Selasa, 16 Mei 2023

De opstand in de Molukken, 1817

 

(bagian 2)

[Jacobus Jzn Boelen]

 

Pada sore hari tanggal 20 Juli 1817, kami kembali menaiki fregat Maria Reijgersbergen. Di sebelah kapal Maria Reijgersbergen, berlabuh kapal Inggris yaitu Dispatch, Kapten Crossiera, disewa oleh pemerintah kita dan sekarang berlayar di bawah bendera Belanda. Selama saya tidak ada, Letnan muda kelas 1 yaitu Feldmanb telah ke darat dan pergi ke [negeri] Saparua untuk membawa jawaban komandan atas surat baru dari para pemimpin negeri. Tidak lama setelah saya kembali ke kapal, dia kembali juga. Dia memberi tahu komandan bahwa para pemberontak di Saparua, dan terutama pemimpin mereka, Thomas Matulesia, pemimpin utama, tidak dapat dipercaya sama sekali dan telah menunjukkan sikap damai. Dia juga melaporkan bahwa para pemimpin bersikeras untuk bernegosiasi dengan komandan sendiri dan bahwa mereka akan segera muncul di pantai untuk tujuan ini. Feldman telah dianiaya secara brutal oleh mereka pada masa itu, wajahnya yang pucat dan cekung menunjukkan ciri-ciri yang jelas. Ketika Thomas Matulesia pergi tidur, Feldman harus berbaring di sampingnya, diikat dengan tali. Dia harus menanggung lelucon yang kurang menyenangkan; antara lain, Matulesia dengan kasar berulang kali meletakkan klewangnya yang panjang dan tajam di leher bocah malang itu, berteriak kepadanya : “putus atau tidak”. Dia bahkan pernah mengikat ke ekor kudanya dan membawanya dalam perjalanan jauhc. Dalam haus darahnya, dia mungkin telah membunuhnya, jika tidak terpikir oleh Feldman untuk menyebutkan bahwa ayahnya adalah seorang pendetad. “Jika ayahmu seorang pendeta, kamu harus memintanya datang ke sini,” kata Matulesia kepadanya, dan Feldman dengan bijak berjanji untuk meminta ayahnya bertugas sebagai Guru Kristen di Saparua. Christiaansen, yang masih ditahan oleh para pemberontak, mengalami masa sulit, menurut Feldman. Pengalaman Feldman dan saya dengan peristiwa perahu pagi itu memberikan bukti paling jelas tentang pengkhianatan yang dilakukan para pemberontak.

Namun demikian, komandan Groot memutuskan untuk memenuhi permintaan mereka dan berunding dengan mereka, tetapi dengan sangat hati-hati. Ketika komandan, letnan komandan Ellinghuizen dan kapten Crossier pergi ke darat, semua kapal dipersenjatai dan siap untuk menyerang pantai pada tanda pertama, yang membuat orang-orang kami merasa ngeri.

Setibanya di pantai, para petugas kami dibawa ke semacam pandopo, dimana mereka juga menemukan Christiaansen. Menurut janji tertulis, bahwa penduduk pribumi tidak boleh bersenjata. Tetapi ketika komandan dan rekan-rekannya baru saja duduk, banyak penduduk pribumi datang maju dari semua sisi, dan semuanya bersenjatakan senapan dan klewang. 

Teluk Saparua oleh Veerman, ca. 1817

Beberapa pemimpin, dengan sikap mengancam dan tatapan menantang, mengajukan pertanyaan tajam. Petugas-petugas kami segera menyadari bahwa penting untuk mundur secepat mungkin. Letnan Ellinghuizen dan Kapten Crossier menarik komandan dan diikuti oleh Christiaansen, mereka tiba-tiba bergegas kembali ke sekoci. Seandainya mereka mencapai sekoci sesaat kemudian, mungkin mereka sudah mati, karena saat itu Matulesia muncul, dan, sesuai perintahnya, penduduk pribumi, segera setelah dia muncul akan menyerang kita dan membunuh mereka atau menyerahkan kepada dia dalam keadaan hidup. Christiaansen benar-benar tertekan oleh rasa takut dan perlakukan buruk yang dia alami dan terus berjalan di geladak kapal, sekarang menangis, sekarang tertawa; kami merasa kasihan pada pria berusia 67 tahun itu.

Karena ketidaksetiaan para pemberontak sekarang tidak diragukan lagi, dan perdamaian mereka yang pura-pura menjadi penundaan dan mengulur-ngulur waktu, bendera putih dari ketiga kapal diturunkan, dan semuanya siap dalam posisi menyerang. Menjelang malam, sebuah arumbai bersenjata dengan seorang perwira diberangkatkan untuk menyeberang antara Saparua dan Seram. Di pantai semuanya tampak kacau dan gelisah, karena pada malam hari orang mendengar bunyi tifa dan kuli bia yang tidak henti-hentinya terdengar.

Tanggal 22 Juli 1817, jam 04.30 pagi, mereka datang dan orang-orang diberi makan. Pada jam 05.00, surat lain datang dari Matulesia, dimana dia mengatakan menginginkan gencatan senjata tetapi tidak dapat berdamai. Tidak ada jawaban untuk surat ini dan sementara itu semua yang ada di kapal disiapkan dalam keheningan yang luar biasa hingga waktu untuk mendarat. Pada jam 05.300, sekoci-sekoci dari ketiga kapal itu turun pada waktu yang sama dan mendarat tepat di pusat dari 4 negeri/desa yang akan diserbu. Pasukan pendarat mendesak masuk, membakar di mana-mana, sehingga kobaran api yang besar segera terlihat dari sudut Hatawana. Ledakan bunga api terbawa angin ke atas kapal, sehingga kami terpaksa memindahkan kapal beberapa jauh dari pantai. Dari kapal Maria Reijgersbergen, korvet Iris dan kapal Dispatch sementara itu terjadi tembakan terus-menerus dengan artileri untuk melindungi orang-orang kami di darat dan untuk mencegah penduduk pribumi menyerang kami dalam jumlah besar. Yang faktor terakhir ini sangat penting, karena lubang perangkap serigala sangat berbahaya bagi pasukan pendarat kami. Seluruh barisan orang-orang kami terjun ke dalamnya, dan, kecuali untuk baku tembak, mereka mungkin telah disergap oleh masa pribumi dan dengan mudah dihabisi. Pertahanan pihak pemberontak di balik penyergapan tidak menimbulkan kerugian besar bagi kami. Seorang marinir, Fr. Redelberge, dan 1 orang sukarelawan orang Ambon tewas, 2 pelaut Eropa dan 1 orang Ambon luka-luka. Jam 09.00, letnan komandan Ellinghuizen, yang memimpin divisi pendaratan, kembali ke kapal bersama anak buahnya.

Keesokan harinya, tanggal 23 Juli 1817, seorang pribumi dibawa ke kapal oleh sekoci milik kapal Iris yang datang dari pantai pada malam hari dengan perahu kecil. Dia berkata bahwa dia berasal dari salah satu negeri dari 2 negeri yang terletak di jalur benteng kecil Haruku, yang tentu saja setia kepada pemerintah. Dia mengaku telah ditawan di Saparua secara kebetulan, dan sekarang telah dikirim oleh Radja negeri Nolothf untuk memohon kepada komandan Groot : “agar dia tidak membakar lagi dan berlayar dengan kapalnya, bahwa dia, Raja negeri Nolot, kemudian berjanji akan setia kembali kepada pemerintah Belanda bersama dengan 5 negeri”. Utusan ini ditahan. Sore harinya beberapa pelaut dan orang Ambon diturunkan ke darat untuk membakar bangunan yang masih berdiri dan kapal/perahu yang tersisa. Semburan api begitu dahsyat sehingga kami tidak hanya harus memindahkan kapal, tetapi karena percikan api yang berjatuhan, kami harus meletakan kain basah di geladak dan menjaga pompa dengan air yang siap disemburkan. Gereja dan rumah Radja negeri Nolloth juga menjadi kobaran api. Ekspedisi tembakan kecil ini dibarengi dengan baku tembak dari artileri berat dari kapal kami guna menahan musuh. Di pihak kami, 3 orang Ambon terluka.

Pada tanggal 25 Juli 1817, fregat berlayar dari teluk Hatawana ke negeri Ihamahu. Korvet Iris juga berlabuh untuk tujuan ini, sementara kapal Dispatch berlayar mengelilingi sisi timur. Pada tanggal 26 Juli 1817, korvet Iris berangkat ke arah selatan untuk memantau pulau Saparua dari sisi itu. Sementara itu, terlepas dari pengawasan kedua kapal dan perjalanan kapal-kapal bersenjata kami, penduduk pribumi Saparua dan Seram tampaknya masih mempertahankan persekutuan dan mengatasi Alifuru Ternate dan Tidore secara massal.

Pada tanggal 27 Juli 1817, saya turun dengan arumbai kecil untuk melihat terumbu karang di negeri Ihamahu. Fregat itu dapat mendekat dengan jarak tembak pistol pendek ke arah pantai dan mengambil posisi yang sangat menguntungkan untuk menembak ke arah negeri-negeri, untuk itu saya menempatkan pelampung pada titik-titik itu untuk menandainya. Pada pagi hari tanggal 28 Juli 1817, korvet Iris dari penyeberangannya mengelilingi pulau Saparua itu berlabuh. Komandan Pool menceritakan bahwa setelah mendekat dengan kapalnya sekitar 1 mil dari pulau Nusalaut, dia menerima kunjungan dari sebuah kapal berbendera Belanda, yaitu Patie van Noesalautg, yang datang untuk memberitahukan bahwa penduduk dari 7 negeri di pulau itu setia kepada pemerintah, dan pertemuan para Radja dari orang-orang negeri itu telah diadakan, dimana diputuskan bahwa dia, Patie, harus pergi ke kapal “Iris” untuk meminta bantuan melawan pemberontak dan melawan kekejaman Kapitan Lucas (nama lain untuk Thomas Matulesia), yang telah mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin, dan dengan demikian memperbudak penduduk dan Raja, meskipun mereka sebagian besar setia pada pemerintah di hati mereka. Patie itu juga menceritakan bahwa senjata di benteng Duurstede semuanya dirusak, pintu benteng ditutup dengan rantai besi dan bagian bawah juga bagian pinggirannya, penuh dengan perangkap untuk kaki dan lubang serigala. Sementara itu, komandan Pool sudah paham bahwa Patie itu harus ditahan terlebih dahulu.

Segera kami juga menyadari bahwa ada pengkhianat di antara sukarelawan orang-orang Ambon, karena salah satu dari mereka berusaha membebaskan utusan Raja Noloth itu, yang telah berubah menjadi mata-mata yang cerdik dan giat, yang sekarang bersembunyi di bawah deka. Upaya ini gagal melalui kewaspadaan penjaga. Tahanan itu telah melepaskan diri dari belenggu dan melompat ke laut dari satu tempat senjata di sisi kiri. Saya melompat secepat mungkin dengan beberapa orang ke arumbai kecil, yang terletak di sisi kanan kapal, tetapi karena kami harus mendayung ke arah pantai, tahanan itu memiliki keuntungan, apalagi saat itu benar-benar gelap, sehingga kami tidak dapat melihat apa-apa. Kami mendayung secepat mungkin ke pantai dan menyeberang di depannya untuk memotong gerak tahanan itu. Setelah setengah jam mencari, saya mengerti bahwa dia akan melarikan diri atau dicabik-cabik oleh hiu dan kami kembali ke kapal. Mulai sekarang orang Ambon lebih diawasi. Keesokan harinya kami harus membuang 2 mayat ke laut, pelaut J. van Teylingenh dan seorang pelaut Ambon, yang meninggal karena luka-luka. Menurut dokter bedah berpangkat mayor, luka tembak itu terlihat sangat jelek dan berbahaya, karena penduduk pribumi menggunakan apa yang disebut, bonken, koin 2 stuiver, sebagai perlengkapan menembak. Gumpalan-gumpalan ini hanyalah potongan-potongan atau batangan tembaga Jepang dengan cap 2 stuiver di atasnya. 

Pada tanggal 30 Juli 1817, komandan Pool menerima perintah dari komandan Groot untuk melanjutkan perjalanan perjalanan Iris ke Amboina dan untuk beberapa waktu berlayar di laut Banda untuk mengamankan pasokan senjata dan amunisi dari kepulauan bagian selatan, seperti Flores dan Sumbawa, untuk tindakan pencegahan. Saya diperintahkan untuk berpindah ke kapal Iris, untuk pergi bersama kapal itu ke Ambon dan untuk meminta dari pemerintah Gubernemen 2 “lapangan tembak” dan perlengkapan perang lainnya yang diperlukan untuk kelanjutan operasi, untuk memuat semua barang ini ke dalam perahu yang disewa untuk tujuan itu, beserta kapal yang berlayar bersamanya ke teluk Saparua, dimana kapal Maria Reijgersbergen sementara itu akan melanjutkan tindakan untuk menguasai Benteng Duurstede. Korvet Iris bersiap untuk berlayar dengan posisi dan status “kaki piring”, tetapi ketika kami melihat kapal Dispatch saat matahari terbenam telah ada di sudut Hulaliu di pantai Haruku, komandan Groot memerintahkan untuk tetap berlabuh sampai dipastikan apakah Dispatch, yang telah tiba di Haruku, telah membawa berita atau surat yang harus dijawab oleh pemerintah di Ambon. Namun, tidak demikian, sehingga pada tanggal 31 Juli 1817, kapal Iris diperintahkan berlayar. Meskipun saya telah menyelesaikan misi saya, baru pada tanggal 6 Agustus 1817 kapal yang disewa yaitu Anna Maria meninggalkan teluk Ambon dengan perbekalan perang yang diminta. Sehari sebelumnya, kapal Dispatch tiba di Ambon dan membawa berita bahwa Benteng Duurstede telah direbut. Dengan kapal ini, yang memuat sisa amunisi, saya berangkat lagi pada tanggal 7 Agustus 1817 menuju teluk Saparua. Di Haruku, saya harus mengirimkan beberapa perbekalan makanan dan perang, serta menyewa kapal pengangkut Inggris untuk mengambil/membawa 2 meriam dengan panel-panelnya. Pada tanggal 13 Agustus 1817, saya kembali berada di kapal Maria Reijgersbergen, dimana saya mengetahui detail penyerbuan Benteng Duurstede berikut ini.

Pada tanggal 2 Agustus 1817, setelah kapal Maria Reijgersbergen dan Dispatch berlabuh di teluk Saparua, semuanya telah dipersiapkan untuk penyerangan keesokan harinya. Letnan komandan Ellinghuizen telah diberi tugas komandan divisi pendaratan yang dibantu oleh letnan komandan kelas 2 Cochiusi dan Coopsj. Jam 04.30 pagi tanggal 3 Agustus 1817, tembakan artileri berat dimulai dari kedua kapal, divisi pendaratan mendayung ke darat dengan sekoci, menyerbu benteng dan mengibarkan bendera Belanda pada jam 05.30. Fregat sementara itu terus menembak dan mengirim perahu ke Dispatch untuk mengambil dari kapal ini dan membawa ke pantai empat enam pon, 4 senjata putar dan beberapa blunderbus (senjata berlaras pendek), yang dibawa ke dalam benteng. Fregat mengirim 6 pon lagi ke benteng. Jam 07.00, tembakan sudah dilakukan dari benteng dengan meriam-meriam itu, tetapi karena musuh mundur dan tidak lagi muncul, maka tembakan dihentikan. Sementara itu divisi pendaratan sibuk sedapat mungkin membakar semua bangunan di sekitarnya, sehingga selain negeri Saparua, rumah Resident, gudang dan beberapa perahu menjadi mangsa kobaran api. Di antara kapal-kapal ini juga terdapat arumbai besar milik Resident Van den Berg, sebuah kapal yang konon menjadi penyebab langsung pemberontakan, karena Resident Van den Berg tidak mau membayar kapal ini yang baru saja diserahkan kepadanya. Ketika benteng diserbu, hanya sedikit perlawanan dari pihak pemberontak yang dihadapi, hanya beberapa orang kami yang terbunuh dalam pembakaran gedung. Potongan-potongan berbagai kaliber senjata dirusak dan banyak peluru ditemukan di dalam benteng. Jejak pembunuhan yang terjadi di berbagai tempat. Darah di dinding dan di lantai, pakaian yang robek dan berdarah, termasuk topi kornet (segitiga) berdarah milik pembantu Belanda dan kaus kaki anak-anak, dimana kaki yang terpotong masih menempel. Mereka juga menemukan catatan dari tangan Resident Van den Berg, yang isinya tertulis sebagai berikut: “Sersan, segera datang dengan 12 orang membawa amunisi untuk mengantarkan saya. Semuanya kacau balau” (tanda tangan) Van den Berg, Resident. Pada hari benteng direbut, kekuatan sebanyak mungkin telah dikerahkan dan segala sesuatu yang diperlukan telah dilakukan untuk istirahat dan nutrisi untuk garnisun, yang tentu saja harus disediakan segalanya, termasuk air minum. Fregat sekarang juga harus siap untuk menghadapi serangan kapal musuh, karena sekarang sebagian besar perlengkapan, korps marinir dan sukarelawan orang Ambon ditempatkan di benteng, sehingga hanya sedikit yang tersisa di kapal. Tidak seorang pun, bahkan komandan, meninggalkan geladak sejenak, pergi ke tempat istirahat tidaklah mungkin, berbaring di geladak seseorang harus tidur malam dan pada saat yang sama bersiap, dengan alarm sekecil apa pun dari penjaga, baik dari benteng atau turun, untuk mengangkat senjata dan mengoperasikan penyerangan. Sinyal alarm yang diperlukan telah dibuat dengan koordinasi di benteng. Lentera telah diberikan kepada garnisun untuk ditempatkan di sudut benteng, sehingga memungkinkan untuk menembak dari kapal ke arah musuh yang mendekat tanpa cahaya. Saat matahari terbenam, kapal Dispatch telah berlayar ke Ambon dan membawa ke sana, seperti yang saya sebutkan di atas, berita tentang perebutan benteng.

Sampai tanggal 7 Agustus 1817, tidak ada hal istimewa yang terjadi. Memang benar dari waktu ke waktu musuh muncul dalam jumlah besar dan dari penyerangan, mereka melepaskan tembakan ke garnisun, tetapi tembakan meriam dari benteng atau dari fregat segera membuat mereka mundur dan bersembunyi. Sementara itu, dalam persembunyian ini, mereka terus mengawasi kami, yang mana kami diberikan bukti yang menyedihkan pada tanggal 7 Agustus 1817. Letnan komandan kelas 2, F.H. van Guerickek, yang, setelah merebut benteng, pergi ke darat bersama sebagian anak buahnya untuk membersihkan sumur di dekat benteng dan membuatnya agar dapat digunakan kembali, saat melakukannya, diserang oleh tembakan musuh, melukai intendant Nielsenl. Van Guericke, yang marah akan hal ini, berjalan dengan senapan di tangan – semua perwira dan taruna dipersenjatai dengan senapan dan pedang selama perang – dan hanya diikuti oleh satu anak buah ke arah tembakan, tetapi segera mendapat tembakan yang membuatnya jatuh ke tanah. Dia kemudian diserang oleh sejumlah penduduk pribumi yang bersenjatakan klewang. Anak buahnya tidak bisa berbuat apa-apa melawan serangan ini dan harus mencari tempat berlindung yang aman, agar tidak jatuh ke tangan musuh. Atas teriakan minta tolong para anak buah (pelaut), letnan laut kelas 2, Cochius, dengan beberapa orang dari benteng tersentak, tetapi hanya bisa mendapati mayat tanpa kepala dari perwira yang malang itu. Setibanya saya di fregat, saya sangat terkejut dengan cerita tentang peristiwa yang menyedihkan ini, karena Van Guericke adalah salah satu sahabat saya. 

Kebutuhan makanan dan militer untuk kapal Maria Reijgersbergen dan Benteng Duurstede, yang saya bawa dengan kapal Dispatch, diturunkan pada hari yang sama, karena komandan ingin kapal berlayar lagi keesokan harinya dengan membawa sesuatu ke Ambon. Saya diinstrusikan untuk membantu kapten Crossier dengan barkas dan memastikan kapalnya segera melaut. Pagi-pagi sekali, Dispatch keluar dari teluk Saparua, tetapi karena angin terakhir masih bergerak, kapal terdorong oleh arus ke tanjung Booi dan terdorong paksa ke pulau Molana. Barkas kemudian mengalami kesulitan besar, karena tanpa bantuannya, Dispatch akan terdampar di karang yang menonjol di pulau itu. Dengan bergeraknya kapal, saya bersama barkas begitu jauh ke laut dari sekitar pantai sehingga saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengelilingi pulau Molana, juga berharap arus yang saya temui lebih sedikit antara pulau itu dan pantai pulau Saparua untuk dapat mencapai teluk itu lagi. Jadi, setelah berlayar melewati pulau Molana di pantai barat, saya memutuskan pada saat yang sama untuk mengawasi teluk Porto dan Haria, dan bergerak ke mulut teluk itu. Saya tidak bisa masuk lebih jauh lagi dari sekedar mengawasi, karena saya tidak diperintahkan untuk mengunjungi teluk itu, juga tidak disarankan untuk memasukinya, karena musuh terlihat dalam jumlah besar, siap menyerang saya dan perahu di darat sedang disiapkan, sedangkan barkas kami tidak bersenjata dan anak buah saya juga tidak bersenjata. Pengintaian sepintas di teluk Porto dan Haria ini berguna di kemudian hari ketika kapal Maria Reijgersbergen mencoba masuk ke teluk itu.

Sementara di sekitar teluk Saparua, musuh tidak tinggal diam, tetapi mempersulit kami, karena kami tidak dapat menjaga komunikasi dengan benteng tanpa terlebih dahulu membersihkan wilayah pantai di kedua sisi benteng dengan tembakan meriam. Membawa kebutuhan untuk pendudukan benteng duurstede tertunda dan dipersulit oleh beberapa hal dan beberapa orang kami harus membayar dengan nyawa mereka, termasuk pelaut Adam Loeffm. Pada tanggal 24 Agustus 1817, saya menerima perintah lain untuk melakukan pengiriman dan komunikasi kepada pemerintah di Ambon, dan untuk tujuan itu akan berangkat dengan kapal Anna Maria, yang telah membawa perbekalan untuk benteng dan fregat. Selama saya tinggal di Ambon, kapal Amerika-Utara, Lady Paterson, memasuki teluk dengan membawa pasukan untuk Maluku dan juga dengan berita bahwa beberapa divisi pasukan dari Batavia dan juga Laksamana Muda Buijskes sedang mendekat. Berita terbaru ini pasti memberikan kesan yang kurang baik pada Kolonel Sloterdijk, komandan kapal Nassau dan seperti yang saya katakan di awal, setelah kematian kolonel Dietz, komandan angkatan laut di perairan Maluku, dan bahwa menurut para perwiranya, sejak saat itu dia tampak sangat menyendiri dan mementingkan diri sendiri. Ketika saya mengunjunginya sebelum saya kembali ke Saparua, untuk menanyakan apakah masih ada yang tersisa dari perintahnya, saya dikejutkan oleh penampilannya yang pucat dan suram. Beberapa hari setelah keberangkatan saya, kapal Prins Frederik dengan Laksamana Muda Buijskes di dalam kapal itu memasuki teluk Ambon, tetapi beberapa saat sebelumnya Kolonel Sloterdijk yang malang telah bunuh diri dengan menembak dirinya. Dengan kejadian ini, angkatan laut kehilangan seorang kepala perwira, mulia dan baik, dihargai dan dicintai oleh atasannya serta oleh bawahannya. Apa yang membuatnya putus asa dan depresi seperti itu? Jawabannya dipelajari dari kertas-kertas jurnal yang ditinggalkannya. Dia tampaknya menyalahkan dirinya sendiri atas banyaknya darah yang tertumpah dalam ekspedisi malang dibawah komando mayor Beetjes. Dia mencela dirinya sendiri karena tidak memperkenalkan ekspedisi dengan kecerdasan yang dibutuhkan dan karena telah menyebabkan begitu banyak pengorbanan yang tidak perlu. Mendengar celaan ini dari mulut pemimpinnya, Laksamana Muda, telah membawa dirinya ke tindakan putus asa ini. setiap orang menyesalkan perwira angkatan laut yang berhati-hati, terampil dan berbudaya tinggi ini1. Dalam pelayaran kembali ke teluk Saparua, kami melihat 6 kapal musuh yang besar dengan bendera di depan dan di belakang. Kami menduga kapal-kapal ini dari benteng Luhu di pesisir Seram. Benteng ini juga dikuasai oleh para pemberontak yang telah membunuh seorang sersan dan 13 tentara Eropa. Tampak bagi kami bahwa kapal musuh ini sedang menuju Haruku, tetapi karena jaraknya lebih dari 1 mil dari kami, kami tidak dapat menembak mereka dengan senjata dari kapal Dispatch, kapal yang saya tumpangi. 

Pada tanggal 3 September 1817, saya kembali berada di kapal Maria Reijgersebergen. Di sana saya mengetahui bahwa pada tanggal 29 Agustus 1817, benteng duurstede telah dipertahankan dari serangan serius yang, meskipun musuh telah dipukul mundur dengan kerugian besar, memakan korban 3 pelaut terbaik kami termasuk pelaut H.B. Brinkampn dan J. Bakkero, sementara seorang kopral orang Ambon terluka parah.

Pasukan yang bersama saya telah membawa perbekalan dari Ambon diturunkan pada hari yang sama dan dibawa ke benteng duurstede. Benteng ini selanjutnya dikomandoi oleh kapten infantri Lisnetp. Namun, karena dia bukan perwira artileri dan juga tidak memiliki penembak, saya diberi tugas komando penyerangan, dan 2 bintara serta 25 pelaut diperbantukan kepada saya dari fregat dengan tugas artileri. Persenjataan benteng, sejauh menyangkut artileri, terdiri dari 25 senjata semuanya campuran.

Selama gerak maju pasukan ini ke dalam benteng dan penarikan orang-orang yang berada di dalamnya, di bawah perintah letnan Ellinghuizen, Cochius dan Coops serta letnan muda kelas 1, yaitu Feldman, musuh menembaki kami terus menerus, meskipun fregat melepaskan beberapa tembakan meriam ke arah mereka dari waktu ke waktu, oleh karena itu saya memutuskan untuk mengintai benteng sebelum malam tiba, dan kami terlibat pertempuran kecil dengan musuh, dan untuk saat ini mengusirnya dari balik persembunyiannya, dengan kehilangan 1 orang tewas. Kegelapan yang mulai turun membuat kami kembali ke benteng, ke bivak di tembok pembatas dekat lapangan, karena musuh tampaknya terlalu percaya diri dengan rancangannya.

Keesokan pagi, tanggal 4 September 1817, saat subuh, saya keluar benteng bersama beberapa relawan orang Ambon, untuk melihat kondisi rumah Resident yang terbakar. Kami memiliki beberapa lubang intip bundar di dinding, menempatkan penjaga untuk mengamati musuh. Dari lubang-lubang ini, terlihat banyak pemberontak ditembak jatuh, saat mereka berlari ke sana kemari di antara kampung mereka dan tempat penyerangan mereka. Namun, kami membiarkan pos terdepan, yang ditempatkan di lubang intip di dinding rumah Resident, dan bergerak mundur ke dalam benteng pada malam hari.

Pada pagi yang sama, saya mulai melatih pelaut-artileri saya dalam menangani 2 lapangan tembak yang dibawa ke dalam benten, dan tidak sampai 1 jam mereka sudah cukup mahir. Sekarang saya mengusulkan kepada komandan benteng, Kapten Lisnet, bahwa segera setelah makan siang, orang-orang mereka harus melakukan serangan mendadak, karena musuh tidak mengharapkan kita untuk muncul bersama mereka hari ini, tetapi kapten masih mempertimbangkan hal itu. Akhirnya dia mengakui bahwa kita harus melakukan serangan mendadak, dan juga memerintahkan agar sukarelawan orang Ambon mengambil bagian dalam serangan mendadak untuk bertindak sebagai “penyusup”, dan bahwa mereka harus membawa serta bahan bakar, kapak, gergaji untuk membersihkan segala sesuatu di sekitar benteng yang bisa menghalangi pandangan kepada musuh yang datang mendekat. Ketika semuanya sudah siap, kami berbaris keluar dari benteng dan maju ke samping dimana terdapat tingkungan tajam tempat para pemberontak berada. Saya memerintahkan pasukan di sisi kanan untuk maju bergerak dari arah sayap, yang begitu cepat sehingga tembakan segera mengurung daerah itu sebelum musuh sempat melarikan diri melewatinya. Oleh karena itu, tembakan tersebut menimbulkan pembantaian besar-besaran di antara mereka. Kemudian kami maju ke titik dimana jalan raya utama saling “memotong” jalan raya lain, di ujungnya berdiri makam seorang Kapten Inggrisq. Di persimpangan ini saya menempatkan salah satu dari 2 bidak lapangan tembak untuk mengamati musuh dan mencegahnya melewati kami saat kami bergerak maju. Kami mengambil bagian kiri sepanjang jalan menuju negeri Porto dan Haria. Orang Ambon menyerbu di depan kami, menghancurkan semua yang menghalangi jalan mereka.

Kapal Maria Reijgersbergen yang menyadari serangan mendadak kami, terus menembak artileri berat ke arah sepanjang pantai barat benteng Duurstede, tetapi pergerakan kami itu berlanjut dengan sangat cepat sehingga kami harus memiliki kesempatan untuk mundur sebelum bola-bola meriam dari kapal ditembakan, jika tidak diketahui di atas kapal bahwa kami sudah berada di wilayah itu, dimana musuh telah melarikan diri, maka kapal harus menghentikan tembakan. Setelah kami membuat ruang terbuka sebanyak mungkin dengan menebang dan menghancurkan semua yang mungkin berguna bagi perlindungan para penyerang benteng, dan musuh tidak lagi muncul di mana pun, saya memerintahkan untuk mundur kembali ke benteng. Tetapi orang-orang Ambon sangat senang dengan keberhasilan penyerangan ini sehingga mereka seolah-olah memohon kepada saya untuk terus bergerak maju lebih jauh. Karena itu saya terpaksa memberi tahu sersan, pemimpin mereka, untuk tidak melakukan hal itu sekarang, karena amunisi yang dibawa mulai menipis. Sersan itu mendengar ucapan saya, mengerti bahwa akan merugikan jika terus menyerang. Dia memerintahkan anak buahnya untuk mundur, sambil berteriak pada mereka “obat passang soeda abis” (amunisi sudah habis). Kata-kata ini diteriakan satu sama lain di wilayah itu oleh orang-orang Ambon dan, tentu saja, didengar oleh musuh. Pada awalnya saya tidak menghiraukan kata-kata teriakan yang diucapkan secara sembarangan ini, dan, ketika kami mulai mundur, kami tidak menyadari bahwa musuh telah berkumpul dan “menarik” pergerakan kami ke belakang. Kami melewati jembatan kecil yang telah kami seberangi dengan pasukan kami yang terpisah jauh di depan kami, sehingga, seandainya musuh melakukan operasinya dengan diam-diam, mereka mungkin akan membuat kami lengah; tetapi teriakan perang mereka menyadarkan atau memperingatkan kita pada waktunya. Saya masih memiliki cadangan peluru, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk menyerang musuh lagi. Dengan kecepatan kami berlari menuju para pemberontak, yang mungkin mengira bahwa mereka telah disesatkan atau “dibingungkan” oleh oleh teriakan-teriakan yang disebutkan di atas, atau setidaknya mereka melarikan diri dalam kebingungan. Kami menembak mereka dengan 2 kali tembakan lagi, tetapi kemudian kamu juga harus mundur, karena tinggal hanya 1 tembakan bubuk mesiu yang tersisa. 

Benteng Duurstede dan Rumah Resident, tanpa tahun

Saya, sesuai perintah yang diberikan kepada saya, memasang tiang-tiang bambu sejauh mungkin dari benteng, yang di atasnya ditempelkan surat-surat dari komandan Groot kepada orang-orang Saparua. Dalam surat-surat itu, ia menghimbau kepada penduduk pribumi untuk bertobat jika tidak ingin melihat semua harta benda, rumah dan kapal-kapal/perahu-perahu mereka dibakar dan dihancurkan. Juga kepada siapa pun yang menyerahkan Thomas Matulesia akan menerima 1000 ropia, dan yang menyerahkan pemimpin pemberontakan yang tingkatannya lebih rendah dari Thomas Matulesia akan menerima 500 ropia. Sangat disayangkan bahwa himbauan ini kurang ditanggapi oleh penduduk yang memberontak, karena merupakan pemandangan yang menyedihkan melihat negeri-negeri yang indah itu terbakar dan dihancurkan dengan harta benda mereka. Wanita dan anak-anak kehilangan rumah mereka, berkeliaran di hutan, dan lolongan anjing di malam hari yang kemudian kembali di malam hari ke negeri yang terbakar mengumumkan kengerian perang.

Pada pagi hari tanggal 5 September 1817, kami mulai mendobrak tembok-tembok rumah Resident yang terbakar, untuk menghilangkan penghalang-penghalang yang tidak nyaman untuk mengamati musuh dari jarak yang lebih jauh. Dalam operasi ini, beberapa tembakan terjadi di kedua sisi, 2 dari pihak pemberontak tewas. Sore hari, massa muncul dengan pemimpin mereka di depan, sama seperti yang kemarin kami lihat. Dia mengenakan rok merah, tanda pangkat di pundaknya, dan dipersenjatai dengan klewang panjang. Pada pertempuran yang terjadi lagi, orang Ambon dari salah satu pos terdepan terlibat dalam percakapan dengan musuh. Karena salah satu orang Ambon memiliki saudara laki-laki di antara para pemberontak. Ia menegur orang Ambon kami itu untuk bergabung bersamanya. Orang Ambon kami menolak, tetapi, mungkin tertarik oleh ikatan darah, kedua bersaudara itu semakin dekat satu sama lain, sehingga orang Ambon kami, sebelum dia menyadarinya, telah berdiri di samping saudaranya dan dikelilingi oleh gerombolan pemberontak, bersenjatakan senapan dan klewang. Orang Ambon kami memohon saudaranya untuk bertobat, tetapi dia mengatakan dia harus tetap setia pada sumpahnya, memberikan pernyataan ini dengan air mata berlinang. Sementara itu, para pemberontak lainnya bertanya kepada orang Ambon kami: “Haruskah kami memenggal kepalamu sekarang??”. “Lakukan sesukamu, tetapi kepuasaan apa yang kamu dapatkan??”, kata orang Ambon kami. Sementara itu, selama percakapan kedua bersaudara itu, pos terdepan kami terus menerus memberi isyarat kepada para pemberontak untuk mendatangi mereka, tetapi mereka tampaknya tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk melakukannya. Dengan penuh kebanggaan diri, mereka menolak untuk datang. Sebelum orang Ambon kami meninggalkan saudaranya, dia memberikan topinya sebagai hadiah, merupakan bukti cinta persaudaraan mereka, yang kemudian saya balas dengan memberinya salah satu topi saya.

========= bersambung ========

 

Catatan Kaki

1.         Tidak dapat disangkal, bahwa kelemahan terbesar ekspedisi Beetjes adalah operasi itu dilakukan tanpa dukungan kapal-kapal Nassau atau Evertsen, dan Kapten Laut Sloterdijk bertanggung jawab atas hal itu. Ia bermaksud mengijinkan kapal Evertsen untuk pergi bersama operasi itu, tetapi mayoritas suara di dewan tertinggi Gubernemen, di benteng Victoria, tampaknya menentang, karena mengkhawatirkan keamanan ibukota, dibawa kesan rumor meluasanya pemberontakan, baik di bagian utara pulau pulau Amboina, yang disebut Hitu, maupun di bagian selatan, yaitu Leitimor, yang dipisahkan oleh Pas Bagoeala (Catatan dari editor jurnal)

 

Catatan Tambahan

a.        Kapten Crossier yang dimaksud adalah William Crozier/Crossier.

b.       Letnan muda kelas 1 Feldman yang dimaksud adalah Theodorus Feldman, lahir pada 19 Desember 1794 di Voorst, Zuthpen, dan meninggal dunia pada 27 Februari 1841. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 28 April 1815 – 25 Agustus 1819

c.        Perjalanan jauh yang dimaksud adalah Thomas Matulesia pulang ke negeri Haria, tempat tinggal ibunya.

d.       Ayah Feldman adalah Diederich Leonard Feldman, seorang pendeta di Voorst

e.        Fr. Redelberg  yang dimaksud adalah Francois Redelborg, lahir sekitar tahun 1780 di Brussel dan meninggal di Saparua pada 21 Juli 1817.

f.         Radja van Nolloth atau Radja negeri Nolloth yaitu Isaac Nicolaas Huliselan

g.        Patij van Nusalaut yang dimaksud adalah Pattij van Akoon yaitu Domingos Thomas Tuwanakota

h.       J. van Teylingen bertugas di kapal Iris dan meninggal pada tanggal 28 Juli 1817.

i.         Letnan komandan kelas 2 Cochius yang dimaksud adalah Hendrik Cornelius Cochius, lahir pada 5 Februari 1791 di Nijmegen dan meninggal di Surabaya pada 23 April 1818 karena radang hati. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 5 Maret 1816 – 23 April 1818.

j.         Coops yang dimaksud adalah letnan 2 laut Herman Hendrik Timotheus Coops, lahir pada 12 Agustus 1793 di Doetinchem dan meninggal dunia pada 24 Juli 1865 di Doetinchem. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 3 Oktober 1814 – 25 Agustus 1819

k.        Letnan komandan kelas 2, F.H. van Guericke yang dimaksud adalah Fransiscus Hendricus Guericke, lahir pada 21 Januari 1792 di Nijmegen dan meninggal dunia pada 7 Agustus 1817 di Saparua (sekitar Benteng Duurstede).  Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 8 Oktober 1814 – 7 Agustus 1817.

l.         intendant Nielsen yang dimaksud adalah Niel Nielsen, lahir sekitar tahun 1788 di Helsingor. ).  Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 5 Juli 1815 – 25 Agustus 1819

m.      Adam Loeff atau Adam Loof, bertugas di kapal kapal Maria Reijgersbergen sejak 17 Februari 1817 – 13 September 1817. Ia ditembak pada 28 Agustus 1817 dan meninggal pada tanggal 13 September 1817.

n.       H.B. Brinkamp yang dimaksud adalah Hermanus. B. Brinkamp, meninggal di Saparua pada 29 Agustus 1817. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 30 April 1816 – 29 Agustus 1817

o.       J. Bakker atau Jan Bakker, lahir sekitar 1781 dan meninggal di Saparua pada 29 Agustus 1817. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 1 Desember 1814 – 29 Agustus 1817

p.       Kapten Lisnet yang dimaksud adalah Philip Andreas Lisnet, lahir pada tahun 1776 di Bangkalan Madura dan meninggal dunia di Sumenep Madura pada 22 Desember 1834. Sejak tanggal 31 Oktober 1816 pangkatnya menjadi kapten infantri di militer Hindia Belanda. Ia menjadi komandan militer di Benteng Duurstede sejak 3 September 1817. 

q.    Makam seorang Kapten Inggris yang dimaksud mungkin adalah makam dari salah satu Resident van Saparoea asal Inggris, yaitu John Henry Slingsby yang dibunuh pada tanggal  26 April 1799 atau Resident Charles Smith yang meninggal di Saparua pada 30 Juni 1814.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar