Minggu, 05 Desember 2021

Dari Potong Kepala hingga Pajak Kepala : Kekerasan, Pajak, dan Pemerintahan Kolonial di Seram, ca. 1860-1920


(bag 1) 

 [Maarten Manse]


  A.    Kata Pengantar

Artikel ini ditulis oleh Maarten Manse, seorang sarjana dari Universitas Leiden, Belanda, dan dimuat pada jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, volume 177, tahun 2021, halaman 524-558, dengan judul From Headhunting to Head Taxes : Violance, Taxation, and Colonial Governance on Seram, ca. 1860-1920.

Seperti tergambar pada judulnya, artikel sepanjang 35 halaman ini membahas tentang upaya pemerintahan kolonial Belanda untuk menaklukan wilayah pedalaman di pulau Seram. Sejak awal abad ke-17, saat Belanda mengusir Portugis dari wilayah kepulauan Ambon, VOC tidak terlalu menaruh perhatian serius pada wilayah-wilayah  pedalaman/pegunungan  di pulau Seram untuk ditaklukan. Hal ini karena menurut mereka, wilayah-wilayah tersebut kurang menguntungkan dari sisi ekonomi maupun politik. VOC hanya sesekali memanfaatkan orang-orang pedalaman atau pegunungan, yang mereka sebut Alfuru, untuk membantu VOC dalam penyerangan terhadap wilayah-wilayah kaum pribumi, khususnya kaum Muslim di Hoamoala.

Namun, mulai akhir abad ke-19 karena terpengaruh arus liberalisme dalam perpolitikan dunia, pemerintah kolonial Belanda mulai merubah kebijakan politik mereka, dengan lebih berfokus untuk “memperadabkan” orang-orang pegunungan ini. Dalam usaha menaklukan dan “memperadabkan” wilayah-wilayah asing inilah, pemerintah kolonial melakukan intervensi militer dan memberlakukan pajak kepala di wilayah-wilayah itu. Hal inilah yang menjadi bahasan utama dalam kajian Maarten Manse. Namun perlu diketahui, pembahasan Marten Manse ini lebih berfokus pada wilayah-wilayah di Seram bagian barat, dan bukan pada wilayah tengah maupun timur pulau Seram.

Seperti disebutkan, artikel sepanjang 35 halaman ini, terdiri dari 69 catatan kaki, 4 gambar ilustrasi, 2 tabel, dan 4 halaman untuk bibliografi/sumber yang digunakan oleh penulis. Pada artikel yang kami terjemahkan ini, kami membagi artikel ini menjadi 2 bagian, hanya menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan catatan tambahan yang diperlukan.

 

B.     Terjemahan 

Abstract

Artikel ini menyelidiki praktik kolonial Belanda di pulau Seram Maluku pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pedalaman pegunungan Seram adalah wilayah yang tidak diperintah, suku Alfur yang terlibat dalam pengayauan (potong kepala). Untuk waktu yang lama, mereka tidak tersentuh oleh kolonialisme dan dikelola melalui perantara di pesisir. Setelah tahun 1900, semangat peradaban imperial yang diperbaharui menuntut penggabungan langsung dan “menjadikan beradab” ruang-ruang di Seram. Serangkaian ekspedisi membuat suku Alfur didaftarkan, dikategorikan, dan dikenai pajak, yang menurut kajian ini dipandang sebagai alat moral rekayasa sosial kolonial yang sangat penting, yang digunakan untuk memasukan orang-orang yang tunduk ke dalam negara dan menanamkan perilaku yang patuh dan “produktif”. Namun, alih-alih menggantikan tatanan pribumi dengan modernitas Eropa, kolonisasi menghasilkan perpaduan hibrida dari strategi dominasi kolonial dengan praktik budaya pribumi dari penghindaran negara. Artikel ini menunjukan bahwa pemerintahan kolonial adalah tempat interaksi, dimana developmentalisme kolonial dan modernitas secara aktif dinegosiasikan dan ditantang.


Tata negara kolonial dipandang sangat terkait dengan proses akumulasi pengetahuan dan pengumpulan data. Para sarjana dekade terakhir telah mengungkap bagaimana praktik dan modalitas konstruksi pengetahuan merupakan bagian integral dari pembentukan dan perluasan kerajaan kolonial modern dan ambisi developmentalis mereka (Noor 2020: 17; Cohn 1996).

Artikel ini mencerminkan proses akuisisi, perluasan, pengembangan, dan reformasi pengetahuan kolonial dan bertujuan untuk menunjukan bahwa strategi akumulasi dan intervensi pengetahuan jarang disepakati, bergeser dari waktu ke waktu, dan tunduk pada tantangan konstan dari dalam dan luar negara. Kajian ini membahas kasus pulau Seram Maluku, dengan memeriksa pengenalan pajak, yang menurut saya memainkan peran penting dalam proses ekspansi kolonial, penaklukan, dan pembangunan. Pulau Seram memberikan studi kasus yang sangat baik untuk analisis mendalam tentang ambisi kolonial untuk perbaikan sosial dan cara-cara ini dikompromikan oleh perpaduan agen lokal dan kesulitan dalam negara kolonial.

Sementara di seluruh Indonesia, pejabat Belanda menempatkan berbagai aspek sosial untuk mengikat sistem perpajakan dan pemerintahan mereka, Seram termasuk di antara “ruang tanpa negara” yang dianggap tidak memiliki sumber daya ekonomi atau peluang untuk pembangunan negara dan perpajakan (Boulan-Smit 1998: 43; Tichelman 1925: 690-692). Interiornya yang bergunung-gunung dan berhutan lebat tetap menjadi wilayah yang belum dipetakan oleh orang Eropa sebagai domain “pembangkang”, “bajak laut”, dan “buronan negara” lainnya (Boulan-Smit 2006 : 158). Untuk waktu yang lama, interior Seram dan penduduk aslinya, Alfur, atau Alifuru1, tetap tidak tersentuh kolonialisme. Alfurs terorganisir secara heterogen, masyarakat suku dan hidup sebagai petani semi nomaden dan pemburu. Mereka mempertahankan kepercayaan agama non-monoteistik berdasarkan pemujaan leluhur, dan dikenal serta ditakuti karena mempraktikkan pengayauan/perburuan kepala (potong kepala). Bagi para pejabat kolonial, mereka mewakili tipikal orang-orang suku tanpa kewarganegaraan yang tidak cocok untuk pemerintahan modern, bertentangan dengan rakyat “beradab” yang terikat pada negara yang tinggal di sepanjang pantai Seram dan menjadi perantara antara Belanda dan Alfur.

Namun, sekitar tahun 1900, Belanda yang beralih ke kolonialisme “etis”, yang peradabannya menuntut agar pemerintah daerah secara aktif memerangi praktik pengayauan dan mengupayakan perbaikan bertahap kondisi dimana Alfur tinggal. Hal ini terkait dengan paradigma kolonial umum tentang kekerasan dan ketidakstabilan pribumi, kekhawatiran tentang kesejahteraan pribumi, dan konstruksi subjek kolonial yang “berhasil” – semuanya berdasar bagi penaklukan imperialis Belanda karena mereka memicu keyakinan yang selanjutnya melegitimasi proyek pengawasan kolonial untuk menimbulkan kesan pemerintahan kolonial yang sah dan kredibel (bandingkan dengan Kloos 2014). Dengan tetap berada di luar negara, Alfur menjadi ancaman bagi kelangsungan kekaisaran Belanda, dan mengenakan pajak adalah cara untuk mengatasi ancaman ini.

Intervensi militer membuka jalan bagi bentuk-bentuk pemerintahan Belanda yang lebih langsung di Seram dan keduanya mengharuskan dan memungkinkan bentuk-bentuk perpajakan yang lebih langsung. Ideologi kolonial kontemporer menuntut pemerintah daerah untuk mendanai diri mereka sendiri, menggunakan birokrasi fiskal yang adil dan tepat. Banyak pejabat percaya bahwa karena pajak menangani aspek fundamental organisasi sosial (seperti pendapatan, properti, warisan, dan pola konsumsi), pajak dapat digunakan sebagai alat disiplin dan perangkat transformatif untuk mendukung proyek peradaban kolonial; memfasilitasi peningkatan kesejahteraan dan partisipasi penduduk Seram dalam ekonomi global; membentuk subjek pembayar pajak yang patuh, dikategorikan, rajin, dan dapat diatur; dan mewujudkan “keinginan untuk memperbaiki” kolonial, yang juga berakar pada legitimasi kolonial itu sendiri (Li 2007).

Namun, pola lama pengayauan, “penghuni hutan”, dan keadaan tanpa kewarganegaraan tidak mudah diberantas. Cita-cita modernisasi kolonialisme etis Belanda dan kekuatan transformatifnya ditahan oleh realitas pemerintahan lokal, lembaga organisasi sosial lokal, dan berbagai simpul perlawanan dan resistensi. Sebaliknya, kolonialisme Belanda pasca 1900 memerintahkan pemerintahan lokal semaksimal mungkin dilakukan melalui “emansipasi” kepala suku lokal, sehingga semakin memberdayakan posisi mereka. Dengan demikian, lembaga, pola, dan struktur yang menopang kepala-kepala suku ini, yang secara resmi ditujukan dan diklaim akan diganti atau direformasi oleh tatanan kolonial, mulai menginformasikan kinerja pemerintahan kolonial. 

Akibatnya, tata negara kolonial bukan hanya pekerjaan dalam pengumpulan data, pemetaan, dan standarisasi, atau proyek searah dari administrasi terpusat, inskripsi, dan dokumentasi yang didorong oleh keingin untuk membuat masyarat “dapat baca” dan melakukan kontrol yang lebih besar untuk tujuan ekstrasi dan “perbaikan sosial” (J.Scott 1998 : 23-25, 77, 88). Dokumentasi dan pengarsipan tentu saja merupakan “teknologi aturan yang rumit dalam dirinya sendiri”, yang mereproduksi mesin negara yang sama seperti yang dihasilkan (Stoler 2009: 20,28), tetapi sistem birokrasi, registrasi, dan dokumentasi yang dihasilkan tidak hanya menjadi ancaman bagi mereka yang mencoba untuk menghindari negara tetapi juga memberikan peluang untuk perlawanan melalui strategi penolakan dan perpindahan sehari-hari (Kafka 2007: 18; Szreter dan Breckenridge 2012).

Artikel ini semata-mata bergantung pada bahan-bahan yang diproduksi oleh negara kolonial dan dengan demikian mengikuti pandangan kolonial. Banyak dari apa yang diketahui tentang gaya hidup dan organisasi politik pra-kolonial Alfur telah diberikan melalui laporan kolonial dan karya semi-antropologis yang ditulis oleh (bekas) pejabat kolonial2. Oleh karena itu artikel ini tidak bertujuan untuk memberikan perspektif kontra pribumi terhadap pengalaman kolonisasi Belanda. Sebaliknya, artikel ini berpendapat bahwa pemerintahan kolonial adalah proses campuran dimana hukum, kondisi, dan aturan negara terus direvisi, dibentuk kembali, dan digambar ulang dalam konteks interaksi lokal dan pertukaran antara birokrasi, upacara, dan kekerasan Eropa dan pribumi.

Pada akhirnya, kasus pulau Seram menunjukan bahwa jika dilihat dari “batas pinggiran”, kekaisaran kolonial memberi kita banyak contoh interkonektivitas dan saling ketergantungan antara “penguasa” dan “diperintah”, sebagai sumber ide dan praktik baru dalam hak mereka sendiri. Ini membantu kita untuk lebih menantang persepsi tentang hegemoni kekaisaran Barat dan menggantinya dengan bacaan yang memaksakan interpretasi ulang yang sedang berlangsung terhadap hibriditas dan ketidakstabilan kekuasaan kolonial (bandingkan dengan Bhaba 1994; Ruiter 2002).

 

1.      Pemerintahan dan Perpajakan di Negara Kolonial Belanda modern

Di Indonesia, sistem pajak kolonial yang lengkap muncul antara tahun 1870 dan 1920, mengikuti ekspansi dan konsolidasi yang cepat dari negara dan kekaisaran kolonial modern Belanda. sebelum tahun 1870, mayoritas penduduk pribumi yang tunduk pada kekuasaan Belanda hanya membayar sedikit atau tidak sama sekali membayar pajak; sebaliknya, mereka melakukan kerja paksa dalam sistem produksi pertanian dan pelayanan publik. Kerja paksa diklaim memiliki “kekuatan disipliner” untuk merangsang populasi terjajah, yang secara streotip dibingkai sebagai “penduduk pribumi yang malas”, ke tingkat produksi dan kesejahteraan yang lebih tinggi (Alatas 1977).

Sistem eksploitasi tenaga kerja paksa ini menjadi semakin tidak dapat dipertahankan dengan latar belakang meningkatnya pengaruh liberalisme politik sejak tahun 1860-an dan seterusnya. Hal ini menyebabkan revisi tata pemerintahan dan kebijakan fiskal, diikuti oleh “pembangunan” di akhir abad ke-19 yang mengikat kebijakan ekonomi liberal dengan prinsip-prinsip kolonialisme etis yang berusaha memenuhi “panggilan moral” terhadap penduduk pribumi dengan meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi dan sistem pemerintahan kolonial (Locher Scholten 1981; 1994: 106).

Bersamaan dengan itu, ditopang oleh gagasan persaingan kolonial yang sengit, Belanda merasa terdorong untuk memperluas kendali mereka atas wilayah Indonesia untuk melengkapi kedaulatan politik mereka di seluruh Nusantara. Kekhawatiran ini mengoreksi apa yang mungkin kurang dimiliki Belanda dalam nada “kekaisaran” yang keras (Raben 2013: 9-10; Lindblad 1989: 2), dan melengkapi norma-norma umum imperialisme modern yang diekspresikan dalam strategi dan pola ekspansi luar negeri yang lebih agresif.

Melalui peperangan dan pembuatan perjanjian yang tak kenal ampun, Belanda mengikat kepulauan Indonesia menjadi satu kerangka ekonomi-politik terpadu yang terjalin dengan proyek-proyek peradaban dan kegiatan misionaris. Dalam proyek imperialis, setiap tindakan ekspansi diproklamirkan sebagai keuntungan penduduk lokal, untuk melindungi mereka dari kecenderungan kekerasan antar mereka sendiri, dan mempromosikan pembangunan internal. Dengan demikian, mentalisme perkembangan kolonial dan ekspansi imperial terjalin; persaingan kekerasan, eksploitasi, dan pencerahan subjek kolonial adalah fenomena yang sangat terjerat yang umum terjadi di semua kerajaan kolonial, karena ekspansi kolonial membutuhkan legitimasi semacam itu untuk memungkinkan eksploitasi lebih lanjut (Stoler 2009: 24).

“Tekanan lunak” diterapkan untuk meresapi kehidupan desa dengan prinsip-prinsip sosial Eropa. Kekristenan dan pendidikan disebarluaskan sebagai detak jantung peradaban modern untuk memelihara kemampuan masyarakat pribumi, dan khususnya para pemimpinnya, untuk berfungsi dalam ekonomi politik kolonial yang sedang bertumbuh sebagai “pembebasan”, penguasa mandiri semi-otonom dan meringankan beban kerja lebih dari membebani pejabat Eropa. Dengan demikian, “kolonialisme etis” juga menjadi legitimasi penetrasi yang lebih dalam dari negara kolonial ke pinggiran yang belum dijelajahi, dan ke dalam hati dan pikiran orang-orang terjajah – tetapi selalu melalui penguasa mereka sendiri. Melalui cara ini, kaum kolonialis meningkatkan ekspansi kekaisaran dan eksploitasi dengan developmentalisme dan “pertunjukan”.

Perkembangan ini membutuhkan dan memungkinkan pembangunan sistem fiskal yang lebih modern, yang mencakup tiga ambisi dasar : monetisasi pemungutan pajak; sentralisasi dan unifikasi hukum perpajakan; dan monopoli pajak oleh negara dan penggantian pajak petani dengan birokrasi pemungutan pajak yang profesional dan berpedoman pada undang-undang dan ketentuan (Wahid 2013: 2-4, 13-17). Perpajakan menjadi ujung tombak developmentalisme kolonial karena pajak menangangi pola pendapatan, properti, konsumsi, dan produksi, biasanya elemen masyarakat yang ingin diubah oleh pejabat. Pejabat secara aktif digunakan sebagai alat pemerintah atau instrumen pendisiplinan untuk memperbaiki perilaku, menanamkan produktivitas, dan membentuk warga negara yang patuh dan “beradab” pembayar pajak yang hidup sesuai dengan pola yang diinginkan oleh negara (bandingkan dengan Bush dan Maltby 2004; Havin, Keese dan Santos 2015). Di “teritori pinggiran” seperti Seram, pajak diyakini membantu menjaga masyarakat tetap pada tempatnya dan menormalkan kehidupan desa, tenaga kerja struktural, monetisasi, dan integrasi ke dalam ekonomi politik global yang liberal; untuk mendukung transisi dari apa yang orang Eropa lihat sebagai “organisasi sosial yang tidak modern” ke dalam kategori yang jelas dari tata kelola birokrasi; dan untuk “memecahkan” dugaan masalah dengan kemalasan bawaan, feodalisme, kesalahan aturan, kelumpuhan masyarakat, dan gelandangan (Foucault 1995: 218; Stoler 2009: 43). Didukung oleh wacana pembangunan, kemajuan, dan peradaban, negara kolonial menyatakan rasionalitas pemerintah dimana pajak kolonial disajikan sebagai dipungut demi kepentingan terbaik rakyat terjajah. Baik negara bagian dan subjek harus diperbaharui dan dibiaskan satu sama lain melalui pembayaran pajak. Idealnya, pajak dipungut secara independen oleh penguasa lokal untuk mempertahankan administrasi lokal yang didanai sendiri.

Pajak penghasilan baru dikeluarkan, pertama untuk orang Eropa yang tinggal di koloni serta “orang timur asing” dari tahun 1878 dan seterusnya, diikuti oleh “penduduk pribumi” (penduduk pedalaman) pada tahun 19073. Pajak ini disatukan pada tahun 1914 dan 19204. Pajak diduga berkontribusi pada redistribusi beban kolonial di seluruh nusantara di antara berbagai kelompok sosial yang terpisah secara hukum sama, sehingga semua akan membayar pajak sesuai kapasitas mereka dengan cara yang sama, setara, dan adil. Namun, negara kolonial tetap dilintasi oleh banyak perbedaan geografis, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi cara pajak dipungut, memicu skeptisisme di kalangan pejabat tentang efektivitas pajak penghasilan (Brunner 1928).

Oleh karena itu, efek modernisasi pajak baru mungkin lebih kecil dari yang diperkirakan. Studi perpajakan sebelumnya di Indonesia kolonial, sebagian besar berpusat di Jawa (Wahid 2013; Hugenholtz 2008; Ong Hok Ham 1975), dimana modernisasi terdiri dari transisi kerja paksa menjadi pajak moneter untuk memberikan reformasi ekonomi lebih lanjut. Di tempat lain, seperti di ruang tanpa kewarganegaraan seperti Seram, modernisasi fiskal sifatnya berbeda. Perpajakan moneter membutuhkan (kembali) standarisasi subjek melalui teknik yang belum dikuasai pejabat negara Belanda. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang pendapatan individu dan lokalisasi properti individu, dengan sendirinya konsep-konsep bermasalah di banyak “wilayah pinggiran”.

Pada kenyataannya, negara kolonial memiliki kontrol terbatas atas perpajakan dan beban pajak. Perpajakan tetap didelegasikan kepada elit-elit pribumi yang mengatur diri sendiri, pemimpin-pemimpin desa, petani-petani pajak, dan perantara lainnya yang diharapkan memberikan informasi tentang subjek mereka dan mengumpulkan pendapatan dari mereka dengan imbalan bagi hasil (Wahid 2013: 178-179). Kepala daerah membuat rancangan penilaian, dimana orang diizinkan untuk menolak apa yang disebut “pengumpulan pajak”, dimana penilaian dinegosiasikan ulang di hadapan pejabat Eropa, dan setelah itu pembayaran dilakukan. Realitas perpajakan sehari-hari dihasilkan dalam keadaan lokal dari pilihan informasi pragmatis daripada dikembangkan melalui proaktif, strategi berbasis hukum yang dimaksudkan untuk membangun institusi fiskal kolonial yang solid. Hal ini menghambat sentralisasi dan unifikasi. Sementara itu, kebijakan perbaikan kolonial sering kali dikesampingkan oleh kepentingan politik dan material metropolitan. Misalnya, sementara jumlah layanan korve (kerja paksa) secara bertahap dikurangi dan diganti dengan pajak kepala, perluasan wilayah koloni dan tuntutan tenaga kerja yang lebih besar untuk meningkatkan jaringan infrastruktur dan irigasi pada kenyataannya menyebabkan tenaga kerja korve meningkat secara absolut (Meijer Ranneft dan Huender 1926).


2.      Kolonisasi pada “Ruang tanpa Negara”

Didorong oleh dorongan ekspansionisnya untuk konsolidasi politik dan teritorial, imperialisme Belanda dicirikan oleh ambisi ganda. Yang pertama adalah mencari dan memulai eksploitasi tanah subur Indonesia, tenaga kerja, dan sumber daya mineral penting. Yang kedua adalah mengembangkan masyarakat lokal, mewujudkan motif-motif etis-peradaban, dan membangun “perdamaian dan ketenangan”, sebuah tujuan yang sering diinformasikan oleh kekhawatiran tentang kekerasan lokal dan pergerakan internal. Dalam kasus Seram, sejak abad ke-17, Belanda telah mengkhawatirkan apa yang mereka anggap sebagai ketidakstabilan politik yang meningkat, yang mencapai puncak baru pada tahun 1860-an. Sebelum menelaah sebab dan akibat dari dinamika tersebut, penting untuk memahami kondisi sosial suku Alfur dan hubungannya dengan dunia luar, serta bagaimana hal tersebut diinterpretasikan oleh orang Belanda.

2.1.   Kehidupan di “tanpa negara” : Stereotip dan Alternatif Negara

Pedalaman pegunungan Seram tidak cocok untuk penanaman padi skala besar – sumber utama organisasi negara, pemerintahan, dan perpajakan di Asia Tenggara – sehingga Alfur tetap tidak dibatasi oleh pertanian atau segala bentuk kerja paksa dan penanaman. Mereka menghindari pola menetap tetap, catatan-catatan tertulis, dan administrasi, menjaga perkembangan negara di teluk (J.Scott 2009: 9, 81-89, 229-230). Tinggal di pemukiman terpencil, tidak tetap, dan tersebar daripada wilayah dibatasi secara ketat, mereka mempertahankan ekonomi makanan berdasarkan perburuan, pengumpulan, dan penanaman sagu skala kecil5, dan berinteraksi dalam struktur politik yang berasal dari pembagian sosial – spiritual6


Nagari Alfur terdiri dari berbagai klan yang relatif independen yang menganut kepemimpinan seorang pemimpin (kepala nagari) yang biasanya mengaku keturunan dari mitos pendiri desa dan menjabat sebagai perwakilan desa ke dunia luar dan sebagai penengah dalam perselisihan adat antar klan-klan desa. Di Seram Barat, masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok keluarga inti/kompleks (luma inai “rumah induk”). Seram Tengah hanya dihuni selama abad ke-16 hingga abad ke-19 oleh berbagai kelompok imigrasi yang berkembang menjadi unit, yang disebut ipan, dengan klaim keturunan dari Malaka atau bahkan semenanjung Arab (Bartels 1994: 76-77, 88-101). Soa, kelompok klan penting Maluku yang berasal dari Ternate, tidak ada di Seram sampai pemerintah kolonial mulai mengelompokkan luma inai dibawah kepala soa yang baru diangkat pada abad ke-20 (Fraasen 1987; Boulan-Smit 1998: 56).

Di banyak masyarakat Maluku, ada pembagian khusus antara kelompok leluhur yang menyatakan perbedaan dalam konstitusi sosial, adat, dan praktik agama dan budaya. Di Seram (Barat), perbedaan dibuat antara apa yang disebut Patasiwa dan Patalima. Ini membentuk ikatan politik nagari yang dianggap sebagai musuh ritual satu sama lain dan sering terlibat dalam peperangan. Mayoritas laki-laki Patasiwa memakai tato berbentuk salib hitam di dada. Mereka disebut Patasiwa Hitam (Black Patasiwa), sedangkan yang tidak bertato disebut Patasiwa Putih (White Patasiwa). Tato ini menyatakan keanggotaan Kakean/Kakehan, “masyarakat rahasia” atau “persaudaran” laki-laki yang bertujuan untuk melanjutkan penghormatan leluhur spiritual bersama. Semua anak laki-laki Patasiwa Hitam harus diinisiasi ke dalam kakehan dengan ritual yang sangat rahasia dan terpencil untuk mencapai kedewasaan (Boulan-Smit 1998: 46; Van Eerde 1920: 533; Ruinen 1929: 220-221). Sebuah praktik integral budaya-agama yang terkait dengan kakean/kakehan adalah pengayauan/perburuan kepala, penting bagi laki-laki untuk memperoleh status sosial yang lebih besar, tetapi tunduk pada aturan yang ketat7. Meskipun siapa pun dari garis keturunan lain dapat diserang (tanpa memandang usia atau jenis kelamin) bentuk-bentuk kekerabatan tertentu dilindungi dari serangan seperti itu.

Bentuk lain dari kemitraan sosio-religius yang disebut pela, telah muncul di Ambon sebelum penjajahan Belanda. Pela adalah aliansi nagari yang berdasarkan “persaudaraan darah”, melintasi batas-batas agama dan mewajibkan nagari yang terlibat untuk saling membantu dalam perlindungan, bantuan pada saat krisis, dan koordinasi perang dan damaii (Bartels 1994: 29, 38-41). Meskipun pada awalnya tidak umum di Seram, ada bukti bahwa beberapa nagari di Seram terlibat dalam ikatan pela dengan nagari di Ambon, mungkin sebagai tanggapan terhadap kehadiran kolonial yang mengganggu (Bartels 1977: 131-145, 162-163; Sachse 1907 : 116-117).

Ikatan dan aliansi semacam itu harus dipahami sebagai struktur alternatif untuk entitas politik negara yang lebih besar dan perpajakan terpusat. Keamanan diatur di Seram bukan melalui kontrak sosial atau perlindungan yang didanai pajak, tetapi melalui aliansi desa dan tatanan ritual. Selama berabad-abad, perang yang terkoordinasi melalui jaringan sosial telah membantu menyelesaikan ketegangan politik dan konflik di antara komunitas adat pedalaman Alfur yang cair. Seram Barat khususnya adalah masyarakat yang sangat terpecah dari berbagai kelompok nagari yang mengelola ekonomi subsisten mereka sendiri dalam aliansi yang bergeser untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan bantuan ekonomi. Meningkatnya kehadiran kolonial, mungkin meningkatkan fungsi sosial kakehan, jaringan pela, dan peperangan untuk menghindari negara. Masyarakat Alfurs seperti yang ditemui oleh pejabat kolonial pada akhir abad ke-19 adalah sisa dari perkembangan ini.

Dilihat melalui kacamata kolonial, Alfur adalah orang-orang yang “tanpa beban” yang “tidak memikirkan hari esok” (Sachse 1907: 86-87); “pemburu”, yang hidup di “ketenangan hutan rimba” sebagai “kaum bohemian Maluku” (De Vries 1927: 17-20). Penggambaran ala Rousseau tentang kesukuan yang tanpa beban – genre orientalis yang umum – tampaknya bertentangan dengan Alfur yang diduga lebih “kekerasan”, “anarkis”, dan karakteristik “tidak disiplin” (Sachse 1907: 30, 32-35); De Vries 1927: 81-82; Tichelman 1925: 674-675, 703-707), tetapi kedua elemen tersebut saling melengkapi konseptualisasi kolonial yang khas tentang orang-orang suku yang “belum berkembang”, “tidak bertanggung jawab”, dan “kekanak-kanakan” yang membutuhkan instruksi pengawasan kolonial untuk “menyembuhkan” mereka yang diduga memiliki “kecenderungan kekerasan” bawaan.

Bagi orang Belanda, berbeda dengan Alfur yang tinggal di hutan, ada komunitas pesisir yang konon lebih berkembang. Komunitas ini terdiri dari pendatang dari pedalaman dan pemukim dari seberang dan luar Nusantara. Berbeda dengan Alfur, masyarakat pesisir terlibat dengan dunia luar secara lebih teratur dan telah mengadopsi gaya hidup “diatur” oleh pertanian berpindah, pajak dan agama (Boulan-Smit 1998: 158; Ellen 2014: 259). Di seluruh Indonesia, perbedaan persepsi antara masyarakat pesisir (pasisir) yang maju dan masyarakat perbukitan (hilir) yang belum diperintah, membantu pejabat kolonial untuk mengkonseptualisasikan karakter identitas kesukuan, yang “di Asia terutama dibentuk oleh kedekatan peradaban” dan tidak ditentukan oleh kondisi sosial, ras, atau etnis (Benjamin 2002: 9) tetapi dengan “tanpa kewarganegaraan yang reaktif dan bertujuan” beradaptasi “dengan dunia negara sementara tetap berada di luar genggaman mereka” (J.Scott 2009: 337)8. Memang, Belanda menyimpulkan bahwa karena orang Alfur tidak terikat secara teritorial tetapi “bebas berkeliaran [........] di tanah mereka” sebagai “pengembara “semi nomaden” (De Vries 1927: 125), mereka “kebal terhadap pemerintahan modern”9. Seperti di tempat lain di Indonesia, persepsi menjadi bahan pemerintahan kolonial atas dataran tinggi Seram bekerja paling baik melalui perantara di pesisir.

2.2.  Perang dan Perdamaian

Sementara pada tahap awal kehadiran mereka di Indonesia, Belanda hanya menemukan sedikit alasan untuk terlibat dengan Alfur, kecuali untuk melawan serangan-serangan yang ditargetkan ke pos-pos Belanda atau “pemukiman Kristen” di pantai, atau untuk perekrutan sesekali bagi ekspedisi hongi10, setelah tahun 1860 pejabat Belanda menjadi semakin khawatir tentang “permusuhan”, perang, dan kampanye pengayauan lokal yang terus menerus dilakukan Alfur. Kekhawatiran ini dipupuk oleh kebutuhan untuk mengambil sikap tegas terhadap kekerasan pribumi untuk menunjukan pemerintahan yang kredibel yang secara proaktif melindungi kesejahteraan dan keamanan umum rakyatnya (di masa depan). Belanda menginterpretasikan perang dan pengayauan sebagai tanda destabilisasi (Sachse 1922: 144). Mereka berargumen bahwa memantau “kekerasan” ini sendiri telah menghabiskan waktu dan uang yang berharga bagi pemerintah, karena para pejabat yang ditempatkan di Maluku semakin sibuk menanggapi serangan Alfur ke wilayah pesisir11. Akhirnya, ini memberikan pembenaran bagi intervensi militer Belanda.

Pada tahun 1860-an, perang meletus di sekitar Teluk Elpaputih (lihat gambar 1), ketika nagari Tananahu diduga menolak untuk membayar kepada nagari Sahulau suatu tawaran perdamaian, atau harta, berupa gong dan piring keramikb sebagai kompensasi karena diduga telah membahayakan rahasia kakehan, yang dianggap sebagai kejahatan serius (Sachse 1907: 90; 1922: 111)12. Menurut pemerintah kolonial setempat pada waktu itu, tuduhan ini adalah “mitos”, yang diciptakan oleh kepala suku yang telah disingkirkan dan berusaha membalas dendam dengan menyulut konflik. Perwira yang bertanggung jawab di lapangan, menganggap ini sebagai perselisihan lokal tentang batas dusun (wilayah memancing dan berburu) kemungkinan adalah penyebab perang13. Namun, alasan konflik politik, sosial-ekonomi, dan agama sering terjalin di Seram dan berakar dalam berbagai ketegangan bersifat sosialreligius.

 

Potensi ancaman merambah kolonialisme Belanda sendiri tidak dapat diabaikan sebagai faktor dalam ketegangan ini. Pada tahun 1865, apa yang disebut pajak negeri diberlakukan di Ambon sebagai alternatif dari penghapusan sistem budidaya rempah-rempah secara paksa. Pemberontakan besar-besaran pecah di antara sekelompok negeri Patasiwa yang memelihara hubungan pela dengan negeri  di Ambon, karena khawatir pemerintah akan segera mulai mengenakan pajak pada nagari/negeri mereka14. Kepala negeri Nunialic menulis surat kepada Asisten Residen di Ambon “bahwa rakyatnya dipengaruhi oleh desas-desus bahwa sebuah kantor akan didirikan, pajak akan dipungut, dan sawah akan direncanakan” untuk memaksakan semacam “skema penanaman padi secara paksa”15. Mempertahankan monokultur padi secara tradisional memungkinkan Raja-raja Asia Tenggara untuk mempertahankan massa di wilayah, sehingga Alfur berhak terkait dengan penanaman padi yang dihubungkan dengan kedatangan negara dan teknik pendaftaran metodis dan perpajakan, yang mereka berusaha untuk menghindarinya. Kepala Soa Tanunu/Taununu menyatakan bahwa masyarakatnya “akan lari ke pegunungan sampai pemerintah melakukan perdamaian [..........] dan menyerang semua nagari di Seram jika pemerintah bermaksud mendirikan kantor/markas di Nuniali dan Kaibobo”16.

Gubernur Maluku pada masa itu, N.A.Th. Arriënsd (menjabat tahun 1864-1866), tidak punya banyak pilihan selain menyerah. Meskipun Belanda mengklaim Seram sebagai wilayah kolonial – pejabat kementerian di Den Haag sudah mulai menekankan pentingnya pemerintahan mandiri di pulau itu – pasukan ditempatkan di sekitar Seram tidak siap untuk mengontrol wilayah perbukitan. Seram masih “daerah dimana [.........] desas-desus tentang perpajakan telah memberikan dasar yang cukup untuk pemberontakan”17. Arriëns menyarankan untuk melawan “desas-desus” tersebut dengan menunda pajak dan menggunakan “cara paling lunak yang mungkin untuk menciptakan kembali kekaguman dan rasa hormat kepada otoritas Belanda”18.

Belanda tentu saja mencela bahwa perlawanan kaum Alfur ditujukan pada ancaman negara itu sendiri, dan sebaliknya mengaitkannya dengan dugaan sifat kekerasan kaum Alfur dan interaksi politik antara nagari pasisir dan pegunungan. Arriëns, misalnya, menuduh nagari pesisir menyebarkan kebohongan dan mengaduk-aduk Alfur di Seram Barat. Menurut Residen Ambon, J.G.F. Riedele (bertugas tahun 1880-1883),

Alfur [.........] hidup di bawah asumsi bahwa “penduduk pesisir yang licik” dapat merampok mereka tanpa dihukum [.....]. Untuk alasan ini, mereka menerapkan keadilan main hakim sendiri dengan berburu kepala [........]. Perburuan kepala di antara Alfur di Seram, karena itu terjadi sebagai akibat dari balas dendam19.

Riedel mengklaim bahwa karena orang-orang pesisir memiliki “monopoli pengetahuan” tentang Alfur (peta interior dan hanya sedikit orang yang berani berpartisipadi dalam ekspedisi karena takut dipotong kepala), mereka membohongi pemerintah Eropa, “menodai reputasi Alfur” dalam upaya mendapatkan dukungan Belanda20. Seperti terlihat, masyarakat pesisir merupakan ancaman bagi Alfur karena mereka menyediakan akses negara ke pedalaman. Riedel menyarankan untuk menunjuk lebih banyak posthouder, administratur kolonial berpangkat rendah di Maluku yang ditempatkan di wilayah pesisir sejak abad ke-17 dan seterusnya, untuk menjaga hubungan dengan negeri pesisir. Sebagian besar posthouder adalah Indo-Eropa dan sebagian keturunan lokal dan “akrab dengan budaya Alfur”, yang menurut Riedel akan membantu “meningkatkan hubungan dengan Alfur”21.

Pengganti Riedel, D. Heijtingf (menjabat tahun 1883-1891) tidak setuju. Dia menganggap perang sebagai ekspresi khas “kerinduan akan kekerasan” yang melekat pada “sifat liar” Alfurs. Peperangan, katanya, disebabkan oleh pengenaan akibat karena tidak membayar harta akibat “pertengkaran asli yang tidak seorang pun tahu penyebabnya lagi”, dan frustrasi atas hambatan kolonial untuk menyelenggarakan perayaan kakehan. Persayaan tersebut diadakan setelah kampanye pengayauan, yang terjadi sebagai pembalasan atas kegagalan pembayaran harta, yang sebagai imbalannya sering dipungut sebagai hadiah kompensasi untuk kampanye pengayauan. Hal ini, menurut Heijting, menyebabkan perkembangan sirkuler yang tak berujung dari perburuan kepala dan gagalnya pembayaran harta – suatu siklus, dia setuju dengan Riedel, yang hanya dapat dipatahkan dengan intervensi kolonial22.

Pengamat kontemporer lainnya secara khusus menganggap kakehan sebagai sumber peperangan yang konstan dan elemen sentral dalam perlawanan terhadap pemerintahan kolonial23. Perwira militer dan Gubernur Sipil-Militer Seram Baratg, F.J.P. Sachseh (bertugas 1903-1905) menggambarkan Seram sebagai tempat dimana :

Pembunuhan dan pembunuhan adalah bisnis sehari-hari [.........] pegunungan Alfur diperintah dengan teror atas orang lain [......]. Strategi pemerintahan pada saat itu adalah salah satu perdamaian terus menerus di antara suku-suku [....] sementara penduduk pegunungan ditenangkan dengan hadiah [....]

Sachse 1922: 78

Dia mengklaim kakehan menyediakan lahan subur untuk perpaduan agama, sosial politik, dan ritual yang berbahaya (Sachse 1907: 94-95), digunakan oleh para imam (mauweng) yang cerdik untuk memperluas pengaruh mereka untuk melawan “Kristenisasi” dan “Eropanisasi”. Tetua-tetua kakehan paling terkemuka memiliki kekuatan untuk menyatukan Saniri 3 batang air (Dewan Tiga Sungai; Eti, Tala, dan Sapalewa), dewan antar nagari terbesar di Seram24. Hanya laki-laki yang diinisiasi ke dalam kakehan yang diizinkan untuk menghadiri acara saniri (dewan) ini. Organisasi pada awalnya didorong oleh Belanda, karena merupakan salah satu dari sedikit kesempatan dimana sejumlah besar tetua-tetua nagari berkumpul dan dapat dipantau. Namun, pada abad ke-20, para pejabat semakin yakin bahwa saniri telah menjadi “kendaraan bagi kakehan” dimana “permusuhan agama berubah menjadi perseteruan politik” (Sachse 1922: 138). Baik pertemuan saniri maupun perayaan kakehan selanjutnya secara aktif dilarang. Perburuan kepala secara resmi telah dilarang oleh pemerintah kolonial pada tahun 1864, meskipun akan memakan waktu hingga abad ke-20 sebelum hal itu diterapkan25

Dengan melakukan itu, para pejabat Belanda mengupayakan pemisahan antara kekuatan politik duniawi dan kekuatan spiritual agama dalam masyarakat, dimana tidak ada batasan jelas di antara mereka. Pembayaran harta dan kampanye pengayauan adalah instrumen politik perang dan perdamaian, yang diresapi dengan dimensi keagamaan-ritual penting yang mencerminkan politik antar-nagari (Bartels 1977: 36-42). Ini disimbolisasi di baileo, tempat pertemuan saniri intra-nagari untuk diskusi politik dan urusan adat. Di masa lalu, kepala yang diburu diperlukan untuk penyucian (Aritonang dan Steenbrink 2008: 109). Tanpa memberlakukan ritual yang sesuai, tidak ada landasan bersama bagi politik untuk diorganisir. Belanda menyadari hal ini dan di seluruh Indonesia sering mencoba menggunakan ritual untuk tujuan mereka sendiri. Namun di Seram, jalinan saniri dan kakehan menunjukan perlunya suku Alfur untuk bersatu dalam ketahanan ritual sebagai jawaban atas meningkatnya ancaman campur tangan kolonial (Bartels 1994: 40-43, 53-54)26. Harta dan peningkatan perburuan kepala yang ditandai oleh pejabat kolonial pada abad ke-19, mungkin telah menyediakan mekanisme untuk menyalurkan ketegangan lokal dan melanjutkan “kekerasan” untuk mengusir negara (Bartels 1977: 36-42). Mengikuti praktik kakehan membantu keluarga Alfur mempertahankan fondasi masyarakat mereka. Mereka selalu memberikan alasan yang sah untuk perang ­–tidak terkecuali perang Elpaputih- dan diamati lebih giat dan instrumental dalam menanggapi intervensi Belanda. Sementara Belanda memahami bahwa politik dan agama bercampur, mereka gagal untuk mengakui bahwa ikatan ini meningkat sebagai akibat dari kehadiran mereka. Sangat peka terhadap apa pun yang bertentangan dengan kerangka sempit kesuksesan sosial mereka, yang disebut dalam standar modernitas Eropa yang terisolasi, mereka menafsirkan instrumen perang dan perdamaian Alfur yang disengaja sebagai tanda-tanda “ketidakstabilan” untuk melegitmasi misi kolonialisme peradaban intervensionis mereka. Ini diterjemahkan menjadi fiksasi pada pelarangan kakehan, yang dipandang sebagaai puncak “kesukuan” dan “primitif” Maluku, memusuhi “peradaban dan Kristen” dan dalam cara “kemajuan” dan “modernitas”27. Dengan cara ini, ritual dan kekerasan menarik bukannya ditolak negara.

Sementara keyakinan Belanda untuk perlunya campur tangan tumbuh, kapasitas pemerintah tertinggal. Intervensi memerlukan investasi dalam kekuatan administrasi dan militer, tetapi dogma kontemporer kebijakan “desentralisasi” kolonial menetapkan bahwa biaya administrasi kolonial lokal harus ditanggung oleh pajak yang dipungut secara lokal28 yang masih dianggap “belum siap” oleh Alfur29. Para pejabat takut pada “konsekuensi potensial yang tidak menguntungkan dari pengenaan pajak atas orang-orang yang tidak beradab, yang memunculkan gagasan bahwa menjalin hubungan dengan pemerintah berarti harus membayar”30.

Kemudian, pada tahun 1884, prahu dari posthouder Amahei, L.A. van Genti (bertugas 1882-1902) ditembak oleh Alfur dari nagari Sahulau, dan tiang bendera Belanda diturunkan – sebuah ekspresi langsung dari “penghinaan” terhadap simbol-simbol otoritas kolonial yang segera menghidupkan kembali kekhawatiran akan keselamatan Belanda31. Komandan militer kolonialj mendesak Gubernur Jenderal, O.van Reesk (menjabat tahun 1884-1888) untuk mengirimkan pasukan32. Pada saat itu, tentara kolonial sudah menduduki, menaklukan dan menghancurkan Aceh, sedangkan batolyan yang ditempatkan di Maluku dikirim untuk menduduki Tanimbar, Kei, dan kepulauan Aru di Maluku Selatan33, jadi sebaliknya, Van Rees memutuskan untuk mentransfer sejumlah uang kepada posthouder untuk menyelesaikan sengketa kakehan. Namun, keluarga-keluarga Alfur dengan sengaja tidak menerima pembayaran dari pihak ketiga, dan perang terus berlanjut34.

Residen G.W.W.C. Baron van Hoëvelll (bertugas pada tahun 1891-1896), menceritakan dengan cara yang lebuh halus daripada membuang tatanan yang ada lewat penggunaan kekerasan militer. Dia mengizinkan saniri lain untuk diorganisir dalam upaya mendapatkan kembali cengkeraman politik dalam negeri dan mengatur kembali hubungan dengan kepala daerah35. Dia percaya oposisi yang dikonseptualisasikan antara pesisir dan gunung tidak lagi menawarkan dasar yang bermanfaat untuk kebijakan, karena orang-orang pesisir juga terlibat dalam pengayauan/perburuan kepala36. Dia menyarankan pengawasan ketat, baik di nagari pesisir maupun pedalaman dan membatasi pembayaran harta dan pengayauan melalui hukuman yang berat. Setelah fase awal “pasifikasi” ini, dia berharap untuk memperkenalkan “pajak kepala” atau “pajak perseorangan”, pajak tetap biasanya dengan tarif f 1,00 per orang per tahun, untuk mendanai penunjukan lebih banyak administrator untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dan meningkatkan hubungan antar nagari. Namun, agenda imperialis militer Belanda yang tidak sabar dari Gubernur Jenderal W. Roosebomm (menjabat 1899-1904) dan J.B. van Heutszn (menjabat 1904-1909), tidak memungkinkan penyesuaian atau kompromi bertahap semacam itu. Kolonialisme peradaban menetapkan penundukan dan penegakan penuh otoritas, ketertiban, dan moral Belanda bahkan di bagian-bagian terjauh dari Indonesia timur. Ini mulai mengesampingkan argumen gigih bahwa Alfurs tidak memiliki potensi untuk pembangunan ekonomi dan perpajakan. Sekitar tahun 1900, kemenangan diproklamasikan dalam perang di Aceh dan Maluku Selatan, dan pasukan di bawah komando veteran Aceh yang dipilih secara khusus dikumpulkan, untuk memulai serangkaian kampanye militer ke jantung pulau Seram, mengumumkan berakhirnya otonomi relatif kelompok Alfurs.

 

===== bersambung =====

Catatan Kaki:

1.     Ini bukan istilaj eynis, melainkan perbedaan geografis-budaya (Manuhutu 1985: 268-269). Sumber-sumber Belanda sering menyebut tentang “penghuni gunung” (bergbewoners) ketika berbicara tentang Alfur Seram. “Alfurs” menjadi istilah kolektif untuk  orang-orang Indonesia non-monoteis di pedalaman pulau-pulau Indonesia Timur, tetapi dalam bahasa modern, kata itu masih digunakan untuk merujuk pada orang-orang pedalaman Seram dan beberapa pulau lain di Maluku

2.     Karena pengetahuan ini, sebagian besar diperoleh hanya setelah intervensi militer Belanda, maka hal itu sudah sedikit terdistorsi oleh kolonialisme

3.     Staatsblad van Nederlandsch-Indië 349–352/1878, 182–183/1907.

4.     Staatsblad van Nederlandsch-Indië 130/1914 and 678/1920.

5.     Sagu biasanya digambarkan oleh pejabat kolonial sebagai tanaman berlimpah yang membutuhkan sedikit usaha untuk pemeliharaannya. Satu keluarga dapat dengan mudah hidup dari pohon sagu selama setahun dan menggunakan hasilnya sesuka hati (Ruinen 1921: 52-5)

6.     Pembagian paling penting di Seram Barat adalah antara 2 kelompok terkait yang disebut Alune dan Wemale. Lihat Duyvendak 1926:14, 16–7; Bartels 1994:37; Jensen 1948; Sachse 1919:30–1; and De Vries 1927:9–10.

7.     Laki-laki diizinkan untuk menggambar lingkaran hitam di cidako (kain pinggang) mereka ketika mereka melakukan perburuan kepala atau berburu kepala untuk pertama kalinya, dan kemudian menambahkan lingkaran konsentris di sekelilingnya untuk setiap kepala baru. Namun, kebanyakan laki-laki akan berburu sedikit lebih dari satu, mungkin 2 kepala dalam hidup mereka. Seorang laki-laki yang berburu lebih dari 5 kepala akan “dianggap sebagai “pahlawan legendaris”  (Bartels 1977:38).

8.     Duyvendak menekankan bahwa tidak ada perbedaan budaya yang nyata antara negeri pesisir dan negeri pegunungan, dan bahwa kontras (perbedaan) antara pesisir dan hilir di Seram harus dilihat hanya dalam interaksi. Perbedaan utamanya adalah karena penduduk pesisir lebih sering berhubungan dengan pengaruh budaya dari luar, mereka beradaptasi dan kehilangan sebagian identitas “kesukuan” mereka(Duyvendak 1926:10; Bartels 1977:5– 6).

9.     Directeur Binnenlandsch Bestuur (hereafter DirBB) to Governor General (hereafter gg), 4-8-1890, Arsip Nasional Republik Indonesia (hereafter anri), Archives of the Algemeene Secretarie, Grote Bundel (hereafter as gb) 4111, Missive Gouvernementssecretaris (hereafter mgs) 26-1-1891. See also Riedel 1886:27.

10.  Ekspedisi tahunan pada abad ke-17, dimana Gubernur VOC mengomandani armada perahu dayung kaum pribumi (kora-kora) dari Ambon untuk menyerang pulau-pulau sekitarnya untuk menegakkan monopoli Belanda atas produksi rempah-rempah.

11.  Directeur van Financiën (hereafter DirFin) to gg, 6-12-1890, Nationaal Archief, Den Haag, ‘Archief van het Ministerie van Koloniën’, 2.10.02, 1850–1900 (hereafter na MinKol 1850– 1900), 4675, Verbaal 25-2-1893 no. 44.

12.  Harta digunakan sebagai kompensasi dan, kemudian, sebagai pengganti dari kepala yang diburu/dipotong, yang dibayarkan oleh pemburu kepala kepada keluarga korban. Lihat juga Bartels 1977:54 and Ruinen 1929:226–7.

13.  Resident van Ambon to gg, 13-4-1885, anri as gb mgs 4111, mgs 3-6-1885. Menuduh penghasutan sebagai kambing hitam, yang dimotivasi oleh ekstremisme agama atau dendam pribadi, adalah respon kolonial yang umum terhadap segala jenis “kerusuhan”.

14.  Governeur derMolukken(hereafterGovMol)to gg, 29-8-1866, na MinKol1850–1900, 2126, Verbaal 19-8-1868 no. 6.

15.  GovMol to gg, 12-10-1865, na MinKol 1850–1900, 1695, Verbaal 23-12-1865 no. 10.

16.  GovMol to gg, 12-10-1865, na MinKol 1850–1900, 1695, Verbaal 23-12-1865 no. 10.

17.  Nota A2, na MinKol 1850–1900 2126, Verbaal 19-8-1868 no. 6.

18.  GovMol to gg, 12-10-1865, na MinKol 1850–1900, 1695, Verbaal 23-12-1865 no. 10.

19.  Voormalig Resident van Ambon to Minister van Koloniën (hereafter MinKol), 5-3-1889, na MinKol 1850–1900, 4245, Verbaal 19-3-1889 no. 61.

20.  Voormalig Resident van Ambon to Minister van Koloniën (hereafter MinKol), 5-3-1889, na MinKol 1850–1900, 4245, Verbaal 19-3-1889 no. 61.

21.  Voormalig Resident van Ambon to Minister van Koloniën (hereafter MinKol), 5-3-1889, na MinKol 1850–1900, 4245, Verbaal 19-3-1889 no. 61.

22.  Resident van Ambon to gg, 14-2-1890, na MinKol 1850–1900 ov, 4675, Verbaal 25-2-1893 no. 44.

23.  Van Hoëvell 1896:516, 528–32; Sachse 1907:61, 95; Van Eerde 1920:533–5; Tauern 1918:29–30, 152.

24.  Juga dikenal sebagai Saniri Waele Telu. Pentingnya saniri ini berasal dari representasi yang seharusnya dari kelompok leluhur primordial dari wilayah inti asal semua Alfur dan orang Maluku lainnya, yaitu Gunung suci Nunusaku. Pertemuan-pertemuannya telah dicatat setidaknya sejak tahun 1678 (Knaap 1993:251, 260–1). Masing-masing nagari juga memiliki saniri tetua negerinya sendiri.

25.  GovMol to gg, 23-1-1864, na MinKol 1850–1900, Verbaal 23-12-1865 no. 10. Setelah tahun 1906, izin khusus diberikan oleh pejabat kolonial setempat diperlukan untuk setiap ritual inisiasi kakehan, yang masing-masing akan membutuhkan sejumlah kepala untuk diburu. Resident van Ambon to gg, 14-2-1890, na MinKol 1850–1900, 4675, Verbaal 25-2-1893 no. 44; Manuhutu 1985:280–2.

26.  Untuk pemisahan organisasi saniri dan kakehan lebih lanjut, lihat Duyvendak 1926:83– 95. Apakah Duyvendak benar dalam mengklaim bahwa “persatuan kakehan turut menjaga saniri secara bersama-sama”, dan bahwa “[kakehan] menciptakan ikatan bagi saniri” dan bahwa “siapa pun yang diizinkan memasuki komunitas kakehan juga memperoleh akses ke dewan saniri [.....] memperoleh haknya” (Duyvendak 1926:94–5), adalah sulit untuk diverifikasi. Duyvendak, seperti banyak pejabat kolonial dan penulis, meninggalkan sedikit ketidakjelasan tentang kepastian ikatan bersama di antara saniri dan kakehan, namun itu bisa diasumsikan bahwa baik saniri dan kakehan beroperasi pada rencana organisasi sosial budaya yang sama.

27.  Verslag van het beheer en den staat der Oost-Indische Bezittingen, 1859, p. 16; Van Hoëvell 1896:516; Sachse 1907:95.

28.  DirFin to gg, 6-12-1890, na MinKol 1850–1900, 4675, Verbaal 25-2-1893 no. 44.

29.  Sebagaimana ditegaskan oleh Gubernur Jendral, Raad van Indies, dan para Direktur “Administrasi Dalam Negeri” dan Keungan, lihat gg to MinKol, 23-10-1892, Advies Raad van Indië, 26- 12-1890, DirBB to gg, 4-8-1890 and DirFin to gg, 6-12-1890, na MinKol 1850–1900, 4675, Verbaal 25-2-1893 no. 44.

30.  ResidentAmbontoDirFin, 25-1-1909, na MinKol1901–1953 ov, 651,Verbaal19-6-1909 no. 31.

31.  Lihat korespondensi antara Posthouder Amahei dan Resident Ambon (surat-surat bertanggal 25-10-1883, 24-6-1884, 15-11-1884, and 17-12-1884) dan Resident of Ambon to gg, 31-12-1884, anri as gb, 4111, mgs 5-2-1885.

32.  Legercommandant to gg, 27-1-1885, anri as gb, 4111, Besluit 14-2-1885.

33.  Resident van Ambon to gg, 21-11-1891, 16-9-1891 and 13-1-1892, na MinKol 1850–1900 3597, Geheim Mailrapport 1892 no. 96.

34.  Resident van Ambon to gg, 13-4-1885 and mgs 29-7-1885, anri as gb, 4111, mgs 3-6-1885.

35.  Resident van Ambon to gg, 14-9-1891, na MinKol 1850–1900, 4675,Verbaal 25-2-1893 no. 44.

36.  Pada tahun 1888, 9 Alfur dari nagari pesisir Kairatu dihukum karena tindakan pengayauan/perburuan kepala, Resident van Ambon to gg, 14-2-1890, na MinKol 1850–1900, 4675, Verbaal 25-2-1893 no. 44.

 

Catatan Tambahan:

a.        Lihat Gerrit Knaap, Headhunting, Carnage and Armed Peace in Amboina, 1500-1700, dimuat pada  Journal of the Economic and Social History of the Orient, volume 46, nomor 2, halaman 165-192, 2003

§  Gerrit Knaap, The Saniri Tiga Air (Seram): An account of its discovery and interpretation between about 1675 and 1950. (dimuat pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde edisi 149, tahun 1993, no 2, pada halaman 250 – 273).

b.       Harta pembayaran hutang ini berupa 10 buah gong dan 20 buah piring keramik (piring batu)

§  Lihat Resident van Ambon (Heijting) aan gouverneur-generaal (Van Rees), Ambon, 12 december 1884. No. 4368. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, mr. 81/1885.

c.        Kepala negeri/nagari Nuniali yang dimaksud bernama Pelakahu Lessij-Surikapa, seorang beragama Muslim. Pada tahun 1866, ia dihukum pembuangan ke Batavia

d.       N.A.Th. Arriëns bernama lengkap Nicolaas Anne Theodor Arriëns, lahir pada 8 April 1819 di Velp, dan meninggal pada 30 April 1870. Ia adalah putra dari Pieter Arriëns dan Anna Geertrui Tack. Ia menikah dengan Maria Catharina van Leeuwen.

e.        J.G.F. Riedel bernama lengkap Johann Gerhard Friedrich Riedel, lahir di Tondano pada 17 Februari 1832, dan meninggal di Batavia pada 15 Desember 1911. Ia adalah putra dari Johann Friedrich Riedel dan Maria Williams. Menikah dengan Susan Tower

f.         D. Heijting bernama lengkap Dirk Heijting, lahir pada 17 Agustus 1831, meninggal pada tahun 1919. Ia adalah putra dari Adam Heijting dan Catharina Beatrix Schouten. Menikah dengan Elisabeth Johanna Roer

g.        Jabatan sebenarnya adalah Komandan Detasemen dan Gezaghebber Sipil van West Ceram (Seram Barat)

h.       F.J.P. Sachse bernama lengkap Frans Jonathan Pieter Sachse, lahir di Gombong pada 11 Maret 1870, meninggal pada 20 September 1962. Ia adalah putra dari Johan Frederik Sachse dan Julie Adolphine Wilhelmina Storm van ‘s-Gravenzande. Menikah dengan Richarda van Aken

i.         L.A. van Gent bernama lengkap Librecht Antonie van Gent, lahir di Saparua pada 12 Mei 1846, meninggal tahun 1912. Ia adalah putra dari Johannes Lucas van Gent dan Anna Regina Pietersz. Menikah dengan Farsis Pical.

j.         Komandan militer yang dimaksud adalah Karel Lodewijk Pfeiffer.

k.        O.van Rees bernama lengkap Otto van Rees, lahir pada 4 Januari 1823, meninggal pada 10 Maret 1892. Ia adalah putra dari Johannes van Rees dan Geertruid Jacoba Eduardina Holmberg de Beckfelt. Menikah dengan Johanna Henriette Lucassen dan Johanna Sara Wilhelmina van Braam Moris.

l.         G.W.W.C. Baron van Hoëvell bernama lengkap Gerrit Willem Wolter Carel. Baron van Hoëvell, lahir pada 19 Juni 1848, meninggal pada 21 Desember 1920. Ia adalah putra dari Jacob Diederik baron van Hoëvell dan Cornelia Francisca Trip. Menikah dengan Catharina Jacqueline Monod de Froideville

m.      W. Rooseboom bernama lengkap Willem Rooseboom, lahir pada 9 Maret 1843, dan meninggal pada 6 Maret 1920. Putra dari Jacob Rooseboom dan Fernandina Frederika Waller. Menikah dengan Maria Johanna Escher dan Nanny Pit. Istri kedua (Nanny Pit) adalah putri dari oom istri pertamanya (atau sepupu dari istri pertama W. Rooseboom sendiri) 

n.     J.B. van Heutsz bernama lengkap Joannes Benedictus van Heutsz, lahir pada 3 Februari 1851, dan meninggal pada 11 Juli 1924. Putra dari Joannes Franciscus van Heutsz dan Maria Lucilla Koeken. Menikah dengan Maria Henriette van der Zwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar