Jumat, 26 Mei 2023

Orang Ambon Zaman Kuno : Etnografi Perbandingan dari Francois Valentyn (1724)

 

(bag 2 - selesai)

Siegfried Huigen

[University Wroclaw, Afrika Selatan]

 

Apa saja yang kencing di tembok”

Valentijn juga memiliki ambisi ilmiah dengan “Van de Amboineesen”, dan bahkan memberi kesan bahwa dia ingin menerbitkan buku terpisah tentang etnologi26. Seperti dalam usaha ilmiahnya, praktik etnografinya sebagian besar terdiri dari kumpulan perbandingan paralel dengan adat istiadat dan objek seperti yang dijelaskan dalam Alkitab dan teks sastra klasik kuno (lihat tabel 2). Terlebih mencolok lagi bahwa Valentijn memperkenalkan perbandingan dengan Alkitab tanpa syarat. Perbandingan adat-istiadat orang Ambon dengan adat-istiadat klasik zaman kuno tidak bermasalah karena keduanya menyangkut budaya asing dan non-Kristen; perbandingan dengan Alkitab, bagaimanapun, lebih bermasalah. Catatan perjalanan dan koreografi modern awal biasanya mewakili catatan negatif yang bias dari praktik-praktik non barat; adat-istiadat agama, misalnya, direpresentasikan sebagai parodi yang diilhami oleh iblis dari Kekristenan menurut Acosta27, atau sebagai representasi yang keliru dari wahyu suci yang asli28. Protestan juga menunjukkan kesamaan antara praktik agama kafir dan Katolik yang mengerikan29. Sebaliknya, Valentyn, mencatat kesamaan-kesamaan dengan Alkitab secara netral dan bahkan melangkah lebih jauh dengan menerapkan temuan etnografis pada eksegesis alkitabiah. Perbandingannya berhasil dalam 2 arah. 

Misalnya, ketika Valentyn mengamati barang-barang rumah tangga dan tempat tidur orang Ambon (166), dia menemukan bahwa orang Ambon tidur telanjang di bawah “pakaian besar, mirip dengan kerudung, yang mereka gunakan untuk menutupi tubuh mereka”. Kebiasaan ini mengingatkannya pada sebuah petikan dari Injil Markus (Markus 14: 51-52). Pada saat Yesus ditawan di Getsemani, sesosok misterius muncul : dan di sana mengikutinya seorang pemuda dengan kain linen yang disampirkan di sekitar tubuhnya yang telanjang; dan orang muda itu memeluk-Nya: dan dia meninggalkan kain linen itu, dan melarikan diri dari mereka dalam keadaan telanjang. Baik pemuda itu maupun kain linennya yang longgar itu telah menjadi inti penafsiran pada saat Valentyn melakukan pengamatannya. Valentyn mengira telah menemukan jawaban dalam budaya Ambon untuk apa sebenarnya kain linen pemuda atau “sindoon” (σινδών) itu.

Penafsiran Alkitab telah mengalami perubahan besar selama 2 abad sebelum Valentyn. Di negara-negara Protestan, penafsiran alegori abad pertengahan “ditindas” oleh penafsiran historis. Alih-alih mengaitkan makna moral, anagogis, atau eskatologis dengan teks-teks alkitabiah setelah menempatkan sensus litteralis (quadriga), generasi baru penafsir mengikuti jejak Erasmus dengan secara hati-hati merekonstruksi makna yang dimiliki teks Alkitab pada sumbernya. Menurut Erasmus, para penafsir harus memiliki pengetahuan tentang keadaan dimana sebuah teks dibuat untuk sepenuhnya memahami maksud penulisnya30. Bagian-bagian Alkitab dalam berbagai bahasa – Ibrani, Yunani, Aram dan Syiria – dibandingkan satu sama lain dan terkait dengan data sastra dan sejarah untuk memahami teks dalam konteks sejarah dan budaya aslinya. Ini sudah menjadi praktik yang diterima dalam filologi klasik31. Prinsip yang mendasari perkembangan ini dalam eksegesis alkitabiah adalah realisasi jarak historis yang ada antara penafsir modern dan teks asli; jarak yang harus dijembatani dengan cara filologis, histori dan, dalam kasus yang jarang terjadi, bahkan cara etnologis. Penafsir modern menganggap Alkitab sebagai dokumen bersejarah yang membutuhkan penjelasan interpretatif untuk dipahami, sama seperti teks sastra dari zaman kuno klasik. Pemahaman ini menghasilkan sejumlah besar pengetahuan32

Pergeseran dalam penafsiran alkitabiah sejak abad pertengahan diilustrasikan dengan baik oleh bagian dalam Injil Markus yang baru saja dikutip. Dalam penafsiran abad pertengahan, episode ini diambil sebagai alegori untuk “pelarian orang Kristen” dari dunia untuk mengikuti ketelanjangan Kristus. Pria muda itu juga diidentikkan dengan rasul Yohanes, karena dia masih muda dan paling mengasihi Yesus. Para penafsir Protestan dengan cepat menolak identifikasi ini, karena tidak ada fakta kuat yang mendukungnya. Dengan demikian, dalam penafsiran Alkitab Protestan, pemuda itu menjadi sosok tidak dikenal yang muncul entah dari mana.

Awalnya tidak ada yang menganggap perlu untuk mengomentari “sindoon” yang dikenakan oleh pemuda anonim itu, sampai sang pembaru, Beza, dalam Novum Testamentum (1565) mencatat bahwa “sindoon” itu adalah “kamisol”. Pria muda itu muncul dengan pakaian dalamnya. Sekitar tahun 1600, sebuah debat kecil diaduk di lingkungan eksegetik tentang apa sebenarnya pakaian ini; Isaac Casaubon berpendapat bahwa itu sebenarnya gaun malam, sebuah pendapat yang awalnya disukai, tetapi pada tahun 1663 sarjana Ibrani asal Inggris, John Lightfoot sebaliknya berpendapat bahwa pemuda itu mengenakan pakaian yang sangat tipis selama kondisi cuaca dingin, karena di ayat berikutnya Petrus ingin menghangatkan diri di dekat api (Markus 14: 53). Menurut Lightfoot, pakaian tipis ini menunjukkan bahwa pemuda itu adalah anggota sekte pertapa Essen. Bagi Lightfoot, pakaian ini menjadi penanda yang dengannya dia dapat merekonstruksi struktur sosial di Palestina abad pertama33.

Dalam terminologi eksegesis, penafsiran Valentyn tidak memiliki jangkauan yang sama seperti penafsiran Lightfoot. Valentyn hanya menetapkan bahwa orang Ambon tidur telanjang dan bahwa mereka menggunakan “pakaian besar, mirip kerudung, [.........] untuk menutupi tubuh mereka”; atas dasar pengamatan ini, dia menyarankan bahwa pakaian ini sama dengan “sindoon” dalam Injil Markus (hal 166). Yang luar biasa, bagaimanapun, adalah bahwa dia menggunakan pengamatannya sendiri untuk tujuan penafsiran – ahli etnografi dan penafsir Alkitab adalah orang yang satu dan orang yang sama. Isaac la Peyrère dan Hugo de Groot juga menggunakan data etnografis untuk komentar alkitabiah mereka, tetapi mereka mengandalkan pengamatan orang lain34.

Sementara Valentyn hanya secara tidak sengaja memperkenalkan kasus eksegesis etnologi ini, dia lebih memperhatikan 2 kasus lainnya. Yang pertama berkaitan dengan praktik orang Ambon buang air kecil dengan posisi berjongkok, yang berbeda dengan kebiasaan orang Eropa. Mengenali kebiasaan “oriental” ini, Valentyn berpendapat, orang dapat lebih memahami bagian teks tertentu dari “oriental” Perjanjian Lama:

Seseorang akan selalu melihat orang-orang di antara mereka [orang Ambon] berjongkok ketika mereka buang air kecil, tidak suka buang air kecil sambil berdiri, seperti seekor anjing dan bukan manusia. Ini menjelaskan ekspresi dari Kitab Suci dalam I Samuel 25: 34, ketika Daud berkata kepada Abigail, bahwa jika dia tidak datang untuk menemuinya, tidak akan ada yang tersisa bagi Nabal saat fajar menyingsing setiap orang yang kencing di dinding. Banyak sarjana, yang tidak terbiasa dengan ungkapan oriental ini, menafsirkannya seolah-olah tidak ada manusia yang akan tetap hidup, karena sudah menjadi kebiasaan di antara orang Kristen bahwa laki-laki buang air kecil di dinding atau rumah. Tetapi ini tidak bisa menjadi maknanya, karena di timur bukan laki-laki, tetapi hanya anjing yang melakukan ini. Untuk alasan ini, arti sebenarnya dari kata-kata ini adalah bahwa Daud bahkan tidak akan membiarkan seekor anjing hidup, atau seperti yang akan kita katakan tidak ada kucing atau anjing (hal 151)35.  

Interpretasi etnologis Valentyn, yang menyamakan kebiasaan orang Ambon dengan kebiasaan toilet orang-orang Yahudi di Perjanjian Lama, memiliki implikasi terhadap makna narasi alkitabiah. Atas dasar pengamatannya di Ambon, Valentyn menafsirkan ungkapan alkitabiah “apapun yang kencing di tembok”, yang umumnya menyiratkan “laki-laki”, sebagai metonim untuk “tidak ada anjing”, yang berarti “tidak ada”. Jadi Daud tidak hanya mengancam akan membunuh semua orang di rumah Nabal, tetapi ingin tidak ada (“tidak ada anjing”) yang dibiarkan hidup. Konsekuensi dari pembacaan semacam itu, bagaimanapun, adalah bahwa bahkan nyawa Abigail yang berbudi luhur pun berada dalam bahaya. Dengan mengikuti pendekatan “rabun” (miopi) dalam menafsirkan cara-cara buang air kecil, Valentyn lupa tentang prinsip penafsiran dari mengkontekstualisasikan bagian-bagian yang sulit dalam kaitannya dengan apa yang mendahului dan mengikuti bagian tersebut. Mengisolasi bagian teks dari konteksnya dipandang sebagai pelanggaran prinsip penafsiran yang tidak bias dan merugikan niat penulis36

Kebiasaan buang air kecil orang Ambon menawarkan rejeki nomplok yang lebih eksegetik. Dalam pengembaraannya di Ambon, Valentyn juga mengamati bahwa “Pribumi [orang Ambon] tidak menggunakan jamban, tetapi buang air besar di hutan atau di pantai”. Mengingat kemiripan yang diajukan antara orang Yahudi kuno dan orang Ambon modern, Valentyn pasti berasumsi bahwa orang Yahudi juga tidak memiliki toilet dan buang air di manapun ada kesempatan. Atas dasar perspektif ini, seseorang dapat memahami I Samuel 24: 4, “dimana dikatakan bahwa Saul pergi ke gua untuk menutupi kakinya” (hal 151). Berdasarkan pengamatannya di Ambon, Valentyn berasumsi bahwa orang Yahudi juga buang air di mana saja, misalnya di dalam gua. Dengan pemahaman yang baru ditemukan ini, bagaimanapun, dia secara tidak sengaja menciptakan kebingungan, karena sekarang tidak jelas apakah Saul buang air kecil atau buang air besar di dalam gua.

Valentyn mencurahkan banyak perhatian pada perhiasan-perhiasan orang Ambon, kemungkinan besar untuk meredam prasangka orang Belanda terhadap kurangnya kemampuan teknis orang Ambon. Seorang Gubernur Belanda, bagaimanapun, mengatakan bahwa semua orang Ambon mampu menempa emas dan perak. Valentyn, bagaimanapun, sangat memuji kualitas estetika perhiasan orang Ambon dan menunjukkan dengan jelas dimana dia memeriksanya. Pembaca juga dapat mengagumi representasi perhiasaan di halaman tambahan. Membahas soal perhiasaan itu, Valentyn membuat penemuan penafsiran lain, yaitu bahwa orang Ambon memiliki gelang yang mereka kenakan di dahi. Potongan-potongan perhiasan ini, menurut Valentyn, “perhiasan tertua dari orang-orang timur”, karena menurut Kitab Suci (Kejadian 24: 22,30,47) perhiasan itu telah dipakai pada zaman Abraham dan di dalam Alkitab Ibrani ada yang disebut “nezem” (hal 171). Tak satupun penafsir yang dikonsultasi Valentyn menyebutkan seperti apa perhiasan “nezem” ini, tetapi berkat upaya Valentyn, pembacanya sekarang dapat melihat representasi itu di kepala istri bekas kapitein Chinaa di lempeng XLV dengan inisial huruf D37 [gambar 3].

Valentyn terutama tertarik pada budaya material orang-orang Yahudi : perhiasaan, buang air besar, dan buang air kecil, “kerudung” pemuda itu dalam Injil Markus, dan juga kata [bahasa] Ambon untuk gendang atau “tifa” yang berhubungan dengan bahasa Ibrani, kata untuk drum/gendang yaitu “Toph”38. Itu adalah kepentingan sejarah dan filologis yang memang bertujuan untuk menemukan arti asli (germanus) dari Kitab Suci, tetapi paling banyak memiliki implikasi eksegetik yang terbatas atau tidak disengaja. Dalam penafsiran Valentyn, realia orang Ambon tidak lebih dari suplemen aneh untuk bagian-bagian dari Alkitab. 

Etnografi komparatif Valentyn dan eksegesis alkitabiah secara alami mempertanyakan pembenaran dari perbandingan tersebut. Apa itu perbandingan tertium?? . Sebagai permulaan ia mengasumsikan basis ontologis yang ditentukan secara geografis, yang menurutnya orang Yahudi dari Timur Dekat Kuno dan orang Ambon dari abad ke-17 dan ke-18 Asia Tenggara dapat dianggap sebagai bagian dari kelompok budaya yang sama, yaitu “Timur”. Dia berargumen bahwa semua orang Timur memiliki cara hidup yang seragam; oleh karena itu, pengamatan terhadap orang Ambon akan berguna untuk penafsiran Alkitab. Kepingan-kepingan dan perilaku sehari-hari orang Ambon mirip dengan yang ada di Alkitab, karena orang Timur tidak pernah berubah : “...........adat istiadat orang Timur secara kolektif seperti ini, dan begitu mereka mengadopsi suati kebiasaan, mereka mematuhinya selamanya” (hal 151). Bagi Valentyn, orang Ambon adalah museum terbuka yang besar, berpotensi juga dalam kaitannya dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak terkait langsung dengan Alkitab. Menurut etnologi Valentyn, orang dapat mengamati di sana secara langsung bagaimana orang-orang Yahudi seharusnya hidup.

Valentyn pada saat yang sama melihat kemiripan antara orang Ambon dan orang-orang lain dari zaman kuno/purba, karena semuanya berbagi “pertama kali”. Konstruksi temporal ini menghasilkan apa yang oleh Reinhart Koselleck sebut sebagai “Gleichzeitigket des Ungleichzeitigen” (“contemporaneity of the noncontemporaneuous”)39. Valentyn menjelaskan perbedaan budaya sebagai perbedaan waktu dengan mengalokasikan orang Ambon, dengan siapa dia berbagi “waktu alami”, ke tempat kuno yang menyebar, suatu periode yang dalam sejarah Eropa telah berlangsung lebih dari 1000 tahun dan bukan hanya milik orang Yunani dan Romawi, tetapi juga orang Batavia dan Yahudi kuno. Garis pemikiran ini sudah umum dengan penulis-penulis Yunani dan menjadi sangat populer di kalangan antropolog abad ke-19 yang, menurut  Johannes Fabian, menggunakan topos ini untuk menggambarkan yang lain sebagai terbelakang dan inferior40. Dalam kasus Valentyn, topos digunakan untuk membiasakan diri dan menilai kembali yang lain. Seperti yang telah kita lihat, perbandingan dengan orang Yunani dan orang Romawi memiliki tujuan retorika, yaitu untuk menunjukkan bahwa orang Ambon tidak seaneh atau tidak menyenangkan seperti yang dipikirkan oleh rekan-rekan Valentun di Belanda41. Keanehan klasik bagaimanapun juga masih memliki arti teladan bagi para pembaca Valentyn. Representasi keterbelakangan relatif setidaknya berpakaian sutra.

Meskipun Valentyn tidak secara eksplisit mengaitkan 2 model komparatifnya tentang orang Ambon – “orang timur yang tidak berubah” dan “pertama kali” – juga tidak menggunakannya secara sistematis, keduanya dapat dibedakan dalam penerapannya yang berbeda. Keduanya menambah nilai berbeda dalam cara pandang orang Ambon. Model komparatif “oriental” terutama mengarah pada wawasan teoritis, yang menurutnya Alkitab dapat lebih dipahami dan orang Ambon dianggap kurang aneh. Hal yang sama berlaku untuk model “pertama kali”, meskipun memiliki konsekuensi praktis yang potensial. Ini menempatkan orang Ambon ke dalam sejarah perkembangan umat manusia, dimana mereka mewakili fase perkembangan yang digantikan di Eropa. Berbeda dengan gagasan esensialis tentang orientalisme yang tidak berubah, model ini secara tepat menempatkan mereka dalam sejarah perkembangan yang progresif. Selama tinggal di Ambon, Valentyn telah mengamati bahwa mereka mulai meninggalkan fase perkembangan kuno mereka. Setelah penjelasannya tentang mitos idiot orang Ambon tentang asal usul, dia menyimpulkan: “sementara merka seperti ini di masa lalu, kebanyakan dari mereka lebih tahu sekarang” (hal 139). Ini, menurut Valentyn, karena pengaruh Belanda. 

Dengan filosofi sejarah ini, Valentyn termasuk dalam intelektual avant-garde abad ke-17 dan ke-18. Sama seperti Bacon, Fontenelle dan Malebranche, dia yakin bahwa umat manusia sedang menuju pencapaian yang lebih besar. Menurut gagasan kemajuan ini, purbakala/kekunoan adalah masa kanak-kanak umat manusia dan era modern adalah rumah bagi orang-orang yang lebih berpengalaman42. Dalam pengantar bukunya Oud en Nieuw Oost-Indien, Valentyn menggambarkan bagaimana manusia modern telah melampaui sesuatu yang Tua dalam navigasi dan pengetahuan geografis, sebuah pandangan yang berasal dari Bacon43. Filsfat sejarah Valentyn di “Van de Amboineesen” berbatasan dengan Fontenelle yang telah menerbitkan dongeng De l’origene des pada tahun yang sama (karena itu plagiarisme ditolak). Di dalamnya dia mengklaim bahwa “dongeng” berasal dari pikiran bodoh dari “orang pertama”44. Karena sejarah umat manusia berarti peningkatan rasionalitas, dan perolehan cara argumentasi yang “benar”45. Pandangan perkembengan ini juga berperan dalam kasus Pelimaob dan bahkan berpotensi melegitimasi proyek peradaban orang Belanda untuk orang Ambon.

 

Pembelaan [diri] Pelimao

Istilah “pertama kali” untuk fase perkembangan orang Ambon dan kuno klasik agak menyesatkan karena Valentyn menggambarkan fase perkembangan yang lebih primitif dimana dia menemukan jejaknya di pulau Nusa Laut dan Seram. Sampai saat ini penduduknya telah mempraktikan kanibal. Menurut Valentyn, ini adalah warisan kanibalisme yang dipraktikkan secara umum di Maluku di masa lalu. Valentyn memperhatikan pandangan Ptolemeus bahwa kanibalisme dipraktikkan di Sindae, dengan asumsi bahwa Ptolemeus mengacu pada Maluku (hal 138)46.

Valentyn mencurahkan lebih banyak waktu untuk [orang] Alifuru atau “orang liar di gunung” yang mendiami pedalaman pulau Seram, dan karenanya ia menyusun deskripsi etnografis47. Alifuru adalah kelompok pemburu/pemotong kepala yang terkenal, karena perburuan/pemotongan kepala adalah prasyarat untuk memperoleh seorang istri (hal 72-73); selain itu, mereka membunuh satu sama lain karena pelanggaran apapun atas nama kehormatan mereka (hal 80-81). Jika model perkembangan ala Acosta dalam Historia natural y moral de la Indias (1590), sebuah buku di perpustakaan milik Valentyn, diterapkan pada orang-orang tidak beradab dari pulau Seram ini, mereka memang akan mendapat peringkat yang sangat rendah. Acosta membedakan 3 fase perkembangan bangsa-bangsa “barbar”: bangsa-bangsa yang memiliki tulisan dan beberapa bentuk proses berpikir rasional, seperti Cina dan Jepang; bangsa tanpa tulisan, tapi dengan organisasi politik; dan terakhir di bagian skala paling bawah, telanjang, tidak beradab, pemakan manusia tanpa tempat tinggal permanen48. Dalam model Acosta, Alifuru dapat ditempatkan di suatu tempat antara tahap perkembangan kedua dan terendah; mereka memang berjalan telanjang, tetapi tinggal di desa/negeri dan memiliki struktur politik. Menurut Valentyn, mereka memiliki tingkat perkembangan yang lebih rendah daripada orang Ambon, yang berada di antara tahap menengah dan tertinggi dalam model Acosta, karena mereka [telah] menghasilkan setidaknya satu buku, Sejarah Hitu (Hikayat Tanah Hitu) oleh Ridjali (hal 175). Dalam pendapat Valentyn dan juga dalam model Acosta, fase perkembangan yang lebih rendah dari Alifuru ini menunjukkan jumlah rasionalitas yang terbatas. Dari perspektif ini, perilaku logis dari Radja Alifuru, Pelimao, sebagai tawanan sangat mengejutkan dan sekaligus menggembirakan, karena ia menyampaikan sesuatu tentang potensi rasional dari seluruh penduduk pribumi di kepulauan Ambon. Pelimao sendirian memungkiri ekspetasi pesimistis itu.

Pelimao tampaknya membela diri secara meyakinkan melawan para hakim Belanda, seperti yang telah kita lihat. Dia menunjukkan bahwa mereka tidak berwenang menghukumnya, dan bahwa dia sebagai penguasa yang berdaulat tidak melakukan kejahatan dengan menyiksa penduduk beragama Kristen yang tidak patuh sampai mati. Dia juga tidak menghalangi VOC jika ingin menghukum rakyatnya sendiri yang tidak patuh. Dengan argumen ini, Pelimao mengajukan argumentasi terbaik yang tersedia dalam retorika forensik: tindakannya sah dan hakimnya tidak berwenang untuk menghukumnya49. Belakangan, para hakim mengaku kepada Valentyn bahwa mereka seharusnya membebaskannya. Hal itu tidak pernah terjadi, karena Pelimao begitu sakit hati tentang nasibnya sehingga dia membuat dirinya kelaparan sampai mati, dan akibatnya, menurut Valentyn, membantu Gubernur untuk keluar dari situasi yang sulit. 

Catatan Valentyn tentang potongan sejarah ini luar biasa. Bahwa Valentyn sebagai pendeta dalam layanan VOC akan memilih berpihak pada Radja gunung yang kejam dan buasa (hal 179) dan pembunuh orang Kristen adalah tanda yang mencolok dari sudut pandangnya50. Apresiasi Valentyn untuk sudut pandang Pelimao tampaknya didasarkan pada cara berpikir legalis51. Bagaimana pun juga, Pelimao adalah sekutu independen VOC; hubungan yang telah ditentukan berdasarkan hukum internasional. Dalam Mare liberum, Hugo de Groot menyatakan bahwa “pulau-pulau ini [...........] selalu memiliki raja sendiri, negara sendiri, hukum dan sistem hukum”52. VOC hanya mengklaim kedaulatan atas Ambon di Maluku karena mereka menaklukkan pulau itu dari Portugis, dan oleh karena itu merupakan warisan mereka yang sah; mereka tidak mengklaim [pulau] Seram53. Secara konstitusional, Pelimao berhak menghukum para pelanggar pajak; menueur teori konstitusional Lipsius, Raja dapat, jika perlu, bahkan memeras mereka54. Sekali lagi, Pelimao menunjukkan kepada para interogatornya bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk menilai cara dia menghukum rakyatnya: “Berkenaan dengan kekejaman, mengapa anda [hakim Belanda] begitu kejam sampai menggantung pencuri, seseorang yang telah mencuri sesuatu?? Bukankah itu karena dia melanggar hukummu dan berdosa terhadapmu, dan untuk mencegah orang lain??” (hal 178). Dia kemudian berpendapat bahwa setiap orang memiliki cara hukuman mereka sendiri, jadi mengapa kemudian dianggap aneh jika seorang Raja gunung yang tidak beradab memberikan hukuman yang lebih berat daripada kematian di tiang gantungan???. Valentyn memberi Pelimao hak untuk menentukan agama rakyatnya, sesuatu yang juga umum dilakukan di Eropa selama rezim kuno. Dengan menggambarkannya sebagai raja berdaulat yang telah ditawan secara tidak adil, Valentyn secara tidak sengaja berkomentar tentang politik patuh dari otoritas kolonial yang lebih rendah di Hindia Belanda/Timur. Menurut Valentyn, tindakan Gubernur De Vicqc terhadap Pelimao adalah tanda kebodohan tercela “yang lebih banyak terjadi di Hindia, meskipun sedikit tidak melayani kompeni yang terhormat” (hal 179).

Valentyn memanfaatkan peristiwa Pelimao terutama untuk menyampaikan kemampuan intelektual penduduk Ambon. Pelimao membuktikan bahwa dia bisa membela diri secara memadai; ia memiliki “alasan” (hal 179) untuk “membantah” (hal 175) dan oleh karena itu merupakan “contoh pengertian dan pemahaman” (hal 175) yang dapat ditemui di semua penduduk kepulauan Ambon. Kejadian ini akan menjadi rujukan masa depan bagi orang Ambon karena Pelimao mewakili “mereka yang dianggap paling buruk, dan paling cuek”, sementara banyak di antara orang Ambon, “setelah bertahun-tahun berhubungan dengan orang Belanda dan memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki alasan, harus jauh lebih cerdas dan lebih pintar dari raja ini, yang saya biarkan para pembaca menjadi hakimnya/penilainya” (hal 175).

Selama 2 halaman atau lebih, Valentyn memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk mengikuti penalaran Pelimao dalam “pidato” langsung dan tidak langsung. Saat Valentyn tiba di Ambon, Pelimao sudah 8 tahun meninggald. Namun pidatonya terdengar seolah-olah Valentyn telah mencatat kata-katanya dengan singkat selama masa persidangannya. Kata-kata Pelimao direkonstruksi dari apa yang dikatakan “banyak hakim” (hal 178), atau lebih tepatnya “hakim yang sangat kompeten” (hal 179) katakan kepada Valentyn. Itu adalah teknik retoris yang umum digunakan dalam historiografi sejak zaman kuno klasik untuk memberikan pidato langsung kepada pahlawan sehingga membuat etos karakter diketahui. Sejak akhir abad ke-17, teknik ini semakin dikritik karena dianggap terlalu sulit untuk menentukan dengan tepat bagaiman seorang tokoh sejarah berbicara dalam kehidupan nyata55.

Dalam rekonstruksi pidato Valentyn, Pelimao memang tampaknya memiliki penilaian yang baik (iudicium) dalam pengertian bahwa dia menilai situasinya dan karena itu tahu bagaimana bernalar dan kata-kata mana yang harus digunakan. Sepertinya dia juga memiliki pemahaman yang baik tentang situasi hukum dan politik – sebuah tanda kehati-hatian56. Cara dia bernalar lebih mengesankan lagi. Salah satu saksi Valentyn menyatakan bahwa “dia memberi tahu mereka hal-hal ini dengan begitu banyak kejujuran dan kekuatan, tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, dengan meyakinkan dan dengan semangat sebanyak yang bisa dilakukan oleh orang Belanda terbaik” (hal 179). Dengan demikian penalaran Pelimao memiliki semua kualitas yang dibutuhkan untuk meyakinkan para hakim tentang sudut pandangnya, yang atas dasar itu mereka hampir membebaskannya. Bahwa dia membuat dirinya kelaparan sampai mati bertentangan dengan keinginan Gubernur, pasti telah membuat kesan simpatik pada pembaca yang banyak membaca dalam sejarah Yunani (hal 139). Bukankah ini mengingatkan pada mitos pemberi hukum Sparta, Lycurgus yang, menurut Plutarch, “mengakhiri hidupnya melalui pantangan total dari makanan karena dia percaya bahwa itu adalah tugas gubernur untuk melayani negara bahkan dengan kematiannya??”57. Dengan kematiannya, Pelimao melayani apa yang Valentyn bayangkan menjadi negara Alifuru. Di mata Pelimao (dan Valentyn), kedaulatan tampaknya terutama terdiri dari hak untuk mengontrol hidup dan mati rakyatnya. Dengan mengatur kematiannya sendiri dan dengan demikian lolos dari hukuman mati oleh orang Belanda, Pelimao sampai saat terakhir memegang hak kedaulatannya. Satu-satunya hal yang harus dilakukan Gubernur adalah “menyeret” jenazah Pelimao ke jalan-jalan dan menggantungnya di tiang gantungan, sehingga seolah-olah dia memiliki andil dalam kematian Pelimao58.

Nasib Pelimao tetap berlaku terhadap pembelaan Valentyn kepada orang Ambon. bertentangan dengan anggapan di kalangan kolonial Belanda, ia menunjukkan kepada pembacanya bahwa tidak ada yang salah dengan kapasitas intelektuan orang Ambon. sebenarnya pegawai kolonial, Gubernur De Vicq, yang harus disalahkan atas penilaian yang buruk tersebut. Valentyn lebih jauh menempatkan aspek deterministik yang mungkin dalam model perkembangannya sendiri ke dalam perspektif, dimana tidak jelas bagaimana orang dapat mengatasi keadaan keterbelakangan mereka sendiri. Raja gunung yang tidak beradab, Pelimao, sepertinya menunjukkan jalannya. Melalui perilakunya, ia membuktikan bahwa ia dapat bernalar dengan orang-orang Belanda terbaik, pada saat yang sama orang Ambon sudah lebih berkembang dalam kemajuan intelektualnya melalui kontak yang teratur dengan orang Belanda. Valentyn dengan ini membuktikan bahwa penduduk Ambon memiliki kemampuan bawaan untuk menjadi sempurna dan beradab. Dia tidak hanya menemukan defisit kebiasaan dan menempatkannya dalam perspektif melalui perbandingan dengan yang akrab, tetapi pada Pelimao, dia menemukan orang yang rasional. Implikasinya, jika raja gunung yang tidak beradab ini memiliki potensi untuk mengatasi ketertinggalannya, maka tentunya orang Ambon yang selangkah lebih maju dari segi peradaban bisa melakukan hal yang sama. Orang-orang Alifuru, Ambon, dan Belanda tampaknya termasuk dalam sejarah perkembangan umat manusia yang sama, tetapi ada di zaman yang berbeda, yang bahkan jaraknya dapat diukur dengan membandingkan “masa-masa” zaman kuno klasik dan orang Ambon dengan modernitas orang Belanda di abad ke-18. Patokannya adalah orang Belanda, yang perkembangan teknologi dan intelektualnya menjadi contoh bagi orang Ambon59. Dalam perkembangan historiografinya, ahli etnografi menempati posisi yang lebih tinggi. Dia bisa membayangkan lintasan yang harus dilintasi penduduk pribumi untuk mencapai periode waktu dimana ahli etnografi berada. Bahwa lintasan ini memang bisa dilintasi ditunjukkan oleh kemampuan orang seperti Pelimao dan kemajuan yang dicapai orang Ambon sejak kontak mereka dengan orang Belanda. Valentyn dengan demikian memulai dengan proyek peradaban kolonial.

===== selesai =====

Catatan Kaki

26.    Dia tidak merinci perbandingan khusus ini, karena itu “akan membawa kita di luar jangkauan kita, dan lebih baik dibatasi pada karya yang bersifat lain, jika masih memungkinkan” (Valentyn, 1724 : II, I, 149)

27.     Pagden A., The Fall of Natural Man 174–176; Hodgen M.T., Early Anthropology in the Sixteenth and Seventeenth Centuries (Philadelphia: 1964) 301–302.

28.     Hodgen, Early Anthropology 302–303.

29.    Ibid., 309.

30.    Menurut apa yang disebut prinsip kesopanan dalam eksegetika, pengetahuan tentang keadaan dimana (bagian) teks dibuat diperlukan untuk memahami maksud penulis (Eden K., Hermeneutics and the Rhetorical Tradition. Chapters in the Ancient Legacy and its Humanist Reception (New Haven: 1997) 73).

31.      De Jonge H.J., “Joseph Scaliger’s Historical Criticism of the New Testament”, Novum Testamentum 38, 2 (1996) 177.

32.     Shuger memberikan gambaran cemerlang tentang perkembangan eksegesis alkitabiah modern awal (Shuger D.K., The Renaissance Bible. Scholarship, Sacrifice, and Subjectivity (Berkeley: 1994) 11–53). Lihat Hobbs untuk studi kasus tentang eksegesis historis (Hobbs G.R., “How Firm a Foundation: Martin Bucer’s Historical Exegesis of the Psalms”, Church History 53, 4 (1984) 477–491).

33.     Kermode F., The Genesis of Secrecy. On the Interpretation of Narrative (Cambridge, MA.: 1979) 55–73; Shuger, The Renaissance Bible 30–1; Jackson H.M., “Why the Youth Shed His Cloak and Fled Naked: The Meaning and Purpose of Mark 14: 51–52”, Journal of Biblical Literature 116, 2 (1997) 273–289; Leithart P.J., “Critical Note. Nabal and his wine”, Journal of Biblical Literature 120, 3 (2001) 525–527.

34.     Scholder K., The Birth of Modern Critical Theology. Origins and Problems of Biblical Criticism in the Seventeenth Century (London: 1990) 86; Shuger, The Renaissance Bible 54–88. Pola umum dicirikan oleh pembagian antara ahli filologi, pengelana dan sejarahwan (lihat Miller P.N., “A Philologist, a Traveller and an Antiquary Rediscover the Samaritans in Seventeenth-Century Paris, Rome and Aix: Jean Morin, Pietro Della Valle and N.-C. Fabri de Peiresc”, in Zedelmaier H. and Mulsow M. (eds.), Die Praktiken der Gelehrsamkeit in der frühen Neuzeit (Tübingen: 2001) 123–146).

35.     I Samuel 25:34: “For in very deed, as the LORD God of Israel liveth, which hath kept me back from hurting thee, except thou hadst hasted and come to meet me, surely there had not been left unto Nabal by the morning light any that pisseth against the wall.”

36.    Eden, Hermeneutics and the Rhetorical Tradition 73–75.

37.     Peter Burke menunjukkan meningkatnya penggunaan materi visual sebagai bukti dalam buku-buku abad ke-17 (Burke P., “Images as Evidence in Seventeenth-Century Europe”,  Journal of the History of Ideas 64, 2 (2003) 273–296).

38.     Secara umum diasumsikan bahwa bahasa Ibrani adalah bahasa tertua  (Hodgen, Early Anthopology 307)

39.    Koselleck R., “Fortschritt”, in Brunner O. – Koselleck R. (eds.), Geschichtliche Grundbegriffe. Historisches Lexikon zur politisch-sozialen Sprache in Deutschland II (Stuttgart: 1975) 391.  Bagi Koselleck, identifikasi budaya non-barat ini dengan periode awal dari sejarah Eropa hanya satu contoh dari “Ungleichzeit des Gleichzeitigen” (kontemporer dari non kontemporer), yang ia lihat sebagai dasar dari kesadaran sejarah.

40.    Fabian berbicara tentang “penolakan kesamaan” (Fabian  J., Time and the Other. How Anthropology Makes its Object (New York: 1983) 1, 31). Karena asosiasi anakronistik yang tidak diinginkan dengan antropologi abad kesembilan belas, lebih baik tidak menerapkan wawasan Fabian pada rekonstruksi temporal hubungan budaya Valentyn. Koselleck menunjukkan bahwa Thucydides, Plato, dan Aristoteles telah menghistoriskan pertentangan antara Yunani dan orang barbar. barbarian (Koselleck R., Futures Past. On the Semantics of Historical Time (New York: 2004) 164).

41.      Komentar Ryan dengan mengacu pada catatan Spanyol abad keenam belas tentang orang India juga relevan untuk Valentyn: “Ada kegembiraan yang hampir seperti anak kecil yang menelusuri daftar kesesuaian ini, seolah-olah penemuan sebenarnya bukanlah eksotisme dari yang lain tetapi yang kesamaan terakhir dengan orang-orang yang sudah berasimilasi dengan kesadaran Eropa” (Ryan, “Assimilating New Worlds” 529).

42.     Tentang pengertian kemajuan sekitar tahun 1700, lihat : Koselleck, “Fortschritt”, 372–8, 395–403; Nisbet R.A., History of the Idea of Progress (New York: 1980) 112–167; Taguieff P.-A., L’idée de progrès. Une approche historique et philosophique (Les Cahiers du CEVIPOF 32) (2002); Schlobach J., “Progrès”, in Delon M. (ed.), Dictionnaire européen des Lumières (Paris: 2007) 1041–1045.

43.     Huigen S., “De zaak Valentyn : plagiaat en wetenschappelijk decorum aan het begin van de achttiende eeuw”, Tijdschrift voor Nederlandse taal- en letterkunde (in press).

44.     “De l’origine des fables”  ditulis antara tahun 1691 dan 1699 dan diterbitkan dalam tahun 1724 dalam Rêveries (Taguieff, L’idée de progrès 55, n. 337).

45.     Taguieff, L’idée de progrès 56.

46.    See further Huigen, S., “De smaak van mensenvlees”, De Gids (May 2008) 375–383.

47.      “Van de Alfoereesen” (Valentyn 1724: II, I, 71–82).

48.     Pagden, The Fall of Natural Man 162–169.

49.    Pelimao meminta pembelaan tingkat tertinggi dalam setiap pidato forensik yang disebut status absoluta dan status trnaslationist (Lausberg H., Handbuch der literarischen Rhetorik 97–98, 83).

50.    Niemeijer H.E., “Orang Nasrani. Protestant Ambon in de zeventiende eeuw”, in Schutte G.J. (ed.), Het Indisch Sion. De Gereformeerde kerk onder de Verenigde Oost-Indische Compagnie (Hilversum: 2002) 127–146.

51.      See Skinner Q., The Foundations of Modern Political Thought. Volume Two: The Age of Reformation (Cambridge: 1978) 254–301.

52.     ‘Habent insulae [. . .] et semper habuerunt suos reges, suam republicam, suas leges, sua iura’. Cited in Somers J.A., “De VOC als volkenrechtelijke actor”, Pro Memorie 5, 2 (2003) 398.

53.     Ibid., 386–387.

54.     Oestreich G., Neostoicism and the Early Modern State (Cambridge: 1982) 47–48.

55.     Marincola J., “Speeches in Classical Historiography”, in Marincola J. (ed.), A Companion to Greek and Roman Historiography I (Malden etc.: 2007) 118–132; Grafton A., What was History? The Art of History in Early Modern Europe (Cambridge: 2007) 9–61.

56.    On iudicium and prudential, see Jansen J., Decorum. Observaties over de literaire gepastheid in de renaissancistische poëtica (Hilversum: 2001) 299–342.

57.     Plutarch , Lives I, ed. Perrin B. (London: 1914) 294–295.  Bagi pembaca abad ke-18 yang terpelajar, ini mungkin menggemakan pidato pangeran barbar, Adherbal, di hadapan senat sebagai sekutu setia Roma (Sallust, Jugurtha XIV, 14).

58.     Pembacaan kematian Pelimao ini didasarkan pada pandangan Mbembe tentang pelaksanaan kedaulatan : “[...............] to kill or to allow to live constitute the limits of sovereignty, its fundamental attributes. To exercise sovereignty is to exercise control over mortality and to define life as the deployment and manifestation of power’ (Mbembe A., “Necro politics”, Public Culture 15, 1 (2003) 10–11).

59.    Lihat Motsch tentang Lafitau (Motsch, Lafitau et l’émergence du discours ethnographique77–81.)

 

Catatan Tambahan

a.        istri bekas kapitein China yang dimaksud adalah istri dari Lim Tiangko, kapitein China di Ambon yang berkuasa sejak 1699 – 19 Juli 1707

§  Valentyn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 1, hal 171

b.       Menurut sumber dari Gerrit J Knaap, Pelimau atau Pelimahu/Pelemahu adalah koning/Radja dari negeri Besi. Ia melakukan pembunuhan terhadap 8 orang penduduk negeri Sepa yang baru memeluk agama Kristen pada tanggal 11 November 1677

§  Gerrit J Knaap, Memories van Overgave van Gouverneurs van Amboina in de zeventiende en achhtiende eeuw, Martinus Nijhoff : s’Gravenhage, 1987, hal 239, catatan kaki nomor 1

c.        Gubernur De Vicq yang dimaksud adalah Robert de Vicq, Gubernur VOC Amboina yang berkuasa sejak 1678 – 1682.

d.       Francois Valentyn tiba di Ambon pada tahun 1686, yang berarti Pelimao meninggal pada tahun 1678.

Selective Bibliography

§  Acosta J. de, Historie Natuael en Morael van de Westersche Indien, trans. Jan Huygen van Linschoten (Amsterdam, Cloppenburgh: 1624).

§  Auction catalogue, Catalogus exquisitissimorum et excellentissimorum librorum [. . .] Viri reverendi Fr. Valentyn [. . .] (The Hague, Alberts & Van der Kloof: 1728).

§  Bartels D., In de schaduw van de berg Nunusaku. Een cultuur-historische verhandeling over de bevolking van de Midden-Molukken (Utrecht: 1994).

§  Buijze W. (ed.), De generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius (The Hague: 2001).

§  Burke P., “Images as Evidence in Seventeenth-Century Europe”, Journal of the History of Ideas 64, 2 (2003) 273–296.

§  Coronil F., “Listening to the Subaltern: The Poetics of Neocolonial States”, Poetics Today 15 (1994) 643–658.

§  Eden K., Hermeneutics and the Rhetorical Tradition. Chapters in the Ancient Legacy and its Humanist Reception (New Haven: 1997).

§  Fabian J., Time and the Other. How Anthropology Makes its Object (New York: 1983).

§  Fisch J., Hollands Ruhm in Asien. François Valentyns Vision des niederländischen Imperiums im 18. Jahrhundert (Stuttgart: 1986).

§  Grafton A., What was History? The Art of History in Early Modern Europe (Cambridge: 2007).

§  Hobbs G.R., “How Firm a Foundation: Martin Bucer’s Historical Exegesis of the Psalms”, Church History 53, 4 (1984) 477–491.

§  Hodgen M.T., Early Anthropology in the Sixteenth and Seventeenth Centuries (Philadelphia: 1964).

§  Huigen S., Knowledge and Colonialism. Eighteenth-Century Travellers at the Cape (Leiden/Boston: 2009). Translation of: Verkenningen van Zuid-Afrika. Achttiende-eeuwse reizigers aan de Kaap.
——, “De smaak van mensenvlees”, De Gids (2008) 375–383.
——, “De zaak Valentyn : plagiaat en wetenschappelijk decorum aan het begin van de achttiende eeuw”, Tijdschrift voor Nederlandse taal- en letterkunde (in press).

§  Jackson H.M., “Why the Youth Shed His Cloak and Fled Naked: The Meaning and Purpose of Mark 14:51–52”, Journal of Biblical Literature 116, 2 (1997) 273–289.

§  Jansen J., 2001. Decorum. Observaties over de literaire gepastheid in de renaissancistische poëtica
(Hilversum: 2001).

§  Jonge H.J. de, “Joseph Scaliger’s Historical Criticism of the New Testament”, Novum Testamentum 38, 2 (1996) 176–193.

§  Johnson J.W., “‘Of Differing Ages and Climes’”, Journal of the History of Ideas, 21, 4 (1960) 465–480.

§  Kermode F., The Genesis of Secrecy. On the Interpretation of Narrative (Cambridge, MA.: 1979).

§  Knaap G.J., Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende
eeuw
(The Hague: 1987).
——, Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van
Ambon 1656–1696
(Leiden: 2004).
——, “De Ambonse eilanden tussen twee mogendheden”, in Locher-Scholten E. – Rietbergen P.J.A.N. (eds.), Hof en handel. Aziatische vorsten en de VOC, 1620–1720 (Leiden: 2004) 35–58.

§  Kolb P., Capvt Bonae Spei Hodiernvm: das ist, Vollständige Beschreibung des Afrikanischen Vorgebürges der Guten Hofnung (Nürnberg, Monath: 1719).

§  Korteweg P., De nieuwtestamentische commentaren van Johannes Drusius (1550–1616) (Dissertation, Leiden: 2006).

§  Koselleck R., “Fortschritt”, in Brunner O. – Koselleck R. (eds.), Geschichtliche Grundbegriffe. Historisches Lexikon zur politisch-sozialen Sprache in Deutschland II (Stuttgart: 1975)
351–423.

——, Futures Past. On the Semantics of Historical Time (New York: 2004).

§  Lafitau J.-F., Mœurs des sauvages américains comparées aux mœurs des premiers temps (Paris, Saugrain & Hauchereau: 1724).

§  Lausberg H., Handbuch der literarischen Rhetorik (München: 1960).

§  Leithart P.J., “Critical Note. Nabal and his wine”, Journal of Biblical Literature 120, 3 (2001) 525–27.

§  Loose L.J., “Kerk en zendingsbevel” in Schutte G.J. (ed.), Het Indisch Sion. De Gereformeerde kerk onder de Verenigde Oost-Indische Compagnie (Hilversum: 2002) 25–42.

§  Marincola J., “Speeches in Classical Historiography”, in Marincola J. (ed.), A Companion to Greek and Roman Historiography I (Malden etc.: 2007) 118–132.

§  Mbembe A., “Necropolitics”, Public Culture 15, 1 (2003) 11–40.

§  Miller P.N., “A Philologist, a traveller and an antiquary rediscover the Samaritans in seventeenth-century Paris, Rome and Aix: Jean Morin, Pietro della Valle and N.-C.

§  Fabri de Peiresc”, in Zedelmaier H. – Mulsow M. (eds.), Die Praktiken der Gelehrsamkeit in der frühen Neuzeit (Tübingen: 2001) 123–146.

§  Motsch A., Lafitau et l’émergence du discours ethnographique (Sillery, Québec: 2001).

§  Niemeijer H.E., “Orang Nasrani. Protestants Ambon in de zeventiende eeuw”, in Schutte G.J. (ed.), Het Indisch Sion. De Gereformeerde kerk onder de Verenigde Oost-Indische Compagnie (Hilversum: 2002) 127–146.

§  Nisbet R.A., History of the Idea of Progress (New York: 1980).

§  Oestreich G., Neostoicism and the Early Modern State (Cambridge: 1982).

§  Pagden A., The Fall of Natural Man. The American Indian and the Origins of Comparative Ethnology (Cambridge: 1982).
——, “Human Rights, Natural Rights, and Europe’s Imperial Legacy”, Political Theory 31, 2 (2003) 171–199.

§  Plutarch, Plutarch’s Lives I, ed. B. Perrin (London: 1914).

§  Rubiés J.-P., “Hugo Grotius ’s Dissertation on the Origin of the American Peoples and the Use of Comparative Methods”, Journal of the History of Ideas 52, 2 (1991) 221–244.

§  Ryan M.T., “Assimilating New Worlds in the Sixteenth and Seventeenth Centuries”, Comparative Studies in Society and History 23, 4 (1981) 519–538.

§  Schlobach J., “Progrès”, in Delon M. (ed.), Dictionnaire européen des Lumières (Paris: 2007) 1041–1045.

§  Scholder K., The Birth of Modern Critical Theology. Origins and Problems of Biblical Criticism in the Seventeenth Century (London: 1990).

§  Seznec J., The Survival of the Pagan gods. The Mythological Tradition and its Place in Renaissance Humanism and Art (New York: 1953).

§  Shuger D.K., The Renaissance Bible. Scholarship, Sacrifice, and Subjectivity (Berkeley: 1994).

§  Skinner Q., The Foundations of Modern Political Thought. Volume II: The Age of Reformation (Cambridge: 1978).

§  Somers J.A., “De VOC als volkenrechtelijke actor”, Pro Memorie 5, 2 (2003) 378–94.

§  Taguieff P.-A., L’idée de progrès. Une approche historique et philosophique (Les Cahiers du CEVIPOF 32) (September 2002).

§  Tertullian L’Apologétique et les prescriptions de Tertullien (Paris: 1823).

§  Valentyn F., Oud en Nieuw Oost-Indiën [. . .]. (Dordrecht/Amsterdam, Van Braam and Onder de Linden: 1724–1726).

  • Weber W., “‘What a Good Ruler Should Not Do’: Theoretical Limits of Royal Power in European Theories of Absolutism, 1500–1700”, Sixteenth Century Journal 26, 4 (1995) 897–915.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar