Rabu, 11 November 2020

Perubahan (Variabilitas) Penggunaan Gua di Maluku Tengah, Indonesia Timur (Bag 1)

Oleh

David Kyle Latinis dan Ken Starkb

 

 

Sekarang semakin jelas bahwa manusia secara sistematis “menduduki” Wallacea dan Sahul serta pulau-pulau tetangganya, setidaknya dari 40.000 – 50.000 tahun yang lalu, migrasi mereka mungkin memerlukan pergerakan yang teridentifikasi dan terencana, dan bahkan mungkin menyimpan sumber daya flora dan fauna, yang sebelumnya tidak diketahui tujuan sebelumnya ke translokasi manusia (Latinis, 1999, 2000). Menariknya, banyak bukti pendukung yang berasal dari sisa-sisa palaeobotanical yang ditemukan di gua. Jumlah situs [periode] Pleistosenc dan Holosend akhir yang telah ditemukan di wilayah yang lebih luas termasuk Wallacea dan Greater Near Oceania, yang sebagian besar merupakan situs gua, telah bertambah dengan meningkatnya upaya penelitian terutama dalam beberapa dekade terakhir (Green, 1991; Terrel, komunikasi pribadi). Pada akhir [periode] Pleistosen dan Holosen awal, populasi manusia telah beradaptasi dengan sejumlah ekosistem yang sangat berbeda (Smith dan Sharp, 1993). 


                Pertanyaan kunci pertama yang dibahas dalam kajian ini adalah, bagaimana menusia menggunakan gua yang berbeda di berbagai ekosistem ini????. Kami membatasi kajian kami pada wilayah geografis Maluku Tengah di Indonesia Timur (gambar 1).  Maluku Tengah adalah gugusan pegunungan yang didominasi oleh pulau-pulau ekuator yang cukup besar dan kecil dengan batuan dasar kapur; ada juga beberapa pulau vulkanik yang lebih kecil. Wilayah ini selanjutnya dicirikan oleh hutan yang didominasi oleh hutan basah, subur, tropis dan musim penghujan. Wilayah Buru Timur Laut menunjukan beberapa geologi unik (Dickinson, 2004), yang bertanggung jawab atas tanah liat dan aditif khas, yang digunakan dalam produksi tembikar (akan dibahas lebih lanjut dalam kajian ini). Diharapkan sumbangan sederhana yang disajikan di sini, akan membantu orang lain yang bekerja untuk menjawab pertanyaan ini di wilayah geografis yang lebih luas dan berbeda.

                Kepentingan kedua adalah untuk menggambarkan sejauh mana variasi dalam pengunaan gua-gua Maluku Tengah menggunakan data arkeologi, etnografi, dan sejarah (tetapi berkonsentrasi pada kategori pertama; lihat tabel 1). Kepentingan ketiga adalah untuk berkontribusi  untuk memahami apakah ada periode terbatas migrasi intensif dan/atau arus migrasi dan interaksi yang konstan (meskipun berosilasi). Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menjadi sentral hingga perdebatan tentang awal mula pertanian dan arborikulture di wilayah tersebut, serta kekuatan dan kelemahan model penghuni Austronesia1 (volume ini : Barker et al.)

 

David Kyle Latinis

Ken Stark

ARKEOLOGI MODERN DI MALUKU TENGAH 

Survei dan pengujuan arkeologi intensif pertama kali dilakukan oleh Spriggs dan Miller pada tahun 1970-an (Spriggs 1990, 1994; Spriggs dan Miller, 1979). Mereka mengidentifikasi banyak situs gua, termasuk Kompleks Gua Hatuhuran, yang kemudian disurvei dan diuji oleh tim Hawai’i – Pattimura pada tahun 1993 (Latinis dan Stark, 2003; Stark, 1995). Glover dan Ellen (1975,1977) melakukan penilain arkeologi, tetapi ini terutama berkaitan dengan tradisi tembikar, etnoarkeologi pembuatan gerabah, dan peralatan batu yang dipipihkan. Tidak ada penekanan khusus pada gua. Sebuah tim Indonesia (Bintarti dkk, 1977) melakukan survei sepintas dan mencatat beberapa situs gua yang potensial. Ballard (1988a, 1988b) menilai situs gua/seni cadas di pulau Kei dan membahas beberapa situs gua/seni cadas yang diketahui di Maluku Tengah (Pulau Buru dan Seram), meskipun tidak ada penelitian arkeologi modern yang intensif dilakukan di situs ini.

Tim Universitas Hawai’i – Pattimura melakukan survei dan penggalian di Maluku Tengah, yang sebagian besar melibatkan situs gua yang dibahas di bawah ini. Terakhir, Lape (1998, 2000a, 2000bf) melakukan survei dan penggalian di Kepulauan Banda, meskipun penelitian tidak terfokus pada situs gua. Perlu dicatat bahwa cukup banyak penelitian gua juga telah dilakukan di daerah tetangga, seperti Maluku Utara dan Sulawesi (Bellwood, 1997, Glover, 1981, 1986), Maluku Tenggara (Bartstra, 1998; O, Connor et al. 1998), dan wilayah Vogelkopf di Papua Barat (Bartstra, 1998).

Dari tahun 1991 hingga 1995, Ken Stark dan Kyle Latinis melakukan survei dan penggalian di Pulau Ambon, Buru, Saparua, dan Seram, serta Latinis melakukan survei lanjutan dan pengujian terbatas dari tahun 1995 hingga 1998 (gambar 1). Survei terakhir juga mencakup Pulau Gesser, Gorom, dan Haruku. Labarisi, tempat penampungan batu yang cukup besar di dekat desa Waeplau, di Buru, digali pada tahun 1993. Gua Batususu dekat desa Morela di pulau Ambon diuji kurang intensif untuk endapan di bawah permukaan. Data untuk penggalian ini dilaporkan secara rinci oleh Stark (1995). Selain itu, situs terbuka dan situs gua di dalam Kompleks Gua Hatuhuran di Pulau Seram (juga dikenal sebagai Batuhuran atau Situs Hatusua, awalnya diidentifikasi oleh Spriggs dan Miller) digali pada tahun 1993, meskipun baru-baru ini diterbitkan (Latinis 2002a, 20002b; Latinis dan Stark, 2003). Beberapa situs gua tambahan diidentifikasi dan dinilai secara “dangkal” di Seram dan Semenanjung Leihitu di Pulau Ambon, dari tahun 1993 hingga 1998 oleh Stark dan Latinis (1992, 1996), dan Latinis (2002a). Lebih dari 50 gua telah dieksplorasi oleh Latinis di daerah tersebut, meskipun hanya 3 gua yang telah dipetakan dan secara signifikan diuji untuk sisa-sisa arkeologi permukaan bawah melalui penggalian. Banyak gua memiliki bukaan ganda dan tidak diragukan lagi memiliki sistem gua batu kapur yang lebih besar.

BURU

Penggalian di situs Labarisi mengungkapkan 4 lapisan stratigrafi, 2 bagian atas (lapisan 1 dan 2) berisi keramik, dan 2 lapisan bawah (lapisan 3 dan 4) adalah tanpa keramik. Semua lapisan mengandung sisa-sisa fauna (penilaian awal menunjukan sebagian besar tikus, burung, ular, kadal, moluska, gastropoda, dan mikrofauna tak teridentifikasi), sisa-sisa tumbuhan (terutama Celtis ulmeceag), dan serpihan kecil peralatan batu, dan bahan limbah yang sebagian besar terdiri dari rijang, kuarsa dan batu kapur.

Penanggalan radiokarbon awal dari arang, terbukti terkontaminasi oleh program pengujian nuklir Pasifik pada tahun 1950-an dan 1960-an. Penanggalan terbaru oleh Laboratorium Geochron dari sampel kerang laut, menghasilkan penanggalan awal yang belum dikalibrasi untuk Lapisan 2 dari 6600  90 B.P, dan untuk Lapisan 3 dari 710  50 B.P. Penanggalan ini menunjukan penggunaan awal dan yang lebih baru. Inversi anomali kemungkinan merupakan hasil dari gangguan pasca pengendapan (subjek kajian berikutnya yang akan membahas penanggalan dan stratigrafi radiokarbon secara lebih rinci). Penanggalan [periode] Holosen tengah tidak terduga, karena kumpulan keramik dan konteks situs cukup mirip dengan banyak situs [periode] Pleistosen akhir dan awal Holosen di Asia Tenggara dan Osenia Dekat. Kemungkinan besar penanggalan yang jauh lebih awal (mungkin [periode] Pleistosen akhir) akan diperoleh di masa depan.
                Sebagian besar keramik Labarisi berwarna biru keabu-abuan yang khas, dengan konsentrasi tinggi dari butiran pasir dan batu yang besar seperti platina (Dickinson, 2004). Sebuah potongan, [yaitu] sebuah mangkuk, memiliki pinggiran goresan terbalik, dicat merah, dan cocok dengan repertoar desain Austronesia. Pengujian Energy Dispersive X-ray Fluorescence  (EDXRF) keramik dari berbagai sumber mengungkapkan cluster rapat di serpihan Labarisi (gambar 2), dengan hampir tidak ada tumpang tindih dengan situs Maluku lainnya (Analisis EDXRF mengidentifikasi elemen jejak dan konsentrasinya dalam tanah liat dan sifat serta digunakan untuk sumber keramik dan studi perdagangan [Miksic dan Yap, 1992]). Hal ini lebih jauh dikuatkan oleh studi petrografi Dickinson (2004). Sebaliknya, sebagian besar keramik yang diuji dari situs protohistoris Maluku Tengah (tidak termasuk Gorom dan Seram Timur) menunjukan tumpang tindih yang cukup besar dalam perhitungan EDXRF-nya, mungkin mencerminkan perdagangan dan interaksi (lihat juga Dickinson, 2002 dan 2004 untuk bukti transfer keramik Halmahera melalui Utara, Tengah dan Maluku Tenggara). Keramik Labarisi tampaknya tidak menunjukan impor keramik atau berbagai sumber keramik2


Penanggalan radiokarbon 710  50 B.P. dari Labarisi tumpang tindih dengan perkiraan penanggalan abad ke-8 hingga ke-15 untuk banyak situs protohistoris Seram dan Ambon, dan penanggalan yang diperoleh dari situs Seram dan Ambon akan dibahas di bawah ini. Namun, karena perbedaannya dengan tembikar di situs Maluku Tengah lainnya (tembikar yang bercirikan warna merah, cokelat, dan kadang-kadang digosok dengan butiran yang lebih halus dan inklusi yang kurang padat, dan sering digores, dicat, digosok dan diiris), masih memungkinkan bahwa keramik Labarisi juga berbeda secara temporer dan mungkin jauh lebih tua. Bisa jadi Labarisi hanya “terisolasi” dari lingkungan perdagangan yang lebih besar atau [bersifat] ekstralokal. Selain itu, perlu dicatat bahwa tembikar Saparua, yang mendominasi Maluku tengah-barat masa kini, pada umumnya memiliki ciri tanah berbahan semen forminera dan komposisi aditif yang tidak terdapat dalam sebagian besar sampel arkeologi yang dibahas dalam penelitian ini.

  

AMBON

Ambon telah disurvei jauh lebih intensif. Pesisir utara Semenanjung Leihitu didominasi oleh banyak formasi batu kapur dengan banyak gua serta formasi vulkanik yang kurang jelas, ditunjukan oleh batuan andesitik di banyak gua streambeads dan perkakas batu andesitik di banyak situs. Banyak situs protohistoric dan bersejarah terletak di sepanjang pantai utara (Latinis dan Stark 2003; Spriggs 1990; Stark 1995). Banyak situs protohistoris dan historis terjadi di lokasi pertahanan di lereng bukit atau puncak bukit, seringkali dengan dikelilingi dinding yang besar. Hampir semua  memiliki pemecah permukaan yang luas dari gerabah merah dan coklat, sebagian besar di antaranya diiris, sisipan merah, mengilap, dan kadang-kadang dicat. Sebagian kecil (biasanya maksimum kira-kira 1-2% ) porselin dan periuk Cina, Thailand, dan Vietnam, membantu menentukan penanggalan pemukiman/hunian pada abad ke-13 hingga ke-15. Hampir semua situs ini memiliki gua batu kapur di dekatnya yang berisi penghambur gerabah, dan beberapa gua juga berisi sisa-sisa manusia. Sebagian besar situs gua, lembab, sempit, berbahaya (misalnya, rentan runtuh akibat aktivitas tektonik), dan dipenuhi dengan pupuk dari tahi (guano) kelelawar dan elemen fauna dan bunga tidak menarik lainnya, serta memiliki langit-langit rendah dan tingkat cahaya rendah atau nol, sehingga sangat tidak mungkin, digunakan untuk tempat tinggal, kecuali mungkin hanya untuk sementara waktu (dengan pengecualian tempat tinggal permanen orang mati). Gua yang disurvei tidak menunjukan tanda-tanda tempat tinggal jangka panjang.

Sebagian besar penduduk setempat berasumsi bahwa banyak dari sisa-sisa manusia adalah korban Perang Dunia II dan konflik yang lebih baru. Akan tetapi, mereka yang lebih akrab dengan cerita rakyat setempat, menyatakan bahwa jenazah ditempatkan selaman jaman perang suku, perang “etnis” pada zaman kuno. Seringkali tidak jelas, apakah penggunaan istilah ini, mengacu pada masa pra-kolonal atau awal kolonial, atau mungkin keduanya. Namun, konflik dengan Portugis dan Belanda, sering disebut sebagai perang kolonial. Ada kemungkinan bahwa istilah “jaman perang suku” secara umum mencerminkan perselisihan pra-kolonial. Hal ini selanjutnya didukung oleh cerita rakyat yang terkait dengan situs Tomu dan Hatusua yang kemungkinan besar berakar pada masa pra-kolonial. 


Pengamatan awal menunjukan bahwa jenazah manusia, umumnya terdiri dari tengkorak dan tulang panjang, dengan ketiadaan tulang yang lebih kecil, seperti tulang falangh. Ini mungkin menunjukan praktik penguburan sekunder di gua-gua, hal lumrah di Asia Tenggara. Selain itu, jenazah hampir selalu ditemukan dengan penghamburan gerabah, yang mungkin menunjukan praktik penguburan “tempayan” (yang sekali lagi, hal lumrah di Asia Tenggara), meskipun tidak ada tulang yang benar-benar ditemukan di dalam “tempayan” (maksudnya kendi, botol, guci). Nyatanya, tidak ada guci utuh yang teramati, mengingatkan kita pada pengamatan Bellwood (1997: 297), bahwa guci di situs pemakaman Leang Buidanei  di Timur Laut Indonesia “ pada awalnya diletakan di lantai gua, tetapi hancur – kemungkinan besar tanpa sengaja – di zaman kuno”.

Situs Batususu yang digali oleh Tim Hawai’i – Pattimura adalah gua batu kapur yang terbentuk dari aliran sungai di tengah singkapan di lereng pegunungan berhutan di belakang [negeri] Morela. Serpihan-sepihan permukaan gerabah terlihat di kedua sisi tanggul. Penggalian menghasilkan kumpulan gerabah keramik, banyak batu andesit dan batu kapur pemecah-kacang serta landasan, sisa-sisa kacang Canarium indicum, sisa-sisa cangkang, dan beberapa sisa fauna termasuk megapoda yang cukup lengkap, tetapi tidak ada sisa-sisa manusia. Canarium indicum, lemak, protein, dan kalori yang tinggi merupakan makanan pokok yang penting bagi populasi periode ini, dan juga merupakan pohon peneduh yang disukai untuk menanam pala (Myristica fragrans). Ini bisa jadi indikator bahwa produksi pala yang signifikan terjadi dekat pada periode historis dan protohistoris. Selain itu, peningkatan ukuran Canarium dari waktu ke waktu, dapat mencerminkan seleksi dan manipulasi manusia (Stark, 1995).

Penanggalan radiokarbon tidak terkalibrasi dari situs 320  70 B.P. (Beta – 73696) untuk layer/lapisan 2, 350 ± 50 B.P. (Beta-73694) untuk lapisan 3, dan 170 B.P. (perhatikan bahwa ada masalah pengambilan sampel yang tidak dapat disesuaikan pada waktu ini [Beta-73695] dan 780 ± 60 B.P (Beta-73693) untuk layer/lapisan 4 (Stark, 1995). Penanggalan yang tidak wajar kemungkinan besar merupakan materi yang mengganggu atau kesalahan pemilihan. Endapan basal tidak tercapai karena tersumbat oleh akar pohon yang luas (yang mungkin juga mendorong sampel, yang menyimpang ke endapan yang lebih rendah). Tembikar keramik dari layer 4, cocok dari situs protohistoris Tomu dekat desa Hitu, yang memiliki penanggalan hunian mungkin sekitar abad ke-13 hingga ke-16. Sekali lagi, penanggalan didasarkan pada kemunculan keramik Cina, Vietnam, dan Thailand, yang ada di serpihan permukaan yang berasal dari rentang temporal tersebut.

Menariknya, situs Tomu memiliki ribuan landasan pemecah kacang dan batu palu, mungkin menunjukan industri pengolahan Canarium indicum yang signifikan, atau industri pala dan Canarium indicum yang signifikan, di semenanjung Leihitu Utara. Pala dan bunga pala tentu saja merupakan komoditas perdagangan yang sangat penting selama milenium pertama dan kedua Masehi ini. Selama akhir periode protohistoris dan awal historis, bagaimanapun, Banda (simpul perdagangan rempah-rempah untuk pala dan bunga pala) berhasil memonopoli produksi, meskipun mungkin menerima pengiriman dari pulau lain seperti Ambon (lihat Ellen, 2003, untuk keterangan lebih lanjut tentang Maluku Tengah dan perdagangan pada periode protohistoris dan historis). Situs Batususu, bukan tempat yang nyaman untuk dihuni, mungkin telah menjadi tempat peristirahatan dan tempat kerja untuk memproses Canarium indicum. Batususu juga kira-kira di tengah jalan menuju Kapahaha, wilayah pegunungan perbentengan yang terkenal, di mana Hitu (pada periode ini merupakan federasi negeri-negeri, termasuk Tomu) bertempur melawan awal kolonialisme Belanda.

====== bersambung ======

 

Catatan Kaki

1.         Istilah "Austronesia" dalam tulisan ini diartikan oleh (1) suatu bahan budaya yang unik, terutama terdiri dari perkakas, ornamen, dan gerabah; (2) elemen desain seperti desain tembikar, ukiran, dan tato; (3) teknologi maritim yang sangat berkembang; (4) repertoar penghidupan yang khas termasuk babi, anjing, ayam, dan beberapa spesies tanaman yang dipindahkan; (5) karakteristik pola permukiman; dan (6) afiliasi bahasa ke perhubungan bahasa Austronesia. Lihat Bellwood (1997) untuk diskusi rinci. Masih belum jelasnya kemunculan ciri-ciri di atas bersamaan dengan migrasi kelompok etnis tertentu, khususnya di Maluku. Elemen terpilih mungkin telah dipinjam / diimpor dan dikerjakan ulang. Juga, transfer dua arah kemungkinan besar, serta hibridisasi (misalnya, ekonomi subsisten di Wallacea dan Greater Near Oceania). Menurut pendapat kami, populasi pra-Austronesia serta populasi Austronesia (1) secara aktif mengubah dan menyesuaikan lanskap dengan kebutuhan mereka selain beradaptasi dengan lingkungan baru, (2) memiliki kemampuan untuk mengatasi hambatan air, dan (3) mengeksploitasi berbagai lingkungan darat dan laut (lihat Latinis 1999).

 

2.        Serpihan Labarisi membentuk gugusan rapat dan agak terpisah, menunjukkan kemungkinan besar bahwa serpihan tersebut berasal dari satu sumber geologi yang berbeda (dikonfirmasi oleh Dickinson 2004). Ini menguatkan kesimpulan yang diambil dari penilaian visual. Menariknya, tiga dari kepingan Hat X-1 termasuk dalam kelompok ini. Ada kemungkinan bahwa pemukiman Hatusua sebelumnya menerima tembikar dari situs dekat atau di Labarisi atau dari pembuat tembikar yang menggunakan tanah liat dan aditif dengan ciri khas yang serupa. Ini harus dieksplorasi lebih teliti sebelum kesimpulan pasti diambil. Uji pengambilan sampel lainnya umumnya menunjukkan tingkat pemisahan yang tinggi antara serpihan Hatusua dan serpihan Labarisi. Variabilitas yang lebih tinggi dalam sampel dari situs Hatusua dan Tomu mungkin menunjukkan jumlah perdagangan dan pertukaran yang adil (juga dikonfirmasi oleh Dickinson 2002, 2004) dan berbagai sumber tanah liat.

 

Catatan Tambahan :

a.        Judul asli dari artikel terjemahan ini adalah Cave Use Variability in Central Maluku, Eastern Indonesia, dimuat pada jurnal Asian Perspective, volume 44, no 1, 2005, hal 119 - 136

b.       David Kyle Latinis adalah arkeolog di National University of Singapore, Singapura, sedangkan Ken Stark adalah arkeolog di Kwantlen University College, Vancouver, Canada.

c.        Pleistosen adalah suatu kala (masa/periode) dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 2.588.000 hingga 11.500 tahun lalu. Pleistosen dibagi menjadi 3 yaitu Pleistosen Awal, Tengah, dan Akhir.

d.       Holosen adalah kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung mulai sekitar 10.000 tahun radiokarbon atau kurang lebih 11.430 ± 130 tahun kalender yang lalu (antara 9560 hingga 9300 SM)

e.        Arborikultur secara sederhana bermakna penanaman atau budidaya penanaman pohon

f.         Kajian dari Peter.V. Lape ini, yang berjudul Political Dynamics and Religious change in the late pre-colonial Banda Islands, Eastern Indonesia, telah kami terjemahkan dan dimuat pada blog ini beberapa waktu lalu.

g.       Celtis Ulmacea disebut juga Pohon Lotus

h.       Tulang Falang adalah sekelompok tulang-tulang kecil yang membentuk jari-jari pada tangan dan kaki

i.         Situs Leang Buidane tepatnya terletak di Pulau Salebabu di gugusan Talaud, Sulawesi Utara

§  Peter Bellwood, Pre-History of the Indo- Malaysian Archipelago, Australian National University Press, 2007, Australia, hal 297

§  Peter Bellwood, Archeological research in Minahasa and the Talaud Islands, north-eastern Indonesian, (dimuat dalam jurnal Asian Perspective, volume 19, 1976, hal 240 – 288)

Peter Bellwood, The Buidane Culture of the Talaud Islands (dimuat dalam jurnal Bulletin of the Indo-Pasific Prehistory Association, volume 2, 1981, halaman 69 – 127)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar