Senin, 05 Oktober 2020

RMS dan Perubahan Sosial Masyarakat Ambon Di Sepanjang Periode akhir kolonial (bag 2 - selesai)

Oleh :

Richard Chauvel

Soumokil di penjara (koleksi Moluks Historisch Museum)

PENDUDUKAN [JEPANG] DAN REVOLUSI

                Pada tanggal 31 Januari 1942, dalam waktu 24 jam, Jepang “melepaskan” tirai 286 tahuna penjajahan Belanda di kepulauan Ambon. Selama 3,5  tahun berikutnya, kebijakan dan praktik pemerintahan Jepang berfungai untuk mempercepat proses perubahan sosial dan politik yang dijelaskan di atas. Ini khususnya terjadi di bidang administrasi dan hubungan antara kedua komunitas agama. 

Peta Penyerangan Jepang di Ambon (sumber Willem Remmelink)

Sesaat setelah mendarat di Ambon (sumber Willem Remmelink)

                Jepang menggantik pejabat dari keluarga raja paling terhormat dengan [figur] dari politisi nasionalis. E.U. Pupellab, pemimpin Sarekat Ambonc, diangkat menjadi Bun ken cho (pemimpin kepulauan Ambon), dan rekan-rekannya diberi jabatan senior lainnya di pemerintahan daerahd. Untuk melambangkan perubahan peran yang terjadi di antara tanggung jawab Pupela adalah pengawasan pemilihan raja di negeri, dimana ia tidak diizinkan terlibat sebelum perang. Organisasi pemuda seperti Seinendan dan Ambon Hookoo kai dimobilisasi di bawah kepemimpinan kaum nasionalis. Koran yang disponsori Jepang, Sinar Matahari, memiliki editor dari kaum nasionalise.

                Penyerahan pemerintah Hindia, berarti bahwa Gereja Protestan Maluku kehilangan dermawan dan pelindungnya. Pada awal pendudukan, Gereja mengalami penindasan hebat dan sejumlah pendeta terbunuh. Bersamaan dengan itu, Jepang mendirikan organisasi Islam, Djamijah Islamijah Ceramf untuk mendorong proses pembaruan dan persatuan umat Islam. Organisasi Kristen yang disponsori Jepang, baru menyusul kemudian.


                Jepang berhasil menggeser keseimbangan masyarakat Ambon. Kebalikan dari praktik Belanda, mereka mendukung kaum nasionalis daripada elit adat dan komunitas Muslim dengan lebih antusias daripada orang Kristen (lihat Chauvel, 1985).

                Pada bulan September 1945, pejabat administrasi Sipil Hindia Belanda, dengan bantuan Angkatan Darat Australia, mendirikan kembali pemerintahan Belanda di Ambon. Namun, Belanda tidak dapat memberlakukan kembali [kebijakan] karantina politik sebelum perang, atau membalik kembali proses perubahan sosial. Di dalam Negara Indonesia Timur (NIT) yang disponsori Belanda, Ambon menjadi ibukota Daerah Maluku Selatan dengan lembaga demokrasinya sendiri yang masih muda. Pada tahun 1946 dan 1948, diadakan pemilihan untuk Dewan Maluku Selatan (DMS). Dalam kedua pemilihan tersebut, Partai Indonesia Merdeka (PIM) dibawah kepemimpinan E.U. Pupellag, mantan Bun ken cho, muncul sebagai partai politik yang paling kuat dan terorganisir dengan baik. Seperti partai-partai nasionalis sebelum perang, PIM adalah sebuah koalisi yang kebanyakan pemimpinnya beragama Kristen, sedangkan anggotanya sebagian besar beragama Islam. Ironisnya, adalah simbol dari perubahan cepat dalam masyarakat Ambon, ketika Belanda meluncurkan monumen Door de eeuwen Trouw di Ambonh untuk memperingati kesetiaan orang Ambon, mayoritas anggota Dewan Maluku Selatan yang didukung Belanda, tidak lagi menganut nilai-nilai tersebut atau menafsirkan sejarah kolonial orang Ambon itu.


REPUBLIK MALUKU SELATAN

                Dominasi kaum nasionalis atas DMS, dan akhirnya pemerintah daerah, tidak berarti mereka menguasai masyarakat Ambon. Hanya 4 bulan setelah penyerahan kedaulatan resmi pada bulan Desember 1949, Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan. Proklamasi dilakukan dalam suasana politik yang penuh ketidakpastian akibat pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerlingi di Jawa Barat dan peristiwa Andi Azis di Makassar. Kekuatan utama dibalik proklamasi tersebut adalah beberapa politisi emigran dibawah kepemimpinan Ir. J. A. Manusama dan Mr. Dr. Chr. Soumokil dan sekelompok raja, dengan dukungan dan tekanan dari prajurit-prajurit KNIL Ambon, yang baru kembali ke Ambon dan menunggu “reorganisasi” tentara kolonial.

                Dalam konteks analisis artikel ini, para pemimpin dan pendukung RMS berasal dari kelompok-kelompok masyarakat Ambon yang menjadi penerima manfaat dari kehadiran [kembali] kolonial. Mereka khawatir jika pemerintah Jakarta menetapkan kontrol yang efektif di Ambon, status, pengaruh dan jabatan mereka akan terancam. Mungkin yang lebih penting, RMS dapat dilihat sebagai upaya kelompok-kelompok ini untuk membalik proses perubahan sosial pada dekade-dekade sebelumnya, dan untuk (kembali) memantapkan posisinya dalam masyarakat Ambon.

                Sisa artikel ini akan membahas pendukung utama RMS dalam konteks perubahan sosial yang diuraikan di atas.

J.A. Manusama, D.Rijke dan L. Tahapary

KAUM EMIGRAN “KELAS MENENGAH”

Di antara aktor-aktor kunci dalam peristiwa yang mengarah pada proklamasi RMS adalah anggota-anggota kaum “kelas menengah” Kristen, khususnya Manusamaj, Soumokilk dan Alex Nanlohy. Mereka merupakan contoh kaum emigran Ambon – lahir, dibesarkan dan dididik – di lingkungan birokrasi berbahasa Hindia Belanda. Manusama melarikan diri dari Revolusi di Jawa, pertama ke Makassar, kemudian ke Ambon, dimana ia menjadi Kepala Sekolah Algemene Middelbare School (AMS), dan diangkat sebagai perwakilan komunitas emigran di DMS. Soumokil sempat 2 kali mengunjungi Ambon sebagai Menteril dalam Pemerintahan NIT, sebelum melarikan diri ke Ambon karena gagalnya peristiwa Andi Azis di Makassar. Nanlohy, yang tiba dari Jawa pada tahun 1947, dan Manusama, seperti banyak kaum emigran sebelumnya berusaha untuk memainkan peran penting dalam institusi demokrasi yang baru muncul di Ambon pasca perang. Tidak berbeda dengan raja, mereka tidak memiliki pengalaman politik, ketrampilan, atau organisasi untuk bersaing dengan politisi nasionalis. Manusama dan Nanlohy gagal memenangkan kursi dalam pemilihan kedua DMS, meski mereka mewakili 2 daerah pemilihanm. Manusama sadar sebagai orang luar, dia dipandang dengan kecurigaan, terutama oleh raja. Ia sendiri merasakan cukup banyak kegelisahan dan ketidaktahuan tentang masyarakat negeri. Ia menolak desakan-desakan raja untuk mengunjungi Abubu ­– negerinya sendiri – hingga melarikan diri dari Ambon ke Seram pada November 19505. Karir politik Manusama memperoleh kesempatan baru pada tahun 1949 dengan pengangkatannya ke Senat NIT. Baik Soumokil, Manusama maupun Nanlohy, tidak pernah menjadi pendukung organisasi loyalis dan separatis di Ambon sebelum penyerahan kedaulatan. Maluku Selatan yang merdeka hanya menjadi objek upaya politik Soumokil dan Manusama, ketika pemerintah NIT, tempat karir politik mereka runtuh. Dalam kepemimpinan Maluku Selatan yang merdeka, mereka akhirnya memperoleh peran sesuai status masyarakat mereka sendiri.

DMS hasil "pilkada" 1948

KAUM TENTARA 

Kelompok emigran lain yang berperan dalam RMS adalah prajurit KNIL Ambon. Sebelum Konferensi Meja Bundar, selain dari tindakan intimidasi yang sesekali terjadi seperti ketika DMS memperdebatkan isu-isu sensitif, peran tentara dalam politik Ambon sangat minim. Di luar kepulauan Ambon, mereka pernah menjadi anggota organisasi seperti Ambonschestudiefonds. [A.J] Patty berusaha mendapatkan dukungan mereka untuk Sarekat Ambon. Setelah perang, dukungan tentara telah dikerahkan untuk organisasi separatis seperti Persatoean Timoer Besar (PTB)n. Alasan paling jelas dari peran politik kecil para prajurit di Ambon itu sendiri, adalah praktik Belanda untuk menempatkan beberapa tentara Ambon di sana. Sebagian karena mereka jauh lebih berguna di tempat lain, dan sebagian lagi karena seringnya hubungan yang sulit antara tentara yang kembali dan negeri mereka. Kesulitan muncul atas masalah-masalah khusus, seperti para tentara yang menegaskan kembali hak untuk menggunakan tanah, dan secara umum, apa yang dapat disebut sebagai sistem status kelas. Sebagain besar prajurit tidak direkrut dari keluarga elit adat di negeri, tetapi “didukung” di KNIL untuk percaya pada bevoorrechte positie mereka. Namun, ketika mereka kembali sebagai “manusia biasa”, pengalaman dan status mereka sering kali tidak mendapatkan pengakuan yang diinginkan, dan cara-cara perilaku yang berlaku di KNIL juga tidak selalu dihargai. Reintegrasi kedalam kehidupan negeri semakin diperumit dengan ketergantungan keluarga-keluarga di negeri pada gaji para prajurit dan pensiun di masa depan, paling tidak di saat kelanjutan sumber dukungan keuangan itu dalam keadaan tidak menentu. 

KNIL Ambon di Semarang

Pada akhir 1949 dan awal 1950, untuk pertama kalinya dalam sejarah pengabdian orang Ambon di KNIL, sejumlah besar (sekitar 2.00o) tentara Ambon, ditempatkan di Ambon untuk menunggu proses pemindahan ke Tentara Indonesia (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat, kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia) atau demobilisasi. Ambon yang mereka temukan sangat berbeda dengan yang mereka idamkan di tangsi (barak) yang mereka tinggalkan sebelum atau segera setelah perang. Tanah air mereka, berada di bawah pemerintahan orang Ambon, yang melihat masa depan politiknya di Indonesia. Satu-satunya organisasi politik yang efektif (Partai Indonesia Merdeka) adalah pendukung pemerintah yang telah mereka perjuangkan selama 4 tahun terakhir, dan pendukung-pendukung muda dari organisasi tersebut sedang melakukan aksi-aksi bergaya militer di jalan-jalan [kota] Ambon.
                Para prajurit menjadi aktif, dan bukan sekadar lisan, menjadi peserta dalam perebutan kendali atas masyarakat Ambon. Awalnya, dukungan mereka diminta oleh para pimpinan PTB dan beberapa raja untuk membersihkan pengaruh kaum nasionalis dari negeri-negeri. Pada bulan Januari 1950, tentara bentrok dengan pemuda-pemuda nasionalis, tetapi tidak lama kemudian kaum nasionalis mencoba untuk memenangkan kaum tentara. Namun, pada bulan April, sesama emigran mereka, Manusama, Soumokil dan Alex Nanlohy, berhasil memobilisasi dukungan tentara dalam upaya terakhir untuk mencegah pendaratan pasukan, mantan musuh mereka di tanah air mereka.

Salah satu konsekuensi paling mencolok dari RMS dan penindasannya adalah hilangnya tentara secara virtual sebagai kelompok sosial yang khas. Sekitar 4.000 tentara, dan keluarga mereka, pergi ke pengasingan. Hanya sedikit yang telah dipindahkan ke Tentara Indonesia sebelum RMS. Dari mereka yang bertempur dengan RMS (sekitar 2.000), sejumlah besar terdaftar di Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan bertempur melawan pemberontakan Darul Islam dan Permesta. Thomas Nussyo, pemimpin [kesatuan] baret yang berjasa dalam memobilisasi dukungan tentara untuk Soumokil dan Manusama, terkenal sebagai perwira TNI selama kampanye Trikora melawan Belanda di Papua. Baik mantan prajurit RMS maupun orang Ambon, yang kemudian bergabung dengan TNI, tidak membentuk kelompok istimewa di dalamnya, seperti yang mereka lakukan di KNIL.

Radja Tulehu

PARA RAJA

Para pemimpin penting yang berbasis di Ambon, yang terlibat dalam RMS berasal dari kalangan raja, baik Kristen maupun Muslim. Mereka sebelumnya adalah kelompok inti dari organisasi separatis. Indikasi pola jangka panjang dari perubahan sosial – kontraksi kekuasaan raja – adalah peran mereka yang relatif kecil dan patuh, baik dalam organisasi separatis dan RMS. Hanya Ibrahim Ohorellap, Raja Negeri Muslim Tulehu, yang bisa termasuk di antara promotor RMS. Dia menyediakan tempat untuk pertemuan penting para konspirator sebelum proklamasi, mengorganisir dan mengangkut sebagian besar massa untuk pertemuan publik Manusama pada 18 April, dan untuk pertemuan pada malam proklamasi dan kemudian menjadi Menteri di pemerintahan RMS. D.J. gaspersz, Raja Negeri Kristen Nakuq, dan veteran bestuurassisten, dimasukan dalam kabinet RMS, lebih karena pengalaman birokrasinya yang panjang, daripada komitmennya pada perjuangan RMS. 

Kontraksi jangka panjang kekuasaan raja dan kegagalan untuk bersaing dalam sistem politik yang relatif terbuka dengan politisi nasionalis dan pemimpin-pemimpin kota yang terpelajar lainnya telah dibahas. Ketika Belanda kembali, raja mengharapkan tidak lebih dari pembentukan kembali status quo seperti sebelum perang. Mereka merasa tidak dapat dimengerti bahwa Belanda bermaksud mendirikan Indonesia yang tampaknya merdeka, dan bahwa protes mereka – mereka ingin tetap menjadi bagian dari kerajaan [Belanda] – diabaikan. Di kampung halaman, banyak raja dihadapkan dengan kelompok oposisi di dalam negeri mereka sendiri, pada periode pasca perang yang diidentifikasi sebagai PIM. Ohorella menggambarkan masalah ini dengan baik. Meski merupakan sosok tangguh di negerinya, Tulehu juga menjadi pusat utama dukungan PIM di luar kota Ambon. Banyak pemuda nasionalis, yang memprovokasi tentara yang kembali pada akhir tahun 1949 dan awal 1950, berasal dari Tulehu. Dalam benak raja, Indonesia merdeka dikaitkan dengan kelompok oposisi di negerinya sendiri. Di bawah RMS, kelompok oposisi ditindak dan raja diberi penghargaan atas dukungan mereka saat parlemen dibentuk. Semua raja menjadi anggota ex-officio.

Proklamasi RMS dan akhirnya penumpasan RMS meninggalkan tidak ada pihak di antara orang Ambon. Para pemimpin RMS dibubarkan atau ditangkap dan didiskreditkan secara politik. Tak satu pun dari mereka yang memiliki pengaruh dalam politik Ambon pasca-RMS. Politisi nasionalis bernasib sedikit lebih baik, karena telah gagal meyakinkan rekan-rekan mereka, bahwa kemakmuran pembangunan masa depan mereka akan dihargai di Republik Indonesia. Ketidakefektifan mereka hanya membatasi pandangan emigran Ambon dan non Ambon, bahwa tidak pernah ada gerakan nasionalis yang layak disebut di Ambon. Dapat dimengerti seperti ketakutan terhadap Republik pada bulan April 1950 bagi para pendukung RMS, realisasi dari ketakutan tersebut adalah melalui proklamasi negara merdeka, tanpa pemikiran atau perencanaan apa pun, terbukti menjadi tragedi bagi masyarakat yang seharusnya dilindungi.

===== selesai =====

 

Catatan kaki

  1. Manusama, wawancara, Capelle/ad Ijssel, 17 – 01 - 1978 

Catatan Tambahan

  1. Richard Chauvel “menghitung” 286 tahun, dengan dasar pemahamannya bahwa sejak tahun 1656 (1942 – 286 = 1656), kepulauan Ambon benar-benar takluk dan dibawah kontrol penuh VOC setelah berakhirnya Perang Ambon ke-5 pada tahun 1656.
  2. E.U. Pupella bernama lengkap Eliza Urbanus Pupella, lahir pada tanggal 24 April 1910 di Hila (Leihitu)
  3. E.U. Pupella menjadi Pemimpin Sarekat Ambon sejak tahun 1938. Ia menggantikan pemimpin sebelumnya, Dominggus Ajawaila, yang meninggal di tahun 1937.

§  Lihat, Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880 -1950), Leiden, 1990, hal 175, 149

  1. Rekan-rekan yang dimaksud adalah Hamid bin Hamid (bidang ekonomi), Dr.D.P. Tahitu, Jan Touwle, S. Tjokro,  Wim Reawaruw, J. Rehatta dan J.H. Manuhuttu

§  Lihat, Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880 -1950), Leiden, 1990, hal 175, 149

  1. Editor kaum nasionalis yang dimaksud adalah Ot Pattimaipauw
  2. Organisasi Islam, Djamijah Islamijah Ceram didirikan awal tahun 1943
  3. E.U. Pupella bersama rekan-rekannya mendirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada tanggal 17 Agustus 1946 dan menjadi pemimpinnya.
  4. Monumen ini didirikan pada akhir tahun 1946 dan dihancurkan oleh pasukan TNI pada tahun 1950
  5. Westerling bernama lengkap Raymond Pierre Paul Westerling (31 Agustus 1919 – 26 Nov 1987), menikah dengan wanita keturunan Perancis – Indonesia, janda beranak Fernanda Yvonne Fournier (??? - ???) pada November 1948, dan bercerai pada tahun 1965. Westerling menikah lagi dengan Adriana Martina Vleesch Dubois pada tahun 1971. Westerling adalah putra dari Paul Rou Westerling dan Sophia Moutzou (wanita Yunani)
  6. Johanes Alvarez Manusama, lahir di Banjarmasin 17 Agustus 1910 serta meninggal di Roterdam 29 Desember 1995., menikah dengan Catharina (Kit) de Kock (1901 -??). Orang tua Manusama  bernama Johan Alexander Manusama (1881/2-1954) dan Sophia Welhelmina Geertruida Versteegh (1888-1979). 
  7. Soumokil bernama lengkap Christian Roberth Steven Soumokil lahir pada 13 Oktober 1905 di Surabaya. Menikah dengan 2 orang wanita, yaitu Elsa Constans Clementine Fresier dan seorang wanita Seram, Josina Taniwel.

§  https://www.geni.com/people/Christiaan-Robbert-Steven-Chris-Soumokil/6000000047022093028

§  https://www.geni.com/people/Elsa-Constans-Clementine-Frieser/6000000047022269850

§  https://www.geni.com/people/Josina-Taniwel/6000000047022121027

  1. Soumokil sebelumnya menjadi Menteri Kehakiman (Oktober 1947 – 27 Maret 1950) di NIT
  2. Pada pemilihan anggota DMS tahun 1948, Manusama bersaing di 2 “dapil” yaitu Pulau Ambon dan Saparua, dimana di kedua dapil ini, Manusama tidak lolos atau tidak mendapatkan suara yang cukup untuk duduk di DMS. Di dapil pulau Ambon, Manusama berada di urutan 9 pengumpul suara terbanyak dengan 2611 suara. Di Saparua, Manusama juga berada di urutan 9 dengan 1262 suara, ia bahkan “kalah” dari beberapa radja, misalnya W.J. Manuhuttu (Radja Haria – 2788 suara), Lambert Alberth Titaleij (Radja Saparua – 2552 suara), A.B. Latuconsina (Radja Pelauw – 2988 suara). Sedangkan Alex Nanlohy bersaing di 2 dapil yaitu Kota Ambon dan Saparua. Di dapil kota Ambon, Nanlohy mendapatkan 904 suara, sedangkan di Saparua, ia mendapatkan 416 suara.

§  Lihat, Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880 -1950), Leiden, 1990, hal 407-408 (appendix)

  1. Persatoean Timoer Besar (PTB) didirikan pada April 1946
  2. Thomas Nussy berpangkat Sersan, dan diketahui lahir di Ngawi (Jawa Timur) pada tahun 1917

§  Lihat Jusuf Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, Bulan Bintang, Jakarta, 1956,hal 142

  1. Ibrahim Ohorella, lahir di Tulehu pada 18 Agustus 1906. Ia menjadi Radja Tulehu sekitar antara tahun 1937 – 1942.
  2. Daniel Johannes Gaspersz lahir di Naku tahun 1892, menjadi Radja Naku sejak 10 Juni 1911.

 

REFERENCES

§   Bartels, D. 1977. Guarding the invisible mountain: Inter-village alliances, religious syncretism and ethnic identity among Christians and Moslems in the Central Moluccas. Ph.D. dissertation, Cornell University.

§   Chauvel, R. H. 1981. Stagnatie, exodus en frustratie: Econornische geschiedenis van Ambon van 1863 tot 1950. Intermediair (February). Amsterdam.
--- . 1985. The Rising Sun in the Spice islands: A history ofAmbon during the Japanese Occupation. Working Paper 37, Center of Southeast Asian Studies, Monash University.

§   Dames, G. W. T. 1954. Oom Ambon van her KNIL, s-Gravenhage.

§   Gent, L. F. van. 1924. Nederland-Ambon (1896-1921). Weltevreden: Balai Pustaka.

§   Knaap, G. J. 1987. Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde Oost-lndische Compagnie en de Bevolking van Ambon 1656-1696. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Yerhandelingen 125. Dordrecht.

§   Manusama, A. Th. 1919. Beknopt Geschiedenis der Vereeniging Ambonschestudiefonds, 1909-1919. Weltevreden.

§   Ouwerling, Ch. Chr. [H. J. Jansen]. 1932. Bestuursmemorie van den aftredenden Resident der Molukken, J930, mr. 169/1932. Politiek Verslag Residentie Amboina 1870. ANRI.

§   Schmidt, H. J. 1924. Memorie van Overgave van de afdeeling Amboina 1924. Section F, Koninklijk lnstituut voor Taal, Land- en Yolkenkunde. Leiden.

§   Residentie Amboina. 1880. Stand van de Zaken, Residentie Amboina, September 1880, mr. 349/1880.

§   Residentie Amboina. 1881. Stand van de Zaken, Residentie Amboina, April 1881
mr. 492/1881 '

§   Sandick, L. H. W. van. 1926. Memorie van Overgave den Gouverneur der
Molukken, mr. 2336/1926.

---. 1927 Gouverneurder Molukken, Nota van Bestuursbeleid, mr. 1464/1927.

§        Tausikal, A. and M. A. Hal im. 1951. De Islam in de Molukken. Culrureel Nieuws1ndonesie 2.

§        Volkstelling 1930. 1936. Batavia: Depanement van Economische Zaken.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar