Senin, 19 Desember 2022

“Keganasan” Etnis dalam Perang Kolonial : Orang Maluku dalam Militer Belanda di Indonesia, 1945 - 1949

 

(bag 1)

[Gert Oostindie & Fridus Steijlen]

 


  1. Pengantar

Relasi orang Maluku, khususnya orang Ambon dengan Belanda berumur 4 abad lamanya hingga masa sekarang, saat Belanda (atau VOC) menginjakan kaki di tanah Maluku pada akhir abad ke-16. Relasi-relasi itulah yang pada aspek tertentu bersifat negatif, dimana orang Ambon dicap sebagai “pendukung” Belanda. Stereotip itu sering dilabeli dengan kata-kata “Belanda hitam”, atau pada masa revolusi dikenal istilah “Anjing NICA” yang merujuk pada komunitas tentara KNIL asal Maluku yang berperang di sisi Belanda, melawan tentara Republik. Ada sejarah panjang yang membentuk relasi intim tersebut, ada latar belakang, ada alasan dan juga ada konteks yang berkelindan bersama sejarah itu sendiri. 

Tentara KNIL asal Maluku, dalam hal ini tentara Ambon dikenal sebagai “pendukung fanatik” Belanda pada akhir abad ke-19 hingga masa revolusi. Ada unsur ekonomi, ada unsur ketergantungan, unsur “hubungan darah”, unsur prestise dan berbagai unsur-unsur lain yang membentuk sikap demikian. Tentara KNIL asal Maluku, dalam konteks ini tentara Ambon dikenal kejam, brutal dalam aksi-aksi mereka saat berperang. Kekejaman dan kebrutalan mereka inilah yang memunculkan sindiran dari kaum Republik dengan menggunakan kata Anjing NICA kepada mereka.  Gubernur Jend van Heutz pernah mengatakan : “Orang Ambon adalah kayu mentah yang dapat dipahat menjadi agen polisi (serdadu) terbaik”a, untuk menjelaskan alasan pemerintah Hindia Belanda lebih “menyukai” orang Ambon dibanding orang Jawa saat direkrut.

Geert Oostinde dan Fridus Stijlen dengan baik menyajikan kisah tentara KNIL asal “Ambon” dalam kajian mereka ini. Artikel ini berjudul Ethnic “Ferociousness” in Colonial Wars : Moluccabs in the Dutch Army in Indonesia, 1945 – 1949, yang dimuat pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde edisi nomor 177, tahun 2021, halaman 491-523.  Artikel sepanjang 33 halaman ini, oleh kedua penulis dengan “hati-hati” menganalisis kekerasan, kekejaman dan kebrutalan tentara KNIL Ambon saat masa revolusi Indonesia.

Kami menerjemahkan artikel ini dan membaginya menjadi 2 bagian dengan menambahkan beberapa gambar ilustrasi, dan catatan tambahan yang diperlukan. Semoga artikel bermutu ini bisa menambah wawasan kita dalam bersejarah.

 

  1. Terjemahan

Tetapi sahabat kita yang terbaik dan paling setia di antara orang Indonesia adalah tentara KNIL. [Khususnya] orang Ambon [Maluku], serdadu yang garang dan berpengalaman, yang tidak hanya mewarisi darah perang dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi juga setia untuk Belanda, perasaan afinitas yang mengakar dengan Belanda, dan memiliki hubungan kuat dengan [monarki Belanda] yaitu kerajaan Oranye1

W. Brandt, Jurnalis

 

Tanpa orang-orang ini [serdadu KNIL lokal] kami tidak akan berhasil. Mereka mengetahui bahasa dan lingkungan; kehadiran mereka menyelamatkan banyak orang Belanda2

Piet Langedijk, Tentara

 

Kami berpikir bahwa mereka [“Baret Hijau” asal Maluku] bertindak seperti binatang. [........] jika mereka telah membantai musuh dengan kelewang mereka, mereka merasa senang. Jika kami bertanya kepada mereka, bagaimana mereka bisa melakukan hal itu, mereka berkata : “ini seperti keluarga kami juga dibantai”3.

Bert Schussler, Letnan


Tiga kutipan di atas menggambarkan bagaimana apreasiasi orang Belanda terhadap “orang Ambon” – atau Maluku, seperti yang kita sebut sekarang – tentara kolonial yang sering dibarengi dengan pengamatan kristis terhadap dugaan kecenderungan mereka pada kekerasan. Banyak cerita mengenai militer dan sipil Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia 1945 – 1949, terutama tentara Maluku dalam hal ini. Perang ini menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah Belanda hanya akan secara resmi menyerahkan kedaulatan setelah 4 tahun kemudian, pada tanggal 27 Desember 1949. Tahun-tahun selanjutnya memperlihatkan fluktuasi perang berdarah dan negosiasi yang berlarut-larut. Secara keseluruhan, lebih dari 130.000 tentara Belanda dikirim ke Nusantara, hanya sedikit dari mereka yang memiliki pengalaman sebelumnya baik dalam peperangan atau ke luar negeri, apalagi di Indonesia. Pada saat kedatangan, banyak dari tentara ini merasa sama sekali tidak siap untuk tugas yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa memoar para veteran tentara Belanda berisi bagian-bagian yang tidak terhitung jumlahnya yang mengungkapkan penghargaan kepada serdadu pribumi yang berjuang di sisi mereka (Smeets dan Steijlen, 2006: 38; Oostindie 2015: 127 – 134). 

Penggambaran “serdadu etnis” ini sebagai setia dan sangat diperlukan, tetapi pada saat yang sama, entah bagaimana sangat rentan terhadap kekerasan, adalah tema yang berulang dalam narasi perang kolonial. Ini jelas juga sangat tidak nyaman, penggambaran orientalis yang cenderung mengabaikan fakta bahwa pasukan pribumi sering diperintahkan untuk berperang dalam keadaan yang paling beresiko dan sering didorong oleh atasan mereka yang berkulit putih, untuk terlibat dalam kekerasan ekstrim. Sementara kita menolak penggambaran orientalis, pembacaan stereotip yang terus menerus seperti dikutip di atas membuat kita bertanya-tanya tentang penggambaran ini dan reaksi yang ditimbulkannya hingga hari ini.

Jadi, apa yang coba kami lakukan dalam artikel ini bukanlah untuk merekonstruksi apa yang terjadi pada tahun 1945 – 1949, tetapi apa yang pernah, dan sedang, diriwayatkan tentang dan oleh tentara Maluku. Kami pertama-tama membuat sketsa dalam pandangan sekilas tentang sejarah orang Maluku dalam tentara kolonial dan penggambaran mereka sebagai tentara etnis. Selanjutnya, kami mempresentasikan hasil penelitian kami, yang menggabungkan studi dokumen-dokumen pribadi veteren tentara Belanda dengan proyek sejarah lisan. Berdasarkan analisis ini, kami mempertimbangkan kembali penggambaran dan bukti, dan menyimpulkan dengan beberapa pengamatan umum tentang “tentara etnis” dan sumber serta perspektif yang mendasari penggambaran yang bertentangan, tetapi seringkali kritis, dari orang-orang ini.

 

1.    Serdadu Pribumi dalam Perang Kolonial Belanda

Kolonialisasi Belanda di Indonesia berawal dari sekitar tahun 1600, ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda (atau VOC) memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku melalui kekuatan yang brutal, menciptakan sistem kolonial di beberapa pulau Maluku. Periode ini juga memperlihatkan perekrutan orang-orang Maluku untuk melayani VOC sebagai serdadu. Negara kolonial baru memulai kebijakan pendudukan teritorial yang konsisten pada awal abad ke-19, melalui serangkaian perang berskala kecil dan besar, yang kurang lebih berhasil diselesaikan pada dekade pertama abad ke-20. Didirikan pada tahun 1814, tentara kolonial Belanda (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, atau KNIL) sangat penting dalam proses ini. Sementara KNIL merekrut tentara di Belanda dan di tempat lain di Eropa, sebagian besar personilnya berasal dari koloni itu sendiri. Pangkat yang lebih tinggi ditempati oleh orang-orang Eropa (dan Indo), baik yang direkrut di Belanda maupun yang lahir dan besar di daerah jajahan. Pangkat yang lebih rendah secara etnis beragam, dengan tentara pribumi merupakan mayoritas dari total tentara. 

Sepanjang sebagian besar abad ke-19, mayoritas tentara yang direkrut secara lokal adalah orang Jawa, yang merupakan kelompok penduduk terbesar di Nusantara. Namun, selama dekade terakhir abad ke-19, pemerintah kolonial meningkatkan program perekrutan yang menargetkan penduduk yang secara geografis dan budaya berkarakter kepulauan Maluku dan wilayah Minahasa di Sulawesi Utara. Orang Maluku (atau “Orang Ambon”) dan “Orang Menado” adalah kelompok etnis yang dianggap bersimpati pada pemerintahan kolonial, karena agama Kristen yang dianut mereka dan karena status minoritas mereka di sebuah koloni yang secara demografis didominiasi oleh orang Jawa (Muslim). Kedua kelompok ini sering disatukan dan dilabeli sebagai “Orang Ambon”4. Meskipun ini adalah kategori yang membingungkan – dan terlebih lagi tidak disukai oleh orang Menado (Chauvel, 1990: 57) – kita akan menggunakan monikerb ini di seluruh teks, dimana konteks atau sumbernya tidak memerlukan, atau mengizinkan, untuk identifikasi etnis yang lebih tepat.

Rekrutmen diintensifkan selama perang Aceh (1873 – 1914). Karena jumlah orang yang disebut Ambon terus meningkat, generasi penerus pejabat kolonial dan kepemimpinan KNIL menciptakan stereotip positif. Pengulangan tema termasuk kekristenan mereka – hanya setengah dari penduduk Maluku yang beragam Kristen, tetapi orang Belanda sebagian besar merekrut dari kelompok ini – dan kesetiaan mereka selama “berabad-abad” kepada kerajaan Belanda. Bagaimanapun juga, sindiran kepada karakter emosional mereka yang tinggi dan kebanggan etnis yang dianggap “berdekatan” dengan sikap kesombongan, serta anggapan yang agak bertentangan tentang keganasan dalam perang5. Stereotip-stereotip semacam itu terus ditransmisikan setelah berakhirnya perang kolonial terakhir, tidak hanya di Indonesia di kalangan veteran tentara Belanda, tetapi juga di kalangan masyarakat Maluku di Belanda, yang terbentuk oleh serdadu-serdadu KNIL yang didemobilisasi dan yang dikirim ke kota metropolitan6.

Serangan Jepang ke Hindia Belanda pada tahun 1942, menunjukan bahwa KNIL bukan tandingan tentara Jepang. Setelah kapitulasi tentara kolonial, personil Eropa dan Indo-Eropa diasingkan dan dipekerjakan di Indonesia dan di tempat lain di Asia Tenggara, khususnya Thailand dan Jepang; minoritas kecil di antaranya menuju ke Australia. Sementara banyak tentara KNIL pribumi segera dibebaskan, Jepang menargetkan orang Ambon sebagai orang yang setia kepada Belanda dan memperlakukan mereka kurang lebih sebagai staf KNIL Eropa – ini berarti pengasingan/penawanan dan kerja paksa. Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Moehammad Hatta pada 2 hari kemudian menjadi panggung untuk babak terakhir sejarah kolonial di Indonesia7. Dapat dipahami, bahwa kaum Republik, merasakan kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) pada bulan September sebagai pintu pembuka untuk bagi rekolonisasi Belanda, dan memang pemerintah Belanda bersiap untuk menanamkan kembali rezimnya. Baik tentara Republik yang baru lahir dan beragam kelompok independen bersenjata siap untuk berjuang melawan rekolonisasi.

Kekerasan massal berkobar dalam bulan-bulan terakhir tahun 1945 ini. Di banyak tempat di Nusantara, Revolusi Indonesia menyiratkan suatu pembalasan, tidak hanya kepada warga Belanda, tetapi juga kepada masyarakat yang telah memiliki sejarah kerjasama yang panjang dengan rezim kolonial. Proses yang kacau dan kompleks ini, yang dikenal sebagai Berdaulat dalam historiografi Indonesia dan Bersiap dalam historiografi Belanda dan khususnya dalam ingatan orang-orang di Hindia Belanda, mengorbankan elit pribumi, orang Indonesia pro-Belanda, dan kelompok etnis tertentu, khususnya orang Eropa, Eurasia, Ambon dan – mungkin yang paling keras – orang China8. Tentara KNIL yang kembali dari interniran di Jawa – termasuk milisi Maluku yang baru dibentuk – bertindak dengan cara yang provokatif dan memicu ketegangan, sehingga memicu proses berdarah ini, yang berlangsung hingga awal tahun 1946. Orang Maluku memang menjadi korban periode Bersiap dan pelaku kekerasan kontrarevolusi9.

Karena keinginan mereka untuk menduduki kembali daerah jajahan, Belanda mulai membangun kembali KNIL, yang dimulai dari Indonesia bagian timur. Di Indonesia bagian timur, khususnya orang Maluku direkrut dalam skala besar10. Meskipun banyak dari mereka hanya mencari pekerjaan dengan gaji yang relatif tinggi, dan mungkin tidak sengaja memilih untuk menentang Revolusi Indonesia, keputusan mereka untuk mengabdi pada KNIL dianggap oleh rekan dan musuh sebagai konfirmasi kesetiaan pro-kolonial mereka sebagai Belanda Hitam (Black Dutchmen). Sebagai bagian dari Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Administrasi Sipil Hindia Belanda, mereka digambarkan oleh kaum nasionalis sebagai “andjing NICA” (NICA dogs)11. Bisa dikatakan, anjing adalah binatang yang dianggap haram (dilarang) oleh banyak umat Islam – dan sama baiknya, selama perang, orang Ambon dengan sikap menantang menggunakan label “anjing NICA” sebagai moniker yang membanggakan12. Bahkan nama itu menjadi nama infanteri batalyon V KNIL, yang didirikan pada bulan Desember 1945 di Bandung oleh orang Belanda, Indo-Eropa, dan orang Maluku yang baru saja dibebaskan dari penjara Jepang (Matanasi, 2007: 115)

Namun, ini tidak memberikan gambaran yang lengkap. Sejak awal Revolusi Indonesia, orang Ambon juga berperang di pihak Republik, memiliki reputasi yang sama sebagai pejuang yang garang. Mereka adalah orang yang kehadirannya menyolok di barisan pengawal pribadi Soekarno, dan bahkan dikelompokkan bersama dalam Batalyon Pattimura, dinamai menurut nama seorang pemimpin Maluku di awal abad ke-19 yang memerangi kolonialisme Belanda (Chauvel, 1990: 203; Smeets dan Steijlen, 2006: 37).

Dalam perang yang meningkat pada akhir tahun 1940-an, KNIL Indonesia dan khususnya barisan orang Ambon dan catatan dianggap berasal dari keganasan tertentu, dan pandangan ini tentang mereka terus bertahan. Keinginan untuk membalas dendam atas kekerasan yang dilakukan terhadap sesama orang Ambon selama periode Berdaulat/Bersiap sering dikemukakan sebagai penjelasan atas dugaan kekerasan ini, tetapi seperti yang akan kita lihat, bagi orang Maluku yang baru direkrut setelah Perang Dunia II, kemungkinan besar ini bukanlah motif yang sebenarnya. Penjelasan lain yang sering diajukan untuk menilai kekerasan dan keganasan ini adalah bahwa orang Ambon, seperti serdadu Indonesia lainnya di bawah komando Belanda, dipekerjakan secara tidak proporsional dalam kegiatan yang berpotensi kekerasan yang membutuhkan pengetahuan dengan medan tempur, dan interogasi yang membutuhkan pengetahuan khusus lokal dan linguistik mereka. Argumentasi ini lebih masuk akal.

Akhirnya, anggapan perang yang berlebihan seringkali dijelaskan oleh fakta bahwa orang Ambon (seperti orang Indo-Eropa) akan kehilangan segalanya. Sementara militer Belanda berperang di luar negeri, dengan harapan mereka dapat kembali dengan selamat ke kehidupan sebelumnya, rekan Indonesia mereka berjuang untuk jalan hidup mereka sendiri, sebagai pendukung rezim kolonial. Bagi mereka dan keluarga mereka, kekalahan bisa berarti bencana. Penafsiran ini memiliki kredibilitas. Memang, bahkan setelah penyerahan kedaulatan, bekas militer KNIL Ambon terlibat dalam upaya kudeta terhadap Republik, dan khususnya pada kebijakan untuk mengubah negara federal menjadi negara kesatuan yang dikelola dari Jakarta, di pulau Jawa. Pada bulan Januari 1950, tentara Maluku yang dipimpin oleh mantan kapten KNIL, Raymond Westerling, turut berpartisipasi dalam kudeta “APRA”13 melawan pemerintah federal Soekarno; pada bulan Maret 1950, tentara Maluku secara mencolok terlibat dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis di Makasar untuk mencegah masuknya/digabungkannya negara federal Indonesia Timur ke dalam Republik Indonesia; dan, akhirnya, pada bulan April 1950, tentara KNIL Maluku berusaha untuk mendirikan Republik Maluku Selatan yang berdaulat (RMS – Republik of the South Moluccas) (Steijlen 1996a: 38-40)14. RMS bertahan lebih lama daripada kudeta APRA dan Andi Azis. Setelah tentara Indonesia menyerbu kepulauan Maluku pada bulan Juni, mereka dihadapkan dengan perlawanan sengit dari bekas tentara KNIL yang telah didemobilisasi di Ambon, dan sekarang menjadi tulang punggung militer RMS. Pada bulan November, Indonesia dapat menaklukan dan mengendalikan wilayah Maluku, tetapi perang gerilya RMS terus berlanjut di pedalaman pulau Seram, Maluku, hingga Presiden RMS, Chris Soumokil ditangkap pada tahun 1963 dan dieksekusi karena pengkhianatan pada tahun 1966. 

Sementara kurang lebih setengah dari tentara KNIL Indonesia akhirnya berpindah pihak selama atau segera setelah perang, atau didemobilisasi, sejumlah besar bekas tentara Maluku, yang berada di luar Maluku dan menunggu proses demobilisasi, mendukung proklamasi RMS. Karena hal demikian dan karena pemerintah Indonesia dan Belanda tidak ingin tentara terlatih didemobilisasi di Maluku pada waktu itu, proses demobilisasi mereka menjadi sangat rumit. Pada tahun 1951, situasinya menemui jalan buntu, dan akhirnya pemerintah Belanda dengan enggan memutuskan untuk mengirim kira-kira 3.500 orang ini bersama keluarga mereka ke Belanda, seluruhnya berjumlah 12.500 orang.

Setibanya di Belanda, tentara Maluku didemobilisasi dan ditempatkan secara kolektif di kamp-kamp yang tersebar di seluruh negeri. Awalnya orang-orang Maluku ini dan juga pemerintah Belanda mengira bahwa masa tinggal mereka hanya sementara. Dalam upaya menempatkan RMS dalam agenda internasional, generasi kedua dari kelompok orang Maluku ini memprakarsai aksi politik Maluku yang dimulai dengan pembakaran kedutaan Indonesia pada tahun 1966; aksi ini diikuti kemudian pada tahun 1970 dengan pendudukan kediaman Duta Besar Indonesia; pembajakan kereta api (1975 dan 1977); dan pendudukan konsulat Indonesia (1975), sebuah sekolah dasar (1977), dan kantor pemerintah provinsi Drenthe (1978)15. Sementara letusan protes kekerasan ini berumur pendek, hal itu mungkin telah menghidupkan kembali gagasan tentang “pertarungan perang” orang Maluku16, baik dalam komunitas mereka sendiri maupun dalam masyarakat Belanda yang lebih luas. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi cara para veteran tentara Belanda menampilkan rekan-rekan mereka di Maluku, atau “Ambon”, dalam ingatan mereka tentang perang di Indonesia, yang sebagian besar ditulis pada tahun 1980-an dan kemudian (Oostindie, 2015: 315). 

 

2.    Kesaksian : Dokumen-dokumen Pribadi

Historiografi Revolusi Indonesia dan proses dekolonisasi – yang terdiri dari peperangan dan negosiasi – telah lama menjadi domain yang terpisah secara mengejutkan. Historiografi Belanda tentang dekolonisasi Indonesia telah lama menghindar dari penanganan kekerasan kolonial dan pasca kolonial, bahkan berfokus pada tahun 1945 – 1949 pada proses politik dan diplomatik daripada kekerasan peperangan. Masuk akal untuk menjelas miopia ini sebagai keengganan untuk menerima bahwa kekerasan dan rasisme adalah bagian tidak terpisahkan dari kolonialisme Belanda, dan kolonialisme seperti itu bukanlah fenomena yang terlepas dari sejarah metropolitan tetapi integral dengan sejarah nasional Belanda yang konon progresif, liberal dan anti perang.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Belanda telah menyaksikan “penemuan kembali” sejarah kolonial yang luas dan terutama kritis, dan khususnya mengenai perang tahun 1945 – 1949 di Indonesia. Proses yuridis yang dimulai atas perintah keluarga orang Indonesia yang dibunuh secara acak oleh tentara Belanda, memaksa pemerintah Belanda untuk mengakui, meskipun dengan enggan, tanggungjawab atas pembunuhan ini, untuk meminta maaf dan untuk membayar kompensasi (Scagliola, 2014; Lorenz, 2014; Oostindie, 2019). Semakin banyak studi sejarah dan publikasi pers telah sangat merusak posisi resmi Belanda, sejak tahun 1969, bahwa kejahatan perang seperti itu hanya sporadis “berlebihan” dalam perang daripada dilakukan dengan cara yang “benar” (Brocades Zaalberg 2015:67–83 ; Limpach 2014, 2016; Oostindie 2015). Pada tahun 2017, akhirnya pemerintah Belanda mendanai project penelitian yang ekstensif dan independen tentang perang, dengan fokus pada deskripsi, analisis, dan penjelasan tentang kekerasan ekstrim tentara Belanda17.

Seiring dengan perkembangan penelitian ini, salah satu isu yang mengemuka adalah mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh orang Indonesia di ketentaraan Belanda, dan khususnya orang Maluku. Ini adalah masalah yang sensitif. Pengakuan yang terlambat atas kekerasan berlebihan Belanda di Indonesia, mau tidak mau menimbulkan perdebatan tentang rasisme Belanda “lainnya” dalam sejarah kolonial – dalam konteks baru ini, memperhatikan kekerasan KNIL pribumi dapat digunakan sebagai upaya pencucian, atau setidaknya dapat diartikan demikian. Dalam komunitas Maluku di Belanda, yang dalam banyak hal menjadi korban dekolonisasi, masalah ini tidak kalah pelik. Perdebatan dalam masyarakat berkisar antara kebanggan dan kegelisahan tentang tradisi militer kolonial dan kebencian pahit terhadap kebijakan Belanda pasca perang yang berkaitan dengan tentara KNIL Maluku sebagai bekas pendukung Belanda (Steijlen, 2016a). Jadi, ada lebih banyak alasan untuk mengatasi masalah ini dengan hati-hati.

Jadi, apa buktinya? Propaganda Belanda selama perang 1945 – 1949 jelas tidak berkutat pada kekerasan militer, tetapi lebih pada tugas pemeliharaan perdamaian yang diduga dilakukan oleh tentara Belanda, termasuk KNIL. Menurut propaganda ini, tugas mereka adalah memerangi musuh – yang secara rutin disebut sebagai “teroris” atau “ekstrimis” – untuk memulihkan “ketertiban dan perdamaian” untuk kepentingan penduduk Indonesia. Keragaman etnis tentara dipuji sebagai contoh. Jadi, di tengah perang, Kepala Staf, Letnan Jend, H.J. Krulsc menulis tentang “persahabatan, bahkan seringkali pertemanan, bahkan ketika seseorang tidak mengerti bahasa orang lain, dan hanya dapat berinteraksi melalui bahasa isyarat dan beberapa kata. [.........] Rekan seperjuangan, itulah mereka semua, di Hindia, tidak peduli apakah mereka KL (Koninjlijk Leger – Tentara Belanda) atau KNIL, apakah warna kulit mereka putih atau cokelat” (Kruls, 1947: 90). 

Letnan Jend H.J. Kruls (1902-1975)

Dalam arsip-arsip militer Belanda dan historiografi yang kemudian didasarkan pada korpus ini, kami menemukan banyak bukti partisipasi penduduk pribumi dan khususnya masyarakat Ambon dalam ketentaraan Belanda, tetapi pada pandangan pertama, ada sedikit bukti langsung atau diskusi tentang hubungan antara “tentara etnis” ini dan kekerasan ekstrim. Namun, baik arsip militer maupun laporan pers kontemporer menunjukan bahwa pasukan KNIL dan khususnya pasukan komando (yang disebut Baret Merah dan Hijau) menyumbang bagian yang tidak proporsional dari kekerasan berlebihan tentara Belanda. Hal ini telah didokumentasikan dengan baik dalam studi sejarah berikutnya (misalnya, De Moor 1999; Limpach 2016). Sementara pimpinan unit-unit ini adalah orang Belanda, level bawah sebagian besar direkrut dari masyarakat lokal. Dalam laporan arsip, tentara pribumi jarang diidentifikasi namanya, berbeda dengan personel Belanda, dan orang hanya bisa menebak latar belakang etnis pasukan ini. Sebaliknya, pemeriksaan lebih dekat terhadap daftar nama korban di tentara Belanda – sedikit di bawah 5.000 – menunjukan bahwa setidaknya 1/3 dari mereka lahir di kolonia, bukan di Belanda (Litjens, 2020).

Justru yang paling terkenal dan untuk tindakan kekerasannya, akhirnya paling dikritik adalah komandan unit komando Belanda, Kapten Raymond Westerling, yang memberikan sentuhan baru pada citra pra perang orang Ambon yang selalu setia. Dalam memoarnya, yang diterbitkan tak lama setelah perang, Westerling berbicara dengan sangat menghargai kepada tentara asal Indonesia, sebagian besar orang Ambon, yang “kesetiaan dan kasih sayangnya” tidak diragukan lagi dan yang perilakunya dalam operasi militer “tidak pernah mengecewakan saya” (Westerling 1952: 94; lihat juga Venner dan De Vries-Spoor 1982). Meskipun dia menyatakan mengambil tanggung jawab penuh dan tidak menyesal, jelas bahwa serdadu asal Indonesia, dan khususnya serdadu Ambon, berperan dalam tindakannya, yang kemudian akan dicap sangat kejam, atau dianggap sebagai kejahatan perang.

Westerling, yang telah melancarkan kudeta kontra-revolusioner yaitu APRA pada tahun 1950 yang gagal dengan sekelompok kecil pasukan terutama orang Ambon, bukanlah orang terakhir yang memuji-muji keganasan orang Ambon, dan karenanya membantu mengabadikan pandangan kelompok ini, yang berasal dari akhir abad ke-19. Pada awal tahun 1954, buku Oom Ambon van het KNIL (Uncle Ambon from the KNIL) telah memberikan penghormatan kepada tentara Maluku yang setia, menggemakan keganasa orang Ambon selama perang Aceh, seperti yang dijelaskan oleh Zentgraaff pada tahun 1938 (Dames 1954; Zentgraaff 1938). 

Isi dokumen-dokumen pribadi yang kemudian dihasilkan oleh para veteran perang Belanda termasuk perulangan, namun juga ambivalen, terhadap serdadu Ambon, seperti yang akan kami ilustrasikan. Tetapi sebelum membahas bukti ini, terutama yang diambil dari buku Soldaat in Indonesie (Oostindie 2015, lihat juga Oostindie 2018), kita harus membuat peringatan tentang jenis sumber ini, dan khususnya kumpulan unik dari sekitar 650 dokumen pribadi yang diterbitkan, yang menampilkan lebih dari 1.350 tentara dari semua pangkat/level dan dengan total lebih dari 100.000 halaman yang dicetak dianalisis untuk tujuan saat ini (Oostindie 2015: 310-319). Sama seperti arsip pemerintah dan militer Belanda, sebagian besar dari semua dokumen pribadi dalam database kami ditulis atau direkam oleh orang Belanda. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang dramatis, dengan ratusan tentara dan veteran Belanda berkomentar tentang perang, tentang perilaku mereka sendiri dan sesama prajurit, dan khususnya rekan-rekan pribumi mereka yang bersenjata – tetapi hanya sedikit dari kategori terakhir yang memberikan penjelasan perspektif alternatif. Oleh karena itu, bukti yang muncul dari kumpulan dokumen ego ini sangat bias dan harus ditafsirkan dengan sangat hati-hati – ini adalah tentara Belanda yang berbicara tentang tentara “Ambon” sehingga menghasilkan konstruksi satu arah dan mungkin terdistorsi yang keandalannya tidak dapat diandalkan dan diterima begitu saja.

Analisis korpus besar ini melalui metode konvensional oleh sekelompok peneliti mulai dari mahasiswa hingga sejarahwan senior menghasilkan buku Soldat in Indonesie, membahas seluruh tentara Belanda, dari perekrutan mereka di Belanda hingga kehidupan pasca-repatriasi mereka, yang sering kali mencakup kenangan pahit akan perbuatan, dengan sebagian besar bab didedikasikan untuk masalah kejahatan perang tentara Belanda. Di samping kutipan pada awal artikel ini, kutipan berikut menawarkan pandangan yang cukup representatif tentang tentara Ambon di kalangan veterang Belanda:18

 

Saya yakin bahwa saya telah diselamatkan oleh pertempuran orang-orang Ambon di pihak kita. Sungguh rekan-rekan yang berani !

Jan Wilting, Tentara

 

[Orang Ambon dikenal sebagai] orang-orang Ambon yang keras kepala yang metode/caranya agak kasar.

Tentara tanpa nama

 

Dan dengan bangga orang Ambon menunjukan “kemenangan” mereka yang digantung pada ikat pinggang mereka. Itu adalah telinga para musuh mereka yang terbunuh

J. Muller, Sersan

 

Pada tahap selanjutnya, saya membantu proses interogasi  yang dilakukan oleh orang Ambon. Itu sesuatu yang mengerikan, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa [Diikuti dengan deskripsi grafis tentang penyiksaaan]

Harrie Brummans, Tentara

 

Selanjutnya saya mendengar serdadu ambon ini [yang secara acak membunuh orang Indonesia lainnya] yang disebut “eksekutor Ambulu, karena merujuk nama Ambulu, sebuah bukit di timur Jawa. Serdadu ini dipenuhi dendam kesumat, seperti dilaporkan bahwa [orang Indonesia itu] membunuh orang tuanya dan memperkosa saudara perempuannya.

Barend van Mierlo, Tentara

 

Bagi kami ini adalah perang, perang yang sesungguhnya. Ini adalah pembunuhan antar saudara, orang Ambon melawan orang Ambon, orang Jawa melawan orang Jawa, orang Sumatera melawan orang Sumatera. [........] Bagi kami ini adalah tentang negara kami dan siapa yang mengendalikannya. Dan kami tahu : jika mereka memperoleh kekuatan, kami kalah. Seperti yang memang terjadi. Dan kami sangat ganas. Tentu saja. Apakah ada batasan seperti yang diizinkan – tidak juga. Tidak ada batasan. Kalian semua adalah saudara, dan ini adalah pembunuhan antara saudara.

Theo Kappers, Tentara KNIL Indo-Eropa.

 

Kami tentara Maluku harus berjuang di garis depan. Tentara Belanda sedikit lebih berhati-hati, sedikit lebih acuh tidak acuh.

Paul Lataputty, Tentara KNIL Maluku

               

Sementara 2 kutipan terakhir menunjukan posisi yang berbeda dari tentara Maluku dan Eurasia, sebagian besar kutipan memunculkan pembingkaian yang tidak mudah dari orang Ambon yang sangat setia  dan sangat diperlukan, tetapi juga rawan kekerasan. Meskipun penggambaran ini dibahas dengan sangat hati-hati di buku Soldaat in Indonesie, data yang tersedia tidak banyak membantu untuk memungkinkan pembacaan alternatif korpus (Oostindie 2015: 139 – 141). Kami menyadari bahwa tidak hanya dokumen-dokumen pribadi yang secara inheren bias, tetapi mungkin juga ada bias dalam cara seluruh korpus dianalisis. Sementara kelompok peneliti telah diilustrasikan untuk secara sistematis memasukan semua bukti kekerasan tentara Belanda yang berlebihan di database bersama, referensi ke sejumlah topik lain, termasuk penggambaran tentara pribumi, tidak dicatat secara sistematis. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa para peneliti terutama menyalin hal-hal yang tidak biasa, sehingga secara tidak sengaja membantu mengkonstruksi sendiri pandangan “orang Ambon sebagai kekerasan” dengan sendirinya. 

Baru setelah itu kami menemukan cara untuk mendigitalkan seluruh korpus untuk menerapkan metode dari humaniora digital dan karenanya menyempurnakan dan memperluas penelitian19. Sementara korpus digital ini sekarang digunakan oleh beberapa peneliti dengan pertanyaan yang beragam, kami menggunakannya secara khusus untuk mempertajam analisis referensi kami tentang serdadu Ambon. Untuk mengambil fragmen yang relevan, kami menggunakan analisis kejadian bersama. Kami membuat 2 daftar referensi. Daftar pertama (A) dengan deskripsi etnis yang relevan (Ambon, Maluku, Maluku Selatan, tetapi juga Menado). Daftar kedua terdiri dari kata kerja, kata benda, dan kata sifat yang berhubungan dengan cara yang memungkinkan untuk menilai atau menilai prajurit Maluku sebagai seseorang yang galak atau setia, atau menghubungkannya dengan kekerasan atau non-kekerasan. Faktanya, kami menggunakan 2 dari daftar terakhir ini, satu dikompilasi secara manual dan yang kedua dikompilasi secara otomatis. Daftar A digunakan untuk memilih semua bagian yang mana orang Maluku disebutkan.

Pencarian yang dihasilkan komputer memang menghasilkan fragmen baru yang, meskipun tidak secara substansial mengubah analisis sebelumnya, tetapi memungkinkan kami untuk membuat beberapa pengamatan tambahan. Pertama, tentang loyalitas dan keandalan orang Ambon :

Orang Ambon adalah serdadu yang sangat andal dan cakap.

Piet van der Wijst, Tentara20

 

Orang Maluku telah memberikan kami pelayanan yang sangat baik di Indonesia. Mereka tahu taktik musuh dan mengenal alam serta budaya.

Hille van Leeuwen, Tentara21

 

Mereka adalah pejuang di garda depan, pejuang yang berpengalaman dan kejam [......] karenanya menjadi sekutu yang fantastis.

Gerrit dan Jan Kuipers, Tentara22

 

Orang Ambon terkenal sebagai orang paling ekstrim dan fanatik di KNIL

Karel C. Snijtsheuvel, Tentara KNIL Indo-Eropa23

 

Musuh membenci [orang Ambon], karena propaganda rahasia untuk meninggalkan dan mengkhianati Belanda tidak pernah berhasil, tetapi sebaliknya hanya menyulut hinaan untuk orang-orang Ambon terhadap gerombolan teroris liar yang tidak disiplin.

Wim Klooster, Kapten KL24

 

Selanjutnya, pencarian komputer menghasilkan sejumlah besar gambaran “lainnya” yang sekarang sudah dikenal, yaitu mengomentari sikap dan perilaku aktual :

 

Orang Ambon telah membalas dendam dengan mengambil alih kantor polisi secara paksa dan membunuh semua polisi Jawa yang ada.

C. Giebel, Perwira KNIL25

 

Mereka menggunakan klewang mereka dengan cepat dan dengan tekan melawan para pemberontak. Kami telah menyaksikan adegan-adegan yang mengguncang.

Piet van der Wijst, Tentara26

 

Orang Ambon menjadi liar dan haus darah setelah pembantaian ini. Mereka menendang dan memukul para tahanan sampai tidak lagi “berbentuk”, selain cuma darah.

Harry Brummans, Tentara27

 

[Orang Ambon] adalah mesin perangnya KNIL, tentara kolonial. Cerita-cerita horor menceritakan bahwa mereka menyerang dengan klewang dan kemudian menjilat darah musuh dari bilah klewang itu.

Ger Vaders, Tentara28

 

Anak-anak KNIL terkadang menggunakan metode yang kejam. [.........] Orang Maluku, Madura, Timor, atau Sunda. Prajurit-prajurit hebat, tetapi juga tangguh. Para komandan mempersingkat pekerjaan para tahanan. Sungguh pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Malam ini mereka menginterogasi para tahanan. Jika tahanan tidak mau bicara, mereka ditendang, dipukuli dan dihantan perutnya hingga akhirnya bicara. Apa yang bisa kamu, hanyalah seorang tentara biasa lakukan, saat komandan kamu membunuh, menyiksa, atau menyelamatkan nyawa dengan seenaknya?

Tentara, tidak diketahui nama29.

 

Para tentara dari Timor dan Ambon sangat liar saat itu, sehingga mereka menghancurkan semua yang mereka temukan, wanita, anak-anak, laki-laki, remaja, semua yang mereka temui. [.............] Mereka membunuh semua yang mereka bisa. Tentara kami tidak berani campur tangan karena takut dibunuh sendiri.

Alex Roelofs, Tentara30

 

Orang Ambon sangat kejam, mereka tidak menghormati konsep menangani para tahanan. Mereka membunuh semua yang mereka temui dan hal yang sama juga dilakukan di pihak musuh. Hal-hal yang terjadi tidak bisa dijelaskan, tetapi di masa perang, kita memiliki perspektif yang lain daripada di masa damai.

Han de Haas, Tentara31

 

Seorang perwira Jepang yang diwawancarai setelah perang tentang pertempuran di Palembang menggambarkan pertempuran melawan orang Ambon sebagai pertempuran melawan setan. Mereka benar-benar sangat menakutkan bagi tentara Jepang.

J. Muller, Sersan KNIL32

 

Orang Ambon, kira-kira sebanyak 30 orang, menghancurkan tempat itu dalam sekejap. 800 dari 1000 orang terbunuh oleh klewang.

Jus Wagter, Tentara33

 

Singkatnya, kutipan-kutipan ini tidak jauh berbeda dengan kutipan-kutipan sebelumnya disajikan di buku Soldaat in Indonesie. Orang Ambon dihormati karena kesetiaan dan keberanian mereka, tetapi juga ditakuti dan kadang-kadang ­– terutama oleh fakta – dikutuk karena kekerasan kejam mereka. Tuduhan seperti itu, bagaimanapun, sering disuarakan dengan nada sedikit menyesal, mengacu pada kesulitan periode Bersiap dan khususnya perilaku lawan mereka yang dianggap sama tanpa ampun.

Pada titik ini pengamatan harus dilakukan tentang perbedaan antara kutipan yang disajikan dalam buku Soldaat in Indonesie dan kutipan yang dihasilkan dari komputer. Sementara kutipan di buku Soldaat in Indonesie muncul dengan konteks dimana kutipan itu ditulis, dan dikaitkan dengan nilai para peneliti, kutipan yang dihasilkan dari komputer muncul tanpa konteks. Kami harus melihat sumber aslinya untuk menemukan konteksnya. Jadi, jika dicermati lebih dekat, kutipan yang disajikan di atas, dari Ger Vaders, bukanlah pengamatan langsung tetapi berasal dari sebuah buku dimana ia menceritakan disandera dalam pembajakan kereta api oleh orang Maluku pada tahun 1975. Kutipan khusus ini hanya berkaitan dengan renungannya tentang “ayah-ayah” para pembajak. Kutipan-kutipan yang dihasilkan komputer tidak disertai dengan metadata penting, seperti fungsi kutipan dalam narasi utama, apakah itu kenangan tangan pertama atau bagian dari deskripsi untuk memahami bagian lain dari buku tersebut. Oleh karena itu, diperlukan lebih kehati-hatian. 

Kami selanjutnya mempertimbangkan untuk menghubungkan seluruh kumpulan data dengan tahun-tahun publikasi dokumen-dokumen pribadi yang relevan, untuk mengetahui apakah mungkin dengan berlalunya waktu telah mempengaruhi cara para veteran melaporkan pengalaman mereka dengan rekan-rekan tentara Ambon. Kami memiliki 2 hipotesis yang sedikit bertentangan untuk diuji. Di satu sisi, kami berasumsi bahwa tindakan politik kekerasan pada tahun 1970-an dari generasi muda Maluku di Belanda (Steijlen 1996a: 133-169; Steijlen 1996b) mungkin telah memperkuat gagasan tentang sifat keganasan ayah mereka di kalangan veteran Belanda. Di sisi lain, kami berhipotesis bahwa seiring berjalannya waktu, mungkin juga ada kecenderungan di kalangan veteran Belanda untuk menahan diri dari stereotip etnis terhadap orang Indonesia, dan khususnya orang Ambon, yang jelas lebih dapat diterima di tahun 1940-an, daripada, katakanlah, di tahun 1990-an.

Basis data tidak memungkinkan analisis berbasis komputer di sini, jika hanya karena tahun penerbitan dokumen pribadi merupakan indikator yang tidak dapat diandalkan. Sementara sebagian besar memoar yang diterbitkan beberapa dekade setelah perang, memang ditulis jauh kemudian, pada pemeriksaan lebih dekat, beberapa publikasi sebenarnya didasarkan pada teks – buku harian dan korespondensi – yang ditulis selama perang. Fragmen baru yang dihasilkan oleh pencarian digital memungkinkan kami untuk memperluas pencarian heuristik kami ke seluruh rangkaian dokumen pribadi. Basis data tersebut menghasilkan sejumlah referensi sederhana tentang tindakan militan Maluku pada tahun 1970an – tetapi alih-alih memunculkan komentar tentang kecenderungan yang melekat pada kekerasan di antara orang Maluku, mengilhami para veteran ini untuk merenungkan kisah sedih komunitas ini dan mengkritik cara pemerintah Belanda menangani kejadian ini. Contoh yang kuat adalah kesaksian Gerrit van der Stelts (dikutip dalam Molegraaf 2009: 67-68) :

Saya tidak ingin membenarakan apa yang terjadi pada tahun 1977 dengan pembajakan kereta api di De Punt, tetapi saya agak mendukung anak-anak ini. Saya bisa merasakan perasaan mereka dan menurut pendapat saya, anak-anak ini tidak mudah berubah. Orang Ambon bisa saja bergabung dengan tentara Indonesia, dimana mereka akan sukses karena ketrampilan militer mereka. Tetapi mereka tetap setia kepada Belanda dan begitu di Belanda, kita membiarkan mereka berdiri dalam kedinginan.

Kami memang menemukan bukti-bukti yang tersebar yang menguatkan hipotesis kedua : bahwa seiring berjalannya waktu, tampaknya ada stereotip etnis yang kurang eksplisit, setidaknya terhadap orang Ambon (Kristen); tetapi, kami menemukan lebih banyak dan kadang-kadang merendahkan secara terbuka atau kiasan permusuhan kepada musuh-musuh kaum Islam di akhir tahun 1940an34

========= bersambung =========


Catatan Kaki

1.        Brandt 1947:41. Brandt adalah jurnalis yang diikutsertakan

2.        Tentara Piet Langedijk, dikutip dalam Mooij 2007: 84

3.        Schüssler 1998:34, 5

4.        Jadi, dalam tahun 1916 KNIL terdiri atas 30.051 orang, diklaim bahwa 24% dari anggotanya adalah “Orang Ambon”. Pada penelitian lebih dekat, diketahui bahwa mayoritasnya berasal dari wilayah Menado. Kelompok-kelompok etnis utama teridentifikasi sebagai Eropa (22%), Jawa (20%), Menado (15%), dan Maluku (9%). Angka-angka tersebut dihitung dari sumber Kaam 1977: 45. 11 tahun kemudian di tahun 1927, 50% dar 37.000 personil KNIL berasal dari Jawa, sementara sisanya adalah Eropa sebesar 18%, Menado sebesar 15%, Ambon sebesar 12%, dan Timor sebesar 4%; Lihat Heshusius 1988: 20-21.

5.        Lihat, sebagai contoh, kutipan dari sumber-sumber sejarah dalam van Kaam 1977: 43-45.

6.        “Setia sampai mati” adalah moto dari Oom Ambon van Het KNIL (Dames 1954). Untuk analisis lebih lanjut, lihat Chauvel 1990: 39 – 70, 197 – 210; Smeets dan Steijlen 2006: 29-35; dan Steijlen 2015.

7.        Tahap akhir adalah penyerahan New Guinea Belanda kepada Indonesia dalam tahun 1961/1963 melalui PBB. Penyerahan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949 tidak termasuk New Guinea Belanda.

8.        Jumlah korban sulit untuk dihitung. Perkiraan korban dari kaum Eropa dan Eurasia berkisar antara 3.500 hingga 20.000 (Frederick 2012 : 359-380). Konsep “bersiap” berasal dari kata “siap”, yaitu arti dari kata “get ready”, suatu pertempuran menyedihkan dalam bulan-bulan itu bagi orang Indonesia untuk mempertahankan revolusi. Sebuah kata yang digunakan di Belanda lama setelah perang untuk menunjuk pada pengalaman kekerasan yang dialami oleh kaum Indo-Eropa. Konsep “berdaulat” memiliki makna luas, yang juga mencakup seluruh kekerasan antar orang Indonesia pada fase awal Revolusi Indonesia.

9.        Kahin 1970:143; Chauvel 1990:201–3; Limpach 2016; McMillan 2005; Matanasi 2007.

10.     Sekitar 60% tentara Maluku yang datang ke Belanda pada tahun 1951 direkrut setelah Perang Dunia II (Steijlen 1994: 65-75).

11.     Menurut Matanasi (2007: 115), istilah Andjing NICA, sejatinya digunakan untuk kelompok orang Maluku dan orang Indonesia lain yang pro Belanda.

12.     Kahin 1970:143; Chauvel 1990:201–3; Limpach 2016; McMillan 2005.

13.     Westerling memiliki pasukan rahasia yang disebut Angkatan Perang Ratoe Adil (APRA, the Army of the Righteous King)

14.     Proklamasi merujuk pada Maluku Selatan, karena RMS diproklamasikan oleh Dewan Pemerintah Daerah Maluku Selatan

15.     Rangkuman sejarah Maluku di Belanda disajikan di dalam Smeets dan Steijlen 2006. Ringkasan dalam bahasa Inggris dapat ditemukan/dilihat di dalam Oostindie 2011: 85-88, 114-116, 164-170, 174-176, 218-219. Lihat juga Steijeln 2010: 143-162; Steijlen 1996a dan 1996b

16.     Setara atau sebanding dengan Gurkha di militer kerajaan Inggris. Gurkha juga dianggap sebagai “unit peperangan”; lihat Streets 2004.

17.     Hasil dari proyek ini akan dipublikan pada awal tahun 2022, kedua penulis adalah bagian dari program penelitian ini. Lihat https://www.ind45‑50.org/en (accessed 25-8-2021).

18.     Kutipan diambil dari Oostindie 2015: 129-130, 130, 131, 134, 140, 140-141, 204. Referensi yang sama untuk orang Indonesia, dan khususnya pasukan KNIL Ambon, dikutip dalam Oostindie 2015: 128, 130-141, 181-183, 196-197, 215, 236, 239.

19.     Proses digitalisasi dilakukan oleh Centre for Digital Scholarship (CDS) dari Universitas Leiden. Saran metodologis dan pertanyaan penelitian selanjutnya ditangani oleh Peter Verhaar dari CDS dan Stef Scagliola (Universitas Luxemburgh dan KITLV).

20.     Van den Bergh and Van Casteren 2001:38.

21.     Van Wijk 2001:87.

22.     G. and J. Kuipers 2015:112.

23.     Snijtsheuvel 1958:66.

24.     Brandt 1947:42.

25.     Giebel 1976:203.

26.     Van den Bergh and Van Casteren 2001:38.

27.     Schoeren-Brummans 2014:210.

28.     Vaders 1989:92.

29.     Van de Geijn and Van den Heuvel 2006:50.

30.     Van der Put and Roelofs 2001:85.

31.     Penders 2016:40.

32.     Muller 1995:37.

33.     Klumper-Eleveld 2010:52.

34.     Tentang musuh-musuh kaum Islam, lihat Oostindie 2015: 101-102. Kami menemukan tidak ada streotip negatif mengenai tentara-tentara Muslim Maluku yang berperang di pihak Belanda.

 

Catatan Tambahan

a.        Marieke Bloembergen, Polisi Zaman Hindia Belanda : Dari Kepedulian dan Ketakutan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2011, hal 74

b.       Kata Moniker bermakna nama panggilan, nama samaran atau “nama”.

c.        Letnan Jenderal H.J. Kruls bernama lengkap Hendrik Johan Kruls, lahir di Amsterdam pada tanggal 1 Agustus 1902 dan meninggal di s’Gravenhage pada 13 Desember 1975. H.J. Kruls adalah putra dari Johan Kruls dan Hendrica Johana Overbeek. Ia menikah dengan Wilhelmina Getraud Janssen pada 21 Oktober 1926.

§  J.A.M.M. Janssen, Kruls,Hendrik Johan (1902 – 1975) in Biografisch Woordenboek van Nederland

§  https://resources.huygens.knaw.nl/bwn1880-2000/lemmata/bwn3/kruls

Tidak ada komentar:

Posting Komentar