Rabu, 28 Oktober 2020

WILAYAH MALUKU DALAM KONTEKS PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Oleh:

Adrian Bernard Lapian

 
Adrian Bernard Lapian (1929 - 2011)


  1. Kata Pengantar

Artikel ini ditulis oleh sejarahwan Indonesia yang memiliki nama besar, khususnya dalam soal sejarah maritim Indonesia, alm. Adrian Bernard Lapian. Artikel ini dimuat di Majalah Kalpataru, Majalah Arkeologi Volume 22, Nomor 1, Periode Mei 2013, halaman 7 – 16.

Artikel sepanjang 10 halaman ini, kami muat di blog ini dengan tujuan sederhana untuk menambah bacaan-bacaan yang baik untuk menambah wawasan kesejarahan dan “membuka” cakrawala berpikir yang luas. Artikel yang “direproduksi” ini kami tambahkan beberapa ilustrasi berupa peta dan catatan tambahan dari kami, dimana pada artikel aslinya, memang tidak ada.

Akhir kata, selamat membaca... semoga pengetahuan kita bertambah.

Kepulauan Nusantara (1578)

Abstrak.

            Kepulauan Maluku senantiasa melekat dengan peran sebagai kawasan sumber komoditi eksotik seperti cengkeh dan pala. Nilai tinggi rempah sebagai komoditi telah mendorong Maluku ke dalam kontak dan interaksi dengan dunia luar semenjak berabad silam dan membentuk suatu kawasan niaga yang dinamis pada masa itu. Kondisi ini mencapai puncaknya menyusul orang-orang Eropa yang kemudian menetapkan hegemono mereka atas aktivitas perdagangan di wilayah ini sebagaimana tergambar dalam dominasi Belanda secara historis. Laut Banda dan Laut Arafura menjadi 2 kawasan sentral dalam aktivitas niaga masa lalu di kepulauan Maluku. Peran yang sama masih ditemukan hingga saat ini. Makalah ini mencoba meninjau peran wilayah Maluku dalam konteks perdagangan internasional di masa lalu dengan berpijak pada sumber-sumber historis yang menjelaskan tentang peran 2 kawasan sentral Laut Banda dan Laut Arafura. Refleksi atas kondisi terkini 2 wilayah niaga penting di Maluku ini, menunjukan peran Laut banda dan Laut Arafura sebagai kawasan sumber, masih lestari hingga saat ini.

 

  1. Pendahuluan

Pakar sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara, Prof. Anthony Reid, mengetahkan bahwa, puncak keramaian perdagangan di Asia Tenggara terjadi antara tahun 1450 dan tahun 1680. Masa ini disebut Age of Commerce yang merupakan suatu masa kegiatan perdagangan yang ramai, diwarnai oleh peningkatan pelayaran di perairan Asia Tenggara, termasuk kawasan perairan Maluku. Namun, rempah-rempah Maluku sudah lama dikenal di luar Nusantara, baik di Timur-Tengah, Cina, maupun Eropa.

Menurut catatan Antonio Galvao1 (± 1544), penduduk setempat memberi bermacam informasi tentang siapa yang lebih dulu datang ke daerah rempah-rempah ini. Ada yang mengatakan pelaut Cina, ada yang menyebut pelaut India, dan ada pelaut Jawa. Galvao berpendapat pelaut Tionghoa yang pertama datang, sebab menurut penduduk setempat, pulau Halmahera dulu dikelan sebagai Batocina [de Moro]. Roderch Ptak (1992), pakar sinologi yang meneliti naskah-naskah Cina tua, juga berpendapat demikian. Namun apabila kita mengamati sumber-sumber Tionghoa tentang Nusantara di masa lampau yang dikumpulkan oleh W.P. Groeneveldt2 (1876), jelaslah bahwa pada masa sebelum Ming, rempah-rempah (termasuk cengkih dan pala) merupakan komoditi yang diperdagangkan di pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Sumatera, jadi pedagang-pedagang dari Tiongkok mengambil rempah-rempah ini di bagian barat Nusantara. Ini berarti bahwa pada masa awal, pedagang Nusantaralah yang mengakutnya ke sini, sedangkan pedagang asing belum sampai ke tempat produksi rempah-rempah. 

Peta Maluku (sekitar 1640)

            Kepulauan Maluku telah lama menjalin hubungan dengan kawasan perairan lainnya. Hal ini tercermin dari legenda setempat, seperti yang pernah dicatat oleh Galvao. Ia bercerita tentang 4 telur (naga) yang setelah menetas melahirkan 3 putra dan seorang putri. Ketiga putra masing-masing kelask menjadi Raja di Bacan, di Papua, dan di Butun dan Banggai, sedangkan sang putri kemudian kawin dengan Raja di Loloda.

         Kesulitan dari cerita-cerita rakyat dan naskah tradisional pada umumnya, adalah kronologi. Kita tidak dapat memastikan peristiwa bersangkutan kapan terjadi. Namun dalam hal keterangan tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa legenda tersebut menyangkut masa jauh sebelum Ternate dan Tidore muncul dalam sejarah. Hal yang menarik pula adalah disebutnya Banggai dan Butun yang dikatakan “saudara” dari Bacan, Loloda dan Papua. Orang Butun memang terkenal sebagai pelaut yang ulung hingga sekarang, jadi kita bisa menarik kesimpulan lagi bahwa sejak dahulu kala, kawasan Maluku telah menjalin hubungan dengan bagian Nusantara lainnya, Butun dan Banggai di sebelah barat dan Papua di sebelah timur. Maka masuk akal apabila pedagang-pedagang Tionghoa dan Timur Tengah mengambil rempah-rempah dari pusat-pusat perdagangan di kawasan barat.

            Hal lain yang menarik dari berita-berita awal ini adalah peringatan khusus kepada para pelaut, bahwa jika berlayar telah terlalu jauh ke arah timur, mereka akan tiba pada ujung dunia dan biasanya orang tak bisa kembali lagi dari sana. Seperti kata Chou Ch’u-fei3 (1178) “........ di sebelah timur Pulau Jawa adalah samudera besar tempat permukaan laut mulai menurun; di sanalah kerajaan [yang diperintah] wanita. Lebih jauh ke timur lagi tempat wei-lu terbenam ke bumi [dan] dari tempat ini tak seorang pun yang kembali”.

Sebelumnya sebuah berita Arab dari Bîrûnî4 (± 1030) mencatat bahwa “ Kata orang, jika dengan tak sengaja seorang pedagang terlantar di tempat itu, tak akan ada suatu jejak apa pun mengenai dia”.

Kita bisa menarik kesimpulan, bahwa pada waktu itu pelayaran ke arah timur sangat ditakuti pelaut. Mungkin juga sengaja ditakut-takuti oleh pelaut yang biasa berlayar ke sini, agar supaya tak banyak saingan dagang di sini.

Ada petunjuk bahwa perdagangan di masa awal dengan pedagang asing dilaksanakan tanpa tatap muka. Seperti yang dilaporkan Kazwînî5 (1203 – 1283), para pedagang meletakkan barang dagangannya di pantai, lalu kembali ke kapal. Kemudian (esok harinya) ada sejumlah cengkih yang terdapat di dekatnya, diletakkan oleh penduduk setempat. Jika jumlah cengkih berkenan kepada pedagang, ia mengambilnya dan diangkut ke kapal. Tetapi jika dianggapnya tidak memadai, maka dia kembali ke kapal dan meninggalkan semuanya di pantai. Demikiannlah jumlah cengkih ditambah sampai kedua belah pihak puas. Demikianlah biasanya diselenggarakan jual-beli barang sewaktu orang masih saling mencurigai.


 
  1. Zaman Niaga

Memasuki abad ke-15, Asia Tenggara mengalami The Age of Commerce yang berlangsung dari 1450 sampai 1680. Sesudahnya perdagangan lebih banyak beralih ke tangan negara-negara Eropa sampai abad ke-20. Tentang zaman ini, sumber sejarah lebih banyak. Di samping sumber Cina dan Arab, kita bisa mengandalkan sumber Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Naskah-naskah pribumi yang berasal dari masa ini juga sangat penting sebagai bahan informasi.

Salah satu sumber Portugis penting tentang masa awal kedatangan mereka adalah karya Suma Oriental dari Tome Pires (1515). Ia melaporkan bahwa 3 atau 4 jung dari dari Gresik ke Ternate, demikian pula 3 atau 4 dari Melaka pada musim angin barat. Pelabuhan Ternate bisa menampung 3 kapal. Tujuannya adalah membeli cengkih yang di Melaka harganya 9 atau 10 cruzado per bahar jika persediannya banyak, tetapi bisa naik sampai 12 cruzado bilang stoknya kurang. 1 bahar cengkih sama harganya dengan 1 bahar bunga pala (fuli) dan 1 bahar fuli sama nilaianya dengan 7 bahar pala.

            Ada beberapa pelabuhan yang baik di kawasan Maluku, namun pada abad ke-16 tempat yang paling ramai dikunjungi adalah Banda. Walaupun tanahnya tak banyak untuk menghasilkan bahan makanan, perahu-perahu dari daerah sekelilingnya membawa makanan yang cukup untuk provisi pusat perdagangan di sini. Pedagang Jawa dan Melayu datang membawa bahan pakaian untuk dijual. Pires juga melaporkan bahwa kain yang paling disukai di Banda adalah kain Gujarat, sesudahnya kain Benggala, dan sesudahnya lagi kain dari bonuaquelin (benua Keling?). Di Banda tiap bahae fuli berharga 3 sampai 4 cruzado, jadi banyak untungnya kalau diangkut ke Melaka.

Fernão Lopes de Castanheda, seperti yang dikutip oleh Duarte Barbosa (1918), juga melaporkan tentang kegiatan pedagang Banda. Dikatakan bahwa kapal-kapal Banda mengunjungi Maluku Utara untuk membeli cengkih dengan harga murah yang ditukarnya dengan tenunan India yang dibawa ke Banda oleh para pedagang Melaka. Para pedagang India ini menukar komoditi tenunan dengan pala, fuli, dan cengkih di Banda, jadi mereka tak perlu ke Maluku Utara untuk menghemat waktu. Castanheda mencatat pula bahwa Maluku Utara mempunyai kapal besar yang dijalankan oleh 160 sampai 200 pendayung, akan tetapi semuanya kapal untuk berperang bukan kapal dagang. Lain halnya dengan Banda yang mempunyai kapal niaga yang, menurut Tom Pires, juga berlayar ke Melaka.

Menjelang akhir abad ke-16 muncul kapal-kapal dari Belanda dan Inggris yang meramaikan perdagangan di kawasan ini. Kedatangan pelaut Belanda adalah, selain untuk mencari rempah-rempah, melanjutkan peperangan melawan Spanyol yang telah dimulai sejak 1568. Belanda juga berusaha untuk memperoleh hak monopoli berdagang, terutama dalam hak jual-beli rempah-rempah dan barang tenunan dari India. Mereka bertemu orang Spanyol di perairan Maluku, dan selama beberapa dasawarsa kawasan ini menyaksikan peperangan antara Spanyol dan Belanda. Dalam hal ini Belanda bersekutu dengan Ternate yang juga ingin menghalau Spanyol dari daerahnya.


  1. Persaingan Belanda – Inggris

Di Eropa pada waktu itu Belanda dengan Inggris tidak bermusuhan. Malahan keduanya sama-sama menentang supremasi Spanyol dan mengupayakan mundur Spanyol dari kedudukannya sebagai negara adidaya. Tetapi di Nusantara, VOC melihat kegiatan EIC sebagai ancaman atau penghalang dari ambisinya untuk menegakkan monopoli perdagangan. Di dalam Hikayat Tanah Hitu, kita membaca tawar menawar yang diusahakan VOC di Maluku (Alkissah XXII) :

Sekali peristiwa tanah Ambon semuanya serta kimelaha berbantahkan harga cengkih, tawar menawar dengan orang Wolanda. Demikian kata kimelaha dan orang-orang kaya sekalian : “Minta seratus harga sebahara”. Maka kata gurendur : “enam puluh harga sebahara”. Maka kata orang-orang kaya : “berilah dua puluh delapan”. Maka kata gurendur : “Betapa kami disamakan dengan Inggeris, karena ia tiada hilang belanjanya. Mengapa maka ia disamakan kami, karena kami banyak belanja hilang kepada soldadu dan marineiro membuat kota. Mengapa maka minta dualapan puluh daripada kami banyak arta keluar?”. Maka kata orang Ambon : “mengapa maka gurendur kata dengan demikian. Karena gurendur banyak arta hilang itu ada dengan hasilnya. Mengapa maka kata demikian itu “. Lalu orang Ambon tiada keluarkan cengkih, maka jadi ftna enda berkellai kedua pihak itu......”.


Masa ini diwarnai dengan pertengkaran antara kedua perusahaan dagang (VOC dan EIC) tersebut, sampai terjadi pertempuran dashyat. “Pembantaian di Amboina” (1623) adalah peristiwa kejam yang dilakukan VOC terhadap orang Inggris di sini.

2 tahun sebelumnya (1621) kawasan ini telah mengenal peristiwa tersohor pula karena kejamnya VOC bertindak di Banda ketika mereka mendudukinya. Sejarahwan Belanda pun menyebut peristiwa ini “lembar hitam” dalam sejarah VOC. Naskah setempat, Hikayat Tanah Hitu (Alkissah XXIV) melukiskannya demikian :

           

“.............Hatta terbit matahari, dipalu genderang perang dan riuh serta bunyi bedil seperti guruh di atas langir dan orang Bandapun serta dengan harkatnya. Maka kedua pihak berperanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaiyam, jual beli, tukar menukar. Tiada habar kepada yang lain lagi sehingga sama berperang daripada ba’d subuh Kemudian daripada itu, maka menyuruh tanya kepada orang kaya tanah tanah Bandan sekalian, demikian katanya : “Bukankah Kapitan Hitu enda damaikan kita kedua? Daripada orang laya laya tanah Bandan tiada mau bebaikan, maka kita berkellai. Adapun kepada sekarang ini mana bicara orang kaya kaya kita dengar. Jika mau bedamai marilah kita bedamai, jika tiada mau bedamai apatah daya”. Maka kata orang kaya kaya Bandan: “ Yang tellah sudah itu jangan disebut lagi. Jika kepada sekarang ini jeneral mau bebaikan, seribu kali kami sukah”. ..... Maka disuruh oleh orang kaya kaya panggil kepadanya semuhanya datang ke negeri Salamu. Maka ditipu oleh Wolanda kuliling soldadu serta senjata, lalu dinaikan ke kapal. Semuhanya dualapan ratus dualapan puluh orang kepada kapal, Dragon namanya, dan empat puluh orang kaya kaya semuhanya dibunuh oleh Wolanda itu. Lalu belayar ke tanah Ambon, datang ke tanah Hitu, lalu ke Jawahkarta dan orang Bandan yang tinggal itu semuhanya pindah ke tanah Seram dan Goron.....”.

 

Suasana demikian tentu saja tidak memungkinkan perdagangan bebas. Makin lama makin berhasil VOC memenangkan monopoli perdagangan di sini, makin berkurang kapal-kapal berdatangan dari luar. Bagi wilayah ini Age of Commerce cepat berakhir, karena perdagangan makin lama makin dikuasai Belanda. Faktor-faktor yang menguntungkan baginya adalah kombinasi dari suatu tentara yang bersenjata ampuh, sebuah perusahaan dagang yang diorganisasi dengan baik, sikap yang fleksibel dalam politiknya terhadap kekuatan-kekuatan setempat, sebuah jaringan informasi yang unggul, disertai dengan kesabaran bila perlu dan ketekunan dalam mengejar tujuannya (Muridan, 2009 : 210).

Selama sisa abad ke-17 dan paruh pertama abad ke-18, VOC masih dapat mempertahankan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Persaingan berat antara Belanda dan Inggris membuat hubungan antaranya sangat tegang sehingga mengakibatkan perang Anglo-Belanda, sampai 4 kali. Kekalahan Belanda pada perang terakhir kali membuktikan keunggulan Inggris yang sejak itu mulai muncul sebagai adidaya yang menguasai pelayaran dan perdagangan dunia.  
            Upaya Inggris untuk mendobrak monopoli VOC mulai menampakkan hasilnya pada waktu ini. Baik kapal pedagang yang dikenal sebagai country traders maupun kapal EIC sering mengadakan pelayaran ke Malaka pada waktu kekuatan bahari VOC mulai menurun. Lebih-lebih lagi ketika sebuah kapal Inggris menemukan rute pelayaran baru ke Tiongkok melalui Samudera Pasifik lewat pantai timur Filipina. Ternyata rute ini memudahkan pelayaran ke negeri Cina bila angin utara sedangan menguasai kawasan Laut Cina Selatan. Maka kapal-kapal Inggris memilih pelayaran lewat perairan Maluku ke arah utara.

Kehadiran kapal-kapal Inggris di Maluku dimanfaatkan Pangeran Nuku dalam upayanya melawan VOC bersama sekutunya di Ternate dan Tidore. Suplai senjata dan amunisi diperoleh dari kapal-kapal tersebut yang dibayarnya dengan rempah-rempah. Kita tahu kesudahannya : Nuku berhasil dan menduduki takhta Tidore sebagai Sultan Amirudin pada tahun 1797 sampai ia wafat pada tahun 1805.

Inggris menduduki Banda dan Ambon pada tahun 1796 dan Ternate pada tahun 18106. Dengan pendudukan ini, Inggris memegang monopoli dagang di kawasan ini sampai berakhirnya Perang Napoleon. Sesuai dengan perjanjian (“Surat-surat Kew”) kawasan ini dikembalikan kepada Belanda seusai Perang Napoleon. Kembali lagi diberlakukan monopoli dagang rempah-rempah di kawasan Maluku, namun keadaan pasar telah berubah. Rempah-rempah bukan lagi komoditi unggul, lagi pula tanaman pala dan cengkih  di masa pancaroba telah berhasil “diselundupkan” ke luar sehingga telah dibudidayakan di Afrika Timur (Zanzibar). Maka pada tahun 1863, pemerintah Hindia-Belanda menghapus peraturan monopoli rempah-rempah tersebut. Perhatian pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu beralih dari Maluku yang baginya merupakan “masa lampau”, semakin terpusat ke Pulau Jawa yang dianggapnya “masa kini”, sedangkan Sumatera adalah “masa depan”.


  1. Laut Arafura / Laut Banda 

Dalam perjalanannya pada tahun 1857 ke bagian timur Nusantara, Alfred Russel Wallace, “penemu teori evolusi yang sejati”, tiba di Pulau Aru. Ketika dia tiba di Dobo, ia menemukan sebuah tempat yang sepi, akan tetapi pada musim barat kapal-kapal mulai berdatangan. Kami kutip (halaman 321 dst.) :

“Pada musim dagang seperti sekarang, Dobbo adalah banda yang ramai. Jalanan jauh lebih riuh daripada ketika pertama kali saya tiba di sini. Tiap-tiap rumah merupakan kedai dimana penduduk menukarkan dagangannya dengan barang yang mereka butuhkan. Pisau, parang, pedang, senapan, gambir, pinggan, cangkir, tempayan, saputangan, kain sarung, kain belacu dan arak merupakan barang-barang yang paling dibutuhkan penduduk. Ada beberapa kedai yang juga menjual teh, kopi, gula, anggur, biskuit dan lain-lain untuk persediaan perbekalan para pedagang. Kedai-kedai lain penuh dengan barang mewah, perhiasan pecah belah dari Cina, cermin, pisau cukur, payung, pia dan dompet yang disenangi oleh penduduk Aru yang lebih kaya. Pada hari cerah, tikar-tikar digelar di depan pintu dan tripang dikeluarkan untuk dijemur. Demikian pula, gula, garam, biskuit, teh, bahan pakaian dan barang-barang lain yang dapat rusak dijemur karena udara lembab. Pada pagi dan petang hari, orang-orang Cina, dengan pakaiannya yang rapi, berjalan-jalan atau bercakap-cakap di depan pintu rumah. Mereka memakai celana biru dan baju putih. Rambut panjang mereka dikepang dan diikat dengan tali sutra merah. Kepangan rambutnya bisa mencapai tumit. Seorang haji dari Bugis serig berjalan-jalan dengan gagahnya pada petang hari mengenakan jubah sutera berwarna hijau. Ia memakai sorban berwarna merah diikuti oleh 2 anak kecil yang membawa kotak sirih dan pinang............Saat ini di Dobbo lebih kurang terdapat 500 orang dari berbagai ras. Mereka bertemu dan berkumpul di daerah terpencil di ujung timur ini untuk “mengadu nasib”, demikian istilah yang digunakan di sini. Mereka adalah orang-orang dengan reputasi moral yang paling buruk. Mereka adalah orang-orang Cina, Bugis, Ceram dan peranakan Jawa dan beberapa orang Papua dari Timor, Babber dan pulau-pulau lain. Walaupun demikian, segala sesuatu berjalan dengan tenteram........Di sinilah kita dapat melihat bentuk paling sederhana dari kehebatan perdagangan dalam membangun sebuah peradaban. Perniagaan adalah sebuah cara yang ajaib untuk memelihara ketentraman dan mempersatukan elemen yang tercerai-berai. Sehingga, terbentuklah masyarakat yang memiliki peraturan dan kesopanan. Semua saudagar sadar bahwa ketenteraman dan ketertiban sangat penting bagi perdagangan. Jadi, terciptalah pendapat umum yang merasa penting untuk memberantas kekacauan. Sepuluh tahun yang lalu, saat sedang melancong di Kampung Glam di Singapura, saya merasa betapa bengis dan terbelakangnya para pelaut Bugis. Saya juga tidak yakin apakah saya nyaman bersama mereka. Tetapi kini saya melihat sendiri bahwa orang-orang Bugis adalah bangsa yang sangat sopan dan bertabiat baik. Walaupun berjalan-jalan di hutan tanpa senjata, saya tidak perlu khawatir bila bertemu dengan mereka. Saya dapat tidur di pondok terbuka tanpa perlu merasa takut ada pencuri atau pembunuh menyerang saya. Saya merasa sangat aman seolah-olah dilindungi oleh polisi metropolitan”.

Lain dahulu, lain sekarang. Ketika kami mengunjungi Dobo pada tahun 1966, kotanya sangat sepi. Dan ketika Prof. Patricia Spyer mengadakan penelitian lapangan di Kepulauan Aru pada tahun 1980-an, suasana perdagangan ramai tersebut hanya merupakan kenang-kenangan.

Sekarang ini Laut Arafura ramai dikunjungi oleh kapal dan perahu penangkap ikan, baik kapal pribumi maupun kapal asing. Yang terakhir ini ada yang berusaha dengan izin Pemerintah RI, tetapi ada juga yang tanpa izin. Di masa Orde Baru, pemerintah mengizinkan beberapa pengusaha asing untuk beroperasi di sini, sebab perairan sebelah barat mengalami overfishing. Namun di samping kapal asing yang memperoleh izin, banyak kapal lain juga melakukan penangkapan ilegal. Sekarang ini Laut Arafura sudah termasuk salah satu dari “the most heavily fished regions in the world”.

Selain pelaut setempat, nelayan Bugis, Makassar, Butun, dan Bajo juga terlibat dalam kegiatan ini. Prof James Fox dkk (t.th) mengidentifikasi 4 pangkalan kapal nelayan yang beroperasi di kawasan laut Arafura, yakni Papele (di sudut tenggara Pulau Rote), Saumlaki (Kepulauan Tanimbar), Dobo (Kepulauan Aru), dan Merauke.

Bagian besar dari penduduk Papele ( 82% dari kepala keluarga) adalah nelayan. Di sampung penduduk setempat, nakhoda dan awak kapal juga berasal dari kampung-kampung nelayan di Timor, Flores, dan Alor. Orang Bajo juga giat berperan di kawasan ini. Jumlah mereka cenderung naik, memanfaatkan peluang kerja di perairan ini. mereka terutama menghuni Tanjung Pasir, sebuah kampung di Papele. Pada tahun 1999, penduduk Bajo sudah berjumlah ± 300 orang. Peningkatan ini tercermin pula pada jumlah angkutan laut yang semakin bertambah. Menurut Fox dkk, sekitar Oktober 2005 jumlahnya telah melebihi 400 kapal. Kebanyakan diantaranya adalah bodi. Yaitu perahu motor yang telah menggantikan perahu layar tradisional yang digunakan dahulu untuk berlayar sampai ke perairan Australia.

Pelabuhan Saumlaki lebih kecil daripada Papele. Diperkirakan ada 30 – 50 kapal/perahu yang bisa dipakai untuk mengumpulkan sisip ikan hiu. Jangkauan pelayaran mereka terutama di perairan sekitarnya saja. Di Kepulauan Tanimbar, ada pula kampung nelayan Namtabung. Dari pelabuhan Saumlaki, mereka berangkat untuk menangkap ikan hiu. Banyak pemuda Namtabung yang bekerja sebagai awak kapal/perahu dari Saumlaki.

Pelaut di Dobo berasal dari pelbagai kampung di bagian timur Indonesia, misalnya dari Bone Rate dan Batu Ata, pulau-pulau kecil di Laut Flores. Menurut James Fox, sejak tahun 1990an nelayan yang berpangkalan di Dobo mulai mengadakan pelayaran (ilegal) ke perairan Australia dalam jumlah yang besar. Sekarang ini banyak diantara mereka telah berpindah ke Merauke.

Pelabuhan Merauke telah bertumbuh menjadi pusat kapal nelayan pelbagai ukuran, baik yang besar maupun yang kecil. Banyak nelayan dari Dobo dan Teluk Maumere telah pindah ke sini memanfaatkan peluang keuntungan yang lebih besar. Pada tahun 2005 telah tercatat 150-200 kapal penangkapan ikan hiu yang beroperasi di perairan Arafura.

  

  1. Penutup

Kontak dan interaksi antara kawasan Maluku dengan dunia internasional sebenarnya telah dimulai jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa. Sumber-sumber historis menyebutkan mengenai peran para pedagang Nusantara dari wilayah barat yang memperkenalkan dan mendistribusi cengkeh dan pala sebagai komoditi langka pada masa itu. Melalui para perantara lokal ini, ragam komoditi eksotik asal Maluku mencapai pelabuhan dan sentra dagang utama yang ada di Pulau Jawa.

Peran wilayah Maluku sebagai kawasan sumber rempah mencapai puncaknya pada era yang dikenal sebagai Zaman Niaga antara tahun 1450 – 1680. Ketika itu dinamika kontak dagang antara wilayah ini dengan dunia luar menjadi lebih kompleks menyusul kedatangan orang-orang Eropa : Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Kehadiran orang-orang Eropa ini telah memberi kerangka baru dalam struktur ekonomi kawasan yang telah dibangun selama berabad-abad sebelumnya. Di saat yang sama perubahan itu juga menjangkai aspek-aspek sosial lain meliputi politik, agama dan budaya.

Adalah Belanda yang kemudian menetapkan dominasi secara ekonomi atas kawasan ini menyusul kemenangan atas Portugis dalam kawasan. Sempat diintervensi oleh Inggris, Belanda tetap menjadi hegemoni atas politik dan ekonomi di Kepulauan Maluku. Laut Banda dan Laut Arafura menjadi 2 kawasan penting dalam dinamika gerak niaga di wilayah kepulauan ini. kedua wilayah ini menjadi sentra bagi aktivitas dagang dan pertukaran antara kawasan di Maluku. Ragam komoditi eksotik yang menjadi penanda setiap wilayah di kepulauan luas ini, disebarluaskan ke dunia internasional melalui titik-titik perdagangan regional yang penting seperti yang diwakili oleh Kepulauan Banda.
            Jadi pengalaman penduduk wilayah Maluku dalam hal kontak internasional dan proses globalisasi telah dirasakan berabad-abad lamanya. Pengetahuan sejarah wilayah ini niscaya dapat memberi dasar yang kuat untuk merencenakan langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apa yang diketengahkan Dr Muridan mengenai sukses VOC pada abad ke-17, masih sangat relevan dalam hal ini, yakni suatu organisasi dan administrasi pemerintahan yang baik, sikap fleksibel dalam politik terhadap kekuatan-kekuatan setempat, teknologi perkapalan dan perkapalan yang maju, sebuah jaringan informasi yang andal, disertai dengan kesabaran bila diperlukan, dan ketekunan dalam mengejar tujuan bersama.

====== selesai ======

 

Catatan Tambahan :

  1. Antonio Galvao adalah Kapten Benteng Portugis di Ternate pada periode 1536 - 1540
  2. W.P. Groeneveldt bernama lengkap Willem Pieter Groeneveldt, seorang Sinolog, putra dari Hendrik Groeneveldt (1797 – 1855) dan Bastianette Mariana Adriana Constantia Jackson (1802 – 1884). Ia lahir di Gorinchem Belanda pada tanggal 28 Mei 1841 dan meninggal pada 18 Agustus 1915. Ia menikah dengan Johana Carolina Elisabeth van Dijk (31 Oktober 1851 – 18 Mei 1931). Istrinya ini kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah.
  3. Chou Ch’ufei adalah seorang penulis kronik berkebangsaan Cina
  4. Biruni adalah penulis Persia yang hidup pada periode sekitar 973 – 1050 Masehi, menurut sumber artikel Roderich Ptak. Namun menurut sumber Wikipedia, Biruni bernama lengkap Abu Raihan al-Biruni lahir pada 4 September 973 dan meninggal pada 13 Desember 1048.
  5. Kazwini bernama lengkap Abu Yahya Zakariya Ibn Muhammad Al-Qazwini atau Zakariya Al-Qazwini, adalah seorang penulis, fisikawan, geographer, astronomer Arab. Ia hidup pada periode 1203 - 1283
  6. Inggris menduduki Banda pada tanggal 8 Maret 1796 dan Ambon pada 16 Februari 1796, dan menduduki Ternate pada 31 Agustus 1810

 

Daftar Pustaka

  • Barbosa, Duarte. 1918. The Book of Duarte Barbosa, Trsl., dalam M. Dames (ed.). London: Hakluyt Society.
  • Cortesão, Armando.1944. The Suma Oriental of Tomé Pires. Translated and edited by
    ──, jilid 1. London, Hakluyt Society.
  • Ferrand, Gabriel. 1913-1914. Relations de voyages et textes géographiques arabes, persans et turks relatifs à l’Extrême Orient du VIIIe au XVIIIe siècles. Traduits, revus et annotés par. Paris.
  • Fox, James J. dkk. t.t. “Searching for a livelihood: The dilemma of small-boat fishermen in Eastern Indonesia,” dalam Budy P. Resosudarmo dan Frank Jotzo, eds., Working with Nature against Poverty,. Indonesia Project, The Australian National University.
  • Groeneveldt, W.P. 1876. “Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese sources”, VBG jilid 39.
  • Jacobs, Hubert Th. Th. M., S.J. 1970. AiTreatise on the Moluccas (c. 1544)… António Galvão…, Roma.
  • Lapian, Adrian B. 1994. “Bacan and the early history of North Maluku”, dalam Halmahera and Beyond. Social science research in the Moluccas, hal. 11-22. Leontine E. Visser (ed.). Leiden: KITLV Press.
  • Manusama, Z.J. 1977. Hikayat Tanah Hitu. Historie en sociale structuur van de Ambonse eilanden in het algemeen en van Uli Hitu in het bijzonder tot het midden der zeventiende eeuw. Disertasi, Universitas Leiden.
  • Milton, Giles. 1999. Nathaniel’s nutmeg.or, The True and Incredible Adventures of the Spice Trader Who Changed the Course of History. Penguin Books.
  • Muridan Widjojo. 2009. The Revolt of Prince Nuku. Cross-cultural Alliance-making in
    Maluku, c. 1780-1810. Leiden-Boston, Brill.
  • Ptak, Roderich. 1992. “The Northern Trade Route to the Spice Islands: South China
    Sea – Sulu Zone – North Moluccas (14th to early 16th century)”, Archipel 43: 27- 56
  • Spyer, Patricia. 2000. The Memory of Trade. Modernity’s Entanglement on an Eastern
    Indonesian Island. Durham dan London: Duke University Press. 
  • Wallace, Alfred Russel. 2009. Kepulauan Nusantara. Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar