Senin, 09 November 2020

Tsunami Ambon tahun 1674 : Kenaikan ekstrim [air laut] yang disebabkan oleh Tanah Longsor yang dipicu [oleh] Gempa Bumi (bag 1)

Oleh :

IGNATIUS RYAN PRANANTYO dan PHIL R. CUMMINS

 

 

  1. Kata Pengantar

Hampir 3,5 abad lalu, Pulau Ambon dan sekitarnya dilanda gempa bumi besar. Menurut Rumphius, yang kemudian mencatatnya, kejadian mengerikan itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1674, bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Cina. Gempa bumi tersebut juga dibarengi dengan tsunami dashyat.

Sumber gempa bumi dan tsunami itu tidaklah diketahui. Ignatius Ryan Pranantyo dan Phil R Cummins, keduanya adalah peneliti di School of Earth Science, Australian National University, Canberra, Australia, menulis artikel berjudul “The 1674 Ambon Tsunami: Extreme Run-Up Caused by an Earthquake-Triggered Landslide”, dan dimuat di Jurnal  Pure and Applied Geophysics pada Desember 2019. Uniknya lagi, sebelum artikel ini dipublikasikan di jurnal tersebut, artikel ini direvisi pada tanggal 24 September 2019, tepat 2 hari, sebelum kota Ambon “dikejutkan” dengan gempa bumi setahun lalu.

Menyadari bahwa artikel ini penting untuk diketahui, minimal agar kita bisa mengetahui dan menyadari bahwa kita hidup dikelilingi oleh potensi ancaman, maka kami memberanikan diri untuk menerjemahkannya. Artikel sepanjang 20 halaman ini, di dalamnya terdapat 8 gambar, 4 tabel, dan 40an sumber referensi.

Artikel terjemahan ini kami bagi menjadi 2 bagian, dan menambahkan gambar ilustrasi dan catatan tambahan, jika kami merasa perlu. Akhir kata selamat membaca, dan mulai terbiasa hidup dalam potensi akibat gempa bumi.

Ignatius. R. Pranantyo

  1. Terjemahan : Kutu Busu
  1. Pendahuluan

Indonesia Timur, dan khususnya Laut Banda, adalah wilayah tektonik yang sangat aktif dan kompleks (Hamilton, 1979; McCaffrey, 1988; Spakman dan Hall, 2010; Pownall et al. 2013). Terlepas dari catatan sejarah yang kaya akan gempa bumi dan tsunami besar yang merusak, selama era instrumental seismologi yang lebih baru, sebagian besar peristiwa besar terjadi di Indonesia bagian barat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk lebih memahami ancaman tsunami di Indonesia Timur adalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari catatan sejarah, yang seringkali terdiri dari kisah-kisah yang jarang dan sulit ditafsirkan.

            Catatan rinci tsunami yang tertua di Indonesia, didokumentasikan oleh Rumphius (1675). Gempa bumi dashyat mengguncang Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya pada 17 Februari 1674. Gempa tersebut diikuti oleh tsunami besar dengan ketinggian sekitar 100 meter yang terus menaik, yang hanya teramati di pantai utara Pulau Ambon, sementara daerah lainnya hanya mengalami tsunami kecil. Gempa bumi dan tsunami menyebabkan lebih dari sekitar 2300 kematian, dan sebagian besar di pantai utara Pulau Ambon.

            Sumber tsunami dan gempa bumi tidaklah diketahui. Løvholt et al. (2012), dan Harris dan Major (2017) berspekulasi bahwa hal itu dipicu masing-masing oleh gempa bumi dari selatan Ambon dan tanah longsor yang dipicu oleh gempa bumi dari dalam Teluk Ambon. Namun, tidak ada upaya yang dilakukan untuk menyelidiki peristiwa ini lebih lanjut, terutama untuk menjawab kenaikan ekstrim, yang teramati hanya di pantai utara Ambon. Karena itu, sumber tsunami dan gempa bumi tetap terbuka untuk dipertanyakan.

            Pada bagian selanjutnya dari makalah ini, situasi tektonik di sekitar Ambon dibahas pertama, diikuti oleh interpretasi kami tentang kisah peristiwa ini. sumber utama gempa bumi dan tsunami diselidiki melalui analisis dokumen Rumphius. Pemodelan tsunami kemudian dilakukan untuk mengkonfirmasi analisis. Terakhir, pembahasan hasil analisis dan implikasi yang ditemukan.


  1. Situasi Tektonik di sekitar Ambon

Ambon adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di barat daya Pulau Seram (gambar 1). Pulau ini terdiri dari 2 “pulau” kecil, yaitu Hitu dan Leitimor, yang dihubungkan oleh tanah genting yang pendek (gambar 2). Ambon terletak di barat daya Pulau Seram yang merupakan bagian dari busur (lengkungan) Banda bagian luar. Kepulauan tersebut dikelilingi oleh patahan-patahan utama, yaitu Seram Megathrust (SMT), Kawa Faults (Patahan Kawa – KF), dan Banda Detachment (BD) (gambar 1).

Sebagaimana dirangkum dalam Patria dan Hall (2017), Seram Megathrust membentang dari Kepulauan Kei di sisi timur ke arah barat lau Pulau Seram (gambar 1). Ini sering digambarkan sebagai zona subduksi (misal. Hamilton, 1979; Honthaas et al. 1998). Namun, yang lain berpendapat bahwa itu adalah “kedalaman” yang dihasilkan oleh timbunan dari lipatan yang berkembang dan sabuk dorong (Audley-Charles et al.1979; Pairault et al.2003; Spakman dan Hall, 2010). Melalui batimetri beresolusi tinggi dan data sesimik, Patria dan Hall (2017) mengkonfirmasi hipotesis kedua : bahwa itu adalah hasil dari konvergensi antar lempeng yang miring.

Sesar/Patahan Kawa adalah struktur yang menonjol di Seram Tengah (gambar 1). Sesar membentang dari Teluk Piru, lepas pantai utara Ambon, ke selatan bagian tengah dari pulau-pulau di sisi utara Laut Banda. Sesar memiliki gerakan lateral kiri utama yang diidentifikasi melalui pengamatan geologis (Pownall et al. 2013). Gempa bumi besar yang menyebabkan tsunami di Pulau Seram pada tahun 1899, diduga telah menghancurkan Patahan/Sesar Kawa (Soloviev dan Go, 1974).

Di ujung selatan Seram, Pownall et al (2016) berpendapat bahwa Patahan/Sesar Kawa berlanjut ke Laut Banda dan terhubung dengan Banda Detachment (gambar 1). Banda Detachment adalah patahan normal bersudut rendah yang baru-baru ini ditemukan, yang diidentifikasi dari pengamatan geologi dan data batimetri beresolusi tinggi. Selain itu, Banda Detachment menunjukan eksistensi cepat seperti yang ditunjukan oleh lapisan sedimen yang sangat tipis di cekungan Weber (Pownall et al. 2016). 

Di Ambon, Watkinson dan Hall (2017) mengidentifikasi beberapa patahan melalui model elevasi digital menggunakan Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). Pertama, patahan normal dengan sudut yang sangat curam, teridentifikasi di pantai utara Ambon. Kemudian teramati suatu garis lurus dengan jurusan timur laut – barat daya melintasi kota Ambon. Terakhir, dugaan patahan normal kuatener teramati di sisi selatan Teluk Ambon.

Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya (Seram, Haruku, Saparua, Nusalaut dan Buru) telah mengalami setidaknya 14 tsunami di masa lalu yang bersejarah (Tabel 1). Ada 2 peristiwa yang masing-masing disebabkan oleh aktivitas gunung berapi dan tanah longsor, gempa bumi (7 peristiwa), dan 3 peristiwa dengan sumber yang tidak ditentukan. Mayoritas peristiwa dikategorikan sebagai tsunami minor dengan ketinggian maksimum hingga 2 meter, kecuali untuk peristiwa tahun 1674 dan 1899. Peristiwa tsunami dimulai dengan gerakan tanah yang kuat, yang terasa di Pulau Ambon. Gelombang tsunami ekstrim hingga 100 meter diamati hanya di pantai selatan pulau dengan tsunami kecil di daerah lain (Rumphius 1675). Sumber tsunami ini akan dibahas pada bagian berikut. Dalam peristiwa tahun 1899, pemukiman di Pulau Seram hancur oleh genpa bumi yang diduga berasal dari Patahan/Sesar Kawa (Soloviev dan Go, 1974). Ini memicu beberapa tanah longsor yang menghasilkan tsunami di sepanjang pantai utara Pulau Seram. Tsunami meningkat hingga 9 meter di desa-desa Amahai, Paulohi, dan Elpaputih, tanpa ada laporan tentang tsunami di pantai utara Ambon.

  1. Catatan Sejarah Gempa Bumi dan Tsunami Pulau Ambon 1674

Gempa dan tsunami Ambon didokumentasikan dalam buku “Waerachtigh Verhael Van de Schlickelijcke Aerdbebinge”, ditulis oleh Rumphius (1675). Buku ini diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul “The true history of the terrible earthquake” (Rumphius, 1997). Catatan sejarah yang akan digambarkan di bawah ini, didasarkan pada terjemahan bahasa Inggris dan diringkas dalam gambar 2 dan tabel 2.

Peristiwa itu terjadi sekitar 7:30 malam waktu setempat, ketika orang-orang di Laitimor merayakan Tahun Baru Imlek China. Di kota Ambon, lonceng di kastil Victoria berayun sendiri, dan orang-orang yang berdiri jatuh ke tanah, ketika bumi berguncang naik turun seperti laut. Bangunan-bangunan batu runtuh dan menguburkan hingga 80 orang. Guncangan kuat terasa di pegunungan di Laitimor, dengan batu-batu berjatuhan dan tanah terbuka. Di Hutumuri dekat pantai, di sisi timur Laitimor, air laut menyembur ke udara seperti air mancur.

Gempa juga dilaporkan dari Hitu. Di sungai Waytome, di sisi utara, air sungai menyembur setinggi 6 meter. Orang-orang di utara hingga barat laut Hitu mendengar suara keras seperti tembakan meriam. Mereka memperhatikan 2 tanda panjang dan tipis di langit, membentang dari Luhu ke Seith, tak lama sebelum gempa bumi. Kurang dari 15 menit setelah gempa bumi, desa-desa antara Lima dan Hila tersapu oleh gunung air laut raksasa. Air laut naik sekitar 50 hingga 60 depa (sekitar 90 – 110 meter) ke puncak bukit di sekitarnya, dan lebih dari 2300 orang tewas.

Fenomena yang tidak biasa ini dilaporkan di tempat lain, tetapi dengan intensitas yang jauh lebih sedikit. Desa Hitu Lama, yang terletak sekitar 15 km di sebelah timur Hila, melaporkan bahwa air laut naik hanya sekitar 3 hingga 5 meter, menewaskan 35 orang. Sedikit lebih jauh ke timur, 40 rumah di Mamala tersapu tanpa korban jiwa. Pemukiman Orien (nama sekarang : Ureng), yang terletak < 10 km barat Lima, melaporkan bahwa air laut naik dan menggenangi tanah tetapi tidak memasuki rumah-rumah. Orang-orang di Larike, sebuah desa di bagian paling barat Hitu, mengamati bahwa air laut naik setinggi 1 meteri di Redout Rotterdam. Di wilayah selatan dan timur Pulau Ambon, dilaporkan osilasi air laut lebih sedikit, terlepas dari beberapa perahu kecil yang saling terlempar.

Di Luhu, di Seram Kecil, air laut menggenangi pohon-pohon dan tempat tinggal sebuah perusahan. Air naik ke ketinggian lebih dari 5 meter. Di ujung utara Teluk Piru, setengah dari rumah di Tanuno disapu air, tetapi tidak ada korban jiwa. Nelayan di Teluk Piru mengatakan laut tetap tenang dengan riak. Osilasi air laut yang jauh lebih rendah terlihat oleh orang-orang dari Manipa, Salati, Haruku, Nusalaut, dan Pulau Banda Neira, dibandingkan dengan osilasi yang diamati di Hitu dan Laitimor. Gempa susulan berlanjut setidaknya selama 3 bulan. 2 gempa susulan terbesar terjadi pada tanggal 6 dan 10 Mei.


            Apa sumber dari gerakan tanah dan fenomena air laut yang digambarkan di atas, khususnya pada tanggal 17 Februari 1674???. Pada bagian berikut, kami akan menggunakan kisah sejarah pergerakan tanah dan observasi tsunami untuk menjawab pertanyaan itu.

 

  1. Identifikasi Sumber

4.1.             Sumber Gempa Bumi 

Berkenaan dengan situasi tektonik di sekitar Ambon, ada 5 calon patahan/Sesar yang bisa menghasilkan gempa besar dengan intensitas dan efek yang ditunjukan pada gambar 2, yaitu :

a.       Seram Megathrust Utara

b.      Patahan/Sesar Kawa

c.       Patahan antar irisan

d.      Patahan utama South Seram Thrust

e.       Patahan lokal di Ambon

Masing-masing dianalisis secara kualitatif di bawah ini, untuk mengidentifikasi sumber yang paling kredibel dari peristiwa ini (Tsunami 1674).

            Secara umum, gerakan tanah terkuat dirasakan di Laitimor, Oma (Haruku), dan Nusalaut (gambar 2). Intensitas gerakan tanah menurun menuju Banda Neira di selatan dan Boano di utara. Banyak bangunan runtuh dan tanag retak di berbagai tempat di Laitimor. Ada “pencairan” di Hutumuri dan Sungai Waytome menurut catatan “ air menyembur tinggi ke udara”. Gempa susulan yang berulang dilaporkan hingga setidaknya 10 Mei. Dilihat dari pengamatan ini, sumbernya pasti gempa sedang hingga gempa besar dengan pusat gempa lokal dan dangkal.  

            Gempa dangkal di Seram Megathrust Utara, akan terlalu jauh dari Ambon untuk memiliki efek ini, dan jika gempa bumi terjadi pada patahan ini, Pulau Boano, Kelang, dan Manipa dimana dilaporkan terjadi guncangan sedang (gambar 2) akan mengalami goncangan tanah yang lebih kuat daripada Ambon dan Banda Neira. Jika gempa berasal dari Patahan Kawa, desa-desa di Pulau Seram akan mengalami goncangan tanah yang lebih hebat seperti pada peristiwa gempa dan tsunami tahun 1899 (Soloviev dan Go, 1974). Gempa bumi intraslab (antar irisan) yang dalam, biasanya tidak menyebabkan retakan tanah dan urutan gempa susulan yang panjang. Zona Benioff lebih dari 100 km di bawah Ambon (Spakman dan Hall, 2010), dan gempa bumi intraslab pada kedalaman ini, kemungkinan akan menghasilkan gerakan tanah yang kuat, yang didistribusikan  di wilayah yang lebih luas daripada yang teramati.

Oleh karena itu, sumber yang dapat dipercaya untuk peristiwa ini, bisa saja adalah South Seram Thrust Fault atau patahan lokal di Ambon. South Seram Thrust digunakan dalam peta bahaya gempa bumi dan tsunami Indonesia (Irsyam et al. 2010; Horspool et al. 2014), dimana ia diindikasikan membentangdari pantai selatan Buru ke Nusalaut dengan menukik ke bagian utara (gambar 1). Meskipun tampaknya ada bukti untuk patahan ini dalam hasil survei seismik laut (j. Griffin, komunikasi pribadi, 2018), kami mencatat bahwa itu tidak muncul pada revisi terbaru peta bahaya seismik Indonesia (Irsyam et al.2019). Karena itu, kami menganggap keberadaan patahan ini sebagai spekulatif, meskipun gempa bumi di atasnya dapat menyebabkan tanah yang diamati bergetar. Brouwer (1921) dan Watkinson dan Hall (2017) telah dengan yakin mengidentifikasi patahan kuaterner pada kota Ambon itu sendiri, salah satunya Haris dan Mayor (2017) mengidentikasinya sebagai sumber gempa tahun 1674 tanpa penjelasan yang jelas tentang alasannya. Kami menyimpulkan bahwa salah satu dari patahan ini di dan dekat Ambon dapat menyebabkan getaran tanah yang diamati, tetapi penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dengan tepat, mana “putus/pecah” pada tahun 1674.

 

4.2.             Sumber Tsunami 

Jika kita mempertimbangkan salah satu dari 5 kandidat patahan yang disebutkan sebelumnya, yang mungkin mampu secara langsung mengakibatkan tsunami yang diamati, segera jelas bahwa peristiwa intraslab tidak bisa, karena gempa bumi yang lebih dalam dari 100 km di zona Benioff di bawah kepulauan Banda hanya bisa menghasilkan tsunami yang lemah pada tingkat terbaiknya. Okal dan Reymond (2003) menunjukan bahwa peristiwa intraslab terbesar yang pernah dicatat, adalah peristiwa 1938 Mw = 8,5 di Laut Banda pada kedalaman 60 km, hanya menghasilkan tsunami yang lemah. Tsunami yang dihasilkan oleh Seram Megathrust atau South Seram Thrust harus memasuki Teluk Piru melalui selat sempit di sekitar Pulau Ambon, yang akan sangat melemahkan tsunami yang [akan] tiba di pantai utara Ambon. Seperti yang kami tunjukan di seksi 6 di bawah ini, alih-alih memiliki kenaikan tertinggi di sepanjang pantai utara Ambon, energi tsunami yang dihasilkan oleh 2 skenario ini akan terkonsentrasi antara pantai barat dan selatan Hitu dan Laitimor. Patahan Kawa memiliki mekanisme “mogok” yang mungkin menghasilkan tsunami lokal yang signifikan, dimana ia [akan] melintasi pantai selatan Seram, seperti peristiwa yang terjadi di Mindoro tahun 1994 (Imamur et al. 1995) dan Palu di tahun 2018 (misalnya Jamelot et al. 2019). Namun, tampaknya mekanisme ini tidak mungkin menghasilkan gelombang tsunami yang tinggi di sepanjang pantai utara Ambon.

Satu-satunya patahan yang mungkin menghasilkan tsunami besar di pantai utara Ambon dan tempat lain, adalah patahan lokal yang terdokumentasi di pantai utara Hitu (Brouwe 1921; Watkinson dan Hall, 2017). Patahan memiliki mekanisme normal yang dapat menghasilkan perpindahan vertikal besar air untuk menghasilkan tsunami. Namun patahan yang dipertimbangkan ini hanya sepanjang 16 km, dan karenanya tidak mungkin menghasilkan gempa dengan magnitudo < 7, dan terperosok jauh lebih tinggi dari 2 meter (Kanamori dan Anderson, 1975; Geller, 1976; Wells dan Coppersmith, 1994), terlalu kecil untuk menghasilkan kenaikan ekstrim gelombang tsunami seperti yang terlihat. Oleh karena itu, jika tidak ada potensi gempa bumi yang dapat secara langsung menghasilkan tsunami dengan pengamatan yang meningkat, sumber tsunami yang paling masuk akal adalah dari tanah longsong yang dipicu oleh gempa bumi di Teluk Piru.


Ada indikasi dalam laporan Rumphius tahun 1997, bahwa tanah longsor besar-besaran di pantai yang terjadi di pantai utara Hitu antara Seith dan Hila.

Wilayah di sekitar Lebalehu, sebuah wilayah yang dulu terkenal dengan pasarnya, dan karena itu menjadi tempat pertemuan kaum Muslim yang paling penting,
hancur seluas 1 tembakan muskuet. Tidak ada lagi pantai di sana, tetapi hanya tebing yang sangat curam. Hal yang sama juga berlaku antara Ceyt (Seith) dan Hila, bahkan sejauh pantai di tempat sisi barat benteng Amsterdam dan di bawah tempat tinggal Intche Tay. Termasuk negeri-negeri Nukunali, Taela dan Wawani, semua ini lenyap bersama dengan dermaga tempat kapal biasa berlabuh. Tampaknya seperti yang disebutkan di atas, dinding air muncul di tempat yang baru saja ditunjukan, yang mengarah langsung di bawah Lebalehu. Bahkan mungkin berasal dari Hitu karena berbagai orang di dalam kapal yang tidak jauh dari pantai, dilaporkan hanya berayun-ayun karena gelombang. Massa atau volume air yang meningkat dibagi menjadi 3 bagian. Satu menuju ke timur Ceyth (Seith) dan Hila, yang lainnya menuju sebelah barat ke arah negeri Lima dan Orien. Airnya berbau busuk sekali sehingga orang-orang di kapal dekat pantai menjadi sakit, dan airnya sangat kotor, sehingga siapa pun yang tenggelam di dalamnya, tampak seolah-olah dia diangkut keluar dari lumpur.

Dengan kata lain, ada perubahan besar dalam lanskap di sekitar wilayah pesisir : pantai yang indah menjadi sangat curam. Selain itu, orang-orang melihat bahwa airnya gelap dan suara menderu terdengar dari daerah ini, yang menunjukan bahwa air laut bercampur dengan sedimen, dan sumber tsunami berada di dekat orang-orang. Warna air laut dan suara keras yang digambarkan dalam kisah-kisah itu, mirip dengan yang dijelaskan setelah tsunami Aitape, Papua Nuigini tahun 1998 (Davies et al. 2003), yang diperkirakan dihasilkan oleh tanah longsor. Sayangnya, tidak ada informasi lebih lanjut berkenaan dengan parameter tanah longsor. Menurut catatan, itu adalah tanah longsor sebagaian subaerial, dengan sekitar 200 dari garis pantai sebelumnya, runtuh ke laut. Luas lateral diperkirakan setidaknya 5 km di sepanjang garis pantai antara desa Seith dan Hila.

Selanjutnya, sebagian besar korban jiwa dalam peristiwa ini, adalah di wilayah ini dan tidak banyak bangunan yang runtuh karena gempa. Selain itu, peningkatan ekstrim secara lateral di sepanjang garis pantai hanya dapat dijelaskan dengan tanah longsor. Pengamatan ini mirip dengan tsunami Aitape, Papua Nuigini tahun 1998, yang dihasilkan oleh tanah longsor bawah laut (Okal dan Synolakis, 2004; Synolakis et al. 2002).


                                                                 ===== bersambung =====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar