Rabu, 24 Februari 2021

RAJA JAILOLO, 1811- 1832 : GERAKAN NATIVISME DI MALUKU (bag 2 - selesai)


Oleh:

R.Z. LEIRISSA

 

FAKTOR- FAKTOR LAIN

Seperti dikatakan diatas, situasi di Laut Seram yang didominir oleh bajak-laut dari Tobelo dan Galela merupakan faktor yang sangat menguntungkan bagi Raja Jailolo III. Namun sesungguhnya Tobelo dan Galela tidak mempunyai hubungan langsung dengan Raia Jailolo III. Kegiatan bajak-laut mereka di laut Seram bukan merupakan akibat dari adanya gerakan Raja Jailolo III. Mereka sudah ada di Perairan itu jauh sebelum adanya gerakan ini. Bahwa mereka tidak terikat secara organik dengan Raja Jailolo nampak kemudian ketika kegiatan-kegiatan Raja Jailolo dipatahkan pada tahun 1832, mereka malah mengadakan kegiatan bajak laut, sekalipun dengan alasan ingin membalas dendam karena ditangkapnya Raja Jailolo22. Sampai  pertengahan abad ke-19 bajak-laut Galela dan Tobelo masih merajai Laut Seram. Tidak jarang mereka bekerjasama dengan bajak-laut dari Mindanao dengan pusat di Teluk Tomini.

Pengikut-pengikut Raja Jailolo juga tidak berasal dari Jailolo, sebuah kota kecil di pantai Barat Halmahera yang secara politis termasuk wilayah Kerajaan Tidore. Daerah ini rupanya sudah demikian menderita sehingga tidak banyak lagi penduduknya. Menurut penyelidikan van Fraassen23 negeri Jailolo dalam abad ke-19 justru didiami oleh orang-orang lain seperti orang-orang Morotai dan lain-lain. Pengikut-pengikut Raja Jailolo I sampai III memang masih berasal dari Halmahera, daerah yang pernah menjadi wilayah kerajaan Jailolo sebelum abad ke-17. Hubungan yang nyata antara Raja Jailolo dengan penduduk daerah Halmahera yang termasuk bilangan Tidore sudah mulai sejak Sangaji Tahani (Raja Jailolo I). Pada waktu itu Sultan Nuku menyerahkan wilayah itu padanya. Selain pengikut-pengikutnya yang berasal dari Makian yang berjumlah 200 orang itu, banyak diantara penduduk Maba, Weda dan Patani (di Halmahera Tidore) sudah menyertainya dalam ekspedisi-ekspedisi  jaman Nuku. Mungkin sekali gelar Raja Jailolo yang penuh karisma itulah yang menarik mereka. Usaha Nuku untuk menghidupkan kerajaan ke-4 di Maluku tersebut bisa dibayangkan merupakan daya tarik yang kuat bagi penduduk yang pernah mengenal kerajaan tersebut24. Dan dalam masa Sultan Nuku, cita-cita itu memang sempat direalisasikan, sekalipun hanya untuk masa kira-kira 10 tahun saja.

Sepeninggal Raja Jailolo I pada tahun 1810, Mohammad Asgar, salah satu diantaranya putra-putranya yang paling terkenal sebagai laksamana, diangkat (atau mengangkat dirinya?) sebagai Raja Jailolo. Sekalipun hal ini tidak berlangsung lama karena pada tahun berikutnya ia tertangkap oleh Inggris, Asgar pun mempunyai pengikut-pengikut diantara penduduk Halmahera pula. Hal ini sudah tentu berlalu juga bagi Kalim Mongafa, Raja Jailolo III.

Mengenai Kalim Mangofa kita mempunyai lebih banyak keterangan sehubungan dengan pengikut-pengikutnya yang berasal dari Halmahera. Pada tahun 1828 Gubernur Jenderal di Batavia pernah mengadakan penyelidikan mengenai hal ini25. Demikian pula Gubernur Maluku dua tahun sebelumnya26. Penduduk Halmahera sendiri mempermasalahkan Sultan Tidore. Tindakan-tindakannya kurang baik dan mengakibatkankegelisahan dalam masyarakat di Maba, Weda, dan Patani . Pertama-tama dikatakan bahwa pajak yang dipungut Tidore atas wilayah "jajahannya" itu terlampau berat. Pajak itu terdiri atas (1) penyerahan beras sebanyak 18 gantang (setiap gantang 7 ½  "pound") setiap keluarganya sebagai upeti. Pajak ini, menurut penduduk tersebut keraton yang bisa diwajibkan setiap waktu; (3) kerja rodi berupa pekerjaan di istana, penyediaan tenaga untuk ekspedisi hongi, penyediaan tenaga untuk memperdagangkan modal istana, dan pekerjaan lain seperti memancing ikan untuk keperluan istana. Selain itu pejabat-pejabat yang diangkat oleh istana untuk memerintah daerah "jajahan" tersebut sering melakukan tindakan-tindakan dan mewajibkan penduduk melakukan pelbagai hal yang justru malah lebih berat lagi dari pajak-pajak tersebut diatas.

Keadaan tersebut di atas ditambah lagi dengan masalah bajak-laut yang dipersalahkan kepada penduduk setempat menimbulkan keresahan yang lebih parah lagi. Sejak Raja Jailolo III banyak di antara penduduk Maba, Weda, dan Patani sudah bergabung secara insidentil dengan tokoh legendaris itu di laut Seram. Selah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah bajak-laut. Tetapi ketika mereka kembali ke negeri masing-masing pada tahun 1818, Sultan Tidorea mengirim honginya untuk menyita semua hasil bajakan tersebut. Kemudian dalam tahun 1819 Sultan Tidore dengan bantuan Residen Belanda di Ternateb mengirim sebuah hongi lagi, antara lain untuk mengejar Raja Jailolo III yang pada waktu itu bermarkas di kepulauan Raja Ampat. Tindakan ini lalu dibalas oleh Raja Jailolo III dengan mengarahkan honginya ke Halmahera. Ketika itu hampir semua wilayah yang dikunjunginya menyatakan takluk kepada Raja Jailolo. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan kemarahan Sultan Tidore, yang dengan bantuan Residen Ternate lagi, mengerahkan hongi yang lebih besar ke wilayahnya di Halmahera. Ketika itu negeri-negeri Maba, Weda, Patani habis dibakar oleh hongi tersebut.

Keadaan ini lalu mendorong penduduk negeri-negeri tersebut untuk mengadakan hubungan dengan Raja Jailolo. Untuk itu mereka mengirim suatu perutusan dipimpin oleh Rabajala Sangaji Maba. Raja Jailolo III (Kalim Mangoffa) rupanya menyetujui utusan tersebut. Ia bersedia mengirim honginya ke negeri-negeri tersebut. untuk mengangkut penduduknya ke Seram Utara. Tidak kurang dari 6.000 sampai 7.000 orang Maba, Weda, Patani yang kemudian berpindah sejak tahun 1820 ke Seram Utara. Sultan Tidore yang mendengar keadaan itu pernah mengirimkan sebuah hongi lagi pada tahun 1921 untuk mencegah sebagian dari penduduk yang pada waktunya sedang menyeberang Hanya sebagian kecil saja yang berhasil ditangkapnya.

Penduduk Maba, Weda, dan Patani ini kemudian mendiami tempat-tempat di Seram Utara bagian timur. Daerah ini sudah didatangi banyak orang-orang Bugis dan Makasar sebelumnya. Orang-orang Tobelo dan Galela pun banyak yang berdiam di sana. Berdasarkan armada yang kadang-kadang sampai 100 perahu kekuatannya itu, Raja Jailolo III berhasil mendudukkan penduduk asli di wilayah yang sama. Penduduk yang kebanyakan beragama Islam itu dan tergabung dalam apa yang dinamakan "Negeri Sembilan"27 dengan pusat di Saway dan Wahay tidak mempunyai pilihan lain dari pada bekerja sama dengan Raja Jailolo. Malah kekuasaan Raja Jailolo menyebar sampai ke sekitar Nuniali, wilayah yang dikuasai oleh Saniri Sopalewa28. Juga pulau-pulau kecil lainnya seperti pulau Manipa sampai pulau Buru tidak terlepas dari jaringan kekuasaan Raja Jailolo yang didasarkan pada armada bajak-laut itu 29.

Mungkin sekali pada saat itu Raja Jailolo, yang diketahui telah menggunakan gelar Sultan Jailolo itu, sudah mempunyai sistem pemerintahan pula. Pusat kekuasaannya memang berpindah-pindah tetapi selalu berada di salah satu tempat di pantai utara Seram Timur. Ia sering disinyalir berada di Kobi atau di Hoti. Tetapi menjelang tahun 1822 ia berusaha untuk membangun suatu perbentengan di Hatiling.

Sistem pemerintahan Raja Jailolo lebih jelas nampak pada masa Raja Jailolo II yang kemudian dijadikan "Sultan Seram" oleh Belanda pada tahun 1826. Tetapi pada masa Kalim Mongafa sudah nampak adanya pejabat-pejabat yang menguasai pelbagai suku tersebut. Malah penduduk yang berpindah dari Maba, Weda dan Patani juga memindahkan sistem pemerintahan desa mereka. Dengan demikian pemimpin tertinggi adalah seorang sangaji dengan dibantu kapitan laut. Melalui pejabat-pejabat inilah Raja Jailolo mengerahkan tenaga-tenaga untuk mengadakan bajak laut30.  Ekspedisi-ekspedisi yang dipimpin oleh Mangofa ini berlangsung dengan sengitnya antara tahun 1817 sampai 1825. Sejak tahun 1819 pihak Belanda di Ambon sudah mulai mengadakan perlawanan terhadapnya. Tetapi usaha usaha yang berhasil baru nampak pada masa Pieter Markus menjadi Gubernur di Ambon antara tahun 1822 sampai 1828.


SULTAN SERAM

Untuk pertama kalinya pemerintah Hindia-Belanda di Ambon berkenalan dengan kekuatan Raja Jailolo III adalah pada tahun 1818 dan 1810. Dalam masa itu sedang dilakukan reorganisasi dan "pasifikasi" setelah Perang Pattimura. Pertama-tama setiap raja atau kepala desa yang memihak pada Pattimura dipecat dan diganti dengan yang lainnya. Kemudian daerah-daerah yang terpencil seperti Seram Utara mulai dikunjungi pada tahun 1818. Ternyata wilayah Sopalewa yang berpusat di Nuniali itu membangkang dan tidak mau mengirim utusannya ke Ambon untuk menyatakan tunduk kepada Hindia-Belanda. Juga penduduk daerah "Negeri Sembilan" yang terletak di sebelah timurnya tidak kunjung datang ke Ambon.

Sebab itu Let.Kol. Kruythoffc yang menggantikan Laksamana Muda Buyskes sebagai penguasa di Malukud mengirim sebuah armada hongi ke Seram Utara31. Sebelum berangkat ke Nuniali ia singgah di Boanou untuk mengambil kedua rajanya (Islam dan Kristen)e yang akan bertindak sebagai juru bahasa di Nuniali dan sekitarnya. Tetapi sesampai di Nuniali ternyata tidak ada pejabat negeri yang didapatkannya. Sebab itu ia meneruskan pelayarannya ke Saway. Memang menurut berita-berita yang sudah diterimanya di Ambon, Raja Jailolo berada di sekitar tempat itu. Ia berkesimpulan bahwa Raja Jailolo-lah yang merupakan biang keladi pembangkangan di Seram Utara. Beberapa negeri dari kalangan Negeri Sembilan berhasil dihubunginya dan mereka bersedia mengakui kekuasaan Hindia-Belanda (Saway, Hatuwe, Pasanea dan Besi) Tetapi banyak pula yang tetap membangkang. Sebab itu ia mengeluarkan proklamasi yang isinya mendiskreditkan Raja Jailolo sebagai seorang jahat dan seorang asing yang akan mengakibatkan kehancuran daerah tersebut.

Ia menyerukan agar penduduk menyerahkannya kepada Belanda. Bila Raja Jailolo III tertangkap hidup-hidup maka imbalannya adalah "1000 ropeyen", bila tertangkap mati hadiahnya dalam separuh dari itu . Hongi Kruythoff memang berhasil mendatangi tempat-tempat yang diperkirakan menjadi dari Mangoffa, namun, orangnya tidak pernah dijumpainya. Yang menarik baginya adalah sejumlah desa yang sangat rapi makmur dengan arsitektur rumah yang mirip terdapat di Makasar Bugis. Boleh dikatakan wilayah Seram Utara bagian timur yang didatanginya masih asing bagi orang Belanda.

Yang lebih berhasil dari Kruythoff adalah Pieter Merkus, seorang ahli hukum yang menjadi Gubernur di Ambon antara 1822 sampai 1828. Berdasarkan laporan yang diterimanya dari seorang mata-matanya yang sengaja di kirim ke Seram Utara, Merkus mendapat berita bahwa Mangofa berada di Hatiling dan sedang membangun sebuah benteng yang kuat di sana. Korvet "Anna Pawlowna" yang bertugas di Maluku Tengah dikirimnya ke sana dengan maksud mempelajari kekuatan Raja Jailolo. Korvet itu memang berhasil menemukan tempat tersebut. Sebuah surat dikirim kepada Raja Jailolo. Tetapi rupanya Mangofa belum bersedia berunding sekalipun sudah beberapa kali ia mengirim berita melalui pelbagai saluran tidak resmi bahwa ia bersedia berunding. Permintaan berunding dari Mangofa ini disebabkan adanya usaha Tidore untuk menghancurkannya di kepulauan Raja Ampat. Mungkin sekali Mangofa mencoba menetralisir tindakan-tindakan Tidore dengan berusaha menjadi "sekutu" Belanda pula32.

Berdasarkan laporan Korvet Anna Powlowna, Merkus mengambil tindakan lanjutan33. Kebetulan pada saat itu di Ambon ada Korvet Komeetg yang sedang dalam perjalanan dari Manado ke Batavia. Korvet Komeet diperintahkan memperkuat Korvet Anna Powlowna untuk menyerang Hatiling. Selain itu kedua kapal perang itu diperkuat lagi dengan 60 orang tentara Ambon dipimpin Kapitein van Ganzenh. Kekuatan ini berangkat tahun 1823 itu juga. Mula-mula mereka singgah di Saway. Raja Sawayi, yang baru saja dibebaskan Raja Jailolo sejak ditahan pada tahun 1819 karena membantu Hongi Kruythoff, segera memberi bantuannya. Pasukannya diperintahkan menuju Hatiling melalui daratan.

Pertempuran di Hatiling cukup seru34. Pasukan Ambon yang dipimpin van Ganzen ternyata tidak bisa mendarat karena tembakan-tembakan gencar dari darat. Sekalipun meriam-meriam kedua kapal perang tersebut telah memberi bantuan meriam namun banyak pula yang gugur pada saat pendaratan tersebut. Baru setelah pasukan alifuru35 Saway tiba tiga hari kemudian dan mengadakan serangan dari belakang, terjadi sedikit kekacauan dalam barisan pasukan Mangofa. Pada saat itulah pasukan van Ganzen mendarat dengan lindungan meriam kapal-kapal perang. Mereka kemudian disusul pula oleh pasukan marinir kedua kapal perang tersebut. Tidak lama kemudian benteng Hatiling jatuh. Namun Mangofa beserta pasukannya telah mengundurkan diri sebelumnya. Sebagian besar dari benteng Hatiling berhasil dihancurkan. Dan berdasarkan saran dari komandan Korvet Anna Powlowna, Merkus menghidupkan kembali pos di Saway yang ada sebelumnya tetapi yang di masa pemerintahan Inggris pernah dihapus. Pos Saway inilah yang kemudian, setelah dipindahkan ke Wahay, menjadi pusat pemerintahan India Belanda di Seram Utara. Dari Saway yang diperkuat dengan suatu detasemen tentara. Pihak Belanda berusaha mengintai kegiatan Mangofa. Selama 2 tahun kemudian Saway berfungsi dengan memuaskan bagi Belanda36. Dengan cara ini diharapkan penduduk di daerah Negeri Sembilan dan daerah Sopalewa dibebaskan dari pengaruh Raja Jailolo37. Malah pihak Tidore sempat mengirimkan empat buah kora-kora lengkap dengan pasukan dan persenjataannya untuk membantu Saway mengadakan patroli di Seram Utara38.   

Pieter Merkus, Governor van Moluccas (1822 - 1828)

Setelah mengadakan perundingan. Namun usaha itu selalu kandas karena kecurigaan Mangofa atas maksud baik Merkus tersebut. Tetapi ketika pada bulan Mei Merkus bertemu dengan Gubernur Jenderal di Banda, muncul suatu gagasan baru.

Tidak jelas bagaimana ujung-pangkalnya gagasan ini. Tetapi pada suatu ketika Merkus mendapat kesediaan dari seorang dagang asal Muntok (keturunan Arab), yang bersedia membawa surat lagi ke Seram Utara39. Maksud semula sama sekali bukan untuk mendapatkan Mangofa yang sudah berkali-kali mengecewakannya dengan tidak membalas suratnya atau mengirimkannya kembali tanpa dibuka. Maksudnya adalah untuk menemukan para penguasa dari Halmahera tersebut agar mereka mengambil sikap yang lebih bermusuhan terhadap Mangofa. Entah bagiaman surat tersebut oleh bantuan utusan tersebut tidak diserahkan kepada kepala-kepala tersebut, tetapi kepada Mangofa. Dalam surat itu Merkus mengajak para pemimpin dari Maba, Weds, Patani, Galela dan Tobelo agar mengusahakan supaya Mangofa mau berunding dan mengakui kekuasaan Hindia-Belanda. Sebagai imbalannya Merkus bersedia mengakui kekuasaan Mangofa. Tetapi bila peringatan tersebut tidak dihiraukan, maka Merkus bersedia mengadakan tindakan yang lebih drastis daripada yang diambilnya di Hatiling.

Beberapa bulan kemudian utusan tersebut, yang bernama Juragan Jusuf, tiba di Ambon dengan lima orang yang mengaku sebagai pimpinan dari orang-orang Tobelo, Galela, Patani, Maba dan Papua (Raja Ampat). Mereka membawa sepucuk surat dari Mangoffa yang bersedia mengadakan perundingan sesuai dengan surat yang diajukan oleh Merkus.

Dalam perundingan itu40, para utusan tersebut meminta agar diadakan pemilihan seorang sultan sesuai adat kebiasaan dalam kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Setelah itu sultan yang terpilih itu dikokohkan oleh Gubernur, juga sebagaimana terjadi di kerajaan-kerajaan di sana. Usul ini bisa diterima oleh Merkus. Namun Merkus tidak bersedia memenuhi tuntutan agar kerajaan baru itu dibangun di bekas kerajaan Jailolo yang lama di Halmahera. Daerah itu, menurut Merkus, telah menjadi bagian dari kerajaan Ternate
dan Tidore. Belanda tidak bisa membatalkannya karena kedua kerajaan itu adalah sekutu-sekutunya. Tetapi dalam suratnya kepada Mangofa, yang dibawa oleh kelima utusan tersebut yang disertai Juragan Jusuf, ia meminta pada Mangofa agar mengadakan "genjatan senjata" sampai Gubernur Jendral memberi keputusan lebih lanjut mengenai usaha tersebut. Ini berarti pihak Mangofa harus berusaha agar kegiatan bajak-laut dihentikan. Memang sejak tahun 1824 praktis tidak terjadi kegiatan bajak-laut lagi sampai tahun 1830 ketika rencana Merkus tersebut mulai buyar lagi. Selain itu ia juga memerintahkan pos di Saway agar tidak memusuhi orang-orang Halmahera yang berdiam di Seram Utara. Juga Residen Banda yang berkuasa atas kepulauan Seram Laut dan Gorong mendapat instruksi yang sama.

Bagaimana kelanjutan usul ini tidak begitu jelas. Tetapi yang jelas adalah bahwa pihak pemimpin-pemimpin Halmahera serta Mangofa akhirnya mengusulkan lagi kepada Merkus agar yang dijadikan Sultan adalah Mohammad Asgar yang pada waktu itu sedang menjalankan hukuman buangan di Jawa. Kepada Gubernur Jendral, Merkus meminta agar usul itu diterima saja. Tetapi daerah yang akan diberikan kepada Sultan Jailolo tersebut bukan di Halmahera (bekas kerajaan Jailolo) tetapi di Seram Utara dari Hatiling sampai Barakit41. Dalam surat tersebut Merkus mencoba membenarkan rencananya. Ia mengatakan bahwa cara lain untuk memberantas bajak-laut Seram tidak ada. Serangan-serangan seperti di Hatiling mungkin hanya bisa menghancurkan armada mereka serta pusat kekuasaan mereka untuk sementara waktu. Tetapi karena cara hidup mereka yang berpindah-pindah dangan menggunakan perahu-perahu kecil yang juga digunakan untuk merampok, maka sulitlah untuk melenyapkan keseluruhan kekuatan mereka. Mereka tersebar dimana mana dan bisa berlindung di teluk-teluk kecil yang ratusan jumlahnya dan sulit dimasuki. Apalagi bila diingat bahwa kapal-kapal perang tidak bisa dengan mudah mendekati pantai atau sering juga terhalang oleh angin musim yang tidak tepat. Maksud usaha militer tidak akan banyak bermanfaat. Sebab itu usaha yang paling baik adalah mengalihkan kegiatan mereka dari laut ke darat; menjadikan mereka petani-petani. Daerah Seram Utara, menurut Merkus cukup subur untuk itu. Dan hasilnya pasifikasi seperti ini, juga tempat-tempat lainnya di Halmahera, yang sudah memihak pada Raja Jailolo akan kehilangan. Tetapi akan ternyata nanti bahwa usaha ini bisa berhasil bila Raja Jailolo atau Mangofa yang memegang kekuasaan. Pada waktu itu Merkus tidak menyangka bahwa Mohammad Asgar yang sudah tua dan pemadat itu tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk mengekang para bajak-laut tersebut.

Mangofa yang oleh Markus dikatakan sebagai seorang yang "penuh inisiatif... lemah lembut... bijaksana... dan yang oleh pengikut-pengikutnya sudah dianggap sebagai penguasa mereka yang syah ...”42, kemudian tarnyata manyetujui semua rencana Markus. Dalam suratnya tertanggal 27 Nopember 182443, Mangofa mengakui bahwa ia tidak pernah menuntut agar daerah Jailolo yang telah dikuasai Tarnate dan Tidore itu dijadikan daerah kekuasaannya. Selain itu ia juga menyatakan keinginan pribadinya agar Mohammad Asgarlah yang diangkat sebayai penguasa yang syah. Selain itu ia mengucapkan terimakasih atas kiriman yang dibawa oleh Juragan Jusuf untuknya, berupa sebuah bendera (Belanda). Ia bersedia berpindah ke Matakap dan mendirikan markas sementaranya di sana dan mengibarkan bendera Belanda. Selain itu ia mengusu lkan agar diadakan pertemuan antara ia sendiri dan Merkus.

Pada bulan Juli 1825 Merkus bertolak ke Seram Utara untuk bertemu dengan Mangofa di Matakap. Di sana ia menemukan seorang yang sudah berumur antara 45-50 tahun tetapi nampaknya lebih tua. Ia dikelilingi oleh para pemimpin dari sejumlah 7000 orang Halmahera yang menjadi pengikutnya. Dalam perundingan itu orang-orang Halmahera menekankan lagi agar kedudukan mereka jangan dibawah-kan pada Tidore yang terlalu banyak menuntut pajak dari mereka. Dalam perundingan itu tercapailah kesepakatan yang terdiri atas 5 pasal, yaitu :44

1.         Agar Mohammad Asgar menjadi Sultan dengan wilayahnya di Seram Utara bagian timur

2.        Pusat kekuasaan kerajaan itu adalah di Hatiling;

3.        Orang-orang Mabe, Wede, Patany, Tobelo, Galela, dan Papua (Raja Ampat) membangun negeri-negeri mereka dipantai tersebut;

4.       Kedua putra dari Monarfa yang pada saat itu memegang jabatan Jogugu (Menteri Utama) dan Kapitan Laut (Laksamana) serta beberapa orang wakil Halmahera menjemput Mohammad Asgar yang sementara itu telah tiba di Ambon.

5.        Aturan-aturan selanjunya tentang pemerintahan akan ditentukan bersama antara Merkus dan Asgar.

Suatu hal yang tidak dicantumkan di dalam perjanjian itu adalah gelar dari Asgar. Karena sudah barang tentu ia tidak bisa menggunakan gelar Sultan Jailolo, make gelar resmi yang diberikan padanya adalah "Sultan Seram"45.

Mohammad Asgar tiba di Hatiling dalam tahun 1826. Sebagai Sultan Seram, Ia bernama Mohammad Saleh Amiruddin. Pekerjaan pertama yang harus dilakukannya adalah mengumpulkan semua pengikutnya dan menganjurkan mereka berdiam di negeri-negeri pantai di wilayah yang sudah ditentukan. Dalam pekerjaan itu, Ia selalu didampingi oleh Juragan Yusuf yang kini sudah dinamakan Kapitan Yusuf. Selain itu ia juga harus berurusan dengan wakil sah dari Gubernur yang berkedudukan di Saway, yaitu Engelhardj yang diberi gelar "Gecommitteerde voor Ceram"46/k .Masalah lain yang harus dihadapinya adalah membangun pemerintahannya serta personalianya. Seperti halnya dengan Mangofa, yang kemudian dijadikan "Sultan Muda", Asgar pun mengikuti pola yang terdapat di kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Sebagai Menteri Utama, ia mengangkat Jamaluddin dengan gelar tradisional Jogugu, kemudian Abdul Gani dijadikan Kapitan Laut, Abdurachman menjadi Hukum, dan seorang Jurutulis yang biasanya menjadi penasehat utama dari Sultan. Para penguasa suku-suku Maba, Weda, Patani, Tobelo, Galela, yang bergelar Sangaji juga mempunyal Kapitan laut dan pejabat-pejabat lainnya sepertl Kimelaha dan lain-lain.

Tidak lama kemudian muncul permasalahan-permasalahan yang akhirnya akan mengakibatkan dibubarkannya eksperimen Merkus ini. Salah satu masalah yang tidak bisa didamaikan adalah kedudukan Gecommmiteerde voor Ceram. Kedudukan ini tentu tidak sama dengan kedudukan Asisten Residen di tempat-tempat lainnya. Namun dalam kenyataan tidak berada. Dalam tahun 1830 terjadi perselisihan pertama sehingga Sultan Seram mengirim suatu laporan panjang mengenal tindakan-tindakan Gecommittedeerde tersebut merasa harus mempertahankan dirinya dengan suatu laporan yang membantah tuduhan-tuduhan Sultan Seram49. Permasalahannya, menurut Sultan Seram adalah bahwa Gecommitteerde mengadakan hubungan langsung dengan para sangaji-nya tanpa melalui dirinya. Gubernur Ellinghyuzenl yang menggantikan Merkus mengambil kebijaksanaan [dengan] memindahkan Engelhard sebagai Gecommitteerde (Ia kemudian menjadi Residen di Saparuam)50.

Masalah lain adalah formasi pemerintahan Sultan Seram, mengenai hal ini harus diadakan perundingan-perundingan dengan Gubernur. Umpamanya pengangkatan Sangaji Maba yang bernama Catu sebagai Kapitan Laut pada tahun 1830, demikian pula Sangaji Sendayu sebagal Sekretaris Besar, dan Sangaji Gemala Musa sebagal Suwy (Utusan). Tetapi Sangaji Rabajala dari Maba, yang banyak berjasa kepada Mangofa, ternyata tidak bisa diterima oleh Ellynhuizen51. Padahal sejak tahun 1828 sudah ada kesepakatan untuk memberi jabatan pada tokoh yang berjasa ini. Rabajala memang sudah sejak tahun 1828 merupakan tokoh yang kurang senang dengan Gecommitteerde tersebut. Usaha Gecommitteerde untuk memindahkan pusat kekuasaan Sultan Seram dari Hatiling ke Wahay, umpamanya, mendapat tantangan dari SANGAJI YANG PADA SAAT ITU MENYANDANG GELAR Shahbandar. Sebagai akibatnya Rabajala diharuskan berdiam di Ambon agar bisa lebih mudah diawasi. Tetapi hal ini terjadi ketika Ellinghuizen belum menunjukkan sikap tersebut di atas52.

Masalah lainnya yang tidak mudah diatasi adalah perbedaan-perbedaan antara orang-orang Halmahera yang berorientasi ke laut ini dengan penduduk Negeri Sembilan yang lebih banyak bertani. Umpamanya masalah harga-harga bahan-bahan makanan yang dihasilkan oleh penduduk tersebut, tetapi yang ingin diubah oleh Sultan Seram. Juga masalah penjualan ikan menjadi pangkal perselisihan yang bisa berlarut-larut53. Masalah didudukinya ladang-ladang penduduk Hatuwa oleh orang-orang Tobelo menimbulkan perselisihan yang menambah ketegangan antara penduduk Negeri Sembilan dan orang-orang Halmahera54.

Ketegangan antara Sultan Seram dengan Gubernur di Ambon ditambahkan lagi karena tuntutan Sultan Seram agar Ia diberi mahkota seperti Sultan-sultan lainnya di Maluku Utara. Dalam salah satu suratnya kepada Gubernur tertanggal 29 Mel 183155, Ia mengatakan bahwa "di dalam negeri Maloko empat, Tidore, Ternate, Bacan, Jailolo, sekarang tiga negeri sudah... mendapat mahkota. Hanya "Sultan Jallolo belum betul". Pernah Merkus menjanjikan akan membicarakan hal ini dengan Batavia, katanya, tetapi sampai saat itu belum juga dilaksanakan. Perlu ditambahkan disini bahwa permasalahan mahkota dan alat-alat pusaka lainnya tidak pernah dibereskan sampai "Kerajaan Seram" dihapus pada tahun 1832.

Kekompakan antara orang-orang Halmahera juga sangat membantu kearah pembubaran itu. Terutama orang-orang Tobelo dan Galela kurang serasi dengan orang-orang Halmahera lainnya. Pada tahun 1832, orang-orang Maba, Weda dan Patani mulai menunjukkan kurang senang. Alasan mereka adalah bahwa daerah yang mereka diami di Seram kurang baik karena banyak lumpur, terutama pada masa penghujan. Mengenai hal ini sebetulnya Sultan Seram juga sudah mengajukan keluhan. Setelah berpindah dari Hatiling ke Wahay, Ia masih mengeluh bahwa pengikut-pengikutnya tidak betah di tempat yang telah ditentukan bagi mereka. Sebab itu Ia mengajukan usul agar kedudukannya bisa dipindahkan ke sebuah pulau kecil di Utara, yaitu pulau Obi. Tetapi ini semua merupakan alasan yang dicari-cari saja. Sebenarnya Sultan yang sudah sangat tua dan madatan itu memang tidak sanggup lagi memerintah. Sebab itu tidak mengherankan bila muncul suara-suara yang menuntut agar Mangofa dijadikan sultan .

Rupanya beberapa diantara pemimpin Baba dan Petani secara diam-diam menghubungi Sultan Tidore dan meminta agar mereka diijinkan pula ke desa mereka di Halmahera. Tetapi Sultan Tidore dan Residen Ternate mengajukan persoalan ini kepada Gubernur di Ambon sehingga terbongkarlah keadaan yang sebenarnya. Situasi ini rupanya menimbulkan kehebohan juga, karena Jogugu Jamaluddin lalu ke Ambon melaporkan tindakan ke-enam pemimpin tersebut. Hal ini lalu memaksakan Gubernur untuk mengadakan penyelidikan. Ternyata kebanyakan dari orang-orang Maba, Weda, dan Patani memang sudah secara diam-diam meninggalkan Seram kembali ke desa asal mereka. Dari jumlah 7000 orang yang semua menjadi pengikut dari Raja Jailolo III dalam tahun 1822, di tahun 1832 ternyata hanya tinggal 2111 orang lagi. Mereka mengeluh bahwa Sultan Seram tidak berhasil memperbaiki nasib mereka seperti yang mereka harapkan ketika mereka meninggalkan Halmahera. Sebab itu mereka mendesak agar Gubernur mengijinkan mereka kembali56


Gubernur Ambon lalu mengajukan usul kepada Gubernur Jenderal di Batavia untuk membubarkan "Kerajaan Seram" dan menangkap Mohammad Asgar serta Mangofa. Kehadiran mereka di Seram tidak lagi dibutuhkan bila sisa dari orang-orang Maba dan Weda serta Patani telah dipulangkan. Mengenai orang-orang Tobelo dan Galela Ia tidak memberi komentar.

Muslihat yang dipakainya untuk menangkap kedua tokoh tersebut diatas adalah dengan mengadakan rapat di Ambon57. Namun rupa-rupanya Sultan Seram telah mencium bahaya dan mengusulkan agar rapat itu diadakan di Wahay. Dengan menggunakan dua buah kapal perang, Pejabat Gubernur menuju ke Wahay. Rapat diadakan di atas geladak salah satu kapal perang tersebut dan di situpula Sultan Seram, Mangofa, dan beberapa orang pengikutnya ditangkap kemudian diangkut ke Ambon dan akhirnya dibawa ke Batavia58. Sebagai tempat buangan terakhir bagi Sultan Seram, pejabat-pejabat di Batavia menentukan Cianjur59.

Selama beberapa tahun kemudian orang-orang Tobelo dan Galela masih melakukan kegiatan bajak lautnya. Berkali-kali mereka didekati untuk mencari penyelesaian. Tetapi kegiatan mereka untuk tahun-tahun pertama mendapat legalitas karena alasan yang mereka berikan adalah "membalas dendam" penangkapan Sultan Seram, Namun tidak lama kemudian alasan ini mereka dan kegiatan bajak laut diteruskan seperti sediakala (sejak abad ke-18).

Sebagai kesimpulan dapat kita katakan bahwa unsur bajak laut yang nampak menonjol dalam perjuangan Raja Jailolo II dan Raja Jailolo III, hanya unsur sambilan saja. Situasi pada itu memang mengharuskan mereka menggunakan cara itu. Bagaimana halnya dengan perjuangan Danu Hassan pada tahun 1876 dan perjuangan Raja Jailolo lainnya pada tahun 1914. Sudah barang tentu situasi sosial budaya yang memungkinkan mereka muncul dalam panggung sejarah lain pula.


===== selesai =====


Catatan Kaki:

23.     Van Vraassen, loc.cit.

24.     Katoppo, op.cit. hal 176.

25.     Gubernur Maluku 17 Maret 1830 dan Resolusi  Gubernur Jendral 24 Oktober 1828, hal 55.

26.    Laporan Gubernur pada Batavia 15 Juli 1826.

27.     lstilah Negeri Sembilan muncul dalam beberapa surat antara lain 24 April 1830 dll.

28.     Saniri Sopalewa adalah salah satu dari tiga Saniri (rapatnya),  J.Ph . Duyvendak , Het Kakean Genootachap van Seram, Amelo, 1926.

29.    Mengenai kegiatan bajak laut di Maluku Tengah lihat surat Gubernur 29 Juni 1819, 30 Oktober 1819, surat D. Hatuely 26 September 1823.

  1. Salah satu contoh ekspedisi bajak laut adalah yang dilakukan ke Kalencucu Sulawesi Tenggara. Ini dilakukan dengan bantuan bajak laut Mindanao (keterangan buku Kapitan Tobalo, 8 Agustus 1823).
  1. Laporan Hongi Kruythoff, akhir Desember 1819.
  2. Surat Markus 29 September 1824, hal 4.
  3. Surat Markus 25 Maret 1824, hal 2.
  4. Laporan Korvet Kommeet,  6 Oktober 1823.
  5. Alifuru + penduduk pedalaman.
  6. Surat Komandan Saway 31 Oktober 1824.
  7. Surat Merkus, 23 Pebruari 1824, 3.
  8. Surat Merkus, 23 Pebruari 1824, 5.
  9. Surat Markus, 3 Mei 1824.
  10. Besluit Gubernur Jendral, Batavia 14 September 1824, 1.
  11. Surat Merkus, 10Desember 1824.
  12. Ibid.
  13. Surat Mangofa (kapitan Laut Jailolo) 27Nopember 1824. (berbahasa Melayu dengan transkripsi darl tulisan Arab).
  14. Resolusi Gubernur Jendral Batavia 4 Oktober 1825, 2.
  15. lstilah Seram sebenarnya hanya dipakai untuk pantal Selatan Tanah Hitu (lihat catatan 22).
  16. Surat Mohammad Asgar pada Merkus 5 April 1826 (bahasa Melayu).
  17. Surat Sultan Seram 8 Maret 1830 (bahasa Melayu).
  18. Surat Engelhard, 1 April 1830.
  19. Surat Ellynhuizen pada Sultan Seram 23 Maret 1830.
  20. Surat Ellynhuizen Sultan Seram 30 Juni 1830.
  21. Besluit gubernur Jendral 30 April 1828.
  22. Surat Komandant Wahay kepada Gubernur 23 Januari 1831.
  23. Surat Komandant Wahay kepada Gubernur 29 April 1831 .
  24. Surat Sultan Seram kepada Gubernur 29 Mel 1831 (Melayu).
  25. Resolusi Gubernur Jendral Batavia, 15 Agustus 1832, 32.
  26. Ibid.
  27. Surat Pej. Gubernur 24Desember 1832.
  28. ibid
  29. H .C. van Eijbergen, "Gescheidkundige Aantekeningen omtrend de Noordkust van Ceram van af het Jaar 1816 tot 1832' ' . Tijdschrift, XVII, 1889, 489-504.

 

Catatan Tambahan:

a.      Sultan Tidore yang dimaksud adalah Mohamad Tahir yang berkuasa pada 1810-1821

b.      Residen Belanda di Ternate yang dimaksud adalah J.A. Neijs  yang memerintah pada 1817-1831

c.      Let Kol. Kruythoff yang dimaksud Leirissa bernama lengkap J. Hendrik Tielenius Kruijthoff, menjadi Gubernur Maluku sejak  Januari 1819 hingga 3 Februari 1822 hingga meninggal di Ambon. Namun, faktanya Let Kol. Kruythoff bukanlah seorang militer seperti yang ditulis secara eksplisit oleh Leirissa. Ia hanyalah pegawai negeri sipil, bukan militer. Mungkin Leirissa keliru mengidentifikasi 2 figur yang namanya mirip satu dengan yang lain. Mungkin yang Leirissa maksud adalah Letnan Kolonel Cornelis Johanes Kraijenhoff, Komandan Militer Gubernemen Maluku/Ambon (1817 – 1818), namun Kraijenhoff bukanlah Gubernur, ia hanya Komandan Militer.

d.      Let.Kol Kruythoff (menurut penulisan Leirissa), sebenarnya tidaklah menggantikan Laksamana Muda Buyskess. Ia menggantikan Mayor Jenderal Hendrik Merkus de Kock (21 Februari 1818-Desember 1818 atau 7 Januari 1819). Yang menggantikan Buyskess (Oktober 1817-Februari 1818) adalah Mayor Jend Hendrik Merkus de Kock.

e.      Patij van Buano Serani adalah David Hutuely  (1818-1835) dan Patij van Buano Islam adalah Abdullah Hitimala (1819?-?)

f.       Komandan korvet Anna Paulowna adalah Kapten Letnan Felix Hendrik Momma

g.      Komandan korvet Komeet adalah Kapten Letnan Laut Pieter Pietersen (1821-1824)

h.      Nama lengkapnya Louis Alexander Ganzen

i.        Radja van Saway adalah Latuputij Patij Ukan (1804-1819?)

j.        Engelhard ini bernama lengkap Johanes Lodewijk Benedictus Engelhard (1802-1877)

k.      Engelhard menjadi Gecomiteerde voor Ceram dan Buru (1825 – 1827)

l.        Gubernur Ellinghuysen yang dimaksud adalah Andries Adolf Ellinghuijsen (1787-1836) menjadi Gubernur Maluku pada Des 1829 – Des 1836 hingga meninggal di Ambon.

m.    Sebenarnya lebih tepat adalah Asisten Resident bukan Resident, Johanes Lodewijk Benedictus Engelhard menjadi Asissten Resident van Saparua pada 1829-1837

Tidak ada komentar:

Posting Komentar