Selasa, 14 September 2021

Tiworo dalam Bentang Laut Perang Rempah-rempah


 [Jennifer L. Gaynor] 

A.         Kata Pengantar

Perang Besar Ambon atau Groot Ambonsche Oorlogen dalam literatur VOC yang terjadi pada paruh kedua abad ke-17, menjadi pentas bagi banyak figur dan kelompok untuk terlibat. Mungkin dalam pemahaman kita yang terbatas, perang mengenaskan itu hanya melibatkan orang Maluku dan kaum kolonialis, yaitu Belanda. Pada faktanya, tidaklah demikian. Faktanya, orang-orang Ambon juga “meminta” bantuan dari pihak lain, yaitu orang-orang Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan untuk turut terlibat dan membantu perjuangan mereka melawan Belanda. 

 

Melalui kajian dari Jennifer L. Gaynor yang berjudul Tiworo in the Seascape of the Spice Wars ini, sang penulis menyampaikan keterlibatan orang-orang Makasar, lebih tepatnya orang-orang Sama atau orang “Bajo”. Gerrit Knaap sendiri dalam artikelnya juga sudah memberikan informasi tentang keterlibatan orang Makasar dalam perang dimaksud.

Dengan membaca artikel kita, minimal kita seharusnya mulai memahami untuk mengetahui sejarah kita sendiri, diperlukan pengetahuan yang lebih meluas, melampaui persoalan kesejarahan yang bersifat lokal saja. Sejarah “lokal” kita terbentuk dan terpengaruh oleh berbagai aktor dari luar. Dengan memahami demikianlah kita bisa mengetahui sejarah lokal kita dengan lebih kontekstual.

Artikel dari Jennifer L. Gaynor ini dimuat pada jurnal Bulletin de l’Ecole francaise d’Extreme-Orient. Tome nomor atau volume 103, tahun 2017, hal 237 – 256. Artikel sepanjang 20 halaman ini terdiri dari 16 halaman kajian, 4 halaman bibliografi, 48 catatan kaki, dan 3 gambar ilustrasi, berupa 2 peta dan 1 gambar.

Pada artikel hasil terjemahan ini, kami hanya menambahkan beberapa gambar ilustrasi untuk melengkapi ilustrasi yang telah ada. Akhir kata selamat membaca, sehingga kita lebih luas dalam memahami sejarah yang membentuk kita.  

B.         Terjemahan

Abstrak

Dibingkai oleh 2 konflik abad ke-17, Perang Besar Ambon dan Perang Makassar, artikel ini menunjukan bagaimana masyarakat Asia Tenggara yang berorientasi maritim memainkan peran yang lebih luas di negara-negara kepulauan, dan dalam aliansi dengan mereka, daripada yang telah ditunjukkan sebelumnya. Para pemimpin SAMA yang memegang pos-pos penting di Makassar, sementara “negara” 2 alam di selat Tiworo, pusat maritim non-perkotaan, menjadi titik tumpu perang rempah-rempah di bentang laut. Meskipun dihancurkan oleh pasukan VOC dan sekutunya, Ternate, pada tahun 1655, selama belasan tahun kemudian Tiworo dibangun kembali. Berhubungan erat dengan Makassar, kebangkitan Tiworo terkait dengan kampanye ekspansi  kembali Makassar di timur Nusantara. Ancaman terhadap kepentingan Belanda ini kembali membuat Tiworo menjadi perhatian VOC pada tahun 1667, menyebabkan Tiworo dihancurkan. Oleh karena itu, kali ini penduduknya diselamatkan dari penangkapan dan pembantaian, Arung Palakka melindungi perahu-perahu mereka dan mengangkat 60 laki-laki Tiworo menjadi pengawal Komandan Utamanya. Selain menguraikan fungsi praktis Tiworo dalam dinamika maritim, peranannya  bagi Sultan Hasanuddin dan tuduhan sebagai bajak laut oleh VOC, artikel ini menunjukan bahwa perpindahan kesetiaan pasukan Tiworo dari Makassar ke Bone segera mendahului bangkitnya pelabuhan terakhir, Bajoe, sebagai pusat kosmopolitan

Sistem perdagangan, pertukaran budaya antar wilayah, migrasi, dan komunitas diaspora telah mendapatkan pertimbangan substansial dalam kajian tentang Asia Tenggara dan wilayah laut di sekitarnya. Namun, para pelaut Asia Tenggara, serta sistem politik dan sosial tempat mereka menjadi bagiannya, masih tampak begitu kabur. Artikel ini membahas koneksi dan interaksi khususs di sepanjang dan antar pantai, serta pergeseran hubungan antara orang-orang yang berorientasi maritim dan kekuatan tertentu di Celebess (Sulawesi), untuk berkontribusi pada pemahaman yang lebih jelas tentang bagaimana dinamika maritim abad ke-17 di Asia Tenggara berinteraksi dengan politik dan masyarakat “maritim”. 

Selama abad ke-17, jaringan masyarakat Asia Tenggara yang berorientasi maritim – “masyarakat laut” – bersekutu erat dengan keluarga penguasa di darat. Mereka memegang posisi-posisi jabatan itu di wilayah tersebut, dan juga memimpin lebih banyak pemerintahan “2 alam” yang berfokus pada pesisir. Misalnya, pada tahun 1660-an dan 1670-an, para pemimpin SAMA atau Papuq, kadang-kadang memegang jabatan penting Harbormaster atau Kepala Pelabuhan (Sabannarag dalam bahasa Makasar, Syahbandar dalam bahasa Melayu) di Makassar. Tepat sebelum serangan ke Makassar pada tahun 1667 oleh VOC dan sekutunya, Pangeran Bugis yang terkenaal dari Bone yang memimpin sekutu tersebut, Arung Palakka, mempersenjatai dan mengangkat 60 orang dari Tiworo yang setengahnya untuk menjadi pengawal Komandan Utamanya. Tiworo, dengan perahu dan pelautnya yang terampil, sebelumnya merupakan sekutu setia Makassarr. Terletak di perairan terlindung selat Tiworo dan di sepanjang perimeternya, pusat maritim non-urban yang diperkuat ini menyediakan surga bagi kapal-kapal yang berlayar di bawah kekuasaan Makasar, dan area pertempuran untuk konflik di timur jauh. Posisi tingkatan dan aliansi ini menunjukan bahwa meskipun orang-orang laut Asia Tenggara sering dianggap tidak tidak memiliki kewarganegaraan, mereka mengambil bagian yang lebih langsung dalam kepentingan negara daripada hanya menyediakan pelabuhan, patron-patron, dan penguasa dengan karunia laut dan rampasan di wilayah pesisir (peta 1)1

Melalui posisi-posisi kepemimpinan maritim dan penguasaan situs-situs geografis utama di pesisir, seperti Tiworo, masyarakat laut juga memainkan peran penting dalam menentang upaya Eropa untuk mendominasi perdagangan rempah-rempah. Berdasarkan arsip-arsip VOC dan manuskrip-manuskrip Sulawesi, pemahaman baru tentang manusia laut dalam dinamika regional ini menambah revisi narasi sejarah dunia yang menggambarkan perang rempah-rempah sebagai konflik di antara kekaisaran-kekaisaran dagang Eropa yang saling bersaing. Namun, pandangan masa lalu maritum yang disajikan disini lebih dari sekadar mengubah narasi Eurosentris. Baik di dalam kajian ini maupun di buku saya Intertidal History in Islanda Southeast Asia : Submerged Genealogy and the Legacy of Coastal Capture, saya menunjukan bagaimana sumber-sumber Eropa dan Asia yang kurang dimanfaatkan untuk membuka jendela ke masa lalu maritim Asia Tenggara, menawarkan pandangan yang menunjukan pentingnya tempat manusia laut dalam dinamika politik, perdagangan, masyarakat pesisir, dan kerjasama militer. Di satu sisi, hal ini membantu mengintegrasikan masa lalu kepulauan dalam kerangka yang lebih luas dari sejarah maritim Asia bersama dengan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Di sisi lain, dengan menelaah keterlibatan masyarakat laut dalam jaringan nusantara dari politik dan kekerabatan, karya ini menunjukan bahwa masyarat pesisir secara tegas tidak bermarkas di kota-kota2.

                Kajian kesarjanaan tentang Asia Tenggara modern awal kurang menekankan pada perang rempah-rempah sebagai persaingan antara kerajaan dagang, dan lebih menekankan pada pengkajian bagaimana agen perusahaan Eropa membentuk aliansi dengan pemerintah lokal untuk mendapatkan rempah-rempah dengan harga murah, terutama cengkih dan pala, dan untuk menundukan mereka yang menentang tujuan ini. Aspek maritim non-Eropa dari perang rempah-rempah hanya mendapat sedikit perhatian, kecuali kajian Gerrit Knaap tentang ekspedisi-ekspedisi hongi di Maluku, di ujung timur jauh yang kini jadi bagian Indonesia. Dia menjelaskan bagaiman penguasa-penguasa Eropa, pertama Portugis dan kemudian Belanda, memasukan praktik penyerangan maritim dari hongi, yang sebelumnya dilakukan oleh federasi kepala-kepala suku Maluku, ke dalam gudang senjata kolonial untuk pembalasan hukuman terhadap petani rempah-rempah. Knaap juga menyajikan data dari sumber-sumber Belanda tentang seberapa dukungan, dalam hal tenaga kerja dan amunisi, yang diterima petani rempah-rempah Maluku dari Makassar selama konflik di pertengahan 1650-an yang dikenal sebagai Perang Besar Ambon3

Artikel ini menyajikan satu kerangka baik Perang Besar Ambon dan Perang Makassar untuk menunjukan bagaimana selat Tiworo membentuk titik tumpu dalam bentang laut perang rempah-rempah. Meskipun dihancurkan dengan banyak keberuntungan oleh pasukan VOC dan sekutu Ternate-nya pada tahun 1655, selama belasan tahun berikutnya Tiworo dibangun kembali. Kebangkitannya terkait dengan aksi perluasan kembali Makassar di kepulauan timur. Suatu ancaman bagi Belanda, perluasan kembali Makassar berkontribusi pada keputusan Laksamana VOC, Cornelis Speelman, untuk menyerang pelabuhan Makassar itu sendiri, namun hanya setelah mengalahkan Tiworo untuk kedua kalinya pada tahun 1667. 


Sultan Hasanuddin dari Makassar membenarkan aksi-aksi kapalnya selama tahun-tahun perang, dengan menjelaskan bahwa kebutuhannya untuk mempertahankan klaimnya atas tanah yang dipermasalahkan adalah hasil dari serangan Ternate di wilayah “Pancana” Makassar. Pancana yang juga dikenal dalam sumbernya dengan varian-varian “Pantsiano” dan “Pangesene”, kini dikenal sebagai pulau Muna. Ternate dan Makassar memiliki persaingan yang sudah berlangsung lama. Sejak tahun 1580 ketika Ternate melakukan serangan ke wilayah Muna dan Buton, pengaruh Ternate telah menurun. Bersekutu dengan VOC selama Perang Besar Ambon memberi Ternate kesempatan untuk menuntut klaimnya atas pemerintahan di daerah itu, termasuk Tiworo. Namun, hingga tahun 1667, dunia “amphibi” di selat Tiworo tetap bersekutu erat dengan Makassar, yang telah melalui fase penyerangan pada awal abad itu4. Pembahasan di bawah ini menjelaskan mengapa penyebutan Pancana oleh Sultan Hasanuddin bukan merujuk pada Muna secara keseluruhan, melainkan kepada Tiworo, yang mana termasuk bagian barat laut pulau. Wilayah yang paling menonjol dan paling kuat pemerintahannya pada saat itu, Tiworo diserang pada tahun 1655 oleh Ternate bersama dengan VOC. Kajian ini menempatkan Tiworo dalam bentang laut perang rempah-rempah, dan membahas mengapa “sarang bajak laut yang jahat itu”, seperti yang dikatakan Speelman, sangat penting bagi Sultan Hasanuddin sehingga alasannya untuk perluasan kembali terletak pada pembalasan terhadap Tiworo5. 

Masyarakat pesisir

                Pelabelan kolonial kepada orang laut sebagai “bajak laut”, adalah suatu julukan yang mengingkari legitimasi mereka, juga menempatkan mereka secara diskursif di luar batas negara. Penggambaran mereka sebagai pengembara laut atau gipsi laut, baik dalam literatur kolonial maupun ilmiah, juga menempatkan mereka sebagai bergerak dan tanpa batas, yang seharusnya berada di luar jangkauan otoritas politik. Namun, seperti disinggung di atas, sumber-sumber menunjukan bahwa selama abad ke-17, orang Asia Tenggara yang berorientasi maritim, seperti Sama (disebut oleh orang lain sebagai “Bajo” atau “Bajau”), adalah bagian dari masyarakat yang hidup, saling berhubungan secara politik dan secara sosial masyarakat laut yang kompleks6. Oleh karena itu, kemunculan mereka dalam sumber-sumber periode, berbeda dari penggambaran orang laut sebagai periferal. Selama periode modern awal, mereka tidak berada di pinggir dari negara, politik, atau perang. Sebaliknya, apa yang disebut pinggiran, hanyalah berupa sebidang wilayah.

                Banyak sarjana, bahkan dalam sejarah maritim, bekerja di bawah apa yang pakar wilayah Atlantik, Marcus Rediker sebut sebagai bias terracentric, yaitu serangkaian asumsi yang berbasis darat tentang suatu tempat7. Demikian pula – dengan beberapa pengecualian penting – banyak ahli tentang maritim Asia Tenggara benar-benar telah gagal8. Pendekatan saya, hanyalah salah satu cara dari banyak cara yang mungkin untuk mengatasi terracentrism ini, yang berarti menyimpang bukan dari daratan, melainkan meluncurkan, seperti yang dilakukan orang-orang, dari zona intertidal itu sendiri – area di antara air pasang tinggi dan air surut terendah. Pendekatan ini berkontribusi pada kerangka kerja di Asia Tenggara yang tertarik pada bagaimana orang-orang yang berorientasi maritim, mempertahankan interkoneksi, di antara mereka sendiri dengan orang lain, pada skala yang berbeda, baik di kawasan pesisir non-perkotaan maupun ke pusat-pusat perkotaan9. Dengan demikian pendekatan ini memiliki kesejajaran dengan beberapa kajian baru-baru ini di daerah dataran tinggi di kawasan Asia Tenggara, namun juga diganggu oleh ketegangan antara idealisasi romantis yang bertahan lama dan fakta-fakta kontras yang didukung oleh sumber-sumber tersebut10.

                Peluncuran dari pesisir membawa fokus interaksi yang terbentang di sepanjang garis pantai, serta di antara pantai yang jauh. Model hubungan hulu-hilir dari Bennet Bronson yang terkenal dalam sistem politik Asia Tenggara berguna di sini. Sementara itu, menekankan bagaimana perdagangan dan formasi pemerintahan disusun secara spasial di sepanjang cabang sungai, sistem politik seperti itu juga disusun secara sosial oleh aliansi di antara segmen yang berbeda dari kelompok garis keturunan. Pierre-Yves Manguin dengan elegan menunjukan melalui kajian sumber-sumber sastra dan efigrafi, bagaimana pemerintahan pesisir yang belum terbentuk menggunakan istilah-istilah geografi sungai untuk memposisikan diri mereka secara sosial dan spasial dalam kaitannya dengan yang dianggap sebagai pemerintahan yang lebih rendah di hulu. Charles Wheeler dan Li Tana, masing-masing telah membahas bagaimana daerah aliran sungai (DAS) paralel di Vietnam dihubungkan dan terkdang dipisahkan oleh rute pesisir (gambar 1)11. Apa yang saya usulkan hanya didasarkan pada kajian-kajian ini, dan memperluasnya lebih jauh ke ranah maritim. 

                Karena hubungan yang terstruktur serupa tidak hanya berhenti di pelabuhan hilir, saya sarankan untuk mengubah struktur riparian ini untuk memahami organisasi hubungan politik yang membentang di sepanjang dan di antara pantai di kawasan itu. Dengan kata lain, ambillah bentuk dendritik sungai dan cabang-cabangnya, yang sebelumnya digunakan untuk menggambarkan hubungan pedalaman di Asia Tenggara, dan putar dari konteks geografis tepiannya sehingga sekarang menjangkau ruang maritim untuk menyentuh zona intertidal lainnya. Mengubah struktur dendritik aliansi politik dan sosial dari tepi sungai ke geografi intertidal, memberikan model untuk memahami hubungan dan kesinambungan hubungan, melintasi ruang maritim antara berbagai tempat pesisir.

Melakukan hal itu, juga melengkapi seseorang secara analitis untuk menimbang jangkar dan mengikuti kapa-kapal untuk melihat sejarah kepulauan dari laut. Namun, untuk benar-benar memperhitungkan kapal apa yang terhubung, secara historis, memerlukan pemfokusan ulang perhatian pada hal-hal maritim pada sumbernya. Apa yang ditunjukan oleh sumber-sumber tentang kompleksitas interaksi sosial intertidal, memerlukan pengenalan formasi multi etnis, dimana orang mungkin tidak berharap menemukannya, dan memperbaiki gambaran tentang bagaiman mereka bekerja dalam praktik12. Analisis semacam itu bukannya tanpa preseden, sebagai contoh, contoh bagus yang dibuat oleh Heather Sutherland, dan oleh James Warren dan muridnya, Esther Velthoen, yang mengarungi perairan bersejarah yang keruh, untuk mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh beberapa orang di kawasan maritim itu13.

Dalam pandangan berikut tentang hubungan Tiworo dengan Makassar dan Boné, kerajaan yang bermusuhan di Sulawesi Selatan pada abad ke-17, saya menggunakan 3 jenis sumber : sumber-sumber berbahasa Makassar, terutama sejarah dan kronik terbitan 2 kerajaan Makassar, yaitu Gowa dan Talloq; sumber-sumber berbahasa Bugis yang diturunkan melalui keturunan elit Sama; dan arsip-arsip VOC. Sumber-sumber Makassar menunjukan bahwa orang Sama merupakan bagian dari lingkaran dalam masyarakat Makassar, memegang posisi otoritas di bawah penguasanya, sambil melayani, kadang-kadang secara bersamaan, dalam posisi kepemimpinan Sama. Sumber arsip menawarkan bukti baru yang menggambarkan mengapa Tiworo disebut sebagai “sarang bajak laut yang jahat”, dan 2 kali menjadi sasaran VOC dan sekutunya selama abad ke-17. Arsip tersebut juga menunjukan bahwa Tiworo adalah sekutu intim Makassar, dan terlebih lagi menunjukan bahwa hubungan dekat secara historis antara Sama dan orang Bugis, berakar pada masuknya sekelompok besar orang Tiworo ke dalam jajaran teratas militer Boné. Sumber-sumber berbahasa Bugis, yang diwarisi melalui keturunan Sama, menawarkan bukti warisan panjang hubungan dekat itu, dan bagaimana hubungan itu diingat kembali dalam memori sejarah.

Apa yang membuat Tiworo cukup penting untuk dijadikan sasaran oleh VOC dan sekutunya selama 2 perang pada abad ke-17 ini, atas kendali perdagangan rempah rempah, yaitu Perang Besar Ambon dan Perang Makassar, terutama mengingat letaknya yang begitu jauh dari setiap wilayah utama konflik???. Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin akan membantu untuk menempatkan aliansi Makassar dengan Tiworo dalam perspektif, dengan terlebih dahulu memahami hubungan Makassar dengan Sama yang berorientasi maritim yang lebih dekat ke wilayah itu, dan bagaimana mereka sangat penting untuk upaya-upaya maritimnya (peta 2). 

Orang Papuq bukanlah mitos

                Orang-orang Sama yang terkemuka sangat terlibat dalam politik dan masyarakat Makassar. Seperti halnya di tempat lain, di Sulawesi modern awal dan di wilayah yang lebih luas, hubungan dalam dan antar politik biasanya dibentuk atau diperkuat melalui perkawinan. Sementara signifikansi Tiworo dan bagaimana menghubungkan perang ini dapat ditunjukan tanpa menunjukan hubungan keluarga, hubungan kerabat mungkin ada di antara keluarga penguasa yang bersekutu ini, dan akan menambah alasan mengapa Sultan Hasanuddin menawarkan alasannya untuk perluasan kembali dalam hal menanggapi penyerangan Tiworo tahun 1655 selam Perang Besar Ambon. Sulit untuk membuktikan hubungan kerabat langsung dari genealogi kerajaan, karena “Tiworo” yang sering diterjemahkan menjadi “Tibore” dalam sumber-sumber Belanda abad ke-17, pada dasarnya diwakili secara ortografis dengan cara yang sama seperti “timboroq”, yang berarti “timur”. Oleh karena itu, “ri Tiworo” dalam bahasa daerah dapat dengan mudah (salah) diartikan sebagai “di timur”, daripada “di Tiworo”. Namun demikian, sumber-sumber Belanda pada serangan tahun 1655 itu menggambarkan kedekatan keluarga Tiworo dengan penguasa Makassar, dan keluarga dekat pada umumnya memiliki hubungan kerabat. Misalnya, selama abad ke-16 dan ke-17 adalah hal yang biasa bagi para penguasa atau kepala distrik-distrik terpencil milik Ternate, untuk memberikan putri ke istana Ternate untuk menjadi istri kerajaan. Serupa dengan itu, di Makassar, pengalihan kendali atas distrik-distrik terpencil seringkali dilegitimasi dengan perkawinan antara putri raja yang ditaklukan dan raja Gowa atau salah satu putranya. Seperti halnya di tempat lain di Nusantara, anak perempuan dan saudara perempuan yang berstatus sama dinikahkan dengan laki-laki dengan status/derajat yang sama dari negara tetangga untuk mengamankan aliansi dengan mereka.14;

Lukisan Perang Makassar

                Adanya hubungan kekerabatan antara garis keturunan Sama dan Makassar yang terkemuka di Makassar sendiri, juga akan membuat kita berharap menemukan hubungan serupa antara pelaut elit Tiworo dan keluarga penguasa Makassar. Betapa menonjolnya Sama di Makassar menjadi sesuatu yang mengejutkan. Hebatnya, sosok “papuq”, atau lebih tepatnya saya katakan, “para figur”, karena yang kita bicarakan lebih dari satu, ternyata bukan hanya khayalan mitos atau legenda, melainkan sejarah yang sebenarnya. Istilah papuq, gelar bahasa Samalang untuk seorang pemimpin Sama, jarang muncul dan dengan historisitas yang meragukan dalam literatur ilmiah hingga saat ini15. Namun demikian, kronik Makassar, yang oleh para ahli dianggap sebagai sumber yang cukup dapat dipercaya, mencantumkan 3 orang Papuq yang hidup selama masa akhir abad ke-17 itu dan awal abad ke-18. Bukan berarti orang-orang ini sama sekali tidak dikenal, namun, tampaknya posisi mereka sebagai pemimpin Sama tidak diperhatikan oleh pengamat kontemporer. Penyebutan mereka dalam kronik menunjukan bahwa mereka berada di level teratas dalam struktur politik Makassar. Juga dianggap sebagai bagian dari lingkaran sosial Makassar, kronik mencatat peristiwa-peristiwa besar dalam hidup mereka atau anak-anak mereka, seperti pernikahan seorang putri, I Saenaq, dengan I Daeng Manassaq, dan kelahiran anak mereka. Namun, dimasukannya Papuq dalam Kronik Makassar tidak serta merta berarti bahwa mereka dipilih menjadi Papuq oleh penguasa Makassar. Sebaliknya, kronik mencatat bahwa setelah Papuq Daeng Numalo meninggal pada 12 Maret 1703, I Daeng Makulle Ahmad “dilantik sebagai Papuq oleh keluarganya” pada 12 Juni 170316. Ini menyiratkan bahwa ia tidak berasal dari kelompol kerabat orang yang sama dengan penulis kronik. Oleh karena itu, tampaknya orang-orang Sama yang berorentasi maritim di pusat pemerintahan memiliki kemandirian relatif untuk memilih pemimpin mereka dari jaringan kerabat mereka sendiri, seperti yang terjadi pada “anak-anak sungai” dari Makassar di wilayah darat.

                Selain Daeng Numalo dan Daeng Makulle Ahmad, papuq ketiga yang disebutkan dalam kronik adalah Daeng Manggapa, lahir tahun 1688, dan dikenal sebagai “Mommiq”. Seperti Daeng Makulle Ahmad yang dilantik pada tahun 1710 sebagai sabannaraq Makassar, Daeng Manggapa juga pernah menjabat sebagai syahbandar Makassar. Sabannaraq  melakukan lebih dari sekedar melihat apa yang datang dan apa yang pergi di pelabuhan. Posisi itu membawa otoritas untuk menghukum para pelanggar di Makassar sendiri, dan memimpin ekspedisi militer17. Misalnya, sabannarq sebelumnya yang bernama Daeng Makulle, mungkin ayah dari papuq Daeng Makulle Ahmad, penting bagi kampanye ekspansi perang Makassar di bawah Sultan Hasanuddin18. Daeng Makulle senior mungkin juga memiliki keturunan Sama, seperti putranya, atau, mungkin garis keturunan Sama dari putranya hanya berasal dari ibunya. Sumber-sumber Belanda menyebutkan Daeng Makulle senior ini kembali ke markasnya pada tahun 1666, setelah misi 2 bulan ke Buton, yang mengikuti ekspedisi besar-besaran oleh armada Makassar ke Banggai dan Tobungku di pantai timur Sulawesi, serta ke kepulauan Sula, untuk memaksa mereka menerima kekuasaan Gowa19. Dalam perjalanan ke dan dari ekspedisi ini, Daeng Makulle hampir pasti melewati Tiworo dengan kapalnya, seperti yang dilakukan armada Makassar selama Perang Besar Ambon, 1 dekade sebelumnya, dalam perjalanan ke timur. Demikian pula, Daeng Makulle yunior (Papuq Daeng Makulle Ahmad), yang juga menjadi syahbandar, bersama-sama memimpin ekspedisi militer bersama menantunya, Daeng Manassaq, untuk melawan Toring di Flores. Bagian dari rangkaian ekspedisi melintasi Laut Flores ke selatan, hal itu menunjukan bahwa kekalahan Makassar abad ke-17 dalam Perang Makassar, tidak mencegahnya untuk melancarkan kampanye militer hingga abad ke-18.

                Relevansi di atas ada empat. Pertama, ini menunjukan pentingnya sosial dan politik para pemimpin Sama di Makassar. Kedua, memperlihatkan perkawinan anak perempuan Papuq dengan anak laki-laki Makassar yang istimewa. Meskipun ini menyerupai pola persekutuan di wilayah ini dan di tempat lain di Nusantara, hal ini juga mendukung saran bahwa para pemimpin Tiworo kemungkinan memiliki hubungan kekerabatan yang memperkuat hubungan mereka dengan Makassar. Ketiga, kronik Makassar memberikan bukti signifikansi militer atas kepemimpinan Papuq. Dan keempat, ini menyiratkan pentingnya pengikut Sama dalam upaya ini, karena kita harus bertanya, siapa yang akan dipimpin Papuq di laut – dengan kata lain, siapa yang menjaga laut – jika bukan orang Sama sendiri? Bukti kronik Makassar yang menunjukan pentingnya orang Sama bagi kapal-kapal Makasar, sebuah laporan Belanda tahun 1733 menyatakan bahwa Sama adalah “otot dan urat” Makassar21.

Tiworo dan Perang Besar Ambon

                Perang Besar Ambon terjadi dari tahun 1651 hingga 1656, sebagian besar dalam pertempuran di pulau-pulau di sekitar Ambon. Pasukan VOC, yang dipimpin oleh Arnold de Vlaming, bergabung dengan sekutu lokalnya, sebagian besar di bawah Sultan Ternate, Sultan Mandarsyah, yang mengklaim banyak pulau di wilayah itu sebagai “jajahannya”. Saat itu, Makassar merupakan titik pengapalan utama barang-barang dari timur Nusantara, termasuk cengkih dan pala. Makassar, yang dikepalai oleh 2 kerajaan Gowa dan Talloq, adalah sebuah pelabuhan kosmopolitan dimana komunitas pedagang yang beragam membeludak setelah tahun 1641, ketika Portugis kehilangan Malaka oleh Belanda, menyebabkan Portugis dan pedagang lainnya pindah ke Makassar.22 Makassar dengan demikian memiliki andil besar dalam Perang Besar Ambon dan secara aktif mendukung daerah-daerah penghasil cengkih di kepulauan timur dalam perjuangan mereka melawan VOC. Makassar dan para pendukungnya menyediakan pasukan dan senjata untuk pertempuran di tempat-tempat seperti Asahudi di semenanjung Hoamoal, sebuah pelayaran menempuh lebih dari 1.000 km dari Makassar23. Para sarjana biasanya memperlakukan Perang Makassar secara terpisah, seperti yang terjadi belasan tahun setelah Perang Besar Ambon dan mengambil tempat di Sulawesi. Akan tetapi, perang-perang ini tidak hanya terkait dengan kepedulian yang sama terhadap rempah-rempah, karena seperti rute yang sering dilalui antara Makassar dan Maluku, rangkaian peristiwa yang menghubungkan perang-perang ini juga melintasi Tiworo. 

Arnold de Vlaming van Outshoorn

                Meskipun lokasi utama konflik dalam Perang Besar Ambon terletak sekitar 650 km, Tiworo tetap mendukung kepentingan Makassar sebagai sekutunya dengan sejumlah kekuatan maritim. Pertama, Tiworo memberi Makassar keunggulan geografis : ia menawarkan rute yang lebih pendek ke timur Nusantara, yang, seperti diperlihatkan oleh dokumen arsip-arsip, melewati saingannya seperti Buton. Kedua, Tiworo menyediakan armada yang berlayar di bawah kekuasaan Makassar sebagai tempat berlindung yang aman. Ketiga, itu juga berfungsi sebagai daerah pementasan maritim untuk berdagang dan keterlibatan lebih jauh ke timur. Akhirnya, kapal-kapal dan pelaut Tiworo sendiri mendukung upaya Makassar. Sumber-sumber Belanda menyebut Tiworo sebagai “vassal” Makassar, namun juga menggambarkan pemimpin mereka sebagai teman dekat. Ini sesuai dengan gambaran organisasi politik yang umum terjadi di Asia Tenggara zaman pra kolonial, dimana politik bawahan, yang diorganisir di sekitar segmen garis keturunan, menunjukan kesetiaan mereka dalam struktur politik yang berbasis pusat24.

                Penyerangan Ternate dan VOC terhadap Tiworo pada tahun 1655 menghasilkan hasil yang dramatis, yang mungkin sebagian menjelaskan alasan Sultan Hasanuddin membingkai alasannya sebagai balas dendam. Ketika pasukan VOC dan Ternate menyerang, mereka berharap bertemu dengan armada Makassar di Tiworo. Memang, ketika pasukan Ternate maju 5 atau 6 mil di depan VOC, ini memotivasi de Vlaming, yang memimpin pasukan VOC, untuk menasihati Wakil Laksamana, Roos, untuk membawa 11 “barisan yacht” dan 300 orang Belanda ke Tiworo untuk mencari dan bergabung dengan Mandarsyah, agar bisa mencari kapal-kapal Makassar secara bersama. Dia juga menasihati Roos, jika tidak terlalu berbahaya, untuk melakukan kekerasan di Tiworo25.

                Namun, baik pasukan Makassar maupun sebagian besar pejuang Tiworo sendiri, tidak ada pada saat itu. 300 anak buah Tiworo telah dikirim dengan senjata mereka untuk menaklukan daerah tetangga, sementara kontingen kedua, sekitar 50 orang, pergi berburu kerbau. Belanda dan sekutunya dengan demikian menghadapi sedikit perlawanan. Mereka membunuh 200 orang di 5 tempat berbeda di Tiworo. Mereka juga menemukan persediaan yang sangat besar termasuk beras, ditambah barang dagangan berkualitas seperti pakaian dan barang-barang lainnya, yang siap untuk dikirim, menurut sumber, tampaknya ke Asahudi, tempat utama konflik dalam Perang Besar Ambon. Pasukan VOC mencuri, membakar atau menghancurkan perbekalan dan barang, dan mereka membakar banyak “kapal yang indah”, termasuk junk, galai, dan kora-kora26

Arnold de Vlaming menyatakan bahwa “nama dan senjata kompeni pasti akan mendapat reputasi di wilayah-wilayah ini, karena benteng yang sering disebut-sebut (di Tiworo) terkenal sangat kuat dan merupakan ibukota Pulau Pangesane”27. Di sini, kita melihat de Vlaming memilih benteng yang dikenal oleh Belanda, dan juga ibukota Pangesane, atau sekarang yang disebut Pulau Muna. Di antara mereka yang tewas dalam serangan itu adalah raja Tiworo, sebagian besar pengikutnya atau bangsawan, serta putra-putranya28. De Vlaming mengatakan bahwa ini merupakan pukulan telak bagi Makassar, “kehilangan teman mereka, yaitu raja, dengan sebagian besar pengikutnya”, karena dia adalah “orang yang sangat dihormati, dan di wilayah juga dihormati”29. Selain itu, sekitar 300 perempuan dan anak-anak ditangkap hidup-hidup30. Para sejarahwan mungkin mengira mereka akan dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak. Tapi ini, setidaknya pada awalnya, bukanlah takdir mereka.

Ciri khas peperangan modern awal di Asia Tenggara, preferensi untuk mengambil tawanan daripada merebut tanah adalah sesuatu yang sering dianggap sejarahwan sebagai akibat dari tanah yang melimpah dan langkanya tenaga kerja yang relatif. Khususnya di kota-kota di kawasan itu, tenaga kerja, lebih daripada kota, adalah aset utama yang harus dilindungi, dan tujuan utama peperangan adalah untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kerja31. Namun tanah, di sini, tidak benar-benar menjadi bagian dari persamaan. Sebaliknya, seperti yang dinyatakan de Vlaming, para tawanan diserahkan kepada para pejuang untuk melepaskan mereka dari tangan VOC, dan untuk menyenangkan dan menenangkan sekutu mereka sehingga mereka akan melanjutkan pekerjaan mereka. Dia menjelaskan bahwa tawanan diberikan kepada sekutunya sebagai insentif untuk meningkatkan kesediaan para pejuang untuk melakukan pertempuran selanjutnya32. Namun, mungkin juga bahwa sekutu VOC telah melakukan penangkapan manusia ini, dan dalam laporannya de Vlaming hanya mengutarakan “wajah yang baik” di mata atasannya.

Dalam kedua kasus tersebut, penangkapan dalam konteks konflik kolonial yang dibangun di atas praktik-praktik lama penyerangan yang endemik di wilayah tersebut33. Seiring dengan merampas rampasan perang, harus dicatat bahwa tidak semua tawanan ini memiliki makna sosial yang sama. Di antara 300 wanita dan anak-anak yang ditangkap hidup-hidup di Tiworo adalah istri dan putri raja34. Dengan sebagian besar laki-laki yang sedang pergi, desa-desa dan perahu yang tersisa dibakar, dan bentengnya dirobohkan, Tiworo secara politis dipenggal, dan dikosongkan melalui pembantaian dan penangkapan. Di antara masyarakat pesisir yang bertingkat dan terjalin di kawasan itu, penangkapan-penangkapan ini akan membawa makna yang besar. Jika Tiworo dan Makassar memiliki hubungan kerabat dekat, yang tampaknya sangat mungkin terjadi, selain hilangnya sementara fungsi strategis Tiworo, dan pembunuhan teman dan sekutu, pentingnya penyerangan ini akan mendukung keinginan Sultan Hasanuddin untuk membalas dendam untuk Tiworo.

Hanya 3 hari setelah penyerangan, armada Makasar memang tiba di Tiworo. Mengomentari keberuntungan yang dialami VOC, Arnold de Vlaming menulis bahwa seandainya kapal-kapal Makassar datang beberapa hari sebelumnya, tidak mungkin bagi Belanda “berada di sana sendirian untuk melaksanakan pekerjaan itu, dan niscaya kami akan binasa dan dikalahkan....”35. Meskipun waktu kedatangan mereka tidak menguntungkan bagi Tiworo, kapal-kapal masih dapat menggunakan Tiworo sebagai tempat berlindung yang aman. VOC berjaga-jaga di perairan terdekat selama berbulan-bulan, sampai akhirnya armada Makassar berhasil menghindari dari patroli Belanda, dengan berlayar melewati mereka – yang ajaibnya – dalam kabut yang sangat tebal36. 


Tiworo dan Perang Makassar

                Di sela-sela perang Sultan Hasanuddin melakukan kampanye perluasan kembali di timur Nusantara. Kampanye ini mengancam kepentingan VOC dan Ternate. Sementara Perang Makassar terutama didorong oleh persaingan memperebutkan rempah-rempah, dan kita dapat membuat daftar sejumlah penyebab terdekatnya (seperti yang telah dilakukan oleh Leonard Andaya37), tujuan saya di sini adalah untuk menarik perhatian pada pernyataan yang dibuat pada tahun 1666, satu tahun sebelum perang, oleh Sultan Hasanuddin, penguasa Gowa di Makassar. Membongkar pernyataan ini dan rujukannya akan menyingkapkan kedalaman kepentingan Tiworo, dan orang-orangnya yang berorientasi maritim,kepada Sultan dan kepentingan Makassar.

                Sultan Hasanuddin, ketika membahas syarat-syaratnya untuk menjaga perdamaian, menawarkan kepada komisaris Belanda, alasannya untuk perluasan kembali Makassar. Dia berkata bahwa dia “tidak akan pernah harus mempertahankan haknya atas tanah yang dipermasalahkan, jika Ternate tidak menyerang wilayah Makassar di Pancana”38. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, wilayah di selat Tiworo meliputi tepi pantai barat laut pulau “Pancana” (Muna). Memang, ucapan Sultan Hasanuddin itu merujuk pada Tiworo, yang diserang Ternate dan VOC dalam Perang Besar Ambon. Sebagai pemerintahan yang paling menonjol di sekitarnya pada saat itu, Tiworo dikenal oleh Belanda, paling tidak karena bentengnya yang mengesankan, struktur batu yang kokoh dengan benteng dan tembok setinggi lebih dari 10 meter, yang dirobohkan oleh VOC setelah serangan tahun 165539.

Arung Palakka

                Kehancuran Tiworo dalam Perang Besar Ambon sangat kontras dengan hasil kekalahannya sehubungan dengan Perang Makassar 12 tahun kemudian. Pada tahun 1655, VOC dan sekutunya membantai 200 laki-laki, menangkap 300 wanita dan anak-anak, mencuri barang dagangan, merobohkan bentengnya, dan membakar pemukiman, serta banyak kapal. Meski demikian, kedatangan armada Makassar menghalangi musuh-musuhnya untuk menduduki Tiworo. Tiworo dibangun kembali di antara perang, sekarang dengan memiliki 2 benteng. Menjelang Perang Makassar, penduduk Tiworo telah diperingatkan tentang kemunculan VOC yang akan datang, yang akan mengejar armada Makassar di bawah pimpinan Daeng Mangaga. Pengejaran itu mengarah ke Tiworo dengan cukup banyak petunjuk dari VOC untuk memberi kesempatan orang Tiworo untuk berlayar40. Oleh karena itu, sekali lagi, Belanda dan sekutunya beruntung bisa mengalahkan Tiworo, praktis tanpa perlawanan. Dalam keadaan seperti itulah, Tiworo takluk pada sekutu utama VOC dalam Perang Makassar, pria Bugis yang menyandang gelar Arung Palakka41.

                Ketika kapten VOC, Letnan David Steijger, kemudian bergabung dengan Arung Palakka untuk mengambil alih pengawasan, anehnya – karena sebagian besar penduduk daerah itu telah berlayar – dia menemukan penguasa baru Tiworo di bentengnya di daerah berhutan di dataran tinggi 6 mil dari pemukiman utama. Ketika negosiasi dengan raja ini gagal, dia dan pengikutnya dikejar ke benteng lain, dan dalam pertempuran itu, Arung Palakka terluka karena panah, dan terlihat terguncang. Raja Tiworo ditahan di dalam benteng, tetapi akhirnya setelah Steijger pergi, raja diizinkan untuk mandi, dan dengan dalih ini, dia melarikan diri, meskipun dikejar oleh sekitar 1000 orang42.

                Ketika armada gabungan VOC dan sekutu bersiap untuk berangkat dari titik persinggahannya di dekat Buton menuju Makassar, VOC kembali merobohkan benteng utama Tiworo, dan membakar pemukiman utama Tiworo. Namun, kali ini mereka tidak membakar kapal-kapal Tiworo. Alih-alih, Arung Palakka menangkap untuk dirinya sendiri, yang secara eksplisit penangkapan dilarang oleh Gubernur Jend, dan dia menyerahkan mereka ke markas pasukannya. Arung Palakka kemudian memilih sendiri 60 anak buah Tiworo, memberikan mereka masing-masing senjata gratis, dan menjadikan mereka setengah dari pengawal komandan utamanya43. Penggabungan dengan pangkat ke dalam pasukan musuh serupa dengan contoh lain dari kelompok-kelompok yang kalah dalam konflik Sulawesi Selatan yang kadang-kadang bersumpah setia kepada pemimpin musuh yang menang44.

                Menariknya, kemunculan dan perluasan yang cepat dari Bajoe, pemukiman intertidal yang dinamai untuk orang Sama berfungsi sebagai pelabuhan Bone, berasal tak lama setelah waktu ini45. Waktu ini menunjukan bahwa figur-figur yang meninggalkan Tiworo dengan pangkat dan kesetiaan baru kepada Bone dan pemimpin Bugis, Arung Palakka, adalah orang-orang Sama46. Bone juga mungkin memliki hubungan dengan Sama, sebelum munculnya Bajoe. Terlepas dari itu, pengaturan politik Bone dengan Bajoe bertumpu pada struktur kerjasama antara penguasa Bone dan anggota garis keturunan elit dari Sama. Kerjasama yang bermanfaat ini, mengulangi pendekatan sukses sebelumnya oleh Makassar. Naskah-naskah berbahasa Bugis yang langka, mencatat hubungan antara garis keturunan elit Bone dan Sama, secara mendetail. Teks-teks semacam itu, yang diwarisi melalui garis keturunan Sama, membuktikan dan menegaskan sejarah panjang keterkaitan antara pemerintahan Bugis di Bone dan orang Sama47. Meskipun sering tinggal agak jauh dari Bajoe, orang-orang Sama ini, keturunannya, dan pengikutnya, tetap mempertahankan kesetiaannya, sama seperti sebelumnya, Tiworo setia kepada Makassar. Keduanya memberikan contoh struktur dendritik yang disebutkan di atas, menjangkau sepanjang pantai dan melintasi perairan untuk menghubungkan pesisir yang berbeda dalam sejarah intertidal. 

Lukisan Perang Makassar

                Meskipun Tiworo sekarang adalah daerah terpencil, bagi Belanda selama abad ke-17, tempat itu terkenal. Peran yang dimainkannya sebagai pusat maritim non-urban membuat pasukan VOC di bawah Arnold de Vlaming dan sekutu Ternate-nya, menyerangnya selama Perang Besar Ambon. Apa yang membuat Tiworo menjadi pusat maritim adalah : penggunaannya sebagai tempat pementasan konflik di tempat lain; fungsinya sebagai titik pengiriman barang dagangan, termasuk amunisi dan beras; perlindungan yang ditawarkannya kepada kapal-kapal di bawah kekuasaan Makassar; kapalnya sendiri terbakat dalam konflik dan oleh konflik lain; serta pelautnya. Selain dikenal karena benteng pertahanannya, peran maritim Tiworo terkenal di kalangan Belanda sebagai sarang bajak laut yang jahat. Meski Buton ingin menguasainya, saat itu Buton tidak memiliki hak atas Tiworo. Ternate menegaskan klaim lama untuk itu, dan bahkan Belanda tidak menganggapnya serius. Sebaliknya, sumber tersebut menunjukan aliansi erat antara Tiworo dan Makassar. Belasan tahun setelah penyerangan Tiworo selama Perang Besar Ambon, ancaman Tiworo yang dianggap sebagai sekutu Makassar, dinetralkan melalui pelayaran dan penghancuran, perampasan kapalnya, dan penggabungan banyak anak buahnya ke dalam pasukan Bone. Populasi Tiworo yang berorientasi maritim, dan orang Sama secara lebih luas, sangat berharga bagi pemerintahan ini, dengan siapa mereka berbagi minat, karena pengetahuan dan ketrampilan maritim mereka, serta koneksi dan jaringan antar kelompok mereka. Arkeolog David Bulbeck menyajikan deskripsi yang luar biasa tentang “lanskap Perang Makassar di semenanjung barat daya Sulawesi48. Artikel ini telah mengilustrasikan bentang laut dari perang rempah-rempah, peran yang dimainkan oleh orang-orang laut, dan bagaimana konflik-konflik ini dihubungkan melalui pusat maritim Tiworo.


==== selesai ==== 

Catatan Kaki

1.         Kajian lainnya menunjuk langsung pada jaringan seperti ini. Sebagai contoh, Andaya, L.1984 dan Warren 2007. Kajian yang baru melangkah lebih jauh dalam hal membahas klaim dan menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan politik. Sebagai contohnya, kajian sebelumnya hanya membahas soal hubungan erat Tiworo dan Makassar. Kita tidak mengetahui tentang pemimpin Sama yang disebut Papuq, hingga sekarang hanya berpikir tentang legenda. 3 Papug Sama yang berbeda juga menjabat sebagai syahbandar Makassar (Sabannaraq). Lihat di bawah dan Gaynor 2016.

2.        Ada pandangan berbeda dari Michael Perason tentang pesisir, berpusat pada hubungan antar urban (lihat Pearson 2006). Lihat juga Gaynor 2016 : 201 - 205

3.        Knaap 2003.

4.        Untuk detail latar belakang dan konteksnya, lihat Gaynor, 2016, khususnya hal 66-71

5.        Or “vile”: “dat leelijcke roofnest Tiboore”. Cornelis Speelman, “Notitie dienende voor eenen corten tijt, en tot naeder last van de Hooge Regeringe op Batavia, tot naerrichtinge voor den ondercoopman Jan van Opijnen bij provisie gestelt, tot Opperhooft en Commandant int Casteel Rotterdam op Maccassar, en van den Capitain Jan France als hooft over de melitie mitsgaders die van den Raede”, VOC 1276 (1669), f. 684v.

6.       Gaynor 2016.

7.        Rediker 2004.

8.        Lebih banyak yang tercatat kecuali yang dikutip di sini tentang pelaut-pelaut Asia Tenggara, sejarah maritim regional dan koneksi antar regional mereka. Untuk semenanjung Asia Tenggara dan modern awal kepulauan, lihat inter alia, oleh Kenneth R. Hall (2006, 2008),  Pierre-Yves Manguin (1980, 1993, 1996), Gerrit Knaap (2003), Heather Sutherland (2007, 2015), and Knaap & Sutherland (2004).

9.       Hall 2004: 252–253; Hall 2011; Velthoen 2012; Andaya, L. 1991; Ota 2010; Ellen 2003.

10.     Van Schendel 2002; and Scott 2009; keduanya memusatkan pada kajian wilayah “Zomia” yang borjuis di wilayah perbatasan dataran tinggi di wilayah utama Asia Tenggara.

11.       Bronson 1977; Manguin 2002; Li 2006; Wheeler 2006.

12.      Untuk kajian selanjutnya dari konsep sejarah intertidal, lihat Gaynor 2016 : 6,9,29

13.      Warren 2002, 2007; Velthoen 2002, 2012; Sutherland 2015.

14.      Lihat Andaya, L. 1993: 37; Andaya, B. 1993: 419; Gaynor 2016: 81–82.

15.      Lihat Gaynor 2016: 87–97

16.     Cummings 2010: 7, 176, 233, 236. Untuk kajian posisi dan gelar di Makassar awal modern, lihat Cummings 2007 : 5-6

17.      Cummings 2010: 156, 196, 203, 233, 268 note 669 (Cumming mencatat bahwa ini mungkin tetapi tidak harus sama dengan Daeng Manggappa sebagai sabannaraq),  278, 292, 301 note 756.

18.      “Mungkin ayahnya” dan “mungkin putra dan penerusnya” menurut Cummings 2010 : 139 (catatan kaki no 358), 176,198. Daeng Makkulle pertama ini kadang disebut juha “ I Daeng Makkulle I Mappaq” (hal 234).

19.     Andaya, L. 1981: 60, 65, 126; “Report of Commissioner van Wesenhagen on mission to Makassar and Ternate”, VOC 1257, 511. The sabannaraq Daeng Makkule also distinguished himself in battle on land: “Goa [sic]’s successful campaigns in the interior were a marked contrast to the diffculties it faced against Arung Palakka and the Dutch in the west. The Makassar forces under Syahbandar Daeng Makkulle, joined by a thousand men from Wajo and Lamuru, marched through Soppeng burning as they went…” (Andaya, L. 1981: 126)

20.    Cummings 2010: 164 note 445, 169, 179, 233, 237, 238, 265, 266, 268.

21.      “Makassar to Batavia”, May 21, 1733, VOC 2285, 119; Andaya, L. 1984: 39.

22.     Lihat Gaynor 2016: 66–69.

23.     Knaap 2003: 178–181; Bor 1663: 236–241, 288–298, 301–303.

24.     “Originele generale missive”, 12 July 1655, VOC 1208, book 4, 538–548, especially 543r; “Letter from the King of Buton to Arnold de Vlamingh and Governor Willem Van der Beecq, Dachregister bij d’Hr. Arnold de Vlamingh van Outshoorn”, April 5, 1654, VOC 1205, book 2, 892r–894r; “Letter of January 9, 1655, from Arnold de Vlamingh van Outshoorn aboard the Erasmus, delivered express to the Authorities before Tiworo (Tibore)”, VOC 1211, book 2, 76–77; Bor 1663: 273; “Letter of 17 January 1655, to Simon Cos, Provis. President in Ambon, from Arnold de Vlamingh van Outshoorn in the ship Erasmus lying at anchor by the east end of the Buton Straits”, VOC 1211, book 2, 89. [The spelling “Arnold de Vlaming” follows standard practice in the secondary literature, while the name’s spelling in notes follows the practice in the respective source.]

25.     Bor 1663: 259; “Letter of January 9, 1655, de Vlamingh aboard the Erasmus, to the Authorities before Tiworo (Tibore)”, VOC 1211, 76–77. Sebagai gambaran visual dari apa yang sumber VOC sebut sebagai “barisan yachts”, lihat cover buku Gaynor 2016

26.    Bor 1663: 260–262; “De Vlamingh to Simon Cos”, VOC 1211, 88–89; “Letter of January 9, 1655, de Vlamingh aboard the Erasmus, to the Authorities before Tiworo”, VOC 1211, 76–77; Originele Generale Missieve, 12 July 1655”, VOC 1208, 543r; “Letter to Governor Jacob Hustaert and the Council in Malucco, with the Yacht Dromedaris, written on February 2 (1655) from Batoij, signed by Arnold de Vlamingh and Willem Maetsuyker on the chaloup Sumatra, lying at anchor off the coast of Celebes opposite Chassea island”, VOC 1211, book 2, 99–100.

27.     Bor 1663: 260–262; “Letter of January 9, 1655, from Arnold de Vlamingh aboard the Erasmus, to the Authorities before Tiworo”, 76–77; and “De Vlamingh to Cos”, VOC 1211, 88–89.

28.     “De Vlamingh and Maetsuyker to Jacob Hustaert”, VOC 1211, book 2, 99–100; and “Originele generale missive”, 12 July 1655, VOC 1208, 543r.

29.    “De Vlamingh to Cos”, VOC 1211, 89.

30.    Ibid., 89; “De Vlamingh and Maetsuyker to Jacob Hustaert”, VOC 1211, 99.

31.      Reid 1980: 243.

32.     Bor 1663: 236–240; “De Vlamingh and Maetsuyker to Jacob Hustaert”, VOC 1211, 99.

33.     Junker 1999.

34.     “Originele generale missive”, 24 December 1655, VOC 1209, book 1, 5v-6r.

35.     “De Vlamingh to Cos”, VOC 1211, 88; Gaynor 2016: 74–76.

36.    “Letter of January 9, 1655, from Arnold de Vlamingh aboard the Erasmus, to the Authorities before Tiworo”; Bor 1663: 273–274.

37.     Andaya, L. 1981: 45–72.

38.     “Report of Commissioner van Wesenhagen on mission to Makassar and Ternate”, 16 July 1666, VOC 1257 (1667), 521; Andaya, L. 1981: 65.

39.    “Letter of 16 January, 1655, to Marten Doane, Skipper of the Concordia, sent with the Post to Het Haesjen, from Arnold de Vlamingh van Outshoorn, in the ship Erasmus at anchor by the (fresh) waterplace in the Buton Straits”, VOC 1211 (1656), book 2, 79–81; “De Vlamingh to Cos”, VOC 1211 (1655), book 2, 87–94, especially p. 88; “De Vlamingh and Maetsuyker to Hustaert and the Council”, VOC 1211, pp. 97, 100; Bor 1663, p. 262 states: “reinforced with seven round towers.”

40.    For details on the warning, and local people’s amusement at Arung Palakka’s nautical ineptitude, see Gaynor 2016: 98–101.

41.      “Letter from Admiral Cornelis Speelman to Governor General Joan Maetsuijker and the Council of the Indies”, 18 August 1667, VOC 1264, book 3, 44–61, here, 46r.

42.     “Speelman to Governor General Maetsuijker and the Council”, VOC 1264, 51v–52r.

43.     Ibid., 52v–53r, 54v–55r.

44.     Druce 2009: 26–29; and Omar 2003.

45.     Gaynor 2016: 27–28.

46.    In addition, other European sources, as well as local oral histories, offer evidence of Sama people’s inhabiting Tiworo over subsequent centuries, following a pattern of flight and sometimes repopulation familiar to the history of the Sama and others. See Gaynor 2016: 15–22, 117–125.

47.     LB Lemobajo, photocopy of manuscript in possession of the author; A. Djamali, copyist, “Geschiedenis van de Badjo’s van Zuid Celebes”[History of the Bajos of South Celebes], KITLV, Or 545/262, March 7, 1940 (previously number 260 in the Matthes Foundation catalog). See Gaynor, “Sama ties to Boné and narrative incorporation”, chapter four of Gaynor 2016 (pp. 107–165).

48.     Bulbeck 1990.

  

Bibliography

§  Andaya, Barbara Watson 1993 “Political development between the sixteenth and eighteenth centuries”, in Nicholas Tarling (ed.), The Cambridge History of Southeast Asia, Cambridge, Cambridge University Press.

§  Andaya, Leonard 1981 The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague, Martinus Nijhoff.
1984 “Historical Links between Aquatic Populations and the Coastal Peoples of the Malay World and Celebes”, in Muhammad Abu Bakar, Amarjit Kaur & Abdullah Zakaria Ghazali (eds.),
Historia: Essays in Commemoration of the 25th Anniversary of the Department of History, University of Malaya, Kuala Lumpur, The Malaysian Historical Society, pp. 34–51.
1991 “Local trade Networks in Maluku in the 16th, 17th and 18th Centuries”, Cakalele II (2), pp. 71–96.
1993 The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Honolulu, University of Hawai‘i Press.

§  Bor, Livinus 1663 Amboinse Oorlogen, door Arnold de Vlaming van Oudshoorn als superintendent, over d’Oosterse gewesten oorlogaftig ten eind gebracht, Delft, Arnold Bon.

§  Bronson, Bennet 1977 “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes towards a Functional model of the Coastal State in Southeast Asia”, in Karl Hutterer (ed.), Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives from Prehistory, History, and Ethnography, Ann Arbor, Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan, pp. 39–54.

§  Bulbeck, F. David 1990 “The Landscape of the Makassar War”, Canberra Anthropology 13 (1), pp. 78–99.

§  Cummings, William P. 2007 “Introduction”, in William P. Cummings (ed. and trans.), A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Tallok, Leiden, KITLV Press, pp. 1–12.

§  Cummings, William P. (trans. and ed.) 2010 The Makassar Annals, Leiden, KITLV Press.

§  Druce, Stephen C. 2009 The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattapareng Kingdoms of South Sulawesi 1200–1600 CE, Leiden, KITLV Press.

§  Ellen, Roy F. 2003 On the Edge of the Banda Zone: Past and Present in the Social Organization of a Moluccan Trading Network, Honolulu, University of Hawai‘i Press.

§  Gaynor, Jennifer L. 2016 Intertidal History in Island Southeast Asia: Submerged Genealogy and the Legacy of Coastal Capture, Ithaca–London, Cornell University Press.

§  Hall, Kenneth R. 2004 “Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region: 600–1500”, Journal of the Economic and Social History of the Orient 47 (2), pp. 213–260.
2006 “Multi-Dimensional Networking: Fifteenth-Century Indian Ocean Maritime Diaspora in Southeast Asian Perspective”, Journal of the Economic and Social History of the Orient 49 (4), pp. 454–481.
2008 Secondary Cities and Urban Networking in the Indian Ocean Realm, c. 1400–1800, Plymouth (UK), Lexington Books, Rowman and Littlefeld.
2011 “Sojourning Communities, Ports-of-Trade, and Commercial Networking in Southeast Asia’s Eastern Regions, 100–1400”, in Michael Aung-Thwin & Kenneth R. Hall (eds.), New Perspectives on the History and Historiography of Southeast Asia, London, Routledge, pp. 56–73.

§  Junker, Laura Lee 1999 Raiding, Trading and Feasting: The Political Economy of Philippine Chiefdoms, Honolulu, University of Hawai‘i Press.

§  Knaap, Gerrit 2003 “Headhunting, Carnage and Armed Peace in Amboina, 1500– 1700”, Journal of the Economic and Social History of the Orient 46 (2), pp. 165–192.

§  Knaap Gerrit & Heather Sutherland 2004 Monsoon Traders: Ships, Skippers and Commodities in Eighteength-century Makassar, Leiden, KILV.

§  Li Tana 2006 “A View from the Sea: Perspectives on the Northern and Central Vietnamese Coast”, Journal of Southeast Asian Studies 37 (1), pp. 83–102.

§  Manguin, Pierre-Yves 1980 “The Southeast Asian ship: An historical approach”, Journal of Southeast Asian Studies 11 (2), pp. 266–276.
1993 “The Vanishing  Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)”, in Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, Ithaca–London, Cornell University Press, pp. 197–213

1996 “Southeast Asian shipping in the Indian Ocean during the 1st millennium AD”, in Himanshu Prabha Ray & Jean-François sAlles (eds.), Tradition and archaeology. Early maritime contacts in the Indian Ocean, New Delhi, Manohar/Lyons, Maison de l’Orient méditerranéen, NISTADS, pp. 181–198.
2002 “The amorphous nature of coastal polities in Insular Southeast Asia: Restricted centers, extended peripheries”, Moussons 5, pp. 78–81.

§  Omar, Rahila 2003 “The History of Boné A.D. 1775–1795: The Diary of Sultan Ahmad as-Salleh Syamsuddin”, Ph.D. thesis, University of Hull, Centre for South-East Asian Studies.

§  Ota Atsushi 2010 “Pirates or Entrepreneurs? Migration and Trade of Sea People in Southwest Kalimantan, c. 1770–1820”, Indonesia 90, pp. 67–96.

§  Pearson, Michael 2006 “Littoral Society: The Concept and the Problems”, Journal of World History 17 (4), pp. 353–373.

§  Rediker, Marcus 2004 “Toward a People’s History of the Sea”, in David Killingray, Margarette Lincoln & Nigel Rigby (eds.), Maritime Empires: British Imperial Trade in the Nineteenth Century, Rochester, Boydell Press, pp. 195–206.

§  Reid, Anthony 1980 “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries”, Journal of Southeast Asian Studies 11 (2), pp. 235–250.

§  Van Chendel, Willem 2002 “Geographies of Knowing, Geographies of Ignorance: Jumping Scale in Southeast Asia”, Environment and Planning D: Society and Space 20, pp. 647–668.

§  Scott, James 2009 The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia, New Haven, Yale University Press.

§  Sutherland, Heather 2007 “Geography as destiny? The role of water in Southeast Asian history”, in Peter Boomgaard (ed.), A World of Water: Rain, Rivers and Seas in Southeast Asian Histories, Leiden, KITLV Press (VKI 240), pp. 27–70.
2015 “On the Edge of Asia: Maritime Trade in East Indonesia, Early Seventeenth to Mid-Twentieth Century”, in Anthony Webster, Ulbe Bosma & Jaime de Melo (eds.), Commodities, Ports and Asian Maritime Trade Since 1750, Basingstoke (Hampshire)– New York, Palgrave Macmillan, pp. 59–78.

§  Velthoen, Esther Joy 2002 “Contested Coastlines: Diasporas, Trade and Colonial Expansion in Eastern Sulawesi 1680–1905”, Ph.D. dissertation, Murdoch University [unpublished].
2012 “Pirates in the Periphery: Eastern Sulawesi 1820–1905”, in John kleinen & Manon osseweijer (eds.), Pirates, Ports and Coasts in Asia: Historical and Contemporary Perspectives, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, pp. 200–221.

§  Warren, James F. 2002 Iranun and Balangingi: Globalization, Maritime Raiding and the Birth of Ethnicity, Honolulu, University of Hawai‘i Press.
2007 The Sulu Zone, 1768–1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State, Honolulu, University of Hawai‘i Press.

§  Wheeler, Charles n.d. “A Maritime Logic to Vietnamese History? Littoral Society in Hoi An’s Trading World c. 1550–1830”, Conference Proceedings, Seascapes, Littoral Cultures, and Trans-Oceanic Exchanges, February 12–15, 2003 Library of Congress, Washington, D.C., http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/p/2005/history_cooperative/ www.historycooperative.org/proceedings/seascapes/wheeler.html (accessed March 10, 2016).
2006 “Re-thinking the Sea in Vietnamese History: The Littoral Integration of Thuan-Quang, Seventeenth – Eighteenth Centuries”, Journal of Southeast Asian Studies 37 (1), pp. 123–153.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar