Rabu, 10 Juli 2019

Potong Kepala, Pembantaian dan Genjatan Senjata di Gugusan Amboina : 1500 – 1700


(bag 3)

Oleh Gerrit J Knaap 

Penerjemah : Kutu Busu

Perdamaian dan “Kedamaian”

            Dengan berakhirnya Perang Besar Ambon pada tahun 1656/1658, area pusat di pulau Ambon memasuki masa damai yang panjang dan “abadi” dengan beberapa pengecualiaan hingga akhir abad ke-18. Pihak musuh yang selamat dari serangan gencar VOC dan honginya, yang tidak melarikan diri, melakukan kesepakatan damai untuk “kebaikan” generasi selanjutnya. Hal ini semacam “Pax Neerlandica” yang didasari pada “ketakutan/keterpaksaan” dan bukan karena sikap pura-pura untuk tunduk pada pihak pemenang. Dalam buku Kruidnagelen en Christenen, dinyatakan bahwa pada periode pasca 1656, otoritas VOC bertumpu pada 4 faktor, yaitu dominasi militer, pengendalian populasi, pemisahan  dan pengontrolan  serta pelaksanaan konsensus. Seperti disebutkan sebelumnya, dominasi militer bertumpu pada penguatan garnisun di benteng-benteng, pembatasan kepemilikan senjata api di tengah masyarakat. Pengontrolan dan “pengawasan” penduduk dilakukan melalui “permintaan” agar penduduk menghuni wilayah-wilayah dekat pantai daripada di lereng gunung atau di puncak bukit yang sulit di jangkau. Hal ini memudahkan VOC “mengeksekusi” apapun yang mereka inginkan. Unsur dari kegiatan pemisahan dan pengawasan tidak terlalu sulit diterapkan, karena persatuan orang-orang Ambon sulit terbentuk sebelum datangnya bangsa Eropa, bahkan terlihat jelas saat perang Ambon mencapai titik kulminasinya.
Dalam prakteknya, unsur terakhir yaitu pelaksanaan konsesus hanya mungkin dilakukan dengan bagian-bagian penduduk, khususnya dengan orang-orang Kristen. Dalam kasus ini, hal demikian menjelaskan “dasar” dari pemisahan agama. Ikatan rasa “senasib sepenanggungan” selanjutnya “diperkuat” oleh fakta bahwa VOC dan orang-orang Kristen seperti “bersaudara” selama perang Ambon. Unsur lain dari pelaksanaan konsensus difokuskan pada golongan elit, umumnya pemimpin-pemimpin negeri yang berani untuk setia/taat pada VOC adalah mengijinkan mereka dalam pengiriman cengkih dan pengangkatan status “mulia” dalam struktur negara kolonial. Hierarki status seperti ini dilandasi oleh pertimbangan penting atau tidaknya suatu negeri atau uli pada pelayaran hongi VOC1 (Knaap 1987a: 29-34, 1992b: 22-24)

Kora-kora van Titaway, biasanya dinaiki Gub van Ambon


Dalam konteks ini, haruslah diingat bahwa pada awal abad ke-17, VOC sangat bergantung pada kekuatan pelayaran hongi, khususnya yang dijalankan sendiri oleh penduduk, yang sebagian besar berasal dari pulau-pulau di gugusan Ambon seperti Haruku, Saparua dan Nusalaut. Sepanjang akhir 1620an dan awal 1630an, pelayaran hongi telah membantu VOC dalam memerangi musuh-musuhnya yang kian banyak. Oleh karena itu, frekuensi pelayaran hongi ditingkatkan. Inilah yang menyebabkan pemberontakan diantara orang-orang Kristen pada tahun 1636, kemudian diselesaikan oleh intervensi van Diemen. Pada kesempatan ini, van Diemen memutuskan untuk membatasi  jumlah-jumlah minggu maksimum pelayaran hongi untuk melayani VOC hanya 5 kali pertahun. Pembatasan ini berarti dalam kampanye perang menaklukan Hitu pada 1640an dan Hoamoal serta pulau-pulau di sebelah baratnya di tahun 1650, hanya bisa dimenangkan dengan bantuan pasukan ekspedisi dari Batavia. Setelah berakhirnya perang Ambon, menjadi hal biasa bagi VOC, pelayaran hongi hanya bertugas 1 bulan dalam setahun, dan lebih disukai pada bulan Oktober dan atau November. Bulan-bulan ini menandai pergantian musim penghujan, suatu periode yang cuacanya cukup baik. Setelah tahun 1656, pelayaran hongi secara lengkap atau kurang biasanya dilakukan oleh 46 atau 47 kora-kora dari total keseluruhan 60 buah kora-kora, hanya berlayar setiap 2 atau 3 tahun, bukan setiap tahun. Dalam periode-periode “tidak terlalu penting”, pasukan lebih kecil kadang-kadang dikirim sebagai alternatifnya, sedangkan kru hongi melakukan kerja menggali parit, membuat pagar, memecah batu karang atau membakar kapur untuk pembangunan kubu pertahanan/benteng. Pada periode ini, pelayaran hongi berukuran “super” atau hampir lengkap, jarang terlibat dalam aksi pertempuran apapun. Aktivitas utamanya adalah “menemani” atau “membawa” Gubernur VOC Ambon atau utusannya dalam tur inspeksi di sekitar pulau Seram atau di sepanjang pulau sebelah barat Seram. Dalam hal ini, tujuan paling penting dari mobilisasi pelayaran hongi adalah “pamer” kekuatan VOC (Knaap 1987a: 149-151, 1992b: 18). Sepanjang paruh kedua abad ke-17, peraturan tentang pelayaran hongi diformalkan dan distandarisasi dengan lebih rinci. Pada tahun 1650, “aturan tentang kora-kora” dikeluarkan, dengan menetapkan prosedur untuk perakitan, apa saja yang harus diangkut, jenis-jenis kompensasi yang diharapkan VOC dan akhirnya ketentuan tentang ukuran dan awak kapal. Setiap negeri atau gabungan negeri-negeri harus menanggung pembiayaan sebuah kora-kora. Gubernur dan sebagian besar fasilitasnya ditempatkan di kora-kora yang terbesar, kora-kora asal  negeri Titawai dari pulau Nusalaut2. Gubernur “dikawal” oleh sekitar 150 tentara VOC, yang ditempatkan di kora-kora negeri Kristen. 
Skuadron kora-kora Hongi Gubernemen Ambon tahun 1702

Kora-kora asal negeri Muslim, tidak ditumpangi oleh tentara orang Eropa, hal ini untuk mengurangi resiko “gangguan” antara orang-orang Kristen dan Muslim. Untuk memastikan tingkat kedisiplinan dalam pelayaran dan untuk mencegah kora-kora “berpisah” dari “lingkaran” pelayaran hongi, sebuah “aturan tentang hongi” dikeluarkan pada tahun 1671. Layanan diatas kapal dilakukan seperti semacam kewajiban “layanan kerja”. Orang-orang Belanda menyebutnya “hofdienst” yang secara harfiah berarti “layanan untuk pengadilan”. Setiap keluarga atau keluarga “besar” di suatu negeri, diwajibkan menyediakan pria-pria sehat, yang untuk itu, mereka mendapatkan imbalan yaitu berupa hak untuk mengelola tanah di negeri itu. Telah dihitung bahwa sekitar 11 hingga 12 persen penduduk yang secara teoritis, berkewajiban untuk melakukan pelayanan pada pelayaran hongi, baik sebagai pendayung atau sebagai “serdadu”. Namun, dalam praktiknya hanya lebih sedikit pria yang dibutuhkan. Ketika hongi benar-benar dijalankan, hanya 6 sampai 8 persen dari populasi di daerah-daerah yang dikuasi oleh VOC, berada “dilaut” selama 4 hingga 5 minggu. Itu berarti sekitar 1 dari setiap 14 penduduk, sedangkan perbandingannya dengan laki-laki dewasa, berarti 1 dari setiap 4 atau 5 orang. Di atas kapal, waktu dihabiskan hanya untuk bekerja, baik siang atau malam hari, tidak diatur dengan dengan tegas dan tepat. Rata-rata, jam kerja relatif panjang, antara 10 hingga 11 jam, kebanyakan untuk mendayung, tetapi kadang-kadang juga mengoperasikan layar. Kondisi penuh sesak dan kekurangan makanan, menyebabkan kesulitan cukup besar bagi mereka yang berada di kapal, terkhusus saat menjelang akhir pelayaran. Setelah tahun 1656, pelayaran hongi baik besar atau kecil, biasanya hanya digunakan untuk keperluan patroli atau pengawasan area saja. Aksi-aksi peperangan merupakan pengecualiaan dari yang diatur dalam aturan. Pengecualiaan yang dimaksud misalnya, pengiriman pelayaran hongi ke Seram Timur. Pada tahun 1659 ada 2 pelayaran, dan tahun 1660 ada 1 pelayaran hongi lengkap/besar yang dikirim untuk menyerang penduduk yang relatif terpencil di daerah ini, yang dengan keras menentang VOC dalam upaya VOC untuk membatasi perdagangan bebas antara penduduk Seram Timur dan Makassar. VOC berniat untuk mendirikan sebuah benteng di sana. 
Skuadron Kora-kora Hongi Gubernemen Ambon tahun 1702

Pembumihangusan negeri-negeri di tepi pantai dan menghancurkan kapal-kapal di tepi pantai atau laut lepas terbukti bukan masalah bagi hongi orang-orang Ambon pimpinan VOC. Kisahnya agak sedikit berbeda, pada aksi melawan kubu-kubu pertahanan musuh di wilayah pedalaman, yang juga bisa kalah dalam pertempuran dan selanjutnya menyerah pada orang-orang Seram Timur. Meskipun demikian, aksi-aksi destruktif dan pengepungan menyebabkan kesulitan dan kelaparan. Akhirnya mereka menyerah dan mengakui kekuasaan VOC, termasuk menerima pembatasan hubungan dagang mereka. Setelah menegaskan otoritasnya, VOC “bermurah hati” dan tidak lagi bersikeras untuk mendirikan benteng di wilayah terpencil ini. Namun demikian, aksi-aksi pelayaran hongi orang-orang Ambon selama tahun-tahun ini, telah menebarkan teror di “hati” penduduk Seram Timur. Dalam beberapa dekade setelah perdamaian terwujud, para penduduk masih “melarikan diri” dan mengungsi ke tempat lain, tempat yang lebih aman di pedalaman, jika kora-kora datang ke wilayah mereka. Terkadang sebagai tanda “kepatuhan dan kebaikan” para penduduk itu meninggalkan beberapa “hadiah” di tepi pantai (Rumphius 1910, 2: 124-131, 136-137, 141, Knaap 1987a: 150, 156). Pada periode setelah aksi melawan orang-orang Seram Timur, keberhasilan dalam beberapa aksi kekerasan tetap dilakukan selama hongi masih “berada” di laut. Sebuah contoh dari kasus ini, dapat ditemukan di Buru pada tahun 1680. Pada tahun itu, pasukan yang berkekuatan 10 kora-kora asal Sula, menuju sebuah wilayah di bagian utara gugusan Ambon, tiba di Buru untuk membangkitkan pemberontakan terhadap VOC. Hongi orang-orang Ambon yang berkekuatan 25 kora-kora dibawah komando VOC, dengan antusias menyerang kora-kora Sula itu, yang dengan mudah “terperangkap” di sebuah teluk. Atas keberhasilan ini, orang-orang Ambon yang dijanjikan mendapatkan jarahan dan memiliki tawanan perang, membunuh sekitar 200 orang Sula dan menawan 60 orang. Pengikut-pengikut pelayaran hongi yang tiba  dan jadi bagian dari “peserta” peperangan untuk menyerang kubu-kubu pertahanan, kadang-kadang persentasi kegagalannya mencapai 50 persen, seperti kasus di Seram Barat dan Tengah. 

Pasukan darat berkekuatan sekitar 1000 hingga 1500 serdadu, diantaranya sekitar 50 hingga 75 orang adalah tentara VOC, yang mudah dideteksi ketika mereka berjalan sepanjang jalan atau di sepanjang sungai-sungai kecil di hutan. Hal ini berartu bahwa unsur kejutan sama sekali tidak ada. Situasi ini diperburuk dengan fakta bahwa jalan setapak dan jalan di sungai-sungai kecil biasanya merupakan medan yang asing bagi para komandan. Selain itu, memiliki senjata juga tidak banyak berarti di lingkungan seperti ini, dimana musuh-musuh asal Alifuru bisa dengan mudah bersembunyi dan siap menyerang balik/menyergap. Masalah besar lainnya, adalah kesulitan membawa persediaan makanan dan air minum.
Faktanya, ukuran ideal suatu pasukan darat  yang mungkin memperoleh kesuksesan itu berkekuatan sekitar 500 hingga 600 orang, lebih kecil dari yang biasanya digunakan oleh VOC. Hal ini berarti bahwa komunikasi diantara pasukan tidak ribet dan penyediaan persediaan makanan dan air minum mudah diatur. Hal ini tidak terlihat oleh perintah dari orang-orang Eropa atau pemimpin asal Ambon, padahal faktor ini sangat menentukan hasil dari sebuah operasi (Knaap 1987a: 156 – 159)

Serangan Kerajaan Mataram ke Batavia tahun 1628, gambaran peperangan di abad 17
Perbandingan dan Pembahasan
 
               Di bagian utara, di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Maluku Utara, wilayah yang terdiri dari pulau-pulau seperti Ternate, Tidore, Halmahera, Bacan dan sebagainya, kondisinya kurang lebih sama dengan yang ada di Ambon. Penduduk  di wilayah –wilayah tepi pantai adalah bagian dari “bentuk negara” yang dipimpin oleh seorang Sultan, dan diantaranya adalah Ternate yang paling menonjol selama abad ke-16. Awalnya Sultan Ternate adalah sekutu Portugis, tetapi kemudian ia menjadi musuh utama Portugis. Ketika Belanda (VOC) pertama kali tiba di tempat itu dalam tahun 1599, Sultan Ternate dapat mengerahkan hongi yang berkekuatan 30 orang, dan mengangkut 1200 hingga 1800 orang/laki-laki. Kemudian, di abad 17, ketika Sultan Ternate menjadi “sahabat karib” VOC, ia harus memasok kora-kora ketika “diperintahkan” oleh VOC (Andaya 1993: 116, 132, 138, 187).
Di tempat lain di Nusantara dan Asia Tenggara, kondisi militer umumnya berbeda. Di wilayah timur Sulawesi, paradigma perang selalu bersifat perang “senyap”.
Pada tahun 1960an, Carlo Cipolla dalam studi klasiknya, Guns, Sails and Empire berpendapat bahwa Portugis di Asia pada awal abad ke-16 memiliki keunggulan artileri, khususnya di lautan. Kapal-kapal mereka, suatu kapal layar ukuran besar yang dikembangkan di Samudera Atlantik beberapa abad sebelumnya, daripada tipe galley yang dikemudi oleh para pendayung, yang sebenarnya sejenis dudukan untuk meriam. Kapal-kapal model itu, pada dasarnya adalah  seperti “perangkat” yang memungkinkan para kru yang relatif kecil untuk “menguasai” beratnya barang-barang itu, dalam memuluskan pergerakan dan penghancuran, suatu formula keunggulan orang Eropa atas orang-orang non Eropa. Dihadapkan pada ancaman Portugis dan kemudian dari kekuatan – kekuatan Eropa lainnya, sebagian besar negara-negera Asia berusaha memproduksi artileri sendiri, tetapi ini hanyalah produksi yang terbatas. 

Tipe jenis matchlock

Seperti yang dikatakan Cipolla : senjata –senjata Eropa selalu jauh lebih unggul daripada produk orang-orang non Eropa, dan keunggulan itu diakui secara umum. Namun demikian, Cipolla juga menekankan bahwa sebelum abad ke-19, supremasi kaum Eropa tidak meluas melampui daerah-daerah “daratan” karena kecilnya jumlah pasukan dan kurangnya artileri (Cipolla 1965: 81, 83, 109, 128, 137-138, 140). 15 tahun kemudian, Peter Marshall melengkapi argumen ini ketika ia menunjukan hal itu, bahwa dalam pertempuran sebenarnya selama periode awal modern, perbedaan dalam kekuatan antara orang Eropa dan Asia seringkali cukup kecil, dan bahwa tidak selalu orang Eropa itu unggul (Marshall 1980: 16-18). Dalam studinya yang terkenal tentang Revolusi Militer, Geoffrey Parker juga mengaitkan keunggulan Eropa di masa periode awal modern Amerika, sub Sahara Afrika dan Asia Tenggara melalui kualitas senjata dan efisiensi organisasi mereka. Dia berpendapat bahwa pada awal abad ke-17, Republik Belanda membangun angkatan laut pertama yang mampu beroperasi jarak jauh. Fregat berkapasitas 300 ton dapat membawa 40 meriam, adalah kapal standar yang ada di Belanda. Kemudian standar ukuran kapal ditingkatkan. VOC yang  lebih berorientasi ke Asia mengembangkan pola ini, dengan menggunakan kapal berburitan persegi untuk pelayaran dan aksinya. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal-kapal angkatan laut tetapi agak kurang dilengkapi dengan senjata. Hingga tahun 1640an, kapasitas rata-rata kapal antara 400 dan 500 ton. Kemudian ukuran kapal VOC rata-rata melebihi kapasitas ini. Di Asia Tenggara, musuh-musuh orang Eropa menyadari bahwa bagi para “pendatang baru” ini, perang adalah masalah membunuh daripada menjadikan musuh adalah tawanan. 

Tipe Snaphaunces

Menurut Parker lagi, dari semua bangsa Eropa yang tiba di Asia pada awal abad-abad ekspansi ini, VOC adalah yang paling siap terlibat dalam perang, paling tidak karena salah satu alasan didirikannya VOC adalah “menghancurkan” musuh-musuh Iberiannya (Portugis dan Spanyol). Di kalangan VOC di Asia, ada kepercayaan kuat pada adagium Gubernur Jend VOC Jan Pieterszoon Coen bahwa perdagangan yang menguntungkan tidaklah mungkin tercapai, kecuali jika dilakukan melalui “tindakan “ militer (Parker 1988: 99, 102, 115, 118, 132, 136, Bruijn, Gaastra dan Schoffer 1987: 38, 174).
Diantara sejarahwan-sejarahwan Asia Tenggara, Anthony Reid turut “bersuara” dalam perdebatan tentang keseimbangan militer. Dia berpendapat bahwa perang di Asia Tenggara berbeda dengan bagian-bagian di tempat lainnya, karena tenaga kerja adalah komoditas langka di wilayah ini. Oleh karena itu, perang terutama adalah soal mendapatkan tawanan daripada membunuh orang. Hal ini seperti cara yang ditawarkan, dimana “negara” dapat meningkatkan tenaga kerja dengan mengorbankan orang lain. Selain itu, respons paling umum terhadap agresi dari luar adalah “berlindung” sementara waktu di pedalaman atau hutan daripada mencoba mempertahankan kubu-kubu pertahanan atau terlibat dalam pertempuran sengit. Senjata-senjata yang dimiliki oleh petani atau rakyat jelata lainnya benar-benar “amatir” dalam suatu peperangan, yang mana situasi itu digunakan oleh kaum elit, dikerahkan hanya untuk menakut-nakuti bukan untuk saling membunuh. Beberapa “petarung” yang setia dapat diperbandingkan dengan pasukan “kejut”, umumnya membantu untuk “memperkenalkan” bentuk-bentuk penyerangan, jika bukan serangan bunuh diri, melakukan serangan langsung misalnya menyerang dengan lari bergerombol. Jika satu atau lebih dari “pahlawan-pahlawan” itu kehilangan “mental” berperangnya, seringkali terjadi pasukan mengambil manfaat dari “keraguan” itu. Menurut Reid, peperangan semacam ini seringkali tidak cocok untuk peperangan berskala lokal, tetapi relatif  lebih cocok bagi kelompok-kelompok bersenjata kaum Eropa. Kemenangan pada akhirnya itu “tidak diragukan” sebagai hasil dari “ kekejaman luar biasa” yang adalah hal biasa di wilayah mereka. Selama abad 15 dan 16, meriam dan senapan meskipun tidak terlalu efektif, namun telah diperkenalkan di Asia Tenggara dari Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur, dimana kadang-kadang diproduksi di Asia Tenggara sendiri. Namun di bidang senjata tangan, pengrajin lokal hanya mampu menghasilkan tipe matchlock. Negara-negara di kawasan itu juga lebih banyak tergantung pada kelompok-kelompok kecil tentara bayaran, yang khusus dilatih dalam penggunaan senjata.
Sekali Portugis muncul dengan kapal bermeriam mereka, penggunaan senjata yang efektif, dan kadang-kadang sistim perlidungan tubuh terhadap panah dan tombak, maka banyak penguasa Asia mengambil “manfaat” untuk mengadaptasi teknik dan persenjataan baru. Namun sebelum abad ke-19, adaptasi ini terbukti kurang berhasil dalam 2 hal, yaitu dalam hal adopsi artileri dalam perang laut dan dalam pembangunan benteng-benteng berbatu. Menjelang akhir abad ke-17, VOC telah menjadi kekuatan yang tak terkalahkan di Nusantara, karena kekuatan supremasi angkatan lautnya serta ketergantungannya pada pasukan profesional (Reid 1982: 1-5, 1988: 122-9, 1993: 219-224, 226-229).
               Banyak penulis yang telah bergelut dengan subjek ini, tidak “menyinggung” faktor teknologi sederhana sebagai hal yang menentukan dalam keseimbangan antara Eropa dan Asia. Leonard Andaya, misalnya mengingatkan kita bahwa banyak negara non Eropa, tidak memiliki sistim industri, keuangan dan birokrasi yang mapan untuk menghasilkan dan memelihara persenjataan jika dibandingkan dengan Eropa. Ia juga menekankan bahwa, pada pergantian abad ke-17 dan ke-18, Asia Tenggara menjadi semakin tergantung pada impor senjata dari Eropa, sedangkan pengrajin lokal tidak mampu “menemukan jawaban” dalam hal produksi masal meriam-meriam besi  dan mekanisme tipe flintlock untuk senjata tangan. Masalah itu diperparah dengan fakta bahwa teknologi lokal tidak pernah mampu menghasilkan bubuk mesiu dengan kualitas yang dibuat di Eropa (Andaya 1992: 385-387). Sebuah contoh “negara” di Asia Tenggara abad 17 yang mampu menghasilkan meriam, senjata tangan tipe matchlock, dan bubuk mesiu adalah kerajaan Mataram di Jawa. Sehubungan dengan teknologi militer, khususnya yang berfungsi di daratan, orang Jawa tampaknya telah belajar dengan cepat dari orang Eropa. Abad ke-18, mereka juga telah memiliki tipe flintlock. 
Tipe jenis Flintlock

Merle Ricklefs mengklaim bahwa di Jawa setidaknya agak tidak mungkin hanya berbicara soal keunggulan teknologi Eropa, bahkan dalam hal pembangunan kubu pertahanan. Jika ada perbedaan antara Jawa dan VOC, maka itu adalah : a). Soal jumlah : dimana yang pertama (Jawa) lebih banyak yaitu ribuan berbanding ratusan (VOC), b) Soal disiplin : dimana yang kedua (VOC) lebih baik, dan c) Soal strategi dan taktik: dimana VOC terkadang lebih cakap (Ricklefs 1993: 13, 37-38, 141, 223-224).
Berbeda dengan Ricklefs, Luc Nagtegal berpendapat bahwa kemampuan Mataram tidaklah setinggi seperti pendapat Ricklefs. Dia menunjukan bahwa kerajaan Mataram tidak mampu membangun pasukannya sendiri secara mandiri, yang akhirnya membuatnya tergantung pada “tentara-tentara petani” yang minim persenjataan dan selalu dimobilisasi oleh pihak kerajaan. Hanya sebagian kecil dari pasukan ini yang terdiri dari “serdadu” tulen, biasanya sanak saudara dari lingkaran kerajaan yang dilengkapi dengan sekelompok tentara bayaran dan berfungsi sebagai pengawal.  Dalam pasukan seperti itu, senapan hanya dikuasai oleh tidak lebih dari 10 orang. Pertempuran biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil prajurit bertombak. Jika prajurit-prajurit bertombak dari salah satu pihak unggul, maka seluruh pasukan akan segera diterjunkan. 

Musketeer dengan senjata tipe matchlock

Nagtegaal setuju dengan Ricklefs bahwa keberhasilan militer VOC tidak hanya karena keunggulan teknologi. Sebaliknya, dalam perang-perang di Jawa, para prajurit VOC hampir selalu berfungsi sebagai “pemecah” yang beroperasi dalam pasukan Jawa yang lebih besar. Tentara bayaran yang diperbantukan oleh VOC biasanya direkrut dari Asia dan tinggal di pemukiman sekitar Batavia yang bertugas sebagai pasukan dalam serangan mendadak/kejutan.

Karena para prajurit VOC sendiri terlatih dengan baik dalam hal penembakan efektif ke barisan musuh, kehadiran mereka dapat memiliki efek yang “menghancurkan” pasukan lawan. Karenanya, Nagtegaal percaya bahwa latihan yang ketat, kedisiplinan, pengalaman dan penggajian, itulah yang membuat perbedaan. Selain itu, VOC terbukti lebih efektif dalam hal mengepung kubu-kubu pertahanan musuh karena pengalamannya yang diperoleh di Eropa abad 16 dan 17 itu sendiri. Akhirnya, satu elemen penting yang tidak bisa diabaikan adalah dominasi VOC di laut, yang mana hal itu seperti “pelindung” jalur hubungannya di Nusantara (Nagtegaal 1996: 53-54, 58-70).
Mendiskusikan keadaan atau skop kasus yang lebih “kecil” misalnya di Banten Jawa Barat, Johan Talens berbagi pendapat dengan Nagtegaal. Tampaknya dalam perang di Banten, VOC kurang tergantung pada sekutu internalnya daripada seperti di Mataram, karena jumlah lawannya jauh lebih sedikit (Talens 1999: 93-97, 102-109).

Gambaran pasukan VOC

Penutup

               Douglas Peers telah menunjukan fakta bahwa kadang-kadang pengorganisasian  pusat kota atau titik strategis secara politis dari para penentang (musuh) bangsa Eropa tidaklah jelas. Tidak adanya pusat dari suatu wilayah (ibukota) yang ditaklukan, berarti kemenangan yang menentukan  pada akhirnya bukanlah jaminan segala-galanya, dan “akhir” dari permusuhan tidak pasti/tidak jelas. Situasi seperti ini menyebabkan perang terus berkepanjangan dan tidak ada habisnya. Menurut Peers, durasi perang yang “tidak pasti” ini membuat orang-orang Eropa selalu bergantung pada kerjasama orang-orang lokal dan pasukan tambahan (Peers 1997: xx).
Apa yang terjadi di Ambon selama 100 tahun, peperangan mengikuti kemiripan pola ini. Pembentukan “negara” masih relatif baru dan politik partikularisme cukup kuat. Tidak ada “pusat” yang jelas di daerah tersebut.  Akibatnya, tak lama setelah satu faktor politik dihilangkan, yang lain dengan cepat muncul untuk menggantikannya.
Karena tidaklah mungkin untuk “memelihara” cukup banyak tentara dan kapal-kapal Eropa bertahun-tahun, Portugis dan Belanda secara teratur “memanfaatkan” pelayaran hongi yang diawaki oleh Kristen Ambon untuk membantu dalam pertempuran (Knaap 1992a: 19-21, 1992b: 21-24).
Pemahaman bahwa VOC dapat mengandalkan secara permanen/tetap kekuatan sekutu orang Ambon mereka, mungkin adalah alasan utama untuk fakta bahwa tidak seperti di Jawa, relatif sedikit menggunakan tentara bayaran yang direkrut dari tempat lain di Asia.  Melihat dan memahami sejarah militer di Ambon, tampak bahwa meskipun orang Eropa, khususnya Belanda, bisa “terdesak” dalam pertempuran melawan musuh pribumi,  mereka tidak pernah “kalah” perang. Garnisun-garnisun ditempatkan di benteng-benteng pesisir pantai baik berukuran besar dan kecil, mampu untuk menahan serangan hingga pasukan bantuan yang lebih besar tiba karena penguasaan VOC akan lautan. Gugusan Ambon, dimana secara geografis merupakan mayoritas daerah pantai yang tidak banyak memiliki wilayah daratan, sedikit tidak sama dengan situasi di Jawa,  pasukan-pasukan pribumi harus selalu bersaing dengan superioritas angkatan laut VOC. Dalam pertempuran yang menentukan, yang terjadi hanya beberapa kilometer ke wilayah pedalaman, musuh-musuh VOC meskipun tidak sepenuhnya memiliki persenjataan, memainkan strategi “kedua” melawan VOC dalam hal peralatan-peralatan. Pada masa perang, VOC memanfaatkan sepenuhnya artileri-artileri angkatan laut serta metode pengepungan yang dikembangkan di Eropa. Pada 1640an dan 1650an, VOC juga menggunakan kubu pertahanan sementara untuk memblokade kubu pertahanan musuh, seperti yang digunakan oleh pangeran-pangeran Belanda, yaitu Maurits dan Frederik Hendrik, ketika mereka mengepung garnisun-garnisun Spanyol di Belanda. Di bidang taktik, VOC sering menggunakan elemen kejutan untuk merebut kubu pertahanan musuh-musuh lokal.
Peers juga menunjukan bahwa di sebagian besar dunia non Eropa pada awal modern, tidak ada perbedaan tajam antara perdamaian dan perang dibandingkan dengan di Eropa sendiri. Perbedaan sering kali tidak “berbentuk” : ketenangan dan permusuhan saling sambung menyambung atau terus menerus (Peers 1997: xxi). 

Pelayaran Hongi dalam penumpasan Perang Pattimura 1817

Hal ini merupakan situasi yang terjadi di Ambon, dimana potong kepala/pengayauan adalah motif utama dalam permusuhan diantara negeri-negeri lainnya. Potong kepala/pengayauan adalah “produk” komunitas dan akhirnya kekerasan selalu bersifat endemis (Knaap 1987a: 72-73, 115).

Alasan-alasan rasional yang sama juga bisa diterapkan pada pejuang maupun bukan pejuang. Pejuang-pejuang pribumi tidaklah “berseragam” yang perbedaannya bisa terlihat jelas atau memakai seragam-seragam perang orang Eropa lainnya, dan yang paling penting seorang pejuang lebih terlihat mirip sebagai seorang pemburu. Selanjutnya “aturan-aturan” mengenai potong kepala yang dilakukan, tidaklah masalah apakah kekerasan itu dilakukan pada laki-laki, perempuan atau anak-anak. Akibatnya, sejauh menyangkut laki-laki berbadan sehat  di sepanjang perang Ambon, garis antara siapa yang menjadi  “kaum militer” dan “ “penduduk biasa” sulit dibedakan.
Beberapa penulis yang disebutkan diatas, berpendapat bahwa orang-orang Eropa yang telah “merantau” lebih siap melakukan “perang total” daripada orang-orang non Eropa yang mereka temui.  
Kekuatan pribumi (dalam hal ini negara-negara  Asia Tenggara), sebenarnya cenderung “membatasi” kerusakan perang sebisa mungkin karena kurangnya/ terbatasnya penduduk.
Peers sedikit ragu akan pendapat-pendapat seperti demikian (Peers 1997: xxiii).
Apakah orang Eropa lebih cenderung melakukan “perang total” atau tidak, juga tergantung pada definisi/pengertian dari konsep itu sendiri.
Secara umum, sulit membayangkan bahwa para pemimpin negara-negara di Asia Tenggara, terlibat di medan perang, suatu  “rasionalisasi” seperti yang disarankan oleh Reid.
Melihat pada konteks kaum pribumi Ambon, jelas bahwa membunuh seseorang, apakah itu pejuang atau bukan, merupakan hal sangat penting.
Dalam situasi seperti itu, argumen tentang “terbatasnya kaum pekerja” agak sulit diterima. Penghancuran mata pencaharian atau pendudukan wilayah juga bisa terjadi. Haruslah diingat bahwa selama perang 100 tahun yang disebutkan di Ambon, ketika orang Eropa menjadi bagian dari setiap tindakan, pembunuhan, pendudukan dan penghancuran-penghancuran dilakukan  dalam skala yang lebih besar daripada sebelumnya. Alasan pertama untuk ini adalah bahwa konstelasi/percaturan politik menjadi lebih besar, dan yang kedua adalah efek dari teknologi Eropa, khususnya penggunaan senjata, baik yang digunakan oleh orang Eropa atau orang Ambon, terbukti lebih menghancurkan. Berbeda kasusnya dengan Portugis, yang sering berada dalam posisi bertahan/defensif, Belanda secara teratur dapat memobilisasi pasukan-pasukan cadangan ekspedisinya untuk memperkuat garnisun-garnisun orang lokal dan hongi sekutunya. Seiring berjalannya waktu dan keputusan akhir yang “tertunda”, eliminasi/penghilangan dengan segala cara dilakukan secara sistimatis, yang berarti kehancuran dan pemusnahan, perang total yang “kasar” menjadi obyek “kegemaran” yang dinyatakan dalam lingkaran pegawai-pegawai VOC tertentu. Perbedaan dalam hal etnis dan agama turut berkontribusi pada kebiadaban perang. Ini terutama terjadi pada peperangan di tahun 1650an, ketika wilayah-wilayah berpenduduk dihancurkan.
Diperkirakan setengah wilayah barat kepulauan Ambon, kehilangan sekitar 30 persen penduduknya, karena perang atau dislokasi/pengusiran ke wilayah lain (Knaap 1987a: 99 -104,  1995: 238)

---- selesai ----
 

Catatan Kaki:

  1. Hierarki status negeri-negeri seperti yang dimaksud Knaap dalam artikel ini, diwujudkan dalam bentuk gelar pemimpin negeri, kelas, serta ornamen-umbul-umbul yang menyertainya. Perbedaan ini diformulasikan dengan lebih tegas pada abad 18 melalui besluit Gub Jend Hindia Belanda. Gelar yang digunakan mulai dari yang terbawah yaitu Orang Kaija, kemudian Pattij dan akhirnya adalah Radja. Kelas pun dimulai dari kelas 3, kemudian kelas 2 dan kelas 1. Orang Kaija adalah pemimpin negeri yang statusnya kelas 3 dan seterusnya. Begitu juga dengan ornamen umbul-umbul, yaitu berupa tongkat,payung kebesaran  dan lambang negeri berupa bendera. Misalnya Orang Kaija akan diberikan tongkat dari rotan, payung berwarna biru dan bendera negeri berwarna biru. Pattij menggunakan tongkat rotan yang berkepala perak, payung berwarna putih dan bendera negeri berwarna putih, Radja menggunakan tongkat rotan berkepala emas, payung berwarna oranye dan bendera negeri berwarna oranye. Namun hierarki ini tidaklah statis, ia bisa berubah tergantung tingkat kesetiaan sebuah negeri pada pemerintah Hindia Belanda. Status itu bisa naik tapi juga bisa turun, tergantung keputusan. Misalnya yang terjadi pada negeri muslim di Saparua, Siri Sori Islam.
Pada tahun 1888, tanggal 13 Juli dikeluarkan besluit Gub Jend yang mengangkat Abdul Madjid Pattisahusiwa sebagai Orang Kaija van Siri Sori Islam dengan pangkat kelas 3, tongkat kebesaran dari rotan dan payung berwarna biru.
Hal yang sama juga terjadi pada A.H. Leiwakabessy yang menjadi Orang Kaija van Nalahia.
7 tahun kemudian, A.M. Pattisahusiwa statusnya dinaikan menjadi Pattij yang kelasnya naik menjadi kelas 2, beserta tongkat rotan berkepala perak, payung warna putih serta bendera negeri berwarna putih dianugerahkan kepadanya, melalui besluit Gub Jend per 1 Juli 1895.
§  Lihat arsip  Verbaal handelingen en besluiten luitenant-gouverneur-generaal (De Kock) in Rade 26 september 1828 no. 21, Batavia. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.01, 2817; extract in: Koloniën 2.10.01, 687, vb. 3 juli 1829 no. 85
§  Lihat arsip Besluit gouverneur-generaal (Van der Wijck) 1 juli 1895 no. 20, Batavia. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, 8113.
§  Lihat arsip Besluit gouverneur-generaal (Van Rees) 13 juli 1888 no. 48, Batavia. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, 7945.
§  Lihat bukunya R.Z. Leirissa Sejarah Kebudayaan Maluku, diterbitkan oleh Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1999, hal 69
§  Lihat arsip Verbaal handelingen en besluiten gouverneur-generaal (Van der Capellen) tijdens zijn reis door de Grote Oost 15 april 1824 no. 1, Ambon. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.01, 2766. Extract in: NA, Koloniën 2.10.01, 473, vb. 25 dec. 1825 no. 84, (terkhusus pasal 85, 90-93 dari besluit ini)

  1. Kora-kora asal negeri Titaway dari pulau Nusalaut biasanya ditumpangi oleh Gubernur van Ambon, saat pelayaran hongi melakukan ekspedisinya. Misalnya Gubernur van Ambon, Balthasar Coijet (1701-1706) atau  Willem Oem van Wijngaarden van Woerden (1697-1701) sering menaiki kora-kora asal negeri Titaway. Kora-kora asal negeri Ullat ditumpangi oleh Fiscal Gubernemen Ambon.
Formasi skuadron pelayaran hongi terdiri dari 13 baris kora-kora dihitung dari baris paling depan hingga baris terbelakang. Setiap baris terdiri dari 5-6 kora yang berasal dari tiap negeri atau gabungan beberapa negeri yang diwakili oleh 1 kora-kora. Misalnya negeri Titaway memiliki kora-kora tersendiri, sedangkan gabungan dari negeri Saparua, Tiouw dan Paperu diwakili oleh 1 kora-kora atau gabungan negeri Porto, Haria dan Booi diwakili 1 kora-kora.
Baris 1 (paling depan) terdiri dari 6 kora-kora asal negeri Rumahkay, Sawai, Bessi, Nuniali, Hatilen dan Hatuwe, baris 2 terdiri dari 6 kora asal negeri Kamariang, Ihamahu, Amahai, Akoon +Ameth, Abubu+Leinitu, Piru +Taununu, baris 3 terdiri dari 6 kora-kora asal negeri Ouw, Tuhaha, Siri Sori, Nolloth, Haria+Porto+Booi, dan Paperu +Saparua+Tiouw.
Di baris ke-4, hanya terdiri dari 2 kora-kora asal negeri Ullath (dinaiki oleh Fiscal) dan kora-kora berisi peralatan.
Begitu seterusnya hingga baris ke 12 terdiri dari 3 kora-kora, 1 kora-kora asal negeri Titawai (dinaiki oleh Gub van Ambon), dan 2 kora-kora untuk mengangkut amunisi.
Formasi ini berlaku dimasa Gubernur Balthasar Coijet.
§  Lihat Francois Valentyn Oud and Nieuw Oost Indie, tweede deel, bag 1 :Bescrijvinge van Amboina, Joannes van Braam, Dordrecht, 1724, Hal 184 - 189


Bibliografi

Sumber-sumber arsip yang digunakan dalam artikel ini, semuanya berasal dari arsip-arsip VOC yang disimpan pada Algemeen Rijksarchief di Hague. Arsip-arsip yang dirujuk itu diikuti atau diterangkan lewat nomor volume dan nomor halamannya. Kata Dagregister merujuk pada catatan harian yang dulunya tersimpan di benteng Victoria kota Ambon. kata zielsbeschrijving merujuk pada deskripsi “jiwa-jiwa”, bagian dari sensus penduduk

Sumber-sumber Sekunder

  1. Andaya, L.Y. 1992. Interactions with the Outside World and Adaptation in Southeast
    Asian Society, 1500-1800. In The Cambridge History of Southeast Asia. Vol. 1, ed.
    N. Tarling, pp. 345-401. Cambridge: Cambridge University Press.
§  1993. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii.
  1. Beylen, J. van. 1970. Schepen van de Nederlanden; Van de late middeleeuwen tot het einde van de zeventiende eeuw. Amsterdam: Van Kampen.
  2. Black, J. 1994. European Warfare, 1660-1815. London: UCL Press.
  3. Bor, L. 1663. Amboinse oorlogen door Arnold de Vlaming van Oudshoorn als superintendent over d’Oosterse gewesten oorlogaftig ten eind gebracht. Delft: Bon.
  4. Bruijn, J.R., F.S. Gaastra, I. Schšffer. 1987. Dutch Asiatic Shipping in the 17th and 18th centuries. Vol. 1. Rijks Geschiedkundige Publicati‘n, Grote Serie 62. s'-Gravenhage: Nijhoff.
  5. Cipolla, C.M. 1965. Guns, Sails and Empires: Technological Innovation and the Early
    Phases of European Expansion 1400-1700
    . New York: Pantheon.
  6. Gaastra, F.S. 1991. De geschiedenis van de VOC. Zutphen: Walburg.
  7. Heeres, J.E. 1907. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum; Verzameling van politieke contracten en verdere verdragen . . . Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 57.
  8. Iongh, D. de. 1950. Het krijgswezen onder de Oostindische Compagnie. s'-Gravenhage: Van Stockum.
  9. Knaap, G.J. 1987a. Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Verhandelingen KITLV 125. Dordrecht: Foris
§  1987b. Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. Rijks Geschiedkundige Publicati‘n, Kleine Serie 62. Õs-Gravenhage: Nijhoff.
§  1991. A City of Migrants: Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century.
Indonesia 51: 105-28.
§  1992a. Tjengkeh, kompeni, agama; Hoofdlijnen uit de geschiedenis van de Ambonse eilanden 1500-1800. In Sedjarah Maluku; Molukse geschiedenis in Nederlandse bronnen, eds. G.J. Knaap, W. Manuhutu and H. Smeets, pp. 9-31. Amsterdam: Van Soeren.
§   1992b. Crisis and Failure; War and Revolt in the Ambonese Islands, 1636-1637.
Cakalele 3: 1-26.
§  1993. The Saniri Tiga Air (Seram); An account of its Discovery and Interpretation between about 1675 and 1950. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149: 250-73.
§  1995. The Demography of Ambon in the Seventeenth Century; Evidence from Colonial Proto-Censuses. Journal of Southeast Asian Studies 26: 227-41.
§  forthcoming. The Governor-General and the Sultan; An Attempt to restructure a divided Amboina in 1638.
  1. MacLeod, N. 1927. De Oost-Indische Compagnie als zeemogendheid in Azi‘. 2 Volumes, 1
    Atlas. Rijswijk: Blankwaardt Schoonhoven.
  2. Manusama, Z.J. 1977. Hikayat Tanah Hitu; Historie en sociale structuur van de Ambonse eilanden in het algemeen en van Uli Hitu in het bijzonder tot het midden der zeventiende eeuw. Ph.D. dissertation, Universiteit Leiden.
§  1983. G.E. Rumphius. Ambonsche Landbeschrijving. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah 15. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
  1. Marshall, P.J. 1980. Western Arms in Maritime Asia in the Early Phases of Expansion.
    Modern Asian Studies 14: 13-28.
  2. Nagtegaal, L.W. 1996. Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company and the Northeast Coast of Java 1680-1743. Leiden: KITLV Press [Verhandelingen KITLV 171].
  3. Parker, G. 1988. The Military Revolution: Military Innovation and the Rise of the West, 1500- 1800. Cambridge: Cambridge University Press.
§  1995. Dynastic War. In The Cambridge Illustrated History of War: The Triumph of the West, ed. G. Parker, pp. 146-63. Cambridge: Cambridge University Press.
  1. Peers, D.M. 1997. Introduction.In Warfare and Empires; Contact and Con ict between European and non-European Military and Maritime Forces and Cultures, ed. D.M. Peers, pp. xvxxxiv. An Expanding World 24. Aldershot: Variorum Ashgate.
  2. Reid, A. 1982. Europe and Southeast Asia: The Military Balance. Canberra: Centre for
    Southeast Asian Studies.
§  1988. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, vol. 1, The Lands below the Winds. New Haven: Yale University Press.
§  1993. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, vol. 2, Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press.
  1. Ricklefs, M.C. 1993. War, Culture and Economy in Java, 1677-1726; Asian and European
    Imperialism in the Early Kartasura Period
    . St Leonards: Allen Unwin.
  2. Rumphius, G.E. 1910. De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen. . . Two parts. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indi‘ 64.
  3. Stapel, F.W. (ed). 1927. Pieter van Dam; Beschrijvinge van de Oostindische Compagnie.
    Vol. 1, Part 1. Rijks Geschiedkundige Publicati‘n 63. s'-Gravenhage: Nijhoff.
  4. Talens, J. 1999. Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater; Staatsvorming, kolonialeexpansie en economische onderontwikkeling in Banten, West-Java, 1600-1750. Hilversum: Verloren.
  5. Tiele, P.A., and J.E. Heeres (eds). 1890. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel. Vol. 2. Den Haag: Nijhoff.
  6. Valentijn, F. 1724. Oud en Nieuw Oost-Indi‘n. Vol. II. Beschrijvinge van Amboina.
    Dordrecht/Amsterdam: Van Braam/Onder de Linden.
  7. Vogt, J. 1977. Saint Barbara os Legion: Portuguese Artillery in the Struggle for Morocco,
    1415-1578. Military Affairs 41: 176-82.
  8. Vos, R.C. 1993. Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and the Tightrope of Diplomacy
    in the Malay World 1740-1800
    . Leiden: KITLV Press [Verhandelingen KITLV 157].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar