Selasa, 26 Maret 2024

Pusat-pusat yang berkelimpahan : Ternate dan Perebutan Utara Sulawesi


[DAVID HENLEY]

 

  1. Pengantar

Kesultanan Ternate pada masa lalu, misalnya pada abad ke-16 memiliki kekuasaan politik yang penting di timur Indonesia. Wilayah-wilayah yang mengakui dan “tunduk” pada kekuasaannya juga cukup luas, misalnya di wilayah bagian barat kesultanan Ternate itu, yaitu sisi utara kepulauan Sulawesi. Menado, Minahasa, hingga kepulauan Sangir-Talaud di periode itu mengakui kekuasaan Ternate dan menjalin hubungan “Tuan-bawahan”. Meski begitu, relasi sosial-politik itu penuh dengan dinamika, tambal sulam dan terputus-putus.

Peta Maluku & Utara Sulawesi, ca. 1606

Hal ini tergambar melalui kajian David Henley dalam artikelnya A Superabundance of centers: Ternate and the Contest for north Sulawesi. Artikel ini dimuat dalam Jurnal Cakalele, volume 4, tahun 1993, halaman 39-60. Seperti disebutkan sebelumnya, tulisan sepanjang 22 halaman ini mengkaji tentang hubungan sosial-politik Ternate dengan wilayah-wilayah vasalnya di Sulawesi bagian utara. Kerajaan-kerajaan kecil di masa itu, seperti Manado, Tagulandang, Tabukan, Manganitu,  dan sebagainya, berelasi dengan kerajaan Ternate, dan seringkali memiliki dinamika dalam relasi itu. Terkadang, mereka berlindung pada Ternate, di lain waktu mereka “bermusuhan” dengan Ternate dan bergantung serta berlindung pada kekuatan Eropa. Kajian David Henley ini bermanfaat bagi kita untuk mengetahui dan memahami relasi sosial politik yang berusia tua antara kerajaan-kerajaan Maluku pada satu sisi, dan wilayah-wilayah vasal mereka di sisi utara Sulawesi.

Kami menerjemahkan artikel ini, menambahkan sedikit catatan tambahan, beberapa gambar/lukisan untuk “melengkapi” 97 buah catatan kaki di dalam artikel aslinya. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita.

 

  1. Terjemahan

Ketika Sultan Ternate yang baru dilantik, Kaicili Siboria, melakukan kunjungan “kenegaraan” ke utara Sulawesi pada musim kemarau tahun 1675, ia diterima dengan upacara megah oleh vasal-vasal lokalnya. Di Manado, utusan-utusan dari desa-desa pegunungan, yang sekarang dikenal sebagai Minahasa, datang membawa upeti berupa beras dan daging untuk Sultan, dan bertanya apakah ia memiliki instruksi untuk mereka. Di pulau Tagulandang di dekatnya, dimana para pemimpin daerah menyambutnya dengan sembah dan mencium kakinya, Sibori diberitahu bahwa ekspedisi pengayauan telah dilakukan untuk “membalas” kematian ayah dan pendahulunyab. Di Tabukan di Sangir Besar, dimana ia akan menikahi seorang putri setempat, Sultan diberi sambutan yang spektakuler oleh “sejumlah besar laki-laki dan perempuan, drum dan nyanyian untuk melihat tuan mereka secara pribadi”. Ketika dia meminta dari masing-masing Raja Sangir 100 orang untuk membawa mereka kembali ke Ternate “untuk memperbesar dan menambah rakyat kerajaannya”, mereka sepakat tanpa membantah1.

Namun pada akhir tahun 1677c, lebih sedikit dari 2 tahun setelah kunjungan ini, penguasa Tagulandang dan Sangird telah menandatangani perjanjiane yang menolak kekuasaan Ternate dan menyatakan diri mereka sebagai bawahan VOC2. Dalam teks kontrak khususnya dengan VOC, Raja Tabukan menyatakan bahwa ia “ia hanya bersahabat dengan Raja-raja Ternate”, bahkan kadang-kadang “membuat kesepakatan karena kebutuhan” dimana dia telah dipaksa untuk berlaku seolah-olah dia adalah bawahan setia mereka3. Pada tahun 1679, orang Minahasa yang menghormati Sibori di Menado pada tahun 1675 itu, juga telah menempatkan diri mereka langsung di bawah kekuasaan VOC4.  

Peristiwa-peristiwa ini bersejarah karena menandai berakhirnya pengaruh politik Ternate di Sulawesi Utara. Pada tahun 1681, seluruh semenanjung dari Gorontalo ke arah timur, serta kepulauan Sangir keseluruhan – secara tetap – dibawah kendali Belanda. Namun, hal itu sendiri, jenis wajah politik yang baru saja dijelaskan itu tidak ada di utara Sulawesi pada abad ke-17. Perubahan kesetiaan yang tiba-tiba dari satu pelindung eksternal ke pelindung lain telah lama menjadi praktik umum di kalangan penguasa daerah di kawasan itu. Akibatnya dominasi Ternate di sana tidak pernah lebih dari tambal sulam dan terputus-putus.

Politik di utara Sulawesi masa pra-kolonial cenderung lancar, keras, pribadi, dan pragmatis. Peristiwa setelah kunjungan kerajaan Ternate tahun 1675 adalah tipikal dalam semua hal ini. Pada tahun 1677, Kaicili Sibori telah membuat dirinya tidak populer di wilayah itu dengan menolak istri barunya dari Tabukan, membunuh seorang penguasa Sangir  yang ia curigai tidak loyal, membiarkan rakyat Maluku untuk menyerang dan menjarah pemukiman yang dianggap ramah di semenanjung utara Sulawesi5. Dalam keadaan ini, banyak wilayah vasalnya senang menerima alternatif kekuasaan kompeni ketika ditawarkan kepada mereka. Sesaat sebelum mereka melakukan hal itu, faktanya, beberapa penguasa Sangir telah berusaha untuk melepaskan diri dari kontrol Ternate dengan menempatkan diri mereka di bawah perlindungan Spanyol6.

Dinamika yang sama telah berulang kali terjadi pada abad ke-17, bekerja secara bergantian melawan Ternate dan juga mendukungnya. Kasus Manado bersifat ilustratif. Pada tahun 1614, Raja Manado – yang para penerusnya dikenal di zaman kolonial sebagai Raja-raja Bolaang-Mongondow – memohon kepada Spanyol di Maluku untuk perlindungan terhadap kerajaan Ternate, yang ia tuduh menjarah perempuan dan harta bendanya7. Namun setelah berdiam di Menado, orang-orang Spanyol pada gilirannya berselisih dengan raja, akhirnya membakar ibukotanya dan memaksanya untuk melarikan diri ke selatan di sepanjang pantai. Responnya adalah menempatkan dirinya sekali lagi dibawah perlindungan Ternate, yang, dengan bantuan Belanda, meluncurkan sebuah ekspedisi untuk mengusir orang-orang Spanyol dari daerah itu pada tahun 16448. Pada tahun 1660, Ternate masih membantu Manado dalam aksi hukuman terhadap kelompok-kelompok orang Minahasa yang sesekali berlindung dalam ekspedisi Spanyol9. Di tahun 1681, Raja Manado digambarkan sebagai “sepenuhnya bergantung” pada penguasanya, yaitu Ternate10

Minahasa, ca 1670an

Alasan ketidakstabilan kontrol Ternate di utara Sulawesi dapat diringkas dalam satu kata yaitu Kompetisi. Ekspansi Ternate ke arah barat pada abad ke-16 dan ke-17 bertepatan dengan masuknya orang Eropa – Portugis, kemudian Spanyol dan Belanda – ke Sulawesi, dan juga dengan naik turunnya kerajaan pribumi yaitu Makassar di bagian selatan pulau itu. Utara Sulawesi, kemudian, adalah wilayah pinggiran yang diperebutkan oleh sejumlah pusat-pusat kekuatan yang kuat. Situasi berbahaya ini diperburuk dengan persaingan lokal antara banyak pemerintahan kecil di wilayah itu sendiri, yang secara teratur berusaha melibatkan kekuatan eksternal dalam konflik saling menguntungkan mereka sendiri. Di tengah pergulatan itu, Ternate tidak dapat membangun hubungan yang stabil dengan salah satu vasal yang seharusnya di utara Sulawesi. Bagian selanjutnya akan secara singkat menyajikan bagaimana masalah persaingan memanifestasikan dirinya dalam 3 bidang hubungan Ternate – Sulawesi bagian utara yaitu militer, ekonomi dan budaya

Kontes Militer

Menurut bukti paling awal mengenai ekspansi Ternate di Sulawesi bagian utara, Sultan Hairun menyiapkan armada perangnya pada tahun 1563 untuk “memaksakan” Islam kepada kelompok-kelompok di sana yang mengajukan petisi kepada orang Portugis di Ternate untuk membaptis mereka sebagai orang Kristen11. Jika laporan misionaris Jesuitf   ini dapat dipercaya, maka, prosesnya dimulai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan dalam persaingan dengan kekuatan saingan di Maluku. Baik kekerasan maupun persaingan dapat dipastikan sebagai aspek ekspansi oleh sumber-sumber selanjutnya. Mungkin contoh yang paling mencolok menyangkut kerajaan Siau, di pulau dengan nama yang sama di kepulauan Sangir.

Dalam waktu 3 tahun sejak pendirian pos misi Jesuit di Siau pada tahun 1584, pulau itu telah diserang dan dijarah oleh kerajaan Ternate12. Pada tahun 1593, Raja Siau menanggapi ancaman Ternate dengan berlayara ke Manila dan bersumpah setia kepada Raja Spanyol, sebagai balasan melindungi sebuah garnisun Spanyol yang kecil13. Pada tahun 1605, VOC yang baru saja didirikan mengusir Portugis dari Maluku, dan pada tahun berikutnya Spanyol, yang mengkhawatirkan keberhasilan Belanda, mengirim pasukan kuat dari Filipina dan membangun benteng mereka sendiri di Pulau Ternate tidak jauh dari VOC. Siau sekarang menjadi pos pementasan reguler pada rute pasokan Spanyol ke Maluku, dan dengan demikian target militernya tidak hanya untuk Ternate, tetapi juga untuk Belanda, yang mana Ternate telah membangun aliansi resmi pada tahun 1607.

Pada tahun 1612, Ternate dan VOC menyerang beberapa desa Siau dalam ekspedisi bersama, dan pada tahun 1614 mereka kembali untuk langsung menaklukan pulau itu14. Pada tahun 1615, kompeni melakukan upaya yang terkenal untuk mengirim seluruh penduduk ke Banda sebagai tenaga kerja paksa untuk perkebunan pala Belanda di sana, tetapi dalam beberapa tahun kerajaan dibangun kembali dan sekali lagi berada di bawah kontrol Spanyol15. Selama upaya Belanda untuk “membasmi” semua pohon cengkeh dari Maluku Utara setelah tahun 1652, rempah-rempah terus berkembang di Siau Spanyol. Pada tahun 1677, VOC mengembalikan monopoli cengkehnya dan Ternate menyelesaikan pertarungan yang sudah berusia seabad dengan Siau ketika ekspedisi bersama Ternate-Belanda menaklukan kepulauan itu untuk kali kedua dan terakhir, mengusir Spanyol secara permanen dari utara Sulawesi16. Takut akan retribusi Ternate lebih jauh, Raja Siau yang tertawan kemudian memohon untuk menjadi bawahan kompeni, yang oleh Kaicili Sibori merasa puas dengan balas dendamnya dan dibawah tekanan kompeni, telah disetujui17

Siau, Manado, dan Minahasa bukan satu-satunya target penyerangan Ternate di utara Sulawesi. Daftar wilayah subjek/vassal Ternate direproduksi dalam Conquista de las Islas Malucas karya Argensola, dan mungkin berasal dari tahun 1591, sudah mencakup seluruh semenanjung dari Tolitoli dan Tomini ke arah timur, ditambah Sangir18. Setiap wilayah dalam daftar disertai dengan perkiraan jumlah prajurit yang siap membantu. Argensola menggambarkan sistem negara Ternate pada satu titik sebagai kerajaan tirani, dan di tempat lain sebagai “aliansi” dalam arti pemukul perlindungan dimana “perlindungan” terutama terhadap sekutu-sekutu itu sendiri, yaitu “siapapun di pulau-pulau ini yang patuh terhadap Maluku, terhindar dari perusakan gila-gilaan oleh persekutuan”19. Karakter militer kekuasaan Ternate di Sulawesi bagian utara dikonfirmasi oleh dokumen-dokumen Belanda dari tahun 1627g, dimana dicatat bahwa Limboto, salah satu kekuatan lokal paling penting di semenanjung itu, membayar upeti tidak langsung kepada Sultan Ternate, tetapi kepada kapita laut atau komandan angkatan laut Kaicili Ali, dalam bentuk kekuasaan militer20.

Resiko yang diterima dalam menentang Ternate semakin besar ketika VOC menambahkan kapal-kapal, senjata-senjata, dan prajurit yang terlatih ke armada kora-kora dan prajuri-prajurit kesultanan dan para pembantunya. Ketika bagian dari Sangir “ditinggalkan” untuk Siau dan Spanyol pada tahun 1624, ekspedisi hukuman Ternate-Belanda nyaris menangkap sekitar 5.000 tawanan asal Sangir sebelum hilangnya kapal pasokan mereka secara tidak sengaja memaksa mereka untuk mundur21. Ekspedisi serupa terhadap Gorontalo pada tahun 1648 berhasil menaklukan benteng musuh dan melakukan pembunuhan, yang menurut sebuah laporan Belanda, sebanyak 4.000 orang lokal22. Ekspedisi awal ini, bagaimanapun, tetap merupakan inisiatif Ternate daripada Belanda. VOC setuju untuk berpartisipasi dalam penyerangan ke Sangir hanya dengan keengganan yang paling besar, sementara Gubernur yang menyetujui keterlibatan dalam ekspedisi Gorontalo secara resmi ditegur oleh atasannya di Batavia. Bahkan ketika kompeni mulai mendominasi/menguasai sekutunya di Ternate pada akhir abad tersebut, aksi militer Belanda tidak pernah menjadi syarat penting bagi keberhasilan aliansi di Sulawesi bagian utara. Penaklukan Siau pada tahun 1677, meskipun didalangi oleh VOC, sebenarnya dapat seluruhnya berhasil oleh Ternate dan pengikut lokalnya tanpa adanya tembakan dari pasukan Belanda yang menyertainya23.

Bahwa Ternate dapat bergantung pada bantuan militer lokal maupun Belanda dalam aksi semacam itu mungkin tampak sebuah paradoks setelah apa yang dikatakan sifat kekerasan dari ekspansi Ternate di utara Sulawesi. Namun partisipasi aktif dari pengikut lokal adalah fitur berulang dari seluruh proses ekspansi. Ketika Ternate pertama kali menyerang Siau pada tahun 1587, misalnya, Ternate sudah didukung oleh tetangga Siau sendiri, yaitu Tagulandang, yang juga membantu ekspedisi Ternate-Belanda melawan Siau pada tahun 161224. Ini mencerminkan jenis kompetisi kedua, setelah itu antara kekuatan-kekuatan eksternal seperti Ternate dan Spanyol, yang membantu menentukan arah sejarah politik Sulawesi bagian utara pada periode ini, yaitu perjuangan lokal antara kelompok-kelompok pribumi dan para penguasa. 

Kepulauan Sangir - Talaud, ca 1700an

Geografi politik pra-kolonial Sulawesi bagian utara, seperti geografi kulturalnya, rumit dan terfragmentasi25. Dua sistem politik yang longgar dapat dibedakan, satu berorientasi ke teluk Tomini dan yang lainnya meliputi pantai utara dan kepulauan Sangir. Yang pertama (berorientasi ke teluk Tomini) didominasi oleh kerajaan Gorontalo dan Limboto, sementara yang lain didominasi oleh kerajaan Sangir, terdiri dari rantai pusat-pusat yang lebih kecil, masing-masing dengan datu atau raja sendiri dan daerah pedalamannya sendiri, membentang di sepanjang pantai terluar atau utara dan kepulauan Sangir dari Kaili ke ujung selatan Mindanao. Keluarga-keluarga terkemuka penguasa dalam setiap sistem secara luas menikah, tetapi tidak satu pun jaringan yang dikonsolidasikan ke dalam satu pemerintahan tunggal. Di beberapa bagian dalam semenanjung, terutama di Minahasa, hidup kelompok-kelompok suku yang secara longgar terkait dengan raja-raja pesisir.

Konflik pada tingkat tertentu di antara semua pusat kekuasaan ini adalah hal yang normal dan endemik. Pada tahun 1569, seorang Jesuit Portugish menggambarkan Sulawesi bagian utara sebagai daerah yang “mengkuatirkan” dan mengaitkan hal ini dengan perpecahan di antara “begitu banyak raja”26. Para pengamat abad ke-17 menulis bahwa masyarakat Sangir “biasanya berselisih satu sama lain”, dan menggambarkan Minahasa sebagai wilayah yang “tercerai berai, penuh konflik, dan perseteruan”27. Faktanya “kekuatiran” seperti itu diperlukan karena adanya praktik tradisional, yaitu pengayauan. Ketika penduduk kepulauan Talaud mengatakan kepada seorang pejabat Belanda pada tahun 1825, bahwa tanpa perang mereka “tidak dapat menikmati nasib baik”, mereka menyatakan kebenaran budaya yang, 2 abad sebelumnya, berlaku di sebagian besar wilayah tersebut28. Kepala-kepala manusia dibutuhkan, dan dicari di antara kelompok-kelompok sekitar, untuk berbagai acara ritual, termasuk pemakaman dan upacara peralihan individu lainnya, peresmian pemukiman dan bangunan baru, serta upacara pendamaian pada saat penyakit dan panen buruk29. Dalam keadaan seperti ini, keberadaan relasi kekerabatan antara kelompok-kelompok yang berdekatan tidak memberikan jaminan perdamaian di antara mereka, melainkan menambah kepahitan pada konflik-konflik yang tidak terhindarkan.

Ketika Ternate atau kekuatan Eropa menawarkan diri untuk mendukung satu pihak dalam konflik semacam itu dengan imbalan kepatuhan dan penghormatan, godaan untuk menerima hal ini biasanya tidak tertahankan. Biasanya, pihak lain akan merespons dengan mencari pelindung saingan. Dengan cara ini, pola-pola ketergantungan berkembang yang mencerminkan permusuhan lokal sebanyak kepentingan kekaisaran. Di kepulauan Sangir, misalnya, bukan kebetulan Tagulandang muncul sebagai pengikut Ternate yang setia segera setelah tetangga terdekat, yaitu Siau, jatuh di bawah kontrol Spanyol. Di Sangir Besar, kehadiran bangsa Eropa yang terputus-putus dan geografi politik yang terfragmentasi bahkan oleh standar Sulawesi bagian utara menghasilkan kaleidoskop perubahan kesetiaan, menampilkan godaan dengan Makassar dan bahkan Tidore, kekuatan yang jarang aktif di barat Maluku30. Di Minahasa, perjuangan panjang antara aliansi Spanyol dan Belanda-Ternate terkait erat dengan permusuhan di antara walak Minahasa, atau komunitas suku, dan dengan ketegangan antara orang-orang suku dan Raja Manado31. Lebih jauh ke barat, serangkaian perang antara Gorontalo dan Limboto tampaknya telah menyebabkan bergantiannya episode intervensi kekerasan oleh Ternate dan saingan terbesarnya di Indonesia, yaitu Makassar32. Ekspedisi Belanda-Ternate ke Gorontalo di tahun 1647 juga didorong oleh seruan kaum lokal, kali ini dari salah satu pihak dalam konflik internal dalam keluarga kerajaan Gorontalo33.

Pada kuartal ketiga abad ke-17, jumlah pemain asing dalam permainan kekuatan Sulawesi bagian utara tiba-tiba menurun. Di tahun 1660, Spanyol diusir dari Minahasa untuk terakhir kalinya, dan 3 tahun kemudian ancaman serangan terhadap Manila oleh panglima perang Tiongkok, yaitu Koxinga, memimpin mereka untuk menarik pasukan mereka dari Maluku, meninggalkan Siau sebagai satu-satunya pos Spanyol yang tersisa di daerah itu34. Pada tahun 1667, Makasar yang secara bertahap memperluas kekuatannya di sepanjang pantai utara dan bahkan lebih jauh ke kepulauan Sangir, ditaklukan oleh Belanda dan dipaksa untuk melepaskan semua klaimnya di Sulawesi bagian utara35. Ini membuat aliansi VOC-Ternate berada dalam posisi kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kompeni, bagaimanapun, sekarang bagian dominan dari aliansi ini, dan ketika Gubernur Padtbruggei memutuskan untuk membawa seluruh Sulawesi bagian utara di bawah kontrol langsung Belanda dalam tahun 1677, Sultan muda yang lunak dan tidak populer, yaitu Kaicili Sibori, tidak melakukan apapun untuk menentangnya.

Pembentukan kontrol Belanda yang tidak terbantahkan di Sulawesi bagian utara mengantar periode perdamaian relatif – atau setidaknya, dimana konlik lokal membawa resiko eskalasi yang lebih kecil. Namun demikian, ada banyak hal di kawasan ini yang senang hati melihat politik lama intervensi kompetitif terus berlanjut. Gorontalo, setelah dengan sukarela mengubah perlindungan Ternate ke perlindungan kompeni pada tahun 1678, dengan cepat berselisih dengan Belanda ketika mereka berusaha membatasi kekuatan militernya di Tomini36. Sebagai tawanan di atas kapal Belanda pada tahun 1681, seorang penguasa Gorontalo dengan sia-sia mengancam para penangkapnya dengan ancaman untuk kembali berlindung ke Ternate37. Raja Manado, Loloda, semakin berselisih dengan Belanda sejak tahun 1656, ketika mereka membangun benteng di dekat ibukotanya dan mulai merebut kekuasaannya di Minahasa seperti yang dilakukan oleh orang Spanyol38. Setelah VOC melangkah jauh seperti ini untuk menyimpulkan perjanjian dengan para pemimpin Minahasa tanpa mengindahkan dirinya pada Januari 1679, ia bergabung dalam pemberontakan melawan Belanda yang akhirnya dilakukan oleh Kaicili Sibori dari Ternate beberapa bulan kemudian39. Namun pada tahun 1681, kompeni menangkap Siborij  dan menempatkan Loloda untuk berkuasa40. Dalam tahun 1689, upaya sia-sia terakhir dilakukan untuk mencari dukungan dari ekspedisi perdagangan Inggris di Mindanao41. Pada tahun yang sama, sebuah delegasi dari Siau tiba di Filipina dengan permohonan terakhir untuk pembebasan dari “tirani Belanda”;  seorang penulis sejarah Spanyol mengatakan bahwa “lebih mudah untuk memberi mereka simpati atas kesengsaraan Kristen mereka daripada memperbaikinya”42.

Kontes Ekonomi

Kontes politik dan militer Sulawesi bagian utara, begitu dimulai, memiliki dinamika internalnya sendiri. Namun, itu juga didukung oleh nilai ekonomi wilayah tersebut bagi para pesaing. Relasi komersial antara Sulawesi bagian utara dan Ternate, misalnya, sudah sangat tua. Tomé Pires, yang menulis segera setelah kapal-kapal Portugis pertama mencapai Maluku pada tahun 1512, mencatat bahwa emas sudah dibawa ke Ternate oleh para pedagang dari Siau43. Orang Spanyol, Andres de Urdaneta, yang tinggal di Maluku Utara dari tahun 1526 hingga 1535, menulis bahwa “Celebes” – berarti Sulawesi bagian utara, pantai teluk Tomini atau kepulauan Sangir, karena ia berurusan secara terpisah dengan bagian lain Sulawesi dan dengan Mindanao – mengirim emas ke Maluku setiap tahun dan juga pemasok cendana44. Informasi Portugis dari periode yang sama menambahkan kulit penyu dan lilik ke dalam daftar produk yang mencapai Ternate dari Sulawesi, dan menyebutkan bahwa barang-barang ini ditukar di sana dengan kain India45.

Sumber-sumber Hispanik ini menggambarkan awal perdagangan Sulawesi bagian utara – Ternate sebagai masalah pertukaran komersial murni. Mengingat sifat dari pertukaran, bagaimanapun – produk-produk dari wilayah barang-barang impor yang eksotis – dan mengingat karakter “melekat” secara politis dan kultural dari perdagangan semacam itu di bagian-bagian tradisional Indonesia yang terdokumentasi dengan lebih baik, agaknya lebih banyak terlibat dalam ekonomi murni. Andaya menggambarkan pertukaran semacam ini, yang dielaborasi menjadi upacara publik, sebagai inti dari sifat asli relasi tuan-bawahan di Maluku Utara46. Di Sulawesi bagian utara sendiri, Raja setempat tentu saja terus mendistribusikan barang-barang impor dengan imbalan upeti dalam produk-produk lokal hingga memasuki abad ke-1947. Kita dapat menduga, kemudian, bahwa ekspedisi perdagangan tahunan dari Sulawesi bagian utara ke Ternate pada awal abad ke-16 sudah dirasakan – meskipun mungkin lebih jelas oleh masyarakat Ternate daripada oleh orang-orang Sulawesi – dalam ini dalam bentuk penghormatan dan upeti.

Sistem seperti itu, bagaimanapun, hanya bisa tetap bebas dari ketegangan sementara hanya ada satu sumber barang impor yang diinginkan. Di beberapa bagian lain dari pinggiran Maluku, terutama Halmahera Timur dan wilayah-wilayah pinggiran Papua milik Tidore, kira-kira situasi ini berlaku sampai periode terakhir48. Pedagang Eropa dan asing lainnya umumnya tidak berlayar di luar Halmahera, sehingga pusat tersebut mempertahankan monopoli alami atas pertukaran barang yang mereka bawa. Sebaliknya, Sulawesi bagian utara, dan terutama karena aksesbilitasnya yang lebih besar, dengan cepat menjadi pasar yang kompetitif diman monopoli distribusi hanya dapat dipertahankan dengan paksa. 

Sampai pertengahan abad ke-17, Sulawesi bagian utara tidak sendiri menghasilkan rempah-rempah berharga yang menjadi objek utama pelayaran asing ke Indonesia timur49. Namun karena posisinya mengangkangi 2 rute awal yang penting ke pulau-pulau rempah yang tepat – dari Cina dan Luzon melalui Mindanao dan dari Malaka melalui Brunei dan Kalimantan Utara – itu dikunjungi oleh kapal-kapal asing bahkan sebelum kedatangan orang Eropa. Ujung utara Minahasa disebutkan dalam sumber-sumber Cina dari abad ke-14, dan jika Cortesão  benar dalam penafsirannya tentang toponimk di Suma Oriental, Manado memiliki perdagangan langsung dengan Malaka pada awal abad ke-1650. Orang Eropa pertama diketahui memiliki yang perdagangan di daerah itu adalah awak kapal Spanyol yang mengambil persedian di Talaud pada tahun 1528 – meskipun 2 tahun sebelumnya, sejumlah orang Spanyol telah menjadi barang dagang sendiri ketika mereka diperbudak oleh penduduk setempat setelah kapal karam di Sangir Besar51.

Kontak komersial Eropa yang sporadis dengan Sulawesi bagian utara berlanjut sepanjang abad ke-16. Pada tahun 1563, misalnya, dilaporkan bahwa meriam Portugis telah ada di Tolitoli di sudut barang laut semenanjung52. Dalam hal ini, ekspedisi militer Sultan Haitun pada tahun yang sama dapat ditafsirkan sebagai reaksi defensif terhadap campur tangan Portugis di jaringan perdagangan yang sebelumnya terfokus di Ternate. Kontes nyata untuk dominasi ekonomi di Sulawesi bagian utara, bagaimanapun, dimulai dengan pendirian benteng Belanda dan Spanyol di Maluku Utara pada awal abad ke-17.

Garnisun benteng-benteng ini secara teratur memiliki masalah dalam memperoleh pasokan makanan lokal, dan baik Belanda maupun Spanyol melihat ladang padi Minahasa yang subur, melintasi laut Maluku ke barat, sebagai solusi potensial. Kapal VOC pertama memuat beras di Manado pada tahun 1608, dan pada tahun 1614, Spanyol yang, sangat menarik karena area ini berdekatan dengan Siau dan rute pasokan Filipina, juga melakukannya53. Minyak kelapa adalah komoditas lain yang segera diimpor dari Sulawesi bagian utara oleh pos-pos Eropa di Maluku54. Kemudian VOC juga mengembangkan minat pada berbagai produk Sulawesi bagian utara yang lebih luas, termasuk damar dan eboni serta yang telah menjadi andalan pertukaran tradisional dengan Ternate – emas, kulit penyu dan lilin. Meskipun bersekutu dengan Ternate, kompeni membeli barang langsung dari produsen atau pengumpul di Sulawesi, tanpa keterlibatan Ternate. Akhirnya, baik orang Spanyol maupun Belanda bergabung dengan sepenuh hati dalam kontes untuk bentuk kekayaan khas Asia Tenggara yang juga ditawarkan Sulawesi bagian utara, yaitu – manusia, untuk dibeli atau diculik sebagai budak55.

Sebagai hasil dari semua kompetisi ini, barang dagangan jarak jauh itu banyak dimintai di Sulawesi bagian utara – yang paling penting adalah tekstil mewah dan senjata api Eropa – menjadi tersedia secara luas di Sulawesi bagian utara melalui beberapa saluran berbeda. Ternate sekarang tidak memiliki sesuatu yang unik untuk ditawarkan melalui perlindungan ekonomi, dan dengan demikian tuntutannya yang terus menerus untuk upeti dalam bentuk emas, budak, lilin, dan minyak menjadi lebih sulit untuk ditegakkan56. Dalam teks kuno/langka dari surat yang ditulis kepada Gubernur Spanyol di Malukul pada tahun 1616 oleh penguasa Kaidipanm, salah satu negara kecil di pantai utara Sulawesi bagian utara, raja meminta senapan, amunisi, bendera, dan beberapa kain India sebagai imbalan atas kesetiaan dan bagian dari wilayahnya57. Di tahap ini, kemudian, jenis ekonomi yang saling melengkapi yang mungkin telah menopang hubungan tradisional tuan-bawahan masih ada. Tetapi ketika Sultan Ternate mengunjungi Tagulandang dan Siau pada tahun 1675, “bawahannya” sekarang berada dalam posisi untuk memasukan hal-hal asing dalam hadiah mereka kepada dirinya – gong, porselin, senapan, dan meriam kecil58. Setiap basis ekonomi untuk hubungan politik yang stabil telah hilang.

 

Kontes Budaya

Berkaitan erat dengan kontes kontrol politik dan ekonomi Sulawesi bagian utara adalah perjuangan untuk hegemoni budaya. Paling jelas ini berarti kontes untuk mengkonversi antara Islam dan Kristen, yang mana Islam dipromosikan oleh Ternate dan Makassar, sedangkan Kristen oleh Portugis dan Spanyol dan – pada tingkat yang lebih rendah – oleh Belanda.

Beberapa sejarahwan Filipina berpendapat bahwa, dalam kasus Mindanao, kekuasaan Ternate pada abad ke-17 sebenarnya bersandar pada landasan Islam. Dalam pandangan ini, kesultanan Magindanao bersekutu dengan Ternate dan bukan dengan Spanyol [yang] Kristen karena, sebagian, berkat guru-guru agama dari Ternate, dimana Ternate adalah negara Muslim59. Pada pandangan pertama, ada beberapa alasan untuk menganggap agama sebagai faktor yang serius dalam kontes Sulawesi bagian utara. Jauh sebelum pengambilalihan Belanda yang definitif, sudah menjadi kebiasaan bahwa, ketika umat Islam dikalahkan atau ditangkap di Sulawesi oleh aliansi Belanda-Ternate adalah milik kesultanan, setiap orang Kristen yang dibaptis menjadi subjek kompeni60. Juga tidak ada kekurangan apa yang tampak sebagai kekerasan agama. Muslim Tagulandang, misalnya, menjadi martir 3 misionaris Fransiskan dalam 2 insiden terpisah selama awal abad ke-17, dan orang pagan Minahasa membunuh orang keempat61.

Namun, pada pemeriksaan cermat, afiliasi agama di Sulawesi bagian utara pada periode ini hampir selalu terbuka untuk interpretasi sebagai fungsi daripada penentu kesetiaan politik. Tagulandang, misalnya, adalah musuh mapannya yaitu Siau dan pelindungnya yaitu Spanyol, dan karena itu juga dari iman dan misionarisnya. Ketika sebuah kelompok Katolik di pantai barat Sangir menawarkan diri untuk tunduk kepada VOC pada tahun 1641, tetapi di sana pada saat yang sama menolak untuk menerima kontrol Ternate karena alasan agama, Belanda mencatat bahwa musuh lokalnya di pantai timur kebetulan menjadi Muslim dan pengikut Ternate62. Pada tahun sebelumnya, kelompok yang sama rupanya meminta Muslim Makassar untuk mendapat dukungan melawan Tagulandang-Ternate63

Pakaian Kerajaan Sangihe

Sebagai aturan, setiap perubahan patron juga berarti perubahan agama formal. Manado, jika kita mengambil sumber-sumber Eropa yang relevan dengan nilai nominal, adalah di-Kristenkan, di-Islamisasi, di-Kristenkan, dan di-Islamisasi lagi pada periode 1563 hingga 164464. Orang-orang Tagulandang, Muslim fanatik dalam kisah awal abad ke-17, pergi dengan berpindah ke Gereja Reformed Belanda setelah perpindahan mereka dari perlindungan Ternate ke perlindungan VOC. Pada akhir abad ini, Tagulandang dikatakan terdiri dari “seluruhnya orang Kristen”65. Tidak perlu dikatakan, perbedaan doktrinal jarang berperan dalam pertobatan semacam itu. Pada tahun 1675, seorang perwira Belanda menyaksikan Sultan Ternate “mempertobatkan” seorang raja dari agama Katolik ke Islam dengan menempatkan sorban di kepalanya66. 2 tahun kemudian, giliran Belanda membagikan tutup kepala ketika para pemimpin dari Tabukan bertukar sorban untuk topi Eropa untuk menandai perpindahan mereka dari Ternate ke kompeni dan pada saat yang sama berarti dari Islam ke Kristen67.  

Pembaca modern tergoda untuk menyimpulkan dari bukti sedemikian rupa sehingga agama formal, seperti pakaian, hanyalah lencana atau simbol afiliasi politik. Akan tetapi seorang penulis Belanda abad ke-17, lebih dekat dengan tanda ketika ia mengatakan bahwa “tudung berarti bikkhu, baptisan disini berarti orang Kristen”68. Tanda dan penanda tidak sepenuhnya dibedakan, pakaian dan ritual diyakini memiliki implikasi kosmik dalam diri mereka sendiri. Objek upaya untuk memanipulasi kosmos dengan cara perubahan perilaku ritual, di sisi lain, biasanya sangat praktis. Seorang Raja Sangir menyimpulkan ini dengan rapi pada tahun 1677, ketika dia menjelaskan kepada Belanda bahwa “karena dia tidak mengetahui adanya gangguan atau kekurangan di desanya, dia tidak menganggap perlu untuk mengubah agamanya”69.

Sementara agama-agama rakyat yang mapan umumnya terus berurusan dengan ranah domestik seperti pertanian, agama-agama dunia dikaitkan terutama dengan politik kekuatan eksternal. Dan seperti halnya praktik agama pribumi, sebagian besar merupakan teknologis magis untuk memastikan panen yang baik, simbol dan ritual agama Kristen atau Islam diharapkan untuk memastikan keberhasilan dalam hubungan dengan dunia luar. Dalam praktiknya ini berarti kekuatan militer dan pergaulan dengan pelindung yang kuat, sehingga pilihan agama biasanya merupakan urusan pragmatis. Ketika seorang utusan Sangir untuk Manila pada tahun 1639 ditanya mengapa ia dan orang-orangnya mencari pertobatan ke dalam agama Kristen, ia menjawab bahwa ia “telah mengamati berkali-kali bahwa tuhan yang paling kuat dan paling benar adalah tuhan orang-orang Kristen, karena banyaknya dan pertempuran terkenal yang selalu mereka menangi melawan pada bidat dan Moor dari pulau-pulau ini”70. Karena agama di atas segalanya diharapkan akan manjur, ia tetap tidak dapat dipisahkan – tetapi pada saat yang sama (setidaknya dalam istilah subjektif) tidak ada ungkapan sederhana – politik. 

Potret Masyarakat Siau

Pragmatisme dan fleksibilitas sikap budaya terhadap kekuasaan dan otoritas di Sulawesi bagian utara, ditempa dalam masyarakat yang terdesentralisasi, pengayauan dan elaborasi oleh pengalaman kekerasan abad ke-17, membuat sulit bagi Ternate atau kekuatan lain untuk membangun legitimasi politik yang stabil di wilayah tersebut. Sementara budaya asli semuanya sangat sensitif terhadap status dan hierarki, mereka juga cepat mengenali status yang dicapai dari berbagai jenis, termasuk yang diperoleh dengan cara kekerasan. Ini khususnya berlaku di Minahasa, dimana keter atau “kekuatan” adalah cita-cita budaya yang penting71. Setelah VOC membuktikan kekuatannya dengan menjadikan dirinya sebagai penguasa Manado yang tak terbantahkan, orang-orang Minahasa dipersiapkan untuk memberikan kredit dengan kekuatan orakular yang sama dan hak yang sama untuk memberikan penilaian dan gelar kehormatan yang sebelumnya harus mereka berikan kepada raja pribumi Manado72. Baik di dalam maupun di luar Minahasa, penerjemah pribumi dalam layanan Belanda dan Spanyol juga menggunakan kekuatan yang berasal dari lembaga non-tradisional mereka untuk memperoleh prestise lokal yang besar73.

Maka, ini adalah lingkungan yang kompetitif dimana kekuasaan terus menerus diperlihatkan dan tidak dapat dipertahankan hanya dengan cara budaya. Sangat menarik bahwa hanya di Gorontalo, mungkin masyarakat paling stabil secara internal dan terstruktur secara hierarkis di Sulawesi bagian utara pra-kolonial, melakukan ingatan atas supremasi Ternate yang tampaknya hidup lebih lama dari akhir kekuatan Ternate di wilayah tersebut. Pada abad ke-19, Ternate dikenang di Gorontalo sebagai bekas “kakak laki-laki” dari kerajaan setempat, dan raja Gorontalo masih memiliki perisai Ternate di antara regalia kerajaannya74. Dalam masyarakat timur yang lebih cair, para sultan Ternate kelihatannya telah menganggap dalam tradisi lisan kemudian hanya sebagai teman atau saingan – dengan kata lain – setara75.

Namun demikian, ada bukti bahwa Ternate memang menikmati semacam hegemoni budaya yang terbatas di Sulawesi bagian utara selama masa-masa kejayaan kekuatan politiknya. Daerah-daerah “Kristen” dan juga “Islam”, misalnya, meminjam dari kesultanan Ternate berbagai gelar untuk berbagai jenis pemimpin atau pejabat – bobato, hukum, jogugu, kapita laut, kimalaha, marsaoli, sangaji – dan mempertahankannya lama setelah berakhirnya keterlibatan politik Ternate di wilayah tersebut76. Di sisi lain, van Fraasen tidak diragukan lagi benar dalam menyarankan bahwa keberlangsungan istilah-istilah ini sampai abad ke-19 dan ke-20 disebabkan setidaknya sebagian karena penggunaan resmi yang berkelanjutan oleh Belanda, yang mana hal demikian lebih akrab daripada berbagai terminologi lokal77. Tentu saja gelar lokal yang lama bisanya bertahan bersama nomenklatur yang diimpor.

Lebih penting lagi, struktur kekuasaan pribumi tampaknya tidak terpengaruh secara konkret oleh peminjaman terminologis ini. Di Sulawesi bagian utara, nama-nama [gelar] dari Ternate diterapkan pada fungsi yang sangat berbeda dari prototipe aslinya. Di Ternate, misalnya, hukum adalah 2 perwakilan Sultan yang sangat senior; di Minahasa, gelar itu digunakan untuk banyak pemimpin suku78. Di Ternate, marsaoli merujuk pada kelompok keturunan dimana pemimpinnya biasanya berfungsi sebagai jogugu atau menteri utama Sultan; di Gorontalo, keempat marsaoli adalah pemimpin dari empat kelompok keturunan yang terpisah, dan tidak satu pun dari mereka bisa menjadi seorang jogugu79. Menariknya, penerapan gelar-gelar Ternate di Gorontalo tampaknya hampir bersamaan dengan penolakan terhadap kekuasaan Ternate sambil berpihak pada kompeni80. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa selain dangkal, peniruan kebiasaan Ternate di sini juga dimaksudkan bukan sebagai tanda takluk tetapi sebagai klaim atas kesetaraan dan isyarat pembangkangan. Peniruan budaya orang-orang Minahasa Belanda pada abad ke-19 dan abad ke-20 tentu saja melibatkan dimensi kompetitif semacam itu.

Point terakhir pada bagian ini menyangkut saran baru-baru ini oleh Andaya bahwa kelemahan kontrol Ternate di Sulawesi bagian utara, sebagian dapat dijelaskan dengan tidak adanya landasan mitologis untuk relasi kuat yang terhubung dengan Maluku Utara81. Secara khusus, Andaya mencatat, Sulawesi bagian utara tidak memiliki mitos Bikusagara yang penting secara politis, dimana penguasa pertama dari Loloda, Bacan, Butung, Banggai, dan Papua muncul dari kelompok telur naga yang sama82. Dengan kata lain, hal demikian tidak termasuk dalam “dunia Maluku” yang didefinisikan secara mitos, dimana sisi sebelah barat dianggap milik/kepunyaan Ternate dan sisi sebelah timur adalah milik/kepunyaan Tidore.

Pulau Sangir, Bolaang-Mongondow, dan Gorontalo tampaknya tidak memiliki mitos asal yang melibatkan Maluku, dan ketiadaan hal ini sangat mencolok dalam kasus Gorontalo, dimana kelompok asing lainnya, Bugis dari Luwu, memang dikreditkan dengan peran kunci dalam pendirian kerajaan-kerajaan itu83. Namun, di Manado, sebuah tradisi tetap bertahan bahkan hingga abad ke-19, bahwa orang Manado pertama adalah seorang Raja Bacan dan para pengikutnya yang diasingkan/dibuang84. Seorang penulis asal Minahasa baru-baru ini juga menceritakan kisah serupa yang menghubungan Manado dengan kerajaan Loloda85. Bacan dan Loloda, tentu saja, tidak hanya menjadi bagian “inti” dari 5 kerajaan tradisional Maluku, tetapi juga muncul dalam mitos Bikusagara sendiri. Selain itu, orang-orang Mando tampaknya adalah pejuang dan pedagang terkemuka di Sulawesi bagian utara selama abad ke-16, meskipun mereka sepenuhnya digantikan oleh Belanda di abad ke-17. Jelas, kemudian, “bahan baku” mistis dengan potensi untuk membantu melegitimasi sebuah relasi yang mapan dengan Ternate sebenarnya ada di Sulawesi bagian uatara, seperti bagian lain di pinggiran Maluku. Namun perkembangan politik dan ekonomi mencegah mereka dari memainkan peran itu.

Penutup

Perpindahan Sulawesi bagian utara ke kontrol Belanda setelah tahun 1667, tidak berarti akhir dari semua kontak dengan Ternate. Wilayah yang baru diakuisisi itu tetap menjadi bagian dari Gubernemen VOC Maluku, yang berbasis di Ternate dan kemudian dikenal sebagai karesidenan Ternaten. Belanda bahkan terus mengerahkan personil Ternate-nya di seluruh karesidenan. Namun, di Sulawesi bagian utara, praktik ini sering menyebabkan berlanjutnya perselisihan antara orang-orang Ternate dan kelompok pribumi. Pada tahun 1777, misalnya, anggota armada kora-kora Ternate ditempatkan di Minahasa untuk membantu melindungi pantainya dari serangan perompak budak Magindanao86. Kehadiran mereka di sana dibenti oleh banyak penduduk lokal, yang diwajibkan untuk melayani mereka87. Pasukan dari Ternate juga digunakan dari waktu ke waktu untuk tugas-tugas keamanan internal yang tidak populer di Minahasa, dan pada tahun 1809 mereka membentuk sebagian besar pasukan Belanda yang menghancurkan pemberontakan besar di Tondano88. Pada tahun 1817 dilaporkan bahwa, karena antipati terhadap Ternate, para penguasa lokal dari Sulawesi bagian utara lebih suka bepergian ke Ambon untuk investasi formal Belanda daripada ke Maluku Utara yang lebih mudah diakses89. Sedikit yang berada di luar Ternate sendiri, akan memiliki penyesalan ketika, pada kunjungan ke Manado pada tahun 1824, Gubernur Jend van der Capellen memutuskan untuk memisahkan Sulawesi bagian utara dari administrasi kewilayahan karesidenan Ternate dan menjadikannya karesidenan sendiri90

Keputusan ini terkait dengan perubahan situasi ekonomi. Sepanjang abad ke-18, fungsi ekonomi utama Sulawesi bagian utara sejauh menyangkut kompeni adalah tetap menyediakan beras untuk penggunaan lokal dan distribusi di Ternate91. Namun pada tahun 1824, perdagangan regional ini dibayangi oleh ekspor kopi Minahasa untuk pasar internasional. Diperkenalkan pada tahun 1796, penanaman kopi berkembang di Minahasa dan ditempatkan dibawah kendali negara pada tahun 182292. Pada pertengahan abad ke-19, Sulawesi bagian utara jauh di depan Maluku utara dalam kepentingan ekonomi dan politik. Setelah penanaman kopi oleh pemerintah, datanglah misionaris Protestan yang memberikan orang-orang Minahasa dengan sistem sekolah terbaik di Indonesia pada abad ke-19, dan dengan demikian memicu gelombang emigrasi diantara para pemuda terpelajar yang mencari pekerjaan “kantoran” di tempat lain di kepulauan tersebut93. Tidak lama kemudian, Ternate yang juga dijajah, ironisnya, oleh para guru dan pegawai negeri asal Minahasa94.

Pada akhirnya, satu-satunya bidang dimana Ternate meninggalkan warisan abadi – meskipun sebagian besar tidak diakui – di Sulawesi bagian utara adalah bidang bahasa. Bahasa modern Sulawesi bagian utara dan tengah, yaitu Melayu Manado, adalah varian dari dialek Melayu yang digunakan di Maluku Utara dan mengandung banyak sekali kata-kata yang berasal dari Ternate95. Kapan tepatnya bahasa itu diterapkan di Sulawesi bagian utara tidaklah diketahui. Mungkin telah berkembang pada periode kekuasaan politik Ternate, atau mungkin telah berkembang kemudian di Manado dan pos-pos VOC lainnya, dengan poliglot dan sebagian populasi Maluku. Melalui varian Manado Melayu – dan dalam beberapa kasus mungkin juga secara langsung – kata-kata pinjaman dari Ternate memasuki berbagai bahasa asli Sulawesi bagian utara juga96. Salah satu hasilnya adalah, lebih dari 2 abad setelah Minahasa melepaskan diri dari Ternate dan semua otoritas “kerajaan” pribumi, cerita-cerita rakyat Minahasa masih menampilkan “raja-raja” yang disebut bukan oleh istilah lokal yaitu datu atau raja, tetapi sebagai kolano, sebuah gelar yang pernah disandang oleh para sultan Ternate97.

 

===== selesai =====

 

Catatan Kaki

  1. VOC 1310: 457, 458, 461, 468–469.
  2. Heeres & Stapel 1907–1955 III: 83–90, 105–110.
  3. Van der Aa 1867: 332.
  4. Godée Molsbergen 1928: 50–58
  5. Heeres & Stapel 1907–1955 III: 105; van der Aa 1867: 99, 162, 173–174, 245, 327.
  6. Van der Aa 1867: 236; Pastells 1936: clxxxii–clxxxviii.
  7. Correspondencia 1868: 223.
  8. Dagh-Register 1643–1644: 116–119.
  9. VOC 1233: 291–292
  10. Dagh-Register 1681: 586.
  11. Jacobs 1974–1984 I: 412.
  12. Jacobs 1974–1984 II: 263; Wessels 1933: 384.
  13. Wessels 1933: 392–393
  14. Van Dijk 1862: 216–217; Tiele 1877–1886 VIII: 271, 293; Wessels 1935: 100–102.
  15. Tiele & Heeres 1886–1895 I: 132–163; Wessels 1935: 103–106.
  16. Van der Aa 1867.
  17. Van der Aa 1867: 188, 209.
  18. Argensola 1609: 82; Jacobs 1974–1984 II: 304
  19. Argensola 1609: 71, 83.
  20. Tiele & Heeres 1886–1895 II: 119; van Fraassen 1987 I: 529.
  21. Tiele & Heeres 1886–1895 II: 40–41, 44, 79; Wessels 1935: 106–107.
  22. Tiele & Heeres 1886–1895 III: 358–359, 388–390.
  23. Van der Aa 1867: 204–208.
  24. Jacobs 1974–1984 II: 263; Tiele 1877–1886 VIII: 271
  25. Henley 1992: 44–56.
  26. Jacobs 1974–1984 I: 525.
  27. Colin 1663 I: 111; Hustaart 1656: 55.
  28. Van Delden 1844 II: 27.
  29. Brilman 1938: 80, 85; Padtbrugge 1866: 317–318; van Delden 1844 II: 27; Schouten-Patuleia 1993
  30. Tiele & Heeres 1886–1895 I: 352; van Dijk 1862: 274; Jacobs 1974–1984 III: 312; Hustaart 1656: 53.
  31. Dagh-Register 1643–1644: 116–119.
  32. Bastiaans 1938: 231–237; Riedel 1870: 107–108;
  33. Tiele & Heeres 1886–1895 III: 389.
  34. Godée Molsbergen 1928: 18; Andaya 1993: 155.
  35. Tiele & Heeres 1886–1895 II: 118–119, 281; Noorduyn 1983: 117–118; Stapel 1922: 242–243; Wessels 1935: 32, 111.
  36. Heeres & Stapel 1907–1955 III: 127–136; van der Aa 1867: 150–154.
  37. Dagh-Register 1681: 375.
  38. Godée Molsbergen 1928: 18, 26–29.
  39. Godée Molsbergen 1928: 50–58; Andaya 1993: 182.
  40. Dagh-Register 1681: 586; Andaya 1993: 185.
  41. Van Dam 1701 II(1): 49; Laarhoven 1989: 79.
  42. Murillo Velarde 1749: 358–359.
  43. Cortesão 1944: 221–222.
  44. Navarrete 1825–1837 V: 437.
  45. Tiele 1877–1886 II: 39.
  46. Andaya 1993: 56–57.
  47. Van Delden 1844: 23; Steller 1866: 37; Wilken & Schwarz 1867: 296, 375.
  48. Andaya 1993: 99–110.
  49. Hustaart 1656: 64–65; van der Aa 1867: 262.
  50. Ptak 1992: 45; Cortesão 1944: 222.
  51. Navarrete 1825–1837 V: 281–282, 408–409; de la Costa 1958: 9–11.
  52. Wessels 1933: 371.
  53. Van Dijk 1862: 268; Correspondencia 1868: 223
  54. Dagh-Register 1640–41: 330.
  55. Tiele & Heeres 1886–1895 II: 3, 40–41, 44, 78; Laarhoven 1989: 45.
  56. Van der Aa 1867: 155; Riedel 1869: 523.
  57. Correspondencia 1868: 221.
  58. VOC 1310: 458, 469
  59. Laarhoven 1989: 16–17, 38–40.
  60. Van Dijk 1862: 217.
  61. Stokking 1931: 529, 537, 553.
  62. Van Dijk 1862: 218.
  63. Wessels 1935: 101.
  64. Wessels 1933: 372; Wessels 1935: 87, 93; Dagh-Register 1643–1644: 118
  65. Van Dam 1701 II (1): 56.
  66. VOC 1310: 462.
  67. Van der Aa 1867: 212.
  68. Van Dijk 1862: 217.
  69. Van Dam 1701 II (1): 64; van der Aa 1867: 238
  70. Pérez 1913–1914 V: 636.
  71. Schouten 1988.
  72. Van Dam 1701 II (1): 76–77; Godée Molsbergen 1928: 63–64.
  73. VOC 1345: 864; van Dam 1701 II (1): 76, 77.
  74. Bestuursvergadering 1890: 113–115.
  75. Elias [1973]: 72, 81; Wilken & Schwarz 1867: 300
  76. Riedel 1870: 73; van Delden 1844 I: 7–8; Steller 1866: 32–33; Wilken & Schwarz 1867: 294; van Wouden 1941: 333.
  77. Van Fraassen 1987 I: 291.
  78. Van Fraassen 1987 I: 339–341; van Dam 1701 II (1): 77; Riedel 1872: 525– 526.
  79. Van Fraassen 1987 I: 290–291.
  80. Riedel 1870: 108–109
  81. Andaya 1993: 112.
  82. Andaya 1993: 53.
  83. Bastiaans 1939: 30–31; Riedel 1870: 104.
  84. Graafland 1868: 385, 387.
  85. Supit 1986: 72.
  86. Godée Molsbergen 1928: 131.
  87. Godée Molsbergen 1928: 151–152; Supit 1986: 156, 168.
  88. Godée Molsbergen 1928: 162, 169; Supit 1986: 172, 174.
  89. Godée Molsbergen 1928: 180–181.
  90. Olivier 1834–1837 I: 324–326.
  91. Godée Molsbergen 1928: 97, 105–106, 121, 141, 147, 173; van Delden 1844 II: 22.
  92. Godée Molsbergen 1928: 184.
  93. Henley 1992: 144–151
  94. Volkstelling 1930 V: 176.
  95. Prentice 1989: 1–2; Watuseke & Watuseke-Politton 1981: 325.
  96. Prentice 1989: app. A; Watuseke 1956: 109–110.
  97. Schwarz 1908: 165; Schwarz 1907 I: 278–299; Watuseke 1956: 110; Watuseke 1972: 335

 

 

Catatan Tambahan

a.        Kaicili Sibori dikenal juga sebagai Sultan Amsterdam, memerintah di Ternate pada periode 1675 – 1690.

§  Valentijn, Francois., 1724 Oud en Nieuwe Oost Indien, volume III, Johannes van Braam en Gerard Onder de Linden, Dordrecht en Amsterdam

§  Clercq, F.S.A. de., Ternate and It’s Residency [versi Terjemahan Bahasa Inggris]

§  Widjojo, Muridan Satrio., 2007  Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the Revolt of the Prince Nuku, ca. 1780 – 1810, [Disertasi] Universitas Leiden Belanda, appendix II

§  Amal, Adnan M., 2006, Kepulauan Rempah-rempah : Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Lampira I

b.       Ayah dari Kaicili Sibori adalah Sultan Mandarsyah, memerintah pada 1648 -1675

c.        Kontrak atau Perjanjian antara VOC dan para penguasa Tagulandang dan Sangir terjadi pada tanggal 3 November 1677  dan 10 Desember 1677

§  Heeres, J. E., and F. W. Stapel, eds. 1907–1955. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, 6 vols. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. [khusus volume 3, hal 83 – 90 dan 105 – 110]

d.       Penguasa Tagulandang dan Sangir yang menandatangani perjanjian atau kontrak dimaksud adalah Raja Tabukan yaitu Franciso Macarompo, Raja Taruna yaitu Don Martin Tatandam, Raja Candhaer yaitu Datoe Boysa, serta tetua Tagulandang yaitu Jogugu Jacobus Tontoeo dan tetua lainnya. Tabukan, Taruna dan Candhaer berada di Sangir Besar

§   Heeres, J. E., and F. W. Stapel, eds. 1907–1955. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, 6 vols. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. [khusus volume 3, hal 83 – 90 dan 105 – 110]

e.        Perjanjian pada tanggal 3 November 1677 terdiri dari 13 pasal (item), sedangkan perjanjian tertanggal 10 Desember terdiri dari 14 pasal (item)

§  Heeres, J. E., and F. W. Stapel, eds. 1907–1955. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, 6 vols. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. [khusus volume 3, hal 83 – 90 dan 105 – 110]

f.         Misionaris Jesuit yang dimaksud adalah Pero Mascarenhas yang menulis surat atau laporan itu dari Ternate pada 10 Februari 1564

g.        Dokumen yang dimaksud adalah Laporan Jacques le Febre Gubernur VOC Moluccas/Ternate (1623-1627) kepada Gub Jend VOC, Pieter de Carpentier, pada tanggal 16 Agustus 1627

h.       Misionaris Jesuit yang dimaksud ada Nicolau Nunes yang menulis laporan dari Ternate pada 10 Februari 1569

i.         Gubernur Padtbrugge  adalah Robbert Padtbrugge, Gubernur VOC Moluccas/Ternate yang memerintah pada periode 1677 – 1682. Robbertd Padtbrugge kemudian dimutasi menjadi Gubernur VOC Ambon pada periode 1683 – 1687.

j.         VOC menangkap Sultan Sibori/Amsterdam pada tanggal 30 Agustus 1681

§  Andaya, Leonard, Y., 1993, The World of Maluku : Eastern Indonesia in the Early Modern Period, University Hawaai Press, Honolulu, hal 185

k.        Armando Cortesao menafsirkan toponim Ilha Vdama sebagai “korupsi” dari kata Manado/Menado yang tertulis dalam deskripsi peta Rodrigues

l.         Gubernur Spanyol di Maluku pada periode ini bernama Geronimo da Silva yang memerintah pada tahun 1612 – 1617

m.      Penguasa Kaidipan bernama Banidaca

n.       Sejak dekade awal abad ke-19, Gubernemen VOC Moluccas/Ternate diturunkan statusnya menjadi Karesidenan Ternate dan menjadi bagian wilayah administratif Gubernemen Maluku yang beribukota di Ambon

 

 

Referensi

§  Aa, Robidé van der, ed. 1867. Het journaal van Padtbrugge’s reis naar NoordCelebes en de Noordereilanden (16 Aug.–23 Dec. 1677). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 14: 105–340.

§  Andaya, Leonard Y. 1993. The world of Maluku: Eastern Indonesia in the early modern period. Honolulu: University of Hawaii Press.

§  Argensola, Bartolome Leonardo de. 1609. Conquista de las Islas Malucas. Madrid: Alonso Martin.

§  Bastiaans, J. 1938. Het verbond tusschen Limbotto en Gorontalo. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 78: 215–247.
———. 1939. Batato’s in het oude Gorontalo, in verband met den Gorontaleeschen staatsbouw. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 79: 23–72.

§  Bestuursvergadering van Dinsdag 4 November 1890. Notulen van de Algemeene en Bestuurs-vergadering van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 28: 113–122.

§  Brilman, Daniël. 1938. De zending op de Sangi- en Talaud-eilanden. Hoenderloo: Zendingsstudie-raad.

§  Colin, P. Francisco. 1663. Labor evangelica: Ministerios apostolicos de los obreros de la Compañia de Iesus, fundacion, y progressos de su provincia en las islas Filipinas, 3 vols., 1900–1902, ed. by P. Pablo Pastells. Barcelona:
Henrich y Compañía.

§  Correspondencia de Don Gerónimo de Silva con Felipe III, D. Juan de Silva, el Rey de Tidore, y otros personajes, desde Abril de 1612 hasta Febrero de 1617, sobre el estado de las Islas Molucas. 1868. In Colección de Documentos Inéditos para la Historia de España LII, ed. by Marques de Miraflores and D. Miguel Salva, pp. 5–443. Madrid: Imprenta de la viuda de Calero.

§  Cortesão, Armando, trans. and ed. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires: An account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512–1515, 2 vols. London: Hakluyt Society.

§  Costa, H. de la. 1958. The voyage of Saavedra to the Philippines, 1527–1529. Bulletin of the Philippine Historical Association 4: 1–12.

§  Dagh-Register gehouden in ’t Casteel Batavia. 1642–1682. 31 vols., 1896– 1931, ed. by J. A. van der Chijs, H. T. Colenbrander, W. Fruin-Mees, F. de Haan, J. E. Heeres, and J. de Hullu. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff;
Batavia: Landsdrukkerij; Batavia: G. Kolff.

§  Dam, Pieter van. 1701. Beschrijvinge van de Oostindische Compagnie, 4 pts., 7 vols., 1929–1954, ed. by F. W. Stapel and C. W. Th. Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

§  Delden, A. J. van. 1844. De Sangir-eilanden in 1825. Indisch Magazijn 1 (4–6): 356–383; 1 (7–12): 1–32.

§  Dijk, L. C. D. van. 1862. Neêrland’s vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-archipel, Cambodja, Siam en Cochin-China. Amsterdam: J. H. Scheltema.

§  Elias, H. B. [1973]. Sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia dipulau Siau. [Manado]: Markas Cabang Legiun Veteran R.I. Kotamadya Manado.

§  Fraassen, Ch. F. van. 1987. Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel; van soa-organisatie en vierdeling: Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië, 2 vols. Doctoral thesis, Rijksuniversiteit te Leiden.

§  Godée Molsbergen, E. C. 1928. Geschiedenis van de Minahassa tot 1829. Weltevreden: Landsdrukkerij.

§  Graafland, [N.] 1868. De Manadorezen. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 15: 382–393.

§  Heeres, J. E., and F. W. Stapel, eds. 1907–1955. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, 6 vols. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

§  Henley, David E. F. 1992. Nationalism and regionalism in a colonial context: Minahasa in the Dutch East Indies. Ph.D. diss., The Australian National University.

§  Hustaart, Jacob. 1656. Schriftelijk vertoog van den tegenwoordigen staat der vereenigde nederlandsche oostindische comp:e in’t gouvernement der moluxe eijlanden sodanig als ’t selve door den gouverneur jacob hustaart aan den E:H:r simon cos getransporteert werd. Western manuscripts collection, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden.

§  Jacobs, Hubert, ed. 1974–1984. Documenta Malucensia, 3 vols. Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu.

§  Laarhoven, Ruurdje. 1989. The Maguindanao sultanate in the 17th century: Triumph of Moro diplomacy. Quezon City: New Day.

§  Murillo Velarde, P. Pedro. 1749. Historia de la provincia de Philipinas de la Compañia de Jesus; segunda parte, que comprehende los progresos de esta provincia desde el año de 1616 hasta el de 1716. Manila: D. Nicolas de la Cruz Bagay.

§  Navarrete, Don Martin Fernandez de, ed.. 1825–1837. Colección de los viages y descubrimientos, que hicieron por mar los Españoles desde fines del siglo XV, 5 vols. Madrid: Imprenta Real/Nacional.

§  Noorduyn, J. 1983. De handelsrelaties van het Makassaarse rijk volgens de Notitie van Cornelis Speelman uit 1670. Nederlandse Historische Bronnen uitgegeven door het Nederlands Historisch Genootschap 3: 97–124. Amsterdam: Verloren.

§  Olivier, J., Jz. 1834–1837. Reizen in den Molukschen archipel naar Makassar, enz. in het gevolg van den gouverneur-generaal van Nederland’s Indië, in 1824 gedaan, 2 vols. Amsterdam: G. J. A. Beijerinck.

§  Padtbrugge, Robertus. 1866. Beschrijving der zeden en gewoonten van de bewoners der Minahasa [1679]. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 13: 304–331.

§  Pastells, P. Pablo. 1936. Historia general de Filipinas. In Catálogo de los documentos relativos a las Islas Filipinas existentes en el Archivo de Indias de Sevilla, vol. 9, ed. by D. Pedro Torres y Lanzas and D. Francisco Navas del
Valle. Barcelona: [Imprenta de la viuda de L. Tasso].

§  Pérez, P. Lorenzo, O.F.M. 1913–1914. Historia de las misiones de los Franciscanos en las islas Malucas y Célebes. Archivum Franciscanum Historicum 6: 45–60, 681–701; 7: 198–226, 424–446, 621–653.

§  Prentice, Jack. 1989. Manado Malay: Product and agent of language change. Paper for a symposium on contact-induced language change, Comparative Austronesian Project, Research School of Pacific Studies, The Australian
National University, Canberra, 26 August–1 September 1989.

§  Ptak, Roderich. 1992. The northern trade route to the Spice Islands: South China Sea–Sulu Zone–North Moluccas (14th to early 16th century). Archipel 43: 27–55.

§  Riedel, J. G. F. 1869. Het oppergezag der vorsten van Bolaang over de Minahasa. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van NederlandscheIndië 17: 505–524.
———. 1870. De landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola, of Andagile: Geographische, statistische, historische en ethnographische aanteekeningen. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 19: 46–153.
———, ed. 1872. De Minahasa in 1825. Bijdrage tot de kennis van NoordSelebes [by J. Wenzel]. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 18: 458–568.

§  Schouten, Mieke. 1988. The Minahasans: Eternal rivalry. In Indonesia in focus: Ancient traditions, modern times, ed. by Nico de Jonge, Vincent Dekker, and Reimar Schefold, pp. 116–121. Meppel: Edu’ Actief.

§  Schouten-Patuleia, Maria Johanna C. 1992. Heads for force: On the headhunting complex in Southeast Asia and Melanesia. Anais Universitários da Universidade da Beira Interior 3: 113–129.

§  Schwarz, J. Alb. T. 1908. Tontemboansch–Nederlandsch woordenboek met Nederlandsch–Tontemboansch register. Leiden: E. J. Brill.
———, ed. 1907. Tontemboansche teksten, 3 vols. Leiden: E. J. Brill.

§  Stapel, F. W. 1922. Het Bongaais verdrag. Doctoral thesis, Rijksuniversiteit te Leiden.

§  Steller, E. 1866. De Sangi-archipel. Jongelings-Vereeniging tot Ondersteuning der Zendingzaak met Christelijke Lectuur en Schoolbehoeften. Amsterdam: H. de Hoogh.

§  Stokking, Fr. Sigfridus. 1931. De missies der minderbroeders op de Molukken, Celebes en Sangihe in de XVIe en XVIIe eeuw. Collectanea Franciscana Neerlandica 2: 499–556. ’s-Hertogenbosch: Teulings.

§  Supit, Bert. 1986. Minahasa dari amanat Watu Pinawetengan sampai gelora Minawanua. Jakarta: Sinar Harapan.

§  Tiele, P. A. 1877–1886. De Europeërs in den Maleischen Archipel. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië 25: 321–420; 27: 1–69; 28: 261–340, 395–482; 29: 153–214; 30: 141–242; 32: 49–118; 35: 257–355.

§  Tiele, P. A., and J. E. Heeres, eds. 1886–1895. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, 3 vols. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

§  VOC [Verenigde Oostindische Compagnie]. n.d. VOC overgekomen brieven en papieren, Algemeen Rijksarchief, The Hague.

§  Volkstelling 1930, 8 vols. 1933–1936. Batavia: Departement van Economische Zaken.

§  Watuseke, F. S. 1956. Kata-kata Ternate dalam bahasa Melaju-Manado dan bahasa-bahasa Minahasa. Pembina Bahasa Indonesia 9 (6): 107–110.
———. 1972. Tondanose raadsels. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128: 330–336.
———, and W. B. Watuseke-Politton. 1981. Het Minahasa- of Manado-Maleis.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 137: 324–346.

§  Wessels, C. 1933. De katholieke missie in Noord-Celebes en op de Sangieilanden, 1563–1605. Studiën: Tijdschrift voor Godsdienst, Wetenschap en Letteren 65: 365–396.
———. 1935. De katholieke missie in de Molukken Noord-Celebes en de Sangihe-eilanden gedurende de Spaansche bestuursperiode 1606–1677. Historisch Tijdschrift, no. 3. Tilburg: Henri Bergmans.

§  Wilken, N. P., and J. A. Schwarz. 1867. Allerlei over het land en volk van Bolaang Mongondou. Mededeelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap 11: 284–400. 

  • Wouden, F. A. E. van. 1941. Mythen en maatschappij in Boeol. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 81: 333–410.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar