Sabtu, 31 Oktober 2020

Dinamika Politik dan Perubahan Agama di Kepulauan Banda, Indonesia Timur pada [periode] akhir pra-kolonial (bag 2- selesai)

 

Oleh

Peter V. Lape

Islamisasi di Banda

Pengadopsian Islam oleh orang-orang Banda selama era modern awal, mungkin merupakan konsekuensi terpenting dari ketertarikan Banda pada perdagangan jarak jauh. Pada tahun 1512, Tome Pires melaporkan bahwa “sudah 30 tahun sejak mereka mulai menjadi orang Moor di Kepulauan Banda” (Pires dan Rodrigues, 1944 : 206). Jika kita menganggap kata-kata ini sebagai fakta, [maka] Banda adalah salah satu tempat paling awal di Indonesia Timur yang masuk Islam2. Meskipun ada juga bukti arkeologis dan dokumenter tentang kehadiran non-Islam yang signifikan selama akhir periode pra-kolonial, Islam menegaskan, sebagian besar, interaksi Banda dengan dunia luar, khususnya dengan orang Eropa. Karakterisasi masyarakat Banda sebagai Islam menempatkannya secara otomatis dalam kategori musuh kerajaan Portugis, yang masih (secara simbolis) terlibat dalam perang salib, mendorong “Moor” untuk kembali ke dunia (meskipun berdagang dengan mereka (orang Portugis) secara damai ketika menguntungkan). Hal ini juga digunakan oleh Belanda dan Inggris secara sporadis, suatu semangat yang sama sekali tidak berhasil untuk menghentikan permusuhan satu sama lain, dan bergabung melawan “Muslim Kafir” (Sainsbury, 1878 : 8). Bagi banyak orang di Maluku, Islam memberikan kerangka kerja ideologis yang penting untuk melawan pengaruh budaya dan kontrol politik Eropa, dan untuk menyatukan entitas politik yang berbeda (Andaya, 1993; Reid 1993b : 147). Islam adalah alat politik yang digunakan oleh para pemimpin, baik untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka dalam bentuk monarki yang disukai dalam doktrin Islam, dan untuk “menghancurkan” lawan-lawan mereka serta upaya mereka untuk mengontrol perdagangan dan politik (Johns, 1995; Reid, 1995; Ricklefs, 1979).

Mengapa orang masuk Islam? Insoll (1996) mengemukakan berbagai alasan. Itu mungkin benar-benar perubahan keyakinan, seperti yang umumnya dikemukakan oleh kaum Muslim dan sarjana-sarjana agama lainnya. Mungkin itu adalah daya tarik kekuatan Islam yang tampak dalam “sihir” dan ritual, dan prestise yang diasosiasikan dengan kepemilikan kekuatan tersebut. Mungkin manfaatnya untuk perdagangan dan administrasi, seperti memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang Islam yang berkunjung, administrasi yang disederhanakan menggunakan bahasa Arab tertulis dan penggunaan kalender menggunakan siklus lunar (bulan). Insoll mengusulkan agar hal itu menjadi daya tarik khusus bagi penduduk kota di perkotaan, pusat populasi multietnis. Ini menarik bagi pengembara (seperti pedagang jarak jauh) karena ketiadaan hierarki sistem kependetaan. Ini mungkin kurang menarik bagi para petani yang menetap, karena tidak cocok dengan kehidupan yang berputar di sekitar tanaman, dan animisme memberikan jawaban yang lebih baik (Insoll, 1996 : 90-92). Reid [yang] meringkaskan [kajian] Horton, O’Connor dan Hoskins, menambahkan bahwa bagi para pedagang maritim di Asia Tenggara, Islam menarik karena “portabel”. Itu tidak memerlukan referensi ke petunjuk permanen dalam pandangan asal, tetapi masuk akal di mana saja, dan lebih jauh lagi tidak membuat para pengembara itu tunduk pada roh-roh tak dikenal yang dimanipulasi oleh musuh-musuh mereka (Reid, 1993a : 159).

Tetapi bagaimana keyakinan dan perilaku Islam diadopsi oleh masyarakat multi-etnis dan dinamis yang berkembang di Banda???. Nampaknya proses Islamisasi memakan waktu lama yaitu beberapa abad, dan tetap tidak lengkap, setidaknya sampai awal abad ke-16. Deskripsi Banda dalam Daoyi zhilue, yang mungkin merupakan catatan kunjungan nyata Wang Dayuan ke kepulauan tersebut pada tahun 1330-an, tidak menyebutkan Muslim, meskipun ia menyadarinya [ada] di tempat lain di Asia Tenggara (Ptak, 1995,1998; Rockhill, 1915 : 256-257). Penyebutan sejarah pertama Muslim di Banda dilakukan oleh penulis sejarah Portugis, Tome Pires, yang melaporkan bahwa “mereka mulai menjadi orang Moor” hanya sejak 1480an. Tidak semua orang di Banda menjadi Muslim pada tahun 1512, karena Pires mencatat adanya “beberapa orang kafir di negara “ kepulauan tersebut, sementara “pedagang Moor” mendiami pesisir pantai (Pires dan Rodrigues, 1944 : 206). Deskripsi awal Ternate, di Maluku Utara, juga menggambarkan Sultan sebagai Muslim Nominal (Muslim “KTP”), tetapi dikelilingi oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang perilaku atau doktrin Islam (Pires dan Rodrigues, 1944 : 213).

Bukti arkeologis menunjukan kehadiran Islam di Banda lebih awal dari laporan dokumen-dokumen ini. Selain itu, sementara referensi sejarah setelah pertengahan abad ke-16, menggambarkan Banda sebagai Muslim sepenuhnya, bukti-bukti arkeologis menunjukan bahwa faksi-faksi kecil non-Islam mungkin tetap penting hingga penaklukan tahun 1621. Identitas atau peilaku keagamaan sulit dideteksi secara arkeologis. Saya telah menggunakan kehadiran atau ketiadaan sisa-sisa babi, dan jika memungkinkan, tradisi penguburan manusia sebagai indikatornya. Sementara ada beberapa perdebatan tentang tingkat kepatuhan Muslim Asia Tenggara yang baru masuk Islam dengan doktrin Islam, menolak babi tampaknya menjadi sikap publik yang sangat penting, bersama dengan sunat dan sholat (Insoll, 1999 : 96-102; Reid, 1993b : 141). Hukum Islam secara umumnya melarang penguburan yang tak manusiawi (inhumasi), sedangkan kremasi, atau dalam beberapa kasus, inhumasi sekunder, dipraktikkan secara luas di Indonesia pra-Islam (Bulbeck, 1997; Insoll, 1999; Reid, 1995). Jika pengamatan ini dilakukan terhadap umat Islam di Banda pra-kolonial, maka keberadaan tulang babi dan sisa-sisa manusia yang dikremasi di situs arkeologi, menunjukan bahwa non-Islam menempati situs tersebut.
            Seperti yang diharapkan, tulang dan gigi babi (Sus sp.), bersama dengan tulang burung dan spesies ikan yang hidup di terumbu karang, menonjol dalam kumpulan fauna di situs PA1 dan di tingkat yang lebih renda di situs BN1, dan di tingkat yang lebih rendah di beberapa situs, lubang pengujian yang digali di Banda Besar dan Pulau Ay (Groves, 1981; Groves, 1995). Namun, situs BN1 (mewakili kota sejarah Labbetacca) memiliki sisa-sisa babi dalam jumlah besar yang ada dalam lapisan-lapisan yang bertanggal antara awal pendudukan atau pemukiman sekitar tahun 500 Masehi hingga akhir abad ke-16, yang juga termasuk “periode Islam” di Banda. Selama periode ini, sisa-sisa babi diasosiasikan dengan tulang manusia yang terpisah-pisah/tersebar dan abu (menunjukan penguburan kremasi) dan tradisi gerabah yang dipahat, yang keduanya tidak ditemukan di tempat lain di Banda. Hilangnya tulang babi, bertepatan, secara stratigrafi, dengan kemunculan pertama peralatan dagang putih dan Swatow biru, yang berasal dari akhir abad ke-16 (lihat gambar 4), serta hilangnya tulang manusia yang terbakar dan gerabah pahatan. Perubahan ini juga bertepatan dengan menyusutnya area yang ditempati dari situs, dan penurunan kepadatan pengendapan artefak secara keseluruhan. 

Sebaliknya, situs BN2, BN4 (mungkin kota Nera) dan PA2 (mungkin kota Ay) tidak memiliki sisa-sisa babi dari awal pendudukan/pemukiman mereka sampai setelah abad ke-17, ketika Belanda menduduki pemukiman ini, meskipun situs ini kaya dengan tulang-tulang ikan dan burung3. Situs BN4 dan PA2, awalnya ditempati sebelum abad ke-12, dan BN2  pada abad ke-13. Tak satupun dari situs-situs ini berisi sisa-sisa manusia, juga tidak berisi tradisi gerabah pahatan. Ke-3 situs ini berbeda dari situs BN1, karena mereka terletak secara geografis di pelabuhan terbaik dari kedua pulau, sedangkan situs BN1 berada di pantai terbuka yang tidak cocok untuk tempat berlabuh. Situs BN1 berada pada posisi yang bisa dibilang lebih defensif, dikelilingi oleh tebing tinggi, sedangkan BN2, BN4 dan PA2 sebagian besar berada di bagian garis pantai yang terbuka. Saya (penulis) menyarankan agar situs BN2, BN4 dan PA2 mewakili pemukiman yang berorientasi pada perdagangan jarak jauh, dan yang dihuni terutama oleh kaum Muslim. Mungkin wilayah ini adalah kantong-kantong Muslim “asing” yang tinggal di Banda sambil berdagang dan menunggu perubahan angin muson.

Penafsiran bukti-bukti arkeologis ini tidak didukung oleh data dokumenter. Sementara dokumen Portugis dan Belanda menyatakan Nera adalah kantong Muslim pada abad ke-16, Islam  tidak dilaporkan di Banda oleh laporan China abad ke-14. Namun, komunitas kecil Islam telah hadir di pelabuhan perdagangan di Asia Tenggara pada milenium pertama, dan semakin mapan di Sumatera pada akhir abad ke-13 (Reid, 1993b : 132). Pentingnya Banda sebagai sumber pala dan bunga pala, dapat diartikan bahwa komunitas pedagang Muslim sudah berada, sekurang-kurangnya, sejak awal di Banda.

Dokumen-dokumen yang sama juga, tidak jelas mendukung bukti arkeologis tentang keberadaan komunitas non-Islam yang terus berlanjut di Banda setelah [penyebutan oleh] Tome Pires. Namun, pembacaan ulang dokumen berdasarkan bukti arkeologi menyoroti beberapa bukti “yang tersirat” tentang keberadaan non-Isam yang terus berlanjut di Banda sepanjang abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan pemisahan geografis Muslim dan non-Muslim menjadi pemukiman yang berbeda. Misalnya, narasi Portugis dari tahun 1529, yang membedakan antara orang Banda asli dan Muslim asing, menggambarkan hubungan mereka dengan cara yang merendahkan :

3 dari pulau ini, yang lebih besar, memiliki raja-raja Moor, yang sedikit demi sedikit membuat mereka menjadi penguasa negeri (asenhorear),mereka memiliki kekuatan untuk mengatur dan melawan penduduk asli/pribumi negeri-negeri itu, yang mencari perlindungan di pegunungan tempat mereka melancarkan perang; namun, sekarang mereka “dekat” dengan orang Moor (Sa, 1954 : 17-18)4

Dalam contoh lain, deskripsi Belanda dan Inggris tentang kepulauan tersebut dari dekade pertama abad ke-17, menggambarkan pertempuran sengit antara 2 aliansi desa di Banda. Satu aliansi terdiri dari desa Nera, Lonthoir, Ay dan Rhun, sementara aliansi yang lain terdiri dari desa Labbetacca, Wayer dan Kumbir. Penyebab konflik, menurut pengamat/penulis Belanda, adalah “karena penebangan pohon-pohon selama bertahun-tahun di wilayah Nera oleh orang-orang Labetacke, dimana sejak itu mereka saling membunuh seperti anjing” (Purchas dan Hakluyt, 1625 : 710). Dalam salah satu deskripsi pertempuran tahun 1599 antara Nera dan Labbetacca, orang-orang Nera menangkap dan memenggal beberapa prajurit laki-laki Labbetacca, kemudian memasang kepala di tiang bambu untuk dipamerkan di depan umum di Nera5. Namun, mayat para prajurit Labbetacca yang dipenggal diperlakukan secara Islami, dibungkus dengan kain putih dan dikuburkan, pedupaan dupa dibakar di sisi kuburan sepanjang malam (Purchas, 1626 : 607), meskipun upacara penguburan juga memasukan elemen-elemen non-Islam (Reid, 1995: 323). Meskipun kita tidak diberitahu tentang kebiasaan penguburan di Labbetacca, keberadaan tulang dan gigi manusia yang terbakar, yang terkait dengan artefak gerabah di situs BN1 menunjukan bahwa kremasi, sebuah kebiasaan non-Islam, dilakukan di sana.

Pemisahan geografis atau polarisasi menurut garis agama ini, jika memang ada, harus diselaraskan dengan sifat identitas agama (dan etnis) yang tampaknya cair di Asia Tenggara modern awal, setidaknya hingga dekade terakhir abad ke-16. Tampaknya di sebagian besar daratan Asia Tenggara, orang-orang berpindah di antara domain berbagai pilihan agama dengan relatif mudah, meskipun terkadang dengan konsekuensi yang berbahaya (Henley, 1993: 51-54; Reid, 1993a). Di Banda, pada akhor pra-kolonial, misalnya, ada beberapa kisah perpindahan agama, baik dari pihak orang Banda maupun Eropa (“Answer”, 1971: 5-10; Astley, 1764: 441; Moreland, 1934: 89; Purchas et al, 1905: 519). Seringkali ini dilakukan, dan tampak hingga masa ini, lebih karena alasan politik atau strategis daripada alasan teologis. Pemukiman berbeda yang berorientasi pada perilaku Muslim atau non-Islam, mungkin memiliki peran berbeda dalam ekonomi sosial Banda, dan orang-orang dapat berpindah di antara mereka dengan relatif mudah.

Salah satu aspek dari peran ekonomi berbeda yang dimainkan oleh pemukiman dengan orientasi agama yang berbeda ditunjukan oleh pemukiman kontemporer di Banda. Babi liar menjadi hama utama di Pulau Banda Besar, merusak tanaman secara serius. Satu komunitas kecil umat Kristen yang tinggal di pemukiman Spancibi, memainkan peran penting dalam mengendalikan populasi babi melalui perburuan mereka untuk dimakan. Yang sangat menarik adalah fakta bahwa komunitas ini dapat menanam talas di kebun desa mereka, karena babi-babi tersebut tampaknya telah belajar untuk menjauh dari pemukiman ini, sedangkan desa-desa yang sebagian besar Muslim di bagian pulau lainnya, tidak. Apakah situasi ini juga terjadi di masa lalu di Banda, masih terbuka untuk spekulasi, tetapi analisis serbuk sari dan fitolit tanah dari konteks arkeologi sedang dalam proses. Hasil analisis ini dapat menjelaskan komponen tumbuhan dalam pola makan orang Banda, serta perubahan komunitas tumbuhan dari waktu ke waktu.

Islamisasi mungkin memiliki dampak ekologis pada ekosistem pulau kecil Banda, karena semakin banyak orang Banda yang menjalankan larangan Islam untuk memakan babi. Dalam ekosistem Banda, manusia adalah satu-satunya predator babi (meskipun ular besar mungkin agak mengendalikan populasi babi), dan, karena perburuan babi menurun, kemungkinan populasi babi meningkat. Lebih banyak babi akan bersaing dengan manusia untuk mendapatkan makanan, terutama tanaman umbi-umbian seperti talas (Colocasia), dan kemudian, singkong yang diperkenalkan oleh orang Eropa (Manihot utilissima), mungkin mengurangi kelangsungan hidup jenis pertanian ini. Islamisasi mungkin memiliki konsekuensi meningkatnya ketergantungan pada impor pangan seperti sagu dan beras, yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah pedagang yang sebagian besar beragama Islam di Banda, yang selanjutnya mendorong sistem umpan balik yang diusulkan oleh Ellen (1979, 1984). Namun, populasi non-Islam mungkin telah melawan efek ini, dan mungkin memainkan peran penting sebagai pemburu babi.

Singkatnya, bukti arkeologis dari “kantong” Muslim awal (di situs BN2, BN4, dan PA2) dan keberadaan pemukiman non-Islam yang terus berlanjut setidaknya hingga abad ke-16 (di situs BN1), tampaknya cocok dengan teori konversi Islam yang diusulkan oleh Insoll untuk Afrika, yang mengusulkan 3 tahap :

1)    Karantina : Ulama atau pedagang Islam memasuki suatu daerah, beberapa orang lokal dikonversi

2)  Pencampuran : penduduk asli/pribumi semakin berpindah agama, tetapi mereka cenderung menggabungkan kepercayaan pra-Islam dengan Islam yang lebih fundamental

3) Reformasi : Setelah beberapa abad, kembali ke Islam fundamentalis konservatis  (Insoll, 1996: 96) 

Kemunculan awal kantong BN4 mungkin mewakili tahap “karantina” untuk orang Banda, sedangkan pada abad ke-16, pulau-pulau tersebut sedang dalam proses berpindah ke tahap 2, atau “pencampuran”. Hal ini bertepatan dengan periode perpindahan agama yang cepat di Indonesia, yang diidentifikasi oleh Reid (1993a), yang berlangsung dari tahun 1550 hingga 1650, dan secara signifikan, semakin banyak orang Eropa yang berniat untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah.

 

Kontak-kontak dan konflik [pada] akhir [periode] pra-kolonial

Pada abad ke-16, tampaknya Banda telah terhubung dengan baik melalui perdagangan dengan Asia daratan. Kumpulan abad ke-16 dari semua situs yang digali di Banda, berisi sejumlah besar keramik mengkilap yang terutama berasal dari Guangdong dan Provinsi Fujian di Cina, serta sejumlah keramik Vietnam dan Thailand. Keramik impor mulai melebihi jumlah tembikar gerabah buatan lokal periode ini. Pipa tembakau tanah liat buatan Eropa mulai muncul dalam jumlah kecil di semua lokasi, dimulai pada awal abad ke-17.

            Saat periode ini, Banda telah menjadi multikultural yang nyata. Seperti yang dijelaskan oleh Kapten Inggris, Keelinga, pada tahun 1609, Banda adalah “bangsa yang mengumpulkan banyak orang” (Purchas dan Hakluyt, 1625: 710). Di seluruh dokumen sejarah disebutkan penduduk Turki, Persia, Bengal, Gujarat, Cina, Jepang, Melayu, Jawa, Makasar dan orang-orang dari pulau-pulau lain Maluku, seperti Seram, Ambon, Kei, Ternate, Tidore dan Aru (Hanna, 1978; Pires dan Rodrigues, 1944; Purchas dan Hakluyt, 1625; Villiers, 1981, 1990). Sebagian besar “orang asing” ini, mungkin tinggal di kompleks etnis di desa perdagangan utama Nera, Ay dan Lonthoir, seperti yang biasa terjadi di pelabuhan-pelabuhan perdagangan Asia Tenggara. Catatan Belanda pertama tentang Banda dari tahun 1599, menggambarkan kota Nera sebagai kantong “Jawa”, yang pada tahun 1609 dihuni sekitar 1500 orang “Jawa” atau minimal “hunian orang Jawa” (Villiers, 1981: 727). Daerah kantong ini mungkin juga merupakan rumahnya orang Melayu dan “Turki” yang bertindak sebagai perantara untuk Belanda pada tahun 1599 (“Tweede”, 1601; Reid, 1993c: 116).

Dokumen sejarah dari periode ini menunjukan bahwa, seiring dengan peningkatan perdagangan, muncul konflik yang meningkat, baik internal maupun dengan kekuatan eksternal. Meskipun buktinya tidak lengkap, beberapa dokumen Portugis menunjukan bahwa hubungan antara orang Banda “asli” dan Muslim “asing” tidak sepenuhnya bersahabat, dan bahwa adalah elemen kekuatan di balik konversi Islam di Banda. Pada tahun 1574, misalnya, Portugis berperang melawan armada bersenjata berat dari Jor (Johor) di Banda, yang mungkin terlibat secara paksa dalam membujuk orang-orang di Banda untukbergabung dengan perlawanan Muslim yang semakin terorganisir terhadap campur tangan Portugis dalam perdagangan (Sa, 1954: 260-261).

Terlepas dari beberapa bukti konflik dengan politik Islam lainnya, pada akhirnya Banda abad ke-16, tampaknya telah menjadi tempat perlawanan Islam terhadap campur tangan para pejabat Portugis dalam perdagangan dan urusan agama. Penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, yang tampaknya merupakan pasar terpenting bagi pala dan bunga pala orang Banda, mengganggu pola perdagangan di seluruh Nusantara, dan untuk sementara mengurangi volume perdagangan rempah-rempah di seluruh Asia (Reid, 1993b: 272). Perdagangan non-Eropa, termasuk bagian Banda, kemudian dialihkan ke dialihkan ke setengah lusin pusat regional, yang semuanya menjadi musuh besar Portugis, dan merupakan situs dari banyak pertempuran dan pengepungan yang digambarkan oleh para penulis sejarah Portugis, sebagai perang anti-Muslim. Setelah Portugis jatuh dari kejayaan di Ternate pada tahun 1570an, Sultan Ternate menjadi lebih bersekutu dengan Banda, menyerukan bantuan mereka dalam berbagai pertempuran dengan Portugis dan jaringan sekutu mereka yang bergeser (Bohigian, 1994: 119; Henley 1993; Sa, 1954: 330-3; 434-8, 451-1). 

Bukti-bukti konflik juga muncul dalam catatan arkeologi di Banda. Di lokasi pantai BN1 dan BN2, ditemukan sisa-sisa karang dan dinding batuan vulkanik, yang berasal dari akhir abad ke-16. Di BN1, sisa-sisa tembok ini setinggi 1 meter dan membentang sejajar dengan pantai kira-kira 25 meter ke pedalaman dari garis pasang naik rata-rata. Di BN2, sisa-sisa dinding dicampur dengan mortar kapur, dan tingginya kira-kira 1 meter, terletak sekitar 50 meter di pedalaman garis pasang rata-rata kontemporer. Tampak seolah-olah tembok ini dulunya jauh lebih tinggi, dan telah runtuh ke daratan pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17, karena tingkat yang menutupi reruntuhan berisi pipa tanah liat tertua di situs tersebut. Itu juga lebih dekat ke pantai ketika dibangun, karena garis pantai selatan Pulau Banda Naira telah menurun ke selatan karena proyek pembangunan periode kolonial Belanda (lihat gambar 5). Ada bukti dokumenter tentang kompleks bertembok di pemukiman Nera, seperti yang digambarkan dalam peta (gambar 6) pertama kali dipublikasikan dalam catatan ekspedisi Belanda tahun 1599 ke Banda (“Tweede”, 1601). Pada akhir abad ke-16, tembok pertahanan telah dibangun di banyak pelabuhan perdagangan di Asia Tenggara, terutama di Jawa, terutama sebagai pertahanan terhadap serangan Eropa (Reid, 1993b: 88). Pada tahun 1620, tampaknya banyak desa di Banda telah membangun tembok pertahanan, yang diperintahkan untuk dihancurkan oleh Belanda sebagai syarat untuk menyerah (Purchas dan Hakluyt, 1625 : 609).

Tembok ini mungkin tidak dibangun hanya untuk mengusir penjajah Eropa, atau bahkan Asia Tenggara. Konflik antar desa yang dicatat oleh dokumen awal abad ke-17, khususnya antara 2 persekutuan desa yang mengadu Nera dengan Labbetacca, mungkin juga telah memberikan dasar pemikiran untuk pembangunannya. Namun, bukti arkeologis tetap tidak memadai untuk menceritakan kisah tahun-tahun terakhir kedua desa ini menjelang penaklukan Belanda. Meskipun situs BN1 menunjukan perubahan dramatis dalam ukuran dan kepadatan penduduk, tidak mungkin untuk menentukan apakah ini terjadi sebelum atau sesudah pembantaian 1621. Namun, dokumen menunjukan Labbetacca kehilangan populasi sebelum pembantaian itu. Belanda menghadapi sedikit perlawanan dari Labbetacca selama serangan pendahuluan di desa tersebut pada akhir tahun 1600, membunuh beberapa wanita dan menghancurkan wadah-wadah masak mereka, dan desa tersebut menghilang dari peta setelah tahun 1621 (Purchas, 1626). Sebaliknya, Nera tetap menjadi benteng anti-Belanda yang terorganisir dengan baik hingga hari-hari terakhir, dan kemudian menjadi pusat sistem pemukiman kolonial yang baru. Saya berpendapat bahwa jatuhnya Labbetacca banyak hubungannya dengan penurunan pengaruhnya sebagai entitas non-Islam dalam menghadapi perlunya perlawanan Muslim yang terorganisir terhadap serangan Portugis dan Belanda.


Ringkasan

Sementara sejarahwan cenderung menggambarkan masyarakat di Banda [pada] akhir periode pra-kolonial secara kultural sebagai statis dan homogen, penelitian arkeologi baru-baru ini telah menyoroti perubahan cepat dalam budaya material, sistem pemukiman dan populasi, terutama selama abad ke-12 hingga ke-17. Yang terpenting, berbagai perubahan tersebut, terutama yang terkait dengan Islamisasi, tidak terjadi sekaligus dalam lanskap sosial Banda. Bukti paling awal keberadaan Muslim, muncul lebih awal dari yang disebutkan oleh dokumen sejarah, tetapi beberapa pemukiman di Banda tampaknya tetap non-Islam, hingga dekade terakhir sebelum penaklukan tahun 1621. Ada kemungkinan heterogenitas internal ini memiliki keunggulan fungsional pada ekosistem pulau kecil Banda. Desa non-Muslim di Banda mungkin juga memiliki keuntungan dalam berdagang dengan daerah non-Muslim lainnya, khususnya daerah penghasil sagu di sebelah timur Banda. Pembacaan ulang dokumen sejarah, terutama yang mencatat kekerasan antar desa, menambah kepercayaan pada bukti arkeologi untuk konflik yang diwujudkan dalam konstruksi tembok pantai yang defensif. Secara umum, penelitian arkeologi di Banda telah terbukti efektif dalam menyoroti faktor-faktor tertentu dan terlokalisasi yang mempengaruhi proses sosial jangka panjang yang kompleks, seperti perdagangan lintas budaya, kontak budaya, dan Islamisasi.

 

======= selesai =======

 

Catatan Kaki.

  1. Pires menyatakan bahwa “konversi” Ternate terjadi 50 tahun sebelum tahun 1512, yang membuatnya 20 tahun lebih dulu sebelum Banda (Pires dan Rodrigues, 1944: 213). Penjelasan tahun 1529, menyatakan bahwa kepulauan itu (Banda) telah menjadi “Moor” selama 70 tahun (Sa, 1954: 15)
  2. Setelah abad ke-17, sisa-sisa babi muncul kembali di sebagian besar situs Banda pada konteks kolonial Belanda (lihat Loth, 1998, tentang jalur makanan kolonial Belanda di Banda)
  3. Diterjemahkan dari Bahasa Portugis oleh Isabel Rodrigues
  4. Orang Banda (mungkin juga dari Nera) melakukan hal yang sama dengan kepala tentara Belanda, yang mereka bunuh beberapa tahun kemudian, dan dalam penggunaan simbol lokal yang kuat, begitu juga orang Belanda dengan kepala-kepala dari Orang Kaija Banda yang dibantai pada tahun 1621.

 

Catatan Tambahan :

  1. Kapten Inggris Keeling yang dimaksud, bernama William Keeling (1577/1578 – 1620) adalah Laksaman (Komandan) Pelayaran ketiga EIC ke “Nusantara” (1607 – 1610)

§  Lihat, Martinne Julia van Ittersum, Debating Natural Law in Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609 – 1621, hal 7

§  Lihat, Giles Milton, Pulau Rhun : Magnet rempah-rempah Nusantara yang ditukar dengan Manhattan (edisi Indonesia), PT Pustaka Alvabet, Jakarta, 2015, hal 192

  

References

  • ‘Answer’. 1971. An answer to the Hollanders Declaration, concerning the Occurents of the East India, written by certain mariners, lately returned from thence into England. Amsterdam: De Capo Press.
  • ‘Tweede’. 1601. Het tvveede boeck, journael oft dagh-register, inhoudende een warachtich verhael ende historische vertellinghe vande reyse, gedaen door de acht schepen van Amstelredamme, gheseylt inden maent martij 1598. onder ‘tbeleydt vanden Admirael Iacob Cornelisz. Neck, ende Wybrant van VVarvvijck als vice-admirael. . .  Met . . . een vocabulaer van hare woorden. Middelburg: Barent Langhenes.
  • Andaya, L. 1991. Local trade networks in Maluku in the 16th, 17th, and 18th centuries. Cakalele, 2: 71–96.
  • Andaya, L. 1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Astley, T. 1746. New General Collection of Voyages and Travels, Vol. I: Voyages of the English to the East Indies. London.
  • Barbosa, D. 1921. The Book of Duarte Barbosa: An Account of the Countries Bordering on the Indian Ocean and their Inhabitants (trans. Mansel Longsworth Dames) (2nd ser., no. 49). London: Hakluyt Society.
  • Bellwood, P. 1997. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Bellwood, P. and Koon, P. 1989. ‘Lapita colonists leave boats unburned!’ The question of Lapita links with Island Southeast Asia. Antiquity, 63: 613–22.
  • Bellwood, P., Fox, J. J. and Tryon, D. 1995. The Austronesian in history: common origins and diverse transformations. In The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives (eds P. Bellwood, J. J. Fox and D. Tryon). Canberra: Australian National University.
  • Bellwood, P., Waluyo, A., Gunadi, Nitihaminoto, G. and Irwin, G. 1993. Archaeological research in the Northern Moluccas: Interim results 1991 Želd season. Indo-Pacific Prehistory Association Bulletin, 13: 20–33.
  • Bohigian, G. M. 1994. Life on the rim of Spain’s Pacific-American Empire: Presidio Society in the Molucca Islands, 1606–1663. PhD dissertation, University of California, Los Angeles.
  • Bulbeck, D. 1997. The bronze-iron age of South Sulawesi, Indonesia: Mortuary traditions, metalurgy and trade. In Ancient Chinese and Southeast Asian Bronze Age Cultures (eds D. Bulbeck and N. Barnard). Taipei: SMC Publishing.
  • Collins, J. T. and Kaartinen, T. 1998. Preliminary notes on Bandanese language maintenance and change in Kei. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 154: 521–70.
  • Ellen, R. 1979. Sago subsistence and the trade in spices: a provisional model of ecological succession and imbalance in Moluccan history. In Social and Ecological Systems (eds P. Burnham and R. Ellen). New York: Academic Press.
  • Ellen, R. 1984. Trade, environment and the reproduction of local systems in the Moluccas. In The Ecosystem Concept in Anthropology (ed. E. Moran). Boulder, CO: Westview Press.
  • Glover, I. C. 1990. Early Trade Between India and South-East Asia: A Link in the Development of a World Trading System, Occasional Paper No. 16. Hull: Centre for East Asian Studies, University of Hull.
  • Goodman, T. 1998. The sosolot exchange network of eastern Indonesia during the seventeenth and eighteenth centuries. In Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia (eds J. Miedema, C. Odé and R. A. C. Dam). Amsterdam: Rodopi.
  • Groves, C. 1981. Ancestors for the Pigs: Taxonomy and Phylogeny of the Genus Sus. Canberra: Australian National University.
  • Groves, M. 1995. Domesticated and commensal mammals of Austronesia. In The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives (eds P. Bellwood, J. Fox and D. Tyron). Canberra: The Australian National University.
  • Hanna, W. A. 1978. Indonesian Banda: Colonialism and its Aftermath in the Nutmeg Islands. Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues.
  • Henley, D. 1993. A superabundance of centers: Ternate and the contest for North Sulawesi. Cakalele, 4: 39–60.
  • Insoll, T. 1996. Islam, Archaeology and History: Gao Region (Mali) ca. AD 900–1250. Oxford: BAR International Series 647.
  • Insoll, T. 1999. The Archaeology of Islam. Oxford: Blackwell.
  • Johns, A. H. 1995. Sufism in Southeast Asia: reflections and reconsiderations. Journal of Southeast Asian Studies, 26: 169–183.
  • Lape, P. in prep. Archaeology and History of the Late Pre-colonial Banda Islands, Eastern Indonesia. PhD Dissertation, Deptartment of Anthropology, Brown University.
  • Loth, V. 1995a. Armed incidents and unpaid bills: Anglo-Dutch rivalry in the Banda Islands in the seventeenth century. Modern Asian Studies, 29: 705–40.
  • Loth, V. 1995b. Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in the 17th century. Cakalele, 6: 13–35.
  • Loth, V. 1998. Fragrant gold and food provision: resource management and agriculture in seventeenth century Banda. In Old World Places, New World Problems: Exploring Issues of Resource Management in Eastern Indonesia (eds S. Pannell and F. V. Benda-Beckmann). Canberra: Australian National University.
  • Mahirta. 1996. The development of Mare pottery in the Northern Moluccas context and its recent trading network. Unpublished master’s thesis, The Australian National University.
  • Masselman, G. 1963. The Cradle of Colonialism. New Haven, CT: Yale University Press.
  • Miller, J. I. 1969. The Spice Trade of the Roman Empire, 29 B. C. to A. D. 641. Oxford: Clarendon Press.
  • Moreland, W. H. (ed.) 1934. Peter Floris, His Voyage to the East Indies in the Globe 1611–1615. London: Hakluyt Society.
  • Nastiti, T. S. 1995. Commerce during the Majapahit period. In The Legacy of Majapahit: Catalogue of an Exhibition at the National Museum of Singapore, 10 November 1994–26 March 1995 (eds J. N. Miksic, E. S. H. Soekatno, National Museum (Singapore) and SNH Board). Singapore: National Heritage Board.
  • Pires, T. and Rodrigues, F. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires, an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512–1515, and The book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 (trans. Armando Cortesão) (Works issued by the Hakluyt Society, Ser. 2, no. 89–90). London: The Hakluyt Society.
  • Prapañca and Robson, S. O. 1995. Desawarnana: (Nagarakrtagama) (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 169). Leiden: Kitlv.
  • Ptak, R. 1992. From Quanzhou to the Sulu Zone and beyond: questions related to the early fourteenth century. Journal of Southeast Asian Studies, 29: 269–94.
  • Ptak, R. 1995. Images of maritime Asia in two Yuan texts: Daoyi zhilue and Yiyu zhi. Journal of Sung-Yuan Studies, 25: 47–75.
  • Ptak, R. 1998. Glosses on Wang Dayuan’s Daoyi zhilue. In China and the Asian Seas: Trade, Travel, and Visions of the Other (1400–1750) (ed. R. Ptak). Aldershot and BrookŽeld, VT: Ashgate.
  • Purchas, S. 1626. Pvrchas his Pilgrimage. Or Relations of the world and the religions obserued in all ages and places discouered, from the Creation vnto this present.: Contayning a theologicall and geographicall historie of Asia, Africa, and America, with the ilands adiacent. Declaring the ancient religions before the Flovd, the heathenish, Iewish, and Saracenicall in all ages since (Vol. 5). London: printed by William Stansby for Henrie Fetherstone.
  • Purchas, S. and Hakluyt, R. 1625. Purchas his pilgrimes. In five books. London: printed by William Stansby for Henrie Fetherstone.
  • Purchas, S., Hakluyt, R. and Hakluyt Society. 1905. Hakluytus posthumus, or Purchas his Pilgrimes: contayning a history of the world in sea voyages and lande travells by Englishmen and others (Extra series, Hakluyt Society). Glasgow: James MacLehose.
  • Reid, A. 1993a. Islamization and Christianization in Southeast Asia: the critical phase, 1550–1650. In Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief (ed. A. Reid). Ithaca, NY: Cornell University Press.
  • Reid, A. 1993b. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680, Vol. 2: Expansion and Crisis. New Haven, CT: Yale University Press.
  • Reid, A. (ed.) 1993c. Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief. Ithaca, NY: Cornell University Press.
  • Reid, A. 1995. Continuity and change in the Austronesian transition to Islam and Christianity. In The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives (eds P. Bellwood, J. Fox and D. Tryon). Canberra: Australian National University.
    Ricklefs, M. C. 1979. Six centuries of Islamization in Java. In Conversion to Islam (ed. N. Levtzion). New York: Holmes & Meier.
  • Rockhill, W. W. 1915. Notes on the relations and trade of China with the Eastern Archipelago and the coast of the Indian Ocean during the fourteenth century, part II. T’oung Pao, 26: 61–626.
  • Sá, A. B.d. 1954. Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente, Insulíndia (Vol. 4). Lisboa: Agência Geral do Ultramar, Divisão de Publicações e Biblioteca.
  • Sainsbury, W. N. (ed.) 1878. Calendar of State Papers, Colonial Series, East Indies, China and Japan, 1622–24. London: Longman.
  • Spriggs, M. 1998. Research questions in Maluku archaeology. Cakalele, 9: 49–62.
  • Spriggs, M. and Miller, D. 1979. Ambon-Lease: a study of contemporary pottery making and its archaeological signiŽcance. In Pottery and the Archaeologist (ed. M. Millett). London: Institute of Archaeology.
  • Spriggs, M. and Miller, D. 1988. A previously unreported bronze kettledrum from the Kai Islands, eastern Indonesia. Indo-Pacific Prehistory Association Bulletin, 8: 79–88.
  • Stejskal, E. S. 1988. Banda Ely pottery. Unpublished report prepared for LIPI.
  • Swadling, P. 1996. Plumes from Paradise: Trade Cycles in Outer Southeast Asia and their Impact on New Guinea and Nearby Islands until 1920. Boroko: Papua New Guinea National Museum.
  • Tibbetts, G. R. 1979. A Study of the Arabic Texts Containing Material on South-East Asia (Publications. v. 44). Leiden: E. J. Brill for the Royal Asiatic Society.
  • Villiers, J. 1981. Trade and society in the Banda islands in the sixteenth century. Modern Asian Studies, 15: 723–50.
  • Villiers, J. 1990. The cash crop economy and state formation in the Spice Islands in the fifteenth and sixteenth centuries. In The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise (eds J. KathirithambyWells and J. Villiers). Singapore: Singapore University Press. 
  • Vulkanologi, D. 1988. Gunung Banda-Api. Berita Berkala Vulkanologi Edisi Khusus No. 115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar