Minggu, 14 November 2021

Laki-laki dalam Bayang-bayang Magellan: Francisco Serrão, Orang Eropa Pertama di Kepulauan Maluku (1511-1521)


(bag 1) 

[Manuel Lobato]

 

  1. Pengantar

Artikel sepanjang 19 halaman ini ditulis oleh Manuel Lobato dan dipublikasikan dalam Jurnal Revista de Cultura (RC) atau Review of Culture, International Edition, volume 39, periode Juli 2011, halaman 102 – 120. Artikel ini berjudul A Man in the Shadow of Magellan : Francisco Serrão, the First European in the Maluku Islands (1511 -1521). Selain artikel dari Lobato, ada juga artikel dari Roderich Ptak, Chen Fangze, Oswaldo Viega Jardim, Barbara Giordana, dan lain-lain.

Pada artikel ini, Lobato mengkaji tentang figur Francisco Serrão, figur orang Eropa pertama di Kepulauan Maluku, yang berpengaruh secara sosial politik pada awal abad ke-16 itu di wilayah timur Nusantara. Ia menjelaskan bahwa dengan kehadiran Serrão, peta sosial politik di wilayah Kepulauan Maluku pada abad itu berubah, salah satunya karena figur ini dipercayakan oleh Sultan Ternate, Abu Lais (Bayan Sirrulah), sebagai penasehat politiknya.

Kajian ini bisa dianggap sebagai kajian ringkas namun juga “padat” tentang figur ini serta keterlibatan dirinya dalam eskalasi sosial politik kepulauan Maluku pada permulaan abad ke-16. Hal ini disebabkan artikel ini “didukung” oleh 106 buah catatan kaki, yang berisikan begitu banyak referensi silang dan saling terkait mengenai figur ini dan “permainannya” selama 10 tahun di Maluku. Selain 106 buah catatan kaki yang “menghabiskan” 6 halaman, artikel ini juga berisi 4 gambar.

Pada artikel yang kami terjemahkan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, dengan pertimbangan teknis agar kajian ini bisa diikuti atau dibaca dengan baik. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa gambar ilustrasi selain 4 ilustrasi yang sudah ada pada artikel aslinya, serta catatan tambahan jika kami merasa perlu untuk menambahkannya. Akhir kata.... selamat menikmati kajian “bermutu” ini, sehingga kita minimal bisa mengetahui dan memahami bahwa sejarah Maluku, tidak terbentuk dari ruang hampa. Ia terbentuk oleh banyak figur lokal dan “asing” yang dengan begitu banyak kepentingan, saling tarik ulur dalam proses pembentukan sejarah itu sendiri.

Surat Abu Hayat (1521/1522)
 

  1. Terjemahan 

PENDAHULUAN

Sumber-sumber Portugis dan Spanyol mengandung banyak bahan yang berhubungan dengan aktivitas Francisco Serrão, orang Portugis pertama yang menetap di kepulauan Maluku, di bagian timur Indonesia saat ini. Materi semacam itu sering kali berisi informasi yang tidak konsisten dan data historis yang sengaja diputarbalikkan pada profil dan aktivitas tokoh tersebut. Mencerminkan persaingan di antara negara-negara Iberia untuk penguasaan sumber rempah-rempah Indonesia selama dekade awal abad ke-16, informasi tersebut harus dianalisis dengan cermat dan pengujian ketat.

Bahan-bahan untuk periode awal ini sebagian besar berasal dari kronik-kronik dan catatan-catatan arsip, beberapa di antaranya termasuk dalam apa yang disebut 'Proses Maluku' (Questão das Molucas), yang berisi pernyataan yang dihasilkan dari tahun 1520-an dan seterusnya untuk digunakan oleh delegasi Portugis dan Spanyol dalam sengketa diplomatik untuk kepemilikan Kepulauan Rempah-rempah. Karena alasan ini, informasi yang terkandung dalam kesaksian semacam itu, yang ditulis dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari isinya, tidak boleh dipercaya tanpa syarat sebagai dokumen-dokumen tangan pertama lainnya1.

Meskipun kami (penulis) mengetahui banyak aspek dari tindakan dan campur tangan Francisco Serrão pada skenario Asia, tidak ada informasi yang tersedia tentang hidupnya sebelum keberangkatannya dari Portugal ke India. Apalagi materi biografi yang berkaitan dengan hari-harinya di Asia dan khususnya di Kepulauan Maluku, tempat ia menghabiskan beberapa tahun terakhir hidupnya, juga minim. Oleh karena itu, sebuah esai biografi tentang tokoh penting ini, yang memprakarsai kehadiran Portugis di Indonesia Timur dan tindakannya yang sangat mempengaruhi perkembangan selanjutnya, telah ditunggu selama bertahun-tahun2. Kami menerima tantangan itu melalui kajian ini, meskipun kami menyadari bahwa hanya beberapa elemen dalam hidupnya dan pencapaiannya yang dapat diceritakan tanpa keraguan. 

Manuel Lobato

Kajian ini juga bermaksud untuk meninjau ekspedisi Portugis paling awal dari Malaka ke Kepulauan Maluku. Alih-alih mencoba mengembangkan tema ini sesuai dengan pendekatan yang biasa untuk historiografi 'Penemuan', makalah ini bertujuan untuk memperhatikan studi pelayaran, perdagangan dan, terutama, pada sejarah politik awal abad ke-16 di wilayah tersebut, di mana kegiatan Francisco Serrão terkait erat.

 

Pelayaran António De Abreu

Tradisi lisan tertua yang dicatat oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda, mengkonfirmasi sumber-sumber Tionghoa yang membuktikan prioritas Tionghoa secara tidak teratur mengunjungi Kepulauan Maluku, meskipun beberapa dari tradisi ini, juga mengklaim bahwa orang Jawa adalah pedagang asing paling pertama  yang mengunjungi Kepulauan Rempah-rempah. Ada kemungkinan bahwa, setelah orang Tionghoa secara resmi “mundur” dari lautan Asia Tenggara, pada tahun 1430-an, tradisi lisan sedikit disesuaikan untuk memberikan pengaruh Jawa yang sangat besar di Maluku sejak abad ke-13 dan seterusnya. Hal ini menciptakan skenario baru, dimana orang Jawa muncul sebagai mitra tertua orang Maluku, yang akhirnya digantikan oleh pedagang Melayu dari Malaka, yang sejak pertengahan abad ke-15 dianggap sebagai pendatang baru.

Setelah pedagang Melayu mengalahkan semua pesaing asing, pada abad ke-15 mereka menjadi mitra preferensial raja-raja Kepulauan Maluku. “Pengambilalihan” cepat yang dilakukan oleh para pedagang Melayu dalam artikulasi yang erat dengan para pedagang Muslim dari kota-kota pelabuhan terpenting di pesisir Jawa, menemukan pembenaran bahwa Samudera Hindia menjadi “danau Muslim” sejak China menarik diri dari wilayah-wilayah ini, pada saat tahap awal Islamisasi di Jawa baru dimulai. Sejak awal, pedagang Melayu dari Malaka menciptakan persahabatan dan persekutuan dengan Raja Ternate, yang merupakan penguasa terkuat di Maluku, dan dengan siapa mereka akan tetap berhubungan baik hingga tahun 1512, ketika Portugis akhirnya muncul di Maluku. 

Sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam lingkup ekspansi maritim dan komersial Portugis di Asia Timur, Kepulauan Maluku diyakini pertama kali disebut pada tahun 1508, dalam ordonansi yang diberikan oleh Raja Manuel kepada Diogo Lopes de Sequeira. Dalam ordonansi atau peraturan ini, Raja memerintahkan Sequeira untuk mendirikan padrões atau tiang batu, “di pulau-pulau dimana cengkih berasal” dan untuk menghitung garis lintangnya dan jarak laut yang memisahkan pulau-pulau itu dengan pulau di sekitarnya3.

Tetapi hanya pada tahun 1511, setelah Malaka direbut oleh Afonso de Albuqueque, Portugis sepenuhnya menyadari fakta bahwa beberapa rempah paling berharga dan terkenal, yang saat itu digunakan di Asia dan di Eropa berasal dari beberapa pulau yang terletak di pinggiran dunia Melayu-Austronesia. Cengkih hanya tumbuh di Maluku, sedangkan pala dan bunga pala dihasilkan secara eksklusif di Kepulauan Banda. Demikian pula, kayu cendana putih hanya tumbuh di Timor, dan pada tingkat atau mutu yang lebih rendah, di beberapa pulau di sekitarnya.

Bermarkas di Malaka, Portugis memusatkan upaya mereka untuk menjalin hubungan perdagangan dengan Kepulauan Maluku dan Banda. Afonso de Albuquerque yang berada di Malaka, pada November 1511, beberapa bulan setelah ia merebut kota itu dari Sultan Mahmud Syah, mengirim 3 armada kapal ke Maluku4. António de Abreu, panglima tertinggi armada pelayaran, berlayar dengan kapal Santa Catarina yang dikemudikan oleh Luis Botim5. Kapal Sabaia, sebuah kapal India yang ditangkap oleh Afonso de Albuquerque selama penaklukan Goa, dipimpin oleh oleh Francisco Serrão yang juga adalah wakil panglima pelayaran6, kapal ini dikemudikan oleh Gonçalo de Oliveira7. Akuntan (feitor) pada pelayaran ini adalah João Freire, dan juru tulisnya (escrivão) adalah Diogo Borges8

Afonso de Albuquerque juga menunjuk Simão Afonso Bisagudo menjadi pemimpin (kapten) karavel Latin, sebuah kapal dengan lambung bundar yang ia perintahkan untuk dibuat di Malaka khususnya untuk ekspedisi pelayaran ini. Pilotnya adalah Francisco Rodrigues yang terkenal, seorang kartografer muda dan penulis buku yang dikenal dengan namanya – Livro de Francisco Rodrigues – yang disisipkan pada buku terkenal Suma Oriental, yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 15139.

Francisco Rodrigues meninggalkan bagi kita peta-peta Eropa paling awal tentang Kepulauan Indonesia. Di peta itu, ia menghapus atau meninggalkan sisa-sisa tradisi Ptolomy yang masih ada dalam kartografi Eropa tentang Asia Tenggara. Berdasarkan pengamatan pribadi yang ia buat selama perjalanan dan pemeriksaan pada peta-peta pilot orang Asia – mungkin berasal dari Melayu atau Jawa – Francisco Rodrigues menggambar pertama kali representasi Asia Tenggara yang dapat diandalkan yang dicapai oleh orang Eropa. Aksesnya ke kartografi lokal, menjelaskan mengapa Kepulauan Maluku dan Pulau Timor dapat diuraikan dalam petanya, meskipun dia tidak mengunjungi salah satu dari kepulauan tersebut. Dengan beberapa sedikit tambahan, kartografi Rodrigues mereproduksi peta-peta yang digunakan oleh pilot-pilot Jawa dan Melayu10.

Pentingnya karya Francisco Rodrigues juga terletak pada 68 sketsa dan gambar pemandangan dari beberapa pulau yang ia buat dari kapal karavel Latin dalam perjalanan pulang ekspedisi pertama Portugis ini ke Kepulauan Maluku dan Banda. Kumpulan gambar-gambar unik ini, yang sebagian besar menampilkan peta Kepulauan Sunda Kecil dan Kepulauan Melayu, merupakan buku yang berjudul Livro de Francisco Rodrigues dari sekitar tahun 1513.

180 orang Portugis bergabung dengan armada ini bersama dengan 60 orang budak untuk mengoperasikan pompa air, karena kedua kapal yang lebih tua (Santa Catarina dan Sabaia) berada dalam kondisi yang cukup buruk. Untuk mengatasi kelemahan ini, perhatian khusus ditujukan pada pilihan bahan cadangan dan barang dagangan – kebanyakan berupa kain – untuk ditawarkan kepada pihak penguasa atau ditukar dengan rempah-rempah.

Armada tersebut mengambil jalur perdagangan di sepanjang pantai utara Jawa. Meskipun menggunakan pilot Melayu yang berpengalaman, perjalanannya terbukti sulit dan terlalu lama untuk kapal-kapal tua, mencegah Portugis berlayar di luar kepulauan Banda. Hanya 2 kapal dan 80 orang yang kembali ke Malaka pada Desember 1512, satu tahun setelah keberangkatan mereka, tanpa mencapai Ternate atau Tidore, pulau-pulau utama di kepulauan Maluku utara, tempat produksi cengkih11.

Francisco Serrão dan sekitar 14 rekannya mengalami 2 kali kapal karam. Setelah karam di Ambon, mereka mengalami kecelakaan kedua dalam perjalanan kembali ke Malaka, di perairan dangkal dekat Nusa Pinju atau “Pulau Penyu”, yang oleh sumber Portugis disebut baixos de Lucupino atau Lucepinho. Sebagian muatan rempah-rempah yang didapatkan kembali (akibat karam itu) kemudian dikirim ke Jawa untuk dikapalkan kembali ke Malaka.

Di Nusa Pinju, setelah diingatkan oleh para pelaut Melayu yang melakukan perjalanan bersama, mereka yang selamat mengalahkan sekelompok perompak orang selat (atau “orang dari selat”) dan Bajao (“pengembara di laut”), merebut kapal-kapal mereka dan berlayar ke Nusa Telu12 di Seram dan kemudian pindah ke Hitu, di pulau Ambon13.

Manuskrip Hikajat Tanah Hitu

Penulis kronik, Safara Rijali, imam Hitu dan penulis Hikayat Tanah Hitu (“Chronicle of the Lands of Hitu, c. 1646), mencatat kedatangan Serrão dan rekan-rekannya di Hitu, seperti yang tercatat dalam ingatan penduduknya dan juga beredar di antara mereka melalui tradisi lisan :

Suatu hari penduduk Nusatelo menemukan perahu yang penuh dengan manusia, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Tubuh mereka berwarna putih dan mata mereka menyerupai mata kucing. Mereka ditanyai, tetapi mereka tidak berbicara bahasa lokal......15.

Apapun arti yang harus dikaitkan dengan fakta ini dalam konteks historiografi non-Asia pada saat itu, hal itu menyiratkan bahwa tidak ada lagi tempat untuk berbicara tentang “penemuan” Maluku. Dari pantai Afrika Timur, Portugis hanya mengikuti jalur laut yang digunakan oleh pelaut-pelaut Muslim, saat mereka terus ke timur Malaka. Jadi, diskusi ini hanya membahas prioritas Eropa di Kepulauan Rempah-rempah. Dalam hal ini, kritik sejarah telah menetapkan bahwa kisah pelancong Italia, Luvico de Varthema, tentang dugaan perjalanannya ke Banda dan kepulauan Maluku, hanyalah berisi bekas-bekas informasi yang dikumpulkan, mungkin, di pantai Malabar India, pada tahun-tahun awal abad ke-16. Jadi, bertentangan dengan apa yang dia nyatakan, Varthema bukan saksi terakreditas atau terpercaya, dan oleh karena itu, kita dapat dengan aman mengabaikan prioritas pengelana Italia ini dan catatannya tentang Kepulauan Rempah-rempah16.

Karena laporan Varthema, yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, beredar di seluruh Eropa, prioritas Portugis di Maluku sudah matang untuk didiskusikan sejak awal, meskipun laporan para pelancong Italia, yang, seperti Varthema, melakukan perjalanan ke Asia Selatan dan Tenggara, tidak membawa konsekuensi politik. Namun, beberapa penulis, saat menggambarkan prioritas Eropa di Maluku dengan merujuk pada Francisco Serrão, bertahan hingga hari ini dalam ketidaktahuan tentang perannya, menghubungkan semuanya dengan takdir. Seperti kasus sejarahwan Spanyol, Cuesta Domingo, yang menyatakan bahwa “Portugal, dengan demikian, karena pukulan keberuntungan yang tidak disengaja, telah mencapai Kepulauan Rempah-rempah”, melalui “bertahan hidupnya kapal karam” yang bernama Francisco Serrão17. Memang benar bahwa Serrão terdampar di rute yang kemudian dianggap cukup berbahaya. Namun, kita tidak bisa berasumsi bahwa Portugis hanya beruntung, karena telah mencapai Kepulauan Maluku. Argumen seperti ini sudah dikembangkan oleh para perunding asal Spanyol pada pertemuan Badajoz-Elvas selama tahun 1524-1529, dengan tujuan secara diplomatis untuk memperoleh “kontrol” atas Kepulauan Maluku. Tidak seperti Magellan, yang meramalkan adanya “lorong” yang menghubungkan Samudra Atlantik dan Pasifik, yang terbukti merupakan tebakan keberuntungan, ekspedisi Portugis di bawah komando panglima tertinggi António de Abreu, bersama dengan wakil panglima Serrão, meninggalkan Malaka menuju Maluku dengan dipandu oleh pilot-pilot Melayu, yang ahli pada rute tertentu, memiliki peta yang menunjukan jarak dan arah dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya, dan yang akrab dengan kalender musim, dan dengan demikian dapat berlayar di seluruh kepulauan Indonesia.

Instruksi kepada António de Abreu18, yang seharusnya menjadi bagian dari ordonansinya yang hilang, menyebutkan bahwa Afonso de Albuquerque menugaskan kepadanya misi mencari jalan menuju Kepulauan Rempah-rempah. Ekspedisi ini sepenuhnya menyelesaikan misi itu, sebagaimana dicatat dengan jelas oleh penulis sejarah Gabriel Rebelo, seorang akuntan-kerajaan di Ternate, dalam sebuah kronik tentang Maluku yang ditulisnya selama tahun 1560-an, yang disimpan dalam 2 versi yang berbeda19. Pendapat yang sedikit berbeda disampaikan oleh penulis sejarah Fernão Lopes de Castanheda20, dan seterusnya, hampir semua sarjana biasanya menggarisbawahi fakta bahwa tidak ada kapal armada Abreu yang mencapai Maluku, karena kembali berlayar pulang dan kapal karam. Dalam kesaksiannya tentang “Proses Maluku”, suatu sengketa peradilan yang telah disebutkan antara kekaisaran Portugis dan Spanyol demi kepemilikan kepulauan tersebut, Diogo Brandão dengan jelas menyatakan bahwa, karena berusia tua dan rusak, kapal-kapal yang tersisa tidak dalam kondisi baik untuk melanjutkan pelayaran ke Maluku utara, karena takut tidak bisa kembali pulang ke Malaka21.

Argumen bahwa karamnya kapal Serrão adalah alasan utama mengapa Portugis tidak mencapai Maluku utara, yang didukung oleh beberapa penulis22, karena itu tidak memiliki bukti untuk mendukungnya. Meskipun merupakan fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa tidak ada armada kapal yang mencapai kepulauan rempah-rempah di bagian utara, tempat produksi cengkih, kita juga dapat menentang beberapa argumen sebagai tesis kegagalan ekspedisi :

1.      Kapal karam tidak mencegah pelayaran lebih lanjut, karena kecelakaan armada Serrão yang kedua kali terjadi dalam perjalanan kembali ke Malaka

2.     Dalam arti yang lebih luas, konsep Maluku, dan khususnya salah satu “kepulauan rempah-rempah”, juga mencakup pulau Banda dan Ambon, tempat armada berlabuh

3.     Kalender angin muson untuk berlayar dari Banda atau kepulauan Ambon menuju kepulauan Maluku utara, biasanya menunda perjalanan pulang ke Malaka selama 1 tahun lagi

4.     Karena alasan itu dan juga karena di kepulauan Banda, mereka dapat dengan mudah membeli rempah-rempah produksi lokal – pala dan bunga pala – serta cengkih dari Maluku utara yang dibawa ke sana dalam jumlah besar, maka kapal-kapal dari Malaka tidak perlu berlayar lebih jauh lagi dari pulau itu; mereka biasanya menunggu di sana untuk pergantian angin muson untuk berlayar pulang23, suatu praktik maritim yang dipertahankan Portugis sepanjang abad ke-16

Akhirnya, meskipun peraturan yang diberikan kepada António de Abreu oleh Afonso de Albuquerque hilang24, gubernur Estado da India ini, dalam sepucuk surat kepada Raja Manuel, menulis bahwa tujuan misi itu adalah untuk mencapai Banda dan Ambon, yang menyebut dalam suratnya nama dan referensi yang tidak jelas tentang “pulau cengkih” (ilhas do cravo)25

Beberapa instruksi untuk ekspedisi ini masih tersimpan. Instruksi tersebut menunjukan bahwa Portugis menganggapnya sebagai perjalanan penemuan. Barros menyatakan bahwa António de Abreu telah mendirikan padrões di Ambon dan pelabuhan-pelabuhan Jawa, dimana ia berlabuh selama perjalanannya ke Maluku, menurut kebiasaan Portugis untuk menandai tanah-tanah baru dengan tujuan kepemilikan secara simbolis pada saat “penemuan” itu26. Bagaimanapun, istruksi utama yang berkaitan adalah hubungan baik yang harus dilakukan dengan penduduk pribumi, otoritas pelabuhan dan awak kapal yang ditemui dalam jalur pelayaran. Instruksi tersebut secara tegas melarang penangkapan orang-orang dan memberlakukan sikap menghormati terhadap kebiasaan lokal dan pembayaran barang dengan harga yang wajar, serta transaksi yang sopan dengan pihak penguasa lokal, yang oleh Abreu harus menawarkan pakaian yang dibawa dalam pelayaran untuk tujuan itu27.

Ada aspek penting lain yang belum disebutkan. Nakhoda Ismail – Pedagang Cina yang lahir di Malaka28 dimana ia tinggal bersama keluarganya dan dianggap sebagai “orang yang dihormati”29yang biasa berlayar ke Maluku”30 – berperan sebagai “penyampai kabar”. Menurut Barros31, Afonso de Albuquerque mengirimnya dari Malaka ke Maluku sebagai kapten dan nakhoda junk yang juga merupakan pemilik junk itu32 “ 2 atau 3 hari” sebelum pelayaran armada António de Abreu33.

Misinya adalah membuat pengaturan yang diperlukan untuk penyambutan yang bersahabat bagi armada Abreu di Maluku dan di seluruh Laut Jawa. Kita dapat menduga bahwa nakhoda Ismail berperan dalam sambutan hangat yang diberikan Sultan Ternate kepada Francisco Serrão. Peristiwa selanjutnya menunjukan bahwa pengaruhnya akan, mungkin, terfokus dalam mempersiapkan kesepakatan persahabatan antara kedua orang itu. Perjalanan kembali ke Malaka, nakhoda Ismail melakukan perjalanan ditemani dengan sebuah junk milik Sultan Ternate, membawa surat-surat kepada Afonso de Alburqueque. Di Ternate, Serrão pasti memuat beberapa cengkih ke junk milik nakhoda Ismail34, yang juga membawa Pero Fernandes dan pilot Gonçalo de Oliveira35, yang selamat bersama Serrão dari peristiwa kedua kali kapal karam di perairan dangkal Nusa Pinju. Orang-orang ini tiba di Malaka pada tahun 1513, membawa surat-surat dari Sultan Ternate, Sultan Abu Lais, kepada Raja Portugal36, dan surat dari Francisco Serrão kepada temannya, Ferdinand Magellan yang telah kembali ke Portugal pada tahun 1512.

Untuk sesaat, kita “meninggalkan” sebentar tentang Magellan, dan berfokus pada informannya di Maluku, Francisco Serrão, untuk menemukan peristiwa yang melibatkan dirinya, setelah mengalami kecelakaan kapal kedua kalinya di perairan dangkal Nusa Pinju.


FRANCISCO SERRÃO DI HITU DAN TERNATE

Francisco Serrão dan sekitar 10 rekannya yang terdampar di Nusa Pinju (“pulau penyu”), pindah ke Nusa Telu, di pulau Seram, dimana mereka memberikan bantuan militer kepada penduduk lokal dalam konflik dengan tetangga mereka dari Veranula37. Kemudian mereka menemukan tempat penampungan di Hitu, di pulau Ambon, dimana mereka disambut oleh dewan lokal “Dewan Empat” (Empat Perdana). Dipandu ke Hitu, Serrão dan rekan-rekannya menegaskan di depan “dewan” tentang asal mereka dari Portugis dan tujuan mereka untuk berdagang rempah-rempah. Menurut sejarahwan Indonesia, Paramita Abdurachman, Serrão selanjutnya memberikan gelar “kapten” (capitão) kepada juru bicara Empat Perdana, yaitu Jamilu, yang secara keliru, dianggap oleh Serrão sebagai raja, meskipun sebenarnya dia adalah pendiri negara Hitu. Abdurachman percaya bahwa tindakan ini, menjadi alasan mengapa gelar dari bahasa Melayu Ambon yaitu Kapitan  digunakan di wilayah tersebut hingga akhir abad ke-1938. Akan tetapi, sumber-sumber Portugis mengabaikan fakta ini, begitu juga dengan babad lokal tersebut, Hikayat Tanah Hitu, yang ditulis oleh Ridjali, cucu Jamilu. Meskipun mungkin merupakan versi tertulis dari tradisi lisan sebelumnya yang mengalami perubahan berturut-turut dalam transmisinya, hal itu melestarikan ingatan saat pertama kali dalam hubungan Hitu-Portugis. Tetapi lebih mungkin untuk dipercaya bahwa gelar Kapitan berasal dari “pengambilan” oleh penduduk pribumi dari gelar yang digunakan oleh Serrão untuk menampilkan dirinya – Kapten Raja Portugal – yang digunakan oleh orang-orang Portugis di bawah komandonya yang tentu saja selamat, untuk memanggilnya.

Sultan Ternate, Abu Hayat, dalam sepucuk suratnya kepada Raja Portugal, Manuel I, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan huruf Arab, mengatakan bahwa ayahnya, Bayan Sirrulah (Abu Lais), mencari Serrão di Hitu, sebuah daerah milik wilayahnya39. António Galvao40, mungkin berdasarkan informasi yang dikumpulkan di wilayah itu, mengatakan bahwa Sultan Ternate, mengetahui bahwa 9 firangi ditemui di Hitu, mengirim saudara laki-lakinya, cachil Culiba, dan 9 kora-kora, untuk membawa mereka ke Ternate. Al Mansur, Raja Tidore, juga melakukan hal yang sama, tetapi 7 kora-kora yang dikirimnya ke Hitu tiba setelah orang Portugis itu pergi bersama utusan Sultan Ternate.

Menerima Francisco Serrão dan rekan-rekannya di Ternate, Sultan Bayan Sirrulah menunjukan dirinya sangat senang41, karena dia percaya bahwa ramalan kuno yang beredar di Maluku, seperti yang dilaporkan oleh João de Barros, akan menjadi kenyataan selama hidupnya, “menurut ramalan”, kata Barros, “beberapa pria, berpakaian besi, akan datang dan menguasai penduduk pribumi. Sultan Ternate akan dibantu oleh mereka dan dia akan menguasai seluruh kepulauan”42.

==== bersambung === 

Catatan Kaki

1.      Bagian penting dari teki-teki ini terdiri dari kesaksian dari orang-orng yang memainkan peran penting di wilayah Maluku atau yang terlibat sepanjang tahun-tahun awal kehadiran Portugis di Malacca. Sebagian besar kesaksian dan surat tersebut disebutkan dalam Cartas de Affonso de Albuquerque Seguidas de Documentos que as Elucidam, (selanjutnya disebut CAA), edited by R. A. Bulhão Pato and H. Lopes de Mendonça,vol. 4. Lisbon, 1910, pp. 73-173 (see Armando Cortesão, ‘As mais antigas cartografi a e descrição das Molucas’, in  A Viagem de Fernão de Magalhães e a Questão das Molucas, edited by A. Teixeira da Mota. Lisbon: Junta de Investigações Científicas do Ultramar, 1975, p. 56, n. 12), dan yang lebih terbaru dalam  As Gavetas da Torre do Tombo, edited by A. Silva Rego. Lisbon: Centro de Estudos Históricos Ultramarinos, vols. 3 (1963), 4 (1964) and 8I (1970), selanjutnya disebut  Gavetas.

2.     Pendekatan penting untuk desideratum ini diberikan oleh Victor Rodrigues, dalam item ‘Francisco Serrão’, in Dicionário de História dos Descobrimentos Portugueses, edited by Luís de Albuquerque and Francisco Contente Domingues, vol. 2. Lisbon: Círculo de Leitores, 1994, pp. 984-985.

3.     J. Ramos Coelho (ed.), Alguns Documentos da Torre do Tombo acerca das Navegações e Conquistas Portuguezas. Lisbon: Imprensa Nacional, 1892, pp. 192-193, apud A. Cortesão, ‘As mais antigas cartografia e
descrição das Molucas’, cit., p. 54.

4.     Untuk diskusi mendetail tentang ekspedisi ini dan kedatangan Serrão di Maluku, lihat Freitas Ribeiro and Visconde de Lagoa, ‘Os Portugueses no arquipélago malaio. Viagens de António de Abreu, Francisco Serrão e Simão de Abreu’, in Grandes Viagens Portuguesas de Descobrimento e Expansão. Antecedentes Históricos, Sinopse e Esquematização Cartográfi ca, vol. 1. Lisbon: Junta das Missões Geográfi cas e de Investigações do Ultramar, 1951, pp. 239-251.

5.     Fernão Lopes de Castanheda, História do Descobrimento e Conquista da India pelos Portugueses [1554], edited by M. Lopes de Almeida. Oporto: Lello & Irmão, 1979, p. 678.

6.     Beberapa penulis, berdasarkan surat dari Afonso de Albuquerque, yang artinya tidak sepenuhnya jelas (lihat Ekstrak dari surat Afonso de Albuquerque kepada Raja Portugal, Cochin, 20 Agustus 1512, dalam  Artur Basílio de Sá, ed., Documentação para a História das Missões do Padroado Português do Oriente. Insulíndia, selanjutnya disebut  DHMPPO, vol. 1. Lisbon: Agência Geral do Ultramar 1954, p. 35, aslinya diterbitkan dalam  CAA, vol. 1), berbeda dari Castanheda dalam penugasan kapten kapal Sabaia kepada António de Abreu dan Santa Catarina kepada Francisco Serrão. Lihat A. Basílio de Sá, ‘Molucas’, Dicionário de História de Portugal, edited by Joel Serrão, vol. 3. Lisbon: Iniciativas Editoriais, 1968, pp. 91-92; A. da Silva Rego, ‘As Molucas em princípios do século xvi’, in A Viagem de Fernão de Magalhães, edited by A. Teixeira da Mota, cit., p. 79; Luís de Albuquerque, ‘Os Portugueses na Insulíndia’, Portugal no Mundo, vol. 4. Lisbon: Alfa, 1989, pp. 169-171.

7.     Gonçalo de Oliveira disebutkan dalam  ‘Prologo da viagë de fernão de magalhães, na demãda de maluco por elrey de castella’, sebuah teks yang dikaitkan dengan Fernando Oliveira, yang memperkenalkan  ‘Viagë de fernão de magalhães escripta p hü home q foi na cõpanhia’, di Perpustakaan Universitas Louvain, sebuah versi dari manuskrip yang dikenal sebagai  ‘Relação do piloto genovês’, dipublikasikan oleh  M. de Jong (Um Roteiro Inédito da Circunnavegação de Fernão de Magalhães, Sep. de Biblos, 1937) dan juga oleh  Pierre Valière (Le voyage de Magellan raconté par un homme qut fut en sa compagnie, édition critique, traduction et commentaire au texte manuscrit recueilli par Fernando Oliveira. Paris: Fundação Calouste Gulbenkian, 1976). Dalam teks ini, pilot Gonçalo de Oliveira disebutkan sebagi guru dan penasehat bagi Ferdinand Magellan untuk masalah bahari dan kosmografis, yang juga adalah kerabatnya. Lihat catatan  Max Justo Guedes, ‘Acerca de dois textos quinhentistas sobre a viagem de Fernão de Magalhães’, in A Viagem de Fernão de Magalhães, edited by A. Teixeira da Mota, cit., p. 470, dan resensi buku ini oleh Jean Aubin (‘Études Magellaniennes’, Mare Luso-lndicum, 4, 1980, p. 158-164).  Sia-sia kami menelusuri informasi dari Castanheda bahwa Gonçalo de Oliveira adalah “kepala pilot” armada itu  (Artur Teodoro de Matos, Portugal na Rota das Especiarias. De Malaca à Austrália (On the Seaway to Spices. From Malacca to Australia). Lisbon: Imprensa Nacional-Casa da Moeda [IN-CM], 1995, p. 69 and n. 22).

8.     Silva Rego, ‘As Molucas em princípios do século xvi’, cit., p. 79.

9.     A. Cortesão, The Suma Oriental of Tomé Pires, an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 and The Book of Francisco Rodrigues …. London: Hakluyt Society, 1944 [reprinted: Kraus Reprint Ltd, Nendeln, Liechtenstein, 1967; Asian Educational Services, New Delhi, 1990 and 2005].

10.   Lihat ringkasan singkat kami di  ‘Timor nos Descobrimentos e na Cartografia’ (Coral, 2, 1992, p. 10) dan bibliografi di dalamnya.  New edition, O Livro de Francisco Rodrigues. O Primeiro Atlas do Mundo Moderno, edited by José Manuel Garcia. Oporto: Universidade do Porto, 2008.

11.    Diskusi tentang rute yang dilalui oleh armada Antonio de Abreu dilakukan oleh beberapa penulis, yang membuat kami tidak mendiskusikannya lagi. Untuk semua diskusi itu, lihat kajian oleh A. Cortesão, ‘O descobrimento da Australásia e a “Questão das Molucas’’’, in História da Expansão Portuguesa no Mundo, edited by A. Baião, H. Cidade and M. Múrias, vol. 2. Lisbon: Ática 1939, pp. 141-150; id., ‘O itinerário de António de Abreu’, Seara Nova, 796, 1942 (reprint: id., Esparsos, vol. 1. Coimbra: Universidade de Coimbra, 1974, pp. 345-353); id., The Suma Oriental of  Tomé Pires, cit., vol. 1, pp. lxxviii-xcvi (termasuk peta yang menelusir rute itu pada lempengan vi); lihat juga oleh penulis yang sama dan oleh  A. Teixeira da Mota, Portugaliae Monumenta Cartographica, Lisbon: IN-CM, 1960, vol. 1, pp. 79-84. By Freitas Ribeiro and Visconde de Lagoa, ‘Os Portugueses no arquipélago Malaio’, cit., pp. 239-251; also by Visconde de Lagoa, ‘Abreu, António de’, Grandes e Humildes na Epopeia Portuguesa do Oriente (Séculos XV, XVI e XVII), vol. 1. Lisbon: s.n., 1942, pp. 73-83.

12.   Gugusan 3 pulau di sebelah barat Hitu

13.   João de Barros, Dos Feitos que os Portugueses fizeram no Descobrimento e Conquista dos Mares e Terras do Oriente, Década Terceira [1563], edited by H. Cidade and M. Múrias, Lisbon: Agência Geral das Colónias, 1947 [reissued in CD-ROM. Lisbon: Comissão Nacional dos Descobrimentos Portugueses, 1998], p. 272; Matos, Portugal na Rota das Especiarias, cit., p. 71; Testimony of Jorge Botelho, Gavetas, vol. 3, p. 25; A Treatise on the Moluccas (c. 1544) Probably the Preliminary Version of António Galvao’s lost Historia das Molucas, edited by Hubert Jacobs SJ. Rome: Jesuit Historical Institute/St. Louis, Mo.: St. Louis University, 1971, p. 196. Tentang etimologi Melayu dari kelompok etnis ini, sehubungan dengan kejadian ini, lihat L. F. Tomaz, ‘As cartas malaias de Abu Hayat, sultão de Ternate, a el-rei de Portugal e os primórdios da presença portuguesa em Maluco’, Anais de História de Além-Mar, 4, 2003, pp. 381-446. Beberapa informasi dari sumber Spanyol tentang peran kelompok bajak laut  Selat atau Bajao dan pedagang  di Filipina selatan, serta hubungan dekat mereka dengan otoritas dan pedagang Muslim, dapat dilihat pada Martin J. Noone, General History of the Philippines, Pt. I, vol. 1, The Discovery and Conquest of the Philippines (1521-1581). Manila: Historical Conservation Society 1986, p. 22, n. 47.

14.   Z.J. Manusama (editor dan terjemahan)  Ridjali’s Hikayat Tanah Hitu: Historie en Sociale Structuur van Ambonse Eilanden in het Algemeen en Uli Hitu Bijzonder het tot het Midden of Zeventiende Eeuw, Ph.D. dissertation, University of Leiden, 1977  (mimeo). Edisi lengkap buku ini ditulis oleh Safara Ridjali dan diterbitkan oleh Manusama dengan terjemahan bahasa Belanda, menunjukan, menurut pastur Hubert Jacobs (Documenta Malucensia (1542-1682), vol. 1. Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1974, p. XXXVI), versi selanjutnya ditawarkan oleh  François Valentijn (Oud en Nieuw Oost-Indien, vol. 2, DordrechtAmsterdam, 1724, Part b, pp. 1-14) sangat berbeda dari aslinya. Lihat juga Richard Chauvel, ‘Ambon’s Other Half : Some Preliminary Observations on Ambonese Society and History’, Review of Indonesian and Malayan Affairs, 14, 1 (Jun. 1980), p. 43; and Ch. Fraassen, ‘Historical Introduction’, in Katrien Polman, The Central Moluccas. An Annotated Bibliography. Dordrecht/Cinnaminson: Koninklyk Instituut Voor Taal Land, 1983, p. 29. A new and annotated edition by H. Stravers, Ch. Fraassen and J. Putten, Ridjali: Historie van Hitu. Een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw. Utrecht: Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, 2004, yang sayangnya tidak dapat saya akses. Untuk penjelasan rinci buku ini, lihat G. L. Koster, ‘Hikayat Tanah Hitu. A Rare Local Source of 16th and 17th Century Moluccan History’, Revista de Cultura/Review of Culture, Macao, 28, 2008, p. 132-142. Saya berterima kasih kepada Profesor Koster karena telah memberi saya salinan artikelnya dan atas komentarnya tentang versi awal makalah ini.

15.   Ibid., translated by P. R. Abdurachman, ‘New Winds, New Faces, New Forces’, Prisma, 33, Sept. 1984, p. 48.

16.   Jean Aubin, ‘Itinerario de Ludovico di Varthema’, in Le latin et l’astrolabe. Recherches sur le Portugal de la Renaissance, son expansion en Asie et les relations internationales, edited by Françoise Aubin, vol. 2. Paris: Centre Culturelle Calouste Gulbenkian; Lisbon: CNCDP, 2000, especially pp. 483-486.

17.   Cuesta Domingo, ‘Los viajes a las Islas Moluccas’, in El Pacifi co Español de Magallanes a Malaspina, edited by Carlos Martínez Shaw. Madrid: Ministerio de Asuntos Exteriores 1988, p. 46.

18.   Identitas dari kapten ini telah menjadi subjek kontroversi. Lihat  João Cabral do Nascimento, ‘António de Abreu, descobridor das ilhas de Maluco, não é António de Abreu, natural da Madeira e capitão duma nau das Índias em 1523’, Arquivo Histórico da Madeira, 1, 1931, pp. 21-28 (reed. 4, pp. 117-121).

19.    Pandangan ini juga diungkapkan oleh pastor Silva Rego, yang mengatakan bahwa  “terlepas dari semua kegagalannya, pelayaran António de Abreu benar-benar berhasil” (Silva Rego, ‘As Molucas em princípios do século xvi’, cit., p. 79).

20.  Menurut Castanheda  (História do Descobrimento e Conquista, edited by M. Lopes de Almeida, cit., vol. 1, p. 702), António de Abreu and Simão Afonso tidak melanjutkan perjalanan ke pulau Ambon “karena angin kencang”

21.   Kesaksikan dari Diogo Brandão, Tomar, 25 Agustus 1523, DHMPPO, vol. 1, p. 176. Pada bagian ini, yang merupakan kesaksian yang paling banyak dikutip dari keseluruhan kesaksian, meskipun juga merupakan kesaksian yang paling ringkas  (Luís de Albuquerque and Rui G. Feijó, ‘Os pontos de vista de D. João III na Junta de Badajoz-Elvas’, in  A Viagem de Fernão de Magalhães, edited by A. Teixeira da Mota, cit., p. 537) Brandão tidak konsisten ketika dia menganggap bahwa António de Abreu telah memutuskan untuk tidak berlayar ke luar jalur Banda karena kapal-kapalnya sudah tua. Faktanya, keputusan itu diambil di Banda, pada saat hanya 1 kapal yang tersisa dalam kondisi ini – kapal Santa Catarina yang ia komandani sendiri – sementara kapal Sabaia milik Francisco Serrão, yang karam di Jawa, telah digantikan oleh sebuah junk asal Indonesia, dan kapal ketiga adalah karavel yang melakukan pelayaran pertamanya, secara jelas dibuat di Malacca, seperti dijelaskan di atas.

22.  Pandangan ini baru-baru dikonfirmasi oleh Isabel Drummond Braga (‘Molucas’, in História dos Portugueses no Extremo Oriente, edited by A. H. de Oliveira Marques, vol. 1, t. 2 - De Macau à Periferia. Lisbon: Fundação Oriente, 2000, p. 300

23.  Kesaksian dari Jorge Botelho, Tomar, 22 August 1523, Gavetas, vol. 3, p. 26.

24.  Afonso Fernandes Jacobus meminta salinan dari perintah ini untuk digunakan dalam negosiasi “Proses Maluku”, suatu indikasi bahwa pada saat itu, perintah ini mungkin sudah hilang  (Gavetas, vol. 8, p. 227).

25.  Bertanggal Cochin, 20 Agustus 1512, surat ini dari Albuquerque kepada Raja ditulis sebelum berita tentang armada itu mencapai India : “Semoga Tuhan kita membimbing dan membawa mereka dengan selamat; dan dengan tujuan pergi ke pulau Banda, pulau-pulau bunga pala dan pala, dan untuk memperbaiki kapal-kapal di tanjung yang disebut Ambon, bagian dari sebuah pulau besar yang dapat dicapai 4 hari dari pulau-pulau cengkih; air pasang di sana, sangat kuat” (Afonso de Albuquerque to King Manuel, Cochin, 20 August 1512, Arquivo Nacional/Torre do Tombo, Corpo Cronológico (henceforth CC), Pt. I, m. 22, doc. 66, CAA, vol. 1, pp. 65-75; also in DHMPPO, vol. 1, p. 36 and Freitas Ribeiro and Visconde de Lagoa, ‘Os Portugueses no arquipélago malaio’, cit., p. 241.

26.  Barros, Dos Feitos que os Portugueses fizeram, Década Segunda, cit., bk. VI, Ch. 7 and Década Terceira, cit., bk. V, Ch. 6. About the padrões erected by the Portuguese in Java, its symbolism and political significance, see Jorge M. dos Santos Alves, ‘L’inscription du padrão de Banten’, Archipel, 47, 1994, pp. 23-33.

27.  Castanheda, História do Descobrimento e Conquista, edited by M. Lopes de Almeida, cit., vol. 1, p. 679. V. Magalhães Godinho (Os Descobrimentos e a Economia Mundial, 2nd ed., vol. 3. Lisbon: Presença, 1982, p. 138) summarized the main items of this ordinance.

28.  Castanheda, História do Descobrimento e Conquista, edited by M. Lopes de Almeida, cit., vol. 1, p. 679. Albuquerque and Feijó (‘Os pontos de vista de D. João III’, cit., p. 537, n. 32), berdasarkan pada perikop yang sama oleh Castanheda dan juga dalam bab  LXXXVI, percaya bahwa junk itu adalah milik orang Cina, bukan nakoda; lihat artikel kami  ‘Chineses nas ilhas Molucas: da prioridade no comércio de longa distância à fixação de uma comunidade residente’, in Encontros de História Luso-Chinesa, edited by J. Santos Alves. Lisbon: Fundação Oriente, 2001, p. 156. Paramita Abdurachman (‘In Search of Spices: Portuguese Settlements on Indonesian Shores’, The Indonesian Quarterly, 2, 2, Jan. 1974, reprint Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, p. 114) menganggap orang itu “Melayu”, suatu pandangan yang tidak diadopsi oleh sebagian besar sejarahwan Anglo-Saxon tentang kepulauan Melayu, seperti  Willard A. Hanna (Indonesian Banda. Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands. Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues, 1978, p. 6).

29.  Castanheda, História do Descobrimento e Conquista, edited by M. Lopes de Almeida, cit., vol. 1, p. 679.

30.  Testimony of Jorge Botelho, Gavetas, vol. 4, p. 256.

31.   Barros, Dos Feitos que os Portugueses fizeram, Década Segunda, cit., p. 291.

32.  Matos, Portugal na Rota das Especiarias, cit., p. 69.

33.  Barros, Dos Feitos que os Portugueses fizeram, Década Segunda, cit., p. 291.

34.  Albuquerque and Feijó, ‘Os pontos de vista de D. João III’, cit., p. 537, especially n. 32, quoting Castanheda, História do Descobrimento e Conquista, edited by M. Lopes de Almeida, cit., vol. 1, bk. V, Chs. LXXV and LXXXVI. See infra notes 52 and 68.

35.  Ibid.

36.  Kesaksian dari Jorge Botelho, Tomar, 27 Agustus 1523,  Gavetas, vol. 3, p. 25.  Menurut Diogo Brandão, Pero Fernandes akan membawa surat pernyataan kesetian dari Sultan Ternate, Abu Lais, kepada Raja Manuel, yang jawabannya akan diterima oleh Sultan, lima tahun kemudian dari tangan Tristão de Meneses. Lihat surat Sultan Ternate kepada Raja Portugal, apud Schurmammer,  ‘Novos documentos para a história das Molucas no tempo de São Francisco Xavier’, Gesammelte Studien, edited by László Szilas, vol. 2 -Orientalia, Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu; Lisbon: Centro de Estudos Históricos Ultramarinos, 1963, p. 447, originally publ. in Brotéria, 14, 1932, pp. 278-288; Kesaksian Diogo Brandão untk  Maluku process, Tomar, 25 August 1523, DHMPPO, vol. 1, p. 178.

37.  Meskipun mengajukan kronologi yang tidak dapat diterima, lihat  Gaspar Correia, Lendas da Índia, edited by M. Lopes de Almeida, vol. 2. Oporto: Lello & Irmão, 1975, p. 710. Tentang konflik di Veranula, L. Argensola, Conquista de las Islas Malucas. Madrid: Miraguano-Polifemo, 1992 [1609], p. 7.

38.  Paramita Abdurachman, ‘Moluccan Responses to the First Intrusion from the West’, in Dinamics of Indonesian History, edited by Haryati Soebadio and Carine Sarvaas. Amsterdam: North Holland Publ.,
1978, p. 170; R. F. Ellen, ‘Conundrums about Panjandrums: On the Use of Titles in the Relations of Political Subordination in the Moluccas and along the Papuan Coast’. Indonesia, 41, Apr. 1986, p. 52.

39.  Surat ini pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan oleh C.O. Blagden,  ‘Two Malay Letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522’. Bulletin of the School of Oriental Studies, 6 (1930-1932), reimp. Kraus Reprint, Vaduz, 1964, pp. 87-101. Diogo do Couto (Década Sétima, Pt. 2, Lisbon, 1783, reprint Lisbon, 1973, p. 541) adalah salah satu dari sedikit penulis yang setuju dengan isi surat ini dan isi dari Hikajat Tanah Hitu (cit, p 91), mengindikasikan Hitu (“Aito”) adalah sekelompok desa di pantai utara pulau Ambon, sebagai tempat dimana Serrão dan rekan-rekannya diterima. Penulis lain secara samar-samar menyebut Ambon, atau sebaliknya, Nusatelo (Rucutelo, Rocatelo), di pantai barat pulau itu, seperti Gabriel Rebelo, yang menyebut kedua tempat itu sebagai pengakuan terhadap ketidaktahuannya (Gabriel Rebelo, ‘Informação das cousas de Maluco’, in DHMPPO, vol. 3, p. 406). Castanheda sangat menyederhanakan fakta dengan mengatakan bahwa Serrão karam di dekat Ternate, dimana ia akan tiba dengan selamat menggunakan perahu kecil  (História do Descobrimento e Conquista, edited by M. Lopes de Almeida, cit., vol. 1, p. 702).

40.  Jacobs, A Treatise on the Moluccas, cit, p. 196.

41.   Gabriel Rebelo menyebut 5 nama dari “6 atau 7” rekan Serrão yang menyelamatkan diri mereka sendiri dari kecelakaan kedua, yaitu : ‘Diogo Lopes, Diogo Cão, Diogo Afonso, Pero Fernandes and Antonetto, Sicilian’ (Gabriel Rebelo, ‘Informação das cousas de Maluco’, DHMPPO, vol. 3, p. 406 and vol. 6, p. 211). Sebenarnya angka/jumlah itu sedikit lebih tinggi/banyak.  Jorge Botelho   (Gavetas, vol. 3, p. 25) melaporkan 14 orang yang selamat, sementara António Galvão menyatakan “9 orang Portugis”  (Jacobs, A Treatise on the Moluccas, p. 84). Dalam kesaksiannya pada “Proses Maluku”, Tomar, 25 Agustus 1523, Diogo Brandão menyatakan bahwa Pero Fernandes kembali ke Malacca dengan junk milik Sultan Ternate, menemani nakoda Ismail (Albuquerque and Feijó, ‘Os pontos de vista de D. João III’, cit., p. 537), juga mencatat keberadaan budak-budak Afrika di Ambon di antara mereka yang selamat dari kecelakaan ini (DHMPPO, vol. 1, p. 176). Juga menurut Gabriel Rebelo, Sultan Abu Lais mengirim Diogo Lopes dan Diogo Cão sebagai utusan ke Malacca dan juga kepada Gubernur Portugis di India, Diogo Lopes de Sequeira (1518-1521), untuk mengusulkan kepadanya, benteng yang akan dibangun di Ternate (DHMPPO, vol. 6, p. 212). Diogo Lopes bergabung dengan armada Jorge de Brito, yang mengemban tugas membangun benteng Portugis di Maluku. Diogo Lopes dinyatakan bersalah atas kematian kapten kapal di pesisir pantai Aceh, seperti yang dinyatakan oleh Antonio de Brito, saudara Jorge de Brito, dalam sebuah surat yang dikirimkannya kepada Raja Portugal, bersama dengan Diogo Lopes, yang dipulangkan dengan diduga berstatus sebagai tahanan (Brito to King, Ternate, 6 May 1523, published in Alguns Documentos da Torre do Tombo, edited by J. Ramos Coelho, cit., p. 475; see Barros, Dos Feitos que os Portugueses fizeram, Década Terceira, cit., p. 246). Pada tahun 1519, hanya 3 rekan yang tinggal di Ternate bersama Serrão, yang lainnya telah kembali atau meninggal died (Gaspar Correia, Lendas da Índia, cit., p. 711). Ada kemungkinan bahwa orang-orang ini adalah “ 3 orang Portugis di antara rekan-rekan Francisco Serrão” yang oleh Pigafetta disebutkan dibunuh di Tidore (Antonio Pigafetta, Primer viaje alrededor del mundo, diedit oleh Leoncio Cabrero Fernández. Madrid: Historia 16, 1985, hal.139). 

42.  Barros, Dos Feitos que os Portugueses fizeram, Década Terceira, cit., p. 593, informasi ini juga dapat ditemukan dalam Faria e Sousa’s Ásia Portuguesa, vol. 2, translated by M. V. Ferreira. Oporto: Civilização, 1947, p. 55; lihat juga Silva Rego, ‘As Molucas em princípios do século xvi’, cit., p. 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar