Kamis, 04 Juli 2019

Potong Kepala, Pembantaian dan Genjatan Senjata di Gugusan Amboina : 1500 – 1700


(bag 1)

Oleh Gerrit J Knaap 


Penerjemah : Kutu Busu

Pengantar
           
            Sejarahwan Belanda, Gerrit J Knaap dikenal banyak menulis kajian tentang sejarah awal VOC di Maluku, khususnya di kepulauan Ambon dan sekitarnya.
Kali ini, Knaap menulis artikel yang kaya informasi tentang praktek-praktek pengayauan orang-orang Ambon dan Alifuru sebelum kedatangan bangsa Eropa, hingga praktek itu digunakan oleh bangsa Eropa untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tanah Ambon. Artikel itu berbahasa Inggris dengan judul “memukau” dan “menarik perhatian” yaitu Headhunting, Carnage and Armed Peace in Amboina, 1500-1700. Artikel ini dimuat dalam Journal of the Economic and Social History of the Orient pada volume 46, nomor 2, halaman 165 hingga 192, yang diterbitkan pada tahun 2003.  Jurnal pada volume itu diberikan judul besar Aspect of Warfare of Pre Modern Southeast Asia atau Aspek-aspek peperangan di Asia Tenggara pada masa pra modern.
Kata pengayauan mungkin masih “asing” ditelinga kita. Namun jika kata itu di “sederhanakan” dalam khazanah sejarah sosial orang Maluku, khususnya Ambon-Lease dan sekitarnya yaitu, praktek potong kepala/kapala..... maka kita pasti lebih familiar dengan kata itu.
Sejak masa kecil, para orang tua kita sering menyebut kata-kata itu ditelinga, baik untuk tujuan “menakuti” agar kita tidak berkeliaran... atau mungkin tanpa disadari untuk menyampaikan suatu tradisi tua yang dilakukan para leluhur, yang masih mengendap di dalam kepala.
Berbekal arsip-arsip VOC, Knaap mencoba mengkaji fenomena itu, sebuah fenomena yang telah dilakukan oleh orang-orang Ambon dan Alifuru pada masa pra modern hingga awal modern saat berperang. Praktek-praktek itu tetap ada, dilestarikan dan bahkan digunakan oleh Portugis atau VOC (Belanda) untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tanah raja-raja. Selain menggunakan arsip-arsip VOC, Knaap juga menggunakan literatur lain untuk mengkaji fenomena itu serta aspek-aspek peperangan diberbagai tempat lainnya sebagai perbandingan dalam kajiannya. 

Gerrit J Knaap


            Menarik untuk membaca artikel yang lumayan “berat” ini, sebagai langkah awal kita untuk memahami proses sosial para leluhur kita dimasa lalu. Proses sosial yang dilakukan oleh para leluhur kita saat “meresponi” peristiwa yang menjadi ancaman buat mereka dari negeri-negeri tetangga, maupun respon mereka menghadapi orang asing yaitu bangsa Eropa.
Bersandar pada tujuan itulah, maka kami memberanikan diri untuk menerjemahkan artikel ini. Pembacaan artikel-artikel “berat” dengan menggunakan bahasa ibu, mungkin terasa lebih “santai” jika dibandingkan membaca dalam bahasa aslinya.
Penerjemahan artikel ini, kami buat “sesantai” mungkin agar bisa dinikmati dan dicerna, meski harus diakui hal itu beresiko pada makna yang  “tidak sama/sesuai” dengan maksud penulisnya. Meski bahasa yang kami lakukan “sesantai” mungkin, namun kami juga berusaha agar terjemahan yang “ringan” itu, tidak terlepas dari konteks besarnya
Atas keterbatasan itulah, maka “tafsiran baru” dari kami atas artikel itu, merupakan sepenuhnya tanggungjawab kami.
Pada naskah aslinya, artikel ini terdiri dari 28 halaman dimana 26 halaman adalah isi artikel dan 2 halaman sisa berisikan bibliografi.
Perlu juga dijelaskan, bahwa Knaap tidak memberikan catatan kaki pada artikelnya, jika ia mengutip informasi dari berbagai literatur atau arsip-arsip, ia menggunakan tanda kurung yang didalamnya ditulis darimana kutipan itu berasal..... misalnya ia menulis (Valentyn 1724 : 72-74) maksudnya adalah kutipan yang Knaap gunakan berasal dari (buku) Francois Valentyn yang terbit tahun 1724 pada halaman 72-74 pada buku itu.

            Jika ada catatan kaki, maka itu berasal dari kami, yang tujuannya agar pembaca diberikan penjelasan lebih lanjut, sehingga pembaca bisa lebih jauh memahami maksud dari penulisnya. Selain itu, kami membagi artikel ini menjadi beberapa bagian yang akan diposting secara bersambung dan berkala.
Semoga artikel yang informatif ini memberikan wawasan kesejarahan bagi kita semua. Selamat membaca.....

Abstraksi :
Meskipun tersedia sumber-sumber yang melimpah, para sejarahwan tentang sejarah Maluku, hanya sedikit  memberikan perhatian kepada sejarah militerisme.
Perang laut pada dasarnya adalah perang “senyap” yang bertumpu pada kekuatan hongi yang berlayar ke wilayah pantai para musuh, dan menghancurkan desa-desa/negeri di wilayah itu. Sementara itu,  perang darat umumnya terdiri dari aksi “potong kepala” atau perburuan kepala manusia (pengayauan).
“Gangguan-gangguan” dari bangsa Eropalah yang membawa perubahan pada pola umum ini.
VOC (Veerenigde Oost –Indie Compagnie) mengadopsi dan mengembangkan pelayaran hongi ini, yang berisikan perahu perahu orang lokal dan beberapa kapal bangsa Eropa. Namun, hal ini tidak efektif pada fase perang penaklukan wilayah, akhirnya penggunaan kekuatan ekspedisilah yang digunakan oleh VOC untuk “menggantikan” pola awal itu. Setelah “Pax Neerlandica” dimapankan, VOC menggunakan sistim pelayaran hongi kembali.

Dalam kata pengantar bukunya Warfare and Empires, yang menyajikan tentang konfrontasi orang Eropa dan orang pribumi pada periode modern awal, sang editor Douglas. M. Peers, mengemukakan proposisi bahwa kolonialisme dan perang saling berhubungan dan terkait erat. Meskipun sebagian besar sejarahwan pada umumnya menganut dan menerima gagasan umum ini, hanya beberapa saja yang menaruh perhatian pada tema-tema tertentu, seperti strategi dan taktik, faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan dalam pertempuran serta dampak perang bagi masyarakat yang terlibat didalamnya.
Lagipula, beberapa sejarahwan tampaknya sadar akan sebuah adagium “keunggulan/kemenangan sebuah kekaisaran/kerajaan sebagian besar ditentukan oleh (kekuatan) pedang” (Peers 1997 : xv, xx)

Historiografi  sejarah VOC juga kurang memberikan perhatian pada isu ini. Terasa cukup aneh, karena selama kehadirannya di wilayah Asia yang hampir mencapai 2 abad, hampir tidak ada tahun-tahun dimana VOC “beristirahat” dalam keterlibatannya dalam kekerasan di suatu tempat. Bahkan sekilas terlihat pada kekuatan armadanya, dimana VOC “memamerkan” armadanya membawa persenjataan, sementara sekitar setengah personelnya di wilayah Asia terdiri dari kaum militer.
Sejarahwan Reinout Vos juga berpendapat bahwa VOC sebenarnya memiliki 2 “wajah”, yaitu wajah pedagang yang lebih tampak diterapkan di kawasan Eropa dan wajah “penguasa” yang lebih tampak diterapkan di kawasan Asia dan Afrika Selatan (Gaastra 1991: 85-87, Vos 1993: 1) .
Sekali kapal-kapalnya mulai mengitari lautan Tanjung Harapan, VOC rupanya tidak hanya memasuki wilayah berbeda, namun juga mengubah “wajah dan perannya”.  
Kedua wajah itu sudah tersirat dalam piagam VOC ditahun 1602, dimana dinyatakan bahwa di wilayah-wilayah antara Tanjung Harapan dan Tanjung Hoorn, VOC memiliki kebebasan/kekuasaan untuk membuat perjanjian, membangun benteng, berperang dan berdamai atas nama Republik Belanda (Gaastra 1991: 20-23).


Realisasi piagam VOC itu dalam kenyataannya terlihat pada pelayaran pertama yang berkekuatan 12 kapal, yang dikirim oleh VOC dibawah komando Laksamana Steven van der Haghen. Pada tanggal 23 Februari 1605, armada ini “mengusir” bangsa Portugis di kepulauan Ambon, terkhususnya menaklukan benteng Nossa Senhora da Anunciada1, di tempat yang dewasa ini dikenal sebagai kota Ambon, di (provinsi) Maluku.
Dengan tindakan ini, VOC secara tak terelakan memperoleh status dan peran seperti sebuah negara, menjadi penguasa dari ribuan subjek, umumnya kebanyakan penduduk pulau Ambon, yang menganut agama Kristen.
Alasan utama VOC menganggap dirinya sebagai pihak penguasa adalah alasan komersial, dimana tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan konsesi maksimal dalam perdagangan dunia rempah-rempah asal Maluku, khususnya perdagangan cengkih.
Di Maluku, seperti halnya di banyak bagian dunia lainnya, perdagangan dan politik termasuk perang, saling berhubungan. Dalam konteks ini, perlu ditekankan bahwa jika VOC (Belanda) tidak mempersenjatai diri, mereka akan beresiko terusir oleh Portugis dari wilayah itu, bukan melulu hanya soal alasan perdagangan.
Sejak tahun 1580, Radja Spanyol juga menjadi penguasa Portugis. Saat kedua negera ini “bersatu”, Republik Belanda yang baru saja “didirikan” berjuang untuk merdeka dari kekuasaan Radja Spanyol. Oleh karena itu, pertikaian di wilayah Maluku, adalah pertikaian “lanjutan” antara kaum Katholik Iberian pada satu sisi dan kaum Protestan Eropa barat laut pada sisi yang lain (Knaap 1987a: 15-17, 1991:15).
Untuk mewujudkan impian mereka, dalam hal penguasaan pasar cengkih, VOC (Belanda) berusaha mati-matian untuk memonopoli pasokan komoditas berharga itu. Di wilayah yang baru ditaklukan itu, hal pertama yang dilakukan adalah memerintahkan atau “memaksa” subjek-subjek yang dikuasai mereka, untuk menyerahkan/ menjual semua cengkih yang diproduksi dengan imbalan sejumlah uang. Cengkih-cengkih yang diproduksi di wilayah-wilayah dimana VOC (Belanda) bukan penguasa, VOC melakukan “kontrak” atau perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, yang secara tegas menetapkan bahwa area-area ini akan mengirimkan seluruh produksi cengkih mereka ke pihak VOC secara eksklusif dengan harga yang telah diputuskan. Pihak VOC juga menjanjikan perlindungan pada pihak lain itu, jika terjadi “perlawanan” dari kaum Iberian (Portugis atau Spanyol – catatan tambahan dari kami).
Perjanjian dengan model seperti itu harus dilihat dari aspek-aspek peristiwa sebelumnya.
Selama paruh terakhir abad 16, Kesultanan Ternate yang merupakan penguasa utama kawasan Maluku, termasuk bagian barat kepulauan Ambon serta wilayah-wilayah merdeka yang berukuran “kecil” seperti Hitu, Hatuhaha (utara pulau Haruku) dan Ihamahu (Iha ) yang semuanya beragama muslim, telah terlibat dalam keadaan perang terus menerus melawan Portugis dan orang-orang Ambon kristen.
Meskipun kontrak/perjanjian ini dipahami dengan baik, skema rencana VOC ini tidak berlangsung mulus, karena ketidaksepakatan soal harga cengkih. Ketidaksepakatan ini, ditimbulkan oleh upaya pihak-pihak produsen, baik secara individu maupun kelompok, yang lebih suka menjual cengkih mereka kepada penawar tertinggi, daripada kepada pihak VOC.
Untuk menegakan perjanjian yang telah dibuat, VOC terpaksa melakukan kekerasan, yang sejak  tahun 1624 hingga 1658 mengakibatkan serangkaian konflik bersenjata, yang secara umum disebut sebagai “Perang Ambon” (Knaap 1987a: 17-23, 1992a: 11-12)

Seperti halnya Portugis, VOC (Belanda) biasanya berperang dibantu oleh orang-orang kristen Ambon. Namun pada tahun tertentu  yaitu 1637-1638, VOC berada di ambang kehilangan segalanya, bahkan orang-orang Ambon kristen berbalik melawan dan memusuhi VOC (Belanda) dalam bentuk penyerangan-penyerangan ke pihak VOC.
Anthonie van Diemen,  Gub Jend VOC (1636-1645) bereaksi terhadap situasi ini, dengan memimpin ekspedisi besar-besaran ke daerah tersebut.
Pada periode 1640an dan 1650an, akhirnya VOC berhasil menaklukan daerah-daerah merdeka di kepulauan Ambon, juga wilayah-wilayah kekuasaan kesultan Ternate yang dicap sebagai pihak  “pemberontak” melalui perang yang sering diasumsikan sebagai ciri-ciri perang total.
Ketika debu dan panasnya perang telah usai, tindakan monopoli produksi cengkih benar-benar diterapkan dalam realita, yang selanjutnya terjamin oleh tindakan “gencatan senjata” (Knaap 1987a: 22-27, 1992b: 7-20).


Artikel ini membahas bentuk-bentuk peperangan yang terjadi di kepulauan Ambon pada periode awal hingga tahun 1700. Kajian pertama adalah melihat bagaimana cara-cara orang-orang Ambon sendiri  berperang sebelum kedatangan orang Eropa. Dalam perang tradisional, aksi potong kepala atau pengayauan adalah bentuk yang paling mendasar/ utama.
Pemaparan tentang hal itu dilakukan, untuk mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dibawah pengaruh Portugis dan Belanda (VOC), yang digunakan dalam peperangan intensif sekitar 100 tahun terakhir.  Sebelum kedatangan orang Eropa, aksi-aksi perang “laut” adalah elemen penting dalam pertikaian antar wilayah (negeri). Instrumen paling penting dari jenis perang model ini adalah kora-kora, sejenis perahu bercadik (perahu bersemang). Kumpulan kora-kora dalam skala yang lebih besar, biasanya disebut sebagai hongi.
Para penguasa kolonial juga menggunakan hongi sebagai instrumen perang.
Kajian khusus akan difokuskan pada aspek pengorganisasian dari proses tersebut. Pada akhir artikel, perkembangan-perkembangan yang serupa di wilayah lain kepulauan “Nusantara” juga akan “ditampilkan”. Akhirnya pertumbuhan militer dan angkatan laut akan dievaluasi dengan latar belakang diskusi yang lebih luas dalam literatur-literatur kesejarahan tentang perang moderen awal di tingkat global.  

Perang Tradisional di Ambon

            Pada tahun 1621, Artus Gijsels, bekas2 Opperhoofd ( pemimpin pos dagang) di Hitu  yang nantinya akan menjadi Gubernur VOC Ambon (1631-1634) memberikan informasi berharga soal perang tradisional. Ia menjelaskan bahwa banyak perang yang terjadi, umumnya terdiri dari aksi-aksi “perang laut” menggunakan kora-kora.  Tujuan dari aksi-aksi ini, tidak bertujuan utama untuk menaklukan. Namun, tujuannya lebih kepada menjadikan musuh sebagai tawanan atau aksi  potong kepala terhadap para penduduk entah itu laki-laki, perempuan atau anak-anak. Kadang-kadang ekspedisi “maut” ini kembali pulang dengan kepala-kepala musuh sebagai hasilnya, yang dibawa pulang ke rumah oleh para “kapitan” dengan cara menggantung kepala-kepala tersebut pada pengait di bahu.
Sebelum ekspedisi “maut” itu dilakukan, mauweng atau shaman akan mengamati tanda-tanda (nanaku) untuk melihat apakah waktunya tepat untuk beraksi. Mauweng juga hadir di geladak kora-kora untuk “berkonsultasi” dengan dunia mistis sebelum kora-kora itu berlayar menuju pantai-pantai yang  tidak “bersahabat”.
Setiap kali armada kora-kora kembali pulang dengan kepala-kepala (hasil potong kepala) serta para tawanan , para kapitan akan disambut dengan sukacita.  Kadang-kadang yang terjadi adalah beberapa tawanan ditempatkan pada dasar kora-kora, kepala mereka dipenggal saat kora-kora sedang berlayar pulang. Kepala-kepala tersebut diletakan di Baileu, rumah adat di desa/negeri itu. Sisa tawanan lainnya, selanjutnya dijual kepada penawar tertinggi untuk membayar biaya ekspedisi itu. Para pengikut dalam ekspedisi itu tidak menerima kompensasi apapun untuk keikutsertaan mereka. Faktanya, keikutsertaan mereka dalam ekspedisi demikian, tidak hanya karena itu merupakan kesempatan mereka untuk memperoleh respek dan status dalam perang dan atau juga puja-puji atas kerja mereka terhadap barang rampasan, tetapi juga karena seluruh usaha itu adalah bagian dari kewajiban pengabdian terhadap suatu komunitas dan pemimpinnya. 

Kora-kora van Titaway, biasanya dinaiki oleh Gubernur van Ambon

Setiap laki-laki yang ikut serta, akan membawa bekal dan air minum sendiri-sendiri. Saat perbekalan telah habis digunakan, semuanya akan berlabuh di suatu tempat untuk menebang pohon sagu dan mengolahnya untuk membuat bubur papeda (Knaap 1987b: 53-55).
Saat di laut, pemimpin sebuah negeri, umumnya menggunakan gelar orang kaija, duduk di bagian yang lebih tinggi, yang terletak ditengah-tengah kora-kora, dikelilingi oleh  orang-orang penting dan para kapitan dari komunitas itu. Dekat tangga atau bangku yang terletak diantara cadik (semang), duduk orang-orang yang bertugas sebagai pendayung. Selain penggunaan kekuatan manusia untuk mendayung, perahu juga bisa berlayar oleh bantuan layarnya sendiri. Layar pada perahu terhubung pada tiang perahu yang “berkaki tiga”.
Para pendayung di kora-kora hanya memiliki sedikit peralatan perang dibandingkan para kapitan. Senjata-senjata yang dimiliki oleh tiap orang terdiri dari pelindung (salawaku), pedang (parang) dan tombak. Ada 2 tipe tombak, yaitu tipe assagai, yang terbuat dari besi, kayu dan rotan, yang dilempar dengan arah langsung, serta tipe kaluway (kalawai), yang dibuat dari rotan dengan ujung-ujung berduri yang berasal dari tulang-tulang hewan. Kaluway (kalawai) dilempar 3 hingga 5 kali pada waktu tertentu, bergerak langsung ke arah udara, “melintasi” alur melengkung hingga mengenai musuh.
Pada awal abad ke-17,  beberapa orang juga memiliki roers, perangkap/kurungan, yang diperoleh dari “ABK” kapal-kapal VOC (Belanda). Meskipun orang-orang Ambon juga mahir menggunakan senjata, mereka seringkali kurang disiplin dalam “menjaga/merawat” peralatan itu. Hal ini boleh jadi merupakan satu alasan mengapa Gijsels menyimpulkan bahwa para kapitan Ambon lebih suka berperang menggunakan parang dan salawaku daripada menggunakan senjata. Orang-orang Ambon juga ternyata lebih suka pada penggunaan morion (tipe sejenis helm), yang kadang diperoleh dari orang-orang Eropa. Disamping senjata dan morion dari Eropa, kora-kora umumnya juga membawa/mengangkut swivelguns tembaga bermutu kurang bagus, yang diimpor dari Jawa. Tiap kora-kora memiliki peralatan itu, yang disesuaikan menurut ukurannya, satu, dua atau tiga peralatan itu ditempatkan di dasar perahu, buritan atau ditengah-tengah kora-kora. Oleh karena terjadi beberapa kali insiden dengan swivelguns, orang-orang Ambon enggan menggunakannya.
Gijsels dalam pendapatnya tentang hal ini, dari sudut pandang orang-orang Eropa, adalah lebih baik jika orang-orang Ambon memiliki 10 swivelguns daripada memiliki satu senjata matchlock. Di negeri Hitu, orang-orang Ambon yang memiliki meriam-meriam yang lebih berat, misalnya meriam-meriam tembaga berukuran 6 hingga 8 kaki “bermoncong dua” yang memuntahkan peluru seberat 2 pon. Gijsels juga menyebutkan bahwa tombak-tombak asal Jawa dan Portugis adalah bagian dari sistim pertahanan kora-kora (Knaap 1987b: 55-58).

Selama akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, banyak negeri diwilayah pesisir pulau Ambon menjadi bagian dari federasi (uli) dan atau tetap berbentuk seperti awalnya. Hasil dari “penggabungan” ini adalah kora-kora yang berasal dari beberapa negeri itu membentuk hongi.
Setelah  Portugis bisa berkuasa, mereka juga “mengorganisir” sistim pertahanan diri sendiri dengan prinsip-prinsip yang sama. Ketika VOC juga berkuasa di wilayah itu, mereka melanjutkan institusi hongi tersebut.
Dalam tahun 1607, pelayaran hongi pertama dibawah komando VOC diluncurkan untuk melakukan patroli. Bagaimanapun juga, hongi memiliki keterbatasan. Kora-kora adalah instrumen perang yang hanya cocok digunakan untuk wilayah pesisir, bukan untuk peperangan di laut lepas, yang mana harus “beradaptasi” dengan cuaca buruk. Disisi lain, rancangan dasar kora-kora yang tidak dalam--- kora-kora (pada dasarnya dibuat besar dan bercadik), sangat cocok untuk digunakan dalam aksi-aksi “senyap” dalam perang laut.
Panjang kora-kora umumnya antara 24 hingga 30 meter, lebar antara 4-5 meter, serta “penumpang” antara 50-90 orang didalamnya, tidak perlu imajinasi besar untuk menyadari bahwa kondisi itu terlalu padat (Knaap 1987a: 10-12, 147, 154, 199).
Dalam laporan pertamanya tentang Ambon, Steven van der Haghen sang penakluk itu, telah menekankan kewajiban “orang-orang taklukan” untuk membantu Gubernur dalam ekspedisi perang baik di darat maupun laut. Menurut perkiraanya, kekuatan hongi milik penduduk lokal dan sekutu-sekutu  VOC bersama-sama, mungkin sekitar 30 hingga 40 kora-kora. Jumlah orang/penduduk yang dibutuhkan antara 4000 hingga 5000 orang. Perhitungan ini mungkin agak sedikit berlebihan, informasi yang lebih terperinci dikemudian hari mengungkapkan bahwa hanya dibutuhkan lebih mungkin antara 2000-3000 orang.
Kepala pedagang (coopman) Nicolaas Puyck3 yang menulis sekitar tahun 1612 dan menginformasikan tentang ketersediaan senjata di wilayah merdeka yaitu Hitu. Diantara 700 laki-laki berbadan sehat, ada 150 orang yang menggunakan senjata/senapan.
Seperti Gijsels sebelumnya, Puyck juga memperkirakan bahwa kora-kora dapat diperlengkapi dengan 2 atau 3 swivel guns, terkadang juga dengan falconet (meriam ringan) serta biasanya ada 4 hingga 12 buah tipe matchlock (Knaap 1987a: 150 -154, 1987b: 3-4, 12-13).
Inilah “model” perang di sepanjang pantai antara para penduduk yang umumnya disebut orang Ambon oleh bangsa Belanda. Di pedalaman pulau-pulau yang lebih besar, khususnya pulau Seram, kondisinya agak berbeda.
Secara umum, penduduk di pulau Seram tidak dikategorikan sebagai orang Ambon tetapi disebut Alifuru.  Orang-orang Alifuru adalah kaum pemburu, pengumpul semi/setengah nomaden dan petani yang menghuni wilayah pegunungan tertutup rimba raya. Mereka dianggap “kurang beradab” daripada orang-orang Ambon.  
Alifuru yang animisme adalah penganut setia aksi potong kepala (pengayauan). Setiap momen penting dalam siklus hidup komunitas Alifuru, misalnya pembangunan Baileu, inisiasi anak laki-laki dan perempuan untuk mencapai kedewasaan, membutuhkan pertumpahan/percikan darah. 

Fase baru dalam kehidupan komunitas atau klan itu, membutuhkan pengorbanan kehidupan manusia lain. Dalam konsepsi animisme, hidup dan mati saling terkait erat. Memahami hal ini, tidaklah aneh bahwa pulau Seram berada dalam situasi perang yang terus menerus/permanen, dimana masing-masing negeri terus siaga.
Negeri-negeri itu sendiri membentuk aliansi yang lebih “longgar” yang pada gilirannya merupakan bagian dari klasifikasi klan seluruh komunitas yang lebih besar, yang dapat dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu Patasiwa dan Patalima.
Patasiwa dan Patalima saling bermusuhan atau musuh bebuyutan. Untuk menciptakan dan menata kedamaian dan ketertiban diantara negeri-negeri mereka sendiri yang sering berperang, kelompok Patasiwa yang berada di Seram bagian barat memiliki institusi yang mirip dimiliki oleh Negera Jerman pada abad pertengahan, atau Polish Diet (Knaap 1987a: 60-61, 73-75, 1993: 252-256).

Pendeta Francois Valentyn, yang menulis pada awal abad ke-18, memberikan deskripsi rinci tentang cara berperang kaum Alifuru. Ia juga menyatakan aksi potong kepala/perburuan kepala (pengayauan) diikuti/dilakukan oleh sekitar 8 hingga 10 orang pria berusia muda, yang biasanya pergi selama berminggu-minggu bahkan hingga berbulan-bulan.
Ternyata, tujuannya bukan hanya sekedar menangkap penduduk negeri-negeri tetangga disekitar mereka. Cara yang lebih disukai, adalah memotong kepala/berburu kepala di negeri-negeri yang jauh. Sekali lagi, korbannya tidak penting apa itu pria, wanita, berusia tua atau muda.
Para pemotong kepala itu dapat menyamar dan bersembunyi dalam hutan, serta menyerang orang-orang yang berjalan sendirian dari belakang menggunakan tombak. Orang-orang yang terluka ini, kemudian dibunuh dan kepalanya dipotong, kemudian bergegas pulang kembali ke negerinya dan diterima dengan sambutan sukacita. Ini merupakan model yang ideal, tetapi kadang-kadang kelompok itu bertemu dengan kelompok lain, dan bertempur sehingga mengakibatkan beberapa orang terluka bahkan terbunuh. Selain pertempuran berskala “kecil” seperti itu, peperangan yang terjadi di Seram bagian barat juga melibatkan pertempuran dengan kelompok yang lebih besar, yang terdiri dari 100 orang atau lebih.
Satu atau seluruh negeri diserang karena konflik antar para pemimpin negeri, pertikaian soal kepemilikan/batas tanah, atau bahkan soal kepemilikan jimat magis.
Saat kelompok pemotong kepala itu mencapai batas negeri pemukiman dari musuh, dan tanda dari jimat memberikan “penanda baik”, maka 3 atau 4 kapitan akan menerobos masuk. Jika mereka berhasil, yang lain akan ikut menerobos dan bertempur, jika tidak berhasil, maka mereka akan mundur secara teratur (Valentyn 1724 : 72-74, 81-82).
Kesaksian yang dinyatakan oleh Valentyn ini, membuktikan bahwa perang di Seram bagian barat tidak hanya melulu soal aksi perburuan kepala saja.
Catatan VOC (Belanda) yang melaporkan tentang konflik antar kelompok Alifuru sepanjang abad ke-17,  menyebutkan bahwa cara perusakan perkebunan yang sistematis, pembakaran dan “pengusiran” negeri-negeri, dilakukan untuk alasan sederhana yaitu memperoleh kekuasaan dan upeti oleh kelompok-kelompok yang terdiri dari 100 orang. Seharusnya tidak ada keraguan menerima fakta bahwa, para penduduk di negeri-negeri yang berada diwilayah pesisir yang disebutkan sebelumnya, peperangan berskala besar seperti itu, juga sering terjadi sebelum kedatangan bangsa Eropa. Salah satu contoh kasus seperti itu terjadi di pulau Ambon, yaitu penyerangan besar-besaran dan sangat masif dari beberapa negeri yang mengarah pada punahnya bagian-bagian dari federasi (uli) hunut. 


Valentyn juga menggambarkan senjata-senjata yang dimiliki oleh orang-orang Alifuru dan Ambon pada masa itu, yaitu awal abad ke-18. Kedua kelompok itu memiliki pedang berbilah lebar yang diimpor dari Tambuko Sulawesi, yang sering disebut parang, pedang yang serba guna. Kedua kelompok itu juga memiliki perisai (salawaku) dari bilah kayu berbentuk persegi panjang yang dihiasi dengan kerang-kerang, berukuran panjang/tinggi 3-4 kaki, dan lebarnya  1 kaki.
Di negeri-negeri wilayah pesisir, perisainya berupa lingkaran yang terbuat dari rotan dengan diameternya 2-3 kaki, termasuk hiasannya.
Di negeri-negeri pesisir yang “makmur” para kapitannya, menggunakan “helm” yang dihiasi bulu burung cendrawasih di kepala mereka. Orang Alifuru juga memiliki tombak sederhana yang terbuat dari bambu, serta dari kayu dengan besi diujungnya. Senjata terakhir ini, dalam sumber-sumber VOC (Belanda) disebut toraan. Orang Alifuru juga menggunakan busur panah besar untuk memanah menggunakan bambu  sebagai anak panahnya. Busur dan anak panah model itu, jarang dijumpai diantara orang-orang Ambon yang berdiam diwilayah pesisir.
Sebaliknya, menjelang akhir abad ke-17, mereka memiliki senapan dan snaphaunces. Meskipun pada kora-kora mereka, mereka memiliki swivel guns untuk menembakkan satu atau dua pound tembakan, persenjataan lebih berat tidak lagi ada/tersedia (Valentyn 1724 : 73, 182-183).

Lenyapnya artileri berat diantara para penduduk merupakan konsekuensi langsung dari perang Ambon. Penggunaan senjata adalah bagian dari penjelasan tentang kesuksesan VOC dalam meraih posisi berkuasa atau seluruh Nusantara, VOC dengan cerdik berusaha membatasi pasokan senjata ke penduduk pribumi semaksimal mungkin. Sejak tahun 1637, munculnya larangan penjualan senjata/senapa ke orang-orang Ambon, dan larangan penjualan (bubuk) mesiu disahkan pada tahun 1650. Tentu saja, larangan ini tidak diterapkan secara efektif. Ini menjelaskan mengapa pada tahun 1673, nampak bahwa negeri-negeri dekat kota Ambon, hunian orang-orang Ambon yang “dipercayai”, setiap “kelompok” yang terdiri dari 125 orang, masih terdapat 25 orang yang memiliki senjata, khususnya tipe matchlock (Knaap 1987a: 29-31)
Di wilayah itu, perang bersifat endemik, ditandai dengan perubahan secara perlahan pola aliansi dan munculnya permusuhan-permusuhan baru.
Hal ini membuat munculnya kekhawatiran melemahnya kelompok-kelompok yang terorganisir, federasi/gabungan (uli) dari negeri-negeri, yang dapat dianggap sebagai bentuk “asli/awal” dari sebuah “negara”, negeri-negeri “merdeka” dan bahkan bagian-bagian (lain) dari sebuah negeri. Kedamaian yang dibuat, atau pola aliansi harus disepakati diantara mereka satu sama lain, diantara masyarakat/penduduk animisme  itu, yang ditandai dengan keikutsertaan mereka secara sakral untuk melakukan janji dan sumpah yang dikenal dengan sebutan matakau.
Upacara sakral matakau itu dilakukan sebagai berikut :
Segumpal tanah, potongan emas misalnya cincin/gelang, sedikit garam yang melambangkan makanan, potongan-potongan bagian senjata misalnya, ujung pedang/parang, tombak, laras senjata dan peluru, semuanya dicelupkan dalam wadah yang berisikan air. Setelah itu “ramuan mistik” atau “komat-kamit mistik” disampaikan kepada yang supernatural serta airnya kemudian diminum oleh perwakilan-perwakilan penting dari kelompok-kelompok yang terlibat itu.

Idenya adalah bahwa siapa yang melanggar perjanjian akan tertimpa bencana atau dihukum, “dilukai” oleh setiap materi yang secara simbolis telah dimasukan kedalam wadah itu.
Kepercayaan pada kekuatan sumpah ini cukup kuat, yaitu yang melanggar akan menjadi kutukan bagi mereka. Selama abad ke-17, VOC mendapati  beberapa contoh bahwa diantara para pemimpin Alifuru berusaha untuk menghindari bersumpah seperti itu, mereka takut bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya memenuhi syarat-syarat perdamaian, misalnya jika dianggap tidak mungkin diterapkan perjanjian damai, karena penduduk mereka tidak akan bisa menerima semua itu.   
Secara bertahap sebagai bagian dari proses islamisasi, orang-orang muslim Ambon mulai bersumpah menggunakan Alquran  atau bersumpah “diatas” Alquran sebagai pengganti dari sumpah matakau (Knaap 1987a: 10-12, 60-62, 1987b: 51-53)
Kita juga bisa berasumsi bahwa orang-orang kristen Ambon juga akan meniru contoh ini, dan kemudian bersumpah menggunakan atau diatas Alkitab/Injil.

Dalam masyarakat tradisional Alifuru, isi perjanjian itu sendiri tidaklah tertulis. Sejauh perjanjian bersifat umum, semua orang yang hadir dalam perjanjian itu, pada akhirnya berfungsi sebagai saksi dari perjanjian itu.
Perjanjian itu seharusnya terdiri dari segala macam ketentuan secara terperinci, dengan kepercayaan bahwa daya ingatan orang akan  “memaksakan” dirinya untuk menerapkan semua itu (akibat takut) pada resikonya.  
Perjanjian tertulis diantara organisasi seperti negara terjadi antara Portugis di satu sisi dan para Sultan Ternate, Tidore dan Batjan disisi lainnya, pada paruh pertama abad ke-16.
Apakah perjanjian model ini juga terjadi diwilayah Ambon antara Portugis dengan “orang-orang Ambon taklukannya” belumlah diketahui. Sangatlah mungkin bahwa Portugis dan musuhnya yaitu kaum muslim Ambon membuat perjanjian tertulis untuk mengakhiri perang diantara mereka. Ketika VOC (Belanda) pertama kali tiba di Ambon, mereka mencoba untuk mencapai kesepakatan tertulis dengan para pihak yang mereka jumpai. Salah satunya adalah perjanjian pertama dengan Hitu pada tahun 1601, yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut ditandatangani dan disegel oleh para pemimpin Hitu, “menurut kebiasaaan kita sendiri” diatas Baileu.
Kesepakatan ini cukup sederhana, ini hanya menyangkut aliansi bersama melawan Portugis dan hak prerogatif dalam perdagangan. Pada perjanjian sebelumnya, orang-orang Hitu telah setuju untuk berdagang dalam hal mengirimkan semua cengkih (ke VOC) untuk pendirian garnisun mini milik VOC sebagai markas pertahanan melawan Portugis.
Sejak tahun 1605, perjanjian-perjanjian menjadi jauh lebih terperinci dan terdiri dari lebih banyak klausa/ketentuan.
Masyarakat lokal/pribumi seringkali adalah pihak yang kebebasan bergeraknya secara serius dibatasi oleh perjanjian-perjanjian ini, maka tidaklah mengherankan jika kekerasan sering muncul. (Heeres 1907: 12-14, 31-33, 58-61, Andaya 1993: 58)

-----Bersambung ----


Catatan Kaki :
1.                Nossa Senhora da Anunciada secara literal bermakna (benteng) Bunda Maria yang diwartakan kabar baik.....
              .merupakan nama asli benteng milik Portugis yang dibangun diwilayah pantai Honipopu, dekat Rodenberg (Batu Merah). 
              Benteng/kastil ini dibangun pada 23 Maret 1576 dimasa Kapten Sancho de Vasconcelos (1575-1590/awal1591) 
              menjadi pemimpin Portugis untuk wilayah Ambon dan sekitarnya.   Benteng ini sekarang lebih dikenal dengan nama benteng Nieuw Victoria. 
              Saat benteng ini ditaklukan pada tanggal 23 Februari 1605, oleh Belanda dibawah pimpinan Laksamana Steven van der Haghen, 
              namanya diganti menjadi Victoria yang berarti kemenangan.
  
2.                Knaap menggunakan kata the former chief-merchant yang kami terjemahkan sebagai bekas Opperhoofd...., 
               karena Gijsels menjadi Chief-merchant/Opperhoofd di Hitu pada tahun 1615 – 1618, 
              sehingga tahun 1621, otomatis Gijsels adalah bekas Opperhoofd. 
§  Lihat penjelasan karir Artus Gijsels oleh W.Ph Coolhas dalam 
Generale Missiven Gouverneur Generaal en Raad van Indie, eerste deel, hal 279, catatan kaki no 6
§  Informasi dari Artus Gijsels secara lengkap yang disebutkan oleh Knaap, yang didalamnya
 berisikan tentang perang tradisional orang Ambon dimuat oleh Knaap sendiri pada Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon.....
. terbitan Martinus Nijhoof, tahun 1987, halaman 20 – 77. Ulasan panjang lebar Artus Gijsels ini berjudul  
Grondigh verhael van Amboyna ende de dependentie ini pertama kali dipublikasi dalam Kroniek van het Historisch Genootschap 
 volume 28 tahun 1871, halaman 348-394, 397-444 dan 450-494

3.                Nicolas Puyck bertugas di Ambon dalam periode 1610-1614 sebagai seorang Opperkopman (Pedagang senior).
              Tahun 1612 yang disebutkan oleh Knaap adalah perkiraaan Knaap, karena tidak ada sumber yang secara eksplisit menyebut tahun Puyck. 
              Ulasan panjang dari Nicolas Puyck juga dimuat oleh Gerrit J Knaap dalam Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon......
              terbitan Martinus Nijhoof, tahun 1987, halaman 15 – 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar