Senin, 22 November 2021

Jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakan mereka : Pantangan utama Masyarakat Hualu dan penerapannya


(bag 1)

[Valerio Valeri]

  1. Pengantar

Manusia pastilah memiliki tabu atau pantangan dalam hidupnya. Tabu atau pantangan itu bisa karena alasan medis, karena dogma agama, dan mitos asal usul. Seseorang tidak boleh atau dilarang sesuatu, mungkin karena anjuran dokter untuk kesembuhannya. Namun secara umum, tabu atau pantangan karena alasan dogmatika. Orang Muslim tidak memakan daging babi, karena hukumnya haram dalam ajaran agama itu. Begitu juga dengan orang Yahudi, yang tidak memakan daging babi, karena haram hukumnya, menurut Hukum Taurat.

Pada skop yang lebih lokal, orang Maluku, khususnya Ambon-Lease juga memiliki tabu, yang berkaitan dengan mitos asal usul mereka. Tabu ini biasanya lebih dikenal dengan istilah Poso. Dalam kajian antropolog Dieter Bartels, beberapa marga atau keluarga di Maluku Tengah memiliki tabu tertentu. Misalnya, clan atau mata rumah atau untuk keluarga Kasale, hewan tabunya adalah kusu potar (marsupial), untuk keluarga Saparuane adalah Soa-soa (Kadal) dan lain-laina.


Begitu juga dengan masyarakat pedalaman Seram, khususnya di wilayah Seram Tengah, yang dalam hal ini adalah suku Huaulu. Menurut antropolog, almarhum Valerio Valeri, suku tersebut memiliki banyak tabu dalam kehidupan sosial mereka. Salah satu yang dikaji oleh Valerio Valeri adalah pada artikel yang ditulis dan dipublikasikan pada tahun 1992 ini. Artikel ini berjudul If we feed the, we do not feed on them : A principle of Huaulu taboo and its application, yang dimuat pada jurnal Ethonos, volume 57, seri 3 dan 4, hal 149-167. Pada artikel sepanjang 19 halaman ini, Valeri mengkaji tabu dari suku Huaulu terhadap beberapa hewan, yang dalam pandangan suku tersebut mereka, misalnya anjing, kucing, dan ayam, adalah tabu untuk dimakan dagingnya.

Mungkin bagi kita, pantangan atau tersebut sangat tidak logis, namun Valeri memberi deksripsi dan penjelasan dari alasan-alasan suku Huaulu, mengapa hewan-hewan tersebut adalah tabu buat mereka untuk dimakan dagingnya. Misalnya, anjing, alasan antropologis dan mitos yang mendasari masyarakat suku Huaulu untuk menjadikan mereka sebagai hal tabu. Dikatakan bahwa menurut mitos yang mereka percayai, anjing adalah “sisa-sisa manusia” atau semi-manusia. Penjelasan lebih lanjutnya, akan lebih baik  bisa dibaca pada kajian ini.

Artikel sepanjang 19 halaman ini, berisikan 21 catatan kaki, dan 2 halaman (berisi catatan kaki dan bibliografi), yang sayangnya tidak ada gambar ilustrasi di dalamnya. Pada artikel hasil terjemahan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan beberapa ilustrasi dan catatan tambahan, jika diperlukan. Akhir kata, selamat membaca.... selamat menikmati dan memahami, minimal kita bisa menerima, bahwa saudara-saudara kita di wilayah pedalaman atau pegunungan, memiliki prinsip hidup berdasarkan alasan-alasan yang “rasional”.

 

  1. Terjemahan

Orang Huaulu di Seram (Indonesia Timur) mengatakan bahwa memakan hewan yang mereka beri makan adalah hal yang tabu. Alasannya adalah bahwa berbagi makanan dengan hewan tersebut menyiratkan tentang menghubungkan mereka dengan status sesama makhluk sosial. Status ini pada gilirannya menyiratkan tingkat kepribadian. Manusia tidak bisa diperlakukan seperti hal yang paling utama: makanan. Artikel ini menunjukkan bahwa prinsip "jika kita memberi mereka makan, kita tidak memakannya" berlaku secara berbeda untuk spesies peliharaan dan spesies liar. Jika beberapa individu dari spesies peliharaan dipelihara (atau dibesarkan) oleh masyarakat Huaulu, seluruh spesies menjadi tabu untuk dimakan. Tetapi dalam kasus spesies liar, tabu terbatas pada individu yang benar-benar dipelihara/dibesarkan. Artikel ini juga menunjukkan bahwa prinsip tersebut bukan satu-satunya alasan tabu terhadap hewan peliharaan, tetapi merupakan ringkasan dari berbagai alasan lain yang berkaitan dengan tempat hewan-hewan tersebut dalam pandangan masyarakat Huaulu.


Makuwoli dan Tabu (Pantangan)

Huaulu adalah masyarakat yang sangat kecil (168 jiwa pada tahun 1988) yang mendiami pegunungan bagian tengah, berhutan hujan lebat di pulau Seram. Mereka hidup dari berburu, meramu, mengeksploitasi empulur sagu, dan, semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir pada bidang holtikultura. Mereka berbagi cara hidup dan tradisi mereka dengan sebagian besar tetangga pedalaman mereka, meskipun mereka adalah satu-satunya yang tetap berpegang pada agama tradisional mereka. Jadi, Huaulu adalah “benteng” paganisme yang terjepit di antara saudara-saudara pegunungan mereka yang sebagian besar sudah beragama Calvinis (Kristen) dan orang-orang pesisir yang sebagian besar telah beragama Islam. Mereka berada di antara, yaitu, 2 kekuatan yang lebih besar yang telah membentuk sejarah Seram, salah satu pulau rempah-rempah yang terkenal selama beberapa abad, yaitu : genosida kolonialis Belanda, yang terkenal kadang-kadang kejam, yang melihat atau menganggap konversi ke agama Kristen sebagai alat dominasi, dan kaum Islam militan. Tentang kekuatan ini, dan posisi mereka vis-a-vis dengan kekuatan tersebut, masyarakat Hualu sangat sadar. Memang, mereka membagi dunia yang lebih luas, yang mereka kenal di antara 3 agama (akama dari bahasa India, kata agama sendiri berasal dari bahasa Sansekerta) : yang tertua dan paling unggul adalah Memahem (penduduk pribumi di pedalaman Seram), yang lebih baru dan sedikit mulia dari kelompok pendatang yaitu Laufaha (Muslim), dan agama kesa taka potisi “baru kemarin saja” [from yesterday only], seperti yang mereka katakan – agama Aseraniem (Kristen). Masyarakat Huaulu mengklaim bahwa apa yang menjadi ciri khas Memahem, kontras bagi 3 kelompok lainnya, khususnya bagi orang-orang Kristen, adalah dalam hal memiliki makuwoli “tabu-tabu” yang jumlahnya hampir tidak terbatas. Memang kita tidak perlu tinggal lama di Huaulu, untuk mendengar kata ini.

Seorang anak mengambil buah dan memakannya : ibunya berteriak dengan cemas dan memperingatkannya : tepi, ia makuwoli “jangan, itu tabu/dilarang” [don,t it is taboo]. Seorang wanita tua yang khawatir, melihat jari-jari tangannya, dan mengamati perkembangan penyakit kusta, dan bertanya-tanya apakah kondisinya adalah konsekuensi dari memakan kuskus bertutul (...loreng) atau daging burung dengan larva kumbang, yang keduanya, katanya adalah makuwoli. Etnografer mencoba memotret objek yang tampak tidak berbahaya tetapi unik yang sedang bergantungan, dari rakitnya, dan dia dihentikan oleh teriakan : ia makuwoli. Seekor jangkrik melompat masuk ke dalam sebuah rumah di malam hari, dan orang-orang tergesa-gesa mematikan semua lampu dan untuk menutupi seorang wanita hamil, serta berteriak penuh semangat : ia makuwoli poto “itu sangat tabu” [it is very taboo]. Beberapa pria dalam suasana  filosofis mengeluh dengan bangga, ita Huaulua makuwoliem poto “kami orang Huaulu memiliki banyak tabu/pantangan”, sementara yang lebih tua, mengacu pada dugaan kelemahan generasi muda, bergumam dengan nada pesimis : ita makuwoliem leusi, tepire hakii nika “kami tidak memiliki tabu/pantangan lagi, semuanya telah dibuang/dihilangkan” [we don,t any taboo left, they have all been thrown away] – dan menunjukan konsekuensi/akibat-akibat yang mengerikan : tanda-tanda pembusukan, melemahnya kekuatan Huaulu, tingkah kesuburan yang rendah, dan frekuensi penyakit. Tetapi seorang dukun (shaman) akan memuji salah satu pasiennya : emakuwoli oho, Pinamutua anam ! “ wanita itu tetap menjaga tabu dengan baik [yang sembuh dengan pengobatanku].

Merasa penasaran, para etnografer akan lebih memperhatikan, membuat pertanyaan sistematis, bertanya tntang setiap kombinasi yang bisa dibayangkan yang dapat dinyatakan sebagai makuwoli. Namun, subjek tersebut akan segera terbukti tidak akan habis-habisnya, penjelasan yang diberikan kepada hal itu akan membingungkan, pengetahuan botani dan zoologi yang diperlukan untuk mengidentifikasi spesies yang terlibat sepenuhnya,, diluar kemampuan dirinya. Waktu akan berlalu, dia akan meninggalkan lapangaan penelitiannya, merenung di rumah, mencela dirinya sendiri dengan pahit karena tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jelas, yang sekarang melompat ke pikirannya, kembali ke lapangan beberapa kali untuk menanyakan pertanyaan itu. Pada setiap kunjungan baru, dia diam-diam berharap bahwa tidak ada tabu/pantangan baru yang akan menghampirinya, dia akan berhenti bertanya, namun dia tersandung setidaknya beberapa setiap hari. Dia akan tumbuh sebagai filosofis pahit seperti orang-orang tua yang pertama kali dia dengar bertahun-tahun, sebelum mengeluh tentang tidak adanya tabu saat ini, tetapi menyesal dalam hati bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. 

Namun, jika jumlah tabu tampaknya tidak ada habisnya, dan motivasi tabu terlalu banyak untuk dicakup oleh formula tunggal, belum lagi teori-teori yang tersedia saat ini, konsep makuwoli sendiri cukup mudah – tampaknya sangat dekat dengan gagasan antropologis tentang “tabu”, setidaknya seperti yang saya pelajari. Dalam wacana antopologis kontemporer, “tabu” menunjukan penilaian kolektif dan tradisional tentang bahaya. Benda-benda/hal-hal atau orang-orang tertentu dalam beberapa cara melekat pada kekuatan yang secara otomatis dipicu, ketika kita melakukan kontak dengan mereka, dengan mendekati, atau memberi nama, atau dengan cara apapun menggunakan benda-benda atau orang-orang itu. Setidaknya dalam kesadaran asli, hubungan antara tindakan yang membawa seseorang ke dalam kontak dengan objek, dan reaksi bahaya yang “dilepaskan” oleh objek tersebut dipahami sesuatu yang empiris, yang harus dipertimbangkan ketika bertindak (seperti kita mempertimbangkan gravitasi saat ingin melompat), bukan sebagai hubungan antara norma dan sanksi konvensionalnya. Cara memahami atau memandang hubungan ini terkait dengan ciri khas gagasan tabu : niat sama sekali tidak relevan – apakah seseorang telah melakukan kontak dengan entitas tabu secara sukarela atau tidak, seseorang akan terkena. Kekuatan mencolok juga biasanya dipahami sebagai tanpa kemauan dan bahkan kepribadian – bahkan sering dibiarkan tidak terdefinisi. Kehendak apapun yang mungkin dimiliki oleh kekuatan ini, atau tidak dilakukan di bidang tabu, dimana ia bereaksi secara otomatis dan tak terhindarkan.

Tabu dengan demikian merupakan bentuk ekstrim dari reifikasi aturan moral atau kognitif. Dengan memperlakukan aturan-aturan ini sebagai benda-benda, sebagai objek properti yang terlepas dari kehendak siapa pun, bahkan kehendak leluhur, roh, atau dea, itu mengubahnya menjadi absolut, hal itu membuat aturan itu benar-benar menarik. Jadi, gagasan tabu berkembang di sekitar aksioma yang paling penting dari suatu budaya, terutama dimana tidak ada otoritas politik yang mampu menegakkannya. Tetapi bahkan dimana otoritas politik, hukum dan agama berkembang, sisa gagasan tabu tetap ada, baik karena ada aksioma yang tidak dapat sepenuhnya ditegakkan oleh negara atau gereja atau karena lembaga tersebut harus tunduk pada aksioma ini, dan tidak pernah dapat menentang hal itu. Inilah tepatnya mengapa seseorang masih dapat berbicara tentang tabu inses atau tabu pembunuhan dalam masyarakat modern dan mendeteksi jejak reaksi sosial yang dimanifestasikan terhadap pelanggaran itu (yang seharusnya membawa polusi, penyakit, degenerasi.....) yang begitu umum dalam masyarakat, dimana gagasan tabu umumnya digunakan.

Reaksi seperti itu mengkristal di sekitar tubuh hanya diharapkan karena aspek tindakan yang sengaja diabaikan dalam pengertian tabu. Ketika niat dihilangkan, yang tersisa hanya tubuh yang dipandang sebagai entitas pasif dan permeabel yang tidak lagi dikendalikan oleh subjek yang bertindak. Secara paralel, ketika aturan dan penegakannya terlepas dari segala bentuk agensi, manusia atau manusia super, mereka memperoleh kualitas proses alami, mereka menjadi buta dan tak terhindarkan seperti tersebut. Inilah sebabnya mengapa tabu, dalam menghilangkan seluruh sektor kehidupan sosial dari kotingensi, cenderung mengaitkannya dengan fenomena fisik atau dengan gagasan yang mengikutinya : kemalangan fisik, terutama dalam bentuk penyakit, atau polusi, yang beroperasi seperti penyakit, memang “dengan ketidakpedulian yang sama kejamnya terhadap motif seperti kuman tipus” (Dodds, 1951 : 36). Dihadapkan dengan fenomena ketidakberdayaan total ini, satu-satunya penegasan yang mungkin dari kendali manusia adalah penolakan : penghindaran, tabu. Sebaliknya, negasi dari negasi itu, pelanggaran atau pengabaian tabu, melibatkan hilangnya kendali total, bahkan hilangnya relevansi organ kendali itu sendiri, yaitu kehendak. Karena membuat segala sesuatu yang bukan tubuh pada tingkat paling pasifnya menjadi tidak relevan, polusi adalah bentuk tertinggi dari penghinaan. Ia juga merupakan gagasan keagamaan yang paling akhir – jika agama muncul dari gagasan tentang ketidakberdayaan dan ketergantungan manusia terhadap kondisi keberadaan manusia, jika ia memberi manusia suatu kemanusiaan dengan merampok mereka sepenuhnya, jika ia melihat manusia pada dasarnya berpenyakit, dan berpenyakit di tempat pertama oleh kematian yang melingkupinya.  

Seperti yang telah saya sebutkan, definisi tabu dan bidang gagasan dimana ia berada, sama dengan gagasan masyarakat Huaulu tentang makuwoli, meskipun saya tidak dapat menunjukkannya di sini. Gagasan tersebut memberikan kesatuan pada sejumlah besar praktik masyarakat Huaulu, dan terutama pada kesadaran masyarakat Huaulu dan bahkan rasa identitas. Tetapi alasan mengapa objek atau kombinasi objek tertentu adalah tabu sangat beragam. Selain itu, kita dihadapkan pada upaya masyarakat Huaulu sendiri untuk menjelaskan atau membenarkan praktik tertentu. Ini terkadang bersifat ad hoc dan sedikit demi sedikit, tetapi terkadang memerlukan prinsip dan aturan. Penjelasan semacam itu tidak dapat diabaikan begitu saja : tidak hanya mereka bagian dari bukti, tetapi mereka tampaknya kadang-kadang memotivasi keputusan untuk tabu pada hal-hal yang sebelumnya tidak ditemui. Namun bahkan dalam kasus dimana penjelasan asli tampak memadai, hal itu harus disamarkan dan diselesaikan. Semua ini menimbulkan masalah yang sulit tentang hubungan antara kesadaran asli dan kesadaran para etnografer, di samping masalah yang lebih umum tentang kesadaran dan tindakan. Saya telah memilih sekelompok kecil tetapi sangat penting dari tabu-tabu - pada hewan/binatang peliharaan -  dimana maslah ini tidak menjadi keras. Apa yang menurut saya merupakan interpretasi yang memuaskan dari tabu-tabu ini, dapat diperoleh dari pernyataan-pernyataan masyarakat Huaulu sendiri, asalkan pernyataan-pernyataan ini ditempatkan dalam konteks yang mereka duga. Oleh karena itu, tugas penafsiran saya akan terbatas pada mengembalikan konteks-konteks ini. Ini sama dengan menggambarkan pengalaman dan gagasan yang dapat saya saksikan atau rekonstruksi sendiri, tetapi yang tidak diungkapkan secara langsung oleh masyarakat Huaulu – terutama yang tidak sejalan dengan penjelasan mereka tentang tabu.


Binatang-binatang liar dan peliharaan

Semua laki-laki Huaulu, dalam praktiknya dan dengan sepenuh hati, adalah para pemburu. Hutan besar yang mengelilingi mereka dari setiap sisi, penuh dengan babi hutan, rusa, kasuari, marsupial, burung, dan ular. Banyak sungai dan jeram dipenuhi dengan ikan, belut, dan crustasea. Saat tidak terlibat dalam aktivitas favorit mereka berburu hewan-hewan ini, suku Huaulu berbicara tanpa henti tentang hal itu. Kata-kata menemukan gema yang meneguhkan dalam bau darah yang sudah dikenal, bulu yang terbakar, daging setengah matang yang terbakar api, yang menekankan hasrat besar dalam berburu. Tidak ada makanan yang dianggap layak sebagai makanan, jika tidak ada sedikit ayokuam : “daging” dalam arti luas, yaitu daging sari semua hewan yang dapat dimakan. Makan sagu – sayuran pokok – tanpa ada daging atau, seperti yang dikatakan orang Huaulu ipia koakoam “sagu kosong-kosong” (makan sagu saja) merupakan penderitaan dari penghinaan tertinggi gastronomi.

Tetapi betapapun masyarakat Huaulu menyukai daging, tidak semua spesies hewan cocok untuk disajikan/disediakan. Beberapa spesies, mereka anggap menjijikan (i makapoaire), tetapi banyak lainnya tidak dimakan karena tabu, yang tentu saja berbahaya. Hampir tidak ada spesies, pada kenyataannya, yang tidak tabu bagi seseorang di beberapa titik; tetapi sejumlah spesies atau kombinasi dari itu sangat tabu bagi semua orang. Di antara ini, satu kelompok menonjol dengan sangat jelas : hewan yang hidup dengan masyarakat Huaulu di pemukiman mereka, dan yang mereka beri “makan” atau “membesarkan” (umanaki, apiara). Apa pun kerumitan dan lika-liku tabu, tampaknya ada perbedaan mendasar bagi kaum pemburu ini : daging yang sah hanya dapat disediakan/diperoleh dari hewan liar, dari hewan yang diburu; hewan yang hidup bersama suku Huaulu, yang tidak diburu, semuanya tabu/dilarang. Ini adalah kebalikan yang hampir total dari hukum makanan Alkitab (dan, yang lebih penting untuk masyarakat Huaulu, juga hukum makanan Islam), dimana paradigma makanan disediakan dari hewan peliharaan (sapi, domba, dan kambing), yang merupakan “sahabat” manusia, bukan oleh musuh-musuhnya (kutipan Soler, 1973)1


Prinsip bahwa hewan yang dibesarkan atau dipelihara oleh masyarakat suku Huaulu sangat dilarang untuk dimakan, dengan jelas dan berulangkali dikemukakan oleh informan saya : kalu ita umanakire ita aere ia makuwoli “jika kita memberi mereka makan, maka tabu untuk memakan mereka” [if we feed them it is taboo to eat them], kalu ita apiaraire ita aere ia makuwoli “jika kita membesarkan/memelihara atau mengadopsi mereka, maka tabu untuk memakannya” [if we raise/adopt them it is taboo to eat them]. Jelas prinsip tersebut mengikuti makna yang diberikan masyarakat Huaulu pada tindakan “memberi makan/membesarkan/memelihara”. Dengan memberi makan hewan secara terus menerus, seperti halnya dengan memberi makan anak-anak (kata umanaki dan apiara digunakan dalam kedua kasus ini), kita membuat/menjadikan hewan-hewan itu menjadi sesama makhluk sosial. Dengan kita mengizinkan mereka (hewan tersebut) memasuki ruang-ruang di rumah atau desa, dan dengan demikian membuat hewan tersebut berpartisipasi, betapa pun tidak langsungnya, dalam kehidupan sosial yang berlangsung di ruang-ruang itu. Seperti jenis makhluk sosial, hewan yang biasa diberi makan oleh masyarakat suku Huaulu, juga diberi tingkat/level pribadi atau kepribadian, yang tidak sesuai dengan memperlakukan mereka sebagai makanan. Memang, aktivitas makan berarti menggabungkan makhluk lain dengan menghancurkannya, dan dengan demikian menguranginya menjadi sesuatu yang sederhana, yang dengannya tidak ada hubungan timbal balik, betapa pun asimetrisnya yang mungkin. Formula Kant “tidak mungkin menjadi benda dan orang pada saat yang sama“2, terlalu radikal untuk diterapkan pada suku Huaulu, atau pada masyarakat manusia manapun yang ada dalam hal ini. Tetapi jika diubah menjadi formula “tidak mungkin menjadi makanan dan orang pada saat yang sama”, itu adalah prinsip yang benar-benar universal. Karena dimana-mana, makanan adalah kebalikan dari pribadi, itu adalah hal paradigmatik3. Dunia sosial saya berakhir, dimana makanan saya dimulai. Inilah sebabnya, mengapa makan bersama adalah tindakan paling primordial dari konstitusi sosial : di dalamnya (saat makan), para rekan semeja makan saling mengenali satu sama lain sebagai pribadi dengan menyangkal kepribadian makhluk hidup yang mereka perlakukan sebagai makanan. Kita dimasukan dengan mengecualikan orang lain, yang sebenarnya direduksi menjadi tubuh belaka.

Maka, sebagai sesama makhluk sosial diberikan setidaknya bentuk martabat ini : mereka terhindar dari aib karena diperlakukan hanya sebagai benda, dalam hal ini sebagai makanan. Bahkan jika mereka (hewan) terbunuh (dan merupakan musuh manusia atau beberapa hewan peliharaan), mereka tidak dimakan. Dalam keadaan normal, kanibalisme sangat menjijikan bagi suku Huaulu4, dan diidentikkan dengan sosok-sosok menjijikan seperti asatalayem “raksasa” (orang-orang dengan sosok manusia, setidaknya sebagian, tetapi yang ukurannya mengerikan, menjadikan mereka sifat yang tidak manusiawi), atau manusia yang beralih/berubah menjadi lycantropi (i masiele) atau penyihir (suaki, suakipatia). Kengerian yang dirasakan karena kanibalisme beralih ke memakan hewan yang hidup dalam kehidupan sosial dengan suku Huaulu.

Penting untuk dicatat bahwa prinsip umum “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakannya”, memiliki konsekuensi yang berbeda tergantung pada apakah hewan yang biasa diberi makan termasuk dalam spesies yang secara intrinsik dianggap liar atau spesies yang secara intrinsik didomestikasi/dipelihara. Dalam kasus sebelumnya, tabu terbatas pada individu hewan yang diberi makan. Dalam kasus terakhir, hal itu diperluas ke spesies secara keseluruhan. Ambil contoh, misalnya, babi atau kasuari, yang merupakan hewan liar dalam pengalaman masyarakat Huaulu. Jika seekor anak babi atau anak burung kasuari dibawa kembali ke desa untuk dipelihara sebagai hewan peliharaan atau maskot/simbol (seperti yang kadang terjadi di masa lalu) atau untuk dijual kepada orang asing (seperti yang kadang-kadang terjadi di masa kini), hewan itu menjadi tabu untuk dimakan bagi semua masyarakat Huaulu. Semua anggota lain dari spesies hewan tersebut, tetap dapat dimakan. Sebaliknya, jika hewan liar dari spesies yang tidak pernah ditemui, diberi makan/dibesarkan oleh suku Huaulu, tabu meluas ke spesies secara keseluruhan. Dengan demikian, seluruh spesies anjing, kucing, dan ayam adalah tabu untuk dimakan oleh semua masyarakat Huaulu, karena mereka (suku Huaulu) memberi makan/memelihara beberapa anggota individu hewan tersebut.

Maka, tampaknya hewan-hewan tertentu “diadopsi” sebagai spesies, sedangkan beberapa hanya diadopsi sebagai individu. Dan perbedaannya terletak pada fakta bahwa yang pertama secara universal ditemukan dalam hubungan dengan manusia – bahwa mereka, bukan hanya hewan “domestik”, tetapi juga hewan “domestikasi”. Asosiasi universal ini menunjukan bahwa mereka (hewan) itu semua, entah sudah tua atau masih muda, memiliki potensi untuk dibesarkan/dipelihara oleh suku Huaulu pada khususnya. Memang orang Huaulu dapat membeli, atau memperoleh anjing, kucing, dan ayam dari mana saja. Dalam pengertian ini, semua individu anjing, kucing, dan ayam, dimana pun mereka ditemukan, dapat dipertukarkan satu sama lain dari perspektif suku Huaulu. Klaim atas spesies ini secara keseluruhan ditandai dengan memperluas tabu yang tidak dapat dimakan ke dalamnya. Betapapun etnosentris alasan tabu itu (masyarakat Huaulu tidak menganggap tabu spesies peliharaan yang mereka pelihara5), itu membutuhkan referensi kepada umat manusia. Berdasarkan asosiasi universal mereka dengan manusia, semua individu dari spesies tertentu dapat memperoleh hubungan khusus dengan masyarakat Huaulu. Dalam pengertian ini, tabu, dengan tidak dapat dipisahkan dari hewan-hewan ini dengan spesies mereka, menghubungkan tuan mereka dengan spesies (manusia) mereka sendiri. Suku Huaulu mengenali komponen manusia universal dalam diri mereka dengan mengenalinya pada anjing, atau kucing, atau ayam mereka – dengan mengakui bahwa hewan-hewan ini hanya ditemukan berhubungan dengan manusia.

Karena semua individu dari spesies yang “diberi makan” setara satu sama lain dalam hal diberi makan, menciptakan beberapa individu menjalin hubungan dengan mereka semua. Sebaliknya, memberi makan beberapa individu spesies liar tidak memiliki efek seperti itu. Yang universal, dalam hal ini, tidak sesuai dengan yang khusus. Anggota spesies yang tidak diberi makan tidak dapat dipertukarkan dengan yang diberi makan. Dalam prinsip “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakannya”, referensi tentang “mereka tetaplah bersifat sangat khusus.

Kontras antara spesies yang secara intrinsik liar dan yang didomestikasi secara intrinsik ini dibentuk oleh hal yang tidak dapat disangkal oleh perluasan yang berbeda dari tabu yang tidak dapat dimakan, tetapi tidak diterjemahkan ke dalam kategori verbal yang mungkin dapat dirujuk oleh masyarakat Huaulu. Asimetri dengan demikian diberikan realitas oleh praktik tetapi tidak dengan konseptualisasi. Ini adalah fenomena yang sering terjadi dalam sistem tabu masyarakat Huaulu. Memang salah satu kategori oposisi utama yang mendasarinya adalah antara “binatang” dan “manusia”. Ada kata untuk “human” (manusia), tetapi tidak ada kata untuk “binatang”. Namun kategori “binatang” sangat jelas ditopang oleh sejumlah tabu penting yang berlaku untuk semua hewan tanpa pandang bulu (sebagai contoh: tabu mengenakan pakaian manusia pada hewan apa pun, entah liar atau peliharaan). Jadi, tampaknya gagasan ditopang oleh tabu dan bukan hanya oleh kata-kata. Dan mengapa tidak, karena, bagaimanapun juga, ucapan adalah sejenis praktik, seperti makan, berpakaian, dan sebagainya??.

Kualifikasi penting lebih lanjut dari prinsip “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakannya” dalam hal menyangkut dengan burung. Masyarakat Huaulu sering menangkap burung sebagai hewan peliharaan atau untuk dijual. Dengan demikian, masing-masing hewan berpindah atau “berubah” dari kategori liar ke kategori “diberi makan”. Namun kebetulan mereka dimakan, jika mereka mati di penangkaran/kandang6. Hanya burung yang telah dipelihara sebagai hewan peliharaan untuk waktu yang lama, atau yang memiliki kekuatan untuk meramal (seperti yang sering dilakukan spesies tertentu), yang tidak pernah dimakan. Juga, spesies burung tertentu sangat tabu untuk keturunan tertentu – entah burung itu diberi makan atau tidak. Bagaimana mungkin untuk menjelaskan fakta bahwa burung sering dikecualikan dari prinsip “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakannya”???.

Alasannya adalah bahwa prinsip mengandaikan parameter diam-diam. Tidak semua hewan memiliki potensi yang sama untuk menjadi sosial, untuk berasimilasi dengan manusia. Spesies tertentu secara intrinsik lebih dekat dengan manusia. Ini biasanya terjadi pada mamalia atau hewan besar lainnya, dimana karakter antropomorfik atau sosiomorfik dapat dikenali. Konsekuensi dari kedekatan ini adalah bahwa hewan-hewan ini dapat lebih mudah diindividualisasikan, dan dengan demikian diintegrasikan, melalui tindakan memberi makan, dengan pemberi makan dan komunitasnya, dan pada saat yang sama dipisahkan dari anggota lain dari spesies mereka yang tetap liar.

Sebaliknya, burung tidak mudah diindividualisasikan – selain kurang antropomorfik dibandingkan semua hewan lain yang mungkin “diberi makan” oleh masyarakat suku Huaulu. Inilah salah satu alasan mengapa, betapapun seringnya seekor burung diberi makan oleh manusia, burung cenderung tetap dipandang sebagai anggota “komunitasnya” daripada sebagai anggota komunitas pemberi makannya. Oleh karena itu, kecuali spesiesnya secara keseluruhan “diberi makan” (seperti halnya ayam), seekor burung tidak – atau tidak mudah – menjadi bagian dari masyarakat Huaulu. Untuk alasan pengecualian atau penyertaan yang kurang kuat ini, satu lagi ditambahkan. Suku Huaulu memberi makan hewan yang “dijinakkan” (anjing, kucing, dan ayam) dengan sisa makanan yang telah matang dari masyarakat. Ini menciptakan hubungan yang lebih dekat – hubungan melalui dapur rumah. Mereka hampir komensal – dan ini terutamma terjadi pada anjing dan kucing. Sebaliknya, burung biasanya diberi makan dari makanan biasa mereka sendiri (yaitu buah dan terutama pisang) dan biasanya dalam keadaan masih mentah7. Bahkan makanan yang mereka terima di penangkaran/kandang, kemudian, menunjukan bahwa integrasi mereka ke dalam masyarakat Huaulu sangat parsial.

Kita akan mulai melihat bahwa kesederhanaan yang tampak dari pernyataan “jika kita memberi mereka makan, kita tidak boleh memakannya”, menyembunyikan pra anggapan yang sangat memperumit fungsi yang sebenarnya. Sebenarnya ada lebih dari “memberi makan” ke tabu yang menandai hewan yang dipelihara oleh masyarakat Huaulu. “Memberi makan” bukanlah prinsip tunggal yang darinya tabu – dan tidak bisa dimakan pada awalnya – berasal, daripada sejenis singkatan untuk semua relasi simbolis yang ada antara masyarakat Huaulu dan hewan yang mereka pelihara. Komensalitas adalah kode totalitas hubungan sosial di antara manusia, jadi “memberi makan” hewan, mungkin, seperti di sini, sebuah metafora untuk semua konsekuensinya – itulah kehidupan yang dimiliki oleh tuan dan hewan. Keanekaragaman dan intensitas yang berbeda dari kehidupan ini yang menjelaskan mengapa tabu seputar hewan “yang diberi makan”, dan tabu untuk memakannya, bervariasi dalam tingkat keparahannya. Intinya paling baik diilustrasikan oleh 3 hewan peliharaan yang dipelihara oleh suku Huaulu, yaitu anjing, kucing, dan ayam.

 

ANJING

Anjing adalah objek tabu/pantangan yang paling kuat, karena anjing merupakan hewan yang paling dekat dengan manusia – terutama laki-laki sebagai pemburu. Ini hanya diharapkan dalam masyarakat pemburu yang bersemangat, dimana anjing yang setia dan agresif, anjing yang “menggigit buruan” (ia koto peni), adalah teman yang paling berharga8. Saya berulang kali diberitahu : ita makuwolira poto; sehu ita umanakira nika. Pohi manusia rahe lesiniam “Itu [Anjing] sangat tabu bagi kami, karena kami telah memeliharanya. Apalagi itu [anjing] adalah sisa-sisa manusia” [It [the dog] is extremely taboo for us, since we have raised/fed it. Moreover it is mankind's residue]. Pernyataan terakhir, mengacu pada mitos yang menurut mitos tersebut, anjing diciptakan oleh sang pencipta dari sisa-sisa zat yang dengan itu, dia membentuk pasangan manusia pertama. Motif anjing sebagai sisa-sisa umat manusia memiliki gaung dalam mitos lain, dimana anjing muncul yang terakhir, setelah nenek moyang manusia yang merupakan orang Seram dan pulau-pulau sekitarnya, muncul dari perut raksasa yang robek. Mitos ini menyiratkan bahwa anjing dan manusia memiliki asal yang sama, meskipun anjing sebagai “sisa-sisa” dari tuannya atau muncul setelah itu, lebih rendah dari tuannya. Lebih jauh, anjing ditampilkan dalam mitos kedua sebagai penolong para leluhur saat berburu, sebagai pembela mereka terhadap binatang buas, dan yang terpenting sebagai pihak yang mendatangkan/membawa api bagi leluhur manusia, dengan mencuri api dari babi hutan, yang merupakan pemilik asli dari api itu. Mitos tersebut dengan demikian menghadirkan anjing lebih dari sekedar pendamping manusia dalam perburuan : anjing melambangkan seluruh proses perampasan hewan liar – mulai dari pembunuhan hingga transformasinya menjadi makanan yang dimasak. Oleh karena itu, ini melambangkan proses utama yang memungkinkan kehidupan sosial masyarakat Huaulu. Ini adalah alasan lain untuk menganggap anjing sebagai bagian dari kehidupan sosial itu, dan tidak dapat diganggu gugat.

Tidak dapat diganggu gugatnya anjing sebagai anggota semi-manusia dari masyarakat Huaulu, diakui oleh tabu tambahan yang melengkapi tabu yang lebih mendasar dari melarang memakan daging anjing. Adalah tabu untuk memukul anjing, tidak hanya dengan parang, tetapi juga dengan sapu atau dengan tongkat bambu atau dengan tongkat api. Menendang anjing juga tabu dan, bagi wanita, adalah menaiki anjing. Tabu yang terakhir, dimaksudkan untuk melindungi hewan itu, dari polusi menstruasi dan agar tidak terkontaminasi dengan dugaan “berat atau lamban” (monumonuam) dari wanita, kualitas yang paling tidak diharapkan/diinginkan dalam atau saat perburuan9. Jika tabu ini dilanggar, anjing akan berhenti mengejar dan menggigit binatang buruan, dan menjadi tidak berguna. Saya diberi atau diceritakan banyak anekdot tentang konsekuensi mengerikan dari perlakuan buruk terhadap anjing. Laipasa, misalnya, mengatakan kepada saya bahwa ketika putrinya meninggal, hatinya “kacau”, “tidak terkendali”, “gila” (haliku takaruwa). Ia mengalihkan amarah dan rasa sakitnya pada kehilangan yang ia alami kepada anjing kesayangannya. Akibatnya, hewan yang “tersinggung” itu, yang biasanya “membunuh 3 atau 4 hewan liar sehari”, tidak pernah membunuh lagi. 

Pemburu sering membiarkan anjing kesayangan mereka, makan dari piring pemburu itu sendiri, tetapi beberapa orang dapat dimengerti, lebih mudah tersinggung dengan bentuk kebiasaan ini, terutama jika anjing itu bukan milik mereka. Suatu ketika, saat Aipai masih kecil, anjing kesayangan ayahnya mengambil/makan makanan dari piringnya. Karena marah, Aipai memukul binatang itu. Ayahnya sangat marah sehingga menarik parangnya dan mengacungkan seolah-olah akan membunuh Aipai. Kakak-kakak Aipai berhasil menghentikan sang ayah, yang kemudian mengutuk mereka semua, bahwa jika mereka memakan daging yang dibunuh oleh seekor anjing, perut mereka akan membengkak dan mereka akan mati. Pada saat saya pertama kali tinggal di Huaulu, bagian pertama dari kutukan itu (perut membengkak) itu sudah terjadi; dan ketika saya kembali untuk kunjungan kedua, 3 bersaudara itu telah meninggal. Orang-orang menyebutkan cerita itu berulang kali untuk menggambarkan keseriusan terhadap tabu pada anjing, tetapi juga, mungkin, untuk bertanya-tanya tentang seorang pemburu yang lebih mencintai anjingnya daripada anak-anaknya – walaupun menurut saya, ini bukan fenomena yang jarang.

Namun, kesukaan pada anjing terbatas pada anjing-anjing yang bisa membunuh hewan. Tentang anjing, suku Huaulu sangat liris. Tuan dari anjing tersebut tidak hanya berbagi makanan terbaik mereka dengan anjing, membelai dan mencium mulut anjing, tetapi mereka bahkan mungkin tidur di tikar yang sama10. Tetapi begitu anjing gagal menunjukan keberanian dan gagal membawa pulang daging, sikap tuan terhadap anjing berubah dengan kasar. Hewan tersebut dikutuk, dihina, ditendang, diludahi, dicemooh karena upaya menyedihkan hewan tersebut untuk mendapatkan kembali rahmat dan kebaikan dari tuan mereka. Hewan tersebut terus diingatkan bahwa mereka telah makan tanpa bekerja, bahwa itu mereka “mencuri” (i amana) makanan. Dan jika ejekan itu tidak cukup untuk mengubah perilaku hewan tersebut, manusia akan bertanya dengan tajam [kepada anjing] : “kapan kamu akan mati” ???. Saya tidak suka anjing, terutama di bagian keropeng, yang banyak di Huaulu, tetapi hati saya yang keras tergerak untuk mengasihani hewan tersebut pada kesempatan-kesempatan tertentu. Saya masih ingat dengan rasa sakit, misalnya, anjing yang menyedihkan berjalan tanpa suara ke arah tuannya untuk mengambil sedikit makanan. Sang tuan telah lama melihatnya datang berjalan dan sedang menunggu waktunya dengan kesenangan yang sadis. Ketika anjing itu hampir mencapai potongan makan, yang didapatnya hanyalah pukulan brutal, berbagai kutukan dan pernyataan, yang diteriakan setengah dalam bahasa Indonesia, setengah dalam bahasa Huaulu : manusia maata, mau hidup kembali “ manusia yang sudah mati mau hidup kembali” [a dead man wants to live again].

Bahkan penghinaan dan kutukan ini, bagaimanapun, menunjukan sejauh mana anjing dimanusiakan. Penghinaan, pada kenyataannya, hanya ditujukan kepada anjing dan sampai batas tertentu kepada kucing. Hal tersebut adalah tabu, juga kutukan, cemoohan, atau bahkan tertawa terhadap hewan liar, justru karena perilaku ini hanya cocok di antara manusia, dan menggunakannya dalam menghadapi binatang buas akan membuat perbedaan antara manusia dan kejatuhan dunia binatang. Yang menunjukan bahwa anjing bukanlah binatang seperti yang lain, mereka adalah semi manusia, atau “sisa-sisa umat manusia” atau bahkan secara metafora disamakan dengan manusia, seperti dalam kutukan di atas. Jika masyarakat suku Huaulu yang kecewa, menghina hewan tersebut dengan sangat kejam, justru karena mereka merasa dikhianati oleh “teman-teman” yang tidak tetap dan berubah-ubah ini, yang dengan mudah diubah oleh rasa malas dan niat jahat. Kebaikan kita terhadap hewan peliharaan kita adalah karena fakta bahwa mereka hanyalah pelengkap dari diri kita sendiri, hewan tidak berguna yang kita sukai justru sejauh mereka tidak memiliki keinginan sendiri, bahwa kita mengenali jurang antara mereka dan kita. Kebajikan kita adalah sikap lalim terhadap “budak” peliharaannya. Sikap masyarakat Huaulu terhadap anjing-anjingnya sangat berbeda, itu dibentuk pada sikap mereka terhadap sesama manusia. Manusia disukai dan dikagumi sejauh mereka adalah sahabat dan mitra yang baik, bahwa mereka memberi dan tidak hanya menerima. Anjing yang berhenti berburu, yang takut pada binatang liar, dihina karena kepengecutan mereka (keburukan terakhir bagi masyarakat Huaulu), dan karena perilaku parasit mereka, seperti halnya manusia. Menghina mereka bukan sekedar lelucon buruk – ini adalah upaya untuk mengingatkan mereka bahwa harus memenuhi kontrak mereka dengan manusia. Memang diyakini bahwa anjing dapat memahami bahasa tuannya, meskipun mereka tidak dapat berbicara. Reaksi skeptis atau keraguan saya terhadap informasi ini, sering ditanggapi dengan undangan untuk melakukan percobaan : “Mari kita katakan saja di depan seekor anjing : “ayo kita bunuh anjing itu”. Anda akan melihat bahwa ia/anjing itu akan segera melarikan diri, karena ia dapat mendengar/mengerti” (ia pulai).

Bahwa kontrak implisit seharusnya antara masyarakat Huaulu dan anjing mereka, dengan kewajiban dan tugas bersama, tampaknya ditunjukan oleh fakta bahwa beberapa tabu yang melindungi anjing dari kekerasan diabaikan dan de facto ditangguhkan ketika anjing berhenti menyediakan/memberikan daging, atau lebih buruk lagi, ketika ia mulai mencuri makanan dari rumah. Dalam kasus ini, anjing dapat dipukuli, bahkan dengan kejam, dan tidak diberi makan. Tetapi ada batas untuk putusnya suatu hubungan. Membunuh seekor anjing tetap merupakan kejahatan yang tak terkatakan, suatu kejahatan yang harus ditebus11. Sebagai contoh kejahatan dan hukuman, cerita berikut ini diceritakan kepada saya. Dahulu kala, beberapa orang dari clan Tamatay kiitam sangat terganggu oleh pencurian terus menerus dari seekor anjing milik clan lain (yaitu Allay), sehingga mereka membuat perangkap (susukaluam) untuk menangkap anjing itu. Anjing itu dibunuh, tetapi hukumannya (akibatnya) datang sangat cepat dan tetap berlaku sampai hari ini. Anggota dari garis clan itu sering menderita, dan terkadang meninggal, karena asma12. Karena kejahatan kuno ini, mereka seharusnya tidak boleh memakan daging hewan yang dibunuh dengan bantuan anjing. Mereka hanya boleh memakan daging hewan yang dibunuh oleh perangkap. Setelah melanggar kontrak dengan anjing melalui pembunuhan itu, mereka tidak dapat tanpa bahaya untuk mendapatkan keuntungan dari pemenuhan kontrak tersebut. Kita dapat menerima hanya jika seseorang memberi. Atau lebih baik : menerima dan memberi jenis yang sama : jika seseorang memberi kematian, ia [juga] menerima kematian.

Lebih buruk lagi dari membunuh anjing adalah memakan daging anjing itu. Hal ini diakui sebagai salah satu pantangan/tabu yang paling kuat (ita rahe makuwoli poto; ita makuwolire poto), dan karena itu pelanggaran terhadapnya diyakini akan menyebabkan kematian bagi pelanggarnya/pelakunya. Ini juga merupakan tabu yang sangat terkait dengan identitas suku Huaulu sebagai Memahem (“Pagan”), dan ini dengan beberapa alasan, karena tabu mengindeks seluruh cara kehidupan, berdasarkan perburuan, yang merupakan atau merupakan tipikal masyarat pedalaman Seram, dan yang ditolak oleh budaya orang Kristen (Aseraniem) dan Islam (Laufaha), yang kedua budaya itu secara paradigmatik terkait, setidaknya di pulau Seram, dengan hortikultura dan pengembangbiakan hewan untuk makanan13. Meskipun orang Islam juga tidak makan daging anjing14, dalam pandangan masyarat suku Huaulu, perbedaan mereka relatif terhadap orang Kristen dan Pagan terletak pada tidak makan daging babi. Demikian pula, meskipun orang Kristen dikenal antinomian, dan karena itu dilaporkan tidak memiliki pantangan makanan, mereka secara berbeda diidentifikasi dengan tidak adanya satu pantangan makanan tertentu : yaitu daging anjing.

Singkatnya, makan daging anjing bagi orang Kristen sama saja dengan tidak memakannya bagi orang Pagan, dan tidak makan daging babi bagi orang Islam. Ini menjelaskan mengapa dalam pandangan suku Huaulu, tetapi juga sampai batas tertentu dalam pandangan tetangga pedalaman yang telah dikristenkan, makan daging anjing – memang secara ritual menjadikan – tanda pertobatan ke agama Kristen, sedikit mirip dengan makan daging babi sebagai tanda asimilasi bagi orang Yahudi abad ke-19 di Eropa.

Menurut informan saya, hanya 4 orang suku Huaulu yang pernah makan daging anjing, semuanya menetap di pesisir, dan atas dorongan orang-orang dari Opin yang telah menjadi Kristen. Tiga di antaranya meninggal tidak lama kemudian. Yang ke-empat, yang mengaku makan daging anjing “untuk merasakan bagaimana rasanya”, menjadi lumpuh dan demikian tidak dapat menyediakan makanan untuk dirinya sendiri15. Peristiwa yang mereka alami adalah peringatan permanen tentang konsekuensi mengerikan dari mengabaikan/melanggar tabu pada daging anjing.

==== bersambung ====

Catatan Kaki

1.     “Mereka akan memanfaatkan banyak manfaat bagi diri mereka sendiri, dan pada hari-hari yang tepat menyebut nama Tuhan atas ternak yang telah Dia berikan kepada mereka untuk dimakan” (Al-quran 22 : 27, terjemahan Dawood, hal 334)

2.     Kant, Eine Vorlesungüber Ethik,p. 207 (cit. A. Philonenko 1972: 486).

3.     Kanibalisme mungkin tampak pengecualian, tetapi sebenarnya merupakan penegasan terbaik dari prinsip ini. Karena dalam memperlakukan seseorang sebagai makanan, seseorang menandakan bahwa dia berada di luar komunitasnya—baik di bawahnya (kanibalisme yang menghina) atau di atasnya (kanibalisme pengorbanan), dan lebih sering keduanya.

4.     Satu-satunya pengecualian sebagian adalah, di masa lalu, dugaan menjilati beberapa darah yang menetes dari kepala musuh yang ditaklukkan. Darahnya bahkan bisa dikonsumsi dengan mencampurnya dengan sagu

5.     Dengan demikian kambing (uneune) yang hanya mereka ketahui dalam keadaan dijinakkan, bukanlah hal yang tabu bagi mereka karena mereka tidak memeliharanya. Tapi itu hampir tidak dimakan bagaimanapun caranya.

6.     Namun, orang dewasa biasanya tidak memakan burung-burung tersebut. Dikatakan bahwa kebanyakan anak laki-laki—yang paling banyak menangkap burung-burung itu—yang memakannya. Pengamatan saya membuktikannya.

7.     Jarang sekali tanaman yang dimasak diberikan kepada burung tertentu, terutama kakatua muda (laakam).

8.     Anjing bahkan merupakan analog dari pemburu manusia, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai kesejajaran yang dibangun antara anjing pemburu yang baik dan pemburu yang baik atau bahkan pemburu kepala/pemotong kepala. Seperti yang terakhir, seekor anjing yang baik mungkin memiliki lusiem-nya, yaitu roh-roh elang yang memasukinya dan memberinya kekuatan luar biasa yang memungkinkannya untuk menyerang hewan liar yang paling ganas tanpa rasa takut. Juga, seekor anjing yang telah membunuh sejumlah besar hewan diberi gelar kapitane, yang di lingkungan manusia dikaitkan dengan seorang pejuang yang telah membunuh setidaknya sepuluh manusia. Perhatikan juga bahwa cerita berburu menceritakan eksploitasi anjing hampir sesering eksploitasi manusia.

9.     Tentang ini dan aspek lain dari ideologi Huaulu tentang polusi menstruasi, lihat Valeri 1990a.

10.  Ikatan emosional antara anjing dan tuannya tampak timbal balik. Seekor anjing, atau setidaknya anjing yang baik, sangat enggan untuk berpisah dari tuannya dan menolak untuk ditinggalkan ketika dia meninggalkan desa. Satu-satunya cara dia bisa membujuknya untuk tetap tinggal adalah dengan meninggalkan kotak sirihnya (salatam). Anjing mengendusnya dan merasa diyakinkan oleh bau tuannya. Ia juga menyadari bahwa dia akan kembali karena bahkan seekor anjing pun tidak dapat gagal untuk mengamati bahwa masyarakat suku Huaulu tidak pernah lama berpisah dari kotak sirihnya.

11.  Anjing adalah satu-satunya hewan yang pembunuhannya menimbulkan rasa jijik di Huaulu. Seorang pria yang pada tahun 1986 tinggal di pantai mengatakan kepada saya bahwa dia telah melihat di sana beberapa imigran Tanimbar memukuli seekor anjing sampai mati untuk memakannya (cara yang umum untuk membunuh anjing di Indonesia Timur). Dia berkomentar: "Saya tidak bisa menontonnya, saya muak".

12.  Hukuman ini mengidentifikasi korban kejahatan. Anjing seharusnya memiliki "dua napas", karena mereka diduga bernapas baik dari mulut dan dari anus. Panjang napas ini membuat mereka bisa berlari cepat dan panjang. Sesak napas yang ekstrem tampaknya merupakan hukuman yang tepat untuk kejahatan yang dilakukan terhadap makhluk yang memiliki napas sangat panjang.

13.  Sebagai masyarakat pesisir par excellence, Muslim juga dipandang sebagai pemakan ikan dan secara metaforis berasimilasi dengan ikan dalam perilaku mereka. Ketika terluka, ikan melarikan diri, sedangkan babi hutan melawan. Analoginya, kata orang Huaulu, Muslim pesisir adalah pengecut yang lari saat diserang, sedangkan orang pegunungan melawan. Dalam klasifikasi ini, setiap orang diidentifikasi oleh hewan yang dimakannya dan dari mana ia memperoleh kualitas perilaku.

14.  Tetapi perhatikan bahwa mereka tidak memakannya untuk alasan yang sangat berbeda. Orang Huaulu tidak memakannya karena mereka memeliharanya, orang-orang Muslim pesisir tidak dapat memakannya karena alasan yang sama mengapa mereka tidak dapat memeliharanya: itu adalah hewan yang tidak suci yang harus dihindari dalam segala hal.

15.  Dua orang pertama meninggal karena sakit, yang ketiga (yang telah dipukuli oleh kakak laki-lakinya dengan seikat anak panah karena mengetahui pelanggarannya) meninggal jatuh dari pohon. Pria yang menjadi lumpuh itu masih hidup selama penelitian lapangan pertama saya.

 

Catatan Tambahan

a. Dieter Bartels, Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku : Muslim-Kristen Hidup berdampingan di Maluku Tengah (Edisi Indonesia), volume 2 (Sejarah), Jakarta, KGP, 2017, hal 504

Tidak ada komentar:

Posting Komentar