Jumat, 17 Januari 2020

Rute Utara Perdagangan ke Kepulauan Rempah-rempah : Laut China Selatan – Perairan Zulu – Maluku Utara (abad 14 hingga awal abad 16) == Bagian 3/selesai ==


Oleh Roderich Ptak

 
 
 
Periode awal Portugis

                    Berdagang ke Maluku melalui rute Kalimantan sepanjang awal abad ke-16, telah diuraikan oleh banyak penulis, oleh karena itu saya akan membatasi diri hanya memberikan beberapa komentar. Kita telah melihat, pedagang dari selatan Filipina terlibat dalam perdagangan ini, dengan membawa barang-barang dari Filipina dan yang lainnya, tentu saja tekstil Cambay yang datang melalui Malaka dan Brunei ke Maluku, dan bahwa pedagang Brunei mungkin mengambil sejumlah cengkih Maluku di zona Sulu. Namun, kecil kemungkinannya, kiriman sejumlah besar cengkih dikirim melalui Brunei ke Malaka, dan tidak jelas sejauh mana cengkih menuju ke arah utara, misalnya ke Luzon atau kepulauan Ryukyu, yang dari situ dapat dikirim ke Fujian atau Zhejiang. 
Peta perjalanan Ludavico Varthema (1505) dan A. de Abreu (1511-1512)

                    Seperti sebelumnya, sebagian besar cengkih dikirim dari Maluku dengan cara melalui rute selatan ke Malaka, dan juga terutama setelah tahun 1511, ke pusat-pusat perdagangan di barat Indonesia. Suma Oriental mengungkapkan hal demikian, dari Malaka, cengkih kemudian dijual ke banyak pelabuhan lain di Asia. Di daerah Samudera Hindia, Pegu, Bengal, Pulicat, Srilangka, Cambay, Aden dan Hormuz disebut-sebut sebagai pembeli cengkih; di Timur Jauh, orang-orang Siam dan China sesekali membeli cengkih dari Malaka, meskipun seperti yang ditambahkan oleh Pires bahwa “ yang dimiliki orang Siam tidak diperdagangkan di Malaka selama 20 tahun”. Cengkih juga bisa dijual di Kamboja dan Champa, dan mungkin di Cochinchina, namun hanya beberapa kapal dari sana yang memasuki Malaka. Sebagian besar cengkih berpindah tangan di Malaka, menuju ke India dan Timur Dekat, dan Gujarat mungkin memiliki andil besar dalam perdagangan ini, seperti menurut Pires “ barang-barang dagangan utama dibeli kembali” oleh para pedagang ini, adalah “cengkih, bunga pala dan pala....”. Sejumlah cengkih juga melalui rute Cape menuju ke Lisbon Portugis71.
                    Kebutuhan untuk mengirimkan cengkih dalam jumlah besar ke wilayah Samudera Hindia, meningkat pada awal abad ke-16, mungkin karena permintaan tambahan serta kerugian dalam pelayaran dan kargo yang dialami oleh orang –orang Asia oleh Portugis. Apakah permintaan cengkih juga meningkat di China, sulit untukdiceritakan72. Referensi mengenai impor cengkih China pada karangan-karangan China abad ke-16, paling banyak berasal dari abad ke-15, dan sebagai upeti perdagangan ke negara-negara Asia Tenggara mengalami pengurangan lebih lanjut pada abad ke-16, dimana hanya sejumlah cengkih yang terbatas, dapat mencapai Cina melalui kapal-kapal upeti dari daerah itu. Jadi, menurut Ming shilu, utusan Malaka terakhir datang ke China pada tahun 1521, sementara Brunei, Kepulauan Sulu dan Samudera (Pasai) tidak pernah mengirim upeti sama sekali selama abad ke-1673.
                    Sedikit yang diketahui tentang perdagangan perseorangan China pada awal abad ke-16, dan sumber-sumber tidak benar-benar menunjukan pentingnya cengkih dalam kaitannya dengan impor China yang lain. Namun, satu hal yang patut mendapat perhatian di sini : menurut Pires, hubungan antara Siam dan Malaka telah terputus sejak awal 1490an itu seperti yang telah kita lihat, namun sebelum periode itu, bagaimana pun juga Pires mengatakan “ Perdagangan Siam di China – 6 atau 7 jung pertahun – dan mereka  juga berdagang dengan Sunda dan Palembang serta pulau-pulau lain”74. Pada waktu bersamaan, rute perdagangan yang menghubungkan Siam ke Brunei (dan Filipina) mungkin masih beroperasi75 dengan kapal-kapal milik Brunei, Siam atau China perantauan menjadi pelaku utama di sepanjang rute ini. Secara keseluruhan, potongan-potongan informasi ini menunjukan bahwa Siam, mungkin  telah menerima cengkih melalui rute Jawa dan atau rute Brunei, dan bahwa China mengimpor cengkih melalui Siam atau melalui “sub segmen” Sulu-Luzon dari rute utara ke Maluku76. Hubungan perdagangan langsung antara Guangzhou atau pesisir Vietnam di satu sisi dan Brunei serta zona Sulu di ujung Laut China Selatan, nampaknya sudah tidak ada saat itu. Sekali lagi, ada banyak spekulasi yang terlibat dalam semua ini, tetapi setidaknya dapat dikatakan bahwa, kemungkinan berlanjutnya hubungan dari jaringan Brunei-Siam mungkin membantu menjelaskan mengapa tidak ada (atau sedikit?) cengkih yang dibawa oleh pedagang Brunei ke Malaka.
                    Poin lain yang harus disebutkan di sini adalah sebagai berikut: hal demikian merupakan suatu spekulasi dalam tataran literatur, bahwa sampai awal abad ke-16, satu bagian dari Brunei berada dibawah kendali penguasa “kafir”. Dengan jatuhnya Malaka pada tahun 1511, alasan-alasannya terus berkembang, banyak umat Islam mungkin telah pergi ke Kalimantan dimana mereka mungkin telah menjadi faktor dalam menentukan keseimbangan antara Islam dan faksi non-Islam dalam mendukung “wilayah” Islam yang baru. Hal ini mungkin terjadi pada tahun 1514/1515, dan menurut Silsilah, sultan yang baru menerima lambang kekuasaannya dari Sultan Johor77. “Pengislaman total” mungkin membawa Brunei lebih suka berdagang dengan negara-negara muslim lainnya daripada berdagang dengan Malaka Portugis. Ketika Brunei memberikan sejumlah pengaruh pada Luzon, beberapa diantaranya melalui “Lucoes” yang telah datang ke Malaka sebelumnya, sekarang berbalik menjauh dari pusat perdagangan itu (Malaka) dan berlayar ke Sumatera dan tempat-tempat lain sebagai gantinya78. Hal demikian adalah mungkin, oleh karena itu, hubungan dagang antara Filipina, Brunei dan tempat-tempat seperti Johor menjadi lebih dekat, dan pada beberapa kesempatan itu, produk Maluku di bawa ke titik terminal barat jaringan ini, untuk konsumsi lokal atau kegiatan pengeksporan kembali. Namun, tidak jelas apakah (jika memang ada) dan bagaimana hubungan dagang antara Brunei-Siam yang disebutkan di atas, dipengaruhi oleh perkembangan ini. Dapat diperdebatkan, misalnya, bahwa lalu lintas antara kedua tempat menjadi kurang signifikan, karena Siam bukan negara Muslim dan karena memiliki hubungan yang relatif baik dengan Portugis79. Hal ini akan menyiratkan bahwa sebagian besar cengkih yang dikirim dari Siam ke China, akan datang ke Siam melalui rute Jawa dan bukan melalui rute Brunei. Dan hal itu dapat berarti, bahwa jejaring bagian barat perdagangan Brunei yang menuju ke kerajaan-kerajaan Islam di barat Indonesia, mungkin tidak melibatkan ekspor ulang cengkih seperti cengkih yang mereka terima dengan biaya yang jauh lebih sedikit, dan lebih teratur melalui rute Jawa. Jika demikian, cengkih mungkin tidak meninggalkan zona Sulu ke arah barat sama sekali. Tidak perlu untuk dikatakan, “model” ini berbeda dari yang dijelaskan paragraf sebelumnya, dan tidak mungkin untuk memutuskan mana yang lebih dekata dengan fakta sebenarnya. 

Rute Utara dan Selatan

                    Mari kita beralih ke Portugis. Portugis mulai mencari rute perdagangan ke Maluku Utara segera setelah penaklukan Malaka. Upaya serius ke arah itu dilakukan pada tahun 1511/1512, ketika Antonio de Abreu memimpin armada kecil ke Kepulauan Banda melalui rute Jawa. Pada perjalanan pulang, salah satu kapal terpisah dari armada karena badai dan akhirnya karam, tetapi Serrao, sang kaptennya selamat serta akhirnya berhasil pergi ke Ternate. Maluku akhirnya telah “ditemukan” oleh Portugis, dan pelayaran-pelayaran reguler berikutnya, beberapa mengalami kegagalan, namun yang lainnya berakhir sukses beberapa tahun berikutnya, dimana rute berlayar yang biasa digunakan adalah rute Jawa ke Kepulauan Banda dan dari sana melalui Ambon ke Maluku Utara dan kembali lagi80.
                    Ada beberapa spekulasi yang menyebut bahwa Fernao de Magalhaes, yang kemudian menemukan rute dari Amerika Selatan ke Filipina, tetapi pada saat itu (1511/1512) masih berada di Malaka, pernah menjadi kapten di salah satu kapal pada armada Abreu, atau bahkan dikatakan telah menjelajahi Filipina “ yang masih belum ditemukan” dalam catatan-catatannya (milik Magalhaes), serta juga dikabarkan bahwa pada tahun 1518, Lourenco Gomes telah mencapai Brunei dari Malaka, tetapi semua dugaan itu ditolak dengan serius oleh para sarjana81. Jika dilihat dari dokumen-dokumen yang ada, tidak ada orang Portugis yang mungkin berlayar dari Malaka melalui Brunei dan Laut Sulu ke Maluku, atau ke Brunei hingga tahun 1520.
                    Pada tahun 1521, seperti yang diketahui dari catatan Pigafetta, Magalhaes yang sekarang bekerja untuk Spanyol, mencapai Filipina Selatan melalui rute Pasifik. Dia terbunuh di sana pada tahun yang sama – seperti juga Duarte Barbosa, salah satu geografer Asia Portugis – tetapi awak yang selamat berlayar ke Brunei, kemudian kembali ke zona Sulu. Dengan bantuan beberapa penduduk pribumi Mindanao, yang telah dipenjara dan tahu rute menuju kepulauan rempah-rempah di Maluku Utara akhirnya bisa dicapai melalui kepulauan Sangihe pada akhir tahun 152182. Dengan demikian, bentangan timur dari rute Kalimantan ke Maluku telah “ditemukan” oleh Spanyol, meskipun Magalhaes sendiri kelahiran Portugis.
                    Ketika Spanyol mencapai Maluku Utara, Portugis belum tiba di sana melalui Brunei. Tapi pada akhirnya mendirikan benteng di Ternate, dan pada tahun 1522, Antonio de Brito kapten Portugis pertama, mengirim Dom Garcia Henriques ke Kalimantan dan Malaka, berharap dia bisa menjelajahi rute utara. Dom Henriques tidak berhasil dan setelah gagal mencapai Laut Cina Selatan melalui labirian pulau-pulau yang berselang seling, kembali ke Ternate. Namun, Portugis mengambil anak buah kapal Spanyol Trinidad, yang merupakan salah satu kapal Magalhaes. Sementara itu, Portugis mencapai Brunei dari barat. Dalam surat per Januari 1524, dilaporkan bahwa Antonio de Pina berlayar dari Malaka ke Brunei, dimana ia bertemu 2 orang pelaut Yunani yang telah ditinggalkan oleh Spanyol dan telah menjadi Muslim83. Pada tahun-tahun berikutnya, Spanyol mengirim bala bantuan ke Filipina dan dari sana ke Maluku. Mereka memihak Tidore untuk melawan Portugis dan Ternate.
                    Rute utara secara lengkap dari Malaka ke Maluku, akhirnya “ditemukan “ oleh orang Portugal bernama Dom Jorge de Menezes yang meninggalkan Malaka pada Agustus 1526. Dengan bantuan pemandu lokal, Dom Menezes berlayar ke ujung timur laut Kalimantan, kemudian ke pulau San Miguel yang lebih dikenal dengan nama Cagayan Sulu, dan dari situ ia melanjutkan ke Mindanao, terus ke Basilan dan akhirnya ke Ternate. Hanya sedikit detail yang diketahui tentang perjalanan ini, dijelaskan secara singkat oleh Barros84.
                     Dari Ternate, Dom Menezes mengirim kora-kora ke Malaka mengikuti rute Brunei dari arah lain. Untuk hal ini, ia memilih Vasco Lourenco, Diogo Cao, Joao Veloso, seorang pemandu Spanyol dan Melayu. Dengan tibanya kapal mereka di Brunei, untuk pertama kalinya, perjalanan melalui zona Sulu dari timur ke barat berhasil diselesaikan. Di Brunei, mereka bertemu dengan Afonso Pais, seorang pedagang yang berdagang dengan uangnya sendiri antara Malaka dan Brunei, serta memiliki koneksi yang baik dengan Sultan yang ia perkenalkan kepada Vasco Laurenco. Meskipun Sultan tidak menghargai hadiah yang ditawarkan kepadanya oleh orang Portugis, namun akhirnya mereka sekarang dapat mengirim kapal dari Malaka ke Ternate dan kembali melalui rute utara dimana kapal-kapal ini kadang-kadang singgah di Brunei85

Peta pelabuhan2 rempah2 (sumber R.A. Donkin)

                    Keuntungan berkayar dari pantai timur Malaysia ke Maluku melalui rute Brunei berlangsung dalam durasi yang relatif singkat. Namun, pada awal abad ke-16, orang Portugis mungkin satu-satunya yang berlayar menggunakan seluruh rute. Mereka biasanya akan melakukan pelayaran melalui rute Brunei, meninggalkan Malaka pada Agustus, dan tiba di Ternate pada Oktober. Saat perjalanan kembali, mereka akan melewati Ambon, dan kemudian mengambil rute selatan, melalui Laut Jawa dan tiba di Malaka pada bulan Juni86. Kapal-kapal dari selatan Filipina, Kalimantan atau tempat lain, jarang melakukan pelayaran melalui rute secara keseluruhan antara Malaysia atau pelabuhan-pelabuhan Indonesia bagian barat dan Maluku, melainkan berhenti di zona Sulu. Pedagang Gujarat, Melayu, Jawa dan Banda mencapai kepulauan rempah-rempah melalui rute selatan. Orang-orang Gujarat dan Melayu tentu saja berhubungan dengan Brunei Islam dan Filipina Selatan, namun mereka terbiasa berhenti di berbagai pelabuhan, seperti yang disebutkan oleh Pires : “berjualan di sini, berjualan di sana, menghasilkan uang di setiap tempat”, dimana mereka lebih suka menggunakan rute Jawa sebagai peluang untuk melakukan bisnis lebih banyak di sepanjang rute ini, daripada di sepanjang rute Brunei87. Orang-orang Portugis, jika mereka ingin berlayar langsung ke kepulauan Banda tanpa ke Ternate, juga akan menggunakan rute selatan, tetapi umumnya akan menghindari persinggahan di tempat lain.
                    Maka, dengan kedatangan Portugis ke Indonesia bagian timur, terjadi sedikit modifikasi dalam pola perdagangan cengkih Asia, dimana beberapa faktor dapat dianggap sebagai penyebabnya : kapal-kapal pemerintah China tidak lagi berlayar di Laut China Selatan, sehingga Portugis adalah satu-satunya yang karena keunggulan teknologi, dapat mengambil resiko melalui zona Sulu yang banyak dihuni oleh bajak laut. Kedua, orang Portugis jelas tahu bahwa cengkih penting untuk pasar India dan Timur Dekat, dan karena itu mereka berusaha untuk mendapatkan kendali atas perdagangan komoditas penting itu secara langsung, sehingga akses cepat ke Maluku Utara adalah sangat penting. Jika, di atas semua itu, para pemimpin Maluku bisa dijadikan sekutu Portugal, hal ini akan merugikan pedagang Gujarat dan pedagang muslim lainnya, yang biasanya “melangkahi” kontrol Portugis di Malaka dan di tempat lain. Karena itu, pertarungan Portugis ke arah timur tidaklah berakhir hanya di Malaka. Sebaliknya, logika ekspansi mengharuskan titik-titik tertentu sepanjang tepi tenggara jaringan rute perdagangan raksasa yang membentang dari Afrika Timur ke Jepang secara cepat ditempatkan di bawah kendali Portugis; maka dengan itu, rute Brunei yang cepat dan jarang digunakan, terbukti lebih baik dari rute Jawa.
                    Akhirnya, harus dipertimbangkan bahwa pelayaran sesekali di Brunei mungkin dilakukan untuk membantu Portugis dalam memantau perkembangan di pinggiran timur dunia Islam serta Filipina, dan bahwa kehadiran kapal-kapal Portugis di lepas pantai Kalimantan Utara, mungkin juga menghalangi beberapa pedagang Muslim berlayar ke Laut China Selatan. “Eksplorasi” rute selatan mungkin menghasilkan lebih banyak gesekan antara Portugis dengan pesaing mereka, dan akibatnya mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dalam rangka memelihara hubungan yang stabil antara Malaka dan Maluku. Apalagi Portugis memiliki “kekurangan” untuk melakukan “perang harga” melawan orang-orang Melayu, Gujarat dan yang lainnya di Indonesia bagian timur. Dengan memiliki beberapa pos di Asia Selatan dan Malaka, Estado da India sudah agak kewalahan dan mendekati batas kemampuan fisiknya. Pemeliharaan deretan benteng yang panjang dan feitorias (gudang-gudang) di sepanjang rute Jawa akan lebih menguntungkan dari di Malaka dan Goa. Ini tentu salah satu alasan, mengapa Portugis seperti membatasi kehadiran mereka di Nusantara pada beberapa tempat seperti kepulauan rempah-rempat atau Solor88.

Indonesia Timur oleh Fransisco Rodrigues (1512-1515)

Kesimpulan

                    Sejarah rute Kalimantan tentu saja bisa dilanjutkan. Pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, cengkih menjadi barang dagang penting di Manila. Orang China, yang tertarik ke Filipina dalam jumlah besar untuk mendapatkan perak Spanyol-Amerika, juga membeli cengkih dan bahkan berlayar sendiri ke Maluku melalui zona Sulu. Mungkin, permintaan cengkih naik di China dan mungkin lalu lintas China di sepanjang rute utara telah berkurang oleh impor cengkih China melalui jalur Jawa. Spanyol, untuk berbagai alasan berlayar dari Manila ke Maluku juga, dan Portugis melakukannya juga, meskipun bagian mereka dalam lalu lintas Manila-Maluku tidak terlalu signifikan89. Munculnya hubungan yang lebih erat antara umat Katholik di Filipina, Maluku dan Sulawesi bagian utara, dimana kegiatan misionaris lebih berhasil menyebabkan umat Islam di kedua daerah itu, merespon melalui cara mengintensifkan kerjasama mereka sendiri di seberang Laut Sulawesi. Dengan hadirnya Belanda, sistim hubungan dagang yang sudah ada rusak parah, dampak hadirnya Belanda pada perdagangan cengkih dan masyarakat Maluku dengan semua akibat-akibat yang menyedihkan, sudah banyak diketahui untuk harus diulang kembali di artikel ini.
                    Karena itu, saya akan membatasi diri pada beberapa komentar yang merangkum gagasan-gagasan dalam paragraf sebelumnya. Mungkin perubahan besar dalam distribusi cengkih terjadi pada abad pertengahan : China mungkin merupakan pihak utama dalam permintaan komoditas itu sampai abad ke-12 atau ke-13, setelahnya Timur Dekat dan India mungkin telah menyerap sebagian besar cengkih (dari sinilah kisah/artikel ini dimulai). Pada paruh kedua abad ke-14, akses ke Maluku melalui rute Kalimantan dan zona Sulu menjadi sulit karena ketegangan politik di daerah itu. Pada awal abad ke-15, China mendominasi banyak bagian laut Asia tetapi jelas memiliki sedikit minat dalam mengeksploitasi semua potensi yang terkait dengannya. Alasannya tidak pernah sepenuhnya dimengerti. Cengkih saat itu terutama dikirim dari Maluku Utara melalui rute Jawa. Situasi serupa terjadi sepanjang paruh kedua abad ke-15, satu-satunya perbedaan utama adalah bahwa China telah menarik angkatan lautnya yang, seperti secara umum disepakati, telah memberikan dorongan pada pertumbuhan perdagangan perseorangan China. Namun perdagangan ini, nampaknya tidak mengarah pada terbukanya kembali secara langsung koneksi China-Maluku. Salah satu alasan untuk hal ini adalah Brunei, Kepulauan Sulu dan Mindanao berpengaruh kuat di zona Sulu, serta juga mengendalikan beberapa lalu lintas di Laut Sulawesi. Cengkih, tampaknya kadang-kadang “bocor melalui penghalang” ini, namun seperti sebelumnya, kebanyakan cengkih dijual melalui rute Jawa ke pusat-pusat perdagangan seperti Malaka. 
                    Pada awal abad ke-16, Portugis menggunakan rute utara untuk pelayaran dari Malaka ke Maluku Utara, tetapi berlayar kembali ke Malaka melalui rute Jawa. Ini mereka lakukan, karena sejumlah alasan dan mereka mungkin orang pertama yang mengoperasikan sistim seperti itu, meskipun aktivitas mereka tidak dapat dikatakan, telah memindahkan salah satu dari kelompok perdagangan lainnya yang terlibat dalam bisnis cengkih. Brunei, tidak diragukan lagi, adalah pelabuhan utama dalam rute Kalimantan sedangkan “lorong” dari rute ini adalah kepulauan Sulu. Islamisasi Brunei dan fakta bahwa Portugis tidak berusaha untuk mendapatkan kontrol yang kuat atas Kalimantan Utara atau zona Sulu, berkontribusi pada pertumbuhan jaringan perdagangan Brunei pada awal abad ke-16, sekalipun pengaruh Brunei tidak meluas sampai ke Maluku.
                   
=== selesai ===

(lampiran dari penulis)


Catatan Kaki

71.   Ibid., I, pp. 16, 21, 43, 86, 93, 99, 108, 112, 114, 115, 123, 159; II, 241, 270, 272. There are numerous references to Indian and Near Eastern purchases of cloves in other early Portuguese documents and texts - for ex. in the sources listed in n. 49 here, in the famous account of Duarte Barbosa, the Cartas de Affonso de Albuquerque, the Documenta malucensia ed. by Jacobs, or in the Caderno dos ofidaes da India da carreguacam das naos que vieram o anno de bcxbiij ed. by Geneviève Bouchon - but these references are of no relevance to the present study.
72.  John Villiers, « Da verde noz », p. 13 and p. 28 n. 63, quoting Pero de Faria (statement of 1545), believes that demand for cloves was low in China; also see Luis F. F. R. Thomaz, « Maluco e Malacca », in A viagem de Fernâo Magalhâes e a questao das Molucas, Actas do II Colôquio Luso-Espanhol de Histôria Ultramarina (Lisbon, 1975), p. 40. According to an undated letter by Antonio Galvâo, one bahar of cloves sold for more than 100 cruzados in
the Ryukyu Islands (see Sa, Documentaçâo, IV, p. 24). One might infer from these and other statements that few cloves reached China and the Ryukyus during the first half of the 16th century but it is difficult to say whether this was in result of demand changes or supply problems.
73.  See, for ex., sources in n. 42 here. For the 1521 envoy, see Ming shilu, Shizong, j. 3, p. 0142.
74.  Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 108.
75.  For the route, see note 63 above.
76.  It is usually assumed that the conquest of Malacca led to a decrease in Chinese trade to that port and to an increase in Chinese trade to Sumatran and Javanese ports. From all of these ports cloves may have been sent directly - or via Siam - to China.
77.  See, for ex., Brown, Brunei: The structure and history, pp. 138-139; Nicholl, « Brunei rediscovered », p. 45; A. Sweeny, « Silsilah Raja-Raja Berunai », Journal ofthe Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 41.2 (1968), p. 52; Meilink-Roelofsz, Asian trade, p. 101. However, some recent studies indicate that there may have been Muslim rulers in Brunei much earlier; see, for ex., Pehin...Al Sufri, « Islam in Brunei », BMJ 4.1 (1977), p. 41; P. M. Dato
Shariffuddin/Abdul Latif bin Hj. Ibrahim, « The discovery of an ancient Muslim tomb stone in Brunei», BMJ 4.3 (1979), pp. 31-37. See also Chen Dasheng, « Une pierre tombale du début du XIVe s. retrouvée à Brunei », Archipel 43 (1991), pp.O
78.  This hypothesis is chiefly based on Scott, « The Mediterranean connection », pp. 138-139.
79.  For early Siamese-Portuguese relations, see, for ex., Manuel Teixeira, S.J., Portugal na Tailândia (Macao: Imprensa Nacional, 1983), pp. 18-24; Bishop Smith, The first age, pp. 7-20.
80.  There is a vast amount of literature on Abreu, Serrâo and the early Portuguese voyages from Malacca to the Spice Islands. I only give some references here: Warburg, Die Muskatnuss, S. 71-77; John Villiers, « Da verde noz »; Willard A. Hanna, Indonsian Banda. Colonialism and its aftermath in the Nutmeg islands (Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues, 1978), pp. 6-9; H. J. de Grâaf: De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken
(Franeker: Uitg. T. Wever, 1977), pp. 22-35; Magalhâes Godinho, Os descobrimentos, II, pp. mdssige Darstellung der Eroberung und Verwaltung der ostindischen Gewùrzinseln durai die.
Niederldnder (Leipzig: F. A. Brockhaus, 1888), pp. 45 et seq.; Georgius Everhardus Rumphius, « De Ambonse Historic. », Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie 7.ser., pt. 10, vol. 64 (1910), pp. 4-17; Fraassen's introductions quoted
in n. 21; Abdurachman, « Moluccan Responses »; the same « In search of spices: Portuguese settlements on Indonesian shores », The Indonesian Quarterly 2.2 (1974), pp. 114-118; Baë-ley W. Diffie/George D. Winius, Foundations of the Portuguese Empire, 1415-1580 (Minneapolis: Univ. of Minnesota Pr., 1977), pp. 364 et seq. Also see the useful collection in Bishop Smith, The first age, pp. 33-56.
81.   Manuel Teixeira, « Early Portuguese & Spanish contacts with Borneo », in Chang Kuei-yung et al. (quoted above), pp. 490-492, 495 (also n. 32 there).
82.  Of the many studies on Magellan and Pigafetta and sources relating to their voyage, only two are mentioned here: Visconde de Lagoa, Fernâo de Magalhâes (a sua vida e a sua viagem), 2 vols. (Lisbon: Seara Nova, 1938); Alderley, The first voyage, pp. 14-23 (report of Genoese pilot), pp. 118-124 (Pigafetta), pp. 203-205 (letter of Maximilianus Transylvanus), pp. 227-229 (log book, Francisco Alvo; reference to route from Borneo to the Moluccas).
83.  Teixeira, « Early Portuguese & Spanish contacts », pp. 510-511; Antonio de Brito to king, 11 Feb. 1523, and Albuquerque to king, 1 Jan. 1524, in Sa, Documentaçào, I, pp. 137-138, 146-147, 152, 182-183; Alderley, The first voyage, pp. 237-238 (account from Navarrete). Francois Valentijn, Oud- en nieuw Oost-Indiën, 8 vols. (Dordrecht»Amsterdam: J. van Braam etc., 1724-1726), does not have the complete story. For an English version of the Brunei part,see S. A. Dovey, tr., « Valentyn's Borneo », BMJ 4.2 (1978), esp. p. 80.
84.  Teixeira, « Early Portuguese & Spanish contacts », pp. 511-512; Barros, Asia, Dec. 4, bk. 1, ch. 16; Manuel de Faria y Sousa, The Portugues Asia: Or, the history of the discovery and conquest of India by the Portugues..., tr. by John Stevens (London 1695, rpt. Westmead, etc.: Gregg International Publ., 1971), pt. 4, ch. 1, sect. 16, pp. 307-308. There is some confusion concerning an earlier voyage (Teixeira, p. 510, quoting Couto). According to some this man
sailed from Ternate to northern Borneo and Malacca in 1523, and he is said to have been the first Portuguese to have sighted northeastern Celebes; see, for ex., Christian Pelras, « Les premières données occidentales concernant Célèbes-Sud », Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde 133.2/2 (1977), p. 228.
85.  Teixeira, « Early Portuguese & Spanish contacts », pp. 512-513; Valentijn, Oud- en nieuw Oost Indien, III, p. 243; Castanheda, Histôria, bk. 7, ch. 56; Faria y Sousa, The Portugues Asia, pt. 4, ch. 1, sect. 16, pp. 307-308.
86.  For the sailing times, see Hubert Jacobs, S.J., éd., Documenta malucensia, Monumenta Missionum Societatis Iesu 39, 41, 43, 3 vols. (Rome: Jesuit Historical Institute, 1974-1984), I, « General Introduction », pp. 8*-9*.
   87.   Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 220. 
   88.  For a recent study of the motives of Portuguese expansion to the Spice Islands, see John Villiers, « De um caminho ganhar almas e fazendas: Motives of Portuguese expansion in eastern Indonesia in the sixteenth century », Terrae incognitae 14 (1982), esp. pp. 24-26. Also see Diffie/Winius, Foundations, pp. 363, 371. 
  89. R. Parke, trans., The Historié ofthe great and mightie kingdome of China, and the situation there of: Togither with the great riches, huge citties, politike, gouernement, and rare inuentions in the same (London, 1588; rpt. Amsterdam: Da Capo Pr., 1973), pp. 9, 350, 351 (Span, original by Juan Gonzales de Mendoza); Dongxiyang kao, pp. 101-102, 142, 143, 145, 183-184; Mills, « Chinese navigators », pp. 79-80; John Villiers, « Manila and Maluku: Trade and warfare in the eastern archipelago 1580-1640 », Philippine Studies 34 (1986), pp. 149 (quoting Antonio de Morga), 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar