Minggu, 21 Februari 2021

Dokumen-dokumen Pribadi Artus Gijsels Sebagai Sumber Sejarah Hindia Timur

M. A. P. Meilink-Roelofsz

 

 

  1. Kata Pengantar

Artikel yang kami terjemahkan ini, ditulis oleh Marie Antoinette Petronella (M.A.P) Meilink-Roelofsz, seorang arsiparis yang kini telah almarhumah (23 September 1988), dan dimuat pada Journal of Southeast Asian History, volume 10, isu 3, September 1969, halaman 540 – 559, dengan judul The Private Papers of Artus Gijsels as Source for the History of East Asia.

Seperti disebutkan secara eksplisit dalam judulnya, artikel sepanjang 20 halaman ini membicarakan figur Artus Gijsels, seorang yang di masa mudanya pernah bertugas di Hindia Timur, khususnya di Gubernemen VOC Ambon. Gijsels sejak sekitar tahun 1611 telah bertugas di Ambon, bahkan kemudian menduduki posisi puncak sebagai Gubernur van Ambon (1631 – 1634). Pada masa Gijsels menjadi Gubernur, ia banyak melakukan “blusukan” ke wilayah-wilayah, yang mana ia banyak meninggalkan rekaman (berupa lukisan) tentang wilayah tersebut. Misalnya ia pernah berkunjung ke pulau Saparua (Agustus 1633), dan beberapa lukisan dibuat oleh seniman yang dipekerjakannya, yaitu lukisan wilayah Ihamahu, Ullath, Honomoa (Siri-sori), dan kepulauan Lease.

Ada beberapa informasi menarik yang disampaikan oleh sang penulis tentang relasi Gijsels dengan orang-orang Ambon pada paruh pertama abad ke-17 itu. Misalnya Gijsels pernah menghadiri upacara pemakaman Kimelaha Sabadyn, perwakilan kesultanan Ternate yang bermarkas di Hoamoal, menyebut bahwa orang-orang Ambon di wilayah pegunungan bersikap menolak poligami, dan lain-lain.

Pada artikel hasil terjemahan ini,  kami tambahkan catatan kaki, dan beberapa lukisan hasil “blusukan” Gijsels  dan lukisan/gambar lain yang  berhubungan dengan isi artikel.

Lukisan [negeri] Hieto

  1. Terjemahan

Kearsipan Umum Negara di Den Haag, secara bertahap menjadi terkenal, bahkan di luar Eropa, karena kekayaan materi-materi dokumentasi tentang sejarah Asia yang tersimpan di sana. Selain itu, lembaga ini berupaya arsip-arsip kompeni dengan mikrofilm-mikrofilm dari dokumen-dokumen yang tersimpan di tempat yang kurang layak, baik publik maupun swasta, di dalam maupun di luar negeri. Sekarang, dokumen-dokumen semacam itu, ditulis dalam bahasa Belanda dan berkaitan dengan subjek-subjek yang biasanya berada di luar ruang lingkup kelompok-kelompok lain arsip di lembaga seperti itu, [sehingga] menarik sedikit perhatian secara lokal, sehingga kurang dimanfaatkan. Oleh karena itu, sangatlah memuaskan bahwa Kearsipan Umum Negara, baru-baru ini memperoleh mikrofilm dari koleksi dokumen lengkap, yang disimpan di Badische Landesbiliothek di Karlsruhe, Republik Federal Jerman. Koleksi ini berasal dari [milik] Artus atau Arnoud Gijsels, pejabat VOC , dan baru pada akhir abad itu dikenal di Belanda. Kemudian seorang Jerman, Dr. E.F. Kossmann, sarjana Jerman yang menetap di Belanda, ayah dan kakek dari sarjana Belanda yang terkenal, membuat panduan singkat tentang isinya. Dia menerbitkan panduan ini dalam “ De Nederlandsche Spectator” (tahun 1888), sebuah majalah budaya yang diterbitkan di Belanda, yang sekarang hampir terlupakan. Sejarah kolonial bukanlah bidang khusus Kossmann, tetapi caranya merangkum panduan ini, menjadikan respek kami padanya. Berkat artikelnya, koleksi ini mendapat perhatian dari editor “Bouwstoffen voor de geschiedenis van de Malaische Archipel” (Materi-materi untuk sejarah Nusantara) yaitu P.A. Tiele dan J.G. Heeres, serta editor jurnal Batavia, H.T. Colenbrander, yang kemudian menjadi Prof Sejarah Kolonial di Univesitas Leiden.  Namun, orang mendapat kesan bahwa mereka tidak menyelidiki secara pribadi seluruh koleksi di Karlsruhe. Tiele dan Heeres hanya menyebutkannya secara sepintas. Ketertarikan Colenbrander ditujukan terutama terhadap 2 laporan yang dibuat oleh Gubernur Jend VOC, Anthonie van Diemen, pada tahun 1636 dan 1637. Laporan tahun 1636 juga tersimpan dalam Kearsipan Umum Negara, dan contoh ini hanya berbeda pada rincian kecil dari laporan Karlsruhe. Tetapi baik Kearsipan Umum Negara maupun Arsip Pemerintah Batavia, tidak memiliki salinan laporan tahun 1637 itu. Laporan ini, hanya mencakup periode dari 1 Januari hingga 27 Mei 1637, diterbitkan oleh Colenbrander dalam rangkaian jurnalnya,yang dilengkapi dengan 2 dokumen lain, yang berasal dari setelah [tanggal] 27 Mei 1637. Jurnal perjalanan Van Diemen ke Ambon, juga kurang di Den Haag dan Batavia, dan dari hal itu, ia membuat salinan manuskrip – itu masih dalam zaman pra-teknis - . Salinan ini sekarang tersimpan dalam koleksi tambahan Kearsipan Umum Negara.

Orang Belanda pertama yang mempelajari koleksi secara menyeluruh – setidaknya sejauh melibatkan peta – adalah F.C. Wieder, yang melaporkan temuannya di Monumenta Cartografica. Dan sejauh itulah minat orang Belanda, terlepas dari fakta bahwa ringkasan Kossmann, meskipun singkat, menjanjikan hasil informasi yang menarik. 

Lukisan [pulau] Oma/Haruku

Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi Karlsruhe dan dapat menilai sendiri dari koleksi ini. Saya yakin ada banyak alasan untuk membuatnya dalam bentuk mikrofilm, dan ini dilakukan oleh Badische Lanesbibliethek, yang baru-baru ini pindah ke gedung baru yang dilengkapi dengan peralatan teknis modern. Dengan memiliki film-film ini, saya dapat mempelajari dokumen-dokumen tersebut secara lebih rinci dan membandingkannya dengan akta-akta dari Artus Gijsels di arsip kompeni (VOC). Kedua kelompok akta ini saling terkait erat, dan untuk tujuan penelitian, tidak cukup hanya berkonsultasi pada salah satunya. Karena dokumen-dokumen tersebut tampaknya sangat penting untuk sejarah VOC di Asia, khususnya Asia Tenggara, dan terlebih lagi untuk sosiografi di wilayah ini, saya ingin menyampaikan sesuatu tentang koleksi ini, terutama tentang laki-laki luar biasa ini. Mengingat jumlah dokumen yang sangat banyak, penelitian saya terhadapnya belum selesai, sehingga pengamatan saya dilakukan untuk sementara waktu. Selain itu, penyelidikan tentang asal usul dan karir Gijsels, membutuhkan studi lebih lanjut dan mendetail.

Ruang lingkup kajian ini hanya menyebutkan beberapa hal penting dari kehidupan yang sangat bergejolak ini, dan kemudian diambil secara eksklusif dari karir Gijsels sebagai pejabat VOC, karena ditujukan untuk sejarah Asia. Namun, yang tidak kalah menariknya adalah karirnya di kemudian hari sebagai penasihat Elektor Agung Bradenburgh Prusia, tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan rencana kolonial selanjutnya. Tetapi itu sejarah Eropa, persaingan timbal balik orang Eropa dalam upaya mereka untuk berbagi dalam perdagangan kolonial.

Sebagai permulaan, bahkan latar belakang sosial Gijsels, luar biasa. Seperti dalam kasus pejabat-pejabat teras/terpenting VOC, sedikit yang diketahui sampai sekarang tentang asal Gijsels. Karya-karya sejarah Jerman, yang perhatiannya diberikan pada karirnya di Jerman, sangat sedikit berkaitan dengan hal ini. Bahkan di sana di tempat kelahirannya, Ijsselstein, [seperti] yang tercatat di arsip VOC, tidak dapat diketahui lagi. Namun arsip VOC sendiri tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya tempat dan tahun kelahirannya, yaitu tahun 1593.

Beberapa surat pribadi dalam koleksi Karlsruhe, terutama salinan akta resmi, memberikan titik awal untuk penelitian lebih lanjut tentang latar belakang Gijsels.

                Terlalu sering para pendiri imperium Belanda ditemukan [berasal] dari provinsi-provinsi pesisir, di kalangan pedagang dan perkapalan di Belanda dan Zeeland. Gijsels, bagaimanapun, adalah keturunan dari keluarga Baron dari provinsi pedalaman. Sejak perempat terakhir abad ke-15, keluarganya tinggal di Oosterhout, terletak di provinsi Brabant, di Belanda Selatan. Tempat ini termasuk dalam wilayah bangsawan Nassau, nenek moyang Raja-raja kerajaan Belanda (House of Orange). Para leluhur Gijsels adalah fungsionaris penting dalam melayani bangsawan Nassau, dan setelah itu para pangeran Orange, sebuah hubungan yang pada tahun-tahun selanjutnya terbukti begitu dekat, sehingga dalam semua kesulitannya, Gijsels dapat mengandalkan dukungan dari Stadholder, Frederick Hendrik1, dan keponakannya2 yang juga Stadholder di provinsi Friesland. 

Fort Victoria di Ambon (1631)

                Selama [periode] reformasi, keluarga Gijsels, berhubungan dengan keluarga bangsawan terkemuka di Belanda utara dan juga di Brabant Utara, [dan] menjadi Protestan. Ketika Belanda memberontak melawan Spanyol, mereka berpihak pada pemimpin pemberontak, Pangeran Orange.

Keluarga Gijsels tidak mampu bertahan dari periode “badai” di Belanda ini, karena wilayah Pangeran Orange mengalami pembalasan yang parah. Kastil tempat tinggal keluarga Gijsels di jual pada saat ini, dan ayah Artus Gijsels mungkin kemudian mengikuti bangsawan Orange menyeberangi sungai dan bertempat tinggal di Ijsselstein yang lebih aman – Ijsselstein juga merupakan [wilayah] milik bangsawan Orange.

Sekarang, meskipun semua hal ini tampaknya sedikit atau tidak ada minat untuk sejarah Asia, kita tidak bisa meremehkan pengaruh latar belakang sosial seseorang dan didikan pada lingkungannya di kemudian, dalam cara dia memenuhi tugasnya dan bergaul dengan sesamanya, baik Asia atau Eropa.

Berkat lingkungan tempat ia dilahirkan, Gijsels menerima pendidikan yang baik. Dia mungkin menghadiri sekolah Latin (Tata Bahasa) yang berlokasi di Ijsselstein pada periode itu. Di suatu tempat dalam surat-suratnya, ia berbicara tentang bahasa Latin yang telah dia pelajari di masa mudanya, dan mengungkapkan penyesalannya karena hanya sedikit menguasainya. Namun demikian, ia menulis dengan jernih dan terkadang dengan gaya grafis. Mempertimbangkan jumlah yang dia tulis, itu pasti membutuhkan sedikit usaha. Dia sangat perseptif (orang yang sangat cerdas) dan jelas bisa berpikir sistematis dan konsisten. Dalam banyak hal, dia adalah pejabat pemerintah dan pegawai negeri sipil yang khas, sama seperti nenek moyangnya sebelumnya. Dia juga bisa berpikir dalam kerangka sejarah, oleh karena itu, keinginannya untuk mencatat segalanya untuk anak cucu, meskipun secara alami pembenaran diri juga merupakan motif. Minatnya dalam sejarah, juga tentang wilayah dimana dia kebetulan berada, begitu tajamnya sehingga, misanya,  dia membuat daftar dokumen yang rapi saat ia berada di pemerintahannya di Amboina, kumpulan dokumen awal tentang pemukiman pertama Belanda di sana. Sayang sekali para penerusnya (penggantinya), kurang mementingkan pekerjaan ini, [yang jika dilakukan akan menjadi] suatu koleksi unik yang seharusnya kami miliki.

Oleh karena itu, dalam diri Gijsels, kita melihat seorang pria dengan latar belakang pemerintahan, meskipun sebagai komandan armada dan pasukan militer, dia belum sesuai standar. Dia memiliki sedikit wawasan tentang strategi yang dapat diterapkan pada situasi tersebut, dan mungkin juga tidak memiliki keteguhan yang dibutuhkan.

Karena telah terbiasa memperhatikan para pengiringnya, dia memang seorang diplomat yang baik. Selain itu, dia tampaknya sangat rentan terhadap masyarakat terhadap masyarakat yang sangat tidak Eropa, dan dapat menggambarkannya secara mendetail.

Sebagai pegawai negeri yang baik, dia tentu tidak bebas dari konformisme. Di tahun-tahun berikutnya, ia dengan mudah mengesampingkan ide-ide kemanusian dari masa mudanya, dan menjadi pelaksana yang ketat dari kebijakan Heeren XVII tentang penghancuran. Meskipun minatnya tidak berubah pada masyarakat pribumi, dia tidak ragu untuk menghancurkannya dengan pedang dan api. Karena kepribadian yang rumit, tetapi pasti patut dipelajari karena aspek positif dan negatifnya.  

Pulau Ambon & Banda (1631)

Sebagai pemuda berusia 18 tahun, pada tahun 1611, ia berlayar ke Hindia Timur di bawah asuhan [Laurens] Reael, komandan armada dan yang kemudian menjadi Gubernur Jend VOC3, dan pada usia itu ia sudah berpangkat “asisten faktor” (faktor junior) mungkin karena memiliki koneksi dan pendidikan yang lebih baik dari mayoritas pegawai kompeni.  Dia juga pergi bersama Reael ke Maluku4, dimana dia bekerja, di wilayah Ambon, pulau Ambon dan sekitarnya, salah satu sumber utama cengkih kompeni. Di wilayah ini, dia menghabiskan sebagian besar karirnya di Hindia. Di sini juga, dia langsung dihadapkan dengan faktor utama dalam kebijakan kompeni, penegakan monopoli rempah-rempah. Belanda telah berada di Ambon sejak tahun 1605, dan dari sana, mereka memperluas pengaruhnya di Nusantara dengan menyingkirkan Spanyol dan Portugis.

Namun, ketika Gijsels pertama kali menginjakkan kaki di Maluku, pengaruh Spanyol dan Portugis belum sepenuhnya hilang. Di Ternate dan Tidore, masih ada kubu pertahanan Spanyol. Selain itu, kekuatan Spanyol di Filipina mendukung Portugis, meskipun posisi Portugis di markas utama mereka, di Malaka, dalam keadaan berbahaya.

Walaupun kompeni berhasil memperoleh perdagangan pala dengan cara menaklukan  kepulauan Banda, monopoli perdagangan cengkih ternyata jauh lebih sulit dalam waktu jangka panjang. Tekanan kuat diberikan kepada penduduk pribumi untuk memaksa mereka memberikan produk mereka kepada kompeni. Belanda mencoba untuk membenarkan kebijakan mereka terhadap penduduk pribumi, dengan menekankan perlindungan yang diterima penduduk, sebagai hasil dari peperangan mereka melawan Spanyol dan Portugis, meskipun monopoli Belanda yang jauh lebih ketat diberlakukan, merupakan beban yang lebih besar pada penduduk pribumi, daripada saat monopoli Spanyol – Portugis di masa sebelumnya. Untuk [kebutuhan] pakaian dan beras mereka, penduduk pribumi bergantung sepenuhnya pada impor para pedagang asing, yang menukar-produk ini dengan cengkih. Penyedian seperti ini sekarang dihentikan oleh Belanda, yang memang memberi mereka beras dan pakaian, tetapi dalam jumlah yang terlalu sedikit dan harga yang terlalu mahal. Akibatnya penduduk pribumi berpaling kepada Inggris, yang merupakan saingan utama Belanda. 

Steven Van der Haghen

Segera setelah Gijsels memulai karirnya, konflik tentang kebijakan yang harus diterapkan kepada Inggris dan penduduk pribumi, terjadi antara Gub Jend VOC [Laurens] Reael dan penasehat terdekatnya, anggota Raad van Indie, Steven van der Hagen di satu sisi dengan Jan Pieterszoon Coen, Direktur Jend sejak tahun 1614, di sisi lain. Reael dan Van der Hagen menganjurkan sikap yang tidak terlalu keras terhadap orang-orang Inggris dan penduduk pribumi, daripada yang ditetapkan oleh para Direktur di Belanda dan dilaksanakan secara kejam oleh Coen. Kritik tajam Reael yang terakhir, pasti telah mendorong Heeren XVII untuk tidak menyetujui pilihan Raad van Indie pada Reael sebagai Gub Jend VOC kembali, dan menunjuk Coen sebagai gantinya5. Pada tahun 1619, baik Reael maupun Van der Hagen kembali pulang ke Belanda6. Kepulangan mereka, berarti tidak ada lagi seorang pun di Hindia yang memberikan perlawanan serius terhadap operasi ketat monopoli. Karena Gijsels tidak diragukan lagi adalah anak didik Reael, yang mana mereka bersahabat namun penuh rasa hormat, dia pasti telah dipengaruhi, baik oleh Reael maupun oleh Van der Hagen. Mereka adalah atasannya, saat ia bekerjasama dengan mereka di Maluku. Dia pasti juga telah mengetahui dan bersama mengkritik Coen, dan hal ini, tentu saja bukan – seperti yang dituduhkan oleh Colenbrander – hanya karena kebencian tentang perlakuan tidak adil yang dilakukan Coen, tetapi juga rasa antipati pribadi yang timbul, mungkin menambah kritikan Gijsels [pada Coen].

Dalam ketertarikannya pada masyarakat Asia, dia juga bisa mencontoh dari Reael dan Van der Hagen, karena keduanya telah meninggalkan laporan-laporan dan surat, yang mengungkapkan pengetahuan mereka yang luas tentang bentuk pola kemasyarakatan dan ekonomi penduduk pribumi.

Selama waktu tinggal pertamanya di Ambon, karir Gijsels maju pesat. Sayangnya, koleksi Karlsruhe tidak berisikan dokumen apapun tentang periode ini, sehingga data tersebut harus “diambil” dari arsip-arsip VOC (kompeni). Dalam pandangan tentang posisi Gijsels yang masih di bawah, hal itu memang tidak lengkap. Pada tahun 1615, ia dipromosikan menjadi pedagang, pada tahun 1617 ia menjadi pedagang senior di kantor utama di Hitu. Pada tahun 1618, ia menjadi orang nomor dua (secunde)7 di bawah Gubernur [Herman] van Speult, menggantikannya saat ia (van Speult) tidak ada, dan ketika ia (Gijsels) pergi ke Belanda8, Gubernur memberi kesaksian yang sangat memuji Gijsels. Sementara itu, Gijsels harus mengambil tindakan terhadap Inggris, yang diusir dari “markas” mereka di Seram pada tahun 1615.

Tanggung jawabnya pada misi yang berbeda-beda ke para penguasa kaum pribumi, pasti telah mengajarinya banyak hal tentang mentalitas penduduk pribumi. Pada tahun 1617, ia bahkan ditugaskan untuk membujuk pemimpin Islam di Hitu, “pemimpin suci tertinggi yang juga rubah jahat” demikian Gijsels menyebut pemimpin itu, ke dalam ruangan dan membawanya dengan kapal ke kastil Victoria.

Hubungannya dengan orang Ambon Kristen lebih baik, dan fakta bahwa beberapa pemimpin negeri terpenting mempercayakan anak-anak mereka untuk diasuh dalam perjalanan ke Belanda, menunjukan banyak hal atas caranya memenangkan simpati kelompok penduduk ini9. Setelah menyelesaikan belajar teologi, ke-4 pemuda itu kembali lagi bersama Gijsels ke Ambon10. Sejak awal Gijsels tertarik pada penyebaran agama Kristen dan pendidikan penduduk pribumi. Belakangan, sebagai Gubernur [van Amboina], ia melakukan korespondensi yang panjang dengan pendeta terkenal, [Justus] Heurnius. Dan pendapat Heurnius tentang Gijsels sangat baik, meskipun tindakan Gijsels sering kejam pada penduduk pribumi yang melawan.

Menurut pendapat Gijses, pekerjaan peradaban dari sekolah dan misi, pada dasarnya adalah senjata melawan Islam, yang, sebagai reaksi terhadap penyusup asing, berusaha untuk menyebarkan pengaruhnya lebih jauh dan dalam di Maluku, dan secara khusus ditujukan untuk mengubah [kepercayaan] animisme Alifuru, penghuni wilayah pegunungan di wilayah pedalaman. Ada kontradiksi yang tajam antara mereka dan orang-orang Islam di wilayah pesisir, yang tidak diragukan lagi, ditentukan sebagian oleh faktor etnis. Secara keseluruhan, mereka tidak cenderung memeluk Islam, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap adat istiadat dan moral mereka. Menurut Gijsels, mereka terutama menolak poligami, dan dalam hal ini, mereka merasa diri mereka lebih dekat hubungannya dengan Belanda. Hal yang terakhir ini (soal poligami), memicu tindakan pengayauan (potong kepala) orang Alifuru terhadap penduduk beragama Islam, sama seperti mereka memperlakukan orang Ambon Kristen untuk tujuan yang sama. Dalam tindakan penyerangan dan penghukuman serta pemusnahan yang dilakukan oleh Belanda, yang menganggap suatu kontrak telah dilanggar, para sekutu kompeni ini biasanya melakukan pekerjaan menjarah, membunuh dan menghancurkan pohon cengkih. Kadang-kadang mereka melakukan pekerjaan ini dengan sangat ganas dan brutal, sehingga Belanda harus mendesak mereka untuk tidak berlebihan, meskipun mereka selalu siap untuk mengekspolitasi perbedaan di antara masyarakat.

Dibandingkan dengan kontroversi-kontroversi ekonomi, antagonisme agama lebih mengakar meskipun perdagangan mungkin merupakan faktor penentu bagi Belanda. Surat-surat Gijsels mengandung banyak ekspresi yang menunjukan kebencian yang sangat mendalam dan eksplisit dari orang Islam. Mungkin hal ini menjelaskan sebagian perlakuannya yang terkadang tidak manusiasi terhadap penduduk pribumi Islam, selama ia menjabat sebagai Gubernur.

Insiden yang disebutkan sebelumnya yang menyebabkan kemarahan Coen, tidak begitu menarik di kepala Gijsels. Ketika Gijsels tiba di Japara dengan memimpin 2 kapal dan menangkap 2 junk Jawa di sana, ia diminta untuk menghentikan serangannya, setelah diyakinkan oleh seorang pedagang Inggris di Jepara, bahwa telah ditandatangani kesepakatan damai antara Kerajaan Mataram dan Kompeni. Sikap mudah tertipu ini kemudian diganjar dengan hukuman yang sangat berat bagi Gijsels dan bawahannya. Namun, dengan membaca secara teliti gubernur Japara, terungkap bahwa ia juga, tidak menganggap Mataram sedang berperang dengan kompeni. Namun tindakan Gijsels bertentangan dengan kebijakan Coen tentang negara-negara Jawa. Bagi Gijsels, hukuman itu berarti kemunduran pertama dalam karirnya yang sejauh ini begitu baik. Setelah itu, sikap kritisnya terhadap Coen diperkuat oleh kebencian pribadi. Peristiwa ini niscaya menjadi faktor penting dalam pembentukan karakternya.

Mungkin karena insiden inilah, generasi selanjutnya berhutang budi atas laporan penting tersebut tentang Ambon dan kebijakan kompeni di Asia pada umumnya. Karena di dalamnya, Gijsels secara bebas mengkritik Coen, dan ketika kembali ke Belanda, kemungkinan besar dia menyebarkan tulisan-tulisan ini pada lawan-lawan Coen di sana. 

Laporan-laporan ini diterbitkan pada abad ke-19, sayangnya agak tidak sempurna dan tanpa penjelasan lebih lanjut atau pengantarnya. “Het grondig verhall van Amboina (laporan mendetail tentang Ambon – The Detail Account of Amboina) adalah deskripsi terperinci tentang wilayah dan orang-orang Ambon; Verhaak van eenige oorlogen in Indie (laporan beberapa perang di Hindia – The Acoount of Some Wars in the Indies) memberikan survei tentang kebijakan kompeni di Asia, sementara “Rapporti van personen, komende uit Oost-Indie (laporan tentang orang-orang yang datang dari Hindia Timur – Report of persons coming from the East Indies) mungkin juga ditulis oleh dirinya.

Hukuman yang dijatuhkan terhadapnya, tidak menghalangi Gijsels untuk diangkat menjadi komandan atas skuadron dari 3 kapal yang akan berangkat ke Belanda, tidak lama setelah kedatangannya di Batavia pada tahun 1620.

Begitu berada di atas kapal, dengan energi tanpa lelah, ia mulai menggarap semua informasi yang telah dikumpulkannya tentang Ambon dalam laporan-laporan yang [disebutkan] di atas. Dalam perjalanan itu, anak asuhan Ambonnya, mungkin telah memberinya data berguna lebih jauh. Dalam kritiknya terhadap Coen, Gijsels dengan cermat mengikuti garis yang diambil oleh bekas atasannya, Reael dan Van der Hagen. Secara khusus dia berfokus pada perlakuan tidak manusiawi Coen terhadap penduduk Banda, dan dia mengilustrasikannya secara paralel dengan perang pembebasan Belanda melawan Spanyol : “kita harus memahami, bahwa mereka (penduduk Banda) berjuang untuk kebebasan negara mereka, karena bertahun-tahun, kita (orang Belanda) juga mempertaruhkan nyawa dan harta benda kita untuk hal yang sama”. Di sini, Gijsels berbicara sebagai seorang laki-laki, yang keluarganya memiliki pengalaman pribadi [saat] pemberontakan Belanda itu. Colenbrander menyatakan tuduhan Gijsels pada Coen dengan anggapan yang sangat berbeda. Colenbrander mencoba “membenarkan” Coen, meskipun dengan argumen yang tidak terlalu meyakinkan tentang tuduhan itu, bahwa dia (Coen) memberikan instruksi yang ambigu kepada warga bebas, yang dapat mereka tafsirkan sebagai izin untuk melakukan penyerangan dan pembajakan [pada penduduk pribumi].  Bagi Gijsels, ini adalah bukti dari “karakter Italianya” Coen, yang selalu membiarkan pintu belakang terbuka. Gijsels berkomentar sangat tepat tentang larangan pedagang asing dari Maluku, dan dia menunjukan perlunya untuk memasok makanan dan pakaian untuk penduduk. Benar dia menyalahkan rencana Coen untuk memaksakan semua pedagang asing ke Batavia. Hal yang luar biasa adalah saat Gijsels menganjurkan pembangunan depot perbekalan untuk kapal-kapal kompeni di Tanjung Harapan – sebuah skema yang benar-benar ia yakini – karena kemudian dia membahas topik ini kembali.

Di Belanda, ia terus menjalin hubungan dekat dengan para Direktur kompeni. Misalnya, nampak ia kemudian berkorespondensi secara teratur dengan anggota keluarga bangsawan Amsterdam, [yaitu] keluarga Hasselaer dan Hulft, yang menjabat sebagai magistrat kota dan anggota Direktur VOC (kompeni). Salah satu rekan terdekat Gijsels di Ambon adalah Evert Hulft11, suami dari salah satu keponakan Gijsels12 yang menemaninya ke Hindia, serta saudara dari jenderal Gerard Hulft, yang lebih terkenal, yang tewas selama perang pengepungan Kolombo pada tahun 1656. 

Selama tinggal di Belanda, Gijsels diberi tugas kehormatan oleh pemerintah nasional. Organisasi kompeni (VOC) hanya mengizinkan sedikit pemegang saham, tetapi dalam jangka panjang mereka meminta suatu pernyataan dari laporan-laporan dan administratif. Generale State mengambil tindakan dalam masalah ini, dan pada tahun 1627 memberhentikan Gijsels dan delegasi lainnya dengan menarik pernyataan ini. Penugasan ini, yang diselesaikan pada bulan Oktober 1628, pasti juga telah dilakukan oleh Gijsels yang memuaskan para Direktur, karena pada bulan yang sama dan dengan sangat memuji, mereka menunjuknya sebagai anggota Raad van Indie. Dia meminta untuk ditempatkan di Amboina, dan permintaan ini disetujui, mengingat pengalaman luas yang dia peroleh selama tugas singkatnya di sana dan telah ditunjukan melalui tulisan-tulisannya.

Pada saat penunjukan Gijsels, Coen masih menjabat sebagai Gub Jend VOC, tetapi hal ini tidak menghalangi dia untuk menerima. Dan memang dia tampaknya mengikuti sudut pandang para Direktur. Apakah ini hanya gejala ambisinya, atau penjelasannya dapat ditemukan dalam perkembangan umum kebijakan VOC???. Di bawah Reael dan Van der Hagen, masih ada kemungkinan menerapkan taktik yang tidak terlalu keras. Kebijakan Coen sudah pasti mengakhiri itu. Meskipun Heeren XVII pada awalnya khawatir tentang konsekuensi dari kebijakan yang dapat menyebabkan pemberontakan umum, jika otoritas yang sudah diperoleh tidak akan dibahayakan. Sistem yang telah berakar, dan pendukung kebijakan yang ringan mungkin tidak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan janji atau promosi dalam pekerjaan VOC. Rupanya pemikiran Gijsels diterima oleh 3 pertimbangan, dan pada akhir masa tinggalnya di Belanda, ia telah mengubah pandangan masa mudanya dengan pemikiran atau pendirian bangsawan Amsterdam. Dia menyatakan dirinya siap untuk menjalankan kebijakan mereka di Hindia, suatu kebijakan yang ditujukan untuk penegakan ketat monopoli rempah-rempah.

Sedikit banyak masalah yang dihadapi oleh Belanda di kepulauan rempah-rempah adalah akibat dari persaingan Inggris – Belanda. Upaya untuk mengusir Inggris dari kepulauan Banda menyebabkan penaklukan penduduk pribumi, pemusnahan dan pengusiran mereka yang hampir total dari kepulauan. Persaingan yang sama juga menjadi dasar dari semua konflik lain antara Belanda dan Inggris di Maluku, dan di antaranya adalah peristiwa tahun 1623 di Ambon, memiliki akibat yang besar dan paling abadi. Meskipun Belanda akhirnya berhasil memotong pengaruh Inggris dalam perdagangan rempah-rempah, persaingan tersebut hanya beralih ke bidang lain.

Di kepulauan rempah-rempah dimana VOC tidak berhadapan dengan negara-negara Asia yang kuat, VOC menggunakan kekuatan superiornya untuk menghancurkan perdagangan dan pengapalan Asia dalam serangkaian ekspedisi yang memperlunak, berkepanjangan dan sangat mahal melawan penduduk pribumi yang memberikan perlawanan. Hanya dimana Inggris dan orang-orang Eropa lainnya berhasil mempertahankan posisi mereka berdampingan dengan Belanda, seperti di Makasar, Banten, dan di titik-titik tertentu di Sumatera dan Kalimantan, barulah perdagangan pribumi dapat terus berjalan untuk sementara waktu, dan hal ini memungkinkan penduduk pribumi untuk memasarkan produk dari daerah rempah-rempah terlepas dari upaya Belanda untuk menghalangi.

VOC memiliki kendali penuh atas hasil rempah-rempah hanya di kepulauan Banda. Di pulau lain, perjuangan berlarut-larut selama bertahun-tahun, dan itu secara khusus adalah periode yang tercatat dalam dokumen-dokumen Gijsels. Perlawanan belum berakhir sebelum Malaka, Makasar dan Banten takluk di tangan VOC – yang dalam kasus Banten tidak sampai akhir abad ke-17.

Heeren XVII membenarkan kebijakan mereka yang ketat dengan menuduh penduduk pribumi telah melanggar kontrak-kontrak, karena penduduk pribumi menjual rempah-rempahnya kepada pedagang asing dan bukan kepada kompeni (VOC). Seperti yang saya katakan sebelumnya, hal ini tentunya tidak memberi kompeni hak untuk mengecualikan pedagang Asia yang membawa makanan dan pakaian. Kontrak-kontrak itu, yang biasanya ditandatangani di bawah tekanan, tidak menjelaskan secara pasti bagaimana orang-orang akan diberi makanan dan pakaian, jika mereka mengirimkan seluruh hasil rempah-rempah – yang merupakan satu-satunya produk barter mereka – hanya kepada Belanda. Kompeni memasok produk-produk ini dalam jumlah terlalu sedikit dengan harga yang terlalu tinggi.

Pertanyaan lain yang muncul adalah sejauh mana standar Eropa dapat diterapkan pada masyarakat Asia ini. Bukti bahwa Heeren XVII sepenuhnya menyadari hal ini dapat ditemukan dalam kebijakan yang mereka terapkan di bagian pesisir India, dimana monopoli tidak dapat diperoleh dengan paksa dan akibatnya VOC bergantung pada niat baik para penguasa India.

Karena Ambon juga menghasilkan cukup banyak cengkih untuk memenuhi permintaan di Eropa dan Asia, VOC berkonsentrasi pada tanaman-tanaman dan sejauh mungkin telah memusnahkan cengkih di tempat lain, terutama di Seram. Tetapi ini adalah operasi kurang lebih tidak memiliki harapan, karena penduduk pribumi selalu menemukan tempat baru, dimana cengkih bisa ditanam.

Kebijakan pemusnahan ini memunculkan kebencian yang terus berkembang pada masyarakat untuk VOC, yang kemampuannya untuk mempertahankan diri meningkat seiring berlarutnya perjuangan melawan Belanda. Mereka didukung oleh para pedagang asing, Makasar, Melayu dan Jawa, yang membeli cengkih di daerah tersebut. Apalagi faktor agama dalam pertempuran itu tidak bisa dianggap remeh. Lebih sering daripada perbedaan ekonomi, faktor religius ini menentukan karakter fanatiknya, dan, seperti yang dikatakan sebelumnya, hal ini juga berlaku di kalangan orang Belanda. 

Peta Seram Laut (1630-an)

Pada awalnya, energi Heeren XVII terbagi pada banyak proyek, tetapi selama tahun 1630-an, mereka memfokuskan diri untuk upaya mereka menegakan monopoli rempah-rempah.

Pada akhir tahun 1630 dan setelah perjalanan yang panjang dan penuh bencana, Gijsels tiba di Batavia bersama istri dan anaknya. Dia telah mencari seorang istri ketika berada di Belanda, dan di antara sepupu bangsawannya dia telah menemukan seseorang yang tinggal di Inggris, yang memungkinkan istrinya untuk melihat sesuatu di dunia [lain]. Selain itu, ia juga membawa kembali pulang anak-anak muda Ambon yang telah menyelesaikan sekolahnya, serta 2 kerabat istrinya yang belum menikah, yang bersedia mendapatkan suami yang cocok di Hindia Timur. Gub Jend VOC dan anggota Raad van Indie menganggap ini sebagai beban keluarga agak “berat” bagi anggota Raad van Indie yang baru saja diangkat ini – yang juga sekarang ditunjuk sebagai Gubernur van Amboina, atas permintaannya sendiri13 -

Sementara Gijsels adalah penganjur dan penyokong pernikahan campuran dengan wanita pribumi untuk para personel bawahannya, ia dan bawahan langsung membawa serta istri mereka dari Belanda, dan oleh karena itu, mereka-mereka ini adalah wanita Belanda pertama di Maluku. Tetapi eksperimen ini tidak terbukti sukses secara total. Pelayaran wanita yang telah menikah untuk bergabung dengan suami mereka di Hindia Timur tidak disetujui, karena itu bukanlah perjalanan menyenangkan “untuk wanita”. Juga reputasi para perempuan Belanda yang belum menikah, yang melakukan perjalanan ke Asia tampaknya agak meragukan. Ketika salah satu rekan laki-laki Gijsels memberikan persetujuan kepada salah satu sepupunya, Gijsels harus secara meyakinkan membela reputasinya terhadap keberatan dari paman pengantn laki-laki yang khawatir. Sungguh luar biasa bagaimana lingkungan sosial darimana Gijsels berasal, terus memainkan peran di pulau-pulau yang jauh ini. Sebagai Gubernur, ia dikelilingi sejauh mungkin dengan anggota keluarganya, anggota dari bangsawan Belanda yang sama dimana ia berasal, dan yang mengabdi kepadanya, baik di pos-pos pemerintahan maupun militer. Memang beberapa dari mereka sangat kompeten, orang-orang yang jujur, tetapi ada juga bangsawan tua, yang, setelah membunuh musuh mereka dalam duel, dikirim dengan terburu-buru ke Asia, dimana mereka menimbulkan banyak masalah bagi sepupu Gijsels. Sebuah korespondensi sibuk dipertahankan dengan relasi-relasi ini, karena mereka ditempatkan di pos-pos yang tersebar luas, terutama yang bersifat pemerintahan. Surat-surat ini mengungkapkan tentang hubungan pribadi timbal balik di antara kelompok sosial Eropa yang luar biasa ini. Perhatian bahkan difokuskan pada tampilan kemegahan, sebagaimana dibuktikan oleh rombongan yang dibawa Gijsels bersamanya.

Selama tahun-tahun di Hindia Timur ini, Gijsels harus menabung sebanyak mungkin untuk menghidupi keluarganya, dan terutama untuk membangun kembali kekayaan keluarga yang tidak diragukan lagi telah hancur selama pemberontakan melawan Spanyol. Meskipun gaji Gubernur Ambon tentu saja tidak terlalu besar menurut standar yang berlaku, semua cara yang mungkin digunakan untuk menambah penghasilannya. Istri Gijsels tidak berpikir kalau hal itu merendahkan martabatnya, melakukan bisnis dengan menjual produk-produk rumah tangganya, seperti minyak, telur dan lain-lain, serta bahkan terlibat dalam bisnis yang sangat menguntungkan yaitu di bidang penangkapan ikan. Suaminya berkonsentrasi pada pertanian pohon kelapa dan penyulingan arak, yang tentu saja bukan untuk konsumsi pribadi – jika dilihat dari jumlah anggur Perancis dan Spanyol yang ia pesan dari Eropa. Aktivitas bisnis ini, antara lain memprovokasi musuh dan pengganti sementaranya, Anthonie van den Heuvel, untuk menuduhnya melakukan perdagangan pribadi. Namun, Gijsels terbebas dari tuduhan itu, karena penyulingan arak adalah hak prerogatif Gubernur, dan para pendahulunya memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar darinya. Hasil dari semua bisnis sampingan ini sangat memuaskan Gijsels. Secara khusus, surat-surat Gijsels memberi kita informasi tentang mereka. Secara teratur, Gijsels mengirim sejumlah besar uang kepadanya dengan instruksi bagaiman uang itu akan diinvestasikan. Dalam hal ini, Gijsels menunjukan dirinya seorang pemodal yang baik, yang lebih memilih saham di ruang kecil, yang tersedia dengan harga yang lebih rendah dan menghasilkan deviden yang sama dengan di ruang yang lebih besar. Selain itu, dia tampaknya telah membeli tanah, karena pada kepulangannya yang kedua ke Belanda, dia tinggal di sebuah perkebunan di provinsi Utrecht. 

Perselisihan tampaknya telah muncul antara Gijsels dan pendahulunya, Philip Lucaszoon, saat dia tiba di Ambon. Penerimaan Lucaszoon terhadap penggantinya cukup baik, dan kemudian sangat kritis terhadap keadaan yang Gijsels temui di sana. Philip Lucaszoon, tidak diragukan adalah orang yang cakap dinilai dari laporan-laporannya, lebih muda dan belum lama bekerja di kompeni seperti Gijsels, kemudian tampaknya terganggu dengan sikapnya yang agak angkuh : ”bahwa beberapa orang dapat memberikan begitu banyak nasehat pada [saat] kepergian mereka, seolah-olah mereka mampu mengatur seluruh dunia”. Namun Gijsels menemukan bahwa benteng dan bangunan tidak diperhatikan, [jumlah] staf terlalu besar dan terlalu banyak hutang yang belum diselesaikan. Gijsels menuduh Lucaszoon menjalankan kebijakan yang terlalu lunak, dan Gub Jend bersama anggota Raad van Indie juga berpendapat sama. Kini untuk melihat Lucaszoon sebagai pembela kemanusian untuk penduduk pribumi, seperti yang dikatakan oleh Bokemeyer, bagi saya tampaknya tidak benar, karena tindakannya terhadap pedagang asing tidak kalah kejamnya dengan tindakan Gijsels. Sikap Lucaszoon terhadap penduduk kawasan itu sendiri lebih ditentukan oleh kebijakan “ menangkap rubah dengan rubah dengan cara simulasi dan keberanian yang ramah”, daripada pertimbangan manusiawi. Sayangnya, untuk Belanda rubah itu sangat sulit ditangkap.

Dengan pemimpin pribumi dan relasi kekuasaan yang mana, yang menjadi perhatian kompeni di Maluku, khususnya di “kota” Ambon?? Wilayah ini sebagian besar termasuk dalam wilayah pengaruh kesultanan Ternate. Hal itu dengan pasti terjadi di Seram Selatan, tempat “wakil” Sultan bermarkas.

Di Ambon sendiri kedaulatan Ternate kurang lebih dibantah, meskipun pemimpin terkemuka, Kapitan Hitu, mewakili Sultan di sana. Meskipun demikian, para penduduk tidak menganggap diri mereka sebagai vasal Ternate atau Belanda, yang mana aliansi telah dibuat.

Kapitan tua, yang bertindak sebagai semacam mediator di kepulauan timur, meninggal pada tahun 163314 saat Gijsels menjabat sebagai Gubernur. Ia digantikan oleh putra bungsunya, Kakiali, yang mengikuti garis politik yang jauh lebih anti Belanda daripada ayahnya. Belanda mengklaim hak berdaulat atas Amboina selatan, wilayah yang mereka rebut dari Portugis. Apalagi ada konflik dengan pihak kesultanan tentang batas wilayah ini. Setelah tahun 1627, Sultan Ternate, Hamdja, kembali dari penjara Spanyol, yang harus mempertahankan posisinya melawan kerajaan saingannya, Tidore, dan Spanyol yang beroperasi dari Filipina, sementara dalam periode yang sama, Makasar, bangkit menjadi bahaya besar. Berkat perbedaan Portugis – Belanda dan akibat dari blokade Malaka, Makasar berkembang menjadi pusat perdagangan, yang menarik semua pedagang yang mencoba menghindari monopoli Belanda.

Mayoritas nakhoda-nakhoda asing yang diperbutkan oleh Belanda di Maluku datang dari pelabuhan-pelabuhan ini, dimana sebagian perdagangan Malaka telah berpindah. Nakhoda-nakhoda Minangkabau dan Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Melayu, tetapi juga orang Jawa dari pelabuhan-pelabuhan Japara Jortan dan Grise, datang ke Maluku untuk rempah-rempah. Pada awalnya bagian aktif Makasar dalam pengapalan ini tampaknya relatif kecil. Pelayaran orang Jawa sangat penting untuk penyebaran Islam, terutama dari Grise, di sekitar tempat tinggal Rajah Bukit atau penguasa Giri. Dia adalah pemimpin Islam di sana, dan Belanda menilai kekuatannya begitu besar sehingga mereka menyebutnya “Paus”nya orang Jawa. Penguasa Giri juga mengirim kapalnya ke kepulauan rempah-rempah.

Perdagangan yang berkembang pesat di Makasar, memungkinkan penguasa untuk memperluas wilayah kekuasaannya, terutama dengan “mengorbankan” Ternate. Ia mengatur penyerangan-penyerangan di wilayah-wilayah yang di bawah kedaulatan Ternate, dan pada tahun 1634, ia bahkan merebut pulau Buton. Belanda, yang telah lama terlibat permusuhan berkepanjangan dengan Makasar, juga takut akan serangan terhadap pemukiman mereka, terutama di kepulauan Banda. Lagipula, semua orang yang melawan kompeni (VOC), misalnya stadholder di Seram dan kemudian Kapitan Hitu, bisa mendapat dukungan dari Makasar.

Berada dalam posisi agak genting, Sultan Ternate membutuhkan bantuan VOC sehingga cenderung untuk bekerjasama dalam tindakan VOC terhadap para stadholder (perwakilan) Ternate di Seram. Karena ketertarikan mereka pada penjualan cengkih kepada para pedagang asing, maka para stadholder mengikuti kebijakan yang berbeda dari Sultan. Kontrak-kontrak Sultan dengan Belanda, sedikit banyak melindungi kepentingan dan pendapatan Sultan, tetapi sebagai akibatnya, penduduk di “kota” Ambon takluk di tangan Belanda. Dalam hal ini, Sultan tidak punya cara untuk memaksa para stadholder-nya yang bebas untuk mengakui otoritasnya, dan selain itu dia takut, jantung wilayahnya akan menjadi sasaran ekspedisi hukuman.

Penyebaran secara besar-besaran budidaya cengkih di Ambon dan Seram sepanjang periode ini, tidak diragukan lagi, merupakan gejala peningkatan kesejahteraan bagi seluruh penduduk, yang sejak awal bergantung pada cengkih untuk [memperoleh] makanan dan pakaian. Namun, keuntungan terbesarnya adalah untuk para Stadholder kesultanan Ternate, yang dengan tepat dikatakan oleh Gijsels “wilayah Ambon adalah sapi perah yang bagus”. Korban utama dari ekspedisi hukuman adalah penduduk desa/negeri, yang rumahnya rata dengan tanah, istri dan anak-anak yang dibantai dan harta bendanya musnah melalui perusakan pohon cengkih dan kelapa.

Gijsels telah berurusan dengan para stadholder Ternate selama tugas pertamanya di wilayah Timur. Dia pernah menghadiri upacara pemakaman Kimelaha Sabadyn, yang, menurut Gijsels, “memiliki lebih banyak akal di satu jarinya, daripada Daya15 [pengganti Sabadyn] di seluruh tubuhnya, meskipun dia [Daya] cukup besar dan gemuk”. Sikap anti-Belanda dari Kimelaha Daya, mungkin mewarnai penilaian Gijsels [padanya]. Pada tahun 1623, Kimelaha Daya meninggal. Sebagai Gubernur Amboina, dihadapkan pada Kimelaha Luhu dan pendahulunya, Leliato, dimana keduanya sangat anti-Belanda dan bersekutu dengan Makasar. 

Di Ambon, Kapitan Hitu yang masih muda, Kakiali, menyebabkan banyak masalah bagi Gijsels. Jurnal-jurnal dan laporan-laporan Gijsels cukup banyak diisi dengan perlawanan melawan musuh-musuh Indonesia ini, dan oleh karena itu, jurnal dan laporan ini merupakan sumber pengetahuan penting tentang relasi kekuasaan Indonesia. Tidak ada pihak yang menolak untuk menggunakan cara apapun. Tetapi penduduk desa/negeri yang selalu tertipu. Bagi para stadtholder, aksi melawan orang Ambon Kristen yang bersekutu dengan Belanda tidak kalah brutalnya dengan aksi Belanda melawan penduduk wilayah bawahan stadtholder. Kedua pihak dalam konflik ini memanfaatkan Alifuru pemotong kepala, yang kurang lebih menjadi “korban” dari perebutan kekuasaan ini, dimana konversi penduduk primitif pegunungan ini menjadi Kristen atau Islam, menjadi bagian dari taruhannya.

Penyerangan ini menciptakan beban yang berat bagi rakyat, karena wajib bekerja sebagai pendayung kora-kora. Oleh karena itu, mereka kadang-kadang jauh dari keluarga selama sebulan penuh dan tidak dapat mengolah lahan mereka. Selain itu, mereka harus menanggung perlakuan yang sangat tidak manusiawi dari pelaut dan serdadu Belanda selama masa itu.

Dalam jurnalnya tentang penyerangan-penyerangan ini, Gijsels memberikan deskripsi rinci dan sangat grafis tentang tempat dan penduduknya, dengan data yang tepat tentang kehidupan mereka, jumlah rumah, kapal, dan lain-lain. Para seniman yang dipekerjakan oleh Gijsels membuat gambar-gambar yang digunakan Gijsels untuk mengilustrasikan narasinya.

Sementara hampir tidak ada yang dicapai oleh semua ekspedisi itu, sedangkan ketidakpuasan masyarakat terus meningkat, begitu pula terjadi defisit di pos Ambon. Meskipun keuntungan besar diperoleh dari penjualan rempah-rempah di Eropa dan Asia, biaya untuk menegakan monopoli rempah-rempah tak bisa diprediksi. Penunjukan dan pengangkatan yang sangat tidak bertanggung jawab oleh Pemerintah Agung kepada Anthonie van den Heuvel, yang tidak layak dan tidak berkompeten sebagai Gubernur Ambon secara tiba-tiba, mengakhiri masa jabatan Gijsels. Karena Komisaris Van den Heuvel telah melakukan inspeksi keliling Maluku dan sekembalinya ke Batavia, menuduh Gijsels melakukan perdagangan pribadi. Gijsels ditarik kembali [ke Batavia], tetapi karena tuduhan itu terbukti salah pada dasarnya, Gijsels diberi tugas dan, pada gilirannya, dikirim [kembali] ke Ambon sebagai inspektur jenderal untuk memberhentikan Van den Heuvel. Seluruh urusan ini benar-benar menyoroti kejanggalan Gub Jend VOC, [Hendrik] Brouwer, yaitu di antaranya adalah Van den Heuvel adalah anak didiknya. Tak pelak, juga berkat pengaruh Brouwer, setibanya di Batavia, Gubernur yang diberhentikan ini (Van den Heuvel) diangkat sebagai wakil presiden Dewan Kehakiman. Apalagi, pemerintahan Van den Heuvel di Ambon memiliki konsekuensi yang fatal. Dengan memenjarakan Kapitan Hitu dan pemimpin negeri-negeri Ambon lainnya17 dengan cara yang sangat berbahaya, Van den Heuvel telah memprovokasi pemberontakan umum di sana.

Untungnya Van den Heuvel tidak luput dari hukumannya yang adil. Setelah pelindungnya, Brouwer, meninggalkan Hindia Belanda menuju Belanda16, Van den Heuvel memberikan komentar memalukan kepada atasannya, sehingga dia dihukum cambuk dan lidahnya ditusuk. Dengan kepuasaan tertentu, Gijsels menyampaikan berita tentang hukuman ini kepada keluarga dan teman-temannya di Belanda. Bisa dipastikan, Gijsels pasti sangat kecewa atas perlakuan yang diberikan kepadanya, meskipun kebijakan Pemerintah Agung tidak disetujui oleh Heeren XVII.

Sebagai inspektur jendral, Gijsels melihat bahwa kesalahan pendahulunya harus diperbaiki, meskipun kekuatan yang dia miliki untuk melakukannya terlalu kecil. Dia memang berhasil meredam perasaan-perasaan di Ambon sampai batas tertentu, tetapi pengepungan kubu pertahanan Luciella di Seram, markas besar Kimelaha Luhu, gagal, karena merebaknya penyakit serius di antara para serdadu Gijsels. Pengepungan itu harus “berhasil”. Perintah Pemerintah Agung untuk membawa Kakiali yang ditangkap ke Batavia, sekali lagi menggemparkan penduduk Ambon. Sebagai Gubernur di Ambon, Gijsels mengangkat Jochem Roelofsz van Deutecom, seorang yang dikenal tidak bijaksana dalam berurusan dengan penduduk pribumi. Gijsels lebih suka mengangkat Evert Hulft yang kompeten (sebagai Gubernur), tetapi Pemerintah Agung sekali lagi memutuskan sebaliknya.  

Hal itu tidak berlangsung hingga Gub Jend VOC, Anthonie van Diemen, yang baru dilantik, pergi ke Maluku pada awal tahun 163617 dengan kekuatan militer besar-besaran, yang menerapkan seluruh perintah terhadap situasi di Ambon, meskipun keberhasilannya juga tidak bertahan lama pada awalnya.

Meskipun tidak ada bukti langsung tentang hal tersebut dalam surat-surat dan dokumen-dokumennya, semua ini pasti membuat Gijsels berpikir kritis terhadap kompeni (VOC), meskipun dia sangat memuji atasan seniornya di Asia, Anthonie van Diemen. Dengan penuh antusias, Gijsels mengikuti operasi-operasi di Ambon. Dan jurnal-jurnal lengkap Van Diemen disimpan di antara dokumen-dokumen milik Gijsels.

Diberikan pilihan untuk kembali ke Belanda – Gijsels telah lama memohon untuk berhenti bekerja di VOC – atau untuk tinggal 1 tahun lagi di Batavia sebagai anggota Raad van Indie, Gijsels memilih alternatif pilihan terakhir.

Dalam periode ini, Gijsels berbagi jabatan tertinggi dengan Philip Lucaszoon selama Van Diemen berada di Maluku, namun Philip Lucaszoon adalah pemimpinnya18. Mengingat perasaan timbal balik mereka, kedua orang ini tampaknya saling menghindar, dan Gijsels berkonsentrasi pada fungsinya sebagai anggota magistrat Batavia. Sebagai anggota Raad van Indie, Gijsels menjalankan tugas perwakilan tertentu, seperti meletakan batu pertama, menyekop tanah pertama untuk proyek pembuatan kanal, dan lain-lain.

Sebagai anggota Raad van Indie, Gijsels memiliki akses ke arsip-arsip, dan selama tahun-tahun terakhir ini ia memiliki salinan-salinan yang dibuat dari berbagai akta resmi, termasuk yang dari periode sebelum ia bertugas di Asia. Diantaranya adalah dokumen-dokumen tertentu yang sangat penting, yang tidak lagi tersimpan pada arsip-arsip VOC. Untuk menyebutkan beberapa diantara yang penting, pada dokumen-dokumen Gijsels, ada laporan tentang Maluku yang dibuat pada tahun 1609 oleh pedagang senior dan kapten Jan Bruijn kepada Laksamana Pieter Willemsz Verhoeven. Juga jurnal-jurnal uang disimpan oleh Nicolaas Puyck tentang kedutaan pertama Belanda untuk kekaisarn Jepang pada tahun 1609, yang tidak tersimpan atau terdata di tempat lain.

Sebagai anggota magistrat Batavia, Gijsels juga memiliki salinan akta-akta untuk kepentingan pribadi yang terbukti signifikan bagi pengetahuan tentang administrasi hukum, keuangan dan demografi Batavia lama. 

Peta [negeri]  Ihamahu (1633)

Gijsels adalah seorang bertipikal pegawai negeri. Di satu sisi, sangat disayangkan bahwa dia harus bertindak dalam kapasitasnya sebagai pemimpin tertinggi militer di Amboina. Minatnya yang sebenarnya berfokus pada urusan-urusan administrasi dan pemerintahan. Sekolah dan Gereja juga mendapat perhatian Gijsels. Seperti disebutkan di atas, fakta penting tentang hal ini, dapat ditemukan dalam dokumen-dokumennya. Salah satunya adalah tentang cara staf pengajar yang dilatih dan jumlah guru pribumi yang dipekerjakan. Gijsels selalu dengan cermat mendapatkan informasi tentang kemajuan siswa, mendorong ketekunan mereka melalui penghargaan pribadi.

Tidak ada data lain yang ada dalam dokumen-dokumennya tentang karir selanjutnya Gijsels. Rupanya Gijsels tidak banyak menyimpan catatan tentang aktivitasnya di kemudian hari. Bagaimanapun tidak ada yang dapat disampaikan dari dokumen-dokumen tersebut.

Di Jerman, pada akhir abad ke-19, cukup banyak perhatian tertuju pada figur Gijsels sehubungan dengan rencana Elektor Agung Brandenburg untuk mendirikan “kompeni/perusahaan” untuk perdagangan Asia. Beberapa informasi dapat disampaikan tentang hal ini.

Kembali ke Belanda, pada tahun 1641 ia menerima tugas terhormat dari state generaal untuk membantu Portugis melawan Spanyol, melalui skuadron tambahan di bawah komandonya sebagai seorang Laksamana. Ekspedisi ini terbukti gagal. Kemudian dia membuat rencana untuk mendirikan “kompeni/perusahaan” di Belanda untuk bersaing dengan VOC, ini menjadi bukti betapa dalam kebenciannya pada VOC. Dia menjelaskan rencana ini kepada stadtholder Frederick Hendrick, yang tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi merekomendasikan Gijsels kepada menantunya sendiri, Elektor Agung19. Gijsels menjadi salah satu penasihat utama dari penguasa ini dalam rencana kolonialnya. Pada saat yang sama, ia menerima [tugas ini] sebagai sarana untuk mempertahankan wilayah Lenzen di Elbe sebagai “gengsi”, dimana sekali lagi ia terbukti sebagai administratur yang baik dan mencerahkan. Pada tahun-tahun ini, dia melakukan perjalanan ke seluruh Eropa dan menghadiri sebagian besar negosiasi diplomatik tentang pendirian “kompeni” bagi perdagangan Asia. Pengaruh Gijsels terlihat dalam skema yang dibuat untuk organisasi “kompeni”. Melalui kegiatan diplomatik ini, dia berhubungan dengan Margrave Herman dari Baden, yang pada akhirnya, kepadanya (Margrave Herman), Gijsels memberikan dokumen-dokumennya, mungkin karena kekecewaannya pada sikap Elektor Agung. Elektor Agung menarik diri dari proyek itu, ketika karakternya berubah menjadi terlalu Katholik dan Spnyol, karena hubungan-hubungan bahkan diusahakan dengan Spanyol untuk mendapatkan “pijakan” di Asia. Pada akhirnya semua rencana ini sia-sia dan gagal.

Gijsels memegang jabatannya di Lenzen sampai kematiannya. Di tahun-tahun terakhir di sana, ia menyibukan diri dengan menulis sejarah hidupnya, yang juga belum dipublikasikan bagi kita. Pada usia lanjut, ia meninggal di Modlich, kota keci dekat Lenzen, pada tahun 1676.

Bagian “kedua” dari karir Gijsels ini, tentunya sama menariknya juga dengan periode tugas di Asia, tetapi seperti yang telah saya katakan, narasi tentang itu adalah bagian dari sejarah Eropa.


===== selesai ===== 


Catatan Tambahan

1.         Stadtholder Frederik Hendrick (1584 – 1647) menikah dengan Amalia van Solm-Braunfels

2.        Keponakan Stadtholder Frederik Hendrik yang menjadi stadtholder Friesland adalah Ernest Casimir

3.        Laurens Reael menjadi Gubernur Jend VOC sejak 19 Juli 1616 hingga 21 Maret 1619

4.        Laurens Reael datang ke Maluku pada Mei 1612

5.        Heeren XVII menunjuk Jan Pieterszoon Coen sebagai Gub Jend VOC untuk menggantikan Laurens Reael pada 25 Oktober 1617, namun baru resmi menjabat sejak 21 Maret 1619

6.       Laurens Reael dan Steven van der Hagen kembali ke Belanda dari Batavia pada 6 Agustus 1619, dimana Reael menjadi laksamana (komandan) dari perjalanan pulang itu dengan kapal de Eenhoorn. Mereka tiba pada 20 Jan 1620

7.        Menurut sumber dari Francois Valentijn, Artus Gijsels telah menjadi Secunde sejak tahun 1615, di masa Gubernur Ambon Adriaan Martenszoon Blok (1615 – 1618), kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Gubernur Herman van Speult (1618 – 1625), namun Gijsels hanya menjabat hingga tahun 1620.

8.        Menurut sumber W.Ph. Coolhas, Artus Gijsels berangkat dari Ambon menuju ke Batavia pada 31 Agustus 1620, bersama 5 pangeran Ambon yang ingin belajar Teologia di Belanda. “mungkin” pada akhir tahun 1620, mereka menuju ke Belanda dari Batavia dengan menaiki kapal de Walcheren.

9.       5 pangeran Ambon yang berangkat ke Belanda dengan Artus Gijsels, sebenarnya 4 pangeran dalam pengertian sebenarnya dan 1 adalah orang biasa. Mereka adalah Marcus de Rooij, putra dari Manuel Radja van Kilang, Andreas de Castro, putra dari Radja van Soya, Laurens de Fretis dari Hatiwe, Laurens Coelio dari Halong, serta Jan Tack, putra dari Jan Tack yang menikah dengan wanita Hatiwe.

10.     Artus Gijsels kembali ke Hindia Timur pada awal Desember 1629 dari Belanda. Ia membawa pulang 4 pemuda Ambon tersebut, karena Laurens Coelio meninggal di Amersfoort Belanda.

11.       Menurut sumber Valentijn, Evert Hulft menjadi Secunde sejak 1631 – 1636 di masa Gubernur Artus Gijsels sendiri (1631 -1634), Anthonie van den Heuvel (1634 – 1635), Jochem Roelofszoon van Deutecom (1635 – 1637)

12.      Sayangnya, kita tidak mengetahui nama dari keponakan Gijsels ini, apakah keponakan dari istri Gijsels atau keponakan dari Gijsels sendiri.

13.      Gijsels ditunjuk oleh Hoge Regering untuk menjadi Gubernur Ambon pada 17 Januari 1631. Ia tiba di Ambon pada 24 Maret 1631 dan secara resmi menjabat sejak 23 Mei 1631

14.      Kapitan Tua yang dimaksud oleh penulis adalah Tepil, yang meninggal pada April 1633

15.      Daya yang dimaksud adalah Kimelaha Hidayat

16.     Hendrik Brouwer kembali ke Belanda pada 5 Juni 1636 dari Batavia dengan kapal “”Nieuw Amsterdam”

17.      Meilink-Roelofsz mungkin agak keliru pada informasi ini, Van Diemen menuju ke Ambon pada Desember 1636 atau akhir tahun itu, bukan awal tahun 1636

18.      Pada masa ini, Philip Lucaszoon adalah Direktur Jend VOC (1635 – 1640) atau bisa disebut sebagai orang nomor 2 di bawah Gub Jend VOC, sehingga otomatis adalah “pemimpin/atasan” dari Gijsels yang menjabat sebagai presiden college van schepenen (peradilan bagi golongan swasta) pada 1636  - 1637

19.     Menantu dari stadtholder Frederik Hendrik yang dimaksud adalah Frederik William of Bradenburg

 

SELECT BIBLIOGRAPHY

§   H. Bokemeyer, Die Molukken, Geschichte und Quellenmaszige Darstellung der Eroberung und Verwaltung der Ostindischen Gewurzinseln durch die Niederlander. Leipzig, 1888.

§   J. R. Callenbach, Justus Heurnius, eene bijdrage tot de geschiedenis des Christendoms in Nederlandsch Oost-Indie. Utrecht, 1897.

§   J. A. van der Chijs, De geschiedenis der stichting van de V.O.C. Leiden, 1856.

§   J. A. van der Chijs, De vestiging van het Nederlandche gezag over de Banda eilanden, 1599-1621. Batavia, 1886.

§   T. T. Colenbrander en W,Ph. Coolhass, Jan Pietersz. Coen, Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indie. 7 vols in 8 parts|— Volumes I-V by H. T. Colenbrander, The Hague, 1919-1923, Vol. VI, biography, The Hague, 1934. Vol. VII, Bescheiden parts 1 and 2 by W. Ph. Coolhass, The Hague, 1952, 1953.

§   H. T. Colenbrander, Koloniale Geschiedenis 3 vols. The Hague, 1925.

§   W. Ph. Coolhaas, Aantekeningen en opmerkingen over de zoogenaamde Ambonsche Moord. Bijdragen Koninklijk Instituut Taal-, Landen Volkenkunde van Nederlandsch Indie, Cl (1952), p. 49-93.

§   W. Ph. Coolhaas, Een Indisch verslag uit 1631 van de hand van Antonio van Dieman. Bijdragen, Mededelingen Historisch Genootschap, LXV (1947), p. 1-237.

§   W. Ph. Coolhaas, Indische prinsen op een Hollandse school in 1621 in: Amstelodamum, jg. 39 (1952), p. 41-44.

§   W. Ph. Coolhaas, Generale missiven van Gouverneurs — Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Vol. I, 1610-1638. Rijks Geschiedkundige Publicatien Grote serie 104. 's-Gravenhage, 1960.

§   Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India, 1624-1682, inl. Th. van Riemsdijk, onder toeziche van J. A. van der Chijs, J. E. Heeres c.a. 's-Gravenhage-Batavia 1887-1931. 31 vols. 1631-1634 ) 1636 . ) -uitg. H. T. Colenbrander, 1637 ) 1898, 1899.

§   Pieter van Dam, Beschrijvinge van de Oost Indische Compagnie Ed. by F. W. Stapel, 7 vols. The Hague, 1927-1954.

§   Pieter van Dam, Beschrijvinge van de Oostindische Compagnie, vierde boek (R.G.P. 915), uitg. Dr. C. W. Th. baron van Boetzelaer van Asperen van Dubbeldam. 's-Gravenhage, 1954.

§   Artus Gijsels, "Verhaal van eenige oorlogen in Indie". . , Kroniek Historisch Genootschap 6th series II (1871), p. 497-576, 583-658.

§   Artus Gijsels; Grondig Verhaal van Amboyna 1621, 8 mei 1621. Kroniek Historisch Genootschap 6th series, II (1871), p. 348- 496.

§   J. E. Heeres, Corpus Diplomaticum Neerlando — Indicum Verzameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten; van privilegebrieven aan hen verleend, 1596-1799 verzameld door J. E. Heeres en F. W. Stapel, 6 delen 's-Gravenhage, 1907-1955, dl I, 1596-1650 (1907).

§   E. Heyck, Brandenburgisch-deutsche Kolonial-plane aus den Papieren des Markgrafen Hermann von Baden-Baden in Zeitschrift fur die Geschichte des Oberrheins, Neue Folge, Band II. Freiburg, 1887.

§   E. F. Kossmann, Hollandsche Handschriften to Karlsruhe, in: De Nederlandsche Spectator, 1888, p. 71-73.

§   P. A. Leupe, Beschrijvinge van de eylanden Banda, van de Molucse eylanden en van de Westcust van Sumatra, B.K.I. Ill (1855), p. 72-85.

§   N. Mac Leod, De Oost-Indische Compagnie als zeemogendheid in Asie, 1602-1650, 2 vols. Rijswijk 1927. Vol. II 1632-1650.

§   M. A. P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. 's-Gravenhage, 1962.

§   T. H. Milo, Het Nederlands hulpeskader voor Portugal (1641) Overdruk uit Varia Historica voor Prof. Dr. Byvanck. Assen, 1954.

§   G. E. Rumphius, De Ambonse Historic Bijdragen Koninklijk Instituut Taal-, Land- en Volkenkunde LXIV (1910). G. Schmoller, Ein Projekt von 1658 den groszen Kurfursten zum deutschen Reichsadmiral zu erheben in: Markischen Forschungen Band 20 (1887), p. 134 seq.

§   R. Schuck, Brandenburg-Preuszens Kolonial Politik unter dem Groszen Kurfursten und seinen Nachfolgern 1647-1721. Leipzig, 1889.

§   F. W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, ed. by F. W. Stapel. 5 vols. Amsterdam, 1938-1940. Vol. III.

§   P. A. Tiele, De Europeers in den Maleischen Archipel 1509-1623. Bijdragen Koninklijk Instituut Vol. 25, seq. (1606-1610 B.K.I. 32, 1611-1618 B.K.I. 35, 1618-1623 B.KJ. 36). 's-Gravenhage, 1884, 1886, 1887.

§   P. A. Tiele, Grondstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel. 's-Gravenhage, 1886-1895, 3 vols. Dl II (1623-1639). 's-Gravenhage, 1890.

§   C. A. L. Troostenburg de Bruyn, De Hervormde Kerk in Nederlandsh Oost Indie onder de V.O.C. 1602-1795. Arnhem, 1884

§   Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indien, 5 vols in 8 parts Dordrecht-Amsterdam, 1724-1726 (Beschrijving van Amboina) vol. II, 1724.

§   B. H. M. Vlekke, Nusantara, A History of the East Indian Archipelago. Cambridge, Mass. etc., 1944. first ed. 1943. 

F. Wieder, Monuments Cartographica — Reproductions of unique and rare maps, plans and views in the actual size of the originals, accompanied by cartographical monographs. Vol. I-V in 1 band. 's-Gravenhage, 1925-1933.

2 komentar:

  1. Senang sekali membaca kisah hidup Gubernur VOC Artus Gijsels ini. Tp masih penasaran karena belum diceritakan kisah ekpedisinya terutama di Seram Selatan selama ia berkuasa Pi sebagai Gubernur VOC di Ambon..

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas apresiasinya.... semoga kami bisa mendapatkan sumber-sumber atau catatan tentang kisah espedisinya di Seram Selatan dan bisa menyajikannya.... terima kasih

      Hapus