Rabu, 08 Maret 2023

Kepunahan Bahasa di Maluku : Dampak dari VOC

 

(bag 2)

[James.T. Colins]

 

Bahasa dan Kekristenan Ambon

Buku khotbah Caron juga melampaui sebagian besar bahasa pribumi yang digunakan oleh komunitas Kristen Ambon. Kita tidak dapat memastikan “waktu” kepunahan bahasa di sebagian besar desa-desa Kristen Ambon41. Di Pulau ini, tidak ada pembunuhan bahasa (menggunakan istilah Muhlhauser (1996)), seperti di Tasmania, atau bahkan kerusakan akibat perang seperti di Banda. Tidak ada dokumentasi (yang saya ketahui) untuk memberi tahu kita kapan suatu bahasa tidak lagi digunakan atau dikenal di desa tertentu. Seorang yang berkunjung ke Ambon pada tahun 1821, C.G.C. Reinwardta (1858b: 460), mengumpulkan atau mendaftarkan kosakata di desa Muslim (Hitu)c, tetapi dia tidak mengumpulkan atau mendaftarkan kosakata di desa-desa Kristen. Mungkinkah dia memilikinya?? Kita tidak tahu pasti. Namun, tampaknya bahasa pribumi tidak lagi digunakan atau dikenal oleh masyarakat umum, pedesaan, komunitas Kristen di pulau Ambon, mungkin bahkan sebelum abad ke-19 dimulai, dan tentunya pada akhir abad itu.

Memang, pada pertengahan abad ke-19, Ludeking (1868: 192) melaporkan bahwa bahasa pribumi telah mati/punah sama sekali di kota Ambon (kecuali di kalangan umat Islam). Beberapa tahun kemudian, Van Hoevell (1876: 4-5) mengamati bahwa di desa-desa Kristen pulau Ambon (kecuali desa Allang, Hatu dan Liliboi), bahasa pribumi telah mati/punah sama sekali, digantikan oleh bahasa Melayu-Ambon42. Lebih awal dari itu, ketika ada pembaruan usaha-usaha misi Kristen segera setelah perang Napoleon, yang dipelopori oleh Nederlandsch-Zendelinggenootschap, bahasa Melayu tetap menjadi satu-satunya bahasa yang digunakan oleh banyaknya bahan-bahan yang diterbitkan pada mesin-mesin penerbitan di Ambon (Steinhauer 1991). Bahkan di Saparua, Van Ekris (1864-1865: 65) melaporkan bahwa penggunaan bahasa pribumi adalah aturan di kalangan umat Islam, tetapi dikecualikan di kalangan umat Kristen43. Pada akhir abad ke-19, hanya 2 bahasa yang masih ada dan dituturkan di desa-desa Kristen Ambon. Di Allang (dan, menurut Van Hoevell pada waktu itu, masih di Hatu dan Liliboi juga) dituturkan dialek yang berkaitan erat dengan bahasa Wakasihu (Collins 1983) (lihat Ludeking 1869). Di Waai, varian yang mirip dengan bahasa yang sekarang di gunakan di Tulehu dan Liang masih digunakan, atau setidaknya masih diingat, seperti yang ditunjukkan oleh daftar kata yang dimuat oleh Ludeking (1868). 

Sepintas lalu, asumsi Grimes (1991a, 1991b, 1994) bahwa bahasa Melayu-Ambon tetap menjadi bahasa Melayu “pidgin” selama abad ke-18 “karena tidak mengakibatkan siapa pun melepaskan bahasa ibu mereka” tampaknya sangat tidak mungkin. Demikian pula, pernyataan Grimes (1994: 265) bahwa “beberapa dari kumpulan Negeri Sembilan [di teluk Ambon] akhirnya mulai beralih ke bahasa Melayu-Ambon pada abad ke-19 dan ke-20” mengimplikasikan dipertahankannya bahasa pribumi di desa-desa Kristen jauh lebih lambat dari yang terlihat.

Pertama, meskipun benar bahwa kita tidak memiliki dokumentasi yang jelas tentang penggunaan bahasa dan pilihan bahasa, bertahannya hipotesis bahasa pidgin selama 2 atau 3 abad tanpa menjadi bahasa siapa pun adalah hal yang tidak biasa. Selain itu, kita tahu bahwa Stavorinusd (1969, II: 393-394) mencatat pada tahun 1775 bahwa wanita-wanita yang menikah, istri orang Eropa di kota Ambon, “selalu terbiasa berbicara bahasa Melayu, mereka merasa canggung, dan mereka takut mengekspresikan diri mereka dalam bahasa Belanda”. Jadi tampaknya pada akhir abad ke-18 setidaknya kelompok orang yang tinggal di Ambon ini dapat dianggap sebagai penutur bahasa Melayu sebagai bahasa pertama mereka. Kemungkinan ada segmen masyarakat lain yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama mereka.

Kedua, di desa-desa Kristen di sekitar Teluk Ambon, mungkin sejak abad ke-18 bahasa pribumi tidak lagi digunakan. Karena tidak ada ingatan tentang bahasa-bahasa tersebut pada awal tahun 1876 (“punah”, seperti yang ditulis Van Hoevell) sangat kuat menunjukan hilangnya bahasa itu setidaknya sudah 2 generasi. Studi pemeliharaan bahasa telah berulang kali menunjukan bahwa bahkan puluhan tahun setelah bahasa tidak lagi digunakan, biasanya ada anggota masyarakat yang masih dapat mengingat beberapa elemen dari bahasa itu : seorang yang berusia 60 tahun yang ingat menggunakannya dengan kakek dan neneknya, atau seorang janda yang lebih tua yang terbiasa berbicara dengan tante dari suaminya dan sebagainya. Jadi, kemungkinan besar, karena Ambon “muncul” di hari-hari terakhir kekuasaan VOC di akhir abad ke-18, sebagian besar desa-desa Kristen di pulau Ambon sudah tidak lagi menggunakan bahasa asli; sebaliknya mereka telah mempribumikan bahasa Melayu-Ambon untuk menggantikan bahasa nenek moyang mereka.

Penting untuk mengeksplorasi perkiraan urutan peristiwa yang menyebabkan punahnya bahasa. Jika, misalnya, kita berasumsi bahwa Ambon memasuki abad ke-19 dengan bahasa asli yang masih utuh, kita dapat menunjukkan sekumpulan faktor terdokumentasi yang mungkin menyebabkan kepunahan bahasa, di antaranya : pengenalan meskin cetak di Ambon, perkembangan surat kabar, pendirian sekolah dan lembaga pelatihan guru, perekrutan penduduk desa Kristen menjadi tentara kolonial, kapal uap, Terusan Zues, epidemi influensa tahun 1918. Namun, seperti yang saya klaim di sini, sebagian besar desa-desa Kristen Ambon memasuki abad ke-19 tidak lagi menggunakan bahasa pribumi dan hanya berbicara bahasa Melayu-Ambon sebagai bahasa “aslinya”, maka faktor individual penyebab hilangnya bahasa pribumi semakin sedikit. Dan semuanya menunjuk pada VOC, satu-satunya otoritas sepanjang abad ke-17 dan ke-1844.

Fakta bahwa hilangnya bahasa paling parah di desa-desa Kristen bukanlah suatu kebetulan. Mengatakan bahwa afiliasi agama relevan di sini, tidak berarti bahwa mengadopsi agama Kristen secara otomatis menyebabkan hilangnya bahasa. Sebaliknya, budaya penggunaan bahasa di kalangan Kristen di Ambon, khususnya pada masa VOC, sangat berbeda dengan umat Islam. Penggunaan bahasa Melayu yang intensif dan eksklusif di gereja-gereja dan di sekolah-sekolah gereja (dan pada abad ke-17 dan ke-18 tidak ada sekolah lain selain sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan gereja) adalah fakta yang terdokumentasi dengan baik. Inilah fakta utama desa-desa Kristen Ambon : generasi demi generasi pelajar yang bahasa pendidikan dan agamanya hanya bahasa Melayu. Ditambah lagi dengan kebutuhan untuk mengetahui bahasa Melayu untuk berinteraksi dengan pemerintahan VOC. Dokumen-dokumen arsip yang ditulis dengan bahasa Melayu-Ambon sangat berlimpah; beberapa telah diterbitkan45

Kosakata bahasa Hitu yang dikumpulkan Reinwardt 1821

Di Ambon, selama periode VOC, bahasa Melayu adalah bahasa eksklusif gereja, sekolah dan (mungkin bersama bahasa Belanda) di lembaga peradilan. Perhatikan, misalnya, deskripsi Nieuhoff tahun 1659 (1988: 167) tentang “juridiksi peradilan sipil” dan “lembaga negara”. Menurutnya, mayoritas anggota peradilan dan administrasi tersebut adalah orang pribumi Ambon. Kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa Melayu digunakan dalam pertemuan-pertemuan mereka. Memang, di Arsip Nasional Belanda, transkrip bukti dari persidangan tahun 1632 yang dibuat oleh Jan Payse, yang kemudian ditarik dan dikotak-kotakkan karena keterlibatannya dalam upaya pemberontakan anti-VOC, ditulis dalam bahasa Melayu, mungkin adalah contoh pertama dari seorang penduduk pribumi Asia Tenggara menulis bahasa Melayu dalam skrip aksara Latin – dan ini di peradilan hukum kolonial46. Memang, semua bidang penggunaan bahasa yang tercatat dalam dokumen-dokumen yang dikenal sebelum abad ke-19, menunjukkan pada penggunaan bahasa Melayu yang hampir eksklusif di antara semua orang Kristen Ambon.

Perlu dicatat bahwa kami juga memiliki dokumen dan petisi hukum pada periode VOC yang ditulis dalam bahasa Melayu dari desa-desa Muslim. Namun, desa-desa tersebut nyatanya hingga saat ini masih menggunakan bahasa asli sebagai bahasa asalnya. Contoh terkenal adalah Hila, dimana varian Hitu (Collins 1983) dituturkan oleh tua dan muda, meskipun Hila ditempatkan benteng VOC pada abad ke-17. Perbedaan antara Hila dan Hatiwe, misalnya, adalah salah satu agama yang dianut, yang pada masa Voc juga mengimplikasikan akses ke pendidikan.

Sulit untuk meragukan bahwa menjadi seorang Kristen di Ambon selama periode VOC merupakan faktor utama hilangnya bahasa pribumi mungkin sejak abad ke-18, dan tentu saja pada awal abad ke-19. Hal ini terjadi bukan karena sifat Kekristenan yang melekat, tetapi karena Kekristenan di Maluku Tengah merupakan bagian dari pola perilaku bahasa yang lebih besar. Banyak bagian dari pola itu yang terbagi secara merata oleh orang Ambon Muslim (peradilan, surat wasiat, sengketa tanah dan pembayaran pajak melalui wawancara lisan), tetapi di desa-desa Kristen peran bahasa Melayu di gereja dan di sekolah gereja cenderung mendukung pergeseran bahasa. Dengan pengecualiaan desa-desa terasing seperti Kelang dan Batumerah (dan tampaknya desa-desa pesisir pulau Buru (Grimes 1994)), hal ini tidak terjadi di antara desa-desa Muslim47.

Meskipun di tempat lain, ia mengungkapkan optimisme tentang keberlangsungan bahasa asli Maluku Tengah yang tersisa di Seram48, pengamatan Van Hoevell tentang perbedaan budaya penggunaan bahasa Melayu di masanya mendukung argumen umum di sini, bahwa ada perbedaan substansial antara budaya Muslim dan Kristen dalam penggunaan bahasa. Dia menulis :

“bagi kaum Muhammadans/Islam [di Seram], bahasa Melayu bahkan lebih tidak menguntungkan, karena mereka tidak begitu sering berhubungan dengan pejabat dan kehilangan pengaruh gereja dan sekolah. Juga kaum slammen (Muslim) di Kepulauan Lease untuk alasan yang sama lebih jarang menggunakan bahasa Melayu di rumah. Bersama kelompok Kristen, bahasa Melayu digunakan jauh lebih baik (Van Hoevell 1876: 5)

 

Diskusi

Keputusan untuk mengubah bahasa asli seseorang ke bahasa lain bukanlah hal yang aneh.Ketika perubahan ini tiba-tiba dan teramati, ini bisa disebut sebagai bunuh diri dari bahasa. Namun jika berjalan lambat, generasi demi generasi, itu hanyalah pergeseran bahasa. Banyak faktor yang dapat menyebabkan pergeseran bahasa, meskipun tidak ada pemukiman kembali atau genosida yang terlibat. Pergeseran bahasa dapat berlangsung secara bertahap, seringkali berdasarkan keluarga melalui dasar keluarga. Crystal (2000: 78-79) memberikan tipolog pergeseran budaya di bawah tekanan asimilasi budaya. Bahasa adalah lambang budaya, dan ketika suatu budaya direndahkan dan diejek anggota komunitas budaya tersebut memperoleh sikap negatif tentang bahasa mereka sendiri. Sikap-sikap ini

diperkenalkan oleh budaya yang lebih dominan, yang anggotanya menstigmatisasi orang-orang dalam istilah-istilah seperti bodoh, malas, dan biadab [..........] dan bahasa mereka sebagai bodoh, terbelakang, cacat, tidak memadai, atau bahkan (dalam kasus beberapa misionaris) bahasa ciptaan setan (Crystal 2000: 84)

Inilah sikap-sikap yang mendahului dan mengikuti keputusan VOC untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa gereja protestan di Maluku Tengah. Keputusan itu sendiri dibuat untuk memastikan bahwa Protestanisme dengan cara yang paling efektif dan paling murah dapat dijelaskan kepada penganut Kristen yang ada serta orang lain yang mungkin tertarik dengan agama ini. Itu adalah keputusan yang rasional, bahkan saleh, berdasarkan sumber daya yang tersedia dan, mungkin sebagian, pada perkembangan rasa nasionalisme bahasa di Eropa. Namun demikian, arahan seperti ini, yang dibuat tanpa dendam atau agenda tersembunyi, berdampak serius dan merusak bahasa-bahasa pribumi Maluku.

Memang, sikap budaya di Ambon abad ke-17 sejajar dengan yang digambarkan oleh Crystal di atas. Groeneboer (1998: 31) mengutip penilaian Danckaertsf  pada abad ke-17 tentang “orang Ambon yang bodoh dan pemalas”. Memang, penjelasan Danckaerts tahun 1621 (1621: 2-11) memuat halaman-halaman diskusi tentang satanisme dan takhayul kekafiran orang Ambon (“van der Amboinesen Heydensche Superstitien”), mulai dari “Mattacau” (menurut Danckaerts, adalah suatu bentuk perbuatan sumpah setan), pemujaan “Lenthila” (“iblis utama/tertinggi” dan “Taulay” (“iblis di antara banyak” yang lain), serta “Zwangij” (“sihir” dan “ilmu sihir”). Ditambah dengan sikap rasis tentang superioritas Eropa, kebrutalan pendudukan kolonial, kontrol produksi cengkih yang monopolistik (Wright 1958) dan keyakinan yang kuat dan gigih pada satanisme49, keputusan rasional ini tentang penggunaan bahasa di gereja dan sekolah menyebabkan kerugian dari hampir setiap bahasa yang digunakan oleh orang Ambon Kristen paling tidak pada pertengahan abad ke-19, dan kemungkinan besar lebih awal dari abad itu. 

Saat ini, 400 tahun setelah berdirinya VOC, semakin banyak bahasa Maluku yang telah punah/mati di desa-desa Kristen. Di Pulau Ambon, dapat ditarik garis antara desa-desa yang masih menggunakan bahasa asli dan yang sudah tidak lagi digunakan. Secara umum, garis itu juga akan memisahkan desa Kristen dan Muslim (lihat peta 3). Allang, yang bahasa lokalnya masih digunakan pada awal abad ke-20, kini tinggal “bayangan” bahasanya saja : kosakata yang diingat sebagian dirangkai  dalam pola sintaksis Melayu digunakan oleh beberapa penduduk yang lebih tua sebagai bahasa rahasia, bukan sebagai bahasa sehari-hari (Collins 1990)50. Di Liliboi dan Hatu, serta Waai, jejak ini pun tidak tersisa lagi.

Di Kepulauan Uliasse (Lease), pandangannya sama : kehilangan bahasa didesa-desa Kristen. Di Nusalaut, semua desa beragama Kristen. Van Ekris (1864-1865: 65-66) berpendapat bahwa ada 2 dialek yang dituturkan pada waktu itu di Nusalaut : [dialek] Ameth, yang hanya dituturkan di desa itu dan mirip dengan bahasa Saparua dalam perlakuannya terhadap /t/, dan [dialek] Nalahia, yang merupakan dialek yang digunakan di semua desa lainnya. Sekarang, hampir 150 tahun kemudian, tidak ada jejak bahasa yang bertahan kecuali mungkin di desa Titawai. 10 tahun yang lalu mungkin ada beberapa orang tua di Titawai yang dapat mengingat bahasa tersebut51, tetapi pernyataan [Kotynski 1989: 9) bahwa bahasa Nusalaut itu “bahasa yang sudah sekarat”. Di Saparua, tidak ada desa Kristen yang menggunakan bahasa pribumi. Di Haruku ada beberapa penduduk desa Kristen yang tetap menguasai bahasa mereka, meskipun tingkat penggunaannya di antara orang Kristen tidak jelas52.

Di bagian barat Seram, dari Piru hingga Amahai, polanya kurang lebih sama. Di sebagian besar desa-desa Kristen di pesisir, bahasanya telah punah atau hampir punah : Piru, Eti, Waesamu, Hatusua, Kamarian, Paulohi, Makariki, Amahai. Di hampir semua desa Kristen “tua” ini, yaitu desa-desa yang beragama Kristen pada masa VOC – memang sebagian besar berpindah agama pada abad ke-17 – bahasanya telah hilang atau diingat hanya oleh beberapa orang, tetapi tidak umum digunakan. Bahkan di beberapa desa yang baru memluk agama Kristen pada abad ke-20, bahasa tersebut terancam punah (Florey 1990).

Dan di pantai selatan Seram, pola bahasa yang punah atau sekarat di desa-desa yang beragama Kristen kontras dengan keberlangsungan  bahasa asli di desa-desa Muslim (Collins 1983). Di desa Luhu Islam, 2 bahasa digunakan : [bahasa] Luhu, bahasa asli Hoamoal yang digunakan setiap hari oleh ribuan penduduk desa Luhu – 15.000 penduduk menurut perkiraan Payapo (Collins 1980: 8) – dan [bahasa] Saparuan, yang digunakan di 2 desa kecil yang berdekatan dengan Luhu, yaitu desa Iha dan Kulur, dimana 1.000 penutur (Collins 1977-1979) adalah keturunan kaum Muslim yang diasingkan dari Saparua. Lebih jauh ke timur di pintu masuk teluk Elpaputih, di Latu, Tumalehu dan Hualoi (diperkirakan jumlah penduduk lebih dari 2.000 penduduk) dialek bahasa Saparuan lainnya dituturkan oleh semua generasi. Pengecualiaan untuk pola pemertahanan bahasa di desa-desa Muslim di pantai selatan Seram adalah Rutah (populasi 1.100 orang) dimana pada tahun 1978 suatu bahasa, dialek Amahai, masih digunakan, tetapi hanya oleh generasi paruh baya dan yang lebih tua (Collins 1977-1979, 2002).

Seperti disebutkan di atas, banyak faktor yang berperan penting dalam hilangnya bahasa. Tentu saja kita tahu bahwa dalam kasus bahasa Paulohi, Amahai dan Rutah (sebelumnya Amahai Islam), gempa bumi dan gelombang pasang susulan pada tanggal 30 September 1899 berkontribusi pada hampir punahnya bahasa Paulohi dan Amahai53. Namun pola keseluruhan hilangnya bahasa dalam bahasa desa-desa Kristen dan retensi bahasa di desa-desa Muslim masih harus diperhitungkan. Dengan tidak adanya pemaksaan pemukiman kembali dan kekerasan (Kelang di Manipa) atau bencana alam besar (Rutah dekat Amahai), desa-desa Muslim pada umumnya mempertahankan bahasa asli mereka. Ini bukanlah pola di desa-desa Kristen.

Seperti yang ditunjukkan oleh Niemeijer (2001: 274-275) :

VOC memfasilitasi perubahan politik dan agama di Maluku, tetapi selalu dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan lokal dan regional yang kuat dan bersaing. Agama tradisional yang mengakar membuat pertobatan yang nyata dipertanyakan dan dibatasi. Hanya pulau-pulau yang dekat dengan pusat-pusat kolonial (seperti pulau-pulau Lease) yang secara teratur dapat menerima para pendeta Belanda dan mencapai keberhasilan dalam pendidikan Kristen.

Di sini kesimpulan tentatif  telah dicapai. Sikap yang ditanamkan oleh gereja yang dikendalikan VOC dan kebijakan yang diberlakukan selama periode VOC telah berdampak buruk pada keberlangsungan bahasa-bahasa Maluku yang digunakan di desa-desa Kristen54. Studi yang lebih mendalam terhadap dokumen-dokumen yang tersedia, terutama bahan-bahan arsip yang tidak diterbitkan, dapat menguji dan menyempurnkan hipotesis sederhana ini.

 

Kesimpulan

Kajian singkat dan sangat bertele-tele tentang VOC ini dan hubungannya yang jelas dengan kepunahan sejumlah bahasa yang tidak dapat ditentukan di Maluku tidak dimaksudkan sebagai kecaman yang terlambat atas keserakahan korporasi, VOC atau lainnya. Apalagi tentang penghukuman terhadap agama Kristen di Maluku. Sebaliknya, ini adalah pengingat bagi pemerintah nasional dan lokal, LSM, perusahaan dan dewan gereja saat ini; ini adalah kisah peringatan tentang konsekuensi tidak terduga dari kebijakan dan keputusan administratif55. Yang dipertaruhkan adalah bahasa, salah satu “sumber daya intelektual manusia kita yang paling berharga” (Mithun 1988: 163). Ekologi bahasa, dalam penggunaan istilah tersebut oleh Mufwene (2001), sama rumitnya dengan ekologi zootik. Pengenalan bahan kimia baru dan bermanfaat, bentuk kehidupan dan metode budidaya mungkin memiliki hasil yang tidak terduga di antara bentuk kehidupan lokal. Demikian pula, pergeseran lingkungan sekitar, ekonomi, agama, dan gaya hidup komunitas bahasa mungkin memiliki konsekuensi yang tidak terduga untuk bahasa komunitas tersebut, terutama bahasa tradisional yang dituturkan oleh minoritas demografis dan sosial56

Saya tidak bermaksud telah mempelajari pemeliharaan bahasa dan kepunahan bahasa sebagai bagian dari program penelitian saya di Maluku 25 tahun lalu. Sebagian besar kajian di sini bersifat impresionistik, bukan berbasis data. Sarjana lain telah melakukan penelitian yang mendetail dan terfokus dalam bidang ini di Indonesia, bahkan di Maluku yang belum diteliti. Karya rintisan M. Florey (antara lain 1990, 1991, 1993, 2001) adalah contoh dalam hal ini; beberapa sarjan lain telah melakukan penelitian mikro sosiolinguistik intensif semacam ini. Di sisi lain, di Maluku, bahkan penelitian yang tidak menekankan pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa tidak bisa lepas dari persoalan hidup dan mati bahasa itu sendiri.

Maluku adalah wilayah dengan kompleksitas bahasa yang sangat besar, baik historis maupun kontemporer. Banyaknya bahasa yang digunakan oleh komunitas kecil di daerah dengan sejarah panjang eksploitasi kolonial dan gejolak kontemporer, dikombinasikan dengan profil epidemiologis dengan harapan hidup yang biasanya rendah57 dan layanan perawatan kesehatan yang buruk, meningkatkan kemungkinan seorang peneliti menyaksikan kematian pada bahasa yang telah ia teliti selama hidupnya : kematian bahasa dan gesekan bahasa adalah fakta kehidupan seorang peneliti di Maluku; bahkan ahli sejarah bahasa tidak dapat mengabaikan atau tidak menyadari kemunduran dan hilangnya secara bertahap bahasa-bahasa pribumi.

Merekonstruksi sejarah sosial sebagian kecil desa di perairan belakang Maluku Tengah yang berawa-rawa mungkin memang tindakan yang keliru. Beberapa data yang tersedia, misalnya, angka populasi yang dipublikasikan – (tampaknya solid, jumlah yang dapat diandalkan), adalah subjek pada skeptisisme para pakar yang diakui di lapangan. Dan kemudian untuk membawa argumen lebih jauh dengan mencoba menghubungkan sejarah sosial bayangan itu dengan fenomena masyarakat saat ini, yaitu keusangan bahasa, mungkin bahkan kurang kredibel. Lagipula, kami sedang memeriksa bahasa dan masyarakat yang sebagian sejarahnya telah dilenyapkan, dengan, seperti yang ditulis M. Ondaatje (1992: 7) dalam The English Patient, “celah alur seperti bagian jalan yang tersapu badai, hilang insiden seolah-olah belalang telah memakan bagian permadani, seolah-olah plester yang dilonggarkan oleh pengeboman telah jatuh dari mural di malam hari”.

Namun demikian, betapapun keliru dan pendahuluannya, harus ada langkah awal untuk memahami evolusi sejarah bahasa dan masyarakat di Maluku, bahkan saat ini diguncang oleh bom, dilahap oleh belalang. Sebagian, kajian ini merupakan tanggapan terhadap tantangan Mufwene (2001: 127-141) terhadap ahli sejarah bahasa, yang sebagian besar telah mengabaikan bahasa pinggiran dan sejarah sosialnya. Namun, kajian ini juga membahas misrepresentasi tentang Maluku dan masyarakatnya yang begitu aktual hingga saat ini. Penyederhanaan jurnalistik masa kini dari hubungan internal sub kelompok Maluku harus diganti dengan pemeriksaan sejarah daerah secara cermat, seperti dalam karya Knaap dan Niemeijer, bersamaan dengan kajian tentang beragam fenomena sosiologis kontemporer, seperti kepunahan bahasa, seperti yang dilakukan dalam kajian Florey.

Ditulis oleh bukan seorang sejarahwan atau ahli sosiolinguistik, kajian ini memberikan banyak peluang untuk perbaikan dan revisi. Saya telah mencoba mengeksplorasi pertanyaan yang diajukan oleh Grenoble dan Whaley (1988: 22) : “[Mengapa] kelompok-kelompok yang terkait secara linguistik dengan sejarah yang sama memanifestasikan tingkat keusangan bahasa yang berbeda secara signifikan???”. Tetapi banyak masalah masih belum terselesaikan dan hanya dapat didekati melalui penelitian observasi partisipan jangka panjang yang intensif yang disejajarkan dengan penilaian cermat terhadap sumber daya sejarah yang tersedia. Maksud dari kajian ini hanyalah untuk menyajikan beberapa data dari bahasa yang dipelajari, seperti bahasa Kelang dan Piru, untuk mengeksplorasi dokumen sejarah yang jarang digunakan, seperti khotbah-khotbah aliran Calvinis abad ke-17 yang ditulis dalam bahasa Melayu di Ambon, dan untuk menyarankan beberapa cara untuk penelitian lebih lanjut.

Dalam kajian sebelumnya (Collins 1999), saya berpendapat bahwa hilangnya lambang identitas tertentu, seperti bahasa, sering diimbangi dengan terlalu menekankan lambang identitas lainnya, seperti agama. Mungkin hilangnya bahasa dan hilangnya ribuan nyawa baru-baru ini dalam kekerasan sektarian saling berhubungan. Tetapi ini adalah masalah sosiologis yang sangat kompleks, yang jauh di luar jangkauan sejarah komparatif  linguistik.

========= selesai ===========

 

Catatan Kaki

41.        Tampaknya juga tidak mungkin untuk menentukan “tanggal” munculnya varian baru. Grimes (1994:256), bagaimanapun, mengklaim: 'Pada tahun 1689 ragam bahasa yang diucapkan di sekitar benteng Ambon telah mengkristal menjadi bentuk yang berbeda'. Kita bertanya-tanya data apa yang dimilikinya untuk menunjukkan tahun 'kristalisasi' yang tepat.

42.       Dalam teks asli bahasa Belanda :  “Wel is waar hebben alle christennegorijen in de afdeeling Ambon, behalve Alang, Hatoe en Liliboi, zoo ook de negorij Tiouw en Saparoea [eiland Saparoea], hare landtaal geheel voor het Maleisch laten varen, maar overigens is de oude bahasa nog in gebruik”. [Benar, bahwa semua negeri-negeri Kristen di wilayah/bagian Ambon, kecuali Alang, Hatu dan Lilibooi, serta negeri Tiouw dan Saparoea [pulau Saparoea], telah meninggalkan sepenuhnya bahasa asli/pribumi mereka dan beralih ke bahasa Melayu, tetapi sebaliknya bahasa asli/lama masih digunakan]

43.       Dalam teks asli bahasa Belanda :  “Ht. staat voor Hatawano, de noordkust van Saparoea. Daar is het gebruik der landtaal bij de Islamieten regel, bij de Christenen uitzondering”. [Di jazirah Hatawano, pesisir utara pulau Saparua. Di sana pengunaan bahasa pribumi/asli adalah aturan di kalangan umat Islam, kecuali di kalangan umat Kristen]

44.       Ludeking (1868:193) menulis dengan tegas : Sejarah, akan dicatat oleh anak cucu, tentang apa yang dilakukan dan tidak dilakukan atas nama Belanda di Karesidenan ini, harus mmendokumentasikan fakta luar biasa yang pernah disarankan untuk melarang bahasas [bahasa pribumi] secara umum. Citra bahasa dari orang yang diborgol dan dihancurkan sedemikian tidak lahir dari kenaifan/kebodohan”.

45.       Sebuah contoh singkat dari bahasa Melayu-Ambon yang agak formal ditemukan dalam Bertling (1925: 387) : “kata tuwan Radja tjakej pada beta sebab beta sudah djuwal sapangal tanah kuskusu di pingir tuwan Rabbe punja kabon kalu tuwan bangsjawan jang mulija pasijar dengan kareta beleh lihat akan tijada barang apa-apa dalamnja melajinkan djuga kuskusu pada 25 real pada Christian Rheebock”

46.       Collins 1997. Saya ingin berterima kasih kepada Gerrit Knaap, yang pada tahun 1994 untuk pertama kali membuat saya tertarik memperhatikan keberadaan dokumen ini, dan kepada Ron Habiboe, yang dengan bermurah hati membantu saya menemukan dokumen ini di Den Haag

47.       Banyak yang dibuat oleh Grimes (1994) tentang keterasingan dan kehilangan bahasa yang disebabkan oleh pemukiman kembali desa-desa Kristen ke pesisir sebagai faktor hilangnya bahasa di antara orang Ambon yang Kristen. Mungkin penulis tidak mengetahui bahwa hampir semua desa Muslim di pulau Ambon juga merupakan hasil pemukiman kembali secara besar-besaran dan percampuran penduduk, tidak hanya dari dusun-dusun terpencil di pedalaman pulau Ambon, tetapi dengan pendatang yang diakui dari pedalaman Seram dan Saparua, serta Jawa dan Sulawesi. Pada tahun 1977-1979, saat penelitian saya yang paling intensif, desa-desa di Ambon ini, kecuali Batumerah yang disebutkan di atas, telah mempertahankan bahasa mereka. Bahkan di antara desa-desa Kristen yang tidak mengalami pemukiman kembali, seperti Kilang dan Soya, hilangnya bahasa pribumi sama meluasnya seperti di desa-desa lain. Desa-desa Kristen dan mungkin telah terjadi lebih awal. Selain itu, perlu dicatat bahwa desa-desa Ambon yang secara historis Muslim tetapi kemudian menjadi Kristen selama periode Portugis dan Belanda, seperti Halong dan Latuhalat, juga kehilangan bahasa mereka, meskipun tidak ada yang dimukimkan kembali. Kita tidak bisa tidak menyimpulkan bahwa agama terkait dengan loyalitas bahasa di Maluku tengah.

48.       Van Hoevell (1876:6) menulis : “zij op Ceram zich nog veel longer zal handhaven en de heerschende taal blijven zal”. [itu (bahasa) akan bertahan lebih lama di Seram dan tetap menjadi bahasa yang dominan].

49.         Gagasan tentang bagaimana sikap-sikap ini dapat ditafsirkan pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas dapat ditarik dari latar kontemporer desa-desa Kristen di Seram yang dikonversi pada abad kedua puluh. Florey (2001:337) mencatat 'tekanan yang dilakukan di desa-desa oleh misionaris dan pendeta untuk menghentikan penggunaan Alune [bahasa asli Seram]. Bahasa Melayu adalah bahasa Kristen - bahasa yang menunjukkan bahwa penduduk desa telah keluar dari masa gelap, 'era kegelapan', yang menunjukkan periode pra-Kristen.' Tekanan ini seringkali termasuk 'hukuman fisik' (Florey 2001:335)

50.       Van Hoevell (1876:5-6) membuat pengamatan serupa : “Di hadapan orang Eropa, orang pedalaman lebih suka menggunakan bahasa, bahasanya berfungsi argumen dan banyak basa-basi diperbolehkan dengan mengorbankan orang asing yang tidak menaruh curiga”

51.        Namun, pengamatan saya selama berbagai perjalanan pada tahun 1972 ke Akoon, desa terkecil di Nusalaut, menunjukkan bahwa dialek lokal Melayu Ambon menampilkan sejumlah item leksikal yang berbeda, menunjukkan substratum Nusalaut. Jadi mungkin ada beberapa jejak, bahkan mantra yang setengah diingat yang digunakan di tempat suci tradisional di Pusat Pulau Nusalaut. Saya sangat berterima kasih kepada keluarga Berhitu Ambon dan Akoon yang membuat kunjungan saya ke Nusalaut berkesempatan untuk belajar tentang budaya dan bahasa pulau tersebut.

52.       Kotynski 1989. Di Haruku terdapat populasi Muslim berbahasa Haruku yang besar. Pada tahun 1986, orang-orang Kristen Harukan yang penduduk desanya berada di dekat desa Muslim melaporkan menggunakan bahasa Haruku dengan tetangga Muslim mereka. Sampai sejauh mana pola pertukaran ini bertahan tidak diketahui dan diragukan, setelah pecahnya kekerasan komunal.

53.       Sebagaimana ditunjukkan dalam Collins (2002): 'Stresemann (1918:xxii) memperkirakan bahwa tidak kurang dari 1450 dari 1550 jumlah penutur Paulohi, yang merupakan 94% yang mengerikan, meninggal dalam satu hari, 30 September 1899, ketika desa kembar Paulohi-Samasuru tergelincir ke laut karena kekuatan gempa yang diikuti tsunami setinggi sembilan meter. Pada hari yang sama, di seberang teluk di Amahai, 348 penutur bahasa Amahai juga meninggal akibat gelombang pasang yang sama.' Lihat Verbeek (1900) untuk laporan yang lebih rinci.

54.       Bahkan di pantai utara Seram, di mana agama Kristen baru mulai masuk pada awal abad ke-20, bahasa-bahasa mati di desa-desa Kristen: Noniali, H u l u n g dan Naka'ela; tetapi bahasa pribumi masih digunakan secara luas di desa-desa Muslim (Collins 1977-79).

55.       Gambar mini sketsa Whaley (2001:117-9) tentang kontras sejarah sosial dari dua bahasa Manchu-Tungus yang usang, Bahasa Evenki dituturkan di Rusia dan Oroqen dituturkan di Cina, menunjukkan dampak dari kebijakan dua pemerintahan komunis yang berbeda dan pemerintahan masing-masing. kebijakan tentang pola kontak yang dialami oleh penutur bahasa terkait tersebut.

56.       Mufwene (2001:152) menyebutkan enam alasan untuk menganalogikan bahasa sebagai 'parasit' dan penuturnya sebagai 'inang' parasit. Di antara alasan-alasan ini: '[Sebuah] bahasa jatuh ke dalam gesekan dan / atau mati jika hal-hal yang dilakukan terhadap inangnya yang tidak memungkinkannya untuk berkembang, misalnya, jika penuturnya dipindahkan ke lingkungan di mana bahasa lain harus diucapkan sebagai bahasa sehari-hari'.

57.       Di sebuah desa yang relatif berpendidikan dan maju yang terletak di pesisir, seperti Kaibobo (Kristen setidaknya sejak tahun 1645 (Niemeijer 2001:269)), 64% dari populasi 1.053 orang pada tahun 1976 berusia 24 tahun atau lebih muda; hanya 10% dari populasi berusia 55 tahun atau lebih. Ini adalah statistik di sebuah desa di mana, lebih jauh lagi, tradisi bertahan di mana anak-anak tidak diperbolehkan ('tidak diperkenangkan') untuk menggunakan bahasa pribumi (Collins 1977-79)

Catatan Tambahan :

  1. C.G.C. Reinwardt memiliki nama lengkap Casper Georg Carl Reinrwardt, seorang Profesor, lahir pada 3 Juni 1773 dan meninggal dunia pada 6 Maret 1854. Ia mengunjungi Maluku dalam tahun 1821-1822.
  2. Catatan perjalanan atau catatan harian dari perjalanan dari Reinwardt ini dipublikasikan pada tahun 1858 oleh W.H. de Vriese yang dilengkapi dengan biografi C.G.C Reinwardt dan beberapa lampiran.
  3. Ada 56 kosakata dalam bahasa Hitu yang dikumpulkan oleh C.G.C. Reinwardt. Beberapa kata misalnya : Meit = Air Laut, Halawan = Emas, Ian = Ikan, Oepoe Latoe = Radja, Wai = Air, Selakka = Perak, Hatoe = Batu, Aman = Negeri/Desa, Nale = Tahun, Mete = Hitam, Makamali = Utara, Halat = Barat, Lepiain = Pohon sagu, Ninoe = Minum, Lawai = Rumah, Kalin = Lapar..., dan lain-lain
  4. Stavorinus memiliki nama lengkap John Splinter Stavorinus, ia seorang laksamana angkatan laut.
  5. Jan Pays dalam sumber-sumber VOC ditulis Joan Pais. Dalam sumber tahun 1636 - 1647 ia disebut sebagai hooft van Hatiwe (Pemimpin Hatiwe) dengan gelar Hukum.
  6. Danckaerts memiliki nama lengkap Sebastian Danckaerts (1592/1593 – 1634). Ia bertugas di Ambon pada Januari 1618 – Mei 1622. Ia meninggal di Batavia pada April 1634.

 

REFERENCES

  • Aveling, H.G. 1967 'Seventeenth century Bandanese society in fact and fiction; 'Tambera'
    assessed', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 123:347-65.
  • Bertling, C.Th. 1925 'Verscheidenheden omtrent dati's (1922)', in: Adatrechtbundels; [Deel] XXIV: Groote Oost, pp. 372-89. 's-Gravenhage: Nijhoff.
  • Bleeker, P. 1856 Reis door de Minahassa en den Molukschen Archipel gedaan in de maanden
    September en Oktober 1855 in het gevolg van den Gouverneur-Generaal Mr. A.]. Duymaer van Twist.
    Batavia: Lange.
  • Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam, C.W.T. baron van 1947 De Protestantsche kerk in Nederlandsch-Indie; Haar ontwikkeling van 1620- 1939. 's-Gravenhage: Nijhoff.
  • Caron, Franchois 1693 Voorbeeldt des openbaeren godtsdiensts, bestaende in de verhandelinge van de
    XII Articulen des geloofs, de wet godes, 't gebedt des Heeren, mitsg. defeestbid- en danck-texten, ten dienste der inlandsche christenen op Amboina, in 40 praedicatien gestelt.
    Amsterdam: Matthysz.
  • Collins, James T. 1977-79 Fieldnotes of linguistic research in Maluku. [Manuscript.]
    1980a 'Laha, a language of the Central Moluccas' Indonesia Circle 23:3-19.
    1980b Ambonese Malay and creolization theory. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia. [Penerbitan Ilmiah 5.]
    1982 'Linguistic research in Maluku; A report of recent fieldwork', Oceanic Linguistics 21:73-146.
    1983 The historical relationships of the languages of Central Maluku, Indonesia. Canberra: Australian National University, Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies. [Materials in Languages of Indonesia 13; Pacific Linguistics, Series D, Special Publications 47.]
    1990 'On the language of Allang'. Paper, First Maluku Research Conference, Honolulu.
    1992a 'Studying seventeenth-century Ambonese Malay; Evidence from F. Caron's sermons (1693)', Cakalele 3:99-122.
    1992b 'Karangan pelaut dan penginjil Belanda; Sumber rujukan bahasa Melayu sebelum 1700', Rumpun 5:1-16.
    1997 'Ciri-ciri bahasa Melayu abad ke-17', in: Tradisi penulisan manuskrip Melayu, pp. 51-70. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia.
    1998 Sejarah bahasa Melayu di Ambon. [Manuscript.]
    1999 'The Malay language in Ambon; Contact, fusion, fractionalization'. Paper, Language in Society Workshop 'Homogeneity and Heterogeneity in Linguistic Communities', Chicago, 30 April-1 May.
    2000 Malay, world language; A short history. Second edition, second printing. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
    2001 'Kamus Melayu dan ilmu perkamusan', Dewan Bahasa 1-12:22-30.
    2002 Atamanu, a language of western Seram. [Manuscript.]

forthcoming A field dictionary of Asilulu. Ithaca, NY: Southeast Asian Studies Program, Cornell University. Collins, James T. and Timo Kaartinen
1998 'Preliminary notes on Bandanese; Language maintenance and change in Kei', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 154:521-70.

  • Collins, James T. and C. L. Voorhoeve (compilers) 1983 'Moluccas (Maluku)', in: S.A. Wurm and Shiro Hattori (eds.), Language atlas of the Pacific area. Part II: Japan area, Taiwan (Formosa), Philippines, Mainland and Insular South-East Asia. Sheet 45. Canberra: Australian Academy of Sciences in collaboration with the Japan Academy. [Pacific Linguistics, Series C, Books 67.]
  • Coolsma, S. 1901 De zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie. Utrecht: Breijer.
  • Crab, P. van der 1862 De Moluksche eilanden; Reis van Z.E. den Gouverneur-Generaal Charles
    Ferdinand Pahud, door den Molukschen archipel.
    Batavia: Lange.
  • Crystal, David 2000 Language death. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Danckaerts, Sebastiaen 1621 Historisch ende grondich verhael, vanden standt des Christendoms int
    quartier van Amboina,. mitsgaders vande hoope ende apparentie eenigher reformatie ende'beternisse van dien.
    's Graven-haghe: Meuris.
  • Doren, J.B.J. van 1859 Boeroe en Manipa; Aanteekeningen en geschiedkundige feiten. Amsterdam:
    Sybrandi.
  • Dorian, Nancy C. 1986 'Gathering language data in terminal speech communities', in: Joshua
    A. Fishman et al. (eds.), The Fergusonian impact; In honor of Charles A. Ferguson on the occasion ofhis 65th birthday. Vol. II: Sociolinguistics and the sociology oflanguage, pp. 555-75. Berlin: Mouton de Gruyter. [Contributions to the Sociology of Language 42.]
  • Dressier, Wolfgang U. 1988 'Language death', in: Frederick J. Newmeyer (ed.) Linguistics; The Cambridge survey. Vol. IV: Language; The socio-cultural context, pp. 184-92. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Ekris, A. van 1864-65 'Woordenlijst van eenige dialecten der landtaal op de Ambonsche eilanden', Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap 8:61-108, 301-36; 9:557-68.
  • Evans, Nicholas 2001 'The last speaker is dead - long live the last speaker!', in: P. Newman and M. Ratliffe (eds), Linguisticfieldwork, pp. 250-81. Cambridge/New York: Cambridge University Press.
  • Florey, Margaret J. 1990 Language shift; Changing patterns of language allegiance in western Seram.
    [PhD thesis, University of Hawai'i.]

1991 'Shifting patterns of language allegiance; A generational perspective from eastern Indonesia', in: H. Steinhauer (ed.), Papers in Austronesian linguistics, No. 1, pp. 39-47. Canberra: Australian National University. [Pacific Linguistics, Series A, 81.]
1993 'The reinterpretation of knowledge and its role in the process of language obsolescence', Oceanic Linguistics 32:295-309.
2001 'Threats to indigenous knowledge; A case study from eastern Indonesia', in: L. Maffi (ed.), On biqcultural diversity; Linking language, knowledge and the environment,- pp. 325-42. Washington/London: Smithsonian Institution Press.

  • Grenoble, Leonore A. and Lindsay J. Whaley  1998 'Towards a typology of language endangerment', in: L.A. Grenoble and L.J. Whaley (eds), Endangered languages; Language loss and community response, pp. 22-54. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Grimes, Barbara Dix 1991a 'Exploring the sociolinguistics of Ambonese Malay', in: Ray Harlow
    (ed.), Western Austronesian and contact languages, pp. 131-68. Auckland: Linguistic Society-of New Zealand, University of Auckland. [Vical 2.]
    1991b 'The development and use of Ambonese Malay', in: H. Steinhauer (ed.), Papers in Austronesian linguistics, No. 1, pp. 83-123. Canberra: Australian National University. [Pacific Linguistics, Series A, 81.]
    1994 'Cloves and nutmeg, traders and" wars; Language contact in the Spice Islands', in: Tom Dutton and Darrell T. Tryon (eds), Language contact and change in the Austronesian world, pp. 251-74. Berlin/New York: Mouton de Gruyter. [Trends in Linguistics, Studies and Monographs 77]
  • Grimes, Barbara R (ed.) 1988 Ethnolo'gue; Languages of the world. Eleventh' edition. Dallas: Summer Institute of Linguistics. [First edition 1951.]
  • Groeneboer, Kees 1993 Weg tot het Westen; Ret Nederlands voor Indie 1600-1950; Een taalpolitieke
    geschiedenis.
    Leiden: KITLV Uitgeverij. [Verhandelingen 158.]

1998 Gateway to the West;. The Dutch language in colonial Indonesia 1600-1950; A history of language policy. Translated by Myra Scholz. Amsterdam: Amsterdam University Press.

  • Hanna, Willard Anderson 1976 Indonesian Banda; Colonialism and its aftermath in the nutmeg islands. Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues.
  • Heeres, J.E. 1897 'Ambon in 1647', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 47:510-95.
  • Hoevell, G.W.W.C. van 1876 Vocabularium van vreemde woorden voorkomende in het AmbonschMaleisch. Dordrecht: Blusse en Van Braam.
  • Indjil daribefili Matthejoes 1904 Indjil daribe fili Matthejoesfidibehasa Masarette; Het evangelie naar Mattheus in het Masarete'sch. Leiden: Trap. [Perhimpoenan fili Elkitab difoeka Wollanda.]
  • Jacobs, H. 1985 'Ambon as a Portuguese and Catholic town', Neue Zeitschrift fur Missionswissenschaft 41:1-17.
  • Keuning, J. . 1956 'Ambonnezen, Portugezen en' Nederlanders; Ambon's geschiedenis tot het einde van de zeventiende eeuw', Indonesia 9:135-68.
  • Kotynski, Edward A. [1989] 'A lexicostatistical survey of the Lease islands', Workpapers in Indonesian Languages and Cultures 6:1-14.
  • Krayer van Aalst, H. 1920 Sole en zijn vriendjes. 's-Gravenhage: Algemeene Bbekhandel voor
    Inwendige en Uitwendige Zending.
    1922 Van doorbrekend licht. Oegstgeest: Zendingsbureau.
  • Landwehr, John (ed.) 1991 VOC; A bibliography of publications relating to the Dutch East India Company, 1602-1800. Utrecht: HES Publications.
  • Leupe, P. 1854 'De verovering der Banda-Eilanden', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 2:384-430.
  • Ludeking, E.W.A. 1868 Schets van de Residentie Amboina. 's Gravenhage: Nijhoff.
  • Mithun, Marianne 1998 'The significance of diversity in language endangerment and preservation', in: L.A. Grenoble and L.J. Whaley(eds), Endangered languages; Language loss and community response, pp. 163-90. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Mooij, J. 1927-31 • Bouwstoffen voor de geschiedenis der Protestantsche kerk in NederlandschIndi'e. Weltevreden: Landsdrukkerij. Three vols.
  • Muhlhausler, Peter 1996 Linguistic ecology; Language change and linguistic imperialism in the Pacific region. London/New York: Routledge.
  • Mufwene, Salikoko S. 2001 The ecology of language evolution. Cambridge/New York: Cambridge
    University Press. [Cambridge Approaches to Language Contact.]
  • Nettle, Daniel and Suzanne Romaine 2000 Vanishing voices; The extinction of the world's languages. Oxford: Oxford University Press.
  • Niemeijer, Hendrik E. 2001 'Dividing the islands; The Dutch spice monopoly and religious change
    in seventeenth-century Maluku', in: Alijah Gordon (ed.), The propagation of Islam in the Indonesian-Malay archipelago, pp. 251-86. Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute.
  • Nieuhof, Johan 1988 Voyages and travels to the East-Indies 1653-1670. Singapore: Oxford University Press. [Oxford in Asia Hardback Reprints.]
  • Olivier, Joh. 1827 Aanteekeningen, gehouden op eene reize in Oost-Indie en gedurende een veeljarig verblijf in onderscheidene Nederlandsche etablissementen aldaar. Amsterdam: Gebroeders Diederichs.

1834-37 Reizen in den Molukschen Archipel naar Makassar, enz. in het gevolg van den Gouverneur-Generaalvan Nederland's Indie in 1824 gedaan en volgens de dagboeken en aanteekeningen van ondersch. reisgenooten beschreven. Amsterdam: Beijerinck. Two vols.

  • Ondaatje, Michael 1992 The English patient. New York: Knopf.
  • Payapo, Abdullah 1980 Morfologi bahasa Luhu; Laporan penelitian. [Jakarta]: Pusat Pembinaan
    dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Polman, Katrien 1983 The Central Moluccas; An annotated bibliography. Dordrecht: Foris.
    [KITLV, Bibliographical Series 12.]
  • Reinwardt, C.G.C. 1858 Reis naar het oostelijk gedeelte van den Indischen Archipel in het jaar 1821.
    Amsterdam: Muller. [Werken van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie, Tweede Afdeeling, Afzonderlijke Werken.]
  • Rumphius, G.E.- 1983 Ambonsche landbeschrijving. Suntingan Z.J. Manusama. Jakarta: Arsip
    Nasional Republik Indonesia. [Penerbitan Sumber Sumber Sejarah 15.] [First edition 1678.]
  • Sachse, F.J.P. 1919 Gegevens uit de nota betreffende de onderafdeeling West-Ceram. Batavia: Kolff.
  • Schama, Simon 1988 The embarrassment of riches; An interpretation of Dutch culture in the
    Golden Age.
    Berkeley/Los Angeles: University of California Press.
  • Schenkeveld, Maria A. 1991 Dutch literature in the age of Rembrandt; Themes and ideas. Amsterdam/ Philadelphia: Benjamins. [Utrecht Publications in General and Comparative Literature 28.]
  • Stavorinus, J.S. 1969 Voyages to the East-Indies. Vol. II. Translated by S.H. Wilcocke. London:
    Dawsons of Pall Mall. Three vols. [First edition 1798.]
  • Steinhauer, H. 1991 'On Malay in eastern Indonesia in the 19th century', in: H. Steinhauer
    (ed.) Papers in Austronesian linguistics, No. 1, pp. 197-225. Canberra: Australian National University. [Pacific Linguistics, Series A, 81.]
  • Stresemann, Erwin 1918 Die Paulohisprache; Ein Beitrag zur Kenntnis der Amboinischen Sprachengruppe. 's-Gravenhage: Nijhoff. [KITLV.]

1927 Die Lauterscheinungen in den ambonischen Sprachen. Berlin: Reimer. [Beihefte zur Zeitschrift fur Eingeborenen-Sprachen 10.]

  • Swellengrebel, J.L. 1974 In Leijdeckers voetspoor; Anderhalve eeuw bijbelvertaling en taalkunde in
    de Indonesische talen. Vol. I1820-1900.
    's-Gravenhage: Nijhoff. [KITLV, Verhandelingen 68.]
  • Taguchi, Yushin [1989] 'A lexicostatistic survey of the languages indigenous to West Seram',
    Workpapers in Indonesian Languages and Cultures 6:15-63.
  • Tiele, P.A. 1886 Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel. Vol. 1. 's Gravenhage: Nijhoff. [De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, 2e Reeks (Buitenbezittingen) 1.]
  • Travis, Edgar [1989] 'A lexicostatistic survey of the languages indigenous to Ambon island',
    Workpapers in Indonesian Languages and Cultures 6:65-101.
  • Troostenburg de Bruijn, C.A.L. van 1893 Bibliographisch woordenboek van Oost-lndische predikanten. Nijmegen: Milborn.
  • Valentyn, Francois 1724-26 Oud en nieuw Oost-Indien, vervattende een naaukeurige en uitvoerige
    verhandelinge van Nederlands mogentheyd in die gewesten, benevens eene wydlustige beschryvinge der Moluccos, Amboina, Banda, Timor, en Solor, Java en alle de eylanden onder dezelve landbestieringen behoorende : het Nederlands comptoir op Suratte, en de levens der groote Mogols; als ook een keurlyke verhandeling van 't wezentlykste, dat men behoort te weten van Choromandel, Pegu, Arracan, Bengale, Mocha, Persien, Malacca, Sumatra, Ceylon, Malabar, Celebes of Macassar, China, Japan, Tayouan of Formosa, Tonkin, Cambodia, Siam, Borneo, Bali, Kaap der Goede Hoop en van Mauritius.
    Dordrecht: Van Braam/Amsterdam: Onder de Linden. Five vols.
  • Verbeek, R.D.M. 1900 Kort verslag over de aard- en zeebeving op Seram den 30sten September 1899.
    Batavia: Landsdrukkerij.
  • Wallace, A.R. 1869 The Malay archipelago. London: Macmillan.
  • Whaley, Lindsay J. 2001 'Manchu-Tungusic and culture change among Manchu-Tungusic peoples', in: John Edward Terrell (ed.), Archaeology, language and history; Essays on culture and ethnicity, pp. 103-24. Westport, CT/London:
  • Bergin and Garvey. [Scientific Archaeology for the Third Millennium.] 
  • Wright, H.R.C. 1958 'The Moluccan spice monopoly, 1770-1824', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 31-4:1-127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar