Kamis, 25 Februari 2021

François Valentijn: Antara etika dan estetika

R.Z. LEIRISSA

[Universitas Indonesia]

  

  1. Kata Pengantar

Francois Valentijn, adalah seorang pendeta yang pernah bertugas di Gubernemen VOC Ambon dan Banda pada akhir abad ke-17 dan dekade pertama abad ke-18. Ia kemudian lebih dikenal melalui magnus opumnya Oud en Nieuwe Oost – Indien, sebanyak 5 volume tebal. Meski banyak mengisahkan sejarah-sejarah wilayah Asia di masa aktivitas VOC, namun karya itu dikritik sebagai plagiat oleh beberapa figur.

Artikel “pendek” sepanjang 7 halaman yang ditulis oleh R.Z. Leirissa ini pun, sepertinya [menurut penilaian kami] lebih condong pada pihak yang mengkritik karya Valentijn itu. Hal ini nampak secara eksplisit dari judul artikel ini, Francois Valentijn : Antara etika dan estetika, yang dimuat pada jurnal Wacana, volume 10, no 2, Oktober 2008, halaman 207 – 213.

Pada artikel ini, Leirissa menyajikan beberapa kritikan terhadap karya Valentijn dengan mengutip pendapat-pendapat orang-orang yang menuduh Valentijn sebagai plagiat. Memang, agak mengecewakan karena Leirissa sepertinya tidak “netral” dalam menganalisis Valentijn, meski ia juga menyajikan pendapat orang yang memuji karya Valentijn dalam aspek estetika. Misalnya saja, mungkin Leirissa tidak membaca atau mengetahui beberapa pendapat yang sebaliknya, seperti Theodore.W Pietsch (tahun 1991a), J.Fisch (tahun 1986b) dan lain-lain, serta yang terbaru dari Siegfried Huigen (tahun 2009c).

Terlepas dari hal itu, kami menyajikan artikel Leirissa ini, agar minimal kita bisa mengetahui karya Valentijn yang pernah bertugas di Ambon, juga untuk memahami bahwa hal berbeda pendapat, merupakan hal lumrah dalam dunia ilmiah.

Artikel Leirissa ini berisikan 4 buah catatan kaki, dan beberapa bibliografi. Pada artikel ini, kami tambahkan beberapa catatan tambahan, dan beberapa gambar ilustrasi sebagai “pemanis”.


  1. Isi Artikel 

Abstrak

Sebuah buku kontroversial tentang sejarah VOC pada abad ketujuh belas ditulis oleh François Valentijn, seorang pengkhotbah dalam daftar gaji Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Buku (delapan jilid) yang terbit tahun 1724-1726 ini dikenal dengan judul populernya Oud en Nieuw Oost-Indiën. Sebagian besar materi dalam buku ini dibajak dari sumber lain tanpa sepengetahuan penulisnya, sebagaimana praktik historiografi yang tepat. Namun mengenai gayanya, sejumlah penulis Belanda mengapresiasi kualitas estetiknya. Selain itu, buku tersebut memang bermanfaat bagi para sejarawan saat ini karena sebagian materi bajakan dalam buku tersebut kini telah hilang selamanya.

Tidak mudah menulis sejarah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Serikat Dagang Hindia Timur) pada masanya (1602-1799). Para penguasa VOC (de Heeren Zeventien, tujuh belas anggota dewan Direktur VOC) melarang para pegawai atau mantan pegawainya untuk menulis apa saja yang berkenaan
dengan kegiatan badan dagang itu. Larangan itu dapat dipahami karena rahasia perusahaan tidak boleh jatuh ke tangan pedagang lain, dan larangan semacam itu sedikit-banyaknya masih berlaku bagi dunia usaha di masa kini.

Sekalipun ada larangan tersebut, dari waktu ke waktu ada beberapa pegawai atau mantan pegawai VOC yang memberanikan diri menulis sejarah VOC. Dua di antaranya yang terkenal sekarang adalah Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702) dan François Valentijn (1666-1727). Rumphius adalah seorang pegawai VOC keturunan Jerman (nama aslinya adalah Georg Everard Rumphius). Dengan status sebagai tentara VOC, ia tiba di Ambon pada tahun 1653, tetapi dialihkan sebagai pegawai sipil. Dengan izin VOC sekitar awal tahun 1669 ia mulai mempelajari secara sistematis fauna dan flora di pulau Ambon. Hasilnya adalah sebuah naskah yang berjudul Het Amboinsche Kruidboek yang lebih dikenal sebagai Herbarium Amboinensis. Karya yang diselesaikan pada tahun 1690 itu dikerjakan dengan bantuan beberapa asisten karena sejak tahun 1670, Rumphius telah menjadi buta (glaucoma) dan sebab itu pula ia dikenal dengan julukan “De blinde ziener” (si buta yang dapat melihat). Selain itu, Rumphius juga menulis tentang dunia binatang (zoologi) dengan judul D’Amboinsche Rariteitkamer. Sebuah naskah lain mengenai zoologi yang sekarang tidak ditemukan kembali adalah Het Ambonsche Dierboek


Sekalipun lebih menaruh perhatian pada tanaman dan binatang, sebagai seorang ilmuwan Rumphius juga tertarik pada manusia. Dari tangannya muncul sebuah naskah sejarah Ambon. Namun, penerbitannya dilarang oleh VOC. Naskah itu baru diterbitkan pada tahun 1910 dengan judul “De Ambonsche historie, behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen zo in vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp. het besit in Amboina gehadt heeft” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde [volume] 64. Selain itu, ia juga menulis mengenai geografi sosial pulau Ambon; pada tahun 1983 diterbitkan di Jakarta (dengan suntingan Z.J. Manusama) oleh Arsip Nasional Republik Indonesia dan pada tahun 2002 di Utrecht diterbitkan oleh Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers.

Pada tahun 1666 François Valentijn lahird, 39 tahun setelah Rumphius, di Dordrecht Belanda. Setelah menamatkan pendidikannya dalam bidang teologie  dan filsafat di Leiden dan Utrecht, ia dipekerjakan oleh VOC sebagai pendeta dengan tempat kedudukan di Ambon. Ia berada di Ambon antara tahun 1685f  sampai tahun 1695g  dan antara tahun 1706h dan tahun 1714i. Dalam periode pertama di Ambon, ia dekat dengan Rumphius, bahkan belajar bahasa Melayu dari ahli botani itu. Kemudian ia menikah dengan seorang janda kaya, yaitu Cornelia Snaatsj, janda dari teman dan pelindungnya yang kaya yang bernama Hendrik Snaatsk. Sebab itu ketika ia kembali ke Belanda pada tahun 1714, ia tidak perlu mencari pekerjaan tetap dan hanya aktif menulis(Beekman 1988: 55-95). Sekembali di Dordrecht, Belanda, selama 10 tahun ia menulis sebuah buku sejarah VOC monumental yang secara populer dikenal kemudian dengan nama Oud en Nieuw Oost-Indiën yang diterbitkan tahun 1724-1726. 


Ada tiga perbedaan mencolok antara Rumphius dan Valentijn. Pertama, kalau Rumphius berdiam di Ambon sebagai seorang ahli botani selama sekitar 50 tahun dan meninggal di sana, maka Valentijn bertugas sebagai pendeta di pulau itu hanya sekitar dua belas tahun. Perbedaan pokok kedua adalah bahwa dalam sekian banyak naskah itu, Rumphius hanya menulis mengenai pulau Ambon. Sebaliknya Valentijn, selain menulis mengenai Maluku (yang ditemukan pada beberapa bagian dari Oud en Nieuw Oost-Indiën) juga menulis mengenai wilayah-wilayah kegiatan VOC lainnya di Asia (di bagian lainnya). Perbedaan ketiga adalah bahwa sejak abad ketujuh belas hingga hari ini, Rumphius tetap dihormati oleh kalangan ilmuwan internasional sebagai seorang yang berjasa bagi ilmu pengetahuan. Pada tahun 1681 ia mendapat penghargaan dari sebuah lembaga ilmiah, yaitu Academia Naturae Curiosorum dengan gelar Plinius Indicus (Sirks 1915). Sebaliknya Valentijn, yang bukunya memang laku keras di zamannya, mendapat penilaian yang negatif baik oleh para pejabat VOC maupun oleh para sejarawan Belanda. Semasa hidupnya ia tidak disenangi oleh para petinggi VOC, terutama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker yang memegang jabatan itu selama sekitar 50 tahun dan mengenal Valentijnl. Para sejarawan Belanda dari bagian pertama abad ke-20, menuduh Valentijn sebagai seorang yang tidak jujur dan yang menggunakan profesi kependetaannya untuk mencari kekayaan semata-mata karena kawin dengan janda kaya. Sejarawan F. de Haan (1910- 1912) dalam tulisannya yang berjudul Priangan: de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811,  melontarkan tuduhan bahwa Valentijn adalah seorang plagiator. Kritik itu masih berkumandang dalam bagian kedua abad kedua puluh seperti nampak dalam tulisan E. M. Beekman dari Universitas Massachusetts. Bahkan Beekman (1988: 67) menuduh Valentijn sebagai seorang oportunis dan pencuri naskah orang lain yang diaku sebagai naskahnya, yaitu naskah terjemahan Injil dalam bahasa Melayu Rendah. Menurut Beekman, terjemahan Injil itu sesungguhnya dilakukan oleh Simon de Larges yang meninggal tahun 1677m. Di kemudian hari naskah terjemahan itu jatuh ke tangan seorang pendeta lain yang kebetulan tinggal bersama Valentijn yang tiba di Ambon pada tahun 1685. Ketika pendeta itu meninggal pada tahun 1687, naskah terjemahan itu jatuh ke tangan Valentijn. Ketika kembali ke Hindia, pada tahun 1706 Valentijn menyerahkan naskah itu kepada para pejabat VOC. Namun, naskah itu ditolak karena “[...] mutu bahasa Melayunya yang tidak merata dan dugaan pemalsuan yang tidak pernah bisa dibantah oleh Valentijn” (Beekman 1988: 67)1.  Naskah terjemahan Injil dari Valentijn itu hingga kini tidak pernah ditemukan kembali.

Biografi Valentijn dapat juga dibaca dalam karya yang ditulis oleh R.R.F. Habiboe (2004)2. Tampaknya Habiboe memiliki versi tersendiri mengenai karya dan pribadi Valentijn. Ada nada positif pada judul bukunya (Tot verheffng van mijne natie […]) yang saya kira diambil dari keterangan Valentijn sendiri dalam bukunya di mana antara lain ia menyebutkan tujuan penulisan bukunya itu: “[…] untuk menerapkan segala yang saya miliki bagi kemajuan Bangsa saya […]” (Beekman 1988: 71)3

Karya Valentijn

Karya monumental dari Valentijn, seperti yang telah disebut di atas, dikenal dengan judul singkatnya sebagai Oud en Nieuw Oost-Indiën. Judul lengkapnya adalah Oud en Nieuw Oost-Indiën, vervattende een naaukeurige en uitvoerige verhandelinge van Nederlands mogentheyd in die gewesten, benevens een wydlustige beschryvinge der Moluccos, Amboina, Banda, Timor en Solor, Java en alle de eylanden onder dezelve landbestieringen behoorende: het Nederlands comptoir op Suratte, en de levens der groote Mogols; als ook een keurlyke verhandeling van ’t wezentlykste, dat men behoort te weten van Choromandel, Pegu, Arracan, Bengale, Mocha, Persien, Malacca, Sumatra, Ceylon, Malabar, Celebes of Macassar, China, Japan, Tayouan of Formosa, Tonkin, Cambodia, Siam, Borneo, Bali, Kaap der Goede Hoop en van Mauritius (Dordrecht: Joannes van Braam; Amsterdam: Gerard onder de Linden, 1724-1726). Buku yang terbit dalam delapan volume inin  terdiri dari lima bagian dengan ketebalan buku 5.144 halaman, dilengkapi dengan 79 buah peta dan 182 ilustrasi lainnya. Lima bagian itu adalah sebagai berikut:

                                 1.            berisi deskripsi mengenai Maluku Utara, Sulawesi Timur, dan pulau-pulau di sekitarnya,

                                2.            berisi wilayah Ambon dan pulau-pulau sekitarnya seperti Seram, Buru, Nusalaut, Haruku, beserta diskripsi geografisnya,

                                3.            berisi sejarah gereja dari wilayah-wilayah tersebut di atas, keterangan mengenai flora dan faunanya, dan disambung dengan deskripsi mengenai Banda, Timor, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Tonking, Cina. Kamboja, dan Siam,

                               4.            berisi keterangan mengenai pulau Jawa, riwayat hidup para Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1610. Kemudian menyusul sejarah pembentukan kota Batavia, lalu diikuti keterangan riwayat hidup dinasti Moghul di India, lalu Cina, Formosa (atau Tayouan), dan diakhiri dengan kisah pelayaran bolak-balik sebanyak empat kali Belanda-Hindia,

                                5.            berisi deskripsi mengenai Koromandel dan bagian-bagian lain dari India, Persia, Malaka, Sri Lanka, Malabar, Jepang, Tanjung Harapan, dan pulau Mauritius. 

Dari daftar pembagian isi itu dapat dipahami bahwa Valentijn tidak mengikuti suatu konsep yang jelas untuk menyusun bukunya, baik geografs maupun historis. Ketidakteraturan itu lebih jelas lagi dalam setiap bagian, umpamanya Sumatra diselipkan antara Malaka dan Sri Lanka. Sulawesi selain terdapat dalam bagian I juga terdapat dalam bagian III. Tongking (Vietnam Utara) diselipkan antara Jawa dan Bali, sedangkan India dibahas dalam tiga bagian. Uraian mengenai Jawa dan Sumatra hanya sepintas lalu dibandingkan dengan uraian mengenai Maluku Utara dan Ambon yang mencakup dua jilid penuh (jilid I dan jilid II)

Dari judul bukunya itu dapat disimpulkan bahwa Valentijn membagi sejarahnya dalam dua periode utama. Periode pertama adalah masa pra-VOC yang disebutnya sebagai Oud Oost-Indië dan masa VOC sebagai Nieuw Oost Indië. Dua periode itu terpisah secara ketat dalam uraiannya dan tidak terjadi tumpang tindih. Sama sekali tidak ada upaya untuk menjelaskan bagaimana atau sampai dimana VOC mempengaruhi perkembangan masyarakat lokal yang berinteraksi dengannya. Teori-teori interaksi seperti itu memang tidak lazim dalam masa VOC karena menunggu perkembangan ilmu sejarah dalam abad ke-19 dan ke-20.


Etika

Sebagai seorang pendeta dan dengan latar belakang pendidikan filsafat dan teologi, dapat dipastikan bahwa Valentijn mempunyai pengetahuan dasar mengenai sejarah. Namun, apakah ia memiliki pengetahuan mengenai bagaimana menulis sejarah? Bagaimana orang Barat pada masa Valentijn menulis sejarah? Terobosan yang dipelopori oleh Leopold von Ranke (1795- 1886) dalam bukunya yang diterbitkan di Leipzig pada tahun 1824 merupakan kritikan yang tajam mengenai cara penulisan sejarah di masa itu (Gilbert 1990: 12-14). Ranke menganjurkan para penulis sejarah untuk tidak hanya mengutip ulang buku-buku yang telah ditulis sebelumnya tetapi langsung menggunakan dokumen-dokumen otentik dengan cara yang kritis. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa penggunaan dokumen otentik belum menjadi keharusan di masa itu. Metode itulah yang umumnya digunakan oleh Valentijn.

Kritikan yang dilontarkan oleh para sejarawan terhadap buku Valentijn tersebut adalah bahwa ia tidak jujur mengemukakan dari siapa atau dari buku siapa ia memperoleh keterangan untuk bukunya itu. Oleh sebab itu, ia dicap sebagai seorang yang tidak etis dan disebut sebagai plagiator.

Bagaimana sesungguhnya Valentijn bekerja? Ternyata di dalam bukunya itu di sana-sini ia menyebut bahwa ia menggunakan tulisan atau keterangan dari orang-orang tertentu. Secara khusus ia menyebut nama Rumphius yang dikenalnya di Ambon dan yang karya-karyanya, baik mengenai sejarah maupun mengenai flora, fauna, dan dunia binatang di Maluku, disadurnya dengan panjang lebar. Di beberapa tempat ia menulis bahwa ia juga memperoleh berbagai dokumen dari para pegawai VOC tertentu. Kemungkinan besar dokumen itu diterimanya ketika ia telah kembali di negeri Belanda (Gilberts 1990: 59-63).

Namun, mengenai Maluku, Batavia, dan sebagian dari pulau Jawa, nampaknya Valentijn juga menggunakan hasil observasinya sendiri ketika ia berada di tempat-tempat itu. Bahkan mengenai sejarah pra-VOC di Maluku (Oud Oost-Indië) ia menggunakan hasil wawancara. Ketika ia hendak menulis sejarah kerajaan-kerajaan di Maluku Utara (dalam jilid I) ia sempat mendatangi beberapa bangsawan Ternate yang sedang dipenjarakan di Ambon. Kepada mereka ia tunjukkan sebuah naskah lama mengenai sejarah Ternate yang ditulis dalam bahasa Ternate dengan menggunakan aksara Arab. Naskah itu diperolehnya dari seseorang di Luhu, pusat perdagangan Ternate di Seram. Ia meminta agar para tawanan itu menerjemahkan naskah itu baginya. Ada indikasi bahwa Valentijn mengenal berbagai naskah lama lainnya dari Maluku Utara yang kini sudah tidak ada lagi.

Selain itu, di Maluku Valentijn sempat juga mempelajari bahasa Melayu dari Rumphius, sekalipun hanya sekitar tiga bulan. Namun, istrinya, Cornelia Snaats, tampaknya sangat mahir dalam berbahasa Melayu itu, dan menjadi bantuan yang menentukan bagi Valentijn dalam menyusun khotbahnya dalam bahasa Melayu. Valentijn tampaknya juga menggunakan kamus bahasa Melayu yang disusun oleh Rumphius yang naskahnya hingga kini belum ditemukan kembali.

Kalau keterangan mengenai keadaan di Indonesia bisa diperolehnya dari pengalamannya sendiri serta para mantan pegawai VOC atau dengan cara mengutip Rumphius, bagaimana Valentijn memperoleh keterangan mengenai wilayah-wilayah Asia lain yang merupakan wilayah kegiatan VOC yang dicakup dalam bukunya itu? Bagaimana umpamanya Valentijn memperoleh sumber sejarah untuk mendeskripsikan sejarah di wilayah-wilayah Persia, India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Cina, dan Jepang?

Menurut Beekman informasi mengenai Persia dan Koromandel diperoleh Valentijn dari tulisan dan buku dari seorang yang bernama Herbert de Jager yang mungkin lahir pada tahun 1636 dan meninggal di Batavia pada tahun 1694 (Beekman 1988: 67-70). De Jager adalah seorang ahli bahasa-bahasa Timur lulusan Universitas Leiden. Setelah lulus ia menjadi pegawai VOC dan mengenal, bahkan berkiriman surat dengan Rumphius di Ambon. Ia pernah bertugas sebagai penerjemah di Persia dan Koromandel, pertama kalinya selama lima belas tahun antara tahun 1665 hingga tahun 1680, dan kedua kalinya antara tahun 1682 dan tahun 1687. Tidak lama setelah meninggal di Batavia pada tahun 1694 berkas-berkasnya dilelang. Kebetulan pada tahun1694 Valentijn juga berada di Batavia dalam perjalanan pulang ke Belanda. Namun, dalam bukunya itu Valentijn menulis bahwa ia tidak bertemu dengan De Jager karena, tulisnya, ahli bahasa itu meninggal di Isfahan (Persia). Namun, baik De Haan maupun Beekman yakin bahwa Valentijn berbohong untuk menutup kenyataan bahwa dia memang menggunakan bahan-bahan dari De Jager untuk menceritakan keadaan di Persia dan Koromandel.

Pekerjaan rumah bagi para ahli historiograf adalah menjawab pertanyaanbagaimana Valentijn memperoleh sumber sejarah untuk menulis mengenai India, Sri Lanka, Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Selain itu, seluruh buku Valentijn itu masih harus dikaji ulang untuk menentukan keabsahan dari keterangan-keterangannya.


Estetika

Betapapun juga Oud en Nieuw Oost-Indiën itu memang bermanfaat bagi ilmu sejarah. Sumber sejarah yang digunakannya memang belum ditelurusi secara tuntas, tetapi jelas ada keterangan-keterangan yang hanya bisa diperoleh dari buku itu saja. Namun, harus dikatakan juga bahwa sebagai historiograf buku Valentijn tersebut sama sekali tidak etis.

Namun, sekalipun dari segi sejarah karya Valentijn itu dikatakan tidak etis, dari segi sastra ada nilai estetikanya. Menurut Beekman, tidak kurang dari seorang Edward du Perron, kritikus sastra modern itu, yang menilai bahwa Valentijn dapat dikategorikan sebagai “[...] a remarkably fine storyteller in prose [...]” (Beekman 1988: 79).

Buku Valentijn itu juga merupakan sumber inspirasi bagi Maria Dermoût(1888-1962). Novelis Belanda itu banyak menggunakan keterangan dari buku Valentijn itu untuk menulis novel-novelnya yang mengandung cerita-cerita yang berlangsung di Ambon dan sekitarnya, seperti De tienduizend dingen, atau cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam antologinya yang berjudul Verzamelde werken seperti “Koning Baboe en de veertig jongelingen”, “De boom des levens”, dan “De goede slang” (Beekman 1988: 80, 93). Mengenai pengalamannya membaca buku Valentijn itu, novelis Belanda itu menulis: “Saya sering membaca buku itu, terutama bagian-bagian mengenai‘Deskripsi tentang Maluku’ dan ‘Masalah-masalah Maluku’ tetapi kemudian menyingkirkannya karena saya terganggu oleh begitu banyak kesombongan, kemunafikan, bajakan dari Rumphius, namun kemudian saya kembali membacanya lagi karena ia menaruh perhatian yang begitu baik dan karena ia pandai bercerita” (Beekman 1988: 80)4

Penutup

Oud en Nieuw Oost-Indiën adalah judul singkat dari karya monumental François Valentijn. Buku yang terbit dalam delapan volume (1724-1726) memuat deskripsi wilayah-wilayah kegiatan VOC di Asia dan juga khususnya di Nusantara. Cara penyajian materi isi tidak berurut baik secara geografs maupun historis. Namun, isi buku ini jelas terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum VOC (Oud Oost-Indië) dan masa VOC (Nieuw Oost-Indië). Walaupun banyak dikritik karena dianggap tidak etis, pada praktiknya
kandungan isi buku ini tetap banyak dimanfaatkan baik oleh peneliti sejarah maupun sastra. Sumber dan karya asal informasi bajakan itu pada kenyataannya sudah tidak dapat ditemukan lagi sekarang ini. Tidaklah mengherankan jika buku yang kontroversial itu dianggap memiliki nilai estetika, selain juga berkat penceritaannya yang menarik. Seperti pernyataan seorang kritikus sastra, Edward du Perron, bahwa François Valentijn adalah seorang pencerita yang ulung.

Catatan Kaki

1.         Kutipan terjemahan R. Z. Leirissa.

2.        Sayang sekali tulisan Habiboe ini belum sempat saya [penulis] pelajari dengan seksama.

3.        Kutipan terjemahan R. Z. Leirissa.

4.        Kutipan diterjemahkan R. Z. Leirissa

 

Catatan Tambahan

a.        Lihat Theodore. W. Pietsch, Samuel Fallours and his “Sirenne” from the province of Ambon [dimuat Archives of Natural History, volume 18, nomor 1, tahun 1991, halaman 1 – 25]

§  Pada catatan kaki no 45, Pietsch mengutip pendapat L.B. Holthius yang membahas tentang kasus plagiat Valentijn, yang menurut Holthius tidak pernah terbukti/tak memiliki dasar

  1. Lihat J. Fisch, Hollands Ruhm in Asien. François Valentyns Vision des niederländischen Imperiums im 18. Jahrhundert. Stuttgart, 1986.
  2. Lihat Siegfried Huigen, De zaak Valentyn : Plagiaat en wetenschappelijk decorum aan het begin van de achttiende eeuw [dimuat pada jurnal TNTL, volume 125 (2009), hal 22 – 40

§  Meskipun artikel ini dimuat pada tahun 2009, yang berarti 1 tahun setelah artikel Leirissa, faktanya artikel ini berasal dari materi presentasi tahun 2007

d.       Francois Valentijn lahir pada 17 April 1666

e.        Francois Valentijn menamatkan pendidikan teologia di Leiden pada tahun 1682

f.         Francois Valentijn tiba di Ambon pada tanggal 30 Desember 1685

g.        Lebih tepatnya hingga tahun 1694, bukan 1695 seperti ditulis Leirissa. Sebenarnya tidak terlalu tepat juga apa yang ditulis oleh Leirissa bahwa antara tahun 1685 – 1695, Valentijn berada di Ambon. Lebih tepatnya adalah sebagai berikut : 1685 – Juli 1686 (berada/bertugas di Ambon), Agustus 1686 – Mei 1688 (berada/bertugas di Banda), Mei 1688 – Mei 1694 (berada/bertugas kembali di Ambon).  Francois Valentijn menuju ke Batavia pada 7 Mei 1694 dan kemudian kembali ke Belanda (1695 – 1705)

h.       Pada 18 Januari 1706, Valentijn tiba kembali di Batavia (lihat catatan c di atas) dan bertugas di Jawa pada 1706 – Awal 1707. Kemudian bertugas lagi di Ambon pada Maret 1707 – Mei 1712. Pada Mei 1712 ia kembali ke Batavia

i.         Pada tahun 1714, Francois Valentijn telah kembali pulang ke Belanda.

j.         Cornelia Snaats adalah putri dari Bartholemeus Snaats dan Pieternela Bons, sekaligus saudara perempuan dari Anthonij Snaats, Opperhoofd van Haruku (1692 – 1694)

k.        Hendrik Leydecker adalah seorang free burgher, yang menjadi Kapten kaum Burger (1679 – 1691) dan anggota Raad van Justitie van Ambon

  1. Leirissa melakukan kekeliruan mendasar dan tidak teliti dalam informasi mengenai hal ini. Joan Maetsuycker menjabat sebagai Gub Jend VOC pada 1653 – 1678. Metsyucker mulai menjadi Gub Jend VOC (1653), bahkan di saat Valentijn pun belum lahir (1666), dan ia meninggal saat masih menjabat (Januari 1678) di Batavia, saat Valentijn baru berusia 12 tahun dan bahkan belum selesai kuliah (1682). Tidak logis jika dikatakan Maetsuycker tidak menyukai Valentijn. Kekeliruan kedua, Maetsuycker tidak menjabat selama 50 tahun, tetapi hanyalah 25 tahun, dan tidak pernah ada seorang Gub Jend VOC yang berkuasa selama 50 tahun, yang paling lama hanyalah Maetsuycker sendiri (25 tahun).  
  2. Pdt Simon de Large meninggal di Banda pada tanggal 17 Agustus 1677
  3. Mungkin Leirissa mengikuti sumber E.M. Beekman dalam soal jumlah volume buku karangan Francois Valentijn yaitu sebanyak 8 volume. Beberapa sarjana lain menghitung sebanyak 5 volume bukan 8 volume. Misalnya Siegfried Huigen (2019), P. Serton (1971), Theodore Pietsch (1991), Rob Nieuwenhuijs (1978)

§  Lihat Siegfried Huigen, Repackaging East Indies Natural History in Francois Valentyn’s Oud en Nieuwe Oost-Indien  (dimuat pada jurnal Early Modern Low Countries, volume 3, bag 2, 2019, hal 234 – 264), khusus hal 235

§  Lihat SERTON, P. 1971 English summary of the introduction. Pp 1-30, In: P. Serton, R. Raven-Hart, W. J. de Kock, and E. H. Raidt (editors), Francois Valentyn. Description of the Cafe of Good Hope with the matters concerning it. Van Riebeeck Society, Cape Town. Part I, Ser. 2, No. 2.

§  Rob Nieuwenhuijs, Oost Indische Spiegel, Amsterdam, 1978, hal 50 (edisi Belanda), hal 23 (edisi Inggris – 1982)

§  E.M Beekman, Paradijzen van weeler : Koloniale literatuur........., Amsterdam, 1998,  hal 130

 

Daftar pustaka

  • Beekman, E.M. 1988. “François Valentijn”, di dalam: Beekman (red.), Fugitive dreams: an anthology of Dutch colonial literature, hlm. 55-95. Amherst: University of Massachusetts Press.
  • De Haan, F. 1910-1912. Priangan: de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. ’s-Gravenhage: Nijhoff.
  • Gilbert, Felix. 1990. History: politics or culture? Reflections on Ranke and Burckhardt. Princeton: Princeton University Press.
  • Habiboe, R.R.F. 2004. Tot verheffng van mijne natie; Het leven en werk van François Valentijn (1666-1727). Franeker: Van Wijnen.
  • Sirks, M.J. 1915. Indisch natuuronderzoek: een beknopte geschiedenis van de beoefening der natuurwetenschappen in de Nederlandse koloniën. Amsterdam: Koloniaal Instituut.
  • Rumphius, G. E. 1983. Ambonsche landbeschrijving. Suntingan Z. J. Manusama. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. (Penerbitan Sumber-sumber Sejarah/ANRI No. 14).
  • Rumphius, G.E. 2002. De Ambonse eilanden onder de VOC: zoals opgetekend in de Ambonsche landbeschrijving. Utrecht: Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers. 
  • Valentijn, François. 1724-26. Oud en Nieuw Oost-Indiën, [...]. Dordrecht: Joannes van Braam; Amsterdam; Gerard onder de Linden.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar