Jumat, 10 Januari 2020

Rute Utara Perdagangan ke Kepulauan Rempah-rempah : Laut China Selatan – Perairan Sulu – Maluku Utara (abad 14 hingga awal abad 16) == Bagian 1 ==


Oleh Roderich Ptak



Roderich Ptak

I.   Kata Pengantar

      Maluku telah dikenal sebagai penghasil cengkih sejak zaman dahulu, siapapun itu pasti tahu.  Tumbuhan dengan nama latin Eugenia caryophyllus ini, bahkan telah dikenal dalam sumber-sumber bangsa China pada abad ke-3 Masehi. Robert A Donkin dalam bukunya, yang mengutip sumber dari sejarahwan Oliver Wolters, menulis kata chi-she-hsiang (chicken tongue parfume) sebagai salah satu nama cengkih menurut orang China pada abad ke-3 itu. Selain kata pertama itu, pada abad ke-10 Masehi, seorang penulis China bernama Chau Ju-Kua menulis kata Ting-hsia sebagai nama untuk cengkih dalam bukunya Chu-Fan-Chi. Menurut buku yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Friedrich Hirth dan W.W. Rockhill ini, cengkih disebut Ting-hsia karena bentuk cengkih itu mirip dengan karakter/abjad  ting (paku) dalam bahasa China.
      Karena cengkihlah, maka bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba datang ke Nusantara dan kemudian menaklukan Maluku sebagai pusat rempah-rempah di masa itu. Namun, jauh sebelum bangsa Eropa itu mengunjungi Maluku, bangsa China telah lama “akrab” dengan kepulauan rempah-rempah itu. Sumber-sumber China yang berasal dari masa kekaisaran Song (960 -1279) maupun Yuan (1271 – 1368) menceritakan hal itu. Tetapi bagi kita orang awam, kita jarang disuguhi bahkan saat misalnya di jaman sekolah, tentang rute-rute yang dilalui oleh orang-orang China itu untuk mencapai kepulauan rempah-rempah. Bahkan misalnya kalau kita pun tahu, kita akan menceritakan kalau para pedagang China itu, akan bertemu di Malaka untuk membeli rempah-rempah dari pedagang-pedagang Jawa, atau langsung menyusuri pelabuhan-pelabuhan Jawa, mengarungi selatan Kalimantan, Sulawesi, dan menuju Banda, Ambon dan ke Maluku Utara. Rute demikian, lebih dikenal sebagai Rute Jawa atau Rute Selatan
Faktanya, itu bukan satu-satunya rute yang digunakan oleh para pedagang-pedagang China untuk tiba di kepulauan Maluku. Ada 1 rute lain, yang mungkin kurang terlalu dikenal/diketahui oleh kita.
      Roderich Ptak, seorang Profesor Sinologi (Ilmu tentang bahasa dan kebudayaan China) dari Ludwig-Maximilians Universitas Munich, Jerman mendeskripkan dan mengkaji rute itu lewat artikel yang kami terjemahkan ini. Berbekal kepakarannya dalam bahasa China, yang berarti bisa membaca sumber-sumber China, sang profesor menguraikan jalur-jalur yang ia sebut sebagai rute “kuno” atau Rute Utara/Rute Kalimantan. Seperti disebutkan secara eksplisit oleh sang penulis sendiri, kajian ini bukan tentang sejarah rempah-rempah, atau mengenai distribusi komoditas itu. Ia hanya bermaksud mengkaji soal lalu lintas, soal rute atau jalan-jalan yang dilalui oleh orang-orang China untuk tiba di kepulauan rempah-rempah.
      Artikel aslinya berjudul The Northern Trade Route to the Spice Islands : South China Sea – Sulu Zone – North Mollucas (14th to early 16th century), yang dimuat dalam majalah Archipel volume 43, tahun 1992, pada halaman 27 -56. Artikel sepanjang 30 halaman ini berisi 21 halaman kajian, yang didalamnya ada 3 buah peta, 8 halaman berisikan 89 catatan kaki,berupa penjelasan dan sumber-sumber yang digunakan,  yang dimuat tersendiri pada akhir artikel, dan 1 halaman “lampiran”.
      Kami memberanikan menejemahkan artikel yang agak “berat” ini agar bisa dibaca, dan “dinikmati” oleh kita semua. Selain itu, isi artikel bermutu ini, bisa menjadi gambaran umum bagi kita, khususnya kita sebagai manusia-manusia Ambon-Lease, untuk paling tidak memahami gambaran besar dari pengaruh China bagi karakteristik sosial masyarakat kita di masa kini. Mungkin tidak berlebihan jika kita bisa menyebut orang China adalah kaum “pribumi”, kalau kita memahami sejarah perdagangan mereka yang panjang di bumi Nusantara, khususnya di Maluku. Jadi, tidak perlu heran, jika sejarahwan Perancis Claudine Lombard Salmon dalam satu kajiannya tentang nisan-nisan kuno China di Nusantara, menulis ada sebuah nisan kuno China yang berangka tahun 1664, yang ditemukan di negeri Rumahtiga Ambon. Atau kajian luar biasa dari sejarahwan Seiichi Iwao, yang bahkan menyebut sudah ada “koloni” orang China di Ambon, pada masa kekaisaran Ming (1368 – 1644). Jadi tidaklah mengejutkan jika Rumphius dan Valentijn  menulis bahwa sejak tahun 1625, ada Kapitein der Chinese di kota Ambon, yang kemudian dikutip oleh Gerrit J Knaap dalam salah satu artikelnya.
      Tentunya hasil terjemahan ini tidaklah sempurna, dan itu merupakan “produk” dari keterbatasan, sehingga menjadi tanggung jawab kami sebagai pribadi. Perlu juga ditambahkan kami menambahkan beberapa gambar agar bisa lebih “berwarna” sehingga mungkin bisa membantu lebih “meringankan” artikel yang sudah “berat” ini. selain itu, kami membagi artikel panjang ini menjadi 3 bagian, agar mudah untuk diikuti, dan tidak terlalu panjang. Akhirnya, selamat membaca... selamat menikmati kajian-kajian bermutu...sehingga bisa menjadi manusia-manusia yang tidak harus “sinis” pada masa lalu.


II. Terjemahan (oleh Kutu Busu)
 
 
(sumber gambar dari bukunya Rumphius)
 
Pendahuluan

                    Maluku Utara yang merupakan salah satu titik terminal paling timur, dari perdagangan intra-Asia ke Indonesia, dapat dicapai melalui 2 rute berbeda: melalui “rute Jawa” dan melalui “rute Kalimantan”. Kapal-kapal yang mengikuti rute pertama, akan berlayar dari semenanjung Malaya (Melaka) atau barat Indonesia ke Jawa dan Laut Flores, melalui pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, kemudian menyusuri selatan pulau Kalimantan, Sulawesi dan pulau –pulau di sebelah timur pulau Madura dan Bali, dan kemudian akan memasuki Laut Banda untuk melanjutkan ke kepulauan Banda atau kepulauan Ambon. Dari kepulauan Ambon, kapal-kapal itu sesekali berlayar melalui lorong antara Buru dan semenanjung Hoamoal, kemudian akan menyeberangi Laut Seram dan setelah mencapai Obi, akan mengikuti untaian pulau-pulau lepas pantai barat Bacan dan Halmahera, hingga kapal itu mencapai Ternate atau Tidore, tempat-tempat utama perdagangan di Maluku Utara.
                    Kapal-kapal yang berlayar mengikuti rute Kalimantan, mungkin akan memulai perjalanan dari Vietnam, Kamboja, Thailand atau semenanjung Malaya, melintasi Laut China Selatan sampai mencapai pantai Kalimantan, kemudian akan menyusuri pantai ini di arah timur laut, dan mungkin melalui Brunei, dan akhirnya memasuki Laut Sulu dengan melewati selat Balabac. Kapal-kapal lain, akan memulai perjalanan dari China, melanjutkan perjalanan ke Luzon, dimana mereka akan “memotong” ke arah selatan, menuju ke Mindoro atau kepulauan Calamian, dan masuk ke Laut Sulu dari arah utara. Dari Laut Sulu, jika kapal ingin melanjutkan pelayarannya dan berlayar ke Maluku Utara, maka kapal itu harus melewati kepulauan Sulu, mungkin tetap dekat dengan Basilan, dan kemudian setelah memasuki Laut Sulawesi, kapal itu harus mengikuti pantai Mindanao selatan, melanjutkan ke Tinaca Point (titik Tinaca), dan setelah itu berbelok ke selatan hingga mencapai kepulauan Sangihe (Sangihe Talaud). Beberapa kapal mungkin berlayar melalui Laut Sulawesi, mulai dari ujung barat daya kepulauan Sulu, mengikuti langsung ke arah tenggara, yang akhirnya akan mencapai Menado atau titik langsung di ujung timur Laut Sulawesi, hanya terletak di seberang dari ujung selatan kepulauan Sangihe (Sangihe Talaud). Dari kepulauan Sangihe, kapal akhirnya akan berlayar ke Maluku, hingga tiba di Halmahera, Ternate, Tidore, Moti, Makian atau pulau-pulau lain di Maluku Utara yang telah terlihat.
                     Ini adalah perubahan kondisi politik dan lainnya yang mungkin mempengaruhi perdagangan dan lalu lintas di sepanjang rute utara ini ke Maluku yang akan diselidiki dalam kajian ini. Hal ini menyiratkan bahwa pola yang “terlihat” dari perdagangan ini, harus diuraikan dan bahwa dalam rentang waktu dari  - abad ke-14 hingga ke awal abad ke-16 – segmen waktu tertentu harus ditentukan. Secara umum, ada sedikit bukti tekstual untuk perdagangan sepanjang rute Kalimantan pada periode sebelum awal abad ke-16, namun karena China adalah kekuatan komersial dan memiliki kekuatan angkatan laut yang terkemuka di timur, dan karena setidaknya ada beberapa informasi yang relevan dalam sumber-sumber China, dan karya-karya lain yang berkaitan dengan keterlibatan China dalam perdagangan produk Maluku, maka saya (penulis) telah membagi periode awal ini, murni menurut sudut pandang orang China, ke dalam 4 segmen sebagai berikut :
A. Periode akhir kekaisaran Yuan
B.  Periode awal kekaisaran Ming hingga sekitar tahun 1400
C. Periode ekspedisi Zheng He hingga sekitar tahun 1435
D. Periode sekitar tahun 1435 hingga penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511

Jelas ada lebih banyak informasi untuk periode awal abad ke-16, yang banyak ditemui dalam sumber-sumber Portugis dan Spanyol, dan karena itu, saya memilih untuk menamai segmen terakhir sebagai “awal periode Portugis”. Sumber-sumber untuk periode ini akan ditindaklanjuti sampai ke titik, dimana Portugis “menemukan” atau menjadi “akrab” dengan rute Kalimantan.  
                Dalam usaha merekonstruksi gambaran tentang apa yang terjadi di sepanjang rute Kalimantan, akan sangat membantu untuk mengingat, bahwa Maluku adalah satu-satunya bangsa Asia yang merupakan produsen/penghasil cengkih, dan sebagian besar dalam pencarian untuk komiditas ini, kapal-kapal dagang ke pulau-pulau itu. Oleh karena itu, referensi barter (pertukaran) komiditi cengkih di pelabuhan Asia, sering (tetapi tidak selalu) memberikan informasi yang bermanfaat tentang “jalur-jalur belakang” atau rute perdagangan dari pelabuhan ini ke pulau-pulau Maluku. Hal ini tak bisa disebut sebagai referensi-referensi bagi “perdagangan barang-barang” lainnya yang telah berubah di Maluku – misalnya burung-burung beo dan para budak – karena “barang-barang” itu juga “dihasilkan” di wilayah lain di Asia Tenggara.
                Hal yang harus juga ditambahkan di sini, adalah bahwa kajian ini tidak dimaksudkan sebagai “kajian mengenai komiditas” atau untuk mempelajari sebuah “emporium”, oleh karena itu, tidak ada upaya untuk menggambarkan pola distribusi dan pemakaian cengkih Maluku di Asia atau tempat-tempat penyaluran barang, yang dilayani oleh kepulauan Maluku dalam konteks perdagangan regional di Indonesia timur. Buka juga tujuan saya, untuk menyajikan semua detail relevan perdagangan di berbagai pelabuhan dan pulau di sepanjang rute Kalimantan, seperti perdagangan mutiara dan kulit kura-kura yang berpusat di kepulauan Zulu, atau perdagangan kapur barus yang dilakukan di Brunei, tetapi sebaliknya, saya hanya membatasi diri, untuk menyajikan beberapa ciri dasar dan argumen, yang diharapkan akan berkontribusi terhadap pemahaman yang lebih baik tentang perubahan umum itu, yang mungkin mempengaruhi perkembangan perdagangan dan perniagaan di sepanjang rute utara ke kepulauan rempah-rempah.
 
A.  Periode akhir kekaisaran Yuan (sekitar tahun 1300 – 1368)

         Menurut Tibbetts, “di antara penulis-penulis Muslim awal,hanya ada 4 referensi asli tentang kepulauan rempah-rempah, yang mungkin dapat diambil sebagai rujukan pada Maluku”. Referensi-referensi ini, dapat ditemui dalam karya-karya Ibn Khurdadhbih (820-912), Biruni (973-1050), Marwazi (770-874) dan di dalam Mukhtasar al-‘ Aja’ib, yang berasal dari periode sebelum abad ke-13. Referensi-referensi lain yang juga di kutip oleh Tibbetts – dari karya-karya Ibn Majid (1421-1500) dan Sidi Celebi (1500 -1562) – berasal dari periode zaman kemudian, yang mana periode sekitar tahun 1300 hingga pertengahan abad ke-15, tidak ada sumber-sumber informasi asli Arab tentang Maluku yang ditinggalkan untuk kita1.
         Untuk periode ini, jika kita ingin mencari referensi tertulis tentang kepulauan rempah-rempah, kita harus tergantung pada sumber-sumber China, yang berisikan berbagai nama yang bisa digunakan sebagai rujukan kepada wilayah itu2. Beberapa referensi itu tercantum di bawah ini :
1.           Zhufan zhi (sekitar tahun 1225) : sebuah tempat disebut Wunugu, kemungkinan besar adalah Maluku, yang tertulis dalam bab Sujidan pada buku itu3
2.          Dade Nahai zhi (sekitar tahun 1304) : tertulis Wenlugu (Maluku) dan Pantan (Banda)4
3.          Yiyu zhi (abad ke-14) : tertulis Dingxiang guo (negara cengkih), mungkin merujuk pada Maluku5
4.         Yiyu tuzhi (yuan akhir/ming awal) : sama dengan nomor 3 di atas6
5.          Wenxian tongkao (tahun 1339) : disebutkan Mawu zhou (besar kemungkinan ini merupakan nama yang lebih tua/kuno untuk Maluku7
6.         Daoyi zhilue (sekitar tahun 1350) : Wenlaogu (Maluku) dan Wendan (Banda) juga digambarkan8

Hanya sumber terakhir, yang ditulis oleh Wang Dayuan (1311-1350), yang berisikan deskripsi singkat tentang Maluku dan Banda. Terjemahan bahasa Inggrisnya dapat ditemui dalam beberapa karya, namun terjemahan-terjemahan ini mengandung beberapa ketidakakuratan, dan alih-alih mengutip hasil terjemahan itu, saya hanya meringkas informasi yang diberikan dalam teks asli bahasa China yang baru-baru ini disunting oleh Su Jiqing9.
Potongan-potongan informasi berikut dalam deskripsi Wang Dayuan tentang Maluku, akan sangat menarik bagi sejarahwan ekonomi :
a)      Maluku menghasilkan cengkih, kata Wang Dayuan, dan tempat itu “tertutupi” dengan pohon cengkih
b)      Perak, besi, gading, manik-manik, porselen biru/hijau (celadon?), periuk-periuk tanah dan berbagai jenis kain, termasuk sutra diperdagangkan di sana
c)      Orang makan sagu dan membuat garam dengan cara merebus air laut.
Wang Dayuan juga memberikan 1 tambahan nama tempat, Yixi (atau Yiqi), yang menurut Su Jiqing , dapat merujuk pada sebuah pelabuhan di pulau Tidore. Mungkin tempat ini adalah situs perdagangan utama di Maluku, yang menjadi tujuan China10.
      Mekipun, tentu saja yang terakhir tetap merupakan masalah spekulasi, hal itu dengan jelas menyatakan dalam teks China bahwa setiap tahun, beberapa jung China berlayar ke Maluku. Tujuan dari perjalanan ini tidak diceritakan, tetapi agaknya orang China datang untuk membeli cengkih dan menukarnya dengan porselin dan beberapa sutera. Komoditas-komoditas lain, yang disebutkan dalam Daoyi zhilue, mungkin dibawa oleh pedagang-pedagang Indonesia, meskipun orang China mungkin mendapatkannya di suatu rute atau tempat dan kemudian membawanya ke Maluku. Gading mungkin berasal dari dataran Asia Tenggara, Besi dari kepulauan Banggai, dan beberapa potong kain dari India atau kepulauan Banda11


      Partisipasi China dalam perdagangan Maluku diperkuat dengan fakta bahwa ada permintaan cengkih di China dan cengkih sering terdaftar sebagai barang impor atau upeti, dalam karangan-karangan di masa kekaisaran Song dan Yuan. Menurut Song huiyao, Song shi dan sumber-sumber lainnya, cengkih dieskpor kembali ke China oleh duta-duta pedagang dari Champa, Jawa, Sriwijaya, Dashi, Chola dan Butuan, dan menurut Dade Nanhai zhi, cengkih dapat ditemui di antara obat-obatan yang dibawa ke Guangzhou oleh kapal-kapal asing12.  Dengan demikian, tampak bahwa China kurang lebih terus menerus dipasok dengan cengkih, baik dengan kapal-kapal mereka sendiri atau oleh orang lain13.
      Namun, pola impor cengkih di atas mungkin telah berubah seiring waktu. Yang mengejutkan kami, misalnya bahwa pada sumber-sumber Yuan di satu sisi, yang dianggap sebagai “lawan” dari karangan-karangan di masa Song, berisikan referensi yang relatif sedikit tentang impor-impor cengkih, yang melalui pelabuhan-pelabuhan Jawa dan tempat-tempat lain yang lebih ke arah barat, sementara yang lainnya, sumber-sumber itu menuliskan sejumlah nama geografis yang telah diidentifikasi sebagai pulau-pulau di Indonesia timur, seperti yang akan kita lihat di bawah, dan yang untuk sebagian besar tidak muncul dalam sumber-sumber Song14. Ini dapat dianggap sebagai petunjuk perluasaan perdagangan maritim China secara bertahap, ke wilayah Sulu-Celebes-Maluku pada akhir periode kekaisaran Song atau awal kekaisaran Yuan, dan mungkin juga pergeseran-pergeseran awal jalur pasokan utama cengkih China dari rute Jawa ke rute Kalimantan15.
      Namun, bukan niat saya untuk kembali ke masa lalu, dan berspekulasi terhadap apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi di Laut Sulawesi dan Maluku, selama masa transisi kekaisaran Song ke keunggulan kekaisaran Yuan  atau China bagian selatan. Sebaliknya, kita akan melihat lebih lanjut  “petunjuk-petunjuk” geografis yang menunjukan keberadaan perdagangan di daerah itu selama periode kekaisaran Yuan. Dade Nanhai zhi, yang telah dikutip di atas, tidak hanya berisikan beberapa nama tempat yang merujuk ke Kalimantan dan Filipina – dan itu termasuk nama kepulauan Sulu – tetapi juga daftar kepulauan Banggai dan Timor. Wang Dayuan juga menyebutkan wilayah Klabat di timur laut Sulawesi, serta memberikan uraian yang jelas tentang mutiara-mutiara Sulu, dan juga menunjukan bahwa kapa-kapal China berlayar ke Timor dalam pencarian kayu cendana16. Sementara dalam kasus terakhir, tidak diketahui apakah kapal-kapal yang mencapai Timor ini, melalui Jawa dan Flores atau melalui Laut Sulu dan Sulawesi, yang merujuk pada Banggai dan Klabat adalah indikasi yang baik bahwa orang China memang akrab dengan rute kedua ini, dan menyusurinya setidaknya sejauh hingga ke selatan Maluku.
      Beberapa sumber Song dan Yuan, misalnya Wenxian tongkao, menunjukan keberadaan jejaring perdagangan antara dataran Asia Tenggara, Utara Kalimantan dan Filipina, dan karena itu harus diasumsikan bahwa setiap kali kapal singgah di Brunei – pada waktu itu pelabuhan utama di Kalimantan Utara dan tempat di mana orang-orang China dihargai – atau tiba di Laut Sulu, entah itu melanjutkan perjalanan ke Laut Sulawesi, atau jika tidak, muatannya sebagian dipindahkan ke kapal lain yang berlayar ke arah itu17. Gagasan tersiratnya ada sesuatu seperti zona perdagangan Sulu dimana Maluku disuplai dengan barang-barang China, Asia Tenggara dan asal lainnya seperti tekstil India atau gading dari Champa, dan melalui jalur itu juga, China dan Asia Tenggara menerima produk dari Indonesia Timur, termasuk cengkih, yang tentu saja bukanlah hal baru. K.R. Hall dalam monografnya di tahun 1985 tentang perdagangan maritim di Asia Tenggara, melengkapi salah satu ringkasan terbaru dari zona ini, serta juga menarik perhatian kita pada fakta, bahwa arkeologi telah mengungkapkan bahwa di selatan Filipina, menunjukan pengaruh China yang kuat di wilayah tersebut18.  Dia juga mengasumsikan, mengikuti Schrieke, bahwa China memainkan peran aktif dalam jaringan perdagangan ini19. Meilink-Roelofsz, yang bukunya sekarang hampir menjadi buku klasik, juga menyebutkan bahwa ada hubungan langsung antara China dan Maluku, tetapi tidak banyak membicarakan perdagangan di Sulu dan wilayah Sulawesi20. Yang lainnya, seperti kajian van Fraasen kuranglah eksplisit. Dalam satu kasus, van Fraasen bahkan menyatakan bahwa “sumber non-Eropa tertua dimana Maluku disebutkan namanya, tanpa ragu lagi adalah Nagara Kertagama, yang berasal dari tahun 136521. Pernyataan seperti itu, seperti mengabaikan keberadaan referensi China sebelumnya, dan kehadiran pedagang China di Maluku seperti yang dibuktikan oleh Wang Dayuan.
      Fakta bahwa beberapa perdagangan yang dilakukan melalui daerah Sulu ke Maluku, dimana jung-jung China tampaknya ambil bagian, juga dikonfirmasi oleh para penulis Iberia awal, misalnya oleh Barros, yang mengklaim bahwa orang China adalah “orang asing” pertama, yang mengunjungi pulau-pulau ini22. Lagipula, Pires, Castanheda, dan yang lainnya juga merujuk pada pulau-pulau besar Halmahera (Gilolo), Moro, dan tempat-tempat lainnya seperti “Batochyna, Batochina, Batachina do moro” dan lain-lain, yang namanya menurut Antonio Galvao dan yang lainnya, berarti “terras da China”23. Galvao yang menulis pada abad ke-16, bahkan lebih eksplisit soal keberadaan orang China di Maluku. Dia melaporkan bahwa “ kapal dan jung yang datang ke Maluku dengan melalui rute Kalimantan adalah yang pertama terlihat di pulau-pulau ini, dan mereka selalu datang dari arah itu. Beberapa mengatakan mereka adalah orang-orang China, yang lainnya mengatakan mereka adalah orang Melayu atau Jawa.  Mereka (yaitu orang Maluku) tidak bisa mengambil keputusan untuk memberikan anda informasi yang benar. Kebanyakan dari mereka condong ke arah pandangan bahwa itu adalah orang China, dan itu nampaknya benar karena mereka dikatakan telah “menguasai” India dan kepulauannya, atau setidaknya telah berlayar ke sana24 (kalimat yang tertulis miring/italic adalah milikku/kalimat terjemahan penulis). Kami juga dapat menambahkan di sini, bahwa karena alasan geografis, orang Jawa tidak mungkin berlayar ke Maluku melalui Kalimantan Utara, namun hal itu tidak berlaku untuk orang-orang Melayu, yang kadang-kadang memilih rute ini.
      Sedikit lebih jauh, Galvao mengatakan bahwa orang China disebut sebagai Taibencus, yang dalam bacaan Amoy adalah Dang Ming guo “ Kekaisaran Ming”. Taibencus ini, tambah Galvao adalah “ yang pertama membeli semua cengkih di pulau-pulau ini, dan orang-orang memberikan cengkih kepada mereka dengan imbalan sangat sedikit. (Tetapi) tidak diketahui bagaimana caranya perdagangan ini berakhir, dan berapa banyak waktu yang telah berlalu saat tidak ada kapal (China) yang datang ke sana”25.
      Dari bagian terakhir ini, tampak bahwa para pedagang China terus berlayar ke Maluku selama periode kekaisaran Ming, dan pada titik tertentu mereka jelas berhenti pergi ke sana. Namun, ada 2 masalah tekstual di sini : Pertama, Galvao tidak menyatakan rute mana yang digunakan oleh pedagang-pedagang kekaisaran Ming ini. Mungkin saja, hal itu dalam hal ini pelayaran melalui rute selatan tersirat, seperti yang akan kita lihat, sementara menurut kutipan pertama, itu kemungkinan besar mengacu pada zaman sebelum kekaisaran Ming, dan rute utaralah yang pasti dimaksudkan. Masalah lainnya berasal dari kenyataan bahwa menurut bagian ketiga dalam teks Galvao disebutkan, Taibencus “berlayar pertama ke Malaka sebelum mereka datang ke Maluku”26. Bagian ini dapat ditafsirkan dalam 2 cara :
1)       Taibencus tiba di Malaka dalam perjalanan ke Indonesia timur, maka mereka akan menggunaka rute selatan, atau
2)      Malaka dalam pengertian yang lebih umum telah dicapai/disinggahi bertahun-tahun sebelum orang China pertama muncul di Maluku
Versi terakhir ini (cara kedua), bagaimanapun tidak bisa benar, hanya sejak Malaka muncul sebagai pusat perdagangan sekitar tahun 1400, tetapi referensi Wang Dayuan tentang kapal-kapal China yang dikirim ke Maluku, berasal dari periode sebelumnya. Solusi yang mungkin untuk masalah diatas adalah mengaitkan kutipan ketiga dan kedua dari karya Galvao pada jaringan lalu lintas Malaka-China setelah tahun 1400, yang tidak ada hubungannya dengan lalu lintas sebelumnya, yaitu rute utara ke Maluku. Namun demikian, semua ini tidak menjawab pertanyaan kapan dan mengapa orang China berhenti berlayar ke pulau-pulau Maluku, kami hanya mengetahui bahwa perdagangan mereka telah lama berhenti. Karena itu, untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus mencari bukti lebih lanjut di tempat lain. Hal ini akan dilakukan pada bagian selanjutnya.


Pohon Cengkih (sumber dari bukunya Robert A Donkin)

B.     Periode awal kekasairan Ming (tahun 1368 hingga 1400)

            Untuk memulainya, tidak ada karya-karya asal China pada akhir abad 14, 15 atau awal abad ke-16, yang menambahkan detail baru pada deskripsi Wang Dayuan tentang Maluku, kepulauan Banda atau Timor. Kamu juga tidak mengetahui apapun tentang utusan-utusan pembayar upeti yang dikirim dari sana ke China. Dilihat dari kumpulan  sumber tertulis yang tersedia tentang pengiriman orang China ke Asia Tenggara, baik itu bersifat pribadi atau resmi, nampaknya telah berakhir di Jawa dan kepulauan Sulu setelah Wang Dayuan.
            Yang terakhir, secara tidak langsung dikuatkan oleh pengamatan bahwa selama 2 dekade pertama dinasti Ming, yaitu setelah tahun 1368, sumber-sumber China menyebutkan cengkih, hanya sehubungan dengan delegasi upeti dari tempat-tempat seperti Sriwijaya, Jawa, Siam atau Kamboja – sepanjang yang saya tahu, Ming shilu mendaftarkan/menuliskan 5 kedutaan besar tersebut untuk periode 1372-1389 – tetapi tidak ada delegasi upeti dari wilayah Kalimantan-Zulu-Filipina yang dilaporkan telah mengirim cengkih selama periode ini, atau bahkan seyidaknya utusan resmi China pergi ke Brunei27.  Ini dan tidak adanya berita China lebih lanjut tentang Indonesia timur, tampaknya menunjukan pergeseran kedua, dalam pola perdagangan cengkih China : rupanya sekarang, seperti pada masa sebelum kekaisaran Yuan, cengkih sekali lagi di bawa ke China melalui emporia di Indonesia barat dan dataran Asia Tenggara. Tentu saja, beberapa perdagangan cengkih mungkin masih dilakukan antara dataran Asia Tengara dengan Maluku melalui rute “lama” yaitu rute utara, tetapi diragukan apakah kiriman besar cengkih pertama kali dikirim melalui zona Sulu ke Siam atau Kamboja kemudian dilanjutkan ke utara yaitu ke China, atau akan lebih mudah bagi pedagang China untuk mendapatkan komoditas ini langsung di Brunei, kepulauan Sulu atau di tempat lain di wilayah Filipina. Oleh karena itu, akan tampak lebih masuk akal jika sebagian besar pasokan itu untuk negara-negara Asia Tenggara, yang kemudian mengekspor kembali cengkih ke China, yang sekarang dibawa melalui rute Jawa.
            Ada beberapa faktor yang mungkin berkontribusi pada pergeseran ini, yaitu dari rute Kalimantan ke rute Jawa, jika benar-benar terjadi. Pertama, di awal periode kekaisaran Ming, perdagangan maritim China  ditempatkan di bawah kendali ketat pemerintah, dan pelayaran-pelayaran yang bersifat pribadi sebagian besar tidak dianjurkan, melalui penegakan hukum secara ketat; hal ini mungkin telah menghambat perdagangan China ke Indonesia bagian timur28. Kedua, meskipun mungkin tidak terbukti bahwa, permintaan cengkih China secara keseluruhan stagnan atau menurun dan bahwa pengurangan permintaan ini dapat dipenuhi dalam kerangka kerja perdagangan upeti dengan Indonesia bagian barat atau dataran Asia Tenggara. Ketiga,        tampaknya beberapa kota pelabuhan Jawa menjadi emporia penting di Indonesia pada abad ke-14. Pelabuhan-pelabuhan ini, yang kemudian di bawah pengaruh Majapahit, tentu saja “membatasi” semakin banyak produk-produk Indonesia timur, termasuk cengkih, sehingga “pembelanjaan” di emporia-emporia ini, mungkin menjadi lebih menguntungkan bagi orang China, daripada melanjutkan perdagangan langsung ke Maluku melalui rute zona Sulu29.  Keempat, pengaruh Majapahit sering disebut meluas hingga ke Maluku. Reid bahkan berpikir bahwa, mungkin ada hubungan antara sejumlah besar cengkih dan rempah-rempah lainnya yang diimpor ke Eropa pada tahun 1399 dengan kegiatan pengiriman Majapahit ke kepulauan rempah-rempah30. Jika Majapahit memang mengirim armada besar, entah bersenjata atau tidak bersenjata, ke Indonesia timur pada periode itu, hal ini bisa memiliki efek negatif dalam hal perdagangan China ke kepulauan rempah-rempah. Kelima, Majapahit juga menguasai Brunei dan menurut beberapa orang, juga menguasai kepulauan Sulu. Namaun seiring perjalanan waktu, kepulauan Sulu yang pertama kali dijelaskan dalam Daoyi zhilue, diduga membebaskan diri dari supremasi Majapahit dan muncul sebagai kekuatan regional yang jelas mencoba untuk mendapatkan kendali atas beberapa wilayah tetangganya, terutama Brunei. Ini melibatkan bentrokan besar di awal pemerintahan Hongwu, ketika orang-orang Sulu menyerang Brunei, dan ketika Brunei, pada gilirannya, harus bergantung pada bantuan dari Jawa untuk mencegah pihak musuh31. Hampir bersamaan waktunya saat utusan China, yang sudah disebutkan di atas, diutus pergi ke Brunei dalam rangka untuk membuka hubungan upeti reguler dan menjadikan tempat ini dibawah “kekuasaan” kekaisaran Ming. Namun, Brunei hanya mengirim 1 utusan ke China selama periode pemerintahan Hongwu (1368-1398), mungkin karena takut akan pembalasan dari orang Jawa atau Zulu. Karena itu, diyakini bahwa Brunei tetap “bergantung” pada Majapahit sampai awal tahun 1400an32.
            Ketegangan “politik” di wilayah Sulu-Borneo, bahaya serangan yang terus menerus dari orang-orang Sulu di zona Sulu, serta “kontrol” Majapahit atas Brunei dan Maluku – yang terakhir (maksudnya Maluku) mungkin berada di bawah pengaruh Majapahit sampai tahun 1410an33pastilah berdampak pada navigasi China dan atau Filipina selatan dan lainnya ke Laut Sulawesi dan kepulauan rempah-rempah pada periode antara sekitar tahun 1360 dan 1400. Namun, menjelang akhir abad ke-14, kekuasaan Mapahit atas Borneo mulai berkurang dan kelompok-kelompok baru dari para imigran China mungkin datang ke Sabah dan Brunei pada masa itu, menurut penanggalan sumber-sumber pribumi34. Apakah situasi berubah juga di kepulauan Sulu, sulit untuk dikatakan. Menurut tradisi lisan, seorang pedagang kaya China menikahi putri seorang penguasa Sulu sekitar tahun 1375, namun tidak ada bukti bahwa ada koloni China yang didirikan di kepulauan Sulu35. Majul percaya, bahwa hubungan Sino-Sulu murni adalah hubungan perdagangan selama periode ini, berpendapat berdasarkan sumber-sumber selanjutnya Dongxiyang kao (kata pengantar untuk terbitan tahun 1617), bahwa orang-orang Sulu mungkin menyandera orang-orang China untuk memastikan para pedagang China akan datang lagi di musim perdagangan berikutnya36. Praktik ini, jika telah diterapkan pada akhir abad ke-14 itu, dapat dengan mudah dikaitakan dengan fakta bahwa orang-orang Sulu, hampir sepanjang sejarah, ditakuti dalam hal aksi pembajakan mereka. Tentu saja, tidak ada bukti pasti soal penjarahan seperti itu di abad ke-14, tetapi bentrokan Sulu-Brunei, dan referensi tentang para perampok asal Sulu dalam karangan-karangan selanjutnya, akan membuatnya masuk akal untuk berasumsi bahwa pada akhir abad ke-14, kombinasi dari pembajakan, pengaruh “politik” regional, dan potensi untuk mengandalikan arus barang ke dan dari Laut Sulawesi menjadikan kepulauan Sulu posisinya sangat kuat37. Hal ini adalah “faktor Sulu” yang mungkin paling banyak pengaruh signifikan terhadap perkembangan perdagangan antara Laut China Selatan dan Maluku serta layak untuk dipertimbangkan lebih lanjut.


=== bersambung ===

Catatan
Singkatan-singkatan : BMJ = Brunei Museum Journal; SMJ = Sarawak Museum Journal; DYZLJS = Daoyi zhilue jiaoshi ; ZWJTSJCK = Zhongwai jiaotong shiji congkan


Catatan Kaki
1.        G. R. Tibbetts, A study of the Arabic texts containing material on South-East Asia, Oriental Translation Fund, new ser. 44 (Leiden/London : Brill, 1979), pp. 71, 98, 179-181, 193, 253, 255-256. Tibbetts also lists and analyses some Arabic references to Borneo and the Philippines but there is no explicit reference to sea traffic between the Moluccas and the Sulu Sea or Brunei for the early periods. For early Arabic references to Brunei, also see, for ex., Robert Nicholl, « Brunei rediscovered: A survey of early times », Journal of Southeast Asian Studies 14.1 (1983), pp. 37-40. If Nicholl is right then Ibn Battuta, a contemporary of Wang Dayuan (see below), went to Borneo; see Nicholl, p. 43, and his « Ibn Battuta and Borneo », BMJ 4.2 (1978), pp. 34-45.
2.       There are earlier Chinese sources which also appear to mention the Moluccas; for references, see, Chen Jiarong, Xie Fang, Lu Junling, Gudai Nanhai diming huishi (Beijing : Zhonghua, 1986), pp. 167, 180-181, 1000-1001. Also see, for ex., DYZLJS, by Wang Dayuan, ed. by Su Jiqing, ZWJTSJCK (Beijing: Zhonghua, 1981), pp. 205-207.
3.       Friedrich Hirth/W. W. Rockhill (trs. and eds.), Chau Ju-Kua : His work on the Chinese and Arab trade in the twelfth and thirteenth centuries, entitled Chu-fan-chï (rpt. Taipei: Ch'engWen Publ., 1970), p. 83; Gudai Nanhai diming huishi, p. 208. However, see also Su Jiqing's comment in DYZLJS, p.206. R. H. Crofton, A pageant of the Spice Islands (London : John Bale, Sons & Danielsson, 1936), p. 19, believes that Danyu in Hirth/Rockhill, p. 158, might stand for Ternate but a different interpretation is given in Gudai Nanhai diming huishi, p. 168.
4.       Dade Nanhai zhi canben by Chen Dazhen, (Guangzhou: Guangzhou shi difang zhi yanjiu suo, 1986), p.38; Chen Jiarong, Zhongwai jiaotong shi (Hong Kong : Learner's Bookstore, 1987), p. 368; DYZLJS, pp. 176, 206; Carrie C. Brown, « The Eastern Ocean in the Yung-lo tatien », BMJ 4.2 (1978), p. 53; Jao Tsung-i, « Some place-names in the South-Seas in the Yung-lo ta-tien », in F. S. Drake, éd., Symposium on historical, archaeological and linguistic studies on southern China, South-East Asia, and the Hong Kong region... (Hong Kong : Hong Kong Univ. Pr., 1967), p. 196.
5.       Xiyou lu, by Yelii Chucai, ed. by Xiang Da, and Yiyu zhi, by Zhou Zhizhong, ed. by Lu Junling, bound in one, ZWJTSJCK (Beijing: Zhonghua, 1981), p.69.
6.       Microfilm of Cambridge copy, 90a. For a description of this rare book, see, for ex., A. C.
Moule, « An introduction to the I Yii T'u Chih or 'Pictures and Descriptions of Strange Nations' in the Wade Collection at Cambridge », T'oung Pan 27 (1930), pp. 179-188.
7.       Wenxian tongkao, j. 331 and 332, quoted after Gudai Nanhai diming huishi, p. 167. For the old name in this book also see note 2 above.
8.       DYZLJS, pp. 175, 205.
9.       Sei Wada, « The Philippine islands as known to the Chinese before the Ming period », Memoirs of the Research Department of the ToyoBunko 4 (1929), p. 162 n. 1.; W. W. Rockhill, « Notes on the relations and trade of China with the Eastern Archipelago and the coasts of the Indian Ocean during the fourteenth century », T'oung Pan 16 (1915), pp.; Ronald Bishop Smith, The first age of the Portuguese embassies, navigations and peregrinations to the kingdoms and islands of Southeast Asia (1509-1521) (Bethesda: Decatur Pr., 1968), p. 112.
10.     DYZLJS, pp. 204, 206.
11.      For the production of cloth in the Banda Islands, see DYZLJS, p. 175. Perhaps cotton cloth or bark cloth are meant. In modern times the production of both these has been observed chiefly in the Central Moluccas; see, for ex., Simon Kooijman, Ornamented bark-cloth in Indonesia, Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde 16 (Leiden : Brill, 1963), pp. 29-55, 107-119; H. Niggemeyer, « Baumwollweberei auf Ceram », Ciba Rundschau 106(1952), pp. 3870-3897. For iron, see, for ex., Armando Cortesâo, tr. and éd., The Suma Oriental of Tome Pires, an account of the East..., and the Book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage..., Works Issued for the Hakluyt Society, ser.2.89 and 90 (rpt. Nendeln : Kraus Reprint, 1967), I, p.216; Anthony Reid, Southeast Asia in the age of commerce, U50-1680, vol. 1 : The land below the winds (New Haven/London: Yale Univ. Pr., 1988), p. 110.
12.     For clove imports to China during the Song period, see, for ex., Lin Tien-Wai (Lin Tianwei), Songdai xiangyao maoyi shi gao (A history of the perfume trade of the Song dynasty) (HongKong : Zhongguo xueshe, 1960), pp. 174-212; Bade Nanhai zhi, p. 36.
13.     Of course, cloves were also sent from the Moluccas to other parts of Asia in the early 14th century; see, for ex., DYZLJS, pp. 257, 330, 364, 375.
14.     For a brief survey of the trade in cloves during the Song period, see, for ex., Paul Wheatley, « Geographical notes on some commodities involved in Sung maritime Trade », Journal of the Malayan Branch ofthe Royal Asiatic Society 32.2 (1959), pp. 45-47; Hirth/Rockhill, Chan Ju-Kua, pp. 63, 73, 77, 84, 89, 209-210.
15.     If it is inferred that the Chinese now became the most important traders in the Moluccas and that Near Eastern traders withdrew, this could be an explanation for the abscence of Arabic references to the Moluccas during that period. However, this is purely speculative.
16.     Dade Nanhai zhi, p. 38, and sources in n.4; DYZLJS, pp. 93-96, 178-181, 209-213; R. Ptak,
« Some references to Timor in old Chinese records », Ming Studies 17 (1983), p. 37; same, « Kurze Zusammenfassung der wichtigsten chinesischen Nachrichten zu den Sulu-Inseln wàhrend der Ming-Zeit », Zeitschrift der Deutschen Morgenlàndischen Gesellschaft 136.3 (1986), pp. 627-628.
17.     Wenxian tongkao by Ma Duanlin, j. 332. For this reference and for other references to
routes linking Borneo with continental Southeast Asia and the Philippines, see the convenient collection of texts in Zhonguo guji zhong you guan Feilubin ziliao huibian, ed. by Zhongshan daxue Dongnanya lishi yanjiu suo (Beijing : Zhonghua, 1980), pp. 10, 12, 13, 16. Also see, for ex., Huang Zisheng, « Shiliu shiji qishi niandai yiqian de Zhong Fei guanxi », Jinan xuebao 2/1984, p. 32; Chen Taimin, Zhong Fei guanxi yu Feilùbin huaqiao (Hong Kong: Chao Yang Publ., etc., 1985), p. 25. For the Chinese being in high esteem in Brunei, see, for ex., DYZLJS, p. 148. A number of Siamese wares have been found in northern Borneo which also points to direct links between Brunei and continental Southeast Asia.
18.     Kenneth R. Hall, Maritime trade and state development in early Southeast Asia (Honolulu: Univ. of Hawai Pr., 1985), pp. 197, 226-227; Karl L. Hutterer, An archaeological picture of a pre-Spanish Cebuano community (Cebu City: Univ. of San Carlos, 1973).
19.     B. Schrieke, Indonesian sociological studies, selected writings. Selected studies on
Indonesia 2 (The Hague: W. van Hoeve Publ., 1966), p. 25.
20.    M. A. P. Meilink Roelofsz, Asian trade and European influence in the Indonesian
archipelago between 1500 and about 1630 (The Hague: M. Nijhoff, 1962), pp. 99-100.
21.     See pp. 1-2 of the « Historical introduction » in Katrien Polman, The Central Moluccas, an annotated bibliography, Koninklijk Insituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde,
Bibliographical Series 12 (Dordrecht/Cinnaminson : Foris Publ., 1983), and p. 2 of the « Historical introduction to the literature » in Polman, The North Moluccas, an annotated bibliography, same series, no. 11 (The Hague : Martinus Nijhoff, 1981). For the Nagara Kertagama, see, for ex., Th. G. Th. Pigeaud, Java in the fourteenth century, a study in cultural history : The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapance of Majapahit, Koninklijk Instituut vor Taal-, Landen Volkenkunde, Translation ser. 4, 5 vols. (The Hague : M. Nijhoff, 1960-1963), IV, pp. 29-35; N. J. Krom, Hindoe-Javaansche geschiedenis ('s-Gravenhage : M. Nijhoff, 1926), p. 414.
22.    Joâo de Barros, Da Asia, Dec. Ill, bk. V, chs. 5-6; Bishop Smith, The first age, pp. 110-111.
23.    Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 221 and n. 1 there; Fernâo Lopes de Castanheda, Histôria
de descobrimento e conquista da India pelos Portuguezes, bk. 6, ch. 41; bk. 8, ch. 103; Barros, Asia, Dec. IV, bk. 1, ch. 16; Hubert Th. Th. M. Jacobs, S.J., ed. and tr., A treatise on the Moluccas (c. 15hU), probably the preliminary version ofAntonio Galvâo's lost Histôria das Molucas, Sources and Studies for the History of the Jesuits 3 (Rome/St. Louis: Jesuit Historical Institute, 1971), pp. 79, 33 n. 5 to 9.
24.    Jacobs, Treatise, p. 79.
25.    Ibid., p. 81.
26.    Ibid.
27.    Ming shilu, Taizu, j. 67, p. 1264; j. 71, p. 1316; j. 114, p. 1879; j. 195, p. 2925; j. 196, p. 2943;
Hiroshi Watanabe, « An index of embassies and tribute missions from Islamic countries to Ming China (1368-1644) as recorded in the Ming Shih-lu, classified according to geographic area », Memoirs of the Research Department of the ToyoBunko 23 (1975); Liu Zizheng, « Mingdai Zhongguo yu Wenlai jiaowang kao », Ming shi yanjiu zhuankan 5 (1982), pp. 5-6, 11; Carrie C. Brown, « An early account of Brunei by Sung Lien », BMJ 2.4 (1972), pp. 219-231.
28.    Fora recent survey of maritime policy under the first Ming emperor, see Cao Yonghe, « Shi lun Ming Taizu de haiyang jiaotong zhengce », in Zhongguo haiyang fazhan shi lunwenji, ed. by Zhongguo haiyang.. .ji bianji weiyuanhui (Taipei : Zhongyang yanjiu yuan, Sanmin zhuyi yanjiu suo, 1984), pp. 41-70.
29.    Schrieke thought that the Chinese could not hold out their own against Javanese and Malay competition in the Moluccas; see his Indonesian sociological studies, I, p. 25.
30.    Anthony Reid, « An 'age of commerce' in Southeast Asian history », ModernAsian Studies 24.1 (1990), pp. 12, 25. - Almost no Southeast Asian tribute delegations arrived in China during the brief period c. 1395-1402 (end of Hongwu, beginning of Jianwen). At that time China was paralysed by internal problems and took no interest in maritime affairs. Is it possible that there was a relation between the Chinese crisis, Majapahit trade and growing European imports during these years ?
31.     See sources in Zhongguo guji zhong you guan Feilubin ziliao huibian, pp. 75, 81, 83, 90. Also see, for ex., Liu Zizheng, « Mingdai Zhongguo yu Wenlai jiaowang kao », pp. 5, 12-13; William H. Scott, Filipinos in China before 1500 (Manila: De La Salle Univ., 1989), p. 7; the same, Prehispanic source materials for the study ofPhilippine history, Unitas-Filipiniana Ser. (Manila : Univ. of Santo TomasPr., 1968), pp. 77, 85; Nicholl, « Brunei rediscovered », pp. 42-43; James P. Ongkili, « Pre-western Brunei, Sarawak and Sabah », SMJ 20 (1972), p. 6; Groeneveldt, Notes, pp. 103, 112; Krom, Hindoe-Javaansche geschiedenis, pp. 406-407.
32.    For the embassies, see references in n. 27.
33.    Pires reports early in the 16th century: « They say that the island of Java used to rule as
far as the Moluccas on the eastern side. ..and that it had all this. ..until about a hundred years ago »; see Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 174.
34.    This mainly concerns the Ong Sum Pung story; see, for ex., John M. Chin, The Sarawak
Chinese, Oxford in Asia Paperbacks (Kuala Lumpur, etc.: Oxford Univ. Pr., 1981), p. 4; H. R. Hughes-Hallet, « A sketch of the history of Brunei », BMJ 5.1 (1981), p. 4; James R. Hipkins, « The history of the Chinese in Borneo », SMJ 19 (1971), p. 113; Nicholl, « Some
problems of Brunei chronolgy », Journal of Southeast Asian Studies 20.2 (1989), p. 181 (note, however, that the dates are controversal). - Some believe that at around that time or earlier the Chinese moved to the southern Philippines by way of northern Borneo; see, for ex., Huang Zisheng, « Shiliu shiji », p. 34. There is, in fact, evidence for the presence of Chinese in Brunei during the Song period which might support this view; see, for ex., Wolfgang Franke/Ch'en T'ieh-fan, « A Chinese tomb stone inscription of A.D. 1264 discovered recently in Brunei »,
BMJ 3.1 (1973), pp. 91-96.
35.    Chen Taimin, Zhong Fei guanxi, pp. 53-54; Li Changfu, Zhongguo zhimin shi, Zhongguo wenhua shi congshu (rpt. Taibei; Taiwan shangwu, 1970), pp. 96-97; Cesar A. Majul, « Chinese relationship with the sultanate of Sulu », in Afonso Felix, Jr., éd., The Chinese in the Philippines, 1550-1770, vol. 1 (Manila, etc.: Solidaridad Publ. House, 1966), p. 145.
36.    Ibid., pp. 145-146; Dongxiyang kao, by Zhang Xie, ed. by Xie Fang, ZWJTSJCK (Beijing:
Zhonghua, 1981), p.98.
37.    On Sulu piracy, see, for ex., Najeeb M. Saleeby, The history of Sulu, Publications of the Filipiniana Book Guild 4 (Manila, 1963), pp. 40-41. Also see the related recent surveys by Christopher J. Healey, « Tribes and states in 'pre-coloniaP Borneo : Structural contradictions and the generation of piracy », Analysis, Journal ofCultural and Social Practice 18 (1985), pp. 3-39, and by Francisco Mallari, S.J., « Muslim raids in Bicol », Philippine Studies 34 (1986), esp. pp. 257-260.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar