. Het eiland Seran en zijne bewoners. Leiden: Brill.
-. 1922. Seran; Mededeelingen van het Bureau voor Bestuurszaken der Buitengewesten, Vol X X I X , Weltevreden
19.     Schmid, W.J.M. van. 1843. 'Het Kakihansch verbond op het eiland Ceram'.Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 5-2:25-38.
20.    Stresemann, E., 1918. Die Paulohisprache; Ein Beitrag zur Kenntnis der Amboinischen Sprachengruppe. 's-Gravenhage: Nijhoff.
-, 1923, 'Religiose Gebrauche auf Seran'. Tijdschrift voor Indische Taal-,Landen Volkenkunde 62:305-424.
21.      Tauern, O.D., 1918, Patasiwa und Patalima; Vom Molukkeneilanú Seran und seinen Bewohnern. Leipzig: Voigtländer.
22.     Valentijn, Fr., 1724, Oud en Nieuw Oost-lndiën. Volume II. Dordrecht/Amsterdam: Van Bram/Onder de Linden.
-, 1726, Oud en Nieuw Oost-lndiën, Volume 111, Dordrecht/Amsterdarn: Van
Braam Onder de Linden.
23.     Vries. G. de. 1927. Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran; Zeden, gewoonten en mythologie van een oervolk, Zutphen: Thieme.
24.    Vroklage. B.A.G., 1936, Die Sozialen Verhaltnisse Indonesiens; Eine kulturgeschichtliche Untersuchung. Volume I, Borneo, Celebes und Molukken. Munster: Ethnologische Bibliothek Anthropos. 
25.   Wouden, F.A.E. van, 1968, Types of Social Structure in Eastern Indonesia. 's-Gravenhage: Nijhoff. [Originally published in Dutch in 1935. Koninklijk Instituut voor Taal-. Land- en Volkenkunde. Translation Series 1l.]

5 komentar:

  1. Itu gambar hunitetu cuma pemanis ?

    BalasHapus
  2. sangat berarti informasi tentang Saniri 3 batang air dan hubungannya dengan pembagian kekuasaan dan penguasaan wilayah masing2

    BalasHapus
  3. Salam kenal, penulis artikel ini(Adrin Anakotta), mohon maaf sebelumnya kalau mau cari sejara saniri 3 batang Aer di Seram ada baik-nya cari informasih kepada orang yg tepat. Supaya penuturannya benar. Memang mengenai sejarah saniri 3 batang Aer TDK banyak orang yg menulis tentang hal ini. Jadi informasinya kurang. Tetapi kalau penuturan orang tatua di seram barat Eti saniri 3 batang Aer itu merupakan suatu rapat besar untuk membicarakan perdamaian akibat dari perang Hongki, dan pembagian wilaya kekuasaan. Dan yg hadir dalam rapat besar saniri itu adalah tua-tua adat, kapitan dan raja. Kegiatan saniri 3 batang Aer tersebut SDH dilakukan beberapa kali tetapi TDK ada kata sepakat, sehingga nanti pada saniri terakhir yaitu Saniri Ate di wilaya batang Aer Eti, baru ada kata sepakat untuk menghentikan semua kegiatan perang hongi dan ada pembagian wilaya 3 batang Aer Eti,tala,sapalewa. Bukti tempat sanirinya ada sampai sekarang ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas tanggapannya.... tapi maaf, kami bukan penulis artikel ini.... ini adalah kajian dari sejarahwan Gerrit J Knaap, kami hanya menerjemahkan artikel dari beliau ke dalam bahasa indonesia, mungkin anda bisa mencari artikel aslinya dalam bahasa inggris, yang banyak tersebar di internet... salam.

      Hapus
  4. Maaf ada kata yg salah perang hongi

    BalasHapus