Minggu, 24 Januari 2021

Perang dan keajaiban: Jaringan informasi antar pulau Georg Everhard Rumphius (bag 2 - selesai)

                                                                

Gennie Yoo

Cincin-cincin Tumbuhan ajaib”

Cincin-cincin Nusantara

                Cerita benda-benda magis didengar Rumphius dari pulau-pulau terdekat maupun jauh. “Menembus udara, melalui cabang-cabang di hutan belantara, ia mendengar sesuatu jatuh”, tulis Rumphius, seolah-olah dia bisa membayangkan adegan penemuan benda itu melalui penceritaan mediatornya51. Pencerita lokal ini, secara sederhana digambarkan sebagai seorang “Muslim dari negeri Mosappela”, adalah pemasok cincin-cincin magis yang dipakain penduduk setempat sebagai gelang (di lengan) atau gelang (armringen)52. Dengan ornamen-ornamen yang dimilikinya ini, pria itu melakukan perjalanan ke wilayah Hila pada tahun 1668 untuk mengunjungi Rumphius, yang – menurut Francois Valentijn – hidup di sana “seperti seorang pangeran, dan dengan kenyamanan luar biasa daripada kebanyakan raja”53. Dia menjual 2 gelang ajaib dari batu hitam kepada Rumphius : benda pusaka yang “tidak lagi membawa keberuntungan bagi keluarganya”, tetapi cocok [untuk] seorang laki-laki berkuasa seperti pamannya, yang telah menemukan objek itu, [yang] yakin bahwa “seorang Djing atau Daemon” yang telah memberkatinya dengan restunya. “Dia selalu memakainya di tangan saat dia berperang”54, laki-laki itu memberitahu Rumphius, dan “seorang tidak tahu [jika] dia pernah terluka maupun jika ia berdarah”. Tentu saja, Rumphius tidak pernah menyaksikan sendiri cara kerja magis benda-benda ini. “Benda-benda itu tidak akan mempunyai kekuatan [saat dimiliki Rumphius], seperti yang dikatakan tentang semua benda “aneh” itu”, pencerita tak bernama lainnya disebutkan telah meyakinkan Rumphius, karena Rumphius “tidak menemukannya sendiri atau menerimanya sebagi hadiah, tetapi telah membelinya dengan uang“55.

                Kisah tentang iman dan kekebalan dari peperangan dan keajaiban, sering kali disertai dengan transaksi komersial lingkaran kekuasaan : benda-benda yang secara aktif diperdagangkan oleh penduduk lokal di seluruh Nusantara. Dalam pencariannya akan keajaiban alam, Rumphius – tidak hanya sebagai naturalis saja, tetapi juga sebagai administratur VOC – mendapat banyak manfaat dari “pernikahan” yang nyaman antara pemerintah dan perdagangan dalam praktik VOC dan pemerintah lokal setempat. Melalui jaringan administratif, perdagangan, dan kerumahtanggan, Rumphius memperoleh pengetahuan tentang ornamen berbentuk cincin dari berbagai jenis – tentang kerajinan benda itu, perdagangan, dan cerita kehebatan jimatnya – dan berulang kali menggambarkannya dalam Rariteitkamer, Kruydboek, dan korespondensi pribadinya. Rumphius mengacu pada kepercayaan lokal untuk menyoroti nilai benda-benda ini sebagai barang-barang “aneh”, barang yang digilai dan dipajang di antara kolektor-kolektor alam [di] Eropa modern awal56. Dalam diskusinya tentang gelang yang disebut mamacur, misalnya, Rumphius menulis bahwa gelang itu “tebal” dan “montok”, terbuat dari sesuatu yang tampak seperti kaca atau campuran dari “batu bening” (gbr 3). Sambil mengangkatnya ke arah cahaya, lanjut Rumphius, sesuatu terlihat seperti “awan” mengambang dalam transparansi yang akan berubah menjadi bentuk ular dan naga57. Benda ini berfungsi seperti miniatur bola kristal. “Ketika [orang] akan pergi berperang”, Rumphius menyatakan, “mereka akan melihat ke dalam [cincin ini] dan akan meramal nasib bai atau buruk di dalamnya”58. 

                Misteri lain mengelilingi [hasil] kerajinan itu : “penduduk pribumi bersikeras kepada kami dengan sungguh-sungguh, bahwa ini tidak dibuat [dengan tangan] tetapi dari batu alam, [yang] muncul dari gunung atau laut”. Kisah manifestasi alam seperti itu, menurut Rumphius, adalah demonstrasi dari “keahlian berjualan yang terkenal di antara penduduk pribumi ini”. Karena kepercayaan ini menentukan harga benda tersebut : seseorang “dapat menerima 1 budak untuk [kualitas] buruk, tetapi mereka yang memiliki [bentuk] berair dan berawan yang begitu indah, seseorang dapat menerima 5, 10, atau lebih budak”59. Memang, bukan hanya para naturalis di Eropa yang tertarik untuk membeli apa yang dianggap benda “aneh” dari alam; suatu perdagangan pribumi yang aktif dari benda-benda ini ada di Nusantara, yang sangat ditentukan oleh perbedaan kelas. “Orang biasa mungkin tidak memilikinya, setidaknya tidak secara terbuka”, seorang pria dari pulau Ceram (sekarang Seram) memberi tahu Rumphius, tetapi dia “pastilah seorang Radja yang berkuasa” atau, setidaknya seorang yang memiliki properti dan kekayaan. Memang para radja dan sultan pergi berperang untuk [mendapatkan] benda itu : seperti yang dilakukan Raja Saulau, “yang paling kuat di antara Alphoreezen”, ketika dia berperang melawan Ceram. Seorang kapitan pribumi bernama Hoelong, yang menyaksikan beberapa perang ini, memberi tahu Rumphius bahwa “cincin seperti itu bernilai 100 budak, ya, bernilai seperti sebuah negeri”. Benda-benda ini juga dibeli dan dihadiahkan kepada raja, dimana orang Jawa “membanjiri pasar dengan cincin [berwarna] hijau”, yang kemudian dibawa ke kerajaan mereka sebagai “hadiah besar”60.

                Apa yang dibeli orang lain dengan [bayaran] budak, Rumphius membeli dengan ryksdolar61. Menurut mediator Makasar dan Melayu miliknya, [barang] yang diperoleh Rumphius [itu] telah dibawa ke Seram dari Aceh di Sumatera, sebuah pulau di ujung barat Nusantara. Benda itu “berpenampakan hitam”, kata Rumphius, “namun saat kita mengangkatnya ke cahaya, [seperti terlihat] setengah tembus cahaya dan biru tua, ada bintik-bintik kuning dan coklat yang berputar-putar dengan emas, dimana cahaya paling kuat berasal dari lapisan emas (enamel)”. Dari jumlah tersebut, lanjut Rumphius, “rata-rata dihitung seharga 7 riyksdollar, sedangkan yang baik berharga 15 atau 16 ryksdollar; jika seluruhnya berwarna biru dengan awan coklat-biru atau ungu, maka disebut Dittir Radja, dimana bisa senilai 16 sampai 20 budak62. Dihitung dalam ryksdollar dan budak, perdagangan cincin ini bukan hal eksklusif untuk bangsawan pribumi: Rumphius, dalam kapasitasnya sebagai administratur VOC, berpartisipasi dalam jaringan perdagangan pribumi yang sudah ada, yang menghubungkan berbagai pulau di Nusantara. Rumphius memang menjadi mediator di antara para mediator, saat dia menegosiasikan berbagai pertukaran ekonomi. Mengkonversi budak menjadi ryksdollar, dia mengkomunikasikan nilai benda-benda itu dalam bahasa keuangan gobal63. Dengan cara yang sama, sebagai mediator antara ekonomi komersial dan diskursif, dimana objek-objek ini “bepergian”, Rumphius membuat signifikansi lokal mereka penting untuk nilai interpretatif mereka sebagai barang “aneh”64. Melalui konversi ini, benda “aneh” dan supernatural ini mendapatkan lapisan makna tambahan.

                Tidak seperti barang alam lainnya, barang-barang ini diedarkan sebagai produk jadi, setelah bahan bakunya diambil dari bijih, dan cincinya dibuat dengan api oleh pandai besi setempat. Misteri seputar asal muasal dan kerajinannya, bagaimanapun, mendorong Rumphius untuk menyelidiki sifat dan cerita logam yang digunakan dalam produksi mereka. Secara khusus, dia tertarik pada senjata lokal yang dikatakan memperoleh kekuatannya dari alam : instrumen yang terbuat dari batu yang telah disambar petir65. Rumphius menamai senjata ini donder-schopjes (secara harfiah berarti “sekop guntur” atau “thunder-spade”) di Rariteitkamer-nya, dan menceritakan bagi pembacanya bahwa dia telah belajar tentang benda itu dari orang-orang Makassar dan Celebes (sekarang Sulawesi), yang sangat terkenal dengan “seni perang”66. Rumphius memperoleh sendiri salah satu dari senjata ini, bukan tanpa “bujukan dan pembayaran yang bagus”, saat seorang duta kerajaan Tambocco (sekarang Bungku) tiba di Ambon pada tahun 167967. Sekop guntur khusus ini telah ditemukan di negeri besi, sebuah tempat bernama Tomadano (sekarang mungkin Tondano) di “pantai timur” Celebes. “Pada tahun 1676, pada suatu malam, melewati badai besar”, Rumphius memulai kisah duta besar itu. Ketika seorang pria dari kota itu “pergi keluar untuk melihat dimana petir menyambar, ia menemukan sekop, di dekat pohon yang terserak, tenggelam satu kaki jauh di dalam lubang air yang sebelumnya tidak ada”. Sekop guntur yang dibeli Rumphius dari duta besar itu, ternyata adalah rampasan perang : tentara Tambocco mengambil senjata itu ketika mereka menyerang Tomadano setahun setelah benda itu ditemukan68. Hal ini mungkin sebagian menjelaskan mengapa duta besar bersedia menjual barang itu untuk Rumphius. Karena objek ini diharapkan kekuatannya dalam perang, benda-benda ini seringkali menjadi barang yang dikoleksi dan diperdagangkan, hadiah untuk dihadiahkan kembali, atau bahan untuk diolah kembali dan diperbaharui.

                Seperti halnya cincin, cerita serupa tentang sekop guntur beredar di antara kesaksian dari manifestasi matrial dan magis mereka. Rumphius mendengar kisah seperti itu dari “pelayannya” (knechten) dari Celebes Selatan. Orang ini, kemungkinan besar adalah salah satu budak berusia muda yang terhitung dalam rumah tangga Rumphius pada sensus penduduk tahunan pemerintah69. “Di negeri itu, ada sungai yang mengalir dengan air berwarna merah yang berasal dari gunung besi dan tembaga”, pelayan itu memberi tahu Rumphius. Di sepanjang sungai itu, dia dan pamannya menemukan sekop guntur di alur tanah tempat petir menyambar. “Pamannya telah meleburnya”, tulis Rumphius, “dan membuat cincin darinya, yang biasa dia kenakan di jari telunjuknya agar beruntung dalam perang”70. Pemodelan ulang sekop guntur seperti itu, biasa dilakukan selama seseorang cukup beruntung untuk menemukannya. Rumphius mendengar dari seorang mediator “Cina” di Makasar, bahwa bahkan Arung Palakka yang terkenal, “pejuang pemberani” asal Bugis yang pernah menjadi sekutu penting VOC selama Perang Makassar (1666 – 1669), pernah menyaksikan sekop guntur selama kampanye militernya71. Setelah menemukan salah satu dari sekop ini di Makasar, Palakka berusaha memperbaruinya menjadi keris yang lebih kuat, keris yang diyakini diberkahi kekuatan gaib72. Yang penting, juga dilaporkan bahwa selama “perang jawa”, kesatria itu mengenakan sekop guntur “di tubuhnya” untuk melindungi diri dari serangan musuh73. Cerita serupa muncul dari berbagai aktor lokal : utusan kerajaan, budak laki-laki, dan penduduk etnis Tionghoa. Benda-benda ini, yang diinginkan karena potensinya dalam perang, mendapatkan kekuatannya dari kepercayaan akan asal usulnya yang luar biasa. Sementara Rumphius tidak begitu saja percaya pada laporan-laporan ini, ketergantungannya pada jaringan informasi lokal tampaknya telah mengilhami kembali ceritanya dengan kemungkinan yang terkadang mengaburkan asumsi budaya tentang status sosial mediator dan mengaburkan batasan antara penggambaran menggugah dirinya dan mediatornya74

Tumbuhan Akar bahar”

Kisah dan objek ini, dikumpulkan dari banyak mediator yang datang dari pulau-pulau terdekat maupun jauh, menunjukan sejauh mana Rumphius memanfaatkan penceritaan lisan kembali dari kepercayaan lokal untuk mengubah objek menjadi benda “aneh”. Ini terutama terlihat dari ketertarikannya pada jenis karang hitam yang disebut acarbahar atau calbahar (akar bahar, secara harfiah berarti “akar laut” atau “roots of sea”). Dalam karyanya Kruydboek, Rumphius mencantumkan deskripsi panjang tentang karang dan bagaimana cara membuatnya untuk dijadikan ornamen dan senjata (gbr 4). Penduduk lokal memakainya untuk “membebaskan diri dari semua jenis sihir, mantra jahat dan udara berbahaya”75. Juga digunakan untuk membuat “gagang keris, baja dan pisau”, yang “lebih berharga daripada barang emas”. Sementara Rumphius merinci khasiat obat dari ornamen karang ini di Kruydboek, dia tidak menyebutkannya dalam Rariteitkamer atau korespondensinya, sebaliknya dia lebih memilih untuk menekankan kepercayaan lokal dalam penggunaan jimat karang ini. Dalam suratnya kepada Isaac de Saint Martin di Batavia, tanggal 15 September 1692, Rumphius menulis bahwa karang hitam yang disebut calbahar atay acarbahar “sekarang dianggap sebagai benda”aneh”76. Orang akan “melunakan” dahan dan “membengkokkannya” menjadi gelang yang diyakini “memiliki kekuatan untuk menangkal semua jenis sihir”. Dia tidak menyebutkan khasiat obat dari ornamen karang itu, secara selektif memilih untuk menyajikan informasi, yang dia yakini akan menyenangkan sesama korespondennya. Isaac de Saint Martin, yang dulu seorang letnan pada masa pemberontakan Trunajaya, dan kemudian seorang administratur terkemuka di Bataviab, adalah kolektor buku yang rajin, juga senjata dan kerang-kerangan Ambon77. Seolah-olah memenuhi perannya sendiri sebagai mediator dari mediator lainnya dari luar pulau Ambon ke pusat administrasi Batavia, Rumphius mengirimkan sampel koral hitam kepda Saint Martin : koral hitam sepanjang “ 3 kaki, 8 ibu jari”. Pada cabang-cabangnya, Rumphius dengan hati-hati menggantungkan “surat kecil yang disegel dan ditandai IDSM”78. 

Mengurai narasi “besi aneh dari Giri”

                Narasi Rumphius tentang benda-benda “aneh” dalam Rariteitkamer-nya dapat mengaburkan bagaimana proses mengintegrasikan berbagai informasi yang melibatkan praktik inklusi dan eksklusi. Sampai batas tertentu, semua narasi bersifat selektif, dijalin sebagaimana mereka berasal dari rangkaian cerita, fakta, kesan, dan ingatan yang terpisah-pisah, dibaca, didengar dan dialami : bongkahan pengetahuan yang secara sadar atau tidak sadar dimasukan ke dalam keseluruhan yang tampak dengan niat tertentu dalam pikiran. Tidak semua narasi dalam bentuk produk terbitan akhir dapat dirunut kembali ke berbagai sumber dan pengaruhnya, apalagi sampai pada niat asli penulisnya. Namun, catatan Rumphius tentang cincin besi Giri dalam Rariteitkamer, meninggalkan petunjuk penting yang mengarah kembali ke jaaringan antar pulau, yang melibatkan informasi dari mediatornya, laporan-laporan VOC lokal dan kesaksian dalam surat-surat saksi mata. Semua itu memberikan indikasi tentang bagaimana dan mengapa Rumphius memilih untuk menyajikan beberapa dan menghilangkan informasi lain – keputusan yang mengikuti pola karakteristik metode deskriptif dan mengikuti wacana umum tentang [rasa] keingintahuan di Eropa. Kembali ke catatan tentang jimat besi Panembahan Giri, bagian terakhir ini mencoba untuk mengurai narasi Rumphius yang terkait tentang peperangan dan keajaiban, dan melihat secara dekat proses selektif yang terlibat dalam menerjemahkan pengetahuan “lokal” menjadi rasa keingintahuan.

Sebelum memasukan ke dalama narasinya tentang cincin besi, Rumphius dengan hati-hati mencatat bahwa cincin-cincin ini adalah “jenis aneh tertentu, yang orang-orang ceritakan tentang hal-hal luar biasa dan jujur” – kejadian biasa saat “itu diungkapkan oleh penduduk pribumi”79. Tentu saja, kita telah diberi petunjuk tentang bagaimana Rumphius mungkin telah belajr tentang kepercayaan dan praktik dari masyarakat yang tinggal sekitar 1.200 mil jauhnya di pulau Jawa. Tanpa pernah pergi sendiri ke Giri, Rumphius menulis, “Giri adalah gunung dan kota yang luas di sisi timur Jawa”. Di kota itu, lanjut Rumphius, ada seorang pria bernama “Penimbaan, yang, hidup sebagai Patriark dan Raja Imam, [yang] melalui kefanatikan dan mujizat palsunya, dihormati sebagai orang suci oleh penduduk kota itu”80. Di antara banyak “penipuan” orang ini, tulis Rumphius, adalah “cincin dan gelang besi tertentu”, yang ia “tawarkan sebagai hadiah kepada orang asing dan semua orang yang mencarinya”81. Setelah mengetahui hal ini dari mediatornya, ini menunjukan bahwa mereka – sebagai orang asing di kota – mungkin telah menerima cincin sebagai hadiah, membiarkan kemungkinan sirkulasi materialnya di Nusantara. Rumphius, seperti yang terjadi, menggambarkan objek tersebut seolah-olah dia telah melihatnya sendiri : “beberapa cincin itu tipis dan benar-benar berlubang di bagian dalam, sehingga akan mengapung di atas air, yang dianggap sebagai keajaiban oleh penduduk yang tidak tahu apa-apa”. Cincin-cincin ini, terlebih lagi, diasumsikan diberkahi dengan kekuatan keabadian dan kekebalan, karena diyakini tahan karat dan dipenuhi dengan gumpalan “tanah suci” dari kuburan leluhur Panembahan. Tetapi “setelah penelitian lebih rinci”, Rumphius meyakinkan pembacanya, “kita menemukan bahwa ini semua adalah takhayul dan tipu daya orang Muslim/Moor”82

Lukisan pembunuhan Trunajaya

Tidak berbeda dengan penyelidikannya yang lain tentang cincin-cincin Nusantara, penelitian Rumhius terhadap klaim ini melibatkan penyelidikan asal usul objek dan penggunaannya dari jauh. Selain itu, untuk memberikan dukungan atas penolakannya, ia kembali mengandalkan informasi spesifik yang hanya dapat diberikan oleh mediatornya. Dia mengetahui bahwa Panembahan telah membuat cincin ini dari “sisa paku-paku” dari “candi” miliknya sendiri. Paku-paku ini terbuat dari besi yang disebut bessi keling (secara harfiah “Keling Iron”) yang berasal dari Pantai Coromandel83. Informasi seperti itu pasti terdengar familiar bagi Rumphius. Selama tahun 1660an dan 1670an, terjadi peningkatan dramatis dalam impor besi VOC dari Pantai Coromandel, karena VOC menyadari pasokan mereka yang sudah ada, tidak mencukupi untuk memproduksi senjata84. Sementara Rumphius kemungkinan besar tahu tentang jaringan maritim yang lebih luas ini, hubungan khusus antara pemodelan ulang paku-paku candi menjadi cincin-cincin dan bahan paku yang berasal dari anak benua India, hanya bisa datang dari mediatornya.

Dari mereka, Rumphius juga mengetahui bahwa seperti cincin lain yang dapat diperdagangkan di Nusantara, para pria mengenakannya sebagai jimat “di jari telunjuk atau di ibu jari, dimana mereka memegang keris dan senjata lainnya, agar beruntung dalam perang”. Kekhususan fungsi cincin sebagai saluran kekuasaan untuk senjata suci lainnya, menunjukan bahwa mediator Rumphius mungkin adalah prajurit berpengalaman yang pernah bertempur di Jawa sebagai sekutu VOC. Sebuah babad Jawa menyebutkan kehadiran serdadu Ambon dalam pertempuran Kediri, dan seorang Kapitan Ambon bernama Jonker, bersama dengan pejuang Bugis terkenal Arung Palakka, disebutkan sebagai pemain penting dalam pertempuran yang mengarah pada kematian Trunajaya85. Namun, tidak satupun dari tokoh-tokoh ini yang dilaporkan pernah bertempur dalam pertempuran Giri. Membuat transisi penting dari narasi cincin besi menjadi narasi tentang pertempuran itu sendiri, Rumphius menulis :

Saya yakin bahwa mereka menggunakan [cincin-cincin ini] untuk melawan orang-orang mereka, karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan Belanda, seperti orang suci Muslim yang disebutkan sebelumnya atas kemalangannya, ketika dia, pada tahun 1680, tanggal 25 April, mendatangi orang kita dengan pasukannya yang terdiri dari 50 orang kuat dan suka berperang”86.

Di sini, rincian pertempuran muncul : laporan yang sangat mirip dengan laporan resmi VOC berdasarkan surat-surat orang Belanda dan Jawa, tetapi dengan penghilang dan perubahan yang signifikan.

                Dalam catatan Rumphius tentang pertempuran tersebut, konflik tesebut berakar pada penolakan Panembahan untuk memberi penghormatan kepada Raja dan kerjasama rahasianya dengan Trunajaya. Ketika pertempuran dimulai, “orang suci itu dengan berani mendatangi orang-orang kita dengan rekan-rekan sebangsanya dan membunuh seorang kapten Jerman dengan 15 serdadu”, tulis Rumphius, menggunakan kiasan religius yang akan terdengar akrab bagi pembaca yang dituju. Pertempuran berubah, bagaimanapun, ketika Panembahan, ceroboh dan “panas karena minuman” yang “segera ditembak di lutut dengan senapan”. Karena tidak bisa bergerak, dia dibawa ke sebuah rumah persembunyian di puncak gunung, dimana di tengah malam, seorang pria tak bernama dari pulau Madura membunuhnya dengan pisau kecil. Keesokan harinya, Amangkurat II disebutkan telah mengeksekusi 2 putra tertua Panembahan, “mencabut seluruh garis keluarga, yang membuat takjub seluruh Jawa”87.

                Catatan harian [kastil] Batavia tahun 1680 memuat 2 catatan terpisah tentang pertempuran Giri. Yang pertama adalah pelaporan terakhir dari komandan Belanda, Jacobus Couper yang menyaksikan operasi militer di pantai timur Jawa dan ikut serta dalam pertempuran88. Yang kedua adalah terjemahan bahasa Belanda atas surat dari Amangkurat II, yang menceritakan keadaan pemberontakan Trunajaya dan peristiwa pertempuran89. Kedua laporan yang dimediasi ini mengkonfirmasi detail yang diberikan di Rariteitkamer. Akar konflik ini terkait dengan aliansi Panembahan dengan Trunajaya dan penolakan Panembahan untuk memberi hormat kepada Raja90. Sumber-sumber itu menyebutkan “keganasan” yang dilakukan Panembahan untuk berperang melawan pasukan gabungan Belanda dan Jawa91. Kapten Jerman yang tak disebutkan namanya yang terbunuh di tengah-tengah pertempuran yang disebutkan dalam kedua kisah itu sebagai Kapten Casper Altemeyer. Secara tajam, Panembahan yang terluka di lutut kanan dibuktikan oleh Couper dan Amangkurat II. Mengingat korespondensi luar biasa antara narasi Rumphius dan laporan resmi VOC, sepertinya Rumphius memperoleh banyak detail ini dari jaringan administratifnya. Nyatanya, Couper, yang surat aslinya akan menjadi tulang punggung catatan kastil Batavia tentang pertempuran, juga pernah menulis kepada Dewan Lokal Ambon, memperbaharui para nggotanya tentang peristiwa pemberontakan Trunajaya, sebagaimana dibuktikan dengan sebuah surat yang sekarang disimpan dalam catatan harian [benteng] Victoria atau Daghregister Amboina tahun 168092.

                Akan tetapi, surat asli Couper kepada Pemerintah Agung di Batavia, tertanggal 14 Mei 1680, berisi 2 adegan dramatis yang tidak ada dalam Rariteitkamer93. Keduanya terkait dengan kepercayaan lokal dan ritual kekuasaan, jenis informasi yang akan sangat menarik bagi Rumphius. Coupe melaporkan bahwa untuk mengumpulkan orang-orang untuk bertempur, Panembahan telah melakukan ritual “aneh” :

[Dia]memasukan mangkuk besar berisi batu bezoar ke dalam api, berkata [kepada anak buahnya] dan bergumam pelan-pelan : dalam asap aku telah berbicara dengan roh Raja [Amangkurat I] yang berjani bahwa akan ada 1000 roh di antara anak-anakku, sehingga tidak ada musuh yang dapat menyakiti mereka. Jadi kalian bisa berkumpul dengan keberanian dan menyerang musuh tanpa rasa takut. Karena di luar garis keturunanku akan lahir seorang raja94.

Menurut surat itu, hal ini menggembirakan orang-orang Giri saat mereka berperang “sengit” melawan Belanda dan orang Jawa. Detail penting lainnya yang tidak ada dalam catatan Rumphius adalah pentingnya keris Panembahan. Couper melaporkan bahwa ketika Panembahan akhirnya dibunuh, orang Jawa memastikan untuk mengambil kerisnya yang dinamakan Calamoenjang, karena menurut “takhayul” orang Jawa, keris itu mengandung kekuatan dan “kebajikan” dari pemiliknya95. Kisah orang Jawa juga menekankan pentingnya pengambilan keris Panembahan itu, yang tidak hanya dianggap sebagai rampasan perang, tetapi pemindahan kekuasaan dari garis keluarga Panembahan ke garis kerajaan Mataram96.

Tidak ada detail tentang aspek supranatural dari pertempuran yang ditemukan dalam Rariteitkamer Rumphius, sementara tidak ada sumber lain selain Rumphius yang menyebutkan cincin besi sebagai senjata jimat dalam perang. Informasi khusus tentang cincin besi, seperti yang dijelas di bagian pertama bab, berasal dari mediator Rumphius, yang menyadari kepercayaan yang melekat pada cincin dan bahkan mungkin telah melihat benda-benda ini dari dekat, tetapi kemungkinan besar tidak ikut serta dalam pertempuran itu sendiri. Informasi khusus tentang pertempuran di bagian kedua dari narasi itu, didasarkan pada saluran VOC yang menghubungkan Ambon dan Batavia. Sementara catatan administratif ini merinci peristiwa pertempuran dan peran kepercayaan lokal dalam prosesnya, namun tidak secara eksplisit menyebutkan penggunaan cincin jimat. Dihadapkan dengan fakta keberadaan cincin tersebut, tetapi tanpa bukti penggunaannya dalam pertempuran, Rumphius menggunakan spekulasi. “Saya percaya bahwa mereka menggunakannya untuk melawan orang-orang sebangsanya”, tulis Rumphius, “karena mereka tidak memiliki kekuatan melawan Belanda” (penekanan dari saya/penulis). Dibalik ekspresi superioritas kekaisaran ini, orang melihat kemungkinan untuk mengungkap bagaimana cincin “ajaib”, yang begitu luas beredar di Nusantara, mempertahankan kredibilitas lokalnya setelah kekalahan dalam perang. Rumphius mengisyaratkan bahwa masalah kosmologi bersama antara pihak-pihak yang terlibat – diantara orang-orang sebangsanya sendiri – memberikan konsistensi internal pada kepercayaan ini. Memang, seperti yang ditnjukan oleh para sejarahwan, kerajaan lokal telah lama memasukan senjata dan manuskrip pihak yang kalah dalam koleksi benda sakral mereka sendiri, seperti yang dilakukan orang Jawa dengan mengambi keris Panembahan97. Bagi penguasa lokal, memiliki benda-benda ini adalah sarana yang digunakan untuk menyerap, mengumpulkan dan memelihara kekuaran. Bagi Rumphius, bagaimanapun, objek-objek ini dinilai dalam ujian pertempuran melawan “Belanda” membuat narasi lebih menarik. Berusaha mengubah objek ini menjadi [rasa] keingintahuan, kemudian, Rumphius tidak hanya memasukan kepercayaan lokla tetapi juga meminjamkan lapisan historis objek tersebut dengan berspekulasi tentang penggunaan dan kegagalan yang seharusnya dalam pertempuran bersejarah. “Mujizat palsu” sama anehnya dengan mujizat, dia sepertinya berkata, dan cincin besi Giri bukan hanya objek yang menakjubkan, tetapi juga artefak yang aneh, yang layak mendapat tempat di Wunderkamer imajiner dari para pembacanya. Penghilangan ini, terutama yang berkaitan dengan keris Panembahan, menyoroti sejauh mana fungsi narasu pertempuran itu hanya untuk mempertinggi keunikan cincin itu sebagai benda “aneh”.  

Sementara detail pertempuran mirip di semua laporan, penghilangan dan penambahan yang berkaitan dengan aspek supernatural menunjukan sejauh mana informasi “lokal” mengalami sirkuit transmisi yang rumit di dalam Nusantara. Rumphius bukan hanya penyampai informasi : ia adalah seorang mediator, yang menggunakan strategi naratif khusus untuk menjembatani kesenjangan antara pembacanya dan informasi yang ia peroleh dari pulau lain. Babnya tentang “besi aneh dari Giri” adalah contoh bagaimana objek lokal diubah menjadi [rasa] keingintahuan berdasarkan untaian informasi yang dipilih secara efektif dari jaringan pengetahuan yang terpisah, penggabungan yang diambil dari catatan kaum pribumi dan kerajaan. Dalam contoh khusus ini, peran kreatif dan diskriminatif dari individu naturalis mengemuka, bertahun-tahun sebelum kristalisasi wacana kolonial modern98. Menariknya, sementara cincin-cincin ini direpresentasikan sebagai benda “aneh” dalam teks, benda itu tidak memiliki banyak daya tarik komersial di Eropa. Ini menunjukan bagaimana upaya naturalis untuk membangun citra “keanehan” dari Hindia, tidak serta mengubah objek itu sendiri menjadi komoditas untuk pasar Eropa. Seperti yang diperlihatkan oleh katalog-katalog koleksi Hindia Timur, yang menarik bagi para kolektor barang antik Eropa adalah terutama kulit kerang, udang-udangan dan serangga – bukan cincin ajaib99. Yang mungkin ditunjukan oleh hal ini adalah relasi ambivalen antara nilai diskursif dan komersial dari benda “aneh”. Memang, dalam kasus cincin besi, tampaknya naturalis menaikan nilai diskursif objek, bukan dalam upaya untuk menjual objek itu sendiri, tetapi untuk membuat buku lebih menarik secara komersial. Sebagai wunderkamer tekstual dari objek-objek aneh yang dilengkapi dengan informasi dan gambar yang sama anehnya, Rariteitkamer adalah sebuah buku, yang tidak hanya tentang hal-hal nyata tetapi juga tentang kebenaran dan kisah-kisah luar biasa di sekelilingnya. Benar atau salah, Rumphius mempertimbangkan bahwa nilai informasi yang aneh – seperti “keajaiban palsu” Panembahan – akan menarik “mata para pecandu”.

Fragmen surat Rumphius kepada I.S.de Martin (di dalamnya ada deskripsi ttg akar bahar)

Kesimpulan

Artikel ini dimulai dengan pertanyaan bagaimana seseorang yang tinggal di satu pulau, bisa memperoleh pengetahuan tentang pulau-pulau lain di Nusantara. Mencoba menjawab pertanyaan ini, tidak hanya melibatkan penelusuran informasi dan mediator yang cermat, tetapi juga pengakuan tentang bagaimana Rumphius menegosiasikan batas-batas perbedaan dalam konteks produksi pengetahuan yang berbeda. Tersirat dalam lapisan kontekstual kajian ini adalah penggambaran kontradiktif Rumphius tentang figur-figur Muslim, sebagai ahli yang dipuji di satu sisi dan sebagai orang suci yang menipu pada sisi lain. Ini menunjkan bagaimana persepsi dan proyeksi perbedaannya bergeser secara dramatis berdasarkan keadaan posisi pengalaman dan penulisnya; yaitu, dari perannya sebagai naturalis yang mengandalkan aktor lokal di lapangan hingga perannya sebagai narator yang mendramatisasi peristiwa di kejauhan hingga para pembaca yang lebih jauh lagi. Lebih jauh lagi, saya telah mencoba mengedepankan pentingnya mengenali lintasan lokal yang kompleks dari informasi yang dimediasi, karena informasi tersebut berjalan baik dalam bentuk lisan maupun tekstual di sepanjang jaringan pribumi dan dunia. Mungkin hal ini adalah pengingat yang berguna, bahwa meskipun teks, gambar, dan objek mndukung pemahaman masa kini tentang masa lalu, seringkali saluran komunikasi lisan yang tidak dapat diperbaiki itulah yang membentuk pengalaman sehari-hari para pengunjung, administratur, dan pedagang di berbagai belahan dunia modern awal. Seperti yang disarankan Robert Darnton, untuk menulis sejarah tentang masyarakat informasi, seseorang harus bekerja dengan premis bahwa sejarah semacam itu tidak akan lengkap tanpa mempertimbangkan kedua aspek komunikasi verbal, yaitu lisan dan tulisan100. Sementara ketetapan komuniksi lisan sulit didapat, sejarahwan telah menunjukan bagaimana menangkap kembali yang tersisa, memang mungkin dengan mengikuti “jejak yang sangat kecil”, “petunjuk kecil”, dan “detail-detail tak berarti”, seperti yang ditemukan dalam teks : fragmen granular yang mengungkapkan ketebalan tekstur masyarakat informasi101. Meskipun artikel ini hanya memberikan gambaran sekilas tentang orang-orang yang terlibat dengan Rumphius, teks-teksnya berlimpah dengan jejak interaksi lintas budaya, membuka kemungkinan untuk meneliti dinamika kompleks dari masyarakat informasi yang beragam, yang tersebar di banyak pulau di Nusantara. Sebagai kesimpulan, artikel ini mencoba menelusuri jaringan informasi dari seorang pria, yang, melalui koneksi pribumi, administratif, dan komersialnya, mampu mengumpulkan dan menerjemahkan pengetahuan untuk para pembaca di Eropa. Mediator lokalnya berkisar dari pedagang keliling dan bangsawan wilayah hingga duta besar kerajaan dan budak rumah tangga. Akses Rumphius ke berbagai individu tersebut terutama karena posisinya sebagai administratur VOC di sebuah pulau, yang terkenal sebagai tempat perdagangan penting di kepulauan timur. Meski tidak selalu menyetujui kepercayaan lokal, dia terus memanfaatkannya untuk menulis tentang benda-benda kekuasaan yang beredar di kepulauan itu. Rumphius menggabungkan beberapa versi peristiwa – dari penceritaan lisan kembali hingga laporan tertulis – untuk mengatur informasi yang berasal dari berbagai pulau ke dalam deskripsi khusus tentang keajaiban : benda-benda “aneh” orang Ambon. Meskipun artikel ini telah menjelaskan sifat kompleks dari jaringannya, mungkin proyeksi dunia Amboinsche bagi sebuah Nusantara yang pusatnya terletak di Batavia, seperti juga di Mataram, Aceh dan Makasar, mungkin harus membuat kita berhati-hati terhadap kekuatan wibawa perantara yang bertahan lama. Bagaimanapun, Rumphius adalah satu orang, yang dunianya hanyalah sebuah pulau di antara puluhan ribu pulau di Nusantara.  

===== selesai ===== 

Catatan Kaki

  1. UBL, 6812/A1, G.E. Rumphius, D’Amboinsche Rariteitkamer, T’Amsterdam: Francois Halma, 1705, p. 244
  2. Rumphius menggunakan kata-kata armringen, ringen dan terkadang armbanden secara bergantian. Penekanannya adalah pada ukuran dan cara pemakaiannya. Misalnya “bracelets” atau “gelang”, dipakai “di pinggang”, sehingga barangkali digunakan sebagai ikat pinggang. Rumphius, op.cit (51). P. 244
  3. Rumphius, op. cit. (51), p. 244. Kutipan ini diambil dari terjemahan Beekman dari bagian pada buku 2 karangan Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indiën. Beekman, op. cit. (18), pp. 62–63.
  4. Rumphius menulis “aan de hand”, dan sepertinya bermakna orang menggunakan benda itu di pergelangan tangan
  5. Rumphius, op. cit. (51), p. 244.
  6. Untuk sejarah benda-benda “unik/aneh” dan koleksinya pada Eropa modern awal, lihat Paula Findlen, Possessing Nature: Museums, Collecting, and Scientific Culture in Early Modern Italy, Berkeley: University of California Press, 1994; Lorraine Daston and Katherine Park, Wonders and the Order of Nature 1150–1750, New York: Zone Books, 1998; Paula Findlen, ‘Inventing nature: commerce, art, and science in the early modern cabinet of curiosities’, in P.H. Smith and Paula Findlen (eds.), Merchants in Marvels: Commerce, Science, and Art in Early Modern Europe, New York: Routledge, 2002, pp. 297–323; Anne Goldgar, Tulipmania: Money, Honor, and Knowledge in the Dutch Golden Age, Chicago: The University of Chicago Press, 2007.
  7. Rumphius, op. cit. (51), p. 241. Rumphius mencatat bahwa ia melihat 3 tipe gelang ini, masing-masing ia deskripsikan dalam ukuran dan warnanya
  8. Rumphius, op. cit. (51), p. 242.
  9. Rumphius, op. cit. (51), p. 242.
  10. Rumphius, op. cit. (51), p. 242.
  11. Rumphius, op. cit. (51), p. 243.
  12. Rumphius, op. cit. (51), p. 243.
  13. Untuk batasan-batasan dari bahasa tulisan dalam penyampaian nilai benda-benda “unik/aneh”, lihat Dániel Margócsy, ‘The fuzzy metrics of money: the finances of travel and the reception of curiosities in early modern Europe’, Annals of Science (2013) 70(3), pp. 381–404.
  14. Daniela Bleichmar and Meredith Martin (eds.), Objects in Motion in the Early Modern World, Oxford: Wiley-Blackwell, 2016.
  15. Rumphius, op. cit. (51), p. 212.
  16. Rumphius, op. cit. (51), p. 216.
  17. Rumphius, op. cit. (51), p. 213.
  18. Rumphius, op. cit. (51), p. 213.
  19. Sebagai contoh, menurut sensus VOC tahun 1680, rumah tangga Rumphius terdiri dari 1 wanita Mardijker, 14 budak laki-laki, 13 budak perempuan dan 2 budak anak-anak dari Makasar, Buton dan pulau-pulau lain.

‘Beschrijvingen der Zielen en Nagelboomen van den Jaare 1680’, NA, 1.04.02/1356, pp. 2–3. Administratur VOC sering memakai para budak untuk mengumpulkan benda-benda unik itu. Johannes Camphuys menyatakan dalam suratnya pada Rumphius bahwa saat mengunjungi pulau tempat narapidana di Edam dekat Batavia, para budaknya membawa kerang-kerangan dari pantai untuk koleksinya.   Johannes Camphuys to G.E. Rumphius, 2 March 1695, UBL, BPL 246, Letter 5, f. 2r. Terima kasih untuk Matthias van Rosum yang menjelaskan terminologi para budak, narapidana dan orang yang diasingkan dalam konteks Belanda modern awal

  1. Rumphius, op. cit. (51), p. 214.
  2. Untuk sejarah Arung Palakka dan peranannya dalam Perang Makassar (1666 – 1669) antara Kesultanan Goa dan pasukan gabungan VOC dan Bugis, lihat Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, The Hague: Martinus Nijhoff, 1981. Topik tentang mediator China dari Rumphius sepatutnya mendapat perhatian yang hati-hati, dari asal usul spesifik mereka dan dialek hingga dinamika sejarah kompleks antar etnis di Ambon dan dalam Nusantara yang luas. Gambaran Rumphius terhadap penduduk etnis China berbeda-beda dalam tulisannya. Saat ia mendeskripsikan perbandingan khusus antara obat-obatan China dan pribumi dalam buku Kruydboek, dalam suratnya kepada Isaac de Saint Martin, ia merujuk mereka sebagai Inlander, sepertia ia merujuk bangsa Melayu G.E. Rumphius to Isaac de Saint Martin, 15 September 1692, UBL, BPL 246, f. 1v.
  3. Menariknya, menurut karya sastra Melayu Sjair Perang Mengkasar (A Poem of the Makassar War), Sultan Tallo dikatakan telah diberikan hadiah pakaian, sebuah keris dan cinsin oleh saudara laki-lakinya sebelum penaklukan selatan Sulawesi dalam perang Makasar.  School of Oriental and African Studies Digital Archive, MS 40324, Syair Perang Mengkasar, at http://digital.soas.ac.uk/AA00000136/00001, p. 34.
  4. Rumphius, op. cit. (51), p. 214. Di sini, Rumphius dalam tanda kurung “orang menginformasikan pada saya” (zoo men my berigt)
  5. Safier, op. cit. (14).
  6. UBL, BPL 314, G.E. Rumphius, Het Amboinsch Kruydboek, Book 12, f. 168r.
  7. G.E. Rumphius to Isaac de Saint Martin, op. cit. (71), ff. 2r–2v.
  8. F. de Haan, ‘Uit Oude Notarispapieren I’, Tijdschrijft voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (1900) 62, The Hague: Martinus Nijhoff, pp. 297–302.
  9. G.E. Rumphius to Isaac de Saint Martin, op. cit. (71), f. 2r.
  10. UBL, 6812/A1, G.E. Rumphius, D’Amboinsche Rariteitkamer, T’Amsterdam: Francois Halma, 1705, p. 205.
  11. Rumphius, op. cit. (79), pp. 205–206.
  12. Di sini, Rumphius menggunakan kata armbanden (lebih daripada kata armringen) sebagai rujukan untuk kata gelang
  13. Rumphius, op. cit. (79), p. 206.
  14. Rumphius, op. cit. (79), p. 206. Kenneth Hall mengidentifikasi “Kling” sebagai masyarakat dari Kalinga di pantai tenggara India.  Kenneth Hall, A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal
    Development 100–1500, New York: Rowman and Littlefield Publishers, 2011, p. 153.
  15. Tapan Raychaudhuri, Jan Company in Coromandel 1605–1690: A Study in the Interrelations of European Commerce and Traditional Economies, The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, pp. 174–175.
  16. Ricklefs, op. cit. (3), p. 87; Ricklefs, op. cit. (1), p. 55. Trunajaya ditangkap dan dieksekusi sebelum pertempuran Giri
  17. Rumphius, op. cit. (79), p. 206.
  18. Rumphius, op. cit. (79), p. 206.
  19. Dagh-register gehouden int Casteel Batavia van’t passerende daer ter plaetse als over geheel NederlandtsIndia. Anno 1680, F. de Haan, The Hague: Martinus Nijhoff, 1912, pp. 322–325.
  20. Dagh-register, op. cit. (88), pp. 326-332.
  21. Dagh-register, op. cit. (88), pp. 323, 330.
  22. Dagh-register, op. cit. (88), pp. 324, 331.
  23. Dagh-register, Amboina aan’t Cast[ee]l Victoria, NA, 1.04.02/1356, pp. 259–261.
  24. ‘Commander J. Couper to the High Government in Batavia, dated Soerabaya 14 May 1680’, in De Opkomst van het Nederlandsch Gezag over Java: Verzameling van Onuitgegeven Stukken uit het OudKolonial Archief (ed. and tr. J.K.J. de Jonge), The Hague: Martinus Nijhoff, 1873, vol. 4, pp. 296–307.
  25. Couper, op. cit. (93), pp. 299–300.
  26. Couper, op. cit. (93), pp. 303.
  27. Dagh-register, op. cit. (88), p. 331.
  28. See M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II 1726–1749, Honolulu: University of Hawaii Press, 1998.
  29. See Bernard Cohn, Colonialism and Its Forms of Knowledge: The British in India, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1996. Cohn argued that towards the end of the eighteenth century, there was a systematic attempt to collect information about Indian society and that these texts created a discursive field, which allowed colonial officials to use that knowledge for modern colonial control. For a different perspective see C.A. Bayly, An Empire of Information: Political Intelligence and Social Communication in North India, c.1780–1880, New York: Cambridge University Press, 1997.
  30. Natural History Museum (London), James Petiver, Aquatilium Animalium Amboinae, &c. Icones & Nomina. Containing near 400 Figures, engraven on Copper Plates of Aquatick Crustaceous and Testaceous Animals; as Lobsters, Crawfish, Prawns, Shrimps, Sea-Urchins, Eggs, Buttons, Stars, Couries, Concks, Perywinkles, Whelks, Oysters, Museles, Cockles, Frills, Purrs, Scallops, with divers other Sorts of Sea and River Shell-fish; all found about Amboina, and the Neighbouring INDIAN Shores, with their Latin, English, Dutch, and Native Names. See J.J. van het Reve, ‘Seba’s lijst van zijn collectie, kopie gemaakt in SintPetersburg in 1716’, in Van het Reve, Kunstkamera van Peter de Grote: De Hollandse inbreng, gereconstrueerd uit brievan van Albert Seba en Johan Daniel Schumacher uit de Jaren 1711–1752, Hilversum: Verloren, 2006, pp. 290–304.
  31. Robert Darnton, Poetry and the Police: Communication Networks in Eighteenth-Century Paris, Cambridge, MA: Harvard University Press, 2010.
  32. Carlo Ginzburg, ‘Clues: roots of an evidential paradigm’, in Ginzburg, Clues, Myths, and the Historical
    Method, Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press, 1989, pp. 87–113, 92, 112.

Catatan Tambahan

a.     Negeri Mossapal/Massapal/Massappel terletak di jazirah Leihitu, utara pulau Ambon, berdekatan dengan negeri Wakal. 

b.   Isaac de Saint Martin pada periode Rumphius menulis surat kepadanya adalah anggota Raad van Indie (1688 – 1696), yang sebelumnya merupakan anggota ekstraordinair Raad van Indie (1685 – 1688).  Figur ini disebutkan menjadi “dalang” dari upaya penyingkiran pengaruh Kapitan Jonker di VOC hingga pembunuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar