Sabtu, 18 Maret 2023

Pemisahan Pulau-Pulau : Monopoli Rempah-Rempah Belanda & Perubahan Agama di Maluku pada Abad ke-17

 

(bag 2)

[Hendrik.E. Niemeijer]

 

Kebijakan Kontrak/Tanpa Campur Tangan.

Kebijakan kontrak VOC berhasil dengan baik untuk Belanda. Seorang Sultan yang kuat dan bergaji tinggi jauh lebih mudah untuk berurusan dengan beberapa faksi istana, dan itu cocok dengan stereotif populer barat tentang “Despotisme Oriental”. Konsep ini menjadi populer di Eropa pada akhir abad ke-17. Ketika para filsuf Prancis membandingkan absolutisme dengan rezim despotik di Asia40. Laporan tahunan dari para Gubernur Belanda tentang kehidupan istana dan masalah kenegaraan para Sultan mencerminkan pendapat umum barat bahwa negara-negara pribumi diperintah dengan cara keras yang tidak masuk akal. Bagi kompeni, ada banyak alasan untuk camput tangan dalam urusan negara pribumi, selama para Sultan menepati janjinya sebagaimana tercantum dalam kontrak.

 

Kebijakan non-intervensi pragmatis ini juga berlaku sampai batas tertentu dalam bidang agama. Menurut hukum barat, agama Kristen hanya dapat diberlakukan di wilayah yang dikuasai dan ditaklukkan. Hanya hak penaklukan yang memberikan hak “merintis suatu gereja”. Ini adalah ideologi yang berbeda secara fundamental dibandingkan dengan yang diperoleh pada abad ke-19 yang lebih sekuler dan liberal, ketika organisasi misionaris bertindak sebagai pengkritik rezim liberal barat dan menunjukkan kecenderungan untuk bertindak kurang lebih independen dari negara kolonial. Alih-alih mencontoh “Republik Kristen”, pertobatan jiwa individu menjadi objek mereka. Tetapi misi abad ke-17 membutuhkan penjaga sekuler, Tuhan tidak dengan sia-sia memberikan pedang kepada “pemerintahan Kristen” untuk melindungi gereja; pedang dan salib adalah entitas yang tidak terpisahkan. Sebagai konsekuensi dari ideologi negara Protestan modern awal, pengaruh Islam dihormati di wilayah Ternate dan Tidore. Di pusat-pusat Islam seperti Mareku, pusat kekuasaan Tidore, hukum Islam (sharia) sering diikuti dengan ketat, sementara Keraton Ternate yang dekat dengan benteng Oranye mengembangkan pendekatan lebih terbuka terhadap pengaruh barat.

 

Mengandung keIslaman

Gereja Reformasi Belanda secara resmi didirikan di Ternate pada tahun 1626, ketika sebuah konsistori atau Dewan gereja secara resmi didirikan oleh beberapa pengkhotbah awam. Sejak kedatangan Pendeta Petrus Scotusa pada tahun 1628 hingga pembangunan sebuah gereja kayu sederhana di sekitar Fort Oranye pada tahun 1645, kebaktian gereja diadakan di dalam benteng itu sendiri, dan hanya menarik beberapa personel kompeni. Sejak tahun-tahun awal ini dan seterusnya, para Pendeta yang bertugas di Ternate juga bertanggung jawab atas komunitas Kristen Katolik pertama di Bacan (Labuha) dan Makian (di Ngofakiaha dan Tafasoho, dimana kompeni telah membangun benteng). Surat-surat dari Scotus dan pendeta Calvinis lainnya kepada konsistori Batavia, terutama berisi keluhan tentang kegiatan para pendeta Jesuit dari Manila di Ternate, Tidore, dan Halmahera Utara, dan kehidupan tidak bermoral subjek-subjek kompeni.

Tetapi ketidakpastian teritorial menyusul keseimbangan politik baru pada akhir 1660-an menuntut perubahan dalam kebijakan gereja. Beberapa kerajaan kecil pesisir di Sulawesi Utara yang menolak klaim teritorial dari Sultan Ternate meminta bantuan kompeni untuk melawan intimidasi Ternate, perompak (bajak laut) dan klaim kekerasan oleh kerajaan-kerajaan terdekat. Raja Menado, misalnya, menolak dominasi kerajaan terdekat Bolaang-Mongondow dan meminta perlindungan kompeni/VOC. Kepergian Spanyol dan kekuatan regional (terutama Makassar, Bugis dan Buton) menandai berakhirnya berbagai aliansi antara kekuatan ini dan kerajaan-kerajaan kecil lokal. VOC mengisi kekosongan politik, yang juga membuka kemungkinan penyebaran Protestanisme.

Sekitar tahun 1662, kepala sekolah reformasi pertama dikirim ke Menado, tepat sebelum kepergian terakhir bangsa Spanyol. Kepala sekolah lain diminta oleh Raja Pulau Tahulandang, setelah kepergian orang Makassar. Dia menolak Islam dan mengubah mesjid setempat menjadi rumah doa dan sekolah Kristen. Kasus-kasus lain, seperti Kaidipan (Dauw dan Bolaang Itam), Buol, Attingola, dan selanjutnya yang disebut Kepulauan Utara (Noordereilanden), termasuk Siau dan Sangihe, serta kerajaan-kerajaan Makassar dan Maluku, yang merupakan ladang misi penting Katolik sampai awal 1670-an, mewujudukan kekosongan politik dan agama setelah pengaruh Spanyol secara bertahap berkurang. Laporan VOC pada tahun-tahun itu memperjelas bahwa “konversi-konversi” ke Protestan di daerah-daerah ini agak pragmatis merupakan gerakan politik dari penguasa setempat/lokal (Raja-raja Taruna dan Candahar) yang mencoba melarikan diri dari pemerintahan keras Tidore atau invasi dari kerajaan-kerajaan lain. Raja Muslim Kaidipan, misalnya, terus-menerus diganggu oleh serangan dari Sangihe dan beberapa kali meminta VOC untuk menerimanya sebagai vassal, sambil menawarkan untuk menjadi Protestan sebagai konsekuensi dari politiknya. 

Tujuan VOC, mengamankan monopoli rempah-rempah, segera mencakup dominasi atas sebagian besar pesisir Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe-Talaud. Sebuah kebijakan eksplisit untuk mempertahankan Islam dan meninggalkan Katolikisme demi Protestanisme terbukti menjadi istrumen penting stabilitas politik. Beberapa kontrak dengan Raja-raja lokal Kristen semakin mengamankan monopoli rempah-rempah di wilayah yang luas. Meskipun permintaan pertama untuk pengenalan agama Kristen mengejutkan konsistori di Ternate, para pendetanya sering memulai perjalanan yang panjang dan melelahkan selama kuartal terakhir abad ke-17. Tabel 1 yang berisi data yang dikumpulkan oleh Pendeta Joannes Stampioenb selama kunjungannya pada tahun 1696, menunjukkan jumlah umat Kristiani yang luar biasa. Mengingat tingginya jumlah umat Kristiani di pulau-pulau seperti Sangihe dan Siau, jelaslah bahwa Protestanisme diuntungkan dari perjalanan misi Katolik sebelumnya. Laporan Pendeta de Leeuwc pada tahun 1684 yang dibuat selama suatu kunjungan ke Kepulauan Sangihe memberikan jumlah konversi (baik orang dewasa maupun anak-anak) sebanyak 1.400 orang. Selanjutnya, doktrin Protestan berhasil ditanamkan di tempat-tempat seperti daratan Menado dan Buol.

Setelah beberapa dekade, lebih dari 50 kepala sekolah melayani distrik Gereja Ternate. Mereka mengelola sekolah-sekolah desa dan tempat-tempat ibadah serta mencatat nama-nama calon baptis, anggota komunikan, dan anak-anak sekolah. Pada hari minggu, kepala sekolah membacakan khotbah; pada hari kerja, mereka menabuh genderang di pagi hari dan sore hari untuk mengumpulkan orang-orang untuk berdoa di gubuk-gubuk kecil. Sebagai anak-anak pemimpin lokal (orang kaya), kepala sekolah seringkali dijunjung tinggi oleh penduduk setempat, sehingga Protestanisme mudah diterima di kalangan masyarakatnya sendiri. Laporan-laporan gerejawi abad ke-18 memperjelas bahwa pertobatan orang-orang biasa hanya mengalami kemajuan yang lambat. Banyak yang tidak bisa membaca; mereka mempelajari pertanyaan dan jawaban dalam katekismus dengan hati, dengan cepat melupakannya setelah pembaptisan. Kunjungan tidak sengaja para pendeta yang bertugas di Ternate dan kehadiran para kepala sekolah tidak dapat mencegah berkembangnya bentuk sinkretisme Protestanisme.

Saat ini, Sulawesi Utara (khususnya wilayah paling utaranya, yaitu Minahasa) merupakan salah satu provinsi yang paling beragama Kristen di Indonesia Timur. Sekitar 90% dari total penduduk Minahasa beragama Protestan. Namun, ingatan kolektif hanya mengingat misionaris abad ke-19 dari N.Z.G yaitu J.F. Riedeld dan J.G. Schwarsze, yang bekerja di kota Tondano (1831-1853) dan Langowan (1832-1859) di dataran tinggi Minahasa. Mereka membaptis ribuan penduduk lokal dan meninggalkan lusinan gereja dan sekolah misi. Kegiatan dakwah yang berlangsung pada masa kekuasaan VOC sama sekali dilupakan.

 

Ambon dan Saparua sebagai Pusat Protestan :

Menurut sumber Katolik, jumlah desa Kristen di Ambon dan Lease adalah antara 22 dan 34 desa, ketika Belanda mengambil alih benteng Portugis. Ambon Portugis dengan populasi 2.500 Kristen Maluku pada tahun 1581, dan 1600 orang pada tahun 159241, adalah pusat agama Katolik yang berdekatan dengan Kepulauan Lease. Kecuali 2 desa, Kepulauan Lease adalah orang-orang Kristen. Akan tetapi, 20.000 orang Kristen Ambon sebagian besar tetap tradisional, mempraktikkan agama lama secara rahasia/sembunyi-sembunyi untuk menghindari hukuman Portugis. Untuk menjelaskan kemerosotan agama Katolik selama kuartal terakhir abad ke-16, H. Jacobs menulis : “Melihat kekuatan Portugis yang menyusut dan mereka sendiri bukan tandingan musuh, mereka merasa cenderung menjauh dari Portugal dan Gereja mereka”42.

Setelah penaklukan oleh VOC, semua kepala desa yang beragama Katolik menjadi “Protestan” dan bersumpah setia kepada Pangeran Oranye, States General, dan VOC. Beberapa tahun kemudian, desa-desa tersebut “menyerahkan” perahu dan awak kapal ke armada perang Belanda yang disebut hongi43. Para pengkhotbah Calvinis Belanda mengkritik keras tentang dibesar-besarkannya perkiraan populasi yang dilaporkan oleh para pendeta Katolik. Pendeta Sebastian Danckaerts melaporkan pada tahun 1619 bahwa dari semua orang Kristen di Pulau Ambon, hanya 1 dari 50 orang yang mengetahui nama-nama Kristen mereka44. Kekristenan di Ambon terbatas pada 13 atau 14 desa yang dimukimkan kembali di dekat benteng Ambon. Desa-desa Kristen yang diluar kendali langsung dari benteng mengikuti kebiasaan agama tradisional “secara rahasia”. “Itu bisa dibuktikan”, tulis Danckaerts, “bahwa hanya hukuman yang dapat membawa/membuat orang ke gereja dan sekolah”45. Danckaerts adalah misionaris pertama yang mengatur sistem pendidikan. Dia merekrut kepala sekolah Maluku dari pemimpin desa atau orang kaya46. Para rekrutan menerima pelatihan selama beberapa tahun di rumah para pendeta. Bekerja di gereja desa, mereka mengajarkan Katekismus Heidelberg kepada orang dewasa. Di sekolah-sekolah, mereka mengajar anak-anak menulis, membaca, dan katekismus. Pada kebaktian gereja hari minggu, mereka membacakan khotbah dan mengajar orang Kristen bagaimana menyanyikan mazmur dan berdoa. 

Selama paruh pertama abad ke-17, perang sering terjadi47 dan persyaratan keanggotaan Calvinis yang membatasi memperlambat kemajuan Kekristenan Protestan. Pada tahun 1638, Pendeta Daniel van Sonneveltf  melaporkan bahwa Gereja Protestan di kota Ambon hanya memiliki 31 orang Belanda dan 24 orang Ambon anggota komunikan, penurunan yang signifikan dibandingkan dengan Katolik Ambon 2 generasi sebelumnya. Jumlah sekolah hanya 18 buah. Sulit untuk menerapkan tata cara pernikahan Kristen di desa-desa terluar “ karena seperti semua penduduk pribumi mereka [orang-orang Kristen Maluku] secara alami cenderung hidup dalam dosa”48. Setelah “pasifikasi” wilayah Ambon pada tahun 1656, konversi Protestan meningkat karena pendidikan yang lebih baik di sekolah dan pelajaran katekismus, pengenalan bahasa melayu standar sebagai bahasa pengantar, dan terjemahan bertahap buku-buku Alkitab dan beberapa teks devosi dalam bahasa melayu. Selain itu, tempat tinggal permanen para pendeta Reformasi di kota Ambon dan pulau Saparua menjamin seringnya kunjungan ke gereja dan sekolah. Pembaptisan, katekismus, dan pernikahan semua meningkat. Perlahan-lahan,desa demi desa mendapat giliran merayakan Perjamuan Kudus49 selama kunjungan pendeta50. Pada akhir abad, pulau-pulau itu dengan pendeta tetap memiliki jumlah yang tinggi.  

 

Misinisasi Seram

Pada tahun 1656, wilayah pesisir Seram Tengah dan Barat, yang secara tradisional merupakan wilayah “kekuasaan” Ternate, masih diabaikan oleh Gereja Ambon. Upaya awal yang dilakukan oleh misionaris terkenal, Justus Heurniusg, telah berhenti pada tahun 1638, terutama karena pemberontakan dan perang yang terus-menerus51. Hanya Orang Kaya Kaibobu, yang membenci penguasa Ternate, yang sering meminta seorang kepala sekolah Protestan Ambon dan pengkhotbah awam. Meskipun diprotes oleh pemimpin distrik (Kimalaha) asal Ternate, Pendeta Brundth  dikirim ke Kaibobo pada tahun 1645, bersama dengan 2 kepala sekolah Ambon. Tetua desa menyatakan “bahwa mereka terlalu tua untuk belajar, dan oleh karena itu lebih memilih tetap menjadi kaum pagan/kafir”, tetapi mereka mengizinkan 12 anak laki-laki mereka untuk memulai pendidikan Kristen52. Kaibobo, desa terdekat Balisa, dan beberapa desa di teluk Elpaputih (Amahai, Makariki, dan Souhuku) sama-sama memiliki sentimen anti-Islam (anti Ternate dan anti Hitu)53


Posisi kuat VOC setelah berakhirnya Perang Ambon jilid VI (1657-1661) membuat Kristenisasi mungkin memasuki Seram Selatan. Di Seram Barat Daya, terputusnya ikatan tradisional antara Muslim Hitu dan Semenanjung Hoamoal mencegah penyebaran Islam. Pengaruh tradisional Hitu di pulau-pulau di sebelah barat Semenanjung Hoamoal (Manipa, Kelang,dan Boano) secara substansial berkurang. Beberapa Orang Kaya, seperti orang kaya yang berpengaruh dari Manipa, Encik Bintangi, memeluk agama Kristen di tahun 1668. Dokter bedah, dan kemudian pendeta, Zacharias Caheingj, dikirim ke Manipa untuk mengkatekisasi orang-orang yang baru dikonversi54. Bagian-bagian dari Kelang dan Boano juga dikonversi55. VOC melarang sebanyak mungkin guru-guru Muslim dari pulau-pulau ini dan memisahkan kaum Kristen dari kaum Muslim untuk menghindari konflik56. Imam Boano, [yang bernama] Senang, dipanggil ke Ambon pada tahun yang sama dan dituduh melakukan perpindahan agama [penduduk lain] secara ilegal ke agama Islam. Dia dibebaskan tanpa hukuman, tetapi VOC tidak mengizinkan Islamisasi di wilayahnya57.

Dengan semakin terpisahnya natara komunitas Muslim, Kristen, dan tradisional, dan pengaruh politik VOC yang lebih kuat, lebih banyak tempat di pesisir barat dan tengah Seram berangsur-angsur dikonversi. Orang kaya, yang secara resmi tunduk pada kekuasaan Ternate, mengajukan permintaan kepala sekolah Calvinis Ambon. Kekuatan agama desa tradisional, bagaimanapun, menyebarkan konversi ini dari waktu ke waktu : Piru dan Taununu pada tahun 1672, Sepa pada tahun 1674, dan Kamarian pada tahun 167658.

Kristenisasi di Seram Selatan berjalan lambat. Sepanjang abad ke-19, misionaris Belanda yang bermarkas di Elpaputih dan Kamarian melaporkan perburuan kepala/pemotongan kepala/pengayauan dan agama tradisional di Seram Barat yang disebut Patan59. Banyak dari wilayah pinggiran Ambon hanya secara nominal dikonversi menjadi Kristen, tetapi terputus sama sekali dari proses Islamisasi lebih lanjut. Ini melindungi agama tradisional desa, terfokus pada “adat istiadat”, ritual pemujaan leluhur.

 

Misinisasi wilayah pinggiran Banda

Setelah pemilihan konsistori di Banda-Neira pada bulan Maret 1622, tiga atau empat pendeta VOC memfokuskan upaya mereka pada pendirian masyarakat kolonial berdasarkan moral Calvinis. Disiplin gereja, bantuan kepada orang miskin, tata cara pernikahan, sekolah, dan pelajaran katekismus adalah perhatian uatama para pendeta Calvinis60. Menjelang akhir abad ke-17, komunitas Kristen di Kepulauan Banda (Neira, Lontor, Ai, Run, dan Rosengain) mencapai 1.500 – 2.000 orang. 8 kepala sekolah memberikan pendidikan dasar Kristen di sekolah-sekolah desa, sementara 2 atau 3 pendeta yang ditempatkan secara permanen (2 di Neira, 1 di Ai) mengurus tugas-tugas rutin pastoral. Selama paruh pertama abad ke-17, aktivitas misi di wilayah pinggiran Banda tidak diprioritaskan, dan hanya atas permintaan Gubernur.

Menariknya, sejak tahun 1628 sekelompok Orang kaya dari Kei dan Aru yang merasa terancam oleh tetangga mereka dan orang-orang Makassar meminta bantuan VOC61. Beberapa dari Orang kaya  ini dibaptis di Banda pada tahun 1635, dan 2 ekspedisi pengintaian VOC dikirim pada tahun 1635 dan 1646 untuk menjalin kontak perdagangan lebih lanjut. Seorang misionaris yang dikirim ke Aru pada tahun 1656 merupakan tipikal upaya awal misionaris Belanda. Misionaris Gabriel Nackenk dipanggil kembali ke Banda untuk berdagang budak dan mutiara. Selama dekade-dekade awal monopoli pala ini, VOC kekurangan intensif untuk melakukan ekspansi secara sistematis ke wilayah kepulauan tenggara dan barat daya.

Faktor-faktor ini memotivasi pemerintah Banda untuk memulai kegiatan misi di Aru dan pulau-pulau lain setelah tahun 1669. Pertama, VOC mengkhawatirkan penyebaran Islam lebih lanjut di Aru. Ketika sepucuk surat dari Ambon melaporkan bahwa beberapa Orang kaya dari Ujir (Aru) telah meminta guru agama Islam dari Hitu, Gubernur Banda segera mengirimkan misionaris yang lain. “Bagian Muhamad yang berbahaya”, menurutnya, “mengancam untuk membuat pengikutnya menjadi musuh bangsa kita62”. 

Kedua, menstabilkan kawasan menguntungan perdagangan dengan Banda. VOC ingin menghentikan kekerasan antar desa dan pertengkaran antar faksi untuk menjamin aliran produk laut dan budak dari wilayah pinggiran yang tidak terputus. Misionaris baru, Jacob Nieukerk, dikirim ke Wokam pada tahun 1670 dan secara eksplisit diperintahkan untuk menyelesaikan perselisihan di Aru. Dia segera menemukan bahwa kekuasaan VOC diinginkan oleh sejumlah kepala desa, yang memiliki motif sendiri untuk aliansi politik dan agama dengan VOC. Desa-desa yang meminta kepala sekolah (Wokam, Wongambel, Ujir, 4 di Maekor, dan 5 di Wamar) sering berperang satu dengan yang lain dan dengan desa-desa di bagian timur Aru (Kobroor). Faksi-faksi kuno Maluku, yaitu Uli Lima dan Uli Siwa63 juga ditemukan di Aru barat dan menyebabkan permusuhan permanen antara desa “Siwa” yaitu Wokam dan Ujir dengan desa-desa “Lima” yaitu Wamer dan Maekor. Nieukerk mencoba membujuk orang kaya dari desa-desa di barat Aru untuk bergabung dengan “Oele Compagnie” (Uli Kompeni)64. Dan memang, VOC mencegah atau menengahi banyak pertengkaran faksi, penyerbuan budak ke desa-desa, dan aksi balas dendam di sisi barat kepulauan itu. Belanda memilih untuk mengabaikan sisi timur, yang merupakan daerah ideal untuk penyerbuan budak yang menguntungkan.

Ketiga, VOC ingin menghentikan campur tangan orang Makassar, Portugis, Inggris, dan Prancis. Orang Makassar tidak hanya datang untuk berdagang, mereka mencob untuk mendirikan pemukiman permanen, khususnya di Maluku Barat Daya (Maluku Tenggara Jauh). Portugis dengan bantuan desa-desa sekutu dari Timor dan beberapa pulau tetangga, sesekali menjarah pulau Kisar dan Wetar. Beberapa orang kaya berpengaruh, seperti Pekar dari Kisar, yang datang ke Banda untuk meminta bantuan, yang dalam kasusnya [disebut] “dengan berlinang air mata”65. Pemimpin-pemin desa dari Maluku Barat Daya yang memutuskan untuk bersekutu dengan kompeni diberi oleh Belanda “bendera pangeran” yang ditempatkan di atas kaki batu di atas bukit desa. Batu dan bendera ini dapat dilihat dari jarak jauh oleh semua kapal asing dan biasanya terdapat tulisan : “desa ini adalah pengikut setia kompeni”. Kelompok Orang kaya juga menerima salinan kontrak VOC tertulis dan “Deklarasi Keberatan” untuk diberikan kepada kapal-kapal Inggris atau Perancis yang berkunjung. Kontrak tersebut mengharuskan “pedagang asing” harus dihindari, orang Makassar diserang dan dibunuh, dan semua pohon pala ditebang, sebagai ganti upaya perlindungan dari VOC66.

VOC memiliki alasan untuk takut terhadap saingan Eropa mereka. Inggris dan Prancis juga membuat aliansi dengan Orang kaya di pulau-pulau tempat mereka berharap mendapatkan pala (Damar, Nila). Selama Perang Inggris-Belanda, VOC segera membentengi kubu-kubu pertahanannya. Ketika desas-desus menyebar pada tahun 1672 bahwa Prancis telah merebut pulau Ai di Banda, VOC segera menerbitkan pamflet untuk memberi tahu Orang kaya yang loyal tentang “kebenaran sesungguhnya” dari Perang Eropa. Semua ini mendorong VOC dengan panik untuk membuat kontrak sebanyak mungkin dengan Orang kaya.

Belanda juga menengahi – dan terkadang mengeksploitasi – perselisihan antar faksi di antara Orang kaya di Maluku Barat Daya. Laporan tahunan dari Gubernur VOC Banda ke kantor pusat di Batavia memuat banyak informasi tentang upaya ini. Salah satu contoh, dari Leti, menggambarkan bagaimana para petinggi VOC berusaha mendamaikan wilayah tersebut. Pada tahun 1691, Orang kaya Tuterakawera dari desa Batumiau berseteru dengan Orang kaya dari 3 desa tetangga yang telah menyerang beberapa warganya67. Biasanya perselisihan diselesaikan dengan membayar ganti rugi berupa biaya ternak atau berupa emas, tetapi penduduk desa Batumiau tidak puas dengan piring emas (mas piring atau mas bulan68) yang ditawarkan oleh musuhnya. Tuturakawera menerima bantuan dari kelompok Orang kaya di pulau terdekat Moa, dan mengumpulkan 500 orang di luar kampung musuhnya itu untuk memaksakan pembayaran piring emas yang lebih sesuai. Para sersan VOC yang ditempatkan di Leti dan Moa, yang juga diduga terlibat dalam konflik, dipaksa untuk membawa Orang kaya yang berseteru itu ke hadapan badan pengadilan atau Raad van Justitie di Banda. Tidaklah mengejutkan, Tuturakawera dan musuhnya semuanya meminta untuk memeluk agama Protestan. Gubernur VOC Banda memutuskan untuk mengirim Thomas Fransz, ke Leti, seorang misionaris Ambon pertama yang bekerja di pulau itu69.

Kelompok Orang kaya Maluku Barat Daya biasanya mengirim putra-putra mereka ke Banda untuk belajar katekismus dan pembaptisan. Seperti yang telah kita catat, pola pendidikan anak-anak kaum elit di pusat-pusat keagamaan asing yang terkenal ini membantu penyebaran agama Kristen dan Islam di seluruh wilayah Maluku70. Itu adalah bentuk tribut dan tindakan penyerahan dan kesetiaan kepada Tuan yang baru (VOC). 

Pendeta W. Luijke

Karena pendeta-pendeta konsistori Banda tidak ditempatkan secara tetap di Maluku Barat Daya, kepala sekolah dan katekis Ambon dikirim untuk menggantikan mereka. Informasi tentang kemajuan pendidikan Kristen di sejumlah komunitas pulau baru sampai di Banda ketika sebuah kapal perbekalan kembali dari pelayaran tahunannya. Kapal-kapal ini meninggalkan Banda dengan muatan seperti kain, arak, daging babi, beras, amunisi, dan katekismus untuk garnisun kecil VOC di pulau-pulau tersebut. Selama pelayaran ini, sejumlah anak-anak dan orang dewasa yang siap untuk pembaptisan didaftarkan dan dilaporkan ke konsistori sebelum kembali. Setelah mencapai kuota tertentu, seorang pendeta dari Banda mengunjungi gereja dan sekolah. Tabel 3 memberikan angka yang dicatat dalam laporan tahun 1692 oleh Pendeta Jan de Graafl.  

Laporan pendeta berisi keluhan biasa tentang penyembahan kayu berhala. Banyak penduduk pulau percaya bahwa “citra” orang yang meninggal, hidup sementara di dalam berhala. Gambar keramat leluhur perempuan (luli) di Leti dan Lakor berada di kuil-kuil di tengah desa71. Ketika pendeta pertama, Pendeta Jan de Graaf, tiba di Leti pada 10 Mei 1692, dia menemukan bahwa Thomas Fransz tidak membuat kemajuan di desa Batumiau. Kuil yang berisi luli ini masih berada di tengah desa dan dirawat oleh 2 orang pendeta. Tuterakawera, pemimpin desa, menolak untuk menghancurkan “tahta setan” ini, tetapi menawarkan dirinya dan kedua istrinya untuk dibaptis. Hal yang terakhir (memiliki 2 istri) yang bermaksud baik ini, melanggar moral/aturan monogami Calvinis. Ketika pendeta de Graaf bertanya kepadanya, mengapa dia ingin menjadi Kristen, Tuterakawera menjawab :

”untuk mendapatkan perlakuan baik di Banda dan berpakaian seperti orang Belanda; menyandang nama Kristen untuk memperoleh lebih banyak otoritas atas penduduknya; dan untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan dari kompeni. Pendeta de Graaf memutuskan untuk menunda pembaptisan Tuterakawera, juga musuhnya, Orang kaya bernama Pera, dengan demikian menghindari kecemburuan”72

Terlepas dari kekuatan agama dan ritual tradisional, Kekristenan cukup menarik Orang kaya untuk mempertahankan komunitas kecil selama abad ke-18. Misionaris pada awal abad ke-19, J.J. Barm, menemukan 1.600 orang Kristen di Kisar dalam tahun 1825 dari total populasi sebanyak 6.000 orang. Misionaris W.Luijken, yang ditempatkan di Leti, desa Serai, yang memiliki gereja batu yang berasal dari tahun 1717, merayakan Perjamuan Kudus pertama dengan 15 orang pada tahun 1834.

Fase kedua dari misi Protestan telah dimulai dengan ini dan misionaris lainnya dari Masyarakat Misionaris Belanda (N.Z.G). Misi NZG, bagaimanapun, ditinggalkan setelah 12 tahun karena pulau-pulau itu sangat tidak sehat bagi orang Eropa. Setelah ½ abad diabaikan, misi ini dibangkitkan lagi pada tahun 1878 oleh misionaris N. Rinnooyo, yang mempelajari bahasa yang disebut budaya Luang. Rinnooy dan rekan-rekannya memulai fase Kristenisasi paling intensif hingga saat ini73.

 

Kesimpulan:

Islam di Maluku menyebar melalui 2 cara : melalui relasi pusat-pinggiran dari pusat-pusat kekuatan Islam awal yaitu Ternate, Tidore, Makian dan Bacan, dan melalui ulama dan aktivis Islam, serta pedagang dari Jawa dan dunia Melayu-Makassar.Proses Islamisasi diperdalam melalui upaya dari Kasisi74 dalam mendidik elit desa setempat tentang dasar-dasar Islam. Di pelabuhan-pelabuhan dan pemerintahan-pemerintahan yang baru dikonversi, Islam menjadi alat persekutuan yang penting selama abad ke-16. Pada saat yang bersamaan, Islam berfungsi sebagai kekuatan perlawanan terhadap Portugis dan misi Katolik Roma.

Dalam sejarah awal, dalam mengejar monopoli rempah-rempah, Belanda mengikuti kebijakan non-interferensi agama terhadap Kesultanan-kesultanan Maluku dan wilayah Muslim lainnya (Hitu). Namun kebijakan ini berubah menjadi kebijakan penahanan ketika VOC berangsur-angsur semakin kuat. Daerah-daerah Islam tetap bebas untuk berkampanye tetapi diizinkan untuk berdakwah di luar wilayah mereka sendiri. Di wilayah pinggiran kekuasaan Ternate (Sulawesi Utara, Sangihe-Talaud), Ambon (Seram Barat, Buru, Manipa, Boano, Kelang) dan Banda (Kei, Aru, Kisar, Babar, Nila, dan lain-lain), penegakan kekuasaan VOC secara bertahap mengandung atau mencegah pengenalan terhadap Islam, sambil memprluas Kekristenan sedapat mungkin. Kebijakan penaklukan atau kontrak-kontrak tidak harus berarti konversi ke Protestanisme. Sering kali Kepala sekolah Protestan, terutama orang Ambon, dikirim atas permintaan kaum elit desa. Gereja itu sendiri jarang mengambil langkah pertama untuk misionaris. Kerangka kerja aliansi politik dan kontrak-kontrak perlahan mempromosikan kepercayaan dan praktik Protestan di antara faksi-faksi selompok pribumi, sambil memperkuat prestise dan otoritas lokal. Proteksi dan mediasi VOC sangat efektif dalam mengamankan Maluku Tenggara dan Barat Daya.

VOC memfasilitasi perubahan politik dan agama di Maluku, tetapi selalu dengan tujuan untuk memuaskan tuntutan lokal dan regional yang kuat dan bersaing. Agama-agama tradisional yang mengakar kuat membuat pertobatan/konversi sejati dipertanyakan dan dibatasi. Hanya pulau-pulau yang dekat dengan pusat-pusat kolonial (seperti Kepulauan Lease) yang secara teratur dapat menerima para pendeta Belanda dan mencapai keberhasilan dalam pendidikan Kristen. Terlepas dari catatan buruk “konversi hati”, kebijakan agama VOC memaksa bahkan bagi komunitas-komunitas yang paling terpencil sekalipun membuat pilihan pertama antara Iman Islam atau Iman Kristen. Keputusan ini menandai awal dari perubahan agama terus menerus di dalam masyarakat Maluku sepanjang abad ke-19.

 

===== selesai ====

 

Catatan Kaki

40.       Talens, J., “Tussen macht and onmacht. Veranderende opvattingen in de geschiedschrijving over pre-moderne staten in de Indonesische archipel”. Theoretisch Geschiedenis, XXVI, 1 (1999) hal 42-65

41.         Jacobs, S.J, H., Documenta Malucensia, Monumenta Historica Societatis  Iesu, 119 (Rome: Jesuit Historical Institute, 1980), hal 21

42.        Jacobs, S.J, H., “Ambon as Portuguese and Catholic Town, 1570-1605”, Neue Zeithschrift fur Missionswissenschaft, 41 (1985), hal 14

43.        Hongi adalah armada besar perahu perang Maluku, paling banyak bertipe kora-kora, bersenjata meriam kecil; lihat Knaap, G.J., “Crisis and Failure : War and Revolt in the Ambonese Island 1636-1637”, Cakalele, Maluku Research Journal, III (1992), hal 6

44.       ARA, VOC, 1070, tol. 517r-518r: Letter from Reverènd  Danckaërts to Gentleman XVII, 4 April 1619. Hampir semua orang di pulau Bacan yang telah dikonversi ke Katolik oleh Portugis, sulit menerima Protestan

45.        Danckaerts, S., Historisch ende Grondigh Verhael van den Standt des Christendoms int quartier van Amboina, (s’Gravenhage, 1621), 22; edisi terbaru di dalam BKI, volume VI (1859), hal 105-136

46.       Dalam hal ini Danckaerts sebenarnya mengikuti saran dari Gubernur VOC Ambon, Artus Gijsels (1631-1634), yang mengamati dengan baik bagaimana para guru Muslim (Kasisi) memperluas pengetahuan mereka dengan mengajar putra-putra dari Orang kaya

47.        Knaap, “Crisis and Failure”, op.cit

48.       ARA, VOC, 1143, fol. 312.

49.         Juga dikenal sebagai Perjamuan Terakhir ketika Yesus makan Paskah terakhirnya dengan 12 muridnya dan menyatakan bahwa salah satu dari mereka yang mencelupkan rotinya ke dalam mangkuk bersamanya akan mengkhianatinya, seperti yang dilakukan Yudas Iskariot. Gereja Reformasi Belanda merayakan Perjamuan Kudus empat kali setahun. Selama upacara, setiap orang Kristen mengambil sepotong roti dan seteguk anggur, simbol tubuh dan darah Kristus yang dikorbankan, penerimaan yang diyakini cukup untuk menjadi murni di mata Tuhan. Semua anggota komunikan (mereka yang lulus ujian dalam Katekismus Heidelberg di mana doktrin utama Calvinisme diberikan) berpartisipasi, tetapi hanya setelah ditanya oleh pendeta yang berkunjung apakah ada anggota yang telah melakukan dosa dalam komunitas murni orang percaya. Jika demikian, seorang anggota dapat dikecualikan untuk sementara dari perayaan tersebut. Disiplin Gereja adalah salah satu ciri utama doktrin Calvinis.

50.        Knaap, Kruidnagelen........, op.cit, hal 69-98. Beberapa laporan kunjungan sekolah dan gereja yang dibuat setelah tahun 1668 telah tersimpan

51.          Tentang ditemukannya korespondensi Heurnius, lihat Niemeijer, Hendrik.E., “De Correspondentie van Justus Heurnius als zendeling in de Molukken 1633-1638, DZOK, VI, 1 (1999), hal 20-46

52.         Valentijn, Francois., Oud and Nieuw Oost-Indien............, (Dordrecht: Joannes van Bram/Amsterdam: Onder de Linden, 1724), III, 1ft pt. Hal 52

53.         Laporan Gubernur VOC Amboina, Gerard Demmer, 3 September 1647, di muat dalam Knaap, G.J., Memories van Overgave van Gouverneurs van Ambon in de Zeventiende en Achttiende Century, s’Gravenhage, 1987, hal 186-188

54.        ARA, VOC, 1271, fol. 107. Governor Jacob Cops (1669—72) to G.E. Rumphius in Hitu, 29 July 1669,

55.         ARA, VOC,  1221, fo1.  172r-175v. Governor Jacöb Hustaert (1656-1662) to Batavia, 1 May 1657.

56.         ARA, VOC, 1271 fol. 82—3. Governor Anthonio Hurdt to Adriaan van den Pavort on Manipa, 6 February 1669.

57.         ARA, VOC, 1271, fol. 258v. Resolutions ot the Political Council of Amboina, 18 January 1669.

58.        Rumphius, G.E., Ambonsche Landbeschryving, ed. Manusama, Z.J., (Jakarta : ANRI, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No 15, 1983), hal 162; ARA, VOC, 1286, fol. 205v. Dagh Register, Amboina, 29 Juli 1672.

59.        Coolsma, Sierk., De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie, Utrecht : Breijer, 1901, hal 692-696

60.       Niemeijer, Hendrik, E., Als een Lelye onder de Doorne. Kerk, kolonisatie en christianasering op de Banda eilanden 1615-1635, DZOK I, 1 (1994), hal 1-24

61.         Grothe, J.A., Archief voor de Ceschiedenis der Oude Hollandsthe Zending, Utrecht : C. van Bentum, 1884-1891, VI, hal 77; Pendeta J.Heurnius kepada Tuan 17 di Amsterdam, 2 November 1628

62.        ARA, VOC, 1271, fol. 448r. Letter from the Political  Council  of Banda to Batavia, 18 September 1669.

63.        Uli Lima dan Uli Siwa adalah entitas sosial politik di Ambon, Banda, dan beberapa pulau di wilayah pinggiran seperti Aru. Menjelang abad ke-16, beberapa negeri Maluku (komunitas desa, yang terbagi menjadi beberapa soa, lingkungan atau dusun) telah bersatu dalam 'persaudaraan' atau konfederasi desa melawan tetangga yang tidak bersahabat. Semula, Uli ini terdiri dari tiga sampai delapan desa. Beberapa uIi yang lebih besar (Hitu dan Luhu) bahkan dapat dianggap sebagai inti dari 'negara'. Uli Lima,  atau “persatuan lima', dan Uli Siwa, atau "persatuan sembilan" — setiap bilangan membentuk tatanan kosmis dan antagonis terhadap lainnya — menjadi yang paling penting. Konfederasi adalah musuh bebuyutan. Pulau Ambon terbagi menjadi faksi-faksi ini : Hitu adalah konfederasi Lima, dan sebagian besar negeri di Leitimor adalah konfederasi Siwa. Akhirnya, kelompok Lima dikonversi ke Islam, sedangkan negeri-negeri Uli Siwa bekerjasama dengan Portugis, dan karena Katolik dan akhirnya kemudian Protestan. Lihat Knaap, G.J., Tjengkeh, Kompeni, Agama. Hoofdlijnen uit de Geschiedenis van de Ambonse eilanden 1500-1800, dimuat dalam Sedjarah Maluku. Molukse geschiedenis in Nederlandse bronnen, eds. Knaap, G.J., Manuhutu, W., dan Smeets,H., Amsterdam : van Soeren & Co, 1992, hal 21

64.       ARA, VOC, 1275; tol. 373v-377r. Orders concerning the spread of the Gospel on Arufor Daniël Nieukerk, Banda, 20 Maret 1670

65.        Pekar dalam sumber Belanda disebut Backer (Baker). Setelah baptisannya, ia bernama Frederik Backer/Baker. Pada tahun 1668, benteng VOC yaitu Delfshaven dibangun di Kisar. Relasi silang para tentara/serdadu Eropa menciptakan populasi mestizo di pulau itu, yang “ditemukan” oleh ahli etnografi pada abad ke-19. ARA, VOC, 1267, fol 37r-40r. Laporan dari Sersam Jan Blinne tentang pelayaran ke Damar, Kisar, dan lain-lain, 23 April 1668

66.       See for some contracts Heeres and Stapel, Corpus Diplomaticum, op. cit., II, '272-275; 321, 325., 33i—2, 391-2, 431.

67.        Berdasarkan kontrak tertanggal 5 Agustus 1674, 5 negeri/desa di Leti menerima kekuasaan VOC, termasuk negeri Batumiau dan pemimpin desanya yaitu “Toetiequeer”, mungkin ini sama orangnya dengan Tuterakawera.

68.       Kisar-Damar adalah wilayah yang terkenal akan artefak-artefak emas yang indah. Jonge, de, N., dan Dijk, van, T., De Vergeten Eilanden. Kunst en Cultuur van de Zuidoost-Molukken, Amsterdam:Periplus, 1995, hal 111, menyajikan ilustrasi mas piring dan mas bulan yang digunakan dalam perayaan keagamaan

69.       ARA, VOC, 1497, fol. 111v-138r. Letter of the Political Council of Banda to Batavia, 15 May 1691.

70.        Putra-putra Orang kaya Muslim Maluku seringkali dikirim ke Gresik di Jawa untuk bersekolah. Sepanjang paruh kedua abad ke-17, kelompok Muslim Melayu di Batavia memainkan peran penting dalam pendidikan kaum muda Islam, termasuk orang Maluku. Lihat Knaap, Kruidnagelen...............op.cit, hal 81

71.          Jonge, de, N., dan Dijk, van, T.,.....................op.cit, hal 53-57

72.         ARA, VOC, 1616, fol. 182v-188r. Laporan Gereja dari Pendeta Jan de Graaf, 6 June 1692.

73.         Coolsma,......... op. cit., hal 710-721

74.        Kasisi: kata yang sering digunakan dalam sumber-sumber abad ke-16 dan ke-17 untuk guru Islam yang berpindah dari 1 desa ke desa lain.

 

Catatan Tambahan

  1. Pendeta Petrus Scotus atau Petrus Schotte van Vlisingen bertugas di Ternate sejak 25 Desember 1627 – pertengan tahun 1633. Ia kemudian dimutasi ke Batavia. Meninggal pada tahun 1636.
  2. Pendeta Joannes Stampioen van Rotterdam, lahir sekitar 1663/1664, tiba di Batavia pada 23 Desember 1691, bertugas di Ambon pada Maret/April 1692 – 23 Mei 1693, kemudian ditugaskan ke Ternate dan bertugas pada Juni 1693 hingga 10 Juni 1699, kemudian dipindahkan ke Banda dan bertugas mulai Juni 1699 – Juni 1703, dipindahkan lagi ke Malaka dan bertugas sejak 1704 – 1709. Kembali ke Belanda pada Januari 1710
  3. Pendeta de Leeuw bernama lengkap Cornelius de Leeuw van Utrecht, tiba di Batavia pada 25 September 1676, bertugas di Ambon pada 12 Feb 1677 – September 1679, dipindahkan ke Ternate dan bertugas mulai Feb 1680 – Juli 1689. Ia meninggal pada Maret 1693.
  4. J.F. Riedel bernama lengkap Johann Friedrich Riedel, lahir sekitar tahun 1798, tiba di Ambon pada November 1830, menikah di Ambon pada 13 Mei 1831 dengan Maria Williams (putri dari Richard Williams Resident van Haruku). Ia bertugas di wilayah Menado sejak tahun 1831 hingga meninggal di Tondano pada 12 Okt 1860. Putranya yang bernama Johann Gerhard Friedrich Riedel, menjadi Resident van Ambon pada 25 April 1880 - 1883
  5. J.G. Schwarsz bernama lengkap Johann Gottlieb Schwarsz, lahir pada 21 April 1800, tiba di Ambon pada November 1830. Meninggal di Langowan pada 1 Feb 1859
  6. Pendeta Daniel van Sonnevelt atau Daniel Sonneveldius van Middelburg, lahir pada 1610 dan meninggal pada 1676.  Tiba di Batavia pada 20 Juli 1635, bertugas di Ambon sebelum 12 Juli 1636 hingga Mei 1642.
  7. Justus Heurnius lahir pada tahun 1587 dan meninggal antara tahun 1651/1652. Tiba di Batavia pada pertengahan tahun 1624 dan bertugas di Batavia hingga tahun 1632. Bertugas di Ambon pada April 1633 hingga April 1638
  8. Pendeta Brundt bernama lengkap Jan Janszoon Brundt van Middelburg, tiba di Batavia pada 20 September 1634, bertugas di Ambon sebagai pendeta sejak April 1641 hingga sebelum 21 April 1650.
  9. [mungkin] Encik Bintang ini yang dibaptis pada tahun 1671 dan menggunakan nama David Bintang. Ia disebut sebagai putra dari Sengadji Kowasa dan saudara laki-laki dari Kapitein Jonker van Manipa.
  10. Zacharias Caheing dalam tahun 1669 menjadi schoolmeester atau guru di Manipa, tiba di Batavia pada 23 Juni 1672. Bertugas di Ambon pada 12 Feb 1675 hingga 15 Maret 1677, bertugas di Ternate mulai Mei 1677 hingga 1680, balik lagi ke Ambon dan bertugas pada 16 Juni 1680 hingga meninggal pada 4 Desember 1680.
  11. Gabriel Nacken bertugas di Dammer (Dammar) sebelum September 1654.
  12. Pendeta Jan de Graaf  tiba di Batavia pada Oktober 1681, bertugas di Banda pada Maret 1691 hingga Maret 1698.
  13. J.J. Bar  (senior) bernama lengkap Johann Jacob Bar lahir pada 8 September 1786, tiba di Batavia pada 29 April 1823, dan tiba di Ambon pada 7 Maret 1824. Menikah dengan Sara Margaretha Wonderling, bertugas di Kisar pada 1825-1841 dan di Waai pada 1841-1846. Ia meninggal di Ambon pada 10 Februari 1851
  14. W.Luijke  bernama lengkap Willem Luijke, lahir pada 7 September 1798, tiba di Ambon pada April 1827, bertugas di Ambon (1827-1828), di Moa (1828-1829), di Leti (1829-1841), di Ambon (1841-1842), di Haruku (1842-1849), di Ambon (1849-1854), di Hutumuri (1854-1855) dan di Rumahtiga (1855-1883). Ia menikah dengan Anna Carolina Petronela Harrarr di Ambon pada 11 Agustus 1843. Luijke meninggal di Ambon pada 21 Mei 1886.
  15. N. Rinnooy bernama lengkap Nicolaas Rinnooy, lahir pada 11 Agustus 1841, bertugas di Amahai (1877-1878), di Leti (1878-1880), di Roma dan Kisar (1881-1884), di Ameth (1884-1885), di Ratahan/Manado (1886-1894), di Haruku (1895-1896). Ia menikah dengan Gepke de Vries di s’Gravenhage pada 12 Januari 1876, dan meninggal pada 29 Oktober 1913.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar