Minggu, 04 Oktober 2020

RMS dan Perubahan Sosial Masyarakat Ambon Di Sepanjang Periode akhir kolonial (bag 1)

 

Oleh :

Richard Chauvel

 

  1. Kata Pengantar

Soekarno dalam pidato HUT Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966, menyampaikan semboyan yang kemudian lebih dikenal dengan ungkapan JASMERAH – Jangan sekali-kali meninggalkan Sejarah.  Catherine Pandjaitan, putri Pahlawan Revolusi, almarhum Mayjen Donald Izaacus Pandjaitan, dalam sebuah acara MetroTV pada tanggal 30 September 2020 lalu, menyampaikan cerita tentang pesan ayahnya, saat ia bertanya:  Indonesia masa depan seperti apa? Ayahnya bilang bahwa “jika ingin melihat Indonesia di masa depan, lihatlah masa lalunya”

2 kutipan cerita ini sebaiknya menjadi dasar untuk belajar memahami masa lalu, khususnya dalam konteks sejarah Ambon masa lalu untuk menjadi Ambon yang lebih baik di masa depan. Salah satu sejarah traumatis orang Ambon adalah peristiwa pemberontakan Republik Maluku Selatan pada medio 1950. Jika masih teringat pelajaran sejarah di saat masih sekolah, kita selalu langsung disajikan ke “cerita pemberontakan” RMS itu, tanpa mengerti latar belakangnya. Kita bahkan tidak paham tentang proses perubahan sosial politik ekonomi masyarakat Ambon di akhir abad ke-19 dan awal 20, yang menjadi konteks latar belakang menuju ke peristiwa itu.

Richard Harry Chauvel, sejarahwan Australia menulis artikel pendek berjudul Republik Maluku Selatan and Social Change in Ambonese Society during The Late Colonial Period, yang dimuat pada Jurnal Cakalele, volume 1, no 1 dan 2 (1990), halaman 13 – 26. Pada artikel ini, Chauvel mengkaji tentang beberapa kelompok masyarakat Ambon dengan segala perubahannya, yang menjadi “aktor-aktor” yang terlibat dalam peristiwa 1950 itu.

Artikel sepanjang 14 halaman dan 4 catatan kaki inilah, yang kami terjemahkan dan kami sajikan di blog ini untuk dibaca. Beberapa gambar ilustrasi kami tambahkan pada artikel terjemahan ini, yang pada artikel aslinya tidak ada. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa catatan tambahan untuk memperluas pemahaman kita, dan membagi artikel ini menjadi 2 bagian, agar lebih ringkas dan mudah diikuti.

Akhir kata, selamat membaca, semoga kita semakin memahami sejarah kita sendiri, dan seperti kata sejarahwan Bonie Triyana : kita bisa berdamai dengan masa lalu, dan tidak mewariskan dendam pada generasi berikutnya.


  1. Terjemahan : Kutu Busu 

Abstraksi

Artikel ini mencoba mengkaji perkembangan politik di Kepulauan Ambon, yang mengarah pada Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) sehubungan dengan proses perubahan sosial dalam Masyarakat Ambon selama 90 tahun terakhir pemerintahan kolonial. Analisis tersebut bertumpu pada asumsi bahwa perkembangan politik tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks dan struktur masyarakat dimana perkembangan tersebut terjadi. Artikel ini akan berfokus pada berbagai kelompok masyarakat Ambon, khususnya munculnya “kelas menengah” tentara, guru, dan pejabat kecil dari komunitas Kristen, proses emansipasi dalam komunitas Muslim, dan menurunnya kekuatan dan kekuasaan relatif otoritas pemimpin tradisional.

  

MASYARAKAT AMBON

Sebelum melanjutkan kajian, saya (penulis) ingin terlebih dahulu menetapkan parameter tentang “Masyarakat Ambon”. Secara geografis, masyarakat Ambon meliputi [penduduk] pulau Ambon, Saparua, Nusa Laut dan Haruku serta pesisir selatan dan barat [pulau] Seram, serta pesisir selatan dan timur [pulau] Buru. Wilayah tersebut merupakan wilayah budaya masyarakat Ambon yang digambarkan melalui suatu jaringan hubungan pela antar negeri/desa (Bartels, 1977). Meskipun hubungan pela memiliki pengaruh langsung yang kecil terhadap peristiwa yang dibahas dalam artikel ini, pela, sebagai elemen penting dalam warisan adat yang sama, memang melambangkan persatuan yang mendasari masyarakat Ambon, yang mengikat orang Ambon Muslim dan Kristen sebagai anggota satu masyarakat.

Dalam sensus terakhir pada masa kolonial, komposisi relegius masyarakat Ambon adalah 65,9% Kristen dan 32,7% adalah Muslim (Volkstelling, 1930 1:91)1. Komunitas Kristen merupakan hasil kontak dengan misionaris Eropa dan pemerintahan kolonial kemudian, sementara komunitas Muslim berkembang dari relasi sebelumnya dengan para pelaut dan pedagang Muslim dari Jawa, Makassar, dan Maluku bagian utara. Di luar kota Ambon sendiri, umat Kristen dan Muslim tinggal di negeri atau desa yang masing-masing terpisah dengan kepala desa atau raja sendiri2. Pemerintah kolonial Belanda memerintah kepulauan Ambon melalui perantaraan raja. Kota Ambon merupakan pusat administrasi dan perdagangan di kepulauan Ambon dan Maluku secara keseluruhan. Sejak tahun 1920-an, kota Ambon menjadi pusat aktivitas politik. Pada periode akhir kolonial, selain dari administrasi kolonial, masyarakat perkotaan didominasi oleh orang Ambon, meskipun ada orang Tionghoa, Arab, Maluku (dari luar pulau Ambon), dan orang Indonesia lainnya, terutama orang Buton, yang tinggal di kota.

Kepulauan Ambon adalah wilayah Indonesia dengan salah satu pengalaman terlama pemerintahan kolonial, 425 tahun sejak kedatangan pedagang Portugis pertama, dan hampir 300 tahun sejak Belanda berhasil memaksakan monopoli atas perdagangan rempah-rempah. Di bawah monopoli rempah-rempah, fungsi kepulauan Ambon dalam politik ekonomi VOC adalah memproduksi cengkih untuk pasar dunia. Cengkih dikirim ke VOC dengan harga tetap, terlepas dari harga pasar dunia. Sejak akhir abad ke-18, pentingnya perdagangan cengkih menjadi semakin menurun, minat VOC bergeser ke wilayah Nusantara lainnya, terutama Jawa, dan untuk komoditas-komoditas lainnya. Dalam perjalanan abad ke-19, kepulauan Ambon menjadi terpencil secara ekonomi, dan pada akhirnya pada tahun 1864, monopoli cengkih dihapuskan. Selama dekade-dekade terakhir abad itu, dengan pengecualian beberapa musim, orang Ambon tidak lagi mendapat keuntungan dari hasil panen mereka yang dulu berharga. Upaya untuk menciptakan tanaman komersial alternatif gagal, dan kepulauan Ambon tertinggal dengan ekspor ekonomi yang menurun dan ekonomi nafkah hidup di bawah tekanan populasi yang meningkat (Chauvel, 1981)

Guru-guru HIS di Saparoea (1928)

KAUM “KELAS MENENGAH” KRISTEN

Selama dekade terakhir abad ke-19, perubahan struktural yang signifikan terjadi di masyarakat Ambon : munculnya kaum “kelas menengah” yaitu para pejabat rendah, guru dan tentara. Berdasarkan pendidikan dan agama Kristennya, kelompok ini mendapatkan pekerjaan di pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun-tahun terakhir masa kolonial, mereka dapat ditemui di seluruh Nusantara, tidak hanya di Ambon. Mereka membentuk “kelas menengah” dalam arti, mereka mengembangkan jaringan relasi yang baru, baik dengan masyarakat negeri Ambon maupun dengan pemerintah Hindia Belanda. Munculnya “kelas menengah” baru terkait dengan perubahan ekonomi masyarakat Ambon serta proses ekspansi dan konsolidasi kontrol Belanda di Nusantara. Untuk perluasan administrasi ini, Belanda membutuhkan tenaga kerja dan mempekerjakan ribuan orang Ambon Kristen. Sejak zaman Portugis, pendidikan diidentikan dengan agama Kristen. Pada pertengan abad ke-19, ada sekolah dasar di hampir setiap negeri Kristen di kepulauan Ambon. Sejak tahun 1860-an, prioritas baru pemerintah Hindia Belanda menyebabkan perubahan karakteristik sekolah negeri ini, dari yang sebelumnya kuat aspek religiusnya ke orientasi sekuler dan praktis. Pada tahun 1856, “sekolah Eropa” pertama yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, didirikan untuk orang Ambon (awalnya hanya untuk kaum burger), dan pada tahun 1869, sekolah ini secara resmi dikenal dengan nama Ambonese Burgerschool. Pada tahun 1874, pemerintah mendirikan Ambonese Kweekschool (Sekolah Pelatihan Guru), berdasarkan kurikulum sekuler, untuk menggantikan sekolah guru misionaris. Kedua sekolah ini menandai dimulainya pendidikan bahasa Belanda di Ambon. Pendikan bahasa Belanda diperluas hingga tahun 1920-an, dimana terdiri dari 3 sekolah dasar Eropa, 3 Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) dan 1 Middelbaar Uitgebreid Lager School Onderwijs (MULO), dengan total 2.846 murid (van Sandick, 1926, app. 5). Dalam masyarakat Kristen, bukan hanya anak-anak kaum elit – anak-anak dari keluarga raja dan pendeta – yang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan bahasa Belanda; anak-anak yang mampu dari keluarga non-elit juga memiliki kesempatan untuk mencapai status sosial dan kekayaan dalam sistem status kolonial, berdasarkan prestasi pendidikan dan pekerjaan, daripada ketentuan adat. Lulusan sekolah berbahasa Belanda ini, bersama dengan tentara orang Ambon, melambangkan “orang Ambon” di mata orang Belanda dan orang Indonesia lainnya. Diakui bahwa kesetiaan dan identifikasi mereka dengan Belanda mewakili pendapat populer dalam masyarakat Ambon, padahal kedua kelompok ini baru saja muncul dari masyarakat Kristen Ambon dan merupakan kelas baru.

Hollandsche Inlandsch Scholen di Ambon (1919)

KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger)

                Menurut tradisi militer tentara kolonial, prajurit Ambon telah mengabdi kepada Belanda sejak Kapitan Jonkera dan pasukannya membantu VOC mengalahkan Makassar dan Banten. Namun, perekrutan sistematis orang Ambon baru dimulai pada awal abad ke-19, ketika orang-orang Ambon Kristen menjadi prajurit pilihan. Sejak saat itu, prajurit Kristen Ambon diberi status khusus – een bevoorrechte positiebdi KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger : Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Uang pendaftaran yang dibayarkan kepada orang Ambon lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada orang Jawa atau Melayu yang direkrut. Prajurit Ambon juga menerima ransum “Eropa” bersama dengan pakaian dan akomodasi yang lebih layak. Bagaimana ini bisa terjadi?

                Belanda adalah negara Eropa yang kecil, yang dalam perjalanan abad ke-19 berhasil memperluas pemerintahannya di seluruh kepulauan Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah bisa merekrut tentara dan perwira dalam jumlah yang cukup dari Eropa untuk KNIL, karena populasi Belanda terlalu kecil dan dinas militer bukanlah pekerjaan dengan status tinggi. Akibatnya, KNIL selalu bergantung pada orang Jawa untuk tenaga kerja, meskipun perwira Belanda meremehkan kualitas  pertempuran dan mencurigai kesetiaan pasukan Jawa mereka, tetapi selalu ada jumlah rekrutan yang cukup. Peran orang Ambon (dan Menado), bersama dengan Belanda sendiri, adalah untuk menyeimbangkan orang Jawa. Prajurit Ambon dan Menado dianggap lebih loyal kepada Belanda, karena agamanya, berani dan cakap. Mereka diberi status khusus, karena hingga akhir abad ke-19, mereka selalu terbukti enggan direkrut. Upah dan persyaratan yang lebih tinggi juga berfungsi untuk memfasilitasi identikasi orang Ambon dengan kepentingan Belanda, daripada rekan seperjuangan mereka yang orang Jawa. Terkait erat dengan ini adalah “penanaman” tradisi militer orang Ambon, terutama selama perang yang berlarut-larut dan berdarah di Aceh. Tradisi tersebut menekankan kesetiaan orang Ambon kepada House of Orange dan keunggulan mereka atas tentara pribumi lainnya. Prajurit Ambon dan Menado menganggap diri mereka sebagai rekan Belanda : bersama-sama mereka menciptakan dan memelihara rust en ordec di Hindia Belanda (lihat Dames, 1954; van Gent, 1924). 

                Menurut tradisi militer ini, prajurit Ambon selama ini setia kepada Belanda – Ambon door de eeuwen trouw – tetapi kenyataannya orang Ambon enggan direkrut. Pada tahun 1870, ketika kampanye Belanda di Aceh dimulai, hanya ada 347 prajurit Ambon di KNIL dari total sekitar 30.ooo tentara (Kolonial Verslag, 1874: 24). Dengan terjadinya perang, persyaratan untuk rekrutan baru meningkat. Untuk memfasilitasi perekrutan di Ambon, KNIL membayar raja Kristen sebesar 25 gulden (kemudian naik menjadi 50 gulden) untuk setiap masyarakat mereka yang mendaftar. Setiap tahun, 2 prajurit Ambon dikirim kembali ke negeri mereka, untuk cuti, untuk membantu kampanye perekrutan. Pada tahun 1873 dan 1875, uang pendaftaran dan pensiun dinaikan lagi. Sejak tahun 1879, sekolah-sekolah berbahasa Belanda didirikan di kota-kota garnisun di seluruh Nusantara terutama untuk anak-anak tentara Ambon dan Menado. Meskipun demikian, langkah-langkah ini, perekrutan orang Ambon hanya meningkat perlahan. Belanda harus menunggu sampai tahun 1890-an sebelum perekrutan orang Ambon memenuhi permintaan. Selama dekade itu, 1980 orang Ambon terdaftar dibandingkan dengan 718 orang selama tahun 1880-an, dan 427 orang selama tahun 1870-an (Kolonial Verslag, 1871 -1901)3.
                Untuk menjelaskan pola perekrutan ini, kita harus kembali ke kondisi ekonomi di kepulauan Ambon setelah penghapusan monopoli rempah-rempah pada tahun 1864. Selama tahun 1870-an dan 1880-an, para produsen Ambon menikmati harga cengkih yang rata-rata lebih tinggi dari harga lama saat monopoli. Namun, pada tahun 1890, harga cengkih di pasar dunia jatuh dan tetap tertekan hingga setelah kemerdekaan (Kolonial Verslag, 1861-1900). Dapat dikatakan bahwa selama dekade-dekade terakhir abad ke-19, khususnya setelah tahun 1890, perbedaan taraf hidup material dan peluang mobilitas sosial antara masyarakat negeri di kepulauan Ambon dengan apa yang ditawarkan KNIL semakin meningkat. Tepat pada saat itu, Belanda akhirnya bisa merekrut orang Ambon dalam jumlah yang cukup banyak. Pada abad ke-19, orang Ambon enggan direkrut; di abad ke-20, mereka menjadi bergantung pada KNIL untuk kemakmuran. Kesetian kepada House of Orange sebagaimana dirayakan dalam tradisi militer, pada kenyataannya berarti ketergantungan ekonomi.

Kepulauan Ambon menjadi terpencil secara ekonomi. Pendidikan barat, khususnya sekolah berbahasa Belanda, menyediakan jalan keluar. Para pemuda Kristen yang ambisius yang mampu lulus ujian kleinambtenaars dapat menjadi pejabat dalam administrasi kolonial yang sedang berkembang. Rekan-rekan mereka yang kurang mampu, tapi fit/sehat, bisa mendaftar di KNIL. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ribuan orang Kristen meninggalkan Ambon untuk bekerja pada pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1930, setidaknya 16% komunitas Kristen Ambon tinggal dan bekerja di luar Maluku (Volkstelling 1930 5:24, tabel 2, 40-41, 1: 18; 3: 214)4. Kaum “kelas menengah” Kristen menjadi, untuk suatu derajat, terasing dari masyarakat kepulauan Ambon, karena secara fisik, mereka menghabiskan kehidupan kerja mereka di tempat lain di Nusantara, dan karena status mereka yang berasal dari kolonial – prajurit bevoorrechte positie – hanya diakui sebagian dalam masyarakat negeri, yang masih sangat dipengaruhi oleh status sistem adat. Tidak jarang, tentara dan pejabat yang kembali ke Ambon dengan pensiun mereka dan ambisi untuk menjadi pemimpin dibuat frustasi dan tidak terpenuhi, setidaknya sebagian karena pengalaman dan kedudukan yang diperoleh di dunia luar tidak diakui atau dihargai di kampung/negeri mereka.

Radja Mamala, M. Sialana (1928)

EMANSIPASI KOMUNITAS MUSLIM

                Orang Ambon Muslim tidak terlibat dalam akhir pemerintahan kolonial. Mereka tidak direkrut untuk KNIL karena tidak mampu menjalankan fungsi tentara “Ambon”, yaitu tentara Kristen yang bertugas sebagai penyeimbang rekan-rekan Muslim mereka dari tempat lain di Nusantara. Raja negeri Muslim tidak dibayar untuk setiap subjek yang direkrutnya. Jika seorang Muslim Ambon mendaftar, dia menikmati gaji dan kondisi yang sama dengan rekan-rekannya dari Jawa, daripada rekan-rekan Ambon-nya. Baru menjelang Perang Dunia II, Belanda mulai merekrut orang Muslim Ambon dengan status kontrak jangka pendek.

                Di kepulauan Ambon, pendidikan barat diidentikan dengan agama Kristen. Sekolah dasar pertama didirikan di 6 negeri Muslimd pada tahun 1920-an. Sekolah-sekolah ini menawarkan pendidikan 3 tahun daripada 5 tahun. Selain itu, mereka menerima subsidi yang lebih kecil dari pemerintah, dan guru mereka kurang terlatih dibandingkan di negeri Kristen (Schmidt, 1924). Partisipasi umat Islam dalam pendidikan berbahasa Belanda sangat terbatas. Pada tahun 1926, kurang dari 5% muridnya beragama Islam, yang sebagian besar adalah anak dari keluarga raja atau bukan orang Muslim Ambon dari kota Ambon (van Sandick 1926, vol 5, app 11). Situasi ini bukan hanya konsekuensi dari kebijakan Belanda. Umat Islam sendiri menganggap mendaftar di KNIL dan bersekolah di sekolah negeri sama seperti menjadi seorang Kristen (Tausikal 1951: 387). 

Jemaah Haji asal Ambon (1880)

                Tidak berpartisipasinya kaum Muslim dalam pemerintahan kolonial, tidak berarti bahwa komunitas Muslim tidak terpengaruh oleh perubahan sistem kolonial sejak akhir abad ke-19. Penghapusan monopoli cengkih, bersama dengan perbaikan transportasi, memfasilitasi kebangkitan kembali kontak antara komunitas Muslim di Ambon dan pusat-pusat Islam di seluruh Nusantara dan sekitarnya. Misalnya, di Karesidenan Amboina pada tahun 1870 hanya ada 36 haji. Selama dekade berikutnya, jumlah Muslim yang pergi haji setiap tahun secara bertahap meningkat dari puluhan menjadi ratusan pada 1920-an (Politiek Verslag Residentie Amboina 1870; Kolonial Verslag 1871-1898; van Sandick 1926, vol. Moslems). Haji menjadi saluran ide-ide baru sekaligus kesadaran bahwa keyakinan dan amalan umat Islam di luar Ambon tidak selalu sama dengan masyarakat Muslim Ambon. Haji berperan penting dalam proses pembaruan di negeri-negeri Muslim. Muslim Ambon juga menjadi pelaut dan penjual keliling. Pengalaman mereka di dunia luar, cenderung memperkuat identifikasi mereka sebagai Muslim dan dengan seagama mereka di tempat lain di Nusantara. Sebaliknya, pengalaman orang Ambon Kristen sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda menjadi pembeda mereka dengan orang Indonesia lainnya. Para emigran Kristen mengembangkan rasa superioritas terhadap orang Indonesia lainnya, dan mengidentifikasi diri mereka dengan kepentingan Belanda.

Dengan munculnya gerakan nasionalis Indonesia, umat Kristen Ambon, khususnya para emigran, dihadapkan pada sebuah dilema. Mereka termasuk orang Indonesia pertama yang menikmati hasil pendidikan barat dan peluang mobilitas sosial yang disediakan oleh pendidikan. Mereka segera menyadari kemungkinan kemajian lebih lanjut yang bisa diperoleh melalui pembentukan sosial mereka sendiri, dan kemudian politik, [yaitu] organisasi. Hanya setahun setelah Boedi Oetomo, Ambonschestudiefonds didirikan untuk memberikan beasiswa kepada kaum muda Kristen yang mampu, untuk mendukung studi lebih lanjut. Para Ambonschestudiefonds dipimpin oleh para emigrane, sebagian besar pejabat pemerintah, sementara sebagian besar anggotanya adalah tentara (Manusama, 1929). Dilema yang dihadapi para emigran adalah sejauh mana emansipasi dan kemajuan dapat diperoleh dengan bekerja dalam sistem kolonial. Apakah mereka akan tetap puas dengan bevoorrechte positie mereka- memang, lebih tinggi dari orang Indonesia lain tapi masih kalah dengan Belanda? Atau akankah mereka bertarung dengan sesama orang Indonesia untuk kemerdekaan dan mengambil resiko dominasi sebagai minoritas agama dan etnis minoritas?. Ada 2 orientasi yang terlihat dalam organisasi sosial dan politik orang Ambon sebelum Perang Pasifik : mereka yang bekerja untuk emansipasi dalam sistem kolonial dan mereka yang menyadari bahwa kemajuan dalam sistem kolonial akan selalu sangat dibatasi dengan emansipasi yang hanya mungkin terjadi di Indonesia merdeka.

Orang Muslim Ambon tidak dihadapkan pada dilema ini. Dalam komunitas Muslim, hanya raja yang memiliki kepentingan dalam status quo kolonial dan merasa sedikit bergantung pada pemerintah Hindia Belanda untuk status mereka sendiri. Pada tahun 1917 didirikan cabang Insulinde di Ambon, dan 6 tahun kemudian digantikan oleh Sarekat Ambon. Kedua organisasi ini dipimpin oleh orang Kristen yang berpendidikan Belanda, tetapi sebagian besar anggotanya berasal dari komunitas Muslim.

 

MENURUNNYA OTORITAS TRADISIONAL 

Raja di setiap negeri merupakan penopang dalam sistem pemerintahan kolonial di kepulauan Ambon. Mereka adalah perantara antara penguasa Hindia Belanda dan masyarakat negeri. Raja harus melakukan tugas yang paling sulit dan terkadang bertentangan. Dia, pada tingkat pertama, adalah pemimpin negeri dan perwakilan di dunia luar. Dia melihat dirinya sebagai pelindung rakyatnya dari otoritas yang lebih tinggi. Kedua, ia menganggap dirinya sebagai wakil penguasa tertinggi negara Belanda dan secara resmi diangkat oleh kerajaan [Belanda]. Ketiga, dia adalah agen negara kolonial. Selama monopoli cengkih, raja adalah saluran dimana permintaan tenaga kerja dan hasil yang dibuat dan melalui siapa cengkih dikirimkan. Setelah monopoli cengkih, dia bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak, mengatur layanan kerja dan memelihara hukum dan ketertiban. 

Radja Hutumuri, Ch Tehupeorij

Legitimasi raja dalam komunitas adat bertumpu pada warisan melalui mata rumah (klan patrilineal) yang sesuai. Kemakmuran dan keharmonisan negeri bergantung pada orang yang “tepat” sebagai raja. Penguasa kolonial mengakui cita-cita legitimasi orang Ambon dan berusaha keras untuk mengimplementasikannya. Ini seringkali lebih sulit dari yang terlihat. Mata rumah raja dalam banyak kasus, sangat luas dan bisa menyediakan sejumlah calon potensial, sedangkan di beberapa di negeri, ada lebih dari 1 mata rumah yang bisa mengklaim posisi tersebut. Persaingan klaim untuk kepemimpinan di negeri merupakan sumber ketidakstabilan yang signifikan, dan dengan demikian, menjadi perhatian pemerintah kolonial. Ini tampaknya telah terjadi sejak pembentukan otoritas VOC (Knaap, 1987: 48-49). Dalam Molukken Publicatie tahun 1824, yang menjadi fondasi pemerintahan selama sisa masa kolonial, di antara banyak “tuduhan” yang dilontarkan kepada orang Ambon adalah bahwa :

Kalian tidak suka dan gagal menghargai otoritas yang sah dari para pemimpin yang berasal dari keluarga-keluarga tua kalian, karena kepentingan mereka tidak sesuai dengan kepentingan kalian

(Gouvernements Gazette, 1824, nr. 19a) 

Molukken Publicatie berusaha untuk membangun hubungan baru antara raja dan rakyatnya. Di bawah monopoli, kesejahteraan ekonomi raja ada pada penduduk negeri. Raja menerima persentase hasil panen cengkih, yang dikenal sebagai hasil geld dan pitis geld, dihitung dari 4% dari panen cengkih negeri. Kontribusi ini menghilang bersama dengan [penghapusan] monopoli, meskipun raja diberi sejumlah kompensasi finansial. Mungkin yang lebih penting adalah 2 bentuk pelayanan tenaga kerja, yang pertama, karja trop untuk penyediaan tenaga untuk panen, dan, yang kedua, kwartodienst (hakikil untuk kaum perempuan) untuk pelayanan pribadi bagi raja dan keluarganya. Kedua bentuk corvee ini dihapuskan masing-masing pada tahun 1881 dan 1920, dan raja diberi kompensasi secara tidak memadai, toelage (kontrbusi) dari pemerintah. Akibat dari perubahan ini adalah raja menjadi kurang kaya secara materi dan sumber dukungannya telah berubah dari dalam negeri menjadi pemerintah. Kondisi yang berkurang ini menghambat banyak raja untuk memainkan peran yang diharapkan sebagai pelindung di negeri. Banyak yang terjerat hutang. Pegawai pemerintah di negeri, guru, dan pendeta, seringkali lebih kaya daripada raja. Raja menjadi lebih bergantung pada dukungan sukarela dari rakyatnya (Residentie Amboina 1880,1881; Ouwerling, 1932: 42).
                Pada akhir 1910-an dan awal 1920-an, perselisihan lama antara raja dan rakyatnya mengambil karakter baru. Partai politik baru yang berbasis di kota Ambon terlibat di sisi oposisi, menyediakan saluran untuk mengartikulasikan kepentingan kelompok oposisi kepada masyarakat Ambon yang lebih luas serta memberikan ide dan organisasi baru. Keterlibatan partai politik mengubah konflik negeri tradisional menjadi konflik rakyat versus raja sebagai wakil pemerintah. Di sejumlah negeri, keterlibatan pihak luar ini menggeser peluang konflik yang menguntungkan kelompok oposisi di saat raja mulai merasakan tekanan dari keadaan material mereka yang berkurang. Intervensi pemerintah diperlukan pada beberapa kesempatan untuk mempertahankan posisi raja (van Sandick, 1927).

Setelah A.J. Patty, pemimpin Sarekat Ambon, diasingkan dari Ambon pada tahun 1925, pemerintah kolonial berhasil mengisolasi negeri dari pengaruh politik luar dan melindungi raja agar tidak bersaing dengan politisi nasionalis. Sampai pecahnya Perang Pasifik, raja memainkan peran dominan di Ambonraad, para anggota senior pemerintah lokal (bestuurassistent, dll) dan beberapa perwakilan Ambon di Volksraad dipilih dari kelompok mereka. Pada saat yang sama, sekelompok kecil politisi nasionalis ditempatkan di pinggiran masyarakat kolonial dan dilarang melalukan kegiatan apapun di luar kota Ambon, tetapi “dipaksa” melalui keadaan ini untuk mengembangkan ketahanan dan kapasitas untuk berorganisasi secara mandiri, atau lebih tepatnya, menentang Belanda. Dalam retrospeksi, biaya jangka panjang dari perlindungan ini sangat besar. Meskipun di dalam negerinya sendiri, sebagian besar raja mempertahankan otoritas mereka dalam masalah adat dan organisasi internal, hanya sedikit raja yang mengembangkan ketrampilan politik “modern” dan memperluas pengaruh mereka ke luar dari negeri mereka. Setelah perang, orang Ambon mulai melihat, berkaitan dengan raja, perbedaan antara “adat” dan “politik”. Pada awalnya, raja dihormati, kemudian rasa hormat itu tergantung pada kualitas kepemimpinan yang dicapai.

==== bersambung ====

Catatan Kaki

  1. Angka-angka ini berkaitan dengan penduduk "Ambon" di Afdeeling Amboina.
  2. Gelar raja digunakan dalam artikel ini sebagai singkatan dari tiga istilah Ambon untuk kepala desa: raja, parih dan orang kaya.
  3. Prajurit "Ambon" dari Menado tidak termasuk dalam angka-angka ini.
  4. Dari penduduk Ambon di Jawa dan Madura, hanya 0,6 persen (70 orang) yang beragama Islam.
     

Catatan Tambahan

  1. Menurut sejarahwan I.O. Nanulaita, nama asli Kapitan Jonker adalah Achmad Sangadji yang lahir di negeri Tumaleho, Manipa, sekitar tahun 1620, sedangkan menurut J.A. van der Chijs namanya berdasarkan pada Resolusi Gouverneur Generaal VOC dan Raad van Indie tanggal 30 Januari 1660 adalah “ Joncker alias Sengadji Cowassa” yang lahir sekitar 1630. Menurut arsiparis Frederik de Haan, namanya tertulis dalam sebuah akta tahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa.

§  I.O. Nanulaita, Timbulnja Militerisme Ambon : Sebagai Suatu Persoalan Politik Sosial –Ekonomi, Jakarta, Bharata, 1966

§  J.A. van der Chijs, Kapitein Jonker (1630? – 1689) [ dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal,-Land- en Volkenkunde, deel 28, s’Gravenhage, M.Nijhoff, 1883,  hal 351 – 472], khusus hal 351 – 353

§  F. De Haan, Oud Batavia -  Gedenkboek naar aanleiding van het driehonderdjarig bestaan der stad in 1919, pp.228-229, Batavia, G. Kolff & Co., 1922.

§  Petrik Matanassi, Kapitan Jonker : Sang Legenda, Yogyakarta, Sibuku, 2014

  1. Een bevoorrechte positie bermakna satu posisi istimewa
  2. Rust en Orde bermakna Damai dan Tertib
  3. 6 negeri Muslim yang dimaksud adalah : Tulehu, Hitumessing dan Laha (di onderafdeling Ambon), serta Kulur, Pelau dan Kailolo (di onderafdeling Saparoea)

§  H.J. van Schmidt, Memorie van Overgave van de Afdeeling Ambon, 1924 (dimuat oleh Chr.Fr. van Fraasen dalam Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900 – 1942, deel 2, Den Haag, 1997, hal 451 – 465), khusus hal 455

Tidak ada komentar:

Posting Komentar