Minggu, 07 Juli 2019

Potong Kepala, Pembantaian dan Genjatan Senjata di Gugusan Amboina : 1500 – 1700


(bag 2)

Oleh Gerrit J Knaap 


Penerjemah : Kutu Busu

100 Tahun peperangan

Saat VOC (Belanda) menaklukan dan menggantikan posisi Portugis, Ambon telah menjadi arena pertempuran antar berbagai jenis kelompok. Selama abad ke-16, konflik-konflik tradisional berskala kecil diantara penduduk mulai terjadi lewat aksi-aksi potong kepala/pengayauan, perluasan wilayah serta keinginan-keinginan untuk unggul dalam hierarki kekuasaan, menjadi bagian antitesis yang berkembang secara bertahap antara orang-orang Ternate dan sebagian besar Muslim Ambon, untuk melawan Portugis dan Kristen Ambon. Mulai pertengahan abad itu (abad 16), wilayah itu menjadi arena pertempuran yang terus menerus. Menjelang akhir abad itu, Portugis dan sekutunya (Kristen Ambon) menghadapi serangkaian serangan sehingga beberapa negeri Kristen meninggalkan negeri mereka dan berlindung (mengungsi) ke daerah yang lebih aman, misalnya di wilayah sekitar benteng Portugis di kota Ambon. Penaklukan Portugis oleh VOC pada tahun 1605 itu, seperti suatu penundaan permusuhan yang bersifat sementara. Namun, pada tahun 1625 menjadi jelas bahwa VOC bersikeras dalam upayanya untuk menegakan monopoli perdagangan cengkih, maka peperangan timbul kembali pada tahap akhir selama 25 hingga 30 tahun (Manusama 1983: 65-66, 71, Knaap 1987a: 12-15, 20-23).
Pada perang itu, hadir elemen-elemen dalam masyarakat yang secara tegas diungkapkan lewat kronik lisan masyarakat yang masih bertahan, yaitu Hikayat Tanah Hitu oleh Imam Ridjali, dimana saat konflik, khususnya melawan orang Eropa dan sekutunya, adalah tema yang berulang.
Perubahan wajah perang juga muncul dengan jelas. Secara bertahap, persenjataan mulai diperkenalkan dalam pertempuran laut antara kedua pihak. Di sisi kaum Muslim, fenomena ini muncul menjelang akhir abad itu (Manusama 1977: 1,84,93-96,99,101-102).
Meskipun sejumlah besar informasi penting telah disajikan pada bagian sebelumnya, beberapa penjelasan  perlu juga disampaikan untuk mengevaluasi “kehebatan” persenjataan yang digunakan oleh orang Ambon pada abad ke-17.
Parang dan Salawaku menjadi senjata paling populer. Kedua alat itu adalah alat utama dan umum dalam pertempuran satu lawan satu. Tombak, juga banyak digunakan untuk “memperpendek” jarak antar musuh, meskipun jaraknya tidak lebih dari 100 meter, suatu jarak efektif yang dapat dicapai oleh penombak. Senapan dan tipe matchlock juga diperkirakan efektif  digunakan pada jarak beberapa ratus meter. Efeknya dapat menghancurkan pelindung tubuh. Kelemahan terbesar dari jenis-jenis tipe ini adalah butuh waktu lama untuk mengisi peluru kembali, yaitu butuh waktu beberapa menit (Parker 1988: 17-18, J.P. Puype, komunikasi pribadi pada 5 Januari 2001).
Tipe snaphaunces yang muncul pada akhir abad ke-17 adalah tipe flintlock, karena jauh lebih mudah ditangani dan lebih aman digunakan daripada senapan pada abad ke-16 dan awal abad ke-17.
Jika tembakan dari senjata jenis ini menggunakan selongsong kertas --- inovasi baru pada akhir abad 17 --- prosedur pengisian ulang peluru hanya butuh waktu 1 menit saja (Black 1994: 39).
Kembali ke tahun 1600, jenis-jenis artileri seperti pistol, tipe swivelgun, tipe falconet mungkin memiliki jangkauan sekitar 600 meter atau lebih. Sulit memperkirakan lamanya waktu yang diperlukan untuk proses pengisian ulang peluru, namun mungkin sekitar 3 hingga 4 menit (Vogt 1977: 179-180, Parker 1995: 156)

                    (kita alihkan perhatian ke penjelasan tentang pertahanan).................

Kambelo

Sebagian besar negeri di Pulau Seram, lokasinya terletak di puncak bukit atau di lereng gunung. Lokasi seperti itu membuat mereka kurang rentan terhadap serangan mendadak. Hal yang sama berlaku juga untuk negeri-negeri di daerah pesisir. Wilayah di tepi pantai atau di muara sungai, tentu akan lebih beruntung dari sudut pandang ekonomi, tetapi beresiko besar untuk menjadi korban serangan perang laut (Knaap 1987a: 24).
Sebagian besar dari negeri-negeri ini tidak dihancurkan, meski ada beberapa pengecualiaan. Dalam beberapa kasus, negeri-negeri itu adalah pusat atau “ibukota” dimana kepemimpinan sebuah wilayah berada. Lebih sering, pusat atau ibukotanya dilokasikan di daerah gunung atau bukit, yang merupakan lokasi strategis, sehingga lebih mudah membangun benteng pertahanan. Contoh khas dari situasi seperti ini adalah Wawani di Hitu, dimana beberapa benteng didirikan untuk menghalangi rute perjalanan ke pemukiman yang sebenarnya, yang terletak di puncak gunung, 2 jam perjalanan berjalan kaki dari tepi pantai.
Di dekat Wawani, terdapat sejumlah kecil tanah bersulfur (belerang) yang digunakan untuk membuat mesiu di masa perang. Bubuk mesiu juga diproduksi di pegunungan yang merupakan pertahanan kuat Hitu lainnya yaitu Kapahaha. Salah satu benteng pertahanan terkuat di pulau Ambon adalah Asahudi di Hoamoal, sebuah kompleks yang terdiri dari 7 benteng berukuran kecil, yang terletak di tepi lereng gunung, ditambah 2 benteng kecil lain yang terletak di dataran. Selain sistim pertahanan yang didesain seperti ini, ada juga pertahanan “cadangan” yang ditempatkan di pulau-pulau kecil lepas pantai.  Di kawasan inilah, perang terakhir yang menentukan yaitu perang besar Ambon terjadi pada tahun 1654-1655.
Kasus-kasus seperti Kambelo di Hoamoal dan Wawani di Hitu, merupakan pengecualiaan karena di lokasi ini, benteng-bentengnya lebih dekat ke arah pantai, yang bisa dijadikan perlindungan untuk perahu-perahu perang mereka, dari pengawasan kapal VOC (Rumphius 1910,  1: 256, 2: 76, Manusama 1983: 31, 36-37, 90, 99, 115, 126-128)

Benteng-benteng orang lokal yang berlokasi di pesisir, juga diperlengkapi artileri. Jumlahnya biasa terbatas, bukan hanya karena soal pasokan dari luar, tetapi juga karena tidak mudah mengangkut alat-alat berat ke bukit atau gunung. Jalannya terlalu sempit dan curam untuk kendaraan beroda, serta kuda atau begal tidak banyak tersedia (Rumphius 1910,  1: 130, 209, 255, Knaap 1987a: 169, 178) . 
Fort Nossa Senhora da Anunciada

Benteng VOC paling utama dan terpenting di Pulau Ambon adalah bekas benteng Portugis bernama Nossa Senhora da Anunciada, dibangun pada tahun 1576. Benteng ini ditaklukan oleh VOC pada tahun 1605 dan berganti nama menjadi Victoria pada tahun 1614.

Kekuatan benteng Portugis yang berupa konstruksi batu bata ini, membuat lebih gampang ditembus oleh VOC, yang kemudian memperkuat kembali tembok benteng, menara-menara sudut, menggali parit, dan akhirnya pada paruh kedua abad ke-17, pembangunan tembok baru untuk memperkuat ketahanannya.  Melalui upaya ini, VOC merekonstruksi benteng Victoria sesuai dengan standar baru pembangunan benteng-benteng di Eropa masa itu.
Benteng Victoria berhadapan langsung dengan laut lepas. Posisi seperti itu berfungsi sebagai tempat berlabuhnya kekuatan maritim VOC. Itu juga tempat yang aman bagi orang Eropa saat darurat. Portugis juga sering menggunakan cara ini.
Benteng itu merupakan markas pusat politik, ekonomi dan kekuatan militer dari negara kolonial di kota Ambon. Jumlah tentara di dalam benteng tidak pernah lebih ribuan orang, misalnya pada tahun 1694, hanya berjumlah 300 tentara. Wilayah kota Ambon disekeliling benteng Victoria, tidak ada benteng yang dibangun, kecuali untuk beberapa tahun, pekerjaan-pekerjaan untuk pertahanan yang bersifat sementara dilakukan. Upaya mengelilingi kota dengan semacam tanggul permanen dari tanah sepanjang akhir tahun 1680an gagal total, dimana salah satu alasannya karena hujan lebat selama musim hujan menghancurkan konstruksinya yang buruk (Knaap 1991: 105-108, 110, 115).
Selama abad ke-17, VOC membangun beberapa benteng berukuran kecil, yang berlokasi diberbagai tempat di dekat pantai di seluruh kepulauan Ambon. Sebagian besar dari kubu-kubu pertahanan ini, disebut blokhuis (block house) sedang yang lainnya disebut redoubt (benteng kecil). Bangunan ini adalah benteng kecil yang memiliki 2 gudang, beratapkan batu bata, dengan arah melingkar, yang diakhiri dengan variasi struktur yang cukup canggih dengan menara-menara batu di sudut-sudutnya sebagai “pagar” yang sederhana (Knaap 1987a: 21, 24, 29, 270).
Pada akhir abad ke-17, VOC memiliki 19 buah kubu pertahanan yang lebih kecil yang diawaki oleh pasukan berjumlah sekitar 5 hingga 45 orang. Sebagian besar kubu pertahanan itu, dipimpin oleh seorang komandan berpangkat Sersan. Pangkat tertinggi dalam organisasi militer di Ambon, berpangkat Kapten yang bermarkas di benteng Victoria. Angkatan bersenjata VOC bukanlah berasal dari milisi. Formasi ini berisikan tentara siap jadi, yang dipersenjatai dengan senapan bukan dengan tombak. Eleman utama dari angkatan bersenjata ini adalah tentara tulen, berdisiplin dan berlatih  secara teratur. Selain pasukan reguler, di kota Ambon, ada juga pasukan milisi yang berpatroli di jalan-jalan saat malam hari. Pasukan ini disebut Schutterij atau pasukan penjaga kota, yang terdiri dari kaum burger Eropa dan warga “asli”, yang dikemudian hari banyak berasal dari orang-orang asing Asia yang telah dikristenkan. 

                    Selain hal yang tadi di kota Ambon, VOC juga memiliki kapal untuk melayani kepentingan infrastrukturnya. Pada akhir abad ke-17, ada 3 kapal seperti itu, biasanya satu yang lebih kecil, mengangkut 10 hingga 25 orang. Awal abad ini (abad 17), pada masa perang Ambon, ada lebih banyak kapal, karena berpatroli di lautan dianggap lebih penting pada waktu itu (VOC 1551 zielsbeschrijving, Knaap 1991: 113).
Garnisun-garnisun VOC di tempat-tempat yang telah ditentukan, dan melakukan patroli “sambil lalu” di lautan, berfungsi hanya untuk menjamin wilayah kekuasaan VOC di masa “normal”. Pada waktu krisis, terutama perang atau pemberontakan, kekuatan seperti ini tidak dapat dipergunakan secara maksimal untuk melindungki kepentingan VOC, dan karena itulah dipergunakan sekutu-sekutu pribumi. Dengan kata lain, hal itu cukup hanya untuk mempertahankan posisi defensif sehingga VOC tidak kalah atau buruknya terusir dari wilayah itu. Untuk aksi yang lebih ofensif, seperti menaklukan atau paling tidak untuk mendapatkan keuntungan dari musuh, diperlukan lebih banyak pasukan. Oleh karena itu, selama perang Ambon, pasukan-pasukan didatangkan dari Batavia, terkadang selama beberapa tahun terus menerus. Pada kesempatan seperti itu, angkatan bersenjata VOC yang akan dikerahkan diperbanyak beberapa kali dari jumlah biasanya.
Di wilayah-wilayah dimana kekuatan maritim sangat dibutuhkan, pasukan angkatan laut tidak lagi bergantung pada beberapa kapal kecil, dan kapal “pesiar” kecil, namun meminta bantuan ke divisi East Indiamen yang kekuatannya lebih besar.
Yang terbesar dari kapal-kapal ini, adalah kapal berburitan persegi, yang mampu mengangkut 30 hingga 40 meriam, dimana diantaranya mampu menembakan peluru seberat 24 pound (Stapel 1927: 505, 508-509). Artileri berat seperti itu hanya bisa ditembakan sekitar 10 kali dalam 1 jam.  Kisaran jaraknya diperkirakan antara 1500 hingga 2000 meter (Van Beylen 1970: 76, J.P. Puype, komunikasi pribadi tanggal 5 Januari 2001).
Contoh untuk ekpedisi khusus adalah jumlah kapal yang digunakan hampir 20 buah yang mampu mengangkut sekitar 2000 orang, dimana 2 kali ekspedisi khusus pernah dilakukan Gubernur Jend VOC Antonio van Diemen pada tahun 1637 dan 1638. Ekspedisi pertama dimaksudkan untuk “menenangkan” situasi diantara orang-orang Ambon, sedangkan yang kedua untuk mendapatkan tambahan jaminan keamanan dan kedamaian melalui kesepakatan dengan Hamzah, sultan Ternate (Knaap 1992b: 11, forthcoming: 1)
Pada beberapa kasus, laporan yang relatif lebih rinci tentang serangan pasukan VOC tersedia dengan baik. Aksi melawan Luhu pada tahun 1625 dan Lusiela pada tahun 1637, mengungkapkan pola pemboman lebih dulu dari meriam-meriam pasukan divisi East Indiamen, diikuti serangan langsung oleh 800 orang Eropa, 1000 orang Ambon atau kira-kira 1500an orang Eropa. Unit-unit operasional di lapangan lebih suka dikerjakan oleh orang Belanda, dan selanjutnya aksi-aksi kampanye perang dilakukan oleh pihak VOC yang terdiri dari 60-70 orang. Pihak-pihak yang bertahan di kubu pertahanan, yang diserang akan membalas dengan tembakan meriam, yang biasanya tidak akan mengarah pada kapal-kapal VOC, yang sedang berada di “jalur peperangan”.  
Juga tidak dapat dikatakan bahwa pemboman dari laut oleh VOC, betapapun mengesankannya aksi itu, selalu efektif. Namun demikian, pada tahun 1625, pasukan VOC di semenanjung Hoamoal menghancurkan negeri-negeri dengan peperangan berskala besar, menghancurkan ratusan perahu dan kapal-kapal lain, serta menebang puluhan ribu pohon cengkih dan pohon-pohon penting lainnya yang bernilai ekonomis.  Tindakan dasyat ini seperti menandai berakhirnya batas kebaikan, dimana sejak saat itu, mayoritas orang-orang Hoamoal sangat anti Belanda. Itu seperti titik terendah, yang tak bisa normal kembali di wilayah itu (Tiele dan Heeres 1890: 48-70, Rumphius 1910, 1: 51-52, 129-131).

                    Selama perang Hitu yang berlangsung sejak 1641 hingga 1646, musuh-musuh VOC mendapatkan bantuan pasukan-pasukan asal Makasar dari Sulawesi. Pada tahun 1641, ada 26 kapal dari Makasar, juga orang-orang Makasar yang membawa sekitar 8000 lbs1 bubuk mesiu, banyak beras, mendarat di pantai Hitu. Armada itu terdiri dari junk-junk dan pelong, suatu jenis yang mirip dengan bentuk cadik/semang dari tipe kora-kora (Rumphius 1910, 1: 189, 193,  MacLeod 1927, 2: 266). Informasi tentang kapal-kapal asal Makasar pada tahun –tahun berikutnya menunjukan bahwa jumlah orang di kapal-kapal itu diperkirakan antara 50 dan 60 orang. Sangat jelas bahwa kapal-kapal ini dapat digerakan oleh layar dan dayung (Rumphius 1910, 2: 49, 52, 67, 69). Ini menjelaskan mengapa kapal-kapal pada tahun 1641 itu dapat merapat di pantai Hitu, lolos dari pantauan-pantauan yang ditempatkan di beberapa tempat, serta munculnya 2 kapal VOC yang besar.  Kapal-kapal besar VOC itu menggunakan meriam-meriam berat  melawan orang-orang Makasar, yang akhirnya mendesak mereka untuk berlindung di pantai atau muara-muara sungai kecil. Setelah mendarat dan membongkar muatan, banyak kapal (milik orang Makasar) hancur oleh tembakan meriam atau oleh pasukan VOC yang baru mendarat. Dalam pertempuran di laut lepas, terlihat bahwa kapal-kapal VOC, mungkin karena artileri mereka dan sejumlah besar senapan yang ditembak dari atas kapal,tidaklah sulit untuk  mengalahkan kapal-kapal asal Makasar (Rumphius 1910, 1: 169, 193, 2: 63,  69-70).
Akibatnya,  fungsi armada asal Makasar adalah hanya membawa bala bantuan dan persedian untuk sekutu mereka. Setiba di Ambon, mereka kemudian kembali pulang.

                                         (kita alihkan perhatian sebentar ke Hitu )....................

 
Loki dalam tahun 1724

Kubu pertahanan mereka di masa perang, Wawani, terdiri dari 3 benteng yang terletak berjajar, membentang dari arah pantai ke pedalaman, masing-masing lebih tinggi dari yang lainnya. Orang-orang Hitu menghuni daerah perbukitan, sedangkan orang-orang Makasar berada di benteng yang paling bawah, mereka memiliki beberapa senapan, swivelgun, dan meriam. Pada tahun 1643, VOC mulai merasa cukup kuat untuk memulai aksi penyerangan, memulai dengan membakar negeri-negeri yang berdekatan dengan Hitu, sebagai bentuk kebijakan teror terhadap sekutu-sekutu potensial Hitu. Benteng di pantai dibombardir meriam dan mortir dari kapal kemudian diserbu oleh sekitar 900 orang Eropa dan 800 orang Ambon. Beberapa pelaut membawa kapak, bushknives, dan granat tangan. Setelah beberapa hari bertempur, dua benteng pertama dapat ditaklukan, namun di benteng terakhir yang letaknya lebih tinggi di atas bukit, pasukan VOC dipukul mundur. Situasi dan suasana hati para kapitan Wawani seperti patah semangat. Beberapa bulan kemudian, saat Kakiali pemimpin perang Hitu di Wawani dibunuh atas desakan/usulan dari VOC2, benteng terakhir akhirnya dapat ditaklukan oleh pasukan kecil sekitar 250 prajurit VOC dan kapitan-kapitan Ambon (Rumphius 1910, 1: 189, 209-213, 220-221).
Setelah jatuhnya kubu pertahanan Wawani, pemimpin perang Hitu lainnya, Tulukabessi melanjutkan perang, membangun benteng pertahanan mereka lebih jauh ke arah Utara yaitu Kapahaha. Akses dari pantai terbukti jauh lebih sulit di wilayah ini. Beberapa jalan menuju kubu pertahanan lebih curam dan karenanya sangat strategis untuk bertahan. Untuk sementara waktu, VOC memblokade Kapahaha dengan kapal patroli dan beberapa kubu pertahanan sementara di pantai, untuk “memotong” alur pasokan persediaan.  Mungkin salah satu dari kubu pertahanan sementara ini, ada meriam untuk menembak ke arah benteng musuh. Kemudian, nampaknya bahwa artileri-artileri itu berfungsi efektif, setidaknya sampai batas tertentu, seperti mampu mengalahkan beberapa artileri di Kapahaha. Pada tahun 1644 dan 1645, 4 aksi penyerangan diluncurkan oleh pasukan yang terdiri dari tentara VOC dan pasukan Hongi yang gagal mencapai Kapahaha, karena tidak adanya pemandu jalan yang mumpuni ke wilayah itu. Beberapa jalur yang diketahui VOC, dipertahankan mati-matian oleh pasukan Tulukabessi. Sementara itu, Belanda juga menggunakan sekelompok kapitan-kapitan Alifuru dari Seram, yang membuat hutan disekitar Kapahaha tidak aman dari tindakan potong kepala/pengayauan. Seiring berjalannya waktu, dari pihak musuh sekitar 700 orang kekurangan makanan. Situasi semakin genting, akhirnya pada tahun 1646, Kapahaha dapat ditaklukan lewat serangan kejutan oleh kekuatan sekitar 100 prajurit VOC, 60 orang pelaut dan 20 orang Muslim Ambon. Jumlah yang menyerah ke pihak VOC sekitar 500 orang, sisanya mencoba melarikan diri dan melompat dari batu-batu karang, suatu usaha yang beresiko mengingat banyak yang ditemukan tewas disekitarnya setelah itu  (Rumphius 1910, 1: 231-232, 237, 242-243, 249-250, 253-255,   MacLeod 1927, 2: 283-84).

                    Perang besar Ambon, juga disebut perang Hoamoal berlangsung dari tahun 1651 hingga 1656/1658.  Perang ini ditandai dengan penyerangan mendadak terhadap 8 kubu pertahanan VOC berukuran kecil dan pembantaian 150 orang yang tinggal di dalamnya oleh orang-orang Ambon dari Hoamoal dan pulau-pulau di sebelah baratnya, yang secara formal adalah wilayah vasal kesultanan Ternate.  Pukulan balik secara spektakuler seperti itu jarang terjadi dalam sejarah militer VOC. Selama perang besar Ambon, pemimpin lokal pada vasal kesultanan Ternate tersebut dan sekutunya di Hoamoal serta di tempat lain memperoleh bantuan dari pihak-pihak pemberontak dari pusat kesultanan yang melarikan diri ke utara Pulau Ambon. Selanjutnya, pada tahun 1653 dan 1654, koalisi itu diperkuat lagi dengan tambahan beberapa ribu orang dari Makasar. Pada awalnya, VOC hanya “merespon” dengan membakar beberapa negeri atau menghancurkan perkebunan cengkih dan sagu. Lambat laun, gesekan konflik itu menjadi perang, dimana tingkat kehancuran dan jumlah korban lebih banyak. Setelah perang usai, Hoamoal dan pulau-pulau di sebelah baratnya, terutama Kelang dan sebagian besar Boano, penduduknya menurun. Penduduk yang selamat dari perang, “dipaksakan/diusir” ke wilayah-wilayah lain (Knaap 1987a: 23, 26-27, 100-104).

Buku yang ditulis oleh Livinus Bor

Kebrutalan dan kekejaman ekstrim perang ini, tidak luput dari perhatian pengamat kontemporer. Livinus Bor3, sekretaris pemimpin tertinggi komandan perang,  Superintendant Arnod de Vlaming van Oudshoorn, menulis sebuah buku yang dimaksudkan untuk memuji dan membela atasannya4. Pada buku ini, ia menyatakan penghancuran sarana-sarana mata pencaharian dan penganiayaan musuh dengan tembakan dan pedang adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri perang. Bahkan, ia percaya VOC tidak punya pilihan lain selain membunuh semua orang yang berpotensi menyerang balik di wilayah itu (Bor 1663: iv-v, 55-58).

Pada tahun 1652, dengan tibanya pasukan ekspedisi pertama dari Batavia, target pertama adalah kubu pertahanan di Loki, yang terletak di pantai timur Hoamoal, yang terdiri dari 7 benteng, dimana kubu pertahanan paling kuat dibangun dari batu. Setelah melakukan prosedur biasa, seperti memotong jalur pasokan dan menghancurkan negeri-negeri serta sumber mata pencaharian penduduk di sekitarnya, para komandan menyadari bahwa kubu pertahanan Loki tak bisa ditaklukan dengan mudah, mereka memutuskan untuk membangun kubu pertahanan sementara dari kayu dan pasir di pantai untuk mengawasi musuh. Namun demikian, aksi-aksi penyerangan pada menjelang akhir bulan berikutnya, pasukan yang berkekuatan sekitar 400 tentara VOC, 50 tentara bayaran dari Ternate dan sekelompok pelaut yang membawa kapak, tali dan “alat-alat penembak” menaklukan wilayah itu melalui serangan mendadak. Sebelum menyerbu tempat itu, pasukan diperintahkan untuk membunuh semua orang (penduduk) yang mampu menggunakan senjata. Setelah kubu pertahanan Loki takluk, pasukan yang lebih besar, termasuk sekitar 250 orang Kristen Ambon bergerak menerobos masuk semenanjung dan menaklukan benteng-benteng kecil lainnya (Bor 1663: 86-89, Rumphius 1910, 2: 30-34). Namun hal ini belum selesai. Setelah kekuatan bantuan dari Makasar tiba, pasukan anti VOV berkumpul kembali dan menjadikan Asahudi, di pantai barat laut Hoamoal sebagai markas utama mereka. Dari sana, orang-orang Makasar dan Hoamoal bergerak ke sisi timur semenanjung untuk mendirikan kubu pertahanan kedua yang baru di Laala, dekat perkebunan sagu yang rimbun. Pada tahun 1654, VOC mengepung kubu pertahanan Laala. Hal ini butuh beberapa waktu lamanya, namun akhirnya pasukan VOC berkekuatan 800 orang dan ratusan orang Ambon dari pelayaran hongi, menaklukan Laala dalam pertempuran yang sangat dasyat. Mortir dan granat tangan membawa mimpi buruk bagi pasukan musuh. Setelah pertempuran berakhir, 700 orang Hoamoal dan Makasar tewas, sementara kelompok lain yang berjumlah lebih dari 400 orang, terutama wanita dan anak-anak dijadikan tawanan perang. Hanya 60 orang yang berhasil lolos (Bor 1663: 236-241, Rumphius 1910, 2: 52-53, 70, 73, 76-79).

Laala dalam tahun 1724

Pada awal tahun 1655, VOC telah mendirikan banyak kubu pertahanan untuk membatasi gerak musuhnya, dan memusatkan perhatiannya ke kubu pertahanan di Asahudi. Artileri dari divisi East Indiamen digunakan untuk menghancurkan kapal-kapal musuh, yang berefek pada putusnya “hubungan” antar mereka. Orang-orang Makasar dan Hoamoal kehabisan makanan dan moral mereka runtuh. Pada tanggal 29 Juli, pasukan VOC berkekuatan 700 tentara, 70 pelaut dan sekitar 800 orang Ambon kembali melancarkan serangan frontal ke kubu pertahanan utama di Asahudi. Sebelum serangan ini, pada sore hari sekelompok kecil prajurit telah memanjat tebing di belakang benteng utama musuh. Setelah terompet melantunkan “Wilhelmus”, nyanyian religius yang akan menjadi lagu kebangsaan Belanda pada abad 205, serangan dilancarkan, didukung oleh tembakan dari kapal-kapal VOC. Melihat bahwa pasukan VOC telah menduduki tebing di atas kubu pertahanan, dan menjadikan posisi itu sebagai sasaran empuk untuk ditembak, orang-orang Makasar dan Hoamoal melarikan diri.

Dalam waktu empat jam, VOC telah merebut semua benteng di kubu pertahanan itu. Pada minggu-minggu setelah jatuhnya kubu pertahanan Asahudi, satu-satunya benteng tersisa di pedalaman Hoamoal, yaitu di Kalike, juga direbut, yang pada saat itu jumlah korbannya cukup tinggi. Banyak penduduk Hoamoal dan penduduk dari pulau-pulau di sebelah baratnya, seperti Boano dan Kelang memohon pengampunan dan diampuni. Sebagian yang coba melarikan diri ke Seram Utara, khususnya orang-orang Makasar diburu dan dibunuh. Hanya sekitar 250 orang Makasar dari total 1000 orang ditawan (Bor 1663: 288-298, 301-303, Rumphius 1910, 2: 85, 88-94). Dengan tindakan ini berarti menandai berakhirnya perang besar Ambon, meski di Buru, aksi kekerasan masih berlanjut hingga tahun 1658.

---- bersambung ----


Catatan Kaki
1.         lbs adalah singkatan dari kata libras, yang maknanya timbangan atau keseimbangan.....lbs adalah nama “lain” dari pound atau pon. 1 kg = 2,20 lbs. Itu berarti 8000 lbs bubuk mesiu seperti yang dikutip di atas sama dengan 3636,4 kg bubuk mesiu.
2.        Kapitan Kakiali dibunuh pada tanggal 17 Agustus 1643 oleh pembunuh bayaran VOC asal   Spanyol bernama  Fransisco de Toyra/Toire.
§  Memorie van Overgave Gub VOC Ambon Gerard Demmer tertanggal 3 September 1647, ARA: VOC 1166 : 523 – 598 dimuat oleh Gerrit J Knaap dalam Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon....... Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, 1987, hal 154 – 189, khususnya hal 159, Catatan kaki no 9
§  Rumphius, G.E. De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen, volume 1, hal 220-221
3.        Livinus Bor lahir sekitar tahun 1621 di Leiden Belanda dan meninggal di Ambon pada 5 Januari 1669. Ia berdinas di VOC sejak tahun 1639 sebagai kadet Angkatan Laut dan ditugaskan di Ternate di masa Gubernur VOC Ternate Wouter Seroyen (1642-1648. Pada pertengahan tahun 1645, ia ditarik kembali ke Batavia. Tahun 1650 ia ditugaskan sebagai Assisten di Gubernemen VOC Ambon pada masa Gubernur VOC Ambon Arnold de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650). Pada tanggal 21 Agustus 1650, de Vlaming ditarik kembali ke Batavia dan Livinus Bor ikut dibawa. Melalui resolusi tertanggal 11 November 1650, de Vlaming ditunjuk sebagai superintendant untuk 3 gubernemen, yaitu Ternate, Ambon dan Banda (1651-1656). Livinus Bor kembali dibawa dan bertugas sebagai Sekretaris pribadi van Oudshoorn sekaligus Sekretaris Raad van Politicq Gubernemen VOC Ambon (1651-1656). Pada April 1656 ia kembali ke Batavia, dan tiba pada 14 Agustus 1656. Tahun 1661 ia ditugaskan sebagai Fiscal yang berpangkat Letnan di Formosa Taiwan. Tahun 1662 ia ditarik kembali ke Batavia. Tahun 1663 ia kembali ditugaskan ke Ambon, tahun 1664 ia menjabat di tempat yang pernah didudukinya (1664-1665). Ia diberhentikan pada Mei 1665 dan sementara waktu digantikan oleh Willem van Zyl (1665 – 1666), sang fiscal. Ia menikah dengan Cecilia Suarez van Bengal, wanita Eurasia. Istrinya dipenjara di Batavia karena menyiksa seorang budak.
§   Livinus Bor oleh Barteld dimuat Nieuw Nederlands Biographisch Wordenboek deel 8, oleh P.C. Molhuysen dan P.J. Blok, diterbitkan oleh A.W. Sijthoff, Leiden, 1930, pada hal 180-181
§   Livinus Bor oleh Karel Steenbrink dimuat dalam buku Christian-Muslim Relation : A Bibliographical History volume 11, hal 372-376
§   Valentyn, Francois. Oud and Nieuw Oost-Indien, tweede deel, bag 2 : Ambonsche Zaaken, zevende hoofdstuk, Joannes van Braam, Dordrecht, 1724, hal 8-10, 12-13
4.       Buku itu berjudul Amboinse oorlogen door Arnold de Vlaming van Oudshoorn Als Superintendent over d’oosterse gewesten oorlogaftig ten einde gebracht ditulis pada tahun 1656 saat Livinus Bor sudah berada di Batavia. Buku ini diterbitkan di Delft oleh Arnold Bon tahun 1663.
5.        Wilhelmus menjadi lagu (anthem) kebangsaan Belanda sejak tanggal 10 Mei 1932. Lagu ini terdiri dari 15 bait atau stanza, dimana setiap huruf pertama dari setiap awal stanza/bait, jika digabungkan akan membentuk kata “Willem van Nassov” atau Willem van Nassau.  Melodi lagu ini berasal dari lagu tentara Katholik Perancis berjudul  : ” Autre chanson de la ville de Chartres assige par le prince de Cond”.... karena itulah Knaap menyebut bahwa “asal usul” lagu kebangsaan Belanda adalah nyanyian religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar