Selasa, 23 Februari 2021

RAJA JAILOLO, 1811- 1832 Gerakan Nativisme di Maluku (bag 1)


Oleh: R.Z. LEIRISSA

  A.      Kata Pengantar

Artikel yang ditulis oleh sejarahwan almarhum R.Z. Leirissa ini sudah berusia “tua”. Artikel ini adalah materi presentasi dari Leirissa pada Seminar Sejarah Nasional III, yang diadakan di Jakarta pada 10-13 November 1981. Materi-materi presentasi hasil seminar tersebut kemudian dibukukan dengan judul Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda 2, dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, pada tahun 1982. Artikel Leirissa ini ditempatkan pada halaman 29-45, bersama materi-materi lainnya pada buku terbitan tahun 1982 itu.

Artikel sepanjang 17 halaman ini membahas tentang aksi-aksi Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh Raja-Raja mereka di perairan Seram pada permulaan abad ke-19 terhadap Hindia Belanda, yang akhirnya memaksa pemerintah membentuk “Kerajaan Seram”, dan Raja Jailolo menyandang gelar sebagai “Sultan Seram”.

Kami hanya “mengcopy paste” artikel ini dan “memperbaiki” beberapa kekeliruan yang terdapat pada isinya, misalnya jumlah catatan kaki, kalimat-kalimat yang sedikit “unik” serta menambahkan catatan tambahan dan memasukan beberapa gambar ilustrasi, yang memang tidak ada pada artikel aslinya.

Akhir kata selamat membaca sejarah kita, sejarah yang turut membentuk kehidupan sosial kita di masa kini. 

B.      Isi Artikel 

PENDAHULUAN

Apabila kita mempelajari sumber-sumber sejarah primer berupa dokumen-dokumen Hindia Belanda di Arsip Nasional R.I. Jakarta, khususnya apa yang dinamakan Arsip Ambon, maka nampak bahwa ada sejumlah gerakan dan perlawanan terhadap penjajahan yang jarang sekali diungkapkan dalam buku-buku sejarah. Salah satu diantaranya adalah gerakan Raja Jailolo, seorang tokoh yang kini telah menjadi legendaris dan tersimpan dalam cerita cerita rakyat terutama di Tidore. Beberapa buah catatan dari pada misionaris dan pejabat Hindia-Belanda di Maluku Utara mengkaitkan gerakan itu dengan kurusuhan, gerakan ratu adil, dan lain-lainnya yang sering menimbulkan kesan yang menakutkan maupun mengagumkan serta tidak jarang membingungkan. Dari catatan-catatan itu kita bisa membedakan lima tokoh yang menggunakan gelar Raja Jailolo, yaitu :

1.         Raja Jailolo I atau Sangaji Tahania,

2.        Raja Jailolo II atau Muhammad Asgar,

3.        Raja Jailolo III atau Kalim Mangoffa,

4.       Raja Jailolo IV atau Danu Baba Hassan, dan

5.        Raja Jailolo yang mengadakan perlawanan pada tahun 1914. 

Berdasarkan penelitian yang sudah ada, secara sepintas lalu kita bisa mengatakan bahwa Raja Jailolo I, II, III, dan ke IV adalah seketurunan. Belum bisa dipastikan keadaan Raja Jailolo 1914. Sangaji Tahani memegang gelar itu antara 1793-1810b, kemudian menyusul Mohammad Asgar pada tahun 1811c dan kemudian, dengan gelar Sultan Seram antara 1826-1832d. Kalim Mangoffae memegang gelar itu antara 1812-1825f. Kedua tokoh yang disebut terakhir ini adalah putra-putra dari Sangaji Tahani alias Raja Jailolo I, sedangkan Danu Baba Hassan, yang mengadakan perlawanan pada tahun 1876, adalah cucu dari Raja Jailolo I tersebut. Tentang Raja Jailolo tersebut kita sama sekali tidak mempunyai keterangan yang jelas kecuali catatan-catatan tersebut di atas.

Di bawah ini akan dibentangkan peranan Raja Jailolo II dan III. Bahan-bahan yang digunakan di dalam makalah ini berasal dari Arsip Nasional R.I. Jakarta, khususnya Arsip Ambon. Selain itu juga digunakan Arsip Alemeeneg Secretarie (semacam Sekneg). Tetapi patut disayangkan  bahwa Arsip Ternate yang banyak digunakan oleh E. Katoppo antara lain untuk mengemukakan peranan Raja Jailolo I (Sangaji Tahani dari pulau Makian) tidak dapat digunakan dalam makalah ini karena kurangnya waktu untuk research (penelitian)1

Dalam makalah ini gerakan Raja Jailolo akan disoroti dari pelbagai segi. Faktor-faktor sosial budaya yang memungkinkan munculnya gerakan ini sudah barang tentu perlu dikemukakan di samping usaha-usaha pihak Hindia Belanda untuk mengatasi gerakan-gerakan tersebut yang diikuti dengan perlawanan perlawanan. Dengan demikian diusahakan untuk mengemukakan gerakan ini sesuai sudut penglihatan Raja Jailolo, sekalipun sumber-sumber primer yang digunakan untuk itu berasal dari pihak Hindia-Belanda. 


BAJAK LAUT

Sudah sejak abad ke-18 muncul gejala-gejala dalam sejarah Indonesia yang oleh para sejarawan dinamakan sebagal gejala bajak laut2.  Hal ini juga berlaku di Maluku. Khususnya orang-orang Tobelo dan Galela dari wilayah kerajaan Ternate di Maluku Utara (pulau Halmahera) merupakan pihak yang paling banyak dituduh dalam hal ini. Apa sebabnya keadaan ini terjadi khususnya di Maluku belum diketahui dengan pasti karena kurangnya penelitian. Nampaknya tidak jarang terjadi bahwa kegiatan bajak laut Tobelo dan Galela ini terjalin juga dengan gerakan-gerakan bajak laut yang berpusat di Mindanao. Selain itu tidak jarang pula terjadi pembauran gerakan dengan apa yang dinamakan orang-orang "Papua" yang mendiami kepulauan Raja Ampat.

Sampai abad ke-19, dokumen-dokumen Hindia Belanda mengenai Maluku Utara dan Maluku Tengah penuh dengan laporan-laporan, surat surat, dan keterangan-keterangan lainnya dari para pejabat Belanda mengenai kegiatan bajak laut. Tidak ada pulau di Maluku Tengah yang jelas dari bahaya inih. Senantiasa kita lihat adanya "raids" yang dilakukan oleh pihak bajak-laut ke negeri-negeri (desa) yang terpencil untuk mengambil penduduk atau hartanya. Pihak pemerintah sudah barang tentu tidak tinggal diam dan·selalu berusaha untuk mengembalikan "warganya" yang dilarikan itu. Tetapi seberapa banyak usaha itu tidak berhasil belum pernah di laporkan.

Bahaya bajak-laut sedemikian besarnya sehingga sejak abad ke-18 ekspedisi-ekspedisi hongi ("hongitochten")3  yang dalam abad ke-17 khusus dikerahkan untuk mencegah penyelundupan dari Makasar, telah dialihkan untuk mengawasi bajak-laut. Dan ketika ekspedisi hongi juga dihapuskan pada tahun 1824, maka sebagai gantinya masih juga dikerahkan perahu-perahu penduduk untuk melayari wilayah sekitarnya dengan maksud mencegah bajak-laut. Setiap tahun, terutama di musim panen cengkeh, Gubernur Hindia-Belanda di Ambon memerintahkan para Asisten Residennya di Hila dan di Saparua untuk mengerahkan arombay4  untuk melakukan pengawalan di sekitar karesidenan masing-masing. Perahu-perahu yang biasanya digunakan untuk mengangkut manusia dan barang tersebut, untuk kesempatan itu dipersenjatai oleh Belanda. Para pemuda yang diharuskan mengikuti patroli ini juga dipersenjatai. Selain itu setiap arombay juga dilengkapi dengan sejumlah prajurit.

Sebetulnya apabila dikatakan bahwa ekspedisi-ekspedisi arombay itu khusus ditujukan kepada bajak-laut juga tidak tepat. Sebab di samping kegiatan bajak-laut yang berupa "raids" terhadap desa-desa terpencil atau terhadap perahu-perahu dagang, tidak jarang perahu-perahu bajak-laut juga mengadakan penyelundupan. Tujuannya sudah barang tentu cengkeh yang sedang dipanen.

Tidaklah mudah untuk membedakan kegiatan perdagangan biasa dengan kegiatan bajak-laut. Dalam keadaan tertentu para bajak laut bisa bersalin sebagai pedagang biasa. Dari dokumen-dokumen mengenai Raja Jailolo II (Mohammad Asgar) bisa ditarik kesimpulan bahwa tokoh ini juga menjadi kapitalis yang menyediakan modal bagi penduduk daerahnya. Tidak jarang pula para pejabat kerajaannya serta kepala-kepala suku yang berada dibawah kekuasaannya mengadakan perdagangan5. Daerah perdagangan mereka terutama adalah kepulauan Raja Ampat, kepulauan Seram-laut dan Gorong, serta negeri-negeri di Seram Timur

Selain itu para pedagang dari pelbagai tempat di Nusantara tidak jarang mendatangi wilayah yang menjadi pusat kegiatan bajak laut dari Tobelo dan Galela itu. Hal ini sudah barang tentu ada sebabnya. Perairan antara Halmahera (termasuk Ternate dan Tidore) dan kepulauan Ambon-Uliase (yang terdiri dari pulau pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusa laut yang menghasilkan cengkeh dalam abad ke-18 dan ke-19) termasuk wilayah yang sedikit banyaknya bebas. Pihak Hindia Belanda tidak mempunyai kemampuan untuk mengawasinya. Malah Seram Timur bagian utara sampai masa Raja Jailolo II dan III belum pernah dikunjungi pejabat maupun prajurit Belanda. Di wilayah inilah perdagangan merupakan kegiatan utama. Negeri-negeri di Seram Timur bagian Utara banyak yang didiami imigran dari Makasar umpamanya. Ini diketahui karena bentuk-bentuk perumahan yang dijumpai di tempat-tempat itu6. Selain itu banyak desa-desa yang melakukan pertanian. Beras umpamanya merupakan suatu hasil ekspor dari Maloan, suatu wilayah di sekitar Saway. Sudah tentu sagu merupakan suatu bahan eksport pula.  Kegiatan perdagangan ini sudah dilukiskan dengan agak memuaskan oleh Broersma7

Menurut Broersma, kegiatan perdagangan di pantai Utara Seram Timur sampai ke kepulauan Raja Ampat itu bermuara ke kepulauan Kei dan Aru yang terkenal karena pembuatan arombay serta hasil laut seperti kerang, teripang, mutiara. Cabang lainnya adalah kepulauan yang terletak di sekitar Sulawesi bagian Selatan dan Timur. Dari kepulauan Banggai, umpamanya, banyak didatangkan alat alat dari besi pisau dan parang. Selain itu terdapat pula cabang ke Nusatenggara Barat. Menurut suatu penyelidikan yang dilakukan oleh seorang pedagangi atas permintaan Gubernur Maluku pada tahun 1826j, para pedagang ini berasal dari "Bali-Buleleng, Sangsetsic/Patamun (?), Badung-Padang, dan Bali-Sasak, Teluk Dalam; Lombok dan Sumbawa, Labuhan Buwana, Bunuhrata dan Bokes dan Butun dan Mangaer"8. Menurut laporan tersebut cukong di Bali-Buleleng adalah seorang Bugis yang bernama Matuwa, di Badung-Padang seorang yang bernama Bandar, di Teluk Dalam seorang yang bernama Kapitan Parypary, dan di Labuh Buwanao seorang yang bernama Kapitan Tumena. Selain itu di Sumenep (Madura) ada seorang Bugis yang bernama Haji Seh Said Malayuw yang setiap tahunnya berdagang ke Seram Utara. Para pedagang tersebut membawa beras, benang, tembakau, garam, "Obat pasang dan senapang", lela9 dari tembaga dan madat.

Bahwa perdagangan di Maluku berkisar di sekitar perairan antara Halmahera dan Seram Utara bisa dimengerti. Sudah sejak pertengahan abad ke-17 , VOC melarang para pedagang asing (dari Nusantara maupun dari tempat-tempat lainnya di Asia dan Eropa) untuk memasuki wilayah cengkeh di Maluku Tengah (pulau-pulau Ambon, Maluku, Saparua, dan Nusalaut) . Di Maluku Utara terdapat larangan yang serupa pula. Pedagang pedagang tertentu yang mulai diijinkan sejak tahun 1824 hanya bisa berusaha di tempat-tempat tertentu saja seperti di kota Ambon. Seluruh kegiatan mereka diawasi secara ketat. Pergi dan datang dicatat dengan teliti dan setiap nakhoda diharuskan memiliki surat jalan. Kapal-kapal dagang yang dijumpai di luar jalur yang sudah diijinkan selalu di tahan dan dikenakan denda. Dengan demikian wilayah yang bisa dimasuki para pedagang hanyalah tempat-tempat yang belum dijamah oleh pemerintah Hindia-Belanda, atau dimana peralatannya tidak bisa bekerja secara efektif seperti di perairan Halmahera, Seram Utara, kepulauan Kei-Aru, dan kepulauan Seram-laut. Terutama di Laut Seram itulah kita lihat adanya perbauran antara bajak laut dan perdagangan. Dan sudah tentu keadaan semacam ini bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh unsur-unsur yang secara langsung ingin menentang kekuasaan Belanda seperti Raja Jailolo.


RAJA JAILOLO

Mangoffa dan Mohammad Asgar, 2 Raja Jailolo yang dibahas dalam makalah ini, adalah keturunan langsung dari Raja Jailolo I atau Sangaji Tahani. Mohammad Asgar adalah salah seorang putra dari Sangaji Tahani yang banyak berjasa dalam pertempuran-pertempuran laut di masa Sultan Nuku. Mangoffa adalah adiknya yang rupanya masih terlampau muda ketika Nuku melancarkan ekspedisi ekspedisinya melawan Ternate dan Tidore dalam akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.

Tahani adalah seorang Sangaji (bisa di samakan dengan Bupati di Jawa) dari bagian Timur pulau Makian. Di sekitar tahun 1783, ia bergabung dengan sejumlah 200 orang pengikutnya, dalam sebuah armada Nuku yang dipimpin Hukom Doy. Kemudian ia bisa diselundupkan ke Tidore yang sedang kacau akibat perlawanan sebagai salah seorang yang dipercayai Sultan Kamaludin di Tidore. Dalam waktu itu ia senantiasa mengirim berita-berita mengenai situasi Tidore kepada Nuku . Kemudian ketika Sultan Nuku mulai mencapai kemenangan-kemenangan, ia mengangkat Tahani sebagai "Raja ke-empat" di Maluku dengan nama Raja Jailolo dengan kedudukan di Halmahera. Sejak sekitar 1793 itu Tahani alias Raja Jailolo memimpin sebuah armada kora" kora (hongi) dengan daerah operasi khususnya di sekitar Halmahera. Daerah itu harus direbutnya sendiri dari tangan Ternate maupun Tidore. Usaha ini dilakukannya dengan cukup berhasil selama peperangan yang dipimpin oleh Nuku tersebut. Ia meninggal di salah satu tempat di Halmahera pada tahun 191010/k

Sepeninggal Tahani kedudukan sebagai Raja Jailolo dialihkan pada putranya Mohammad Asgar dengan kedudukan di Maba. Situasi bagi Mohammad Asgar memang sudah jauh lebih sulit dari pada situasi di masa Tahani. Sultan Nuku sendiri wafat tahun 1805l. Perlawanan yang sedemikian gigih sejak tahun 1773 sudah patah sama sekali. Terutama sejak kembalinya Belanda di Maluku pada tahun 1817, kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore yang telah menjadi sekutunya sejak awal abad ke-17, dipulihkan. Malah sudah dalam masa pendudukan Inggris situasi bagi Raja Jailolo II tidak begitu menyenangkan. Pada suatu ketika terjadilah pertentangan antara Asgar dan penduduk Maba sehingga timbul campur tangan lnggris. Raja Jailolo II kemudian ditangkap dengan alasan menjadi sebab kerusuhan dan dipenjarakan di Ambon.  Ketika Belanda tiba di Ambon pada bulan Maret 1817, salah satu masalah yang mereka hadapi adalah kedudukan Mohammad Asgar. Karena khawatir pengaruhnya yang rupanya masih ada di wilayah-wilayah tertentu di Halmahera, Belanda lalu membuang Mohammad Asgar ke Semarang11/m

Seperginya Raja Jailolo II alias Mohammad Asgar, gelar tersebut dialihkan kepada saudaranya yang bernama Kalim Mangoffa. Sebenarnya masih ada beberapa orang saudara lainnya. Tetapi dua diantaranya meninggal di Sulawesi Tenggara, dimana rupanya terdapat kegiatan bajak-laut pula. Sebagian dari wilayah itu memang diklaim oleh Ternate sebagai wilayah kekuasaannya terutama Teluk Tomini.

Kegiatan Kalim Mongaffa atau Raja Jailolo III tidak banyak dapat kita ketahui berdasarkan dokumen-dokumen dari "Arsip Ambon" saja. Tetapi rupanya sejak Mongaffa-lah aspirasi perjuangan untuk mempertahankan kerajaan ke-4 di Maluku dikaitkan dengan kegiatan bajak-laut. Kedudukan Mongaffa mula-mula di salah satu pulau di kepulauan Raja Ampat. Tetapi pengaruhnya boleh dikatakan merata di seluruh Laut Seram. Terutama bajak-laut dan Tobelo dan Galela menjadi pengikutnya. Mongaffa juga telah berhasil membangun suatu sistem pemerintah yang merupakan kopi dari sistem yang ada di kerajaan Ternate dan Tidore. Tetapi mengenai hal ini "Arsip Ambon" juga tidak banyak bicara. Yang pasti adalah bahwa Kalim Mongaffa tidak saja menggunakan gelar Raja Jailolo, tetapi malah Sultan Jailolo. Masalah gelar sultan itu pernah menjadi heboh dimana pengangkatan sultan dan pemberian gelarnya harus dilakukan dengan sepengetahuannya.


FALA RAHA (EMPAT RAJA)
 

Secara historis tuntutan Raja Jailolo adalah syah. Sudah sejak awal sejarah kerajaan-kerajaan di Maluku Utara ada kerajaan Jailolo. Tradisi empat kerajaan di Maluku Utara memang sudah merupakan suatu bagian dari kebudayaan setempat. Selain Ternate dan Tidore, juga terdapat kerajaan Bacan dan kerajaan Jailolo. Masih menurut tradisi-tradisi setempat yang dikumpulkan oleh Valentijn, umpamanya, kerajaan Jailolo-lah yang merupakan kerajaan utama di awal sejarah wilayah itu12. Persaingan-persaingan antara keempat kerajaan itu merupakan bagian utama dari sejarah politik wilayah tersebut. Dalam pertengahan abad ke-16 kerajaan Jailolo yang terletak di pulau Halmahera itu bisa dipatahkan oleh kerajaan Ternate. Tetapi baru pada awal abad ke-17 kerajaan ini dihapuskan dari peta politik wilayah itu. Hal ini terjadi karena adanya kerja-sama yang erat antara kerajaan Ternate dengan pihak VOC. Pada saat itu Jailolo bersekutu dengan Tidore yang kebetulan mendapat Sepanyol - Belanda untuk menguasai daerah rempah-rempah mempunyai akibat yang tldak menyenangkan bagi Jailolo. Sejak kekalahan tersebut keturunan raja-raja Jailolo berdiam di istana Ternate. Selama beberapa generasi keturunan langsung itu masih dihargai karena terjadi perkawinan antara mereka dengan para bangsawan Ternate maupun Tidore. Tetapi menjelang abad ke-18 tidak terdengar lagi berita-berita mengenai garis keturunan ini. Tindakan Sultan Nuku untuk mengangkat Sangaji Tahani sebagai Raja Jailolo merupakan tindakan politik untuk memecah belah keturunan dari Tahani mempertahankan klaim sebagai Raja Jailolo.

Sekalipun garis keturunan raja-raja Jailolo yang asli sudah tidak jelas, namun mitos mengenai empat raja di Maluku tidak pernah pudar. Malah sesungguhnya pembagian empat tersebut merupakan suatu segi yang esensial dalam seluruh kebudayaan di Maluku secara keseluruhan. Di Maluku Utara, khususnya di Ternate, ada mitos yang mengatakan bahwa penguasa-penguasa daerah itu sebenarnya terdiri dari 4 keluarga, yaitu keluarga Tomagola, keluarga Tomaitu, keluarga Marsaoli, dan keluarga Lumatau13. Sultan Ternate selalu dipilih dari salah satu keluarga tersebut. Kemudian dalam abad ke-16 dan ke-17, keluarga Tomagola yang terkenal saat itu sebagai laksamana atau Kapitan Laut kerajaan, berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Maluku Tengah sehingga sultan secara turun temurun menghadiahkan kedudukan "wakil sultan" di jazirah Hoamoal (pulau Seram) kepada salah seorang dari keturunan Tomagola14. Setelah kekuasaan Ternate di Maluku Tengah dipatahkan, sebagian dari keluarga Tomagola berpindah ke Seram Timur. Kedudukan sebagai "wakil sultan" di kepulauan Sula diserahkan kepada anggota angg0ta dari keluarga Tomaitu, karena salah seorang dari kelurga inilah yang menaklukkan kepulauan tersebut.

Bahwa pembagian empat ini sangat berpengaruh dalam masyarakat dan kebudayaan di Maluku, bukanlah suatu hal yang baru. Sudah sejak tahun 1935 hal ini diketahui dengan pasti. Pada tahun itu, F.A.E. van Wouden menyusun desertasinya mengenai struktur sosial di Indonesia bagian Timur yang didasarkan pada pembagian-pembagian 2, 4, 8, dan lain-lainnya15 Sekalipun van Wouden tidak berbicara mengenai Maluku Utara, tetapi keadaan yang sama ternyata terdapat pula di sana, seperti yang diperlihatkan oleh Chris van Fraasaen16.

Khususnya di Maluku Utara alam pikiran tersebut nampak sekali dalam mitos-mitos mengenal asal-usul raja-raja di sana. Salah satu mitos tersebut mengatakan bahwa raja-raja di Maluku berasal dari telur ular17. Ceritanya memang tidak berbeda dengan cerita-cerita lain mengenai asal-usul raja-raja. Suatu ketika, demikian salah satu versinya, seorang yang berjalan ke hutan menemukan 4 buah telur ular atau naga di bawah rumpun bambu. Ketika telur-telur itu dipegang, terdengar suatu suara yang misterius yang memerintahkan orang tersebut untuk memelihara telur-telur tersebut. Dari telur-telur itu lahirlah 4orang; 3 diantaranya [adalah] laki-laki. Mereka kemudian menyebar kesegenap pelosok Maluku Utara dan menurunkan raja-raja di Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.

Mitos ini sudah tentu tidak sama di keempat kerajaan tersebut. Tetapi pola empat itu tetap sama.Versi Bacan tentu akan memberi tempat utama kepada kerajaan Bacan, dan versi Ternate tentu akan memperlihatkan kedudukan utama dari kerajaan tersebut. Sampai abad ke-19, mitos-mitos ini masih memegang peranan penting dalam kehidupan politik kerajaan-kerajaan itu.
Hal ini bisa kita lihat dalam Hikayat Bacan18  ataupun Hikayat Ternate yang ditulis dalam abad itu19. Berdasarkan Hikayat Tanah Hitu yang ditulis pada tertengahan abad ke-17, Dr. J.Z. Manusama berhasil menyusun struktur pemerintahan tradisional serta dasar-dasar perribagian masyarakat tradisional di Hitu20. Sekalipun sampai sekarang belum ditemukan suatu naskah yang sejenis dari Jailolo, tetapi pengakuan adanya kerajaan Jailolo dalam hikayat-hikayat tersebut membuktikan bahwa mitos ini juga terdapat di sana21. Sebab itu tidak mengherankan bahwa Mohammad Asgar maupun Kalim Mongaffa mengklaim kedudukannya berdasarkan mitos itu pula. Dan rupanya banyak diantara pengikutnya tertarik kepadanya karena latar belakang mitos tersebut dari gelar Raja Jailolo.

==== bersambung ====


Catatan Kaki:

1.         E.Katoppo, Nuku : Sulthan Saidul Djehad Muhammad El Mabus Amiruddin Sjah, Kaicil Paparangan, Sultan Tidore, Bandung: Kilat Maju, 1957.

2.        D.G.E.Hall, A History of South East Asia, 3 ed. New York: Mc Millan, 1968, 338-339.

3.        Hongitochten armada kora-kora (perahu perang) yang digunakan untuk mengadakan patroli di lautan.

4.        Arombay adalah perahu-perahu pengangkut yang sejak akhir abad ke-18 menggantikan kora dalam hongitochten.

5.        Hal ini diketahui setelah Sultan Seram ditahan pada tahun 1832. Dalam daftar-daftar hutang dan piutangnya nampak bahwa Ia banyak memberi modal pada para pejabatnya untuk berdagang. Juga hubungan dagang dengan orang-orang Cina, Ambon dll, nampak dari daftar-daftar itu. Lihat Surat Residen Ternate tertanggal 26 September 1835 dan Surat Gubernur Maluku tertanggal 11 Januari 1836.

6.       Lihat laporan Hongi Kruythoff, akhir Desember 1819.

7.        R.Broersma, Koopvaardij In de Molukken, Groningen 1934.

8.        Laporan Juragan Jusuf, Ambon 27 September 1826.

9.       Lela + meriam ukuran kecil.

10.     Katoppo, op.cit.54, 63, 99, 109, XXX 121, 143, 149, 165, 171, 176, dst.

11.       Ibid

12.      Valentijn , Oud en Nieuw Oost-lndien, Dordrecht, 1734, II, Zaken .

13.      R.Z. Leirissa, "Local Potentates and the Competition for Cloves Early Seventheenth Century Ternate ", Paper untuk IAHA Bankok, dalam Proceedings Seventh IAHA Confrence, Bangkok : Chalalongkorn University Press, 1979, II, 319-332.

14.      Ibid

15.      F.A .E. van Wouden, Types of Social Structure In Eastern Indonesia, KITLV, Martinus Nijhoff, 1968.

16.     Ch.F. van Fraassen, "Types of Sociopolitical Structure In North Halmahera History", Majalah llmu-llmu Sastra lndonesia Vol VIII,  No.2, (November 1978/1979), 87-150.

17.      Valentijn, loc.cit.

18.      W.P.H.Coolhaas, "Kroniek van het Rijk Bayjan, "Tijdschrift, No. 63 , 1923, 474-512.

19.     P.A.van der Crab, "Geschiedenis van Ternate in het Ternataansche en Maleinche Tekst door den Ternataan Naidal met vertaaling en aantekeningen door P.A. van der Crab, "Bijdragen" 79.

20.    J.Z. Manusama, "Hikayat Tanah Hitu", Desertasi Universitas Leyden, 1971.

21.      Wawancara dengan tokoh-tokoh dari Tidore, 1981 .

22.     Prosesverbal 11 Maret 1833, Ambon 26 Maret 1835, Ambon 15 Agustus 1835.

 

Catatan Tambahan:

a.        Nama “asli” dari Raja Jailolo I atau Sangadji Tahani adalah Mohammad Arif Bila, seorang sangdji di Tahane/Tahani di pulau Makian (??? – 1783). Ia ditangkap oleh pasukan Sultan Nuku pada tahun 1783 di Makian, dan ditunjuk sebagai jogugu atau Gogugu. Nama sebenarnya tidaklah diketahui dengan pasti, namun dalam satu suratnya, ia menggunakan nama Mohammad Arif Bila.

§  Lihat, R.Z. Leirissa, Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo : Studi  tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara, Naskah Disertasi, 1990, hal 297 - 298

§  Lihat Chr Fr van Fraasen,

§  Lihat Muridan Widjojo...., hal 73

b.       Menurut sumber dari Van Fraasen, Sangdji Tahani memegang gelar Radja Jailolo sejak tahun 1797 – 1806, hingga ia meninggal pada Desember 1806. Pada tahun 1797, Sultan Nuku memberikan gelar Radja Jailolo kepada Sangdji Tahani atau Mohammad Arif Bila.

c.        Menurut sumber van Fraasen, Mohamad Asgar menjadi Radja Jailolo pada periode 1807 – 1811 dan 1825 – 1832, ditangkap oleh Inggris pada tahun 1810, dibawa ke Ambon pada tahun 1811 dan ditahan hingga tahun 1818.

d.       Menurut sumber van Fraasen, Mohamad Asgar menggunakan gelar “Sultan Seram” yang diberikan oleh pemerintah sejak 1825 hingga 1832, bukan 1826 – 1832 seperti yang ditulis oleh Leirissa

e.        Menurut sumber van Fraasen, nama asli Kalim Mangofa (Radja Jailolo III) adalah Hadjuddin

f.         Menurut sumber van Fraasen, Kalim Mangofa memegang jabatan Radja Jailolo pada 1811 - 1825

g.        Penulisan yang benar adalah algemeen, mungkin ini adalah kekeliruan teknis penulisan semata

h.       Leirissa menulis kalimat : Tidak ada pulau di Maluku Tengah yang jelas dari bahaya ini. Mungkin maksudnya adalah ........”yang lepas atau bebas dari bahaya ini”

i.         Juragan Jusuf ini adalah seorang Arab dari Muntok

j.         Lebih tepatnya pada awal tahun 1825, dan laporannya dibuat pada tahun 1826 (lihat catatan kaki no 8 di atas)

k.        Tahun ini (1910) mungkin maksudnya tahun 1810, namun menurut sumber van Fraasen, Ia meninggal pada Desember 1806 di Halmahera Selatan

l.         Van Fraasen menulis Sultan Nuku meninggal pada 14 atau 22 November 1805 

m.     Lebih tepatnya Mohamad Asgar dihukum pembuangan ke Jepara sepanjang tahun 1818 - 1825

Tidak ada komentar:

Posting Komentar