Sabtu, 04 September 2021

Perdebatan Hukum Alam di Kepulauan Banda: Studi Kasus Persaingan Kekaisaran Inggris – Belanda di Hindia Timur, 1609–1621 (bagian 1)


Oleh

[Martine Julia van Itersum] 

A.      Kata Pengantar

                Penaklukan kepulauan Banda yang disertai dengan penghancuran populasi Banda oleh Jan Pieterszoon Coen atau VOC pada tahun 1621, jika dipandang dari perspektif kaum lokal atau pribumi, mungkin hanyalah tindakan arogansi dan kekejaman luar biasa dari kaum kolonialis. Namun jika dilihat lebih luas dan mendalam, ada faktor “internasional” yang turut memainkan perannya dalam tindakan kekejaman itu. Persaingan dua kekaisaran hebat di awal abad 17 yaitu Inggris dan Belanda, adalah pemicunya, dan masyarakat Banda menjadi korbannya. 

 

                Membaca artikel sepanjang 43 halaman yang memukau dari Martine Julia van Itersum, sarjana dari Universitas of Dundee, Inggris, ini kita akan memahami suatu persaingan dan ketegangan antara kedua emperium tersebut dalam memenangkan klaim masing-masing atas kepulauan Banda. Proses negosiasi di meja perundingan, perdebatan hukum internasional dari pakar “hukum internasional” dari masing-masing pihak, membuat kita mengerti bahwa sejarah kelam di kepulauan Banda, bukan sekedar hanya persaingan “anak kecil” memperebutkan mainan. Ada usaha-usaha legal yang berdasar pada hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak, agar penguasaan mereka nantinya atas kepulauan Banda, bersifat legalistik.

                Artikel yang berjudul Debating Natural Law in the Banda Islands : A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East-Indies 1609-1621  ini dimuat dalam jurnal History of European Ideas, nomor 42, issu 4, tahun 2016, pada halaman 459 – 501. Artikel ini terdiri dari 34 halaman kajian, 5 buah peta, 7 lukisan, dan 90 catatan kaki yang dipenuhi dengan sumber-sumber dan referensi yang sangat kaya. Menyadari manfaat dan pentingnya artikel “akademis” ini untuk dibaca, maka kami memberanikan menerjemahkan artikel yang “lumayan berat” ini. artikel terjemahan ini, kami membagi menjadi 3 bagian agar mudah untuk dibaca dan diikuti. Selain itu, kami menambahkan beberapa gambar ilustrasi untuk “melengkapi” ilustrasi yang telah ada, serta catatan tambahan jika dianggap perlu.

                Selamat membaca sejarah kita, semoga kita semakin belajar memahami sejarah kita dengan konteks yang lebih utuh dan paripurna, bukan sepotong-sepotong.

 

Lukisan ilustrasi pembantaian di Banda (1621)

B.      Terjemahan 

RINGKASAN

   Artikel ini membahas persaingan Inggris – Belanda di Kepulauan Banda, Hindia Timur pada periode 1609-1621, dengan fokus khusus pada proses saling klaim yang diprakarsai oleh VOC (Belanda) dan EIC (Inggris). Para sejarahwan telah sedikit memperhatikan justifikasi hukum yang tepat yang digunakan oleh organisasi-organisasi ini, dan bagaimana caranya mereka mempengaruhi hasilnya. Untuk kedua perusahaan, perjanjian dengan Penguasa dan Rakyat Asia sangatlah penting dalam mengusahakan klaim wilayah dan berdagang. Karena begitu banyak pihak berbeda yang terlibat, dokumen-dokumen dari masing-masing pihak harus “melayani” berbagai keperluan, baik di lapangan yaitu di Hindia Timur, maupun di meja perundingan di Eropa. Kapan pun seorang pejabat VOC atau EIC membuat perjanjian dengan seorang pemimpin Banda, dia harus mengenali struktur kekuasaan lokal di Kepulauan rempah-rempah, namun perlu juga mempertimbangkan pesaing bangsa Eropa lainnya di daerah itu, atasannya di Batavia atau Bantam (Banten) dan Direktur Perusahaan di Amsterdam atau London. Konsekuensinya, tindakan yang paling aman dan paling dapat diandalkan adalah membuat argumen sebanyak mungkin, serta menumpuknya di atas yang lainnya. Hasilnya adalah proses klaim yang secara inheren berantakan, namun salah satunya juga secara jelas dapat dipahami oleh sebagian besar pihak yang terlibat, termasuk Penguasa Asia dan masyarakatnya. Perubahan hukum yang secara konstan terus berubah dan diperluas hingga pada kebebasan perdagangan dan navigasi, kontrak-kontrak dan aliansi-aliansi dengan penduduk pribumi, peperangan, penaklukan, kepemilikan sesungguhnya serta penyerahan (yang dianggap) kekuasaan masyarakat pribumi kepada otoritas bangsa Eropa.

1.      Pendahuluan

                Terletak 2.000 km di timur Jawa, Kepulauan Banda – sekelompok 7 pulau kecil, termasuk satu gunung berapi, Gunung Api – sekarang menjadi wilayah terpencil yang terlupakan di Republik Indonesia. Dulunya, sangatlah berbeda. Selama berabad-abad, Kepulauan Rempah-rempah – yang berarti Maluku, Ambon dan Kepulauan Banda – adalah bagian dari jaringan perdagangan Asia yang menghubungkan pulau Jawa dengan Filipina dan Laut Cina Selatan. Pedagang dari pelabuhan di pantai utara Jawa, sering mengunjungi  kepulauan Banda secara teratur, bertukar beras dari Jawa dan tekstil dari anak benua Asia untuk pala dan bunga pala. Para pedagang itu juga “membawa” agama Islam. Seperti tempat lain di Asia Tenggara, perkembangan negeri juga lambat di kepulauan Banda. Konfederasi negeri saling bersaing, terutama Ulilima dan Ulisiwa. Para orang kaija (misalnya bangsawan, dengan kekayaan dari perdagangan) bertemu di pulau Nera untuk mengurangi konflik antar negeri dan melakukan negosiasi penawaran perdagangan. Meskipun orang-orang Banda berhasil “mempermainkan” pedagang-pedagang Jawa satu sama lain, mereka tetaplah sangat bergantung pada perdagangan rempah-rempah sebagai mata pencaharian mereka. Tidak banyak yang tersisa dari perekonomian nafkah hidup asli dari pulau itu, pada saat orang Eropa pertama tiba pada abad ke-161.

             Pala, bunga pala dan cengkih telah mencapai Eropa melalui pelabuhan di Timur Tengah sepanjang periode abad pertengahan. Salah  satu tujuan ekspansi Eropa ke Asia adalah untuk memotong pedagang muslim dan membangun hubungan dagang langsung dengan kepulauan rempah-rempah. Orang-orang Portugis adalah orang pertama yang mencapai Kepulauan Banda. Namun, mereka tidak dapat membangun kekuatan militer di sana, sangat berbeda jauh dengan di Maluku dan Ambon, tempat mereka membangun dan menempatkan pasukan di perbentengan. Portugis juga tidak mendapatkan hak spesial yang istimewa untuk berdagang di Kepulauan Banda, tetapi hanya berdagang dengan status yang sama seperti pedagang Jawa2

             Situasi di Kepulauan Banda berubah sepenuhnya ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) muncul di tempat itu. Penetrasi Belanda yang cepat di Asia Tenggara berjalan seiring dengan tindakan agresi terang-terangan terhadap pelayaran Portugis dan kaum pribumi. Pelayaran Pieter Willemszoon Verhoef (1573-1609) – yang dikenal sebagai pelayaran ke-4 VOC – sangat penting dalam menentukan keseimbangan kekuasaan di Kepulauan Banda. Untuk pertama kalinya, orang Banda harus menerima hadirnya militer Eropa di wilayah mereka. Benteng Belanda didirikan di Nera pada tahun 1609, di Pulo Way pada tahun 1616 dan di Banda Besar (juga dikenal dengan nama Lonthor) pada tahun 1621. Namun, penduduk pribumi tidak berniat menyerah tanpa melakukan perlawanan dan mengangkat senjata melawan VOC. Situasi yang sudah rumit semakin rumit dengan kehadiran para pedagang dan para pelaut yang dipekerjakan oleh English East India Company (EIC), yang ingin memajukan kepentingan perdagangan mereka sendiri sambil menyabot orang-orang Belanda yang merupakan rival mereka3.

             Mengingat taruhan yang tinggi, persaingan kekaisaran Inggris-Belanda di Kepulauan Banda pada periode 1609 hingga 1621 telah menarik perhatian yang terus menerus, tetapi sedikit di kalangan para sarjana. Bagi propagandis Inggris, peristiwa-peristiwa di Kepulauan Banda adalah bukti kejahatan VOC. Pada saat itu, pendeta Inggris, Samuel Purchas (1577 – 1626) menceritakan peristiwa dramatis tersebut dalam Hakluytus Posthumus atau Purchas His Pilgrimes (London, 1624/1625), sebuah tulisan puja-puji terhadap ekspansi Inggris di seberang laut. Karena tulisan tersebut mereproduksi banyak dokumen dari arsip-arsip EIC dan sejak dicetak ulang muncul pada tahun 1905 – 1907, cerita-cerita Purchas cenderung direplikasi dalam literatur Inggris modern, dan yang terbaru ada pada buku milik Giles Milton berjudul Nathaniel’s Nutmeg : How One Man’s Courage Change the course of History (1999)a. Namun berbahaya untuk memperlakukan Purchas His Pilgrimes sebagai fakta sejarah yang sederhana, seperti yang juga dimaksudkan oleh penulisnya menjadi karya propaganda anti-Katolik dan proto-nasionalis. Purchas His Pilgrimes pada faktanya adalah teks dasar tentang EIC. Salinan-salinan [nya] masih dikirim ke pos-pos dagangnya di Asia selambat-lambatnya di tahun 1680-an4


             Dalam literatur berbahasa Belanda, penaklukan brutal Kepulauan Banda oleh VOC telah terkait erat dengan reputasi Gubernur Jend VOC, Jan Pieterszoon Coen (1587-1629).  Dalam publikasi sumber multi-volume, arsiparis Belanda, J.K.J. de Jonge (1828 – 1880) tiba pada kesimpulan yang menentukan bahwa penaklukan Banda Besar oleh VOC/Belanda pada tahun 1621, telah meninggalkan “noda darah yang tak terhapuskan” pada reputasi Coen. J.A. van der Chijs (1831 – 1905), direktur Landsarchief di Batavia (sekarang Arsip Nasional Jakarta), menggemakan sentimen-sentimen ini dalam monograf pendeknya tentang pembentukan kekuasaan Belanda di Kepulauan Banda pada periode 1599 hingga 1621. Sejarahwan konservatif Belanda, C.Gerretson (1884 – 1958) adalah orang yang percaya pada imperialisme Belanda, dan muridnya, L.Kiers, yang membela pahlawan mereka, Coen, terhadap apa yang mereka anggap sebagai kritik tidak adil dari De Jonge dan Van der Chijs. Di Belanda yang diduduki Nazi, mereka menerbitkan 2 kajian singkat, yang mengklaim bahwa pembersihan etnis yang diikuti dengan penaklukan Banda Besar oleh Coen, semuanya sah menurut standar hukum Eropa abad ke-17. Mereka dengan mudah mengabaikan fakta bahwa catatan-catatan Belanda kontemporer yang telah menyesalkan “prosedur kejam” sang Gubernur Jend VOC itu. Penulis biografi Coen, Jurriën van Goor, mengambil pendekatan yang lebih adil daripada Gerretson. Dia (Van Goor) tidak meremehkan atau menyangkal keterlibatan Coen dalam pembunuhan dan kekacauan itu. Namun, ia menekankan strategi jangka panjang para Direktur VOC untuk mendapatkan monopoli perdagangan rempah-rempah, dan juga mengaitkan peristiwa dramatis tahun 1621 itu dengan perkembangan dalam politik internasional, seperti berakhirnya 12 Tahun Gencatan Senjata di Eropa dan hubungan yang tidak mudah VOC dengan EIC. Namun, pada dasarnya biografi yang merupakan naskah magister Van Goor ini, berfokus pada kehidupan dan karir Coen, daripada statusnya sebagai pegawai kompeni berpangkat tinggi yang berkontribusi pada perumusan dan implementasi kebijakan VOC. Coen hanya mengunjungi Kepulauan Banda sebanyak 2x, sebagai seorang pedagang yunior pada tahun 1609 dan sebagai Gub Jend VOC 12 tahun kemudian (1621). Kita ingin mengetahui apa yang terjadi dalam rentang tahun itu5.

             Kajian ini berfokus pada persaingan Inggris-Belanda di Kepulauan Banda, khususnya tentang bagaimana kedua pihak membenarkan [tindakan] ekspansi teritorial. Sejauh ini, sedikit perhatian diberikan pada klaim dan tanggapan klaim yang dibuat oleh para pegawai VOC dan EIC dalam upaya mereka untuk mengamankan perdagangan rempah-rempah, atau bagaimana pembenaran dari kekaisaran mempengaruhi hasil dari suatu peristiwa. Ini tidaklah mengejutkan. Sesuai sifatnya, persaingan kekaisaran Anglo-Belanda di Asia abad ke-17, memperlihatkan kepada kita kisah yang rumit, yang melibatkan banyak aktor, yang tidak memberikan ringkasan yang mudah. Lika-liku yang tak berujung, semua dicatat dengan cermat di arsip, yang berarti bahwa persaingan tidak dapat direduksi menjadi satu momen atau satu pun argumentasi. Kajian ini berfokus pada proses panjang pengklaiman atas Kepulauan Banda yang digunakan oleh kedua pihak itu dari tahun 1609 hingga 1621, dan berupaya menunjukan berbagai argumentasi yang digunakan oleh kedua belah pihak.

             Sementara Patricia Seed dan sarjana lain berpendapat bahwa klaim Eropa pada dasarnya tidak dapat dipahami oleh semua orang kecuali oleh kelompok nasional mereka sendiri, studi kasus saya tentang persaingan kekaisaran Anglo-Belanda di Kepulauan Banda, menunjukan hal sebaliknya. Baik pegawai VOC dan EIC membuat kontrak-kontrak dan perjanjian dengan penduduk pribumi, yang, pada gilirannya, mereka gunakan untuk menghadapi pesaing Eropa lainnya. Mereka secara rutin mengeluarkan ultimatum tertulis satu sama lain, mengancam melakukan tindakan kekerasan jika pihak lain gagal untuk membenarkan dugaan yang salah. Mereka membenarkan (potensi) penggunaan angkatan bersenjata dengan mengacu pada hierarki klaim yang tidak stabil, berdasarkan pada hukum alam – kebebasan perdagangan, kebebasan navigasi, kontrak-kontrak dan aliansi dengan penduduk pribumi, perang, penaklukan, kepemilikan, dan pengakuan (yang dipersepsikan) kekuasaan pribumi kepada otoritas Eropa. Tak satu pun dari hal ini yang seharusnya mengejutkan kita. Dalam artikel mereka di tahun 2010 yang berjudul “Acquiring Empire by Law”, Laura Benton dan Benjamin Straumann mengidentifikasi “reportoar umum upacara akuisisi dan kepemilikan” yang digunakan oleh berbagai kelompok Eropa. Seperti yang dicatat oleh Benton di artikel lain, sebagian besar pedagang dan pelaut Eropa yang terlibat dalam eksplorasi seberang laut, memiliki pemahaman yang  kasar dan telah jadi tentang berbagai mode penciptaan klaim. Tetapi meskipun pegawai VOC dan EIC mengakui keabsahan masing-masing argumen satu sama lain, mereka membangun hierarki klaim yang sangat berbeda. Masing-masing pihak menyatakan menyajikan argumen yang lebih kuat dari yang lainnya6

             Ada korelasi yang erat antara perubahan situasi di lapangan di kepulauan Banda pada periode 1609-1621 dan penciptaan klaim dari pejabat VOC dan EIC. Yang paling krusial, perjanjian-perjanjian dibuat dengan penduduk pribumi dan perubahan tertulis antara pegawai kompeni, menghubungkan mereka dengan meja negosiasi kembali di Eropa. Tentu saja, ini adalah lalu lintas dua arah. Kesepakatan tercapai di London (tahun 1613) dan Den Haag (tahun 1615) dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan dan konflik di Asia. Seringkali, ternyata tidak seperti itu. Salah satu faktor penting adalah bagaimana hasil negosiasi diplomatik di Eropa dianalisis dan disajikan dalam korespondensi direktur dengan pegawai mereka di Timur. Faktor penting lainnya adalah diskusi di dalam lingkaran dalam, terutama di antara para petinggi di Asia. Baik VOC maupun EIC tidak berbicara dengan satu suara. Sudah menjadi fakta untuk dikatakan, bahwa mereka bertindak baik sebagai perusahaan dagang maupun sebagai negara. Untuk alasan ini saja, seharusnya tidak mengejutkan bagi kita, bahwa catatan arsip mengungkapkan perdebatan kebijakan yang tidak berkesudahan. Kita perlu menganggap serius perdebatan ini, jika kita ingin menulis sejarah baru kekaisaran, dan memahaminya bagaimana persisnya penduduk pribumi itu ditaklukan. Seperti yang ditulis Tamar Herzog, adalah merupakan kesalahan untuk menggambarkan persaingan imperial antara kekuatan-kekuatan Eropa seperti memisahkan konfrontasi antara kekuatan-kekuatan Eropa dan penduduk pribumi dan dari konflik-konflik di antara berbagai kelompok pribumi. Proses-proses ini saling mempengaruhi dan harus dipelajari bersama-sama7.

             Orang-orang Banda adalah korban dari persaingan kekaisaran Anglo-Belanda di Asia para periode 1609-1621. Terperangkap dalam spiral kekerasan, ruang gerak mereka berkurang dengan cepat. Mengharapkan bantuan para pegawai EIC dan penguasa pribumi di tempat lain (misalnya penguasa Ternate, Makassar dan Bantam, antara lain) tidak dihiraukan sama sekali atau tidak memiliki efek yang diinginkan, juga karena perpecahan internal di antara orang-orang Banda. Jika ada “jalan tengah” di kepulauan Banda (misalnya, keseimbangan antara penduduk pribumi dan kekuatan Eropa), itu hanya bisa ada sesaat di tahun 1610-an. Kombinasi racun dari peperangan dan pembuatan perjanjian, melucuti kebebasan dan kemerdekaan orang-orang Banda. Dari sudut pandang orang Eropa, perjanjian dengan masyarakat pribumi tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi perjanjian antara [pihak] yang setara. Mengutip Herzog, perjanjian-perjanjian adalah “intrumen-instrumen penahanan” yang bertujuan untuk mewujudkan “penaklukan segala hal yang pribumi”. Bahkan bantuan Inggris untuk melawan agresi Belanda, sangat mahal bagi orang-orang Banda sendiri : menurut perjanjian yang mereka buat dengan Nathaniel Courthope pada bulan Desember 1616, mereka tidak hanya berjanji pada EIC untuk semua rempah-rempah yang dipanen di Pulo Run untuk selama-lamanya, tetapi juga menyerahkan pulau itu kepada James I dari Inggris, dan menempatkan diri mereka di bawah perlindungan yang terakhir sebagai “jajahan” James I. Itu semua sia-sia. Karena tidak memiliki dukungan EIC yang memadai, permainan telah dimulai bagi para penduduk Pulo Run, saat Coen tiba pada Februari 1621, memimpin 16 kapal perang dan hampir seribu tentara8.

             Penaklukan brutal atas Banda Besar oleh Coen, adalah kebenaran yang menyakitkan bagi banyak sejarahwan global masa kini, yang ingin mengaitkan agensi dengan masyarakat pribumi melalui berbagai bentuk “negosiasi” dan “perlawanan” kekaisaran. Namun, perbedaan kekuatan antara orang Eropa dan kelompok penduduk pribumi tertentu di Asia dan Amerika, adalah sesuatu yang kita abaikan. Pada saat itu, banyak orang Banda jelas meremehkan tekad VOC untuk mengamankan monopoli perdagangan rempah-rempah dan sumber daya luar biasa Coen terhadap pemerintah yang lemah dan terisolasi. Tentu saja, ada banyak wilayah di dunia pra-modern, dimana orang Eropa berjuang untuk menancapkan kakinya – tetapi kepulauan Banda bukanlah salah satu dari wilayah-wilayah seperti itu9.

             Ekspedisi hukuman Coen mengakibatkan kehancuran total masyarakat Banda. 48 orangkaija ditangkap, diadili dan dieksekusi atas perintahnya. Kerabat mereka – hampir 800 pria, wanita, dan anak-anak – dikirim ke Batavia (Jakarta), markas VOC di Asia, tempat mereka dipekerjakan sebagai budak. Pada akhirnya, hanya ada sekitar 1000 penduduk asli tersisa di kepulauan Banda. Seperti yang telah terjadi setelah penaklukan Pulo Way (Ai) pada tahun 1616, tanah subur di Banda Besar dibagi menjadi beberapa plot yang disebut perken dan didistribusikan di antara penyewa Eropa. Banyak dari mereka yang disebut perkenier ini adalah bekas serdadu VOC. Bersama dengan pejabat kompeni, mereka akan membentuk lapisan elit masyarakat baru kolonial selama berabad-abad selanjutnya. Dalam menanam dan memanen rempah-rempah yang berharga, mereka bisa memanfaatkan tenaga kerja budak yang besar, diimpor oleh VOC dari seluruh penjuru Asia. Penaklukan yang dilakukan Belanda, kemudian, menandai terobosan mendasar dengan masa lalu10


             Penciptaan klaim Belanda dan Inggris di kepulauan Banda, dan bagaimana pengaruhnya terhadap hasil dari suatu peristiwa, adalah subjek dari kajian ini. Argumentasi saya (penulis), terutama didasarkan pada arsip dan sumber cetak yang diterbitkan pada masa itu. Tiga set dokumen sangat penting adalah : catatan harian atau jurnal milik Courthope dan dokumen-dokumen lain yang direproduksi dalam Purchas His Pilgrimes; surat-surat dari berbagai pejabat VOC, seperti Cornelis Dedel dan Laurens Reael yang masih ada/tersimpan di Arsip Nasional di Den Haag; perubahan-perubahan tertulis antara Courthope dan pemerintah Belanda di kepulauan Banda, yang masih tersimpan di Arsip Nasional di Kew. Saat dibaca bersama-sama, dokumen-dokumen ini memberikan wawasan tunggal ke dalam dinamika persaingan Inggris-Belanda di kepulauan Banda. Literatur-literatur  sekunder yang lebih tua (dalam bahasa Inggris dan Belanda) cenderung mengabaikan apa yang dikatakan para aktor di lapangan tentang apa yang mereka lakukan. Namun ada hubungan yang jelas antara pemikiran dan tindakan – antara bagaimana pegawai-pegawai kompeni mengkonseptualisasikan klaim untuk perdagangan dan wilayah dan bagaimana mereka mewujudukannya. Banyak sejarahwan Inggris yang melakukan penelitian tentang EIC, tidak mahir berbahasa Belanda, dan karenanya tidak dapat berkonsultasi dengan arsip-arsip VOC yang sangat kaya. Seringkali, pemahaman mereka terhadap pemeriksaan-pemeriksaan dan kesengsaraan dari EIC agak sepihak. Menggunakan sumber-sumber bahan dari sumber Belanda dan Inggris, tujuan saya adalah untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang menonjol ini dalam literatur-literatur sekunder.

             Dalam menganalisis persaingan Anglo-Belanda di kepulauan Banda, kajian ini berfokus pada titik api utama di periode 1609-1621, yang dimulai dengan kematian secara kekerasan komandan VOC, Pieter Willemszoon Verhoef. Semua tanggal yang disebutkan dalam kajian ini merupakan bentuk gaya baru, terkecuali yang disebutkan sebaliknya.

2.     Pembunuhan Komandan VOC di Kepulauan Banda

             Pada April 1608, para Direktur VOC mengirim 1 set instruksi baru kepada komandan mereka, Pieter Willemszoon Verhoef (c. 1573 – 1609), yang telah pergi ke Hindia Timur enam bulan sebelumnya, memimpin 9 kapal dan 3 kapal pesiar (yachts). Para direktur berusaha untuk mengamankan kepentingan perusahaan (VOC) di kepulauan rempah-rempah, mengantisipasi perjanjian damai atau gencatan senjata antara Republik Belanda Philip III dari Spanyol dan Portugis. Komandan VOC diminta untuk menegosiasikan kembali semua perjanjian yang ada antara VOC dan penguasa Asia dan rakyatnya, dan untuk mengembalikan /mengirim salinan perjanjian baru ke Amsterdam dengan segera. Para direktur mendesak Verhoef untuk membangun benteng-benteng Belanda, di manapun dia bisa, untuk meyakinkan masyarakat pribumi tentang hal-hal berikut :

      Kami akan selalu tetap dalam persahabatan yang baik dengan mereka dan tidak pernah bergabung dengan pihak lain, tetapi selalu melindungi mereka melawan kesalahan Portugis, sepanjang itu ada di dalam kekuatan kita11        

             Perbentengan juga berfungsi sebagai jaminan untuk kepentingan komersial perusahaan. Para direktur mencatat bahwa benteng adalah bukti bahwa “kami memiliki sesuatu, bukan Spanyol dan Portugis”. Mereka datang dengan hak perdagangan eksklusif. Seperti yang dikatakan para direksi :

Di tempat-tempat utama dimana kami membuat persahabatan dan aliansi, kami sarankan agar anda membangun benteng dengan persetujuan masyakat pribumi, agar kami dapat mengamankan tempat-tempat ini dan mempertahankannya sebagai milik kami, menjaga perdagangan mereka untuk kami sendiri dan bukan termasuk Portugis dan semua yang lain.

Seperti yang dicatat oleh Benton dan Straumann, kepemilikan yang sebenarnya adalah gagasan yang menarik untuk penjelajah dan pedagang Eropa untuk mengklaim sesuatu. Daripada harus memiliki gelar, lebih cukup untuk menunjukan bahwa mereka memiliki klaim yang lebih baik daripada pesaing Eropa lainnya. Untuk waktu yang lama, para Direktur VOC menghargai gagasan bahwa perusahaan bertindak sebagai pelindung penduduk pribumi Hindia Timur, setelah membebaskan mereka dari “penindasan” kaum Iberia (Portugis dan Spanyol). Para direktur ingin percaya bahwa masyarakat pribumi dengan bebas menyetujui pendirian benteng VOC dan garnisun tersebut, sebagai imbalan persetujuan penduduk pribumi, sekali lagi dengan kehendak bebas mereka sendiri, untuk menjual rempah-rempah mereka secara eksklusif kepada VOC untuk selamanya. Tentu saja, faktanya sangat berbeda, khususnya di kepulauan Banda, dimana penduduk pribumi berusaha untuk “mengadu” VOC dan EIC satu sama lain12

             William Keeling (1577/78 – 1620), laksamana dari pelayaran ketiga EIC (1607-1610), berpartisipasi dalam perdagangan cepat dengan berbagai desa di Banda Besar, Pulo Way (Ai) dan Pulo Run, pada saat Verhoef tiba di perairan Neira pada awal April 1609. Orang-orang Banda menunjukan sedikit antusiasme terhadap perjanjian perdagangan – cum – perdagangan eksklusif yang diingin oleh para direktur VOC. Mereka dengan enggan menyetujui pendirian benteng Belanda di Neira, karena takut kalau-kalau Verhoef akan melakukan kekerasan. Menurut Keeling, orang Banda berpikir sejenak untuk beralih ke Inggris untuk meminta bantuan. Dalam percakapan dengan Sabandar Neira, dia menyatakan dukungannya untuk tujuan asli dan menyarankan “pengiriman resmi dari Banda, untuk digunakan, dan atas nama Paduka Inggris yang mulia, penguasa kami, sebelum orang Belanda tiba, atau memulai pendirian benteng yang mereka inginkan”13. Meskipun tidak ada hasilnya, proposal Keeling menciptakan sebuah pola bagi keterlibatan Inggris dalam perselisihan antara VOC dan orang Banda untuk tahun-tahun selanjutnya.

             Posisi Keeling menjadi berbahaya ketika terjadi pertikaian antara Belanda dan orang Banda. Pada akhir April, Verhoef dan anak buahnya mendarat di Pulau Neira, mengusir penduduk pribumi di sana, dan memulai pendirian benteng Nassau. Sebulan kemudian, Verhoef menerima undangan dari orang Banda untuk menegosiasikan perjanjian baru, dan atas permintaan mereka, pergi ke tempat pertemuan tanpa pengawalan tentaranya seperti biasa. Komandan VOC itu menuju ke dalam perangkap : dia disergap dan dibunuh di hutan, bersama beberapa anggotanya (Breed Raad). 40 orang Belanda menemui nasib yang sama di hari-hari berikutnya. Pengganti Veroef, Simon Janszoon Hoen, segera menyatakan perang untuk membalas pembunuhan rekan senegaranya. Konflik meningkat membuat Keeling dicurigai di mata teman dan lawan. Hoen secara terbuka menuduh Keeling berbagi informasi sensitif dengan orang-orang Banda, dan juga menjual senjata dan amunisi, yang, dalam pandangan Hoen, menyumbang perlawanan keras yang dihadapi Belanda di berbagai desa di Banda Besar. Keeling menerima ultimatum pada akhir Juli : dia diberi waktu 5 hari untuk menyelesaikan urusannya dan meninggalkan kepulauan Banda, tetapi akan dikompensasikan untuk setiap hutang yang masih beredar di antara pelanggan pribuminya14.

              Ultimatum Hoen memunculkan gagasan jus conquestus dan kepemilikan aktual. Sejak serdadu-serdadu VOC menaklukan pulau Neira, dan sejak komandan VOC memperoleh hak dari Maurice of Nassau, seorang pangeran yang berdaulat menurut haknya sendiri, Hoen yakin dia berhak untuk mengatur perdagangan dan navigasi di perairan sekitar Neira. Menurut aturan-aturan Eropa Barat untuk perang pengepungan, adalah sah untuk melarang tindakan netral dari zona perang. Seperti yang dikatakan Hoen :

Kami, melalui komisi kami, dan hak paten dari Yang Mulia (Maurice of Nassau), memerintahkan Generall (Keeling) untuk menyingkirkan kapalnya dari jalan kami,dari armada kami, dan tanpa komando dari Artileri Fortresse of Nassau, dalam waktu 5 hari setelah tanggal perjanjian ini. Dan karena kita telah menaklukan, dengan kekuatan angkatan bersenjata, pulau Neira, seperti kita juga yakini, dan menguasai jalan/rute yang kami atur, seperti  rute Labataca dan lainnya untuk tunduk di bawah perintah kami : dan tidak akan mengizinkan yang lain (pada saat kami berperang dengan orang Banda) untuk berlabuh di sana.

Keeling membantah bahwa dia telah melakukan kesalahan, dan mengecam ultimatum itu karena mengandung “banyak ketidakbenaran”. Namun dia terpaksa mempertimbangkan kembali tawaran Hoen tak lama kemudian. Ketika dia belajar bahwa akan dibutuhkan 25 hari lagi bagi penduduk Pulo Way untuk mengirimkan satu kargo pala, dan, dia menyadari bahwa, jika dia menunggu selama itu, dia mungkin tidak bisa mencapai Bantam (Banten), dimana angin muson timur hampir berlalu. Segalanya seperti mengikuti keinginan VOC : pada 10 Agustus 1609, penduduk pribumi menandatangani perjanjian damai dengan Belanda, sementara Keeling menerima surat kredit, “untuk tanda terima hutang saya yang tersisa di Banda”. Orang Inggris itu meninggalkan kepulauan 4 hari kemudian, dan tak pernah kembali lagi15.

             Dalam menandatangani perjanjian ini, Hoen mengaku telah menyepakati perjanjian dengan “yang terhormat orangkaya dari semua pulau, kota, dan perkebunan di seluruh kepulauan Banda”. Kenyataannya, orangkaya Pulo Way dan Pulo Run bukan pihak yang setuju. Kelompok penentang VOC dari Banda bertekad untuk melanjutkan perlawanan mereka di Pulo Way dan Pulo Run, dimana mereka melarikan diri, misalnya dari Neira. Perjanjian baru itu, memang memenuhi persyaratan direktur VOC, setidaknya di atas kertas. Penduduk pribumi sekarang diwajibkan untuk menjual seluruh hasil panen pala dan fuli secara khusus untuk VOC. Jika mereka ingin membeli beras dari pedagang Jawa, mereka perlu mendapatkan persetujuan sebelumnya dari Gubernur Belanda di kepulauan Banda, yang akan terlaksana jika para pedagang sepakat untuk :

a.   Berlabuh di perairan dekat benteng Nassau

b.  Menjual ke VOC semua rempah-rempah yang didapat dari orang Banda.

Menurut perjanjian itu, Neira telah ditaklukan secara total “dengan alasan pembunuhan laksamana Verhoef” dan sekarang dimiliki “secara abadi dan merupakan warisan” oleh Dewan Legislatif, Pangeran Maurice dan para Direktur VOC. Namun, hanya butuh kedatangan David Middleton (wafat, 1615) pada bulan Februari 1610 untuk menghancurkan perdamaian yang lemah itu di kepulauan Banda. Middleton meyakinkan orang Banda bahwa armada Inggris akan datang untuk membebaskan mereka dari Belanda, sehingga memicu pemberontakan lain, yang dengan cepat berubah menjadi perang saudara16.

3.     Usaha Gerard Reynst mencegah perdagangan EIC di kepulauan Banda, dengan referensi khusus pada Konferensi Kolonial Inggris-Belanda tahun 1613

                Semakin putus asa, para penentang VOC dari Banda terus mengimbau kepada Inggris untuk membantu. Pada bulan Juli 1614, Benjamin Farie menulis kepada direktur EIC bahwa orangkaya Pulo Way mengeluh kepada penguasa Makassar tentang “penindasan dan kekejaman Belanda”, tetapi juga tentang kurangnya dukungan EIC, berbeda dengan janji “penguasa anda” yang dibuat untuk mereka oleh Jenderal Keeling dan Kapten Middleton. Farie melaporkan bahwa angin dan arus yang merugikan, telah mencegah kapal-kapal Inggris dan junk-junk Jawa untuk berlayar ke kepuluan Banda tahun itu. Dia menduga, dan cukup benar, bahwa akan berakibat kelaparan17

                George Ball dan George Cockayne lebih beruntung mencapai kepulauan Banda tahun berikutnya. Di pertengahan Maret 1615, kapal Concord dan Speedwell berlabuh di perairan dekat benteng Nassau. Dua pedagang Inggris dengan cepat menyadari bahwa mereka telah tiba “di mulut iblis atau lebih jahat lagi”. Tujuh kapal bertiang tinggi juga berlabuh di perairan Neira. Meskipun penandatangan 12 Tahun Gencatan Senjata, VOC terus mengirim armada yang kuat ke Hindia Timur, secara agresif mengejar monopoli perdagangan rempah-rempah. Dan sementara EIC gagal membangun rantai komando yang jelas di Asia – setiap pelayaran tetap bagian yang terpisah – para Direktur VOC memfokuskan operasi-operasi seberang laut mereka dengan menciptakan lembaga Gubernur Jenderal, yang tentu saja, mencontohi, Viceroy Portugis di Goa. Semua pegawai VOC di Asia harus mematuhi Gubernur Jend dan Dewan Hindia (Raad van Indie).  Adalah Gubernur Jend VOC, Gerard Reynst (1568 – 1615), bekas Direktur VOC dan keturunan dari keluarga bangsawan yang berpengaruh (yaitu patrician/patriciaat) di Amsterdam, yang menunggu Ball dan Cockayne di benteng Nassau. Meskipun sopan, Reynst bertekad untuk mencegah perdagangan antara Inggris dan penduduk pribumi. Empat bulan sebelumnya, dia sudah mengambil keputusan untuk menaklukan Pulo Way dan membangun sebuah benteng di sana. Ball secara eksplisit diberitahu untuk tidak mendarat di salah satu kepulauan Banda, terkecuali Neira, “dimana berdiri kastil mereka”. Reynst terbukti benar seperti kata-katanya. Ball mencatat dalam surat-suratnya bahwa “ ditahan oleh kapal mereka kapan pun aku berusaha mendarat di tempat lain”18.

                Dalam situasi ini, perdagangan dengan penduduk pribumi menyuarakan kombinasi chutzpa dan akal-akalan. Coykayne merinci dalam suratnya per Juli 1615, tiga hari setelah kedatangan mereka, Ball dan dia mengunjungi desa Lonthor di Banda Besar untuk “berunding” dengan orangkaya tentang pendirian pos dagang Inggris. Karena tidak semua orangkaya hadir, tidak ada perjanjian yang bisa dibuat pada kesempatan itu. Ketika kedua orang ini melakukan upaya lain beberapa hari kemudian, Reynst –yang tidak diragukan lagi mendapat angin dari pertemuan pertama – campur tangan dan mengundang mereka ke benteng Nassau. Ball menolak undangan itu, tetapi mengirim Cockayne sebagai gantinya19.

                Ketika Cockayne muncul di benteng Nassau, ia mendapati Reynst dan dewannya duduk di sebuah panjang “dengan banyak tulisan di depan mereka, seolah-olah semua urusan di Belanda ada di sana untuk diputuskan”. Meja tersebut dipenihi dengan salinan-salinan kontrak Belanda dengan orang-orang Banda serta surat-surat dari para Direktur VOC, termasuk sebuah laporan, yang ditulis oleh Hugo Grotius, pada Konferensi Kolonial Inggris-Belanda pertama di London pada bulan April dan Mei 1613. Kemungkinan besar, Reynst telah diberi pengarahan tentang negosiasi antara VOC dan EIC, tepat sebelum dia meninggalkan Republik Belanda pada awal Juni 1613. Dia secara eksplisit merujuk pada negosiasi tersebut dalam percakapannya dengan Cockayne20.  

                Gubernur Jend memulai pembicaraan dengan menuntut untuk melihat komisinya Cockayne. Ketika Cockyane menolak, Reynst menjadi marah, berdiri, dan “mengibaskan kertasnya di muka [Cockyane]”, mencela Ball dan dia sebagai “penjahat dan bajingan”. Selain itu, Reynst mengklaim bahwa James I dari Inggris telah memihak VOC pada konferensi di London. Dia jelas tahu bahwa James I, turun tangan untuk menengahi secara langsung antara 2 perusahaan dagang pada audiensi perpisahan delegasi Belanda pada akhir Mei 1613. Pada kesempatan itu, Sir Thomas Smythe (1558-1625) telah meminta izin bagi EIC untuk berdagang di kepulauan Banda dengan persyaratan yang sama dengan pedagang Inggris di Holland dan Zeeland. Namun, James I telah setuju dengan para negosiator Belanda, bahwa, kecuali VOC yang menikmati pendapatan substansial dari perdagangan rempah-rempah, tidak bisa diharapkan membayar  untuk mempertahankan kepulauan rempah-rempah – sebuah skenario yang, menurut catatan pihak kerajaan/raja, hanya akan menguntungkan Spanyol dan Portugis. Seperti Reynst katakan, James I telah “membungkam” Smythe, dan mengakui bahwa VOC “memiliki semua hak yang mungkin [......] ke tempat-tempat di Banda ini”. Gubernur Jend dapatlah dimaafkan karena telah menyimpulkan bahwa VOC menikmati “lebih banyak kebaikan dari Yang Mulia daripada EIC sendiri”. Cockyane menjawab dengan lemas, bahwa nasib sial EIC “bergoyang di rumahnya sendiri”. Bagaimanapun, dia tidak takut pada kemarahan Reynst. Hanya beberapa malam kemudian, Ball dan dia berhasil menyelinap pergi ke Neira, dan tiba di Pulo Way21.

                Pada saat mereka tiba di pulau itu, Ball dan Coykayne mendaratkan pinnace mereka, menurunkan barang dagangan mereka dan mulai berdagang dengan orang Banda. Namun, penduduk Pulo Way ternyata adalah negosiator yang tangguh. Ball dan Cockayne ingin mendirikan pos dagang Inggris di pulau itu, lebih daripada hanya “melabuhkan kapal”. Diduga, bunga pala (fuli) membanjiri pasar di Eropa, dan bisa jadi diperoleh “secara murah di Inggris” seperti layaknya di Asia. Namun, orang Banda tidak ingin seperti demikian. Ball dan Cockayne diperintahkan untuk “mengikuti cara kapten Keelinge”, dan membayar dengan harga yang sesuai sehingga “menguntungkan [orang Banda”. Penduduk Pulo Way juga tidak ingin orang Inggris tetap tinggal tanpa batas waktu, tetapi “mengirim dan pergi” seperti layaknya para pedagang Jawa. Masalahnya belum terselesaikan saat Ball dan Cockyane berangkat dengan kapal Concord pada akhir April 1615. Mereka pergi meninggalkan Richard Hunt dan Sophony Cozucke (Sophonias the Cossack), nakhoda kapal Speedwell. Pada pertengan Mei, pasukan Belanda mendarat di Pulo Way, tetapi diusir kembali oleh penduduk pribumi. Apakah serangan, pada akhirnya meyakinkan bahwa kehadirang Inggris yang permanen akan menjadi ide yang baik???. Ketika kapal Speedwell berangkat pada September 1615, yang terisi penuh dengan pala dan bunga pala, Hunt tetap tinggal untuk melanjutkan perdagangan dengan orang Banda22.

                Orangkaya dari Pulo Way juga ada di kapal Speedwell. Dia membawa surat dari “negara-negara utama” Pulo Way, Pulo Run dan Neira, yang ditujukan kepada “Jenderal Keeling, dan pemimpin utama Inggris di Bantam”. Surat itu tiba dengan selamat pada John Jourdain (1572 – 1619), President pos dagang Inggris di Bantam/Banten. Para penulis [surat] itu menentang kehadiran Belanda di tanah mereka, dan meminta bantuan kepada James I, sesuatu yang sudah disarankan Keeling pada tahun 1609. Mereka mengaku telah mendengar  bahwa “dengan cinta dan kedamaian, Raja Inggris memiliki seluruh dunia”. Karena James I tidak terbiasa menyerang negara lain, tetapi memerintahkan rakyatnya untuk terlibat dalam perdagangan damai, mereka ingin mengadakan perjanjian dengannya.  Mereka takut bahwa Belanda –mereka adalah “haram jadah” dan “benar-benar musuh”- akan menaklukan tanah mereka dan menghancurkan agama mereka. Mereka memohon kepada James I untuk mengatur pengiriman “bubuk mesiu, minuman keras, kain dan beras”, dan membantu mereka “merebut benteng Nera “ (yaitu benteng Nassau). Sebagai imbalannya, mereka berjanji untuk menjual rempah-rempah mereka secara eksklusif kepada Inggris, asalkan Inggris tidak akan berusaha untuk “menggulingkan agama kita” atau “berniat mengganggu wanita-wanita kita”. Permohonan itu tidak jatuh di telinga yang tuli. Pada Januari 1616, Jourdain memutuskan untuk mengirim 4 kapal ke kepulauan Banda, dibawah komando Samuel Castleton. Ball dan Sophonias juga ikut dalam ekspedisi itu23.

====== bersambung ====

Catatan Kaki

1.        Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, 14501680, 2 vols (New Haven, CT, 1988), I, 1131, 9096, II, 161, 11473; Ashin Das Gupta, The Maritime Trade of Indonesia, 15001800, in India and the Indian Ocean, 15001800, edited by Ashin Das Gupta and M. N. Pearson (Oxford, 1987), 24075; Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen: De VOC en de bevolking van Ambon, 16561696 (second edition, Leiden, 2004).

2.       John Villiers, Trade and Society in the Banda Islands in the Sixteenth Century, Modern Asian Studies, 15 (1981), 72350; Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: A History of the East Indian Archipelago (Cambridge, MA, 1944), 6890.

3.       Hof en Handel: Aziatische Vorsten en de VOC, 16201720, edited by Elsbeth Locher-Scholten and Peter Rietbergen (Leiden, 2004); De Verenigde Oost-Indische Compagnie Tussen Oorlog en Diplomatie, edited by Gerrit Knaap and Ger Teitler (Leiden, 2002); Giles Milton, Nathaniels Nutmeg: How One Mans Courage Changed the Course of History (London, 1999); Vincent C. Loth, Armed Incidents and Unpaid Bills: Anglo-Dutch Rivalry in the Banda Islands in the Seventeenth Century, Modern Asian Studies, 29 (1995), 70540; John Keay, The Honourable Company: A History of the English East India Company (New York, NY, 1993); George Masselman, The Cradle of Colonialism (New Haven, CT, 1963); K. N. Chaudhuri, The English East India Company: The Study of an Early JointStock Company 16001640 (New York, NY, 1965); William Foster, Englands Quest of Eastern Trade (London, 1933).

4.       David Armitage, ‘Purchas, Samuel (bap. 1577, d. 1626)’, in Oxford Dictionary of National Biography, 2007, http://www.oxforddnb. com/view/article/22898 [accessed 18 August 2015]; Samuel Purchas, Hakluytus Posthumus or Purchas his Pilgrimes, Contayning a History of the World in Sea Voyages and Lande Travells by Englishmen and Others (Hakluyt Society extra series), 20 vols (Glasgow, 1905–1907); Milton, Nathaniel’s Nutmeg; Philip J. Stern, The Company-State: Corporate Sovereignty & the Early Modern Foundations
of the British Empire in India
(Oxford, 2011), viii, 71, 107.

5.       De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië, edited by J. K. J. de Jonge, 13 vols (The Hague, 1862–1909), IV, lxi, cxliii; J. A. van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsche Gezag over de Banda-eilanden, 1599–1621 (Batavia, 1886). On J. K. J. de Jonge and J. A. van der Chijs, see Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, edited by P. J. Blok and P. C. Molhuysen, 10 vols (Leiden, 1911–1937), IV, columns 815–16, X, columns 171–72; L. Kiers, Coen op Banda: de conqueste getoetst aan het recht van den tijd (Utrecht, 1943); C. Gerretson, Coens Eerherstel (Amsterdam, 1944); G. Puchinger, ‘Gerretson, Frederik Carel (1884–1958)’, in
Biografisch Woordenboek van Nederland, edited by J. Charité; I. Schöffer; A. J. C. M. Gabriëls et alii, 6 vols. (The Hague: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis, 1979-2009); ‘Rapport van Personen Komende uit Oost-Indie, 1622’ and ‘Verhaal van Eenige Oorlogen in Indië, 1622’, in Kroniek van het Historisch Genootschap gevestigd te Utrecht XXVII (1871), 321–39 (criticism of the harsh treatment of Bandanese prisoners in Jakarta in 1621 on p. 329), 497–576, 583–658 (criticism of the beheading of Bandanese orangkayas in 1621 on p. 511); Jurriën van Goor, Jan Pieterszoon Coen, 1587–1629: Koopman-Koning in Azië (Amsterdam, 2015), 433–66. ‘Rapport van Personen Komende uit Oost-Indie, 1622 [Account from several people who arrived in Amsterdam
from the East Indies in 1622]’ and ‘Verhaal van Eenige Oorlogen in Indië [History of several wars in the Indies]’ are extant in the Van Hilten files at the Utrecht provincial archives. The States of Utrecht received a scribal copy of the ‘Rapport’ on 3 November 1622. Both documents contain offhand comments suggesting that the author(s) was/were (a) high-ranking VOC servant(s) who had returned to the Dutch Republic quite recently. He/they compiled the reports on the basis of his/their own experiences in Southeast Asia and conversations with VOC personnel who had returned to the Dutch Republic after he/they did. The author of ‘Verhaal van Eenige Oorlogen in Indië’ warned that the events of 1621 might result in a lot of bad press for the VOC
What, after all, was the difference between Spanish tyranny in the West Indies—so frequently denounced in the war propaganda of the Dutch Republic—and Coen’s bloodstained rule in the Banda Islands?

6.       Patricia Seed, Ceremonies of Possession: Europe’s Conquest of the New World, 1492–1640 (Cambridge: CUP, 1995) p. 179, 13; Martine Julia van Ittersum, Profit and Principle: Hugo Grotius, Natural Rights Theories and the Rise of Dutch Power in the East Indies, 1595-1615, Brill Intellectual History Series (Leiden: Brill Academic Publishers, 2006) pp. 359-483; Lauren Benton and Benjamin Straumann, ‘Acquiring Empire by Law: From Roman Doctrine to Early Modern European Practice’, Law and History Review 28 (2010) pp. 1-38, particularly pp. 30-31; Legal Pluralism and Empires, 1500-1850 ed. Lauren Benton and Richard J. Ross (New York and London: New York University Press, 2013); Lauren Benton, A Search for Sovereignty: Law and Geography in European Empires, 1400-1900 (CUP, 2010) and Law and Colonial Cultures: Legal Regimes in World History, 1400-1900 (CUP, 2002). Adam Clulow, “The Art of Claiming: Possession and Resistance in Early Modern Asia,” American Historical Review 121 (1), Feb. 2016, 17–38. Justifications of empire by the Dutch and English East India Companies have become a hot topic in the historiography. See, for example, Peter Borschberg, ‘From Self-Defence to an Instrument of War: Dutch Privateering around the Malay Peninsula in the Early Seventeenth Century’, Journal of Early Modern History 17 (2013) pp. 35-52, Hugo Grotius, the Portuguese, and Free Trade in the East Indies (NUS Press, 2011) and The Singapore and Melaka Straits: Violence, Security and Diplomacy in the 17th Century (NUS Press, 2010); Adam Clulow, ‘The Art of Claiming: Possession and Resistance in Early Modern Asia’, The Company and the Shogun: The Dutch Encounter with Tokugawa Japan (New York: Columbia University Press, 2014) and ‘European Maritime Violence and Territorial States in Early Modern Asia, 1600-1650’, Itinerario, 33 (2009) pp. 72-94; Jan A. Somers, De VOC als volkenrechtelijke actor (Kluwer, 2002); Mercantilism Reimagined: Political Economy in Early Modern Britain and Its Empire ed. Philip J Stern and Carl Wennerlind (OUP, 2014); Philip Stern, ‘Corporate Virtue: The Languages of Empire in Early Modern British Asia’, Renaissance Studies 26 (2012) pp. 510–530 and The Company-State: Corporate Sovereignty and the Early Modern Foundations of the British Empire in India (OUP, 2011); Robert Travers, ‘A British Empire by Treaty in Eighteenth-Century India’ in Saliha Belmessous (ed.), Empire by Treaty: Negotiating European Expansion, 1600-1900 (OUP, 2015) pp. 132-160; Arthur Weststeijn, ‘”Love Alone Is Not Enough”: Treaties in Seventeenth-Century Dutch Colonial Expansion’ in: Belmessous (ed.), Empire by Treaty pp. 19-44, and ‘The VOC as a Company-State: Debating Seventeenth-Century Dutch Colonial Expansion’, Itinerario 38 (2014) pp. 13-34; E. Wilson, The Savage Republic: De Indis of Hugo Grotius, Republicanism and Dutch Hegemony within the Early Modern World-System, c.1600-1619 (Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, 2008).

7.       Tamar Herzog, ‘Struggling over Indians: Territorial Conflict and Alliance Making in the Heartland of South America (Seventeenth to Eighteenth Centuries)’, in Empire by Treaty, edited by Belmessous, 78–100 (78). See also Van Ittersum, Profit and Principle, 359–483; Van Goor, Coen, 115–17, 143–47, 151–84, 416–20, 433–66

8.       Herzog, ‘Struggling over Indians’, in Empire by Treaty, edited by Belmessous, 78–79; Purchas, Hakluytus Posthumus, V, 181–83; Masselman, Cradle of Colonialism, 417–22; Van Goor, Coen, 433–66.

9.       On indigenous peoples ‘negotiating’ and ‘resisting’ empire, see, for example, Clulow, ‘The Art of Claiming’; Empire by Treaty, edited by Belmessous; Native Claims: Indigenous Law against Empire, 1500–1920, edited by Saliha Belmessous (Oxford, 2012); Mark Meuwese, Brothers in Arms, Partners in Trade: Dutch-Indigenous Alliances in the Atlantic World, 1595–1674 (Leiden, 2012). In their contributions to Empire by Treaty, Alain Beaulieu, Tamar Herzog, Daniel Richter, and Robert Travers are far less sanguine about the natives’ ability to resist or negotiate empire than the editor, Saliha Belmessous, seems to be in her introduction. Adam Clulow emphasises Bandanese legal resistance against the Dutch. He shows how, through both treaty texts and indigenous ceremonies, certain Bandanese groups successfully manipulated the English into supporting them against the VOC. Clulow recognises, however, that the English put their own spin on the treaty texts, and tended to overstate their case in negotiations with the VOC. The VOC repaid the compliment, of course: it routinely over-interpreted its treaties with indigenous rulers and peoples, if doing so served its own interest; see Clulow, ‘The Art of Claiming’; Alain Beaulieu, ‘The Acquisition of Aboriginal Land in Canada: The Genealogy of an Ambivalent System (1600–1687)’, in Empire by Treaty, edited by Belmessous, 101–131; Herzog, ‘Struggling over Indians’, in Empire by Treaty, edited by Belmessous; Robert Travers, ‘A British Empire by Treaty in Eighteenth-Century India’, in Empire by Treaty, edited by Belmessous, 132–160; Daniel K. Richter, ‘To “Clear the King’s and Indians’ Title”: Seventeenth-Century Origins of North American Land Cession Treaties’, in Empire by Treaty, edited by Belmessous, 45–77.

10.     Van Goor, Coen, 433–66; Philip Winn, ‘Slavery and Cultural Creativity in the Banda Islands’, Journal of Southeast Asian Studies, 41 (2010), 365–89; Vincent C. Loth, ‘Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in the 17th Century’, Cakalele, 6 (1995) 13–35; H. E. Niemeijer, ‘“Als eene Lelye onder de doornen”: Kerk, kolonisatie en christianisering op de Banda-eilanden 1616–1635’, Documentatieblad voor de Geschiedenis van de Nederlandse Zending en Overzeese Kerken I (1) (1994), 2–24; Williard A. Hanna, Indonesian Banda: Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands (Philadelphia, PA, 1978). In 1638, slaves constituted approximately two thirds of the population of the Banda Islands. Inevitably, a degree of racial mixing occurred, with perkeniers routinely marrying slave women. Although a steady trickle of slaves escaped to other nearby archipelagos, marronage never threatened colonial society in the Banda Islands. At the end of the eighteenth century, there were over four thousand slaves in the archipelago, constituting three quarters of the population.

11.      The Hague, Nationaal Archief (henceforth NA), VOC 478, f. 4r (instructions for VOC commanders and officers in the East Indies, 10/11 April 1608). See also De Reis van de Vloot van Pieter Willemsz Verhoef naar Azie, 1607–1612, edited by M.E. van Opstall, 2 vols. (The Hague, 1972) 6. All translations are my own.

12.     NA, VOC 478, f. 1v, 2v (all quotations are taken from this source); Benton and Straumann, ‘Acquiring Empire by Law’ 16–17

13.     Purchas, Hakluytus Posthumus, II, 530-531 (all quotations taken from this source); J. K. Laughton, ‘Keeling, William (1577/8–1620)’, rev. G. G. Harris, Oxford Dictionary of National Biography, Oxford University Press, 2004; online edn, Jan 2008 [http://www. oxforddnb.com/view/article/15243, accessed 6 March 2014].

14.     De Reis van de Vloot van Verhoef, edited by Van Opstall, 94–105, 267–69; Purchas, Hakluytus Posthumus, II, 534–39.

15.     Purchas, Hakluytus Posthumus II, 539–544 (quotations on 540, 542); De Reis van de Vloot van Verhoef, edited by Van Opstall 101; S. Groenveld, Verlopend Getij: De Nederlandse Republiek en de Engelse Burgeroorlog 1640-1660 (Dieren, 1984). Maurice of Nassau (1567–1625) became sovereign Prince of Orange on the death of his eldest half brother, Philip William, Prince of Orange (1554–1618). Yet he had been appointed Stadtholder of Holland and Zeeland well before that. The provinces that made up the Dutch Republic effectively treated Maurice of Nassau as his father’s direct successor. Consequently, he had signed (privateering) commissions for Dutch merchants and navy captains since the 1580s. See, for example, Victor Enthoven, Zeeland en de
opkomst van de Republiek: handel en strijd in de Scheltedelta c. 1550–1621 (Luctor et Victor, 1996). In all probability, Keeling dismissed the ultimatum because it was too truthful to his taste. It may well have included a summary of the depositions of VOC personnel, detailing his arm sales to the Bandanese. Copies of these depositions are still extant in the Grotius Papers at the NA: Supplement I, f. 229–230 (‘Copy of a Declaration of Master Dirick Allerts’, 22 February 1612, which mentions Keeling explicitly), f. 389-392 (VOC petition, addressed to Dutch States General, 28 July 1612), f. 588–604 (extract from letters arrived from the East,
prepared by VOC director Dirk Meerman, 26 August 1612). Keeling was fortunate enough to have Purchas as his editor: “[t]hen followed many presumptions of his assistance of the Bandanese, by English Powder and Munition, by signes, &c. which I omit", see Purchas, Hakluytus Posthumus, II, 542.

16.     Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum: verzameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten, van privilegebrieven aan hen verleend, enz., edited by J. E. Heeres and F. W. Stapel, 6 vols (The Hague, 1907–1955), I, 66–69; De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië, edited by De Jonge, III, 315–16; Van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-eilanden, 51; Geschiedenis van Nederlands Indië, edited by F. W. Stapel, 6 vols (Amsterdam, 1939), III, 72–73; Foster, England’s Quest of Eastern Trade, 203–05; Van Goor, Coen, 106–11.

17.     Letters Received By The East India Company From Its Servants In the East [hereafter EIC Letters], edited by Willam Foster, 6 volumes (London, 1896–1902; reprinted Amsterdam, 1968), II, 78 (Benjamin Farie to the EIC, written at Patani, 26 July 1614 o.s.)

18.     EIC Letters, III, 286 (George Ball to John Jourdain at Bantam, 24 June 1615 o.s.); see also Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, edited by P. A. Tiele and J. E. Heeres, 3 vols (The Hague, 1886–1895), I, xv (resolution taken by the Governor-General and the Councillors of the Indies, 15 November 1614); Van Goor, Coen 116; A.J. van der Aa, Biographisch Woordenboek der Nederlanden, 21 vols. (Haarlem, 1852–1878), VI, 217–218.

19.     EIC Letters, III, 140–141 (George Cockayne to Sir Thomas Smythe, 16 July 1615 o.s.).

20.    EIC Letters, III, 141; Geschiedenis van Nederlands Indië, edited by Stapel, III, 94–95; W. J.M. van Eysinga and G. N. Clark, The Colonial Conferences between England and The Netherlands in 1613 and 1615, 2 vols., Bibliotheca Visseriana XV and XVII (The Hague, 1940–1951); British Library, London, Additional Manuscripts 12.498 fol. 1r–19r. The Dutch negotiators returned to The Hague from London on 31 May 1613 and reported orally to the Dutch States General that same day. Grotius put together the written report for the Dutch States General, including detailed accounts of oral conversations with James I. The VOC directors must have received copies of the report. Did they forward one to Reynst, who departed from Texel on 2 June 1613? Jurriën van Goor suggests in his biography of Coen that the Amsterdam VOC director Reinier Pauw briefed Van Reynst in person about the negotiations with the EIC. See Van Goor, Coen 227–28, 272–75 and Van Eysinga and Clark, Colonial Conferences I, annex 46, especially 145, 147.

21.     EIC Letters, III, 141; Van Eysinga and Clark, Colonial Conferences, I, 145–46, II, 61–62, 74–78; Van Goor, Coen, 272–75; Basil Morgan, ‘Smythe, Sir Thomas(c.1558–1625)’, in OxfordDictionary of National Biography, 2008, <http://www.oxforddnb.com/view/article/25908> [accessed 13 March 2014].

22.    EIC Letters, III, xxxiv, 142 (Cockayne to Smythe, 16 July 1615 o.s.), 286 (Ball to John Jourdain, 24 June 1615 o.s.); Foster, England’s Quest of Eastern Trade, 202–05, 262–63; Geschiedenis van Nederlands Indië, edited by Stapel, III, 95; Van Goor, Coen, 247.

23.    The Register of Letters etc. of the Governour and Company of Merchants of London trading into the East Indies ed. George Birdwood and William Foster (London, 1893) pp. 492-493 (“A Letter from the Governour and all the principall states of the Iland Banda called Puluway Puluroone and Nera sent vnto generall Keelinge and the principall ffactor of the English at Bantam,” s.d.); EIC Letters, III, 294 (Sophony Cozuck to the East India Company, Bantam, 21 December, 1615 o.s.); John Jourdain, The Journal of John Jourdain, 1608–1617, Describing His Experiences in Arabia, India, and the Malay Archipelago, edited by William Foster (Cambridge, 1905), 328–29; Foster, England’s Quest of Eastern Trade, 262–63; J. K. Laughton, ‘Jourdain, John (c.1572–1619)’, in Oxford Dictionary of National Biography, 2008, <http://www.oxforddnb.com/view/article/15141> [accessed 6 March 2014]; Clulow, ‘The Art of Claiming’ 31–32

Catatan Tambahan

a.  Buku Giles Milton ini telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia dengan judul Pulau Run : Magnet Rempah-rempah Nusantara yang ditukar dengan Manhattan, diterbitkan oleh Penerbit Alvabet, Juni 2015 (cetakan 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar