Selasa, 07 Januari 2020

Saniri 3 (batang) Air (di) Seram : Suatu Catatan tentang Penemuan dan penafsirannya antara tahun 1675 dan 1950 (bag 2 )


Oleh Gerrit. J. Knaap

(sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse)

Catatan pertama tentang Saniri 3 (batang) Air

Pada tanggal 20 Februari 1678, Abraham Ririj, Raja Negeri Kristen Kaibobo, Akiasan, Raja Negeri Muslim Nuniali dan Ianuru, Raja negeri “kafir” Tanunu, berkunjung ke benteng Victoria untuk meminta Gubernur1 dan Dewan Politik memberikan izin untuk mengadakan rapat atau pertemuan “saniri’ yang akan dihadiri oleh lebih dari 40 negeri/desa dari Seram Barat di muara sungai Eti, untuk membahas urusan-urusan penting di daerah itu. Anggota Dewan Politik yang bernama George Everhard Rumphius2, dan Sekretaris Dewan yang bernama Isaac van Thije3, diperintahkan untuk menyelidiki masalah ini, dan 4 hari kemudian mereka menyampaikan laporan. Menurut 3 Raja, yang tetap tinggal di Ambon sambil menunggu keputusan Dewan itu, bahwa Saniri adalah “ suatu konfederasi beberapa negeri, yang tunduk pada perjanjian sejak zaman dahulu, untuk menjaga perdamaian dan ketertiban di pantai Seram”. Saniri itu terdiri dari 3 “distrik” atau patan, dekat sungai Tala, Sapalewa dan Eti, yang mana Abraham Ririj, Akiasan dan Ianuru masing-masing merupakan pemimpinnya. Di bawah mereka ada Kapitan Saniri, yang bertanggung jawab mengadakan rapat saat pertemuan itu berlangsung. Kapitan Saniri untuk Patan Tala adalah Kapitan Makuresi yang tinggal di Lisiali, Kapitan Saniri Patan Eti adalah Kapitan Manumeten yang tinggal di Hatuale serta Kapitan Saniri Patan Sapalewa adalah Kapitan Tupesau, yang tinggal di Sole. Anggota-anggota Saniri memiliki tato khusus di dada mereka, dan diinisiasi dalam “suatu ritus kafir tertentu”. Penduduk sejumlah negeri/desa, seperti negeri Kaibobo, tidak diwajibkan untuk mengambil bagian dalam ritus ini, karena mereka beragama Kristen. Tidak disebutkan tentang negeri-negeri Muslim, apakah mereka mengambil bagian atau tidak dalam ritus “kafir” ini. Dari 3 “kerajaan” paling kuat di Seram Barat, hanya negeri Sumit yang menjadi anggota Patan Tala, sedangkan negeri Siseulu dan Sahulau bukanlah bagian dari organisasi Saniri. Alasan permintaan izin dari VOC adalah bahwa, selama upaya-upaya untuk mengadakan pertemuan sebelumnya, VOC yang tidak mengetahui alasan pertemuan besar di pantai Seram itu, telah mengirimkan pasukan dari Ambon, sehingga memaksa anggota-anggota Dewan Saniri untuk membubarkan diri, bahkan sebelum pertemuan itu dimulai (VOC 1334: 236v, 239r-241v).
Raja negeri Kaibobo, Nuniali dan Tanunu menyatakan bahwa tujuan utama dari pertemuan itu adalah untuk menciptakan perdamaian antara 2 negeri, yang salah satunya berlokasi di pesisir wilayah kekuasaan VOC, yang baru saja menjadi korban serangan berskala besar aksi perburuan kepala (potong kepala). Selain itu, mereka meminta VOC dapat mengirim delegasinya untuk menyaksikan proses pertemuan itu. Semua ini terdengar sangat menjanjikan di telinga Gubernur dan Dewan Politik, karena mereka (VOC) baru-baru ini dihadapkan dengan kegagalan ekspedisi militer ke wilayah pedalaman Seram. Oleh karena itu, maka izin diberikan. Pada bulan Mei tahun itu, para raja yang sama, juga meminta Gubernur dan Dewan untuk memberikan dokumen pengesahan kepemimpinan mereka atas patan masing-masing saniri. Gubernur, bagaimana pun juga, memutuskan untuk tidak terlalu terburu-buru. Pertama ia ingin mengetahui apa pendapat para pemimpin Alifuru lainnya. Selalu ada kemungkinan bahwa ia berurusan dengan beberapa penuntut yang hanya ingin mengambil keuntungan dari hubungan baik mereka dengan VOC (VOC 1334: 39v res, 242r, 305v). Namun, pendapat relevan yang diinginkan itu tidak pernah terwujud.
Mungkin sekitar 1 tahun kemudian, Rumphius mencatat penafsirannya soal relasi-relasi internal orang Seram Barat dalam karya geografisnya tentang Ambon, yang berjudul Ambonsche Landbeschrijving (Manusama 1983: iv). Pada karya ini, ia (Rumphius) memberikan penjelasan tentang geografi politik wilayah-wilayah di bawah kekuasaan 3 raja paling kuat di masa itu (di masa Rumphius): Siseulu, yang ia sebut sebagai “tertua” dari Patasiwa Alifuru, Sahulau yang penguasanya menggunakan gelar Kolano yang merupakan gelar asal Ternate untuk gelar Raja, dan akhirnya juga Sumit. Gelar asal Ternate yang digunakan Sahulau memperlihatkan bahwa leluhur mereka merupakan imigran dari Maluku Utara (Manusama 1983: 174-178). Rumphius juga memberikan informasi tentang Saniri 3 (batang) Air, namun deskripsinya menunjukan bahwa, bahkan pada masa itu (masa Rumphius), organisasi saniri itu “menyimpang” dari aslinya. Ceritanya (cerita Rumphius) meninggalkan ruang untuk mencurigai, bahwa ia menerima bagian-bagian informasi dari Kapitan Makuresi, karena ia lebih cenderung hanya “berpihak” pada klaim Kapitan Makuresi dibandingkan sisi “kesejarahan”. Menurut Rumphius, Seram Barat memiliki agama  yang disebut “patan” dan para penganutnya memakai tato tertentu. Di distrik 3 sungai, ada rumah khusus yang disebut “marel” yang didirikan untuk upacara inisiasi, yang dipimpin oleh Mauwen. Terkadang, saat kejadian aksi perburuan kepala atau masalah “penting” lain yang berhubungan, 3 kapitan saniri, yaitu Kapitan Makuresi, Manumeten dan Tupesau akan memanggil semua anggota untuk melakukan pertemuan yang disebut Saniri. Siapapun yang meninggalkan agama “patan” akan membayar mahal atau mengalami penganiayaan (Manusama 1983: 163, 171-172). 

Mauwen Alifuru (1892)

Rumphius juga memberitahu pada kita bahwa ada semacam dualistik kepemimpinan di masing-masing distrik. Di distrik Tala, Makuresi adalah penguasa wilayah gunung, sedangkan Raja negeri Kaibobo adalah Raja negeri pesisir. Pada distrik Sapalewa, Manumeten dan Raja Nuniali, sama-sama berkuasa, begitu juga Tupesau dan Raja negeri Taununu  berkuasa pada distrik Eti. Pada masa sebelumnya, Raja negeri Sumit merupakan penguasa asli pada distrik yang sama dengan Makuresi. Negeri Siseulu tidak bergabung dengan organisasi ini, karena “tidak bergabung sejak awal”. Namun demikian, hampir semua negeri/desa mengklaim kalau Siseulu adalah anggota “patan” dari distri Sapalewa dan Eti. Pendatang baru, negeri Sahulau bukanlah anggota organisasi itu. Berbeda dengan “subjek” Siseulu dan dan Sumit, tak satupun negeri-negeri bawahan Sahulau, yang merupakan anggota saniri. Rumphius menulis lebih lanjut bahwa pada sekitar tahun 1630, Raja Sahulau dan Raja Sumit berhubungan dengan VOC, sehingga meningkatkan prestise mereka di antara negeri-negeri Alifuru lainnya. Mereka telah membujuk Belanda untuk percaya bahwa negeri-negeri lain adalah negeri bawahan mereka. Sebaliknya, mereka mengancam negeri-negeri lainnya itu, jika hal ini ditolak oleh salah satu raja, maka mereka (Raja Sahulau atau Raja Sumit) akan “melaporkan” negeri-negeri itu pada “teman” mereka, yaitu Gubernur Ambon. Melalui cara inilah, Makuresi khususnya disebutkan telah kehilangan kekuasaannya (Manusama 1983: 171-174, 176-178).
Sekitar setengah abad kemudian, Valentijn menyalin sebagian besar deskripsi Rumphius tentang saniri, meskipun dengan beberapa perbedaan. Valentijn, dalam deskripsinya tentang agama Seram, menggunakan kata tutue sebagai pengganti kata “marel” yaitu ruangan ritus kakean yang lebih sesuai dengan laporan-laporan kemudian. Pemimpin upacara inisiasi tersebut adalah Mauwen Besar. Selanjutnya, Valentijn sangat terang-terangan dalam pandangannya, yaitu bahwa ketiga raja adalah perampas hak, yang telah mengambil keuntungan dari hubungan dengan VOC, untuk mengambil hak kuasa dari Kapitan Saniri. Dia bahkan mengklaim bahwa 3 raja sendiri telah bertindak jauh, seperti menggunakan Kapitan Saniri untuk memanggil pertemuan saniri (Valentijn 1724: Beschr 78-79; 1726: 3-4)

Pertemuan Saniri pada masa kekuasaan VOC

Inisiatif untuk melakukan pertemuan semua anggota Saniri di sungai Eti, yang mana Raja Kaibobo, Nuniali dan Tanunu meminta izin VOC pada tahun 1678, berakhir dengan kegagalan. 500 orang hadir di muara sungai itu, tapi sebagian besar negeri dari distrik Tala tidak hadir. Selain itu, anggota Dewan itu menjadi korban cacar dan malaria yang menyerang. Pada akhirnya, para pemimpin saniri memutuskan untuk membubarkan diri/membatalkan pertemuan. Secara khusus, Raja Siseulu, yang meskipun bukan anggota dari saniri itu, tetap menghadiri pertemuan, memperlihatkan dirinya sangat kecewa, karena ia senang membahas konflik antar negeri, yang juga sangat penting baginya (VOC 1334: 369v-372, 375r). Pada tahun 1680, Abraham Ririj dari Kaibobo bersama-sama dengan beberapa pemimpin saniri lainnya, mengusahakan perdamaian antar 2 negeri/desa. Kedua belah pihak yang saling bertikai, dihukum membayar 50 gong ke saniri – suatu angka yang sangat besar untuk negeri Alifuru. Pada kesempatan itu, Van Thije menuliskan komentar bahwa ini adalah “cara Alifuru dalam menghadapi hukuman, bagi yang terancam hukuman, setelah memberi 1 atau 2 gong, sisanya bisa diganti dengan potongan-potongan kain, pisau, piring-piring china dan sebagainya”. Dengan kata lain, itu semua adalah sesuatu yang bersifat simbolik (VOC 1356: 498-500 BI).
Laporan tertulis pertama dari pertemuan saniri, adalah pertemuan yang berlangsung di Tala pada tahun 1687. Laporan itu disusun oleh Abraham Ririj, Raja negeri Kaibobo dan Alexander Patimura, penguasa kedua dari negeri itu. Hadir dalam pertemuan ini, adalah perwakilan dari distrik Tala dan Eti, namun tidak ada satupun dari distrik Sapalewa. Beberapa hari setelah pertemuan itu berakhir, Raja negeri Nuniali tiba dengan perahu untuk mewakili distriknya. Apalagi Raja Sahulau juga mengirim delegasi, karena beberapa masalah yang akan dibahas, dimana ia juga memiliki kepentingan akan hal itu. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa beberapa raja negeri pendukung Patalima dari pantai utara juga hadir, seperti pemimpin terpenting Alifuru Patalima, yaitu Raja negeri Latea. Abraham Ririj memainkan peran dominan dalam pertemuan ini, dan jelas bahwa ia dianggap kurang lebih sebagai “wakil” VOC. Saniri berhasil menciptakan perdamaian antara beberapa negeri/desa, atau setidaknya mencoba untuk melakukannya, dan selain itu membahas beberapa poin kepentingan umum. Orang Alifuru dan penduduk negeri-negeri pesisir disarankan untuk tinggal di wilayah mereka sendiri untuk mencegah pertikaian apapun di antara mereka. Selain itu, ada juga larangan pada aktivitas-aktivitas anti islam yang terlalu fanatis, seperti membakar mesjid negeri/desa (VOC 1347: 28v-33v). 

Alifuru Rumahsoal

Laporan berikutnya dari pertemuan saniri yang berlangsung di Kaibobo dalam distrik Tala pada tahun 1717 ditulis oleh seorang kapten dan seorang pedagang junior VOC. Pada kesempatan ini, distrik Sapalewa juga tidak hadir, kecuali untuk beberapa negeri pesisir. Salah satu alasan ketidakhadiran ini adalah bahwa hal itu diduga distrik Sapalewa-lah yang mengatur pertemuan. Hal ini jelas dari laporan bahwa disana “ada pertemuan di semak-semak”, yang pada periode selanjutnya disebut sebagai “bicara di darat”, tanpa ada delegasi dari kompeni. Pejabat-pejabat kompeni hanya menyaksikan “pertemuan di pantai” yang selanjutnya digambarkan sebagai bicara di pantai”, yang berlangsung di depan tenda hunian mereka. Saniri yang “resmi” – yang mana para pejabat kompeni turut hadir – dibuka dengan pernyataan bahwa menurut hukum saniri, siapapun yang melakukan perampokan atau pembunuhan selama pertemuan itu, bertanggung jawab akan diserang oleh seluruh anggota saniri. Pada hari-hari setelah upacara pembukaan, banyak konflik yang dibawa untuk dibahas. Namun, ada perbedaan mencolok dengan laporan dari saniri sebelumnya, tahun 1687. Sebagian besar konflik yang dibahas adalah pertikaian antara penduduk pesisir dan ditangani dengan gaya mirip Dewan Peradilan untuk kasus-kasuk kaum pribumi, yang telah dilembagakan oleh VOC di kepulauan Ambon, Haruku dan wilayah-wilayah lepas pantai Seram lainnya, ini melibatkan, antara lain, suatu presentasi kasus-kasus yang didukung dengan klaim tertulis. Pertemuan saniri yang “resmi” itu ditutup setelah 8 hari berlangsung. Alih-alih melakukannya dengan Matakau, suatu sumpah tradisional alifuru, para delegasi menyimpulkan dengan suatu langkah, yaitu memperoleh keputusan saniri yang disahkan melalui tandatangan-tandatangan pimpinan-pimpinan utama distrik – yaitu Raja Kaibobo, Tanunu dan Nuniali (VOC 1894: 64-106; Knaap 1987a: 39-42).
Pertemuan saniri tahun 1717, yang pertama kali dihadiri oleh pejabat kompeni, karena itu menunjukan beberapa tanda adaptasi terhadap keadaan yang berubah. Pada faktanya, ternyata saniri tidak banyak berguna bagi penguasa kolonial, karena tidak ada bukti yang jelas bahwa situasi di Seram Barat menjadi lebih damai. Akibatnya, Pemerintah tertinggi VOC menginstruksikan pihak otoritas di Ambon, untuk tidak memberikan hak mengadakan pertemuan saniri. Pada sebagian besar abad ke-18, oleh karena itu, pertemuan saniri diadakan tanpa sepengetahuan kompeni. Bagaimanapun, pada tahun 1760an, kepentingan otoritas kolonial di Saniri, dihidupkan kembali karena para pedagang dari banyak tempat, yang cenderung melakukan “penyelundupan” cengkih mulai teratur mengunjungi pulau Seram, merusak monopoli terhadap item-item berharga. Negeri-negeri Seram Barat terkadang juga menanam pohon cengkih sendiri. Jadi VOC mulai lagi menggunakan saniri untuk mencegah hal ini dan untuk tetap mendapatkan informasi tentang apa yang sedang terjadi (Knaap 1987b: 463).
Namun, sekali lagi hasil-hasil dari upaya itu tidaklah cukup. Jadi Gubernur Abraham van der Voort4, menulis pada tahun 1772, misalnya, bahwa Saniri tidak ada gunanya bagi kompeni, karena “orang-orang itu tidaklah beradab, liar dan biadab” yang telah membuat segala macam janji dibawah sumpah hanya “untuk mendapatkan beberapa hadiah dari kompeni, tanpa memenuhi janji-janji itu”. Pengganti van der Voort ini, Bernardus van Pleuren5 dihadapkan dengan konflik bersenjata antara VOC dengan para pemberontak dari Tidore di bagian timur Seram, berpikir sebaliknya. Dia percaya bahwa pertemuan saniri memiliki pengaruh positif pada prestise kompeni. Selain itu, Alifuru Seram Barat tetap loyal pada Belanda ketika mereka diundang untuk bergabung dengan koalisi anti Belanda di Seram Timur. Dan disamping itu, mereka telah memandu para pegawai kompeni, untuk memperluas penanaman pohong cengkih di pegunungan-pegunungan Seram Barat. Namun, pohon-pohon cengkih itu tiba-tiba ditebang. Akhirnya, Van Pleuren menyarankan kompeni untuk tetap melanjutkan keterlibatannya dengan Saniri. (Knaap 1987b: 466, 481-484). 

Cakalele Alifuru Honitetu (1912)

Saat kita melihat kembali laporan tentang Saniri dari tahun 1771, saat Van der Voort sendiri turut hadir, jelas mengapa ia sangat kecewa dengan hasilnya. Sebagian besar orang dari distrik Sapalewa tidak hadir, seperti juga semua orang dari daerah pegunungan Tala. Gubernur, duduk di tendanya, mencoba untuk memaksakan perjanjian perdamaian antara orang-orang gunung dengan mereka yang tinggal di pesisir pantai. Selain itu, ia membuat Alifuru berjanji untuk menebang semua pohon cengkih yang ditemui di wilayah mereka. Tidak ada pembahasan tentang masalah-masalah aktual di wilayah itu. Pertemuan hanya berlangsung selama 1 hari, dan ditutup dengan minum Matakau. Untuk kegiatan ini, sebuah periuk penuh dengan tuak (sopi), yang mana juga ditambahkan beberapa benda, termasuk pisau, panah, sosok buaya, serta patung manusia penderita penyakit cacar. Siapapun yang meminum dari minuman pilihan ini dan kemudian menyangkal sumpahnya, akan dihukum dengan kematian, penyakit dan sejenisnya, semua hal yang secara simbolis ada dalam periuk itu. Akhirnya, beberapa pemimpin diberi hadiah, termasuk topi bersisi tiga dengan ornamen perak yang tetap masih dianggap sebagai lambang kehormatan pada paruh terakhir abad ke-19 (VOC 3355 (3): dari 3-11-1771 dan seterusnya).
Pandangan optimistik van Pleuren ini akan menyebabkan kita mengharapkan laporannya tentang saniri tahun 1776  dengan nada yang cukup berbeda. Namun, semuanya itu hampir sama, satu-satunya perbedaan adalah bahwa pada pertemuan ini, semua perwakilan dari distrik Sapalewa turut hadir. Secara umum, ada kelebihan perwakilan dari populasi negeri-negeri pesisir. Proses yang berlangsung di depan tenda Gubernur hanyalah “sebentar” (VOC 3491 (3): dari 11-11-1776 dan seterusnya). Begitu juga dengan pertemuan saniri tahun 1786, yang turut dihadiri oleh Gubernur Adriaan de Bock6, berbeda dari 2 pertemuan saniri sebelumnya. Setelah minum Matakau dan menerima beberapa hadiah, para pemimpin Alifuru disajikan semua jenis minuman beralkohol, “yang membuat mereka begitu ceria dan sangat puas sehingga saat kembali ke tenda-tenda, mereka bernyanyi dan berjingkrak”. Pada malam harinya, Alifuru bersama lagi dengan Gubernur untuk menampilkan tarian perang (Cakalele) kepadanya. Sementara itu, “Gubernur melemparkan segenggam kecil koin perak dan tembaga di antara mereka, dan mereka saling berebutan” (VOC 3755 (4): dari 6-11-1786 dan seterusnya). Alasan ketergesa-gesaan yang menjadi karakter keterlibatan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-18 adalah bahwa saniri dapat diminta bantuan selama pelayaran hongi atau kegiatan patroli tahunan bersama kapal-kapal perang kaum pribumi Ambon di sekitar kepulauan Maluku Tengah. Karena armada ini biasanya melakukan patroli selama beberapa minggu pada saat pertemuan berlangsung, sehingga semua orang ingin kembali, maka Gubernur tidak ingin mencurahkan terlalu banyak waktu untuk saniri.

Alifuru

Informasi dari abad ke-19    
 
                    Dari sebuah laporan yang berasal dari awal abad ke-20, kita tahu bahwa Belanda  mengorganisir pertemuan saniri pada bulan April tahun 1805, di antara alasan-alasan lain untuk mengimbangi keterlibatan orang-orang Tidore dalam masalah Seram ( KITLV H 1051, 108a: 37-38). Apakah ini berhasil atau tidak, kita tidak mengetahuinya. Laporan-laporan tercetak pertama soal Kakean dan Saniri setelah Valentijn, diterbitkan oleh W.J.M van Schmid7. Meskipun van Schmid memberikan banyak data baru tentang Kakean (ia adalah orang pertama yang benar-benar menggunakan kata pasti/tegas), ia tidak memberikan informasi baru tentang Saniri, yang ia definisikan sebagai organisasi yang dirancang untuk menciptakan perdamaian antara negeri-negeri pesisir dan negeri-negeri pegunungan. Van Schmid lebih lanjut menulis, bahwa menurut tradisi lisan, Kakean muncul sebagai reaksi terhadap kehancuran Belanda di Hoamoal di semenanjung Seram bagian paling barat – suatu kejadian pada pertengahan abad ke-17 (Van Schmid 1843: 26).
               Kemungkinan, setelah pertemuan saniri tahun 1805 itu, tidak ada orang Eropa yang menyaksikan pertemuan seperti itu lagi untuk waktu yang lama. H. von Gaffron, memberikan deskripsi indah tentang Saniri dari tahun 1842, yang baru-baru ini diterbitkan, memberi tahu kita bahwa dia adalah orang Eropa pertama yang hadir pada pertemuan semacam itu sejak 50 atau 60 tahun (Leirissa et al. 1982: 45-54). Dia memberikan laporan yang jelas tentang “nyanyian mistis” Alifuru, yang dipimpin oleh Kepala Saniri, yang suatu hari datang ke pantai tempat hunian sementara dari kepala desa/negeri di pulau-pulau terdekat, yang dinominasikan sebagai delegasi atas nama pemerintah kolonial. Orang-orang Alifuru datang dari perkemahan mereka di semak-semak, sekitar sekitar setengah kilometer dari pantai, beberapa dari mereka seragam Eropa kuno dari setengah abad sebelumnya. Ketidakhadiran pada pertemuan satu hari ini, sekali lagi cukup besar. Acara utama dari bicara di laut ini adalah meminum Matakau untuk menutup pertemuan. Von Gaffron memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang komposisi kepemimpinan saniri. Para pemimpin paling penting adalah 3 kepala saniri, yang berpakaian merah dan menggunakan topi 3 sisi. Sayangnya tidak disebutkan tentang identitas mereka. Mungkin saja, mereka bukanlah figur-figur yang sama seperti Raja Kaibobo, Nuniali dan Tanunu. Dalam hal ini, menarik untuk dicatat bahwa para pemimpin dibawah level mereka, disebut sebagai “tangan kiri” atau “tolongan”.  Menurut von Gaffron, ini semua merupakan kepala desa dari neger-negeri pesisir pantai. Setelah mereka datang juga Pohon Bendera dan Ujung Bendera, para Kapitan Saniri dari wilayah pegunungan, portero, yang bertugas sebagai pembawa pesan antara pemerintah kolonial dan distrik-distrik itu, dan akhirnya beberapa Mauwen.
               Van der Crab8, yang mengunjungi Maluku Tengah dalam tahun 1860, memberikan beberapa data baru. Dia menceritakan antara lain bahwa Sahulau, yang kekuatan pengaruhnya telah “lenyap” pada saat itu, pada awalnya menjadi bagian Patalima, dan kemudian berubah menjadi bagian dari Patasiwa. Namun, Sahulau tetap independen dari saniri, dan tetap tidak pernah dimasukan kedalam Kakean (Van der Crab 1862: 214). Atas dasar informasi dari Marcus Kakiay, pemimpin perang Alifuru yang ditangkap, Van Rees yang kemudian dikutip oleh Ludeking, memberitahu kita bahwa Kakean pada awalnya adalah sebuah fenomena yang berasal dari Hoamoal, semenanjung Seram bagian barat yang hampir tidak berpenghuni, yang terbentuk untuk berperang dengan patalima atau musuh lainnya. Pada saat Belanda menghancurkan tatanan sosial Hoamoal di pertengahan abad ke-17, Raja Sahulau telah bermigrasi dari sana ke pedalaman Seram Barat, dimana ia mengungkapkan rahasia Kakean kepada Kepala Saniri, yang dengan segera memperkenalkan “organisasi” itu di daerah mereka, sementara Raja Sahulau sendiri, untuk satu alasan atau lainnya tidak “mengizinkan” keberadaan Kakekan di wilayahnya sendiri. Kepala Saniri memperkenalkan Kakean untuk memperkuat kontrol mereka atas wilayah tersebut (Van Rees 1863: 67-68; Ludeking 1868: 68-69). Di sini, kita memiliki gambaran bahwa keberadaan Saniri 3 (batang) Air yang telah ada sebelum Kakean diperkenalkan. Pada waktu yang hampir bersamaan, Misionaris Protestan, Van Ekris9 membenarkan gagasan bahwa fenomena yang sedang dibahas dimaksudkan untuk menangkal semua intervensi asing. Namun, ancaman intervensi pertama datang dari Ternate. Akibatnya, Van Ekris menempatkan asal usul Kakean dan Saniri, sebelum kedatangan bangsa Eropa (Van Ekris 1867: 297). 

Radja van Honitetu

              
Van Hoevell10, pada akhir abad ke-19, sejalan dengan informasi yang diberikan oleh Van Rees dan Ludeking, mengemukakan gagasan bahwa Kakean “memperlihatkan” asal usulnya sebagai suatu reaksi masyarakat tradisional dan agama Patalima terhadap intervensi asing, khususnya intervensi Belanda dalam pertengahan abad ke-17, ketika seluruh masyarakat Hoamoal dihancurkan. Dia melanjutkan bahwa Belanda telah memberikan seragam-seragam berwarna berbeda untuk para pemimpin setiap patan saniri : Kuning untuk Sapalewa, Merah untuk Eti, dan Biru untuk Tala. Van Hoevell sangat pesimis soal kemampuan saniri untuk menciptakan perdamaian di antara Alifuru. Pertemuan saniri tahun 1888, yang disaksikan oleh delegasi dari pemerintah kolonial untuk pertama kali dalam beberapa tahun, telah gagal karena kurangnya otoritas kepemimpinan saniri. Namun, insiden yang paling mengejutkan adalah pembunuhan seorang pemimpin tinggi saniri dari distrik Tala oleh para kapitan dari negeri Hunitetu selama pertemuan itu. Pertemuan saniri terakhir yang pernah diadakan, yaitu tahun 1902, dikatakan berakhir dengan kekacauan, sehingga delegasi Belanda terpaksa segera membubarkan diri (Van Hoevell 1896: 511, 513-515; Sachse 1922: 138). Nampaknya, pengalaman abad ke-19 dengan Saniri tidak lebih baik daripada pengalaman abad ke-18. Mengingat saniri masih dianggap sampai batas tertentu sebagai sesuatu yang memiliki efek positif bagi relasi-relasi Belanda dan Seram, Kakean yang “berkembang” secara bertahap dianggap sebagai ancaman terhadap ekspansi Belanda. Sejak tahun 1903 hingga seterusnya, Belanda memilih menyelesaikan masalah melalui cara-cara militer dan “memasukan” pulau itu kedalam negera kolonial yang “tenang” (Manuhuttu 1985: 278-281, 286).



==== bersambung ====


Catatan Tambahan
  1. Pada periode ini (Februari 1678), yang menjadi Gubernur Ambon adalah Anthonie Hurdt (April 1672-Juni 1678)
  2. George Everhard Rumphius sebelumnya menjadi Hoofd van Larike/Pemimpin distrik Larike (1657-1660), Hoofd van Hitu/Pemimpin distrik Hitu (1660-1670). Sejak tahun 1670, Rumphius menjadi buta, dan ditunjuk sebagai anggota Raad van Politie (1670 -1702) hingga meninggal di Ambon pada 13 Juni 1702.
  3. Isaac van Thije menjadi Sekretaris Raad van Politie/Dewan Politik (1675-1680), kemudian Hoofd van Hitu (1680-31 Agustus 1684), dan dimutasi ke Ternate menjadi Secunde Gubernemen Maluku/Ternate (1684 -1689), dan mencapai posisi puncak sebagai Gubernur van Makasar (1695 -1700) hingga meninggal pada Juni 1700.
  4. Nama lengkapnya adalah Johan/Joan Abraham van der Voort. Ia menjadi Gubernur Ambon pada periode (12 Juni 1770 – 1 Mei 1775). Ia menggantikan Gubernur sebelumnya, Pieter Hendrik Breton (1 Oktober 1767 – 12 Juni 1770). Van der Voort kemudian digantikan oleh Bernardus van Pleuren (1 Mei 1775 – 2 Mei 1785)
  5. Bernardus van Pleuren menjadi Gubenur Ambon pada periode 1 Mei 1775 – 2 Mei 1785 (lihat catatan tambahan no 4 di atas). Ia kemudian digantikan oleh Adriaan de Bock
  6. Adriaan de Bock menjadi Gubernur van Ambon pada periode 2 Mei 1785 – Januari 1788.
  7. W.J.M. van Schmid memiliki nama lengkap Willem Jan Maurits van Schmid (1806 – 1884/1885). Van Schmid pernah menjadi Assisten Resident van Saparoea (1840 – 1842). Saat bertugas di Saparua inilah, van Schmid mengumpulkan banyak informasi dan kemudian menulis artikel panjang seperti yang dimaksud oleh Knaap tersebut.
  8. Van der Crab yang dimaksud oleh Knaap bernama lengkap Petrus van der Crab (1827 – 1895). Ia pernah menjadi Asisten Residen di Gubernemen Maluku (1858-1863), Pejabat Gubernur Maluku (1861-1862), Resident van Ternate (1863-1866), Resident van Ambon (1866 – 1869) dan Resident van Manado (1872-1875). Ia disebut oleh Knaap mengunjungi Maluku Tengah, dalam rangka menemani “blusukan” Gubernur Jenderal Hindia Belanda Charles Ferdinan Pahud (1857-1861) yang berkunjung ke Maluku dalam tahun 1860 itu. Sang Gub Jend bahkan mengunjungi Saparua pada tanggal 29 Desember 1860.
  9. Van Ekris yang dimaksud oleh Knaap memiliki nama lengkap Arris van Ekris (1831-1868). Ia seorang pendeta yang pernah bertugas di Alang (1856-1857), Saparua (1857-1858), Kamariang (1858-1865) dan Haruku (1865 -1868) hingga meninggal di Ambon pada 14 februari 1868. Ia menikah di Saparua pada tanggal 22 Juli 1857, dengan seorang wanita burger Saparua bernama Hendrika Engel (1835 - ??) 
  10. Van Hoevell yang dimaksud oleh Knaap memiliki nama lengkap Gerrit Willem Wolter Carel Baron van Houvell (1848-1920). Ia pernah menjadi Controleur van Hila (1871-1872), Controleur van Saparua (1872-1875) dan Assisten Resident van Ambon (1891 – 1896).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar