Senin, 29 Mei 2023

Pembelaan diri Pelimao : Gagasan Francois Valentijn tentang Alifuru

 

 [Siegfried Huigen]

 

  1. Kata Pengantar

Artikel yang diterjemahkan ini berjudul Deverstandige Pelimao: François Valentyns voorstelling van de Alfoeren, ditulis oleh Siegfried Huigen dan dimuat dalam Indische Letteren, jaargang 24, tahun 2009, hal 63 – 74. Penulis mengkaji tentang episode sejarah orang Ambon, khususnya orang Alifuru, pada akhir abad ke-17. Pada tahun 1678, Pelimao atau Pelemahou, seorang “raja” Alifuru di pesisir selatan Pulau Seram, ditangkap, ditahan dan kemudian disidang di Ambon. Ia didakwa dengan kejahatan membunuh penduduk negeri Sepa di pesisir selatan Pulau Seram yang memeluk agama Kristen. Ia kemudian membela diri di hadapan para hakim Belanda, dan menolak untuk dihukum dengan argumentasi hukum atau pembelaan diri “tingkat tinggi” pada masa itu. Pelimao atau Pelemahou kemudian memprotes proses peradilan itu, dan membiarkan dirinya mati dalam kelaparan. 

Delapan tahun setelah kematiannya itu, pada tahun 1686 Francois Valentyn tiba di Ambon dalam tugasnya sebagai seorang pendeta. Valentyn menerima informasi dari “banyak hakim” atau “hakim yang berkompeten” dalam kasus itu, dan kemudian menulis kasus ini pada magnum opusnya, Oud en Nieuw Oost-Indien. Valentyn menggunakan kasus Pelimao sebagai tesis untuk membela orang Ambon dalam persoalan “rasisme” menyangkut kapasitas intelektual orang Ambon yang dianggap cacat mental atau dituduh terbelakang dalam budaya. Valentyn menyebut bahwa jika seorang raja “liar” dan “tidak beradab” bisa melakukan penalaran hukum dan menyusun kata-kata pembelaan diri dengan baik, maka pastilah orang Ambon, yang telah bertahun-tahun melakukan kontak reguler dengan orang Belanda, akan memiliki kemampuan intelektual yang lebih baik.

Artikel ini diterjemahkan dengan maksud dan tujuan untuk dibaca dan diketahui tentang episode leluhur kita, yang memiliki pikiran rasional dan bersikap “idealis”. Kita perlu membaca dan mengetahui fragmen sejarah yang berharga itu, untuk dijadikan pelajaran dan manfaat di masa kini. Pada terjemahan ini, kami menambahkan catatan tambahan, dan beberapa ilustrasi untuk “melengkapi” catatan kaki dan ilustrasi yang sudah dimuat oleh penulis sendiri. Semoga artikel ini bermanfaat dalam pengembangan konsep bersejarah kita semua.

                                                             

  1. Terjemahan

Pendahuluan

Di antara deskripsi panjang dalam banyak jilid karya François Valentyna, Oud en Nieuw Oost-Indien (1724-1726), terdapat 2 halaman folio dengan kata-kata pembelaan dari “Raja” Alfoerse (Alifuru), yang bernama Pelimaob (hal 177-178)1. “subalterne” Ander, yang biasanya dibicarakan dalam teks-teks kolonial, tampaknya berbicara di sini sendiri dan terlebih lagi membela diri dengan meyakinkan.

Menurut Valentyn, Pelimao telah ditangkap secara licik di Seram pada tahun 1678 atas perintah Gubernur Ambon, De Vicqc, dan dibawa ke Benteng Victoria di Ambon, karena Gubernur ingin mengadili dia atas pembantaian rakyat Kristennya. Seperti semua penguasa, Pelimao secara alami menganggap tindakannya atas rakyatnya sah. Dalam interogasinya, dia langsung menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum untuk menahannya :

“Saya [............] seorang Raja yang lahir bebas, berdiri di antara kalian, berdiri di antara siapa pun; dan oleh karena itu saya tidak terikat untuk memberi kalian alasan apa pun atas tindakan saya terkait rakyat saya. Jika saya telah menyinggung kalian orang-orang di sini atau di sana di negara kalian, saya harus menyatakan diri saya bersalah, dan menemukan alasan mengapa kalian memenjarakan saya dengan begitu licik; kini kalian menemukan saya benar-benar bersalah karena telah melakukan semua kesalahan kalian (hal 177).

Valentyn setuju dengan Pelimao. Dalam versi cerita Valentyn, Pelimao adalah “Raja” pagan yang berdaulat dan sekutu VOC di Pulau Seram. Dia bukan laki-laki yang lembut. Ketika beberapa rakyatnya masuk/memeluk agama Kristen – menurut Valentyn untuk menghindari kewajiban membayar upeti tahunan ke Pelimao – dia telah menghukum mereka dengan keras untuk mencegah calon penghindar pajak. Para laki-laki, terutama guru djemaat Kristen, “dia mengikatkan diri mereka pada tiang pancang, memotong kulit kejantanan mereka, dan yang lainnya juga tangan, kaki, hidung, dan telinga, serta melemparkannya ke hadapan anjing” (hal 176).  Payudara wanita dipotong. Mereka juga bekerja di dalam dan di luar dengan batang-batang bercahaya. Sejumlah orang Kristen Alifuru kemudian melarikan diri ke benteng Victoria, pusat kekuasaan Belanda di Ambon, dan meminta bantuan Gubernur De Vicq. Dia memanggil sekretaris Landraad, Philip du Preed, untuk mengadili Pelimao di Ambon. Du Pree adalah teman dekat Pelimaoe, jadi dia menikmati kepercayaan Raja dan aksi bersenjata yang beresiko tidaklah diperlukan. Diperlengkapi dengan barang dagangan dan didukung oleh beberapa serdadu, Du Pree berangkat ke Seram dimana dia membujuk Pelimao ke perahunya dan merayakannya hingga mabuk. Ketika Raja terbangun dari kebingungannya selama perjalanan pulang di lautan, dia menyadari bahwa dia telah dikhianati oleh sahabat karibnya (hal 176-177)2

Fragmen Pembelaan Pelimao/Pelemahou

Di Ambon, Pelimao dikurung di penjara “sempit” dan diinterogasi. Jawaban Pelimao dicatat oleh Valentyn bertahun-tahun kemudian, dari mulut seorang “hakim yang paling cakap, yang beberapa kali berurusan dengannya [Pelimao] tentang substansi dalam bahasa Melayu, yang dia [Pelimao] ucapakan dengan cukup baik (hal 179). Jawaban Pelimao, menurut Valentyn, “luar biasa dalam bahasa non-pagan dan Alifuru” (hal 177). Hal demikian membuktikan sesuatu tentang kapasitas intelektuan penduduk Pulau Ambon : “jika ada seorang Alifuru yang tahu bagaimana bernalar secara adil, dan jika beralasan, untuk kepentingan mereka sendiri dan hak yang menjadi hak mereka, maka tentu saja di antara orang Ambon, setelah sekian lama bergaul dengan orang Belanda, dan kesempatan yang begitu besar untuk mempertajam kecerdasan mereka, pastilah orang yang lebih cerdas dan cakap daripada Raja ini (hal 175). Valentyn mengangkat kasus Pelimao tidak hanya untuk mengecam ketidakadilan yang dilakukan padanya. Ia juga ingin menunjukkan kepada para pembacanya bahwa tidak ada yang salah dengan kemampuan mental penduduk kepulauan Ambon. Episode Pelimao adalah contoh penutup dari risalah etnografi Valentyn “Van de Amboinesen” (hal 138-189) dalam “Beschryvinge van Amboina” pada jilid kedua buku Oud en Nieuw Oost-Indien3. Dalam risalah yang luar biasa tentang penduduk pulau Ambon ini, Valentyn ingin menempatkan keanehan yang tampak dari orang Ambon ke dalam perspektif dan untuk menghasilkan berbagai bentuk pengetahuan ilmiah. Kasus Pelimao memainkan peran penting dalam tujuan sebelumnya4.

 

Pemotong Kepala

Tidak jelas alasan menggunakan Raja gunung Alifuru sebagai contoh kapasitas intelektual penduduk Maluku Tengah, jika anda membaca deskripsi tentang Alifuru yang telah diberikan Valentyn beberapa halaman sebelumnya dalam halaman terpisah “Van Alfuruse” (hal 71-82). Lebih dari 10 halaman, Valentyn memberikan gambaran yang tidak menyenangkan tentang tata krama dan adat istiadat suku Alifuru. Dalam hal ini, ia mengikuti jejak Rumphius yang telah melakukan ini dengan lebih ringkas dalam deskripsi Generaele tentang Gubernemen Ambon yang pada saat itu masih belum diterbitkan5. Valentyn mengadopsi struktur Rumphius dan melengkapinya dengan informasi dari sumber lain. Dalam uraiannya, kedua penulis menggunakan perbedaan pribumi antara penduduk pesisir dan pedalaman, yang juga umum terjadi di tempat lain di Kepulauan Indonesia6. Valentyn berkata tentang suku Alifuru: “Mereka umumnya bertubuh lebih besar, lebih gemuk, dan lebih kuat daripada orang di pesisir, tetapi sangat ganas dan liar dalam kehidupan” (hal 71). “Sejauh menyangkut penampilan mereka, Alifuru hampur telanjang, mengenakan ikat pinggang dari kulit pohon di pinggang mereka, “topi” di kepala mereka dengan bulu-bulu aneh di atasnya, setinggi 3 atau 4, dan melingkari rambut mereka dengan tanduk karangan bunga, (Porcellana putih)” (hal 71). Bulu-bulu ini juga dapat dilihat pada gambar ilustrasi yang dilampirkan tentang “Dua Alifuru bertempur” (hal 72), meskipun ilustrator tampaknya bingung bagaimana merepresentasikan ikat kulit kayu (gbr 1)7.

Ilustrasi itu memperlihatkan 2 laki-laki berkelahi di tempat yang mungkin melambangkan sungai perbatasan. Dengan demikian, ilustrasi tersebut mewakili apa yang di mata Valentyn, karakteristik paling penting dari Alifuru: yaitu sikap agresi mereka, atau keganasan dan keliaran mereka dengan semua konotasi yang dimiliki oleh orang Eropa modern awal. Menurut tradisi Eropa yang berasal dari abad pertengahan dan zaman klasik, manusia liar tinggal di hutan dan biasanya telanjang. Gaya hidupnya sangat primitif. Mereka sering ditampilkan sebagai bentuk peralihan/perpindahan dari hewan ke manusia dan sebagai seseorang yang hidup di luar norma yang diterima secara umum8

 

Agresi endemik Alifuru terutama diekspresikan dalam pengayauan/potong kepala di antara orang-orang tetangga dan rasa hormat yang, jika diserang, dapat menyebabkan perseteruan kekerasan yang mengakibatkan lebih banyak lagi pengayauan/potong kepala. Menurut Valentyn, pengayauan merupakan elemen sentral dalam budaya Alifuru. Sebagai seorang laki-laki di komunitas Alifuru, anda hanya dapat membangun eksistensi dan status, jika anda mengayau/memotong kepala:

“Ini adalah hukum besi di antara mereka, bahwa tidak ada pemuda yang menutupi kekurangannya, bahkan tidak ada dari mereka yang menutupi rumahnya/membangun rumahnya, menikah, membuat atau menutupi atau meletakan mereka di Baileo, kecuali dia untuk masing-masing institusi ini dan menguasai tanah, membawa ke desanya kepala seorang musuh, meletakannya di atas batu tertentu yang didedikasikan di sana untuk itu, dan harus melewati semua tindakan heroik itu, maka bisa diizinkan untuk merawat/mengambil wanita [.............]” (hal 71)

Alifuru lebih mementingkan jumlah kepala daripada kualitas. “Bangsawan dan Pahlawan” terbesar adalah orang yang berhasil mendapatkan jumlah kepala terbanyak, tidak membedakan antara kepala laki-laki, wanita atau anak-anak. Valentyn mencoba sedikiti menempatkan pengayauan ini ke dalam perspektif dengan contoh-contoh dari Alkitab dan Aeneid, tetapi akhirnya harus mengakui bahwa dari bacaannya dan cerita-cerita lain, dia tidak tahu apakah ada orang yang sama tingkatan marah/kekejamannya seperti Alifuru dalam hal ini (hal 72). Untuk mengumpulkan kepala atau mengayau, para Alifuru keluar dengan kelompok yang terdiri dari 8 atau 10 orang, menyamarkan diri mereka dalam penyergapan dan memenggal kepala lawan mereka dari belakang (hal 73), yang tentu saja tidak “cantik” menurut pandangan Eropa tentang pertarungan yang terhormat. Keuntungan Machiavellian dari praktik ini adalah memungkinkan seorang jagoan untuk membuat lawannya terbunuh tanpa banyak usaha.

Selain itu, Alifuru saling membunuh untuk serangan sekecil apapun atas nama kehormatan mereka (hal 80-81):

“Di antara perilaku langka Alifuru ini, orang juga harus mempertimbangkan ini, bahwa ini adalah orang-orang yang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati di antara satu sama lain, jadi bahwa hal sekecil apapun bisa memberi mereka alasan, untuk saling menyerang dan membunuh [..............] (hal 80).

Kecerobohan sekecil apapun dalam norma dapat menimbulkan perselisihan yang berlangsung selama beberapa generasi. Pembunuhan demi kehormatan ini juga dalam bentuk pengayauan/potong kepala.

Secara keseluruhan, Alifuru tampaknya masih dalam keadaan alami Hobbesian, perang semua melawan semua, yang menurut Hobbes dalam bukunya Leviathan (buku 1, bab 13), sebuah buku di perpustakaan Valentyn, yang menceritakan selama perang saudara pada orang Indian di Amerika. Keadaan perang yang benar-benar permanen ada di antara sekelompok Alifuru yang hanya pernah didengar orang. Saling tidak percaya di sini begitu besar sehingga setiap orang berada di pohonnya masing-masing :

“[.................] di pantai utara Seram di belakang pantai Hatoewe [...........] ada orang yang begitu liar sehingga mereka tidak mau berbicara dengan siapa pun, kebanyakan tinggal/hidup di pohon waringin tinggi dan pohon-pohon lainnya, masing-masing berdiam di atas pohon tersebut, karena yang satu tidak saling percaya di antara mereka, bukan hanya saling pukul sampai mati, tetapi yang satu juga bisa makan/melahap yang lain. (hal 78)


Fase Perkembangan

Jika model perkembangan dari Historia natural y moral de las Indias karya José Acosta (Historie Naturael en Morael van de Westersche Deze; edisi asli 1590)10, buku lain yang ada di perpustakaan Valentyn11, harus diterapkan pada “orang liar gunung” dari Seram ini, maka itu tidak terlihat baik untuk mereka. Acosta membedakan 3 tahap/fase perkembangan masyarakat “barbar” : masyarakat dengan tulisan seperti Cina dan Jepang yang dalam pandangannya karena itu tidak terasing dari akal sehat, masyarakat tanpa tulisan tetapi dengan organisasi politik, dan di bagian dasar atau paling bawah adalah, manusia telanjang, pemakan manusia dan tidak memiliki tempat tinggal permanen12. Kebanyakan Alifuru ditempatkan di antara tahap perkembangan kedua dan terendah dalam model Acosta. Meskipun mereka berjalan telanjang, mereka tinggal di desa dan memiliki struktur politik. Bagaimanapun, di mata Valentyn, mereka mewakili fase/tahap perkembangan yang lebih rendah daripada orang Ambon, yang berada di antara tahap terendah dan tertinggi dalam model Acosta, karena telah menghasilkan setidaknya 1 buku, yaitu Historie van Hitoe (Hikayat Tanah Hitu) karangan Ridjali (hal 175)13. Fase perkembangan Alifuru yang lebih rendah merupakan indikasi tingkat rasionalitas yang lebih rendah, baik dalam pandangan Valentyn maupun dalam model Acosta. Terhadap latar belakang ini, tindakan bijaksana dari Raja Alifuru, Pelimao, yang dipenjara, mengejutkan sekaligus membesarkan hati, karena menunjukkan potensi rasional dari populasi paling primitif di kepulauan Ambon. Pelimao seorang diri menolak harapan yang paling suram dan pesimistis.

 


Pembelaan diri Pelimao

Pelimao mampu membela diri dengan baik melawan para hakim Belanda, seperti yang telah kita lihat. Dia menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak memiliki yuridiksi untuk menghakiminya dan bahwa, sebagai seorang Raja yang berdaulat, dia tidak melakukan kesalahan apa pun ketika dia menyiksa orang Kristen yang tidak taat sampai mati. Dia juga tidak akan menghalangi VOC jika ingin menghukum rakyat mereka yang tidak patuh. Dengan melakukan itu, dia mengandalkan argumen terbaik yang tersedia untuk pembelaan dalam retorika forensik : dia secara sah telah melakukan tindakan yang dituduhkan kepadanya dan hakimnya tidak memiliki yuridiksi untuk menghakiminya14. Para hakim kemudian mengakui kepada Valentyn bahwa mereka seharusnya membebaskannya. Hal itu tidak terjadi, karena Pelimao, yang kecewa dengan nasibnya, membuat dirinya kelaparan sampai mati, sehingga menyelamatkan Gubernur -yang menurut Valentyn- dari situasi yang rumit dan memalukan.

Penilaian Valentyn tentang sejarah ini sangat mengejutkan. Bahwa seorang pendeta yang juga ditugaskan dengan misi sebagai pendeta VOC, memilih memihak “orang tidak beradab”, “raja gunung yang liar” (hal 179) dan pembunuh orang Kristen – bahkan jika mereka memiliki motif uang untuk pindah agama – adalah tampilan perspektif yang luar biasa. Apresiasi Valentyn terhadap posisi Pelimao tampaknya didasari oleh pola pikir legalistik15. Lagipula, Pelimao adalah sekutu independen VOC, akibatnya hubungan dengannya ditentukan berdasarkan hukum internasional. Hugo de Groot telah menetapkan di Mare liberum bahwa: “pulau-pulau ini [..............] selalu memiliki raja sendiri, negara sendiri, hukum dan sistem hukum sendiri”16. Di Maluku, VOC hanya mengklaim kedaulatan (imperium) atas Ambon karena telah menaklukkan pulau itu dari Portugis, dan dengan demikian menjadi penerus resmi dari Portugis, tetapi tidak mengklaim Seram17. Berdasarkan undang-undang konstitusional, Pelimao juga memiliki hak untuk menghukum penghindar pajak. Menurut teori negara dari Lipsius, raja dapat memeras penghindar pajak jika perlu18. Pelimao juga menunjukkan kepada para interogatornya bahwa mereka tidak dapat menyalahkan cara dia menghukum rakyatnya:

“adapun soal kejam, mengapa kalian (hakim Belanda) begitu kejam terhadap pencuri yang mencuri sesuatu atau lainnya, apakah itu bukan karena dia telah melanggar hukum kalian, dan telah berdosa terhadapmu, dan untuk menaku-nakuti orang lain dari kejahatan ini [?]” (hal 178)

Setiap orang memiliki cara hukumannya sendiri, dan siapa yang akan menganggap aneh jika “raja gunung” memerintahkan hukuman yang lebih keras daripada orang yang beradab yang tergantung di tiang gantungan??. Valentyn juga memberinya hak sebagai raja untuk menentukan kepercayaan rakyatnya, sesuatu yang tentu saja merupakan praktik umum yang berlaku di Eropa selama rezim kuno. 

Kasus Pelimao, bagaimanapun, terutama digunakan oleh Valentyn untuk menjelaskan tentang kapasitas intelektual penduduk kepulauan Ambon. Pelimao berhasil membela diri dengan baik. Dia memiliki “pikiran” (hal 179) untuk “bernalar dengan baik” (hal 175) dan dengan demikian menjadi “contoh penilaian dan pemahaman yang sangat baik” (hal 175) di antara semua penduduk kepulauan Ambon. Ini akan menjadi kasus fortiori dengan orang Ambon, karena Pelimao adalah wakil dari “mereka yang harus dianggap sebagai yang terburuk dan paling bodoh”, sedangkan orang Ambon “setelah begitu lama bergaul dengan orang Belanda, dan setelah begitu banyak kesempatan untuk mempertajam pikiran mereka, harus menjadi manusia yang jauh lebih cakap dan cerdas daripada raja ini; dimana para pembaca sendiri yang menjadi hakim/penilai” (hal 175).

Memang, untuk beberapa halaman, Valentyn memberi kesempatan kepada pembacanya untuk mengikuti penalaran Pelimao dalam pidato langsung dan tidak langsung. Valentyn membuat Pelimao berbicara seolah-olah dia telah membuat stenograf selama interogasi. Namun, pria tersebut telah meninggal selama 8 tahun ketika Valentyn tiba di Ambon pada tahun 1686. Kata-kata Pelimao adalah rekonstruksi berdasarkan apa yang dikatakan oleh “banyak hakim” (hal 178) atau satu “hakim yang sangat cakap” (hal 179) kepada Valentyn tentang hal itu. Membuat pahlawannya berpidato telah menjadi prosedur retoris yang sering digunakan dalam historiografii sejak zaman klasik untuk mengungkapkan karakter (etos) dari suatu karakter19. Jadi apa yang dapat dinilai oleh pembaca adalah penjelasan Valentyn tentang pembelaan Pelimao yang masuk akal.

Dalam pidatonya yang direkonstruksi oleh Valentyn, Pelimao memang menunjukkan penilaian yang baik (iudicium), dalam artian dia telah menilai situasi dengan tepat dan tahu bagaimana memilih argumen dan kata-katanya dengan baik. Dia tampaknya telah memahami aspek hukum dan politik dari posisinya, yang merupakan bukti tanda kehati-hatian, suatu kebijaksanaan praktis20. Cara dia menyampaikan pidatonya juga mengesankan. Salah satu saksi dari Valentyn telah menyatakan “bahwa dia [Pelimao] telah mengatakan semua ini dengan keberanian, dan kekuatan untuk mereka semua, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, begitu meyakinkan, dan dengan kesopanan [kepekaan dan kesesuian], seperti orang Belanda terbaik melakukan hal itu” (hal 179). Pidatonya dengan demikian memiliki semua kualitas untuk memenangkan pendapat para hakim, sehingga mereka benar-benar cenderung untuk membebaskannya. Bahwa dia membuat dirinya kelaparan sampai mati sebagai protes terhadap kesewenang-wenangan Gubernur (hal 139) pasti juga membuat kesan simpatik pada pembaca sejarah Yunani. Karena bukankah hal ini mengingatkan pada mitos legislator Sparta, Lycurgus, yang, dalam kata-kata Plutarch, “mengakhiri hidupnya dengan pantangan total dari makanan, percaya bahwa tugas negarawan adalah untuk memberikan layanan bahkan dengan kematiannya??, suatu bukti kepada negara??”21. Dengan caranya sendiri, Pelimao memberikan layanan kepada negara, yaitu suku Alifuru, yang digambarkan oleh Valentyn dengan kematiannya. Bagi Valentyn dan Pelimao, kedaulatan tampaknya sebagian besar terdiri dari hak untuk menentukan hidup dan mati rakyat. Dengan membawa kematiannya sendiri dan dengan demikian menghindari eksekusi Belanda, Pelimao mempertahankan klaim kedaulatannya hingga saat-saat terakhir. Yang bisa dilakukan Gubernur hanyalah menyeret jenazah Pelimao di jalan dan digantung di tiang gantungan agar tampak bahwa dia memiliki kendali atas kematian Pelimao22.

 

Orang Timur

Gambar tentang kesialan Pelimao membantu pembelaan Valentyn terhadap orang Ambon. Berdasarkan kasus Pelimao, ia menunjukkan kepada pembacanya bahwa tidak ada yang salah dengan kemampuan intelektual penduduk Maluku Tengah, bertentangan dengan apa yang dipikirkan, misalnya di kalangan VOC, dimana orang Ambon dianggap cacat mental23. Namun, Valentyn juga memasukan pernyataan sebelumnya ke dalam perspektif dalam uraiannya tentang orang Ambon. Di sana ia mempertahankan tesis bahwa orang Ambon, sebagai orang Timur, memiliki adat istiadat yang sedikit berbeda dengan orang Timur lainnya, seperti orang Yahudi di Perjanjian Lama. Orang Timur tidak mengubah kebiasaan mereka. Begitu mereka mengadopsi suatu kebiasaan, mereka berpegang teguh pada hal itu, sehingga pengamatan etnografi orang Ambon dapat membantu untuk lebih memahami adat istiadat orang Yahudi yang dijelaskan dalam Perjanjian Lama. Itu berguna untuk eksegesis alkitabiah24.

Selain itu, ia mengasumsikan model sejarah kedua dimana umat manusia benar-benar melewati tahap perkembangan di dimana barisan depan dan belakang dapat dibedakan dalam perkembangannya. Penalaran dari gambaran sejarah ini, orang Eropa modern lebih berkembang daripada orang zaman klasik. Dalam gambaran sejarah ini, orang Ambon diklasifikasikan oleh Valentyn dalam fase perkembangan yang dicapai di Barat oleh orang Yunani, Romawi, dan Yahudi alkitabiah. Jika model keabadian yang disebutkan di atas digabungkan dengan model kedua ini, bangsa Timur akan selamanya ditakdirkan untuk tetap dalam kondisi terbelakang. Namun, Pelimao, tampaknya melepaskan diri dari pola pikir yang kaku ini. Lagi pula, dia tampaknya menunjukkan bahwa bahkan “orang timur” dapat berkembang lebih jauh, karena dia membuktikan, antara lain, bahwa dia secara retoris dapat mengambil posisi “orang Belanda terbaik” (eksponen dari fase perkembangan tertinggi umat manusia), sedangkan menurut Valentyn dapat diasumsikan bahwa rata-rata orang Ambon bahkan lebih maju di jalan intelektual melalui kontak reguler dengan Belanda. Oleh karena itu, jika diamati lebih dekat, tidak ada hambatan untuk pengembangan lebih lanjut. Dalam uraiannya tentang tindakan Pelimao, Valentyn “membuktikan” kepada para pembacanya bahwa penduduk kepulauan Ambon pada prinsipnya dapat disempurnakan dan beradab, bertentangan dengan apa yang diklaimnya sebelumnya. Dia telah menemukan Pelimao, raja gunung yang liar, sebagai manusia universal dan rasional. Implikasi dari hal ini adalah jika raja gunung yang tidak beradab ini memiliki potensi rasional untuk mengatasi keterlambatan perkembangan, hal itu tentu mungkin terjadi pada orang Ambon yyang sudah berada pada tingkat peradaban yang lebih tinggi. Alifuru, Ambon, dan Belanda seolah-olah masuk dalam satu sejarah perkembangan umat manusia yang sama, hanya saja untuk sementara masih berada pada era yang berbeda. Ukuran perkembangan Valentyn tentu saja dari Belanda. Perkembangan teknologi dan intelektual mereka menjadi contoh bagi masyarakat Ambon. Valentyn sebagai etnografer menempati posisi superior dalam konstruksi ini. Dia dapat mengawasi lintasan yang harus dilalui “pribumi” untuk mencapai era dimana ahli etnografi menemukan dirinya sendiri. bahwa lintasan ini memang bisa dilalui dibuktikan dengan kemampuan mental orang seperti Pelimao. Dengan melakukan itu, Valentyn telah menyusun permulaan proyek peradaban kolonial yang, sejauh menyangkut Hindia, harus menunggu penerapannya hingga pada politik etis di abad ke-2025.

====== selesai ======

 

Catatan Kaki

1.         Kutipan dari dan referensi ke Valentyn dalam artikel ini, kecuali disebutkan lain, diambil dari “Beschryvinge van Amboina” nya Valentyn (Valentyn 1724: II, I, hal 1-351). Di sini saya menggunakan kutipan standar yang disarankan oleh Fisch (1986, hal 142-146). Saya juga menggunakan ejaan asli nama belakang Valentyn. Ejaan dengan “ij” berasal dari setelah kematian penulis.

2.        Knaap (2004, hal 80-81), memberikan versi lain dari sejarah ini berdasarkan arsip VOC. Pelimao (Pelimau) adalah seorang Muslim dalam hal ini dan pengkhianatnya bukanlah Du Pree (Du Prée), tetapi seorang raja lokal. Kedua versi menyepakati alasan penangkapan Pelimao.

3.         “Beschryvinge van Amboina” (Valentyn 1724: 2, 1, p. 1-351); “Van de Amboineesen” (Valentyn 1724: 2, 1, p. 138-189).

4.        Lihat tentang ini : Huigen 2009

5.        Rumphius 2001, p. 104-111

6.       Perbedaan ini terutama telah diselidiki untuk wilayah Sumatera : Granroth 2003, p. 74-78; Watson Andaya 1995

7.        Gambaran Alifuru di buku/novel Maria Dermout, De tienduizen dipinjam/diambil dari sumber Valentyn

8.        Bernheimer 1952, White 1978, Leerssen 1995

9.       Veilingcatalogus 1728

10.     Edisi asli tahun 1590; Nederlandse vertaling: Historie Naturael en Morael van de Westersche Indien.

11.       Veilingcatalogus 1728

12.      Pagden 1982, p. 162-169.

13.      Valentyn memiliki naskah Hikayat Tanah Hitu. Halaman pertama dari “Ambonsche Zaaken” di Oud en Nieuw Oost Indien didasarkan pada teks ini.

14.      Pelimao menggunakan tingkat pembelaan terkuat dalam pidato forensik, berturut-turut, status absoluta dan status translationis (Lausberg 1960, p. 97-8, 83)

15.      Vgl. Skinner 1978, p. 254-301.

16.     ‘Habent insulae [...] et semper habuerunt suos reges, suam republicam, suas leges, sua iura’. Dikutip dalam :  Somers 2003, p. 398.

17.      Somers 2003, p. 386-7.

18.      Oestreich 1982, p. 47-8.

19.     Lihat Mirancola 2007

20.    Lihat  Jansen 2001, p. 299-342 tentang iudicium en prudentia.

21.      Plutarchus 1914, p. 294-5.

22.     Pembacaan kematian Pelimao ini didasarkan pada pandangan Mbembe 2002, hal 10-11 pada pelaksanaan kedaulatan : “to kill or to allow to live constitute the limits of sovereignty, its fundamental attributes. To
exercise sovereignty is to exercise control over mortality and to define life as the deployment and manifestation” [ membunuh atau membiarkan hidup merupakan batas kedaulatan, suatu atribut fundamentalnya. Melaksanakan kedaulatan adalah menjalankan kendali atas kematian dan mendefinisikan kehidupan sebagai penyebaran dan manifestasi]

23.     Knaap 1987, p. 45, 51, 53 en 60.

24.     Untuk penjelasan lebih lengkap lihat : Huigen 2009

25.     Ini tidak berarti dikatakan bahwa politik etis diilhami oleh Valentyn

 

Catatan Tambahan

a.        Francois Valentyn, lahir pada 17 April 1666 di Dordrecht, dan meninggal dunia pada 8 Agustus 1727, putra dari Abraham Valentyn dan Maria van Rijsbergen. Lulus theologi di Universitas Leiden pada tahun 1682, tahun 1685 menjadi pendeta, tiba di Batavia pada 30 Desember 1685. Menjadi pendeta di Ambon sejak 30 April -17 Juli 1686, pendeta di Banda sejak 8 Agustus 1687 – 16 Mei 1688, menjadi pendeta di Ambon sejak 19/20 Mei 1688 – 7 Mei 1694, kembali ke Belanda tahun 1694 hingga 1705, tiba di kembali di Batavia pada 18 Januari 1706, menjadi pendeta di Ambon sejak  14 Maret 1707 – 27 Mei 1712, kembali ke Belanda pada tahun 1714 hingga meninggal pada tahun 1727. Ia menikah dengan Cornelia Snaats, janda dari Hendrik Leijdecker, di Ambon pada 12 Oktober 1692.

§  Hendrik Niemeijer, dkk., Bronnen betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate, en Banda ten tijde van de Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1605 -1791, deel IV, Huygen Ing (KNAW), Den Haag, 2005, hal 58

§  C.A.L. van Troostenburg de Bruijn, Biographisch Woordenboek van Oost-Indische Predikanten, P.J. Milborn, Nijmegen, 1893, hal 435-444

b.       Pelimao (menurut sumber Valentyn), Pelamahou/Pelemahoe (menurut arsip gereja), Pelimahu/Pelemahoe (menurut arsip VOC) adalah seorang pemimpin atau Orangkaija van [negeri] Bessij di selatan Pulau Seram.

§  Rapport Betreffende een visitatie van Kerken en Scholen op Ambon, Manipa, Buano, Ceram, Saparua en Nusa Laut door Ds Jacobus Montanu, Ambon, z.d [Mei 1674]. NA, VOC 1300, fol. 906r-927v. Afschrift.

§  Kort Berigt bij forme van Memorij door Anthonij Hurdt, 31 Mei 1678. ARA: VOC 1334 fol. 653v-671v; Arsip: Ambon 716c. [dimuat oleh Gerrit J Knaap, Memorie van Overgave van Gouverneurs van Amboina in de zeventiende en achttiende eeuw, Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, 1987, hal 239 – 249, khusus, hal 239, 241, 242

c.        De Vicq atau Robert de Vicq adalah Gubernur VOC Amboina sejak 7 Juni 1678 – 27 Agustus 1682. Lahir di Amsterdam pada tahun 1610 atau 1615 dan meninggal pada tahun 1688. Putra dari Mattheus Jacusz de Vicq dan Maria Guillaumedr de Mourcourt. Ia menikah dengan Anna van der Voort pada tanggal 28 Februari 1641. Pada tahun 1671-1673 menjadi anggota Raad van Justitie van Batavia, tahun 1673-1678 menjadi visitatur generaal di Batavia, tahun 1682-1688 menjadi President van het College van Heemraden di Batavia.

d.       Agak sedikit membingungkan, bahwa Valentyn menyebut Philip du Pree sebagai Sekretaris Landraad pada masa pemerintahan Gubernur Robbert de Vicq (1678-1682), padahal berdasarkan sumber dari Valentyn sendiri, Philip du Pree menjadi Sekretaris van Landraad pada periode 1658 – 1676. Ia kemudian digantikan oleh Alexander Latil (1676 – 1688).

e.        Selain Philip du Pree, Pelimao juga berteman baik dengan Pemimpin (Gnoetohadi) van Mardika

§  Rapport Betreffende een visitatie van Kerken en Scholen op Ambon, Manipa, Buano, Ceram, Saparua en Nusa Laut door Ds Jacobus Montanu, Ambon, z.d [Mei 1674]. NA, VOC 1300, fol. 906r-927v. Afschrift.

 

Bibliografie

  • Acosta, J. de, Historie Naturael en Morael van de Westersche Indien. 't Amsterdam by Broer Iansz, 1624 (Vertaling van Historia natural y moral de las Indias (1590) door Jan Huygen van Linschoten).
  • Bernheimer, Richard, Wild Men in the Middle Ages: A Study in Art, Sentiment, and Demonology. Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1952.
  • Fisch, J., Hollands Ruhm in Asien. François Valentyns Vision des niederländischen Imperiums im 18. Jahrhundert. Wiesbaden: Steiner, 1986.
  • Granroth, Maria Christina, European knowledge of Southeast Asia: Travel and scholarship in the Early Modern Era. Unpublished PhD Thesis, University of Cambridge, 2003.
  • Hobbes, Thomas, Leviathan. London: Dent, 1914.
  • Huigen, Siegfried, ‘Antiquarian Ambonese. François Valentyn's comparative ethnography (1724)’. In: Siegfried Huigen, Jan de Jongh & Elmer Kolfin (red.), The Dutch Trading Companies as Knowledge Networks. Leiden/Boston: Brill, 2009. (Intersections 13).
  • Jansen, J., Decorum, Observaties over de literaire gepastheid in de renaissancistische poëtica. Hilversum: Verloren, 2001.
  • Knaap, G.J. (red.), Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. 's Gravenhage: Nijhoff, 1987. (Rijks Geschiedkundige Publicatiën, 62).
  • Knaap, G.J., Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: KITLV, 2004.
  • Lausberg, H., Handbuch der literarischen Rhetorik. München: Max Hüber Verlag.
  • Leerssen, Joep, ‘Wildness, Wilderness, and Ireland: Medieval and Early-Modern Patterns in the Demarcation of Civility’. In: Journal of the History of Ideas 56 (1995), p. 25-39.
  • Marincola, J., ‘Speeches in Classical Historiography’. In: J. Marincola (ed.), A Companion to Greek and Roman Historiography. Vol. I. Malden etc.: Blackwell, p. 118-132.
  • Mbembe, Achille, ‘Necropolitics’. In: Public Culture 15 (2003) 1, p. 11-40.
  • Oestreich, Gerhard, Neostoicism and the early modern state. Cambridge: Cambridge University Press, 1982.
  • Pagden, Anthony, The fall of natural man. The American Indian and the origins of comparative ethnology. Cambridge: Cambridge University Press, 1982.
  • Plutarchus, Plutarch's Lives (Bernadotte Perrin, red.). Vol 1. London: Heinemann, 1914.
  • Rumphius, Georg Everard, De generale lant-beschrijvinge van het Ambonse gouvernement, behelsende en wat daaronder begrepen zij, mitsgaders een Summarisch verhaal van de Ternataanse en Portugeese regeering en hoe de Nederlanders eerstmaal daerin gecomen zijn, ofwel De Ambonsche lant-beschrijvinge (W. Buijze, ed.). Den Haag: Boekhandel A. Houtschild, 2001.
  • Skinner, Quentin, The foundations of modern political thought. Volume Two: The age of Reformation. Cambridge: Cambridge University Press, 1978.
  • Somers, J.A., ‘De VOC als volkenrechtelijke actor’. In: Pro Memorie 5 (2003) 2, p. 378-94.
  • Valentyn, F., Oud en Nieuw Oost-Indiën [...]. Dordrecht / Amsterdam: Johannes van Braam / Gerard onder de Linden, 1724-1726.
  • Veilingcatalogus, Catalogus exquisitissimorum et excellentissimorum librorum [...] Viri reverendi Fr. Valentyn [...]. Hagae Comitum, 1728.
  • Watson Andaya, Barbara, ‘Upstreams and downstreams in early modern Sumatra’. In: The Historian 57 (1995) 3, p. 537-532.
  • White, Hayden, ‘The Forms of Wildness: Archeology of an Idea’. In: Tropics of discourse: essays in cultural criticism. Baltimore: Joh  ns Hopkins University Press, 1978, p. 150-182

4 komentar:

  1. Dari catatan artikel di atas, sebagai seorang pembaca saya ingin sedikit mengomentari berkaitan Dengan tokoh yang di tuliskan dalam artikel ini mengenai namanya, "pelemao" Kemudian peristiwa yang terjadi sebagaimana Francois Valentyn ia menulis peristiwa tersebut terjadi di seram selatan tepatnya negeri sepa, sedangkan penulis menuliskan bahwa asal pelemao dari negeri besi , padahal secara geografis besi tidak terletak di seram selatan tetapi di seram Utara, kemudian kalau di lihat secara administratif besi bukan negeri adat tetapi salah satu Dusun dari negeri Sawai dan baru di mekarkan menjadi negeri administrtif.
    Sejarah tentang seorang tokoh yang di tulis dengan sebutan " pelemao " sendiri dalam masyarakat negeri sepa seringkali di tuturkan oleh tetua adat turun temurun kepada generasi, tapi namanya di kenal yang dalam bahasa sepa di sebut "polomahu" yang artinya ( polo = boleh, Mahu = setuju ) Di negeri sepa Polomahu adalah seorang raja yang tegas dan berwibawa.
    Terkait dengan peristiwa yang menyebabkan Pelemao ( polomahu ) di tahan hinggah disidangkan di Ambon oleh gubernur Belanda "De Vicq" dan para Hakim. Pelemao " ( Polomahu ) "di dakwakan membunuh masyarakatnya sendiri Dangan dalih karena masyarakatknya beragama kristen Adalah keliruh, Karena dalam hikayat masyarakat negeri sepa sendiri mengenai cerita/sejarah ini dikenal dengan peristiwa yang dalam bahas lokal ( sepa ) di sebut ( masalane ) yang artinya "( mau sarane )/ krestenisasi Yang di lakukan oleh Belanda kepada masyarakat negeri sepa. Masyarakat negeri sepa sendiripun merespon kegiatan Belanda ini karena di anggap merugikan, meresahkan dan memecah belah masyarakat negeri sepa yang dikena plural dan toleransi terhadap sesama. Ini dapat dibuktikan sampai sekarang masyarakat negeri sepa sendiri bukan dihuni oleh penduduk beragama Islam tetapi ada juga beragam kristen( Hatuhenu dan Nuweletetu), juga masyarakat nuaulu yang masih memegang agama leluhur. Untuk lebih jelas lagi mengenai dengan sejarah ini penulis bisa dapat mengkonfirmasikan langsung ke negeri sepa.

    Sekian terimakasih .......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penulis komentar di atas by Yusril lessy

      Hapus
  2. Perlu penulis ketahui bahwa Negeri besi awal bukan di seram Utara namun berada di seram selatan di atas wilayah Negeri Sepa yg sampai sekarang di kenal sebagai Pesi atau sebutan lain yaitu, Kunpesi,.
    Dan berbicara persoalan Negeri Sepa, seperti yg telah di kutip,secara Absolut berdasarkan THN 1678,itu keluar,perlu saudara penulis ketahui bahwa Negeri Sepa sudah ada sebelum itu.🙏🙏 hanya sekedar masukan sebagai bahan Referensi penulis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya tidak mengomentari tentang negeri sepa ada pada tahun berapa, saya hanya mengatakan bahwa tokoh yang di tuliskan di atas adalah seorang raja yang berasal dari negeri sepa karena cerita/hikayat yang di atas terjadi di negeri sepa dan peristiwa itu di sebut dengan masalane ( mau sarane ), Cerita tersebut turun-temurun di ceritakan kepada anak cucu. Terkait dengan besi yang sodara penulis menuliskan bahwasanya asal mereka dari seram selatan di wilaya negeri sepa dan namanya adalah pesi ( kunpesi ) maka hal ini penulis harus melakukan konfirmasi ke negeri sepa apakah iya bentar adanya seperti yang di asumsikan penulis, yang jadi pertanyaan terbesar bagi pembaca adalah tokoh yang dituliskan oleh penulis adalah seorang raja yang berasal dari besi, yang katanya awalnya berada di wilayah negeri sepa pertanyaannya mana mungkin suatu desa yang berada di bawah wilaya negeri sepa dapat memiliki raja sendiri. Selajutnya berkaitan dengan istilah pelemao ( Polomahu) sendiri bukan nama tapi gelar yang di berikan kepada raja dan untuk keturunnya juga.

      Mungkin penulis harus melakukan sedikit penelitian ke besi apakah benar pelemao itu dari besi dan peristiwa itu mereka mengetahuinya.
      Untuk lebih jelasnya lagi penulis bisa juga ke negeri sepa biar di tunjukan mana lokasi dan kampung-kampung kecil mana saja yang langsung pinda ke pulau-pulau lease. Semoga saran dan komentar ini dapat menjadi bahan revisi bagi penulis sekian terimakasih 🙏

      Hapus