Senin, 13 Desember 2021

Dari Potong Kepala hingga Pajak Kepala : Kekerasan, Pajak, dan Pemerintahan Kolonial di Seram, ca. 1860-1920


 (bag 2) 

[Maarten Manse]

 
 

3.     Memadamkan Api dengan Api

Pasukan Belanda yang ditempatkan di Piru menggunakan tindakan yang ditargetkan untuk memaksa para kepala suku Seram Barat bekerjasama, tetapi peperangan di hutan Seram sangat melelahkan dan membuat mereka hampir tidak mampu menahan serangan balasan Alfur. Keberhasilan membuat kekuasaan kolonial membutuhkan keseimbangan antara kekerasan militer dengan politik dan diplomasi. Residen E.van Assena (menjabat 1900-1905) mengharapkan “kebijakan menahan diri” akan memicu “keberanian berlebihan di antara Alfur, sementara “hukuman dengan tembakan” yang tidak semestinya hanya akan menyebabkan lebih banyak serangan dan meningkatkan permusuhan terhadap nagari pesisir37. Sebaliknya, Van Assen menyusun rencana untuk langsung menghubungi pemimpin-pemimpin lokal untuk menjalin hubungan. Di bawah pengawalan militer, dimulai dengan pos terdepan di Piru yang akan diawaki oleh Sachse, pemerintah di Seram Barat kemudian akan dengan hati-hati “mengawasi” Alfuru untuk menegakkan larangan pengayauan38. Koneksi baru melalui kapal yang disponsori oleh pemerintah dari Seram Selatan ke bagian lain Nusantara akan mengaktifkan perdagangan, dan memicu aliran dana untuk memungkinkan pengenaan pajak penghasilan untuk mendanai militer dan administrasi39. Untuk memprofesionalkan birokrasi, para posthouder, yang kapasitas intelektual dan kemampuan administrasinya semakin dikritik oleh pejabat tinggi, digantikan oleh para controleur (administrator lokal)40.

Van Assen menghitung bahwa dengan mengimpor pajak kepala di Ambon ke wilayah Seram dan kepulauan Kei dan Aru, gaji yang memadai untuk para controleuer dapat didanai (lihat tabel 1), mewujudkan mimpi buruk kaum Alfur yang harus membayar demi penaklukan mereka sendiri41. Van Assen mengira negeri-negeri pesisir telah dipengaruhi oleh pemerintahan Eropa modern secara efisien untuk “siap dikenakan pajak”42. Untuk mencegah penolakan, dia menyarankan agar penilaian moderat maksimum f 1,00 per orang per tahun, terus dipertahankan. Dia menganggap pelestarian “perdamaian dan ketenangan” penting untuk pembangunan sosial ekonomi. Dengan demikian, pajak diduga membantu memaksakan tatanan kolonial untuk melindungi Alfur dari “kecenderungan kekerasan” mereka sendiri, dan mengamankan gagasan tentang negara yang kuat dan mampu merawat keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Hanya ketika ditundukkan, diperintah, dikristenkan, dan dikenai pajak secara militer, barulah mereka menjadi “warga-warga” negara kolonial yang berhasil, mengirimkan sinyal kuat bahwa tidak ada lagi tempat untuk pengayauan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya di dalam wilayah-wilayah yang diakui negara kolonial. 

Di sini, Belanda menggunakan berbagai teknik pendisiplinan dari kotak peralatan kolonial mereka, termasuk pelucutan senjata secara struktural, pemukiman kembali, pemaksaan hunian tetap para penduduk, pemindahan/pergantian kepala suku, dan penghancuran ikatan lokal antara tanah dan orang-orangnya, untuk menyusun kembali kegiatan-kegiatan dan hierarki, serta pengenalan layanan tenaga kerja dan pajak. Van Assen mengunjungi pulau itu untuk bernegosiasi dengan kepala-kepala suku setempat tentang potensi penerimaan populer dari pajak kepala itu. Dia melaporkan bahwa selama penilaian, tidak melebihi f 1,00 per orang, pajak akan diterima43. Pendapatan tambahan, Van Assen berharap, dapat diperoleh dengan menghapuskan larangan mengimpor minuman keras sehingga “daripada pedagang asing [........] pemerintah akan menuai keuntungan [.......]  dari penjualan alkohol”44. Pemerintah tertinggi menyetujui rencana Van Assen dan menyediakan anggaran untuk perluasan administrasi di Seram45

Sungai Sapalewa, ca. 1920

Namun, otoritas politik Belanda tetap lemah. Pada tahun 1904, di Tihulale, di pantai selatan Seram Barat, penduduk desa menolak melakukan “layanan kerja negeri” untuk pembangunan infrastruktur yang telah diperkenalkan pemerintah tahun itu (Sachse 1922: 85). Di seluruh Nusantara, tenaga kerja corvée digunakan sebagai instrumen sosial ekonomi rutin untuk “mendisiplinkan” dan menggunakan tenaga kerja pribumi untuk tujuan negara. Namun, tidak seperti di Jawa, misalnya, dimana pertanian skala besar dan pembangunan negara berjalan seiring dengan skema redistribusi tanah dan tenaga kerja, layanan seperti itu tidak ada di Seram sebelum penjajahan. Di Tihulale, orang-orang marah dengan penerapannya. Mereka menyerang kepala negeri mereka dan menggantungkan bendera Belanda secara terbalik saat kunjungan Van Assen, dan militer harus turun tangan untuk memulihkan ketertiban (Sachse 1919: 79). Akibatnya, Van Assen menjadi tidak yakin apakah aman untuk menerapkan pajak kepala di pedalaman. Karena pengenalan pajak terutama dimotivasi oleh keinginan untuk mendesentralisasikan pendanaan administrasi kolonial (penduduk yang ditaklukan diharapkan untuk mendanai prosese kolonisasi dan “memperadabkan” mereka sendiri), rencana Van Assen mengusulkan untuk menutupi biaya administrasi sepenuhnya oleh pengenaan pajak kepala secara lokal. Namun, setelah insiden di Tihulale, dia menyarankan agar wilayah pedalaman tidak dikenakan pajak kepala. Oleh karena itu, sebagian besar pendapatan yang dihitung akan dikumpulkan dari negeri-negeri pesisir dan kepulauan Kei dan Aru (diperntah di bawah “karesidenan” Ambon) (lihat tabel 1), dan kelompok Alfur pedalaman masih tidak mau membayar administrasi mereka sendiri46.

Merasa tidak puas, dewan penasehat pemerintah kolonial pusat mengakui bahwa idealnya “melakukan kampanye militer untuk memaksa orang membayar” harus dihindari, tetapi tetap merekomendasikan agar Van Assen dan Sachse diganti, karena “kurangnya kepemimpinan” dengan “kepemimpinan perwira-perwira militer” yang telah “mendapatkan tajinya di Aceh”, untuk mengakhiri “tulisan bolak-balik yang tidak perlu”47. Tidak lagi dianggap dapat diterima bahwa pedalaman hanya dapat diakses melalui perantara pesisir. Gubernur baru Seram Baratb, seorang veteran Aceh, Mayor A.P. van de Siepkampc, mengecam keras kebijakan para pendahulunya, yang ia tafsirkan sebagai “kompromi dan memenuhi kebutuhan rakyar” yang didukung oleh “mentalitas yang mendukung perdamaian nyata daripada pemerintahan yang kuat”48. Van Siepkamp terkesan dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan oleh Sachse, tetapi berpikir itu telah digunakan secara tidak efektif. Khususnya tentang Patasiwa, ia menegaskan, “mengakui pemerintah Hindia Belanda hanya dalam nama saja, tetapi pada faktanya mempertahankan sikap bermusuhan”49. Dia mendukung gagasan bahwa dendam kaum Alfur terhadap negeri pesisir menyebabkan permusuhan dan penyerangan, tetapi juga percaya bahwa kelompok Alfur “secara fisik kuat dan gesit, tidak dipercayai dan memiliki sifat pendusta” membutuhkan tindakan keras dan perlucutan senjata secara penuh, sebelum pajak kepala dapat diterapkan dengan aman50.

Serangkaian kampanye militer baru ke pedalaman Seram Barat menaklukan negeri Hunitetu, Rumahsoal, Tala, Sapalewa, dan Ahiolo pada tahun 1906 (Sachse 1922: 166-181). Mengikuti contoh Aceh, Seram kemudian diperintah oleh perwira-perwira militer. Alih-alih ideologi yang direncanakan dan ambisi kepatuhan damai, Belanda akhirnya menggunakan militerisme untuk menangani perlawanan, semua atas nama “pembangunan” dan “perbaikan”. Kekerasan, ciri khas utama yang dianggap berasal dari Alfur, menjadi poros pemerintahan Belanda. Sebuah “pemberontakan putus asa terakhir” yang terjadi di daerah sekitar Sapalewa pada tahun 1915, ketika ritual kakehan (sekali lagi) dilarang, ditumpas secara brutal. Orang-orang yang terlibat, secara paksa dipindahkan lebih dekat ke pantai (Sachse 1922: 186).

 

4. Ketegasan, Praktik Pengetahuan dan Aturan tidak langsung

Intervensi yang kuat ini membuahkan hasil. Pada akhir tahun 1906, banyak kepala suku yang tidak kooperatif disingkirkan, senjata disita, ritual kakehan dilarang, dan orang-orang dikumpulkan kembali dan dipindahkan (Sachse 1907: 73; 1919: 84-95; 1922: 95, 178). Orang-orang Alfur tertulis dalam daftar pajak yang menurutnya semua harus tinggal di desa tetap dibawah kepemimpinan kepala yang ditunjuk51. Komunitas kecil dari dusun terkait atau sekutu yang terlalu kecil untuk secara efektif mengontrol dan pajak dikelompokkan kembali sebanyak mungkin kedalam soa dan nagari yang cukup besar (Ruinen 1922: 228; Boulan Smit 1998: 57). Masyarakat Alfuru secara bertahap disingkap, yang diyakini memungkinkan regulasi, pengawasan, dan keamanannya. Sachse (1919: 74) melaporkan bahwa :

Alfur pedalaman meninggalkan sikap provokatif dan kesombongan mereka dan mengikuti aturan [Belanda] dengan cukup baik [......] penduduk pesisir meninggalkan sikap malasanya dan nagari-nagari dibangun kembali [......] sehingga orang-orang berhenti berkeliaran dan pedalaman kembali dihuni

Yang penting bagi proyek kolonial untuk merekondisi masyarakat adalah kerjasama para kepala suku pribumi, yang kepentingannya jarang selaras sepenuhnya dengan kepentingan Belanda. Kerajaan kolonial biasanya dicirikan oleh kekurangan tenaga kerja dan kapasitas administratif, dan bergantung pada lapisan perantara kaum pribumi dan kelas penguasa untuk penyediaan informasi dan pelaksana kebijakan. Di Indonesia, akses ke penguasa pribumi seringkali bergantung pada adanya perpecahan internal lokal di antara faksi-faksi yang bertikai, yang memberikan kesempatan kepada Belanda untuk menengahi dan masuk sebagai “raja asing” (Henley 2002). Di Seram, yang masih tetap buta pada hierarki lokal, Belanda menerobos pola-pola pemerintahan yang mapan dan dugaan “siklus kekerasan” pembalasan dan balas dendam. Alih-alih keadaan tanpa kewarganegaraan, para penguasa lebih menyukai semi-penggabungan ke dalam rezim asing untuk mengontrol hubungan mereka dengan negara. Ini juga memberi mereka kesempatan untuk naik level secara sosial, meskipun harus dibayar dengan banyak kecemburuan (Henley 2002: 10-11, 89). “Kecemburuan” ini, dan kekuatan koersif dari intimidasi militer, mendorong pemimpin-pemimpin Alfur untuk menerima supremasi Belanda secara nominal dengan imbalan posisi di layanan sipil kolonial. Mereka dibujuk untuk menerima supremasi Belanda dengan menandatangani kontrak yang menjanjikan mereka kekuasaan, dan kekayaan yang lebih besar, dan diangkat dari perwakilan keluarga dan arbiter adat menjadi kepala desa sepenuhnya yang diberikan gelar dan gaji. 

F.J.P. Sachse di Wahai, tahun 1902

Para kepala suku ini karena kefasihan berbahasa Melayu dan kesetiaan kepada Belanda, daripada ketrampilan administratif atau ikatan mereka dengan komunitas lokal (Ruinen 1929 : 228-229), sehingga garis warisan terputus dan tatanan sosial dibentuk ulang (Boulan-Smit 1998: 51; Tichelman 1925: 696-698). Mereka dihargai atau disanksi berdasarkan pendapatan yang mereka kumpulkan. Kepentingan utama para kepala suku adalah untuk terus memberikan informasi dan pendapatan pajak yang cukup kepada negara agar tetap puas, sambil memaksimalkan upah mereka sendiri dengan mempertahankan dan membebani sebanyak mungkin penduduk. Hanya memberikan tongkat, jas, dan gelar kepada kepala daerah lokal tidak menjamin komunikasi agenda pemerintahan kolonial, meskipun hal itu tetap penting dalam memvalidasi klaim kekuasaan (Ellen 1997). Sebagian besar status baru mereka bergantung pada ekspresi kekuasaan daripada kapasitas administratif yang sebenarnya. Birokrasi kertas negara, dengan formulir pendaftaran, tata cara, dan tagihan pajak, dilengkapi dengan pertunjukan ritual dan pertunjukan agung yang dibuat resmi oleh negara untuk menimbulkan kesan perpaduan hibrida dari tata negara modern dan tradisional.

Gambar 2, foto yang diambil/dibuat sekitar tahun 1905, saat tur kunjungan Sachse, menggambarkan 4 tetua desa Seram Barat yang diangkat sebagai penguasa dalam pemerintahan kolonial Belanda. Menampilkan mereka yang menyandang gelar asing seperti patih dan orangkaja, mengenakan jas dan topi Eropa, dan memegang perlengkapan yang relevan termasuk tongkat (tongkat bergagang/berkepala emas atau perak), foto ini menunjukan status yang diberikan kepada mereka, menambah keagungan pada apa yang mereka rasa kurang dalam kekuasaan. Sebagai penguasa Seram yang berpakaian rapi dan tidak langsung, para kepala suku ini dianggap sebagai ikon pemerintahan kolonial yang adil, melayani dan mewakili negara yang haus infromasi untuk mendukung perpajakan yang adil, dan pemerintahan yang sah, dan menandai era baru perdamaian (Pax Neerlandica), pembangunan sosial, dan perbaikan yang dijiwai dengan nada kuat dari kolonialisme peradaban yang kuat pada awal 1900-an. Namun dibalik tirai otoritas dan keagungan ini, berdiri sebuah kenyataan yang sangat kontrak dengan apa yang coba diungkapkan oleh foto tersebut. 


Secara teoritis, “emansipasi” secara bertahap akan mendidik penguasa pribumi dengan menyerahkan otoritas dengan harapan para penguasa ini akan mengambil instrumen modern yang disediakan negara. Tetapi dengan menginternalisasi hierarki, pengetahuan, dan adat lokal, praktik-praktik aturan, kekuasaan, dan mediasi yang melekat dimasukan bersamanya. Penguasa Seram dipilih dan diangkat berdasarkan pilihan praktis yang diinformasikan oleh keinginan untuk mengembangkan administrasi secepat mungkin untuk memungkinkan perpajakan.

Seperti di tempat lain di Indonesia, mereka menerima 8% “gaji pungutan” dari pendapatan pajak dan sejumlah layanan tenaga kerja52. Ini konon menghasut mereka untuk memaksimalkan beban mereka pada pendapatan masyarakat untuk membuat pemerintah daerah sepenuhnya mandiri dan memajukan swasembada perbaikan rakyatnya melalui pengenaan pajak. Menurut Sachse, bagi hasil “menghasut para regent untuk mengabdikan diri mereka pada perwatan hiegenis rakyatnya, untuk mengurangi jumlah kematian dan meningkatkan jumlah pernikahan dan kelahiran” (Sachse 1922: 134-135). Tetapi karena mengelola dan bepergian di Seram adalah kegiatan yang memberatkan dan mahal, para “regent” ini memegang kendali penuh atas organisasi sistem perpajakan – pelaksanaan sensus, penyusunan daftar penilaian, dan pengumpulan pajak. Hal ini memberikan banyak peluang untuk “manipulasi” dan “korupsi”, terutama karena mereka diberi penghargaan sendiri berdasarkan jumlah pajak yang mereka kumpulkan (Sachse 1907: 71-72). Para kepala suku dengan penuh semangat menerima supremasi Belanda untuk menggunakan kekuatan baru mereka seperti yang dinyatakan dalam regalia dan dokumen-dokumen untuk keuntungan mereka sendiri. Negara nyaris tidak mengontrol politik dalam negeri dan hanya ikut campur jika terjadi gangguan, yang membahayakan agenda kesetaraan, keadilan, dan perbaikan sosialnya.

Politik emansipasi memungkinkan negara untuk tetap “tegas” dan meminimalkan beban administrasi kaum Eropa (Slater dan Kim 2015). Dengan menunjuk pemerintahan ke “para kepala suku” yang sebelumnya tidak dipercaya, kebutuhan untuk memperluas secara struktural kemampuan untuk mengumpulkan pengetahuan dan untuk memaksimalkan kekuasaan kolonial menjadi berkurang, banyak keuntungan dari negara yang terlalu hemat, yang menetapkan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan biaya minimal untuk memastikan efisiensi maksima. Bentang alam dan lingkungan sosial Seram yang menantang, membuat pengawasan menjadi upaya yang bermasalah, memungkinkan para kepala suku untuk lebih jauh memanipulasi instrumen negara untuk tujuan mereka sendiri.

Peran “negara modern” dan pemerintahan di negara-negara kolonial, seperti yang diidentifikasi dalam sensus, survei tanah, produksi pengetahuan, pembuatan hukum, dan kodifikasi, karena itu harus dipertimbangkan kembali. Tampaknya di tempat-tempat seperti Seram, pejabat negara memecahkan masalah inefisensi dengan secara strategis mendelegasikan beban administrasi kepada elit pribumi, daripada mengumpulkan pengetahuan untuk mendominasi dan memperbaiki masyarakat. Mereka menyerahkan beban dan tanggung jawab fiskal-administasi negara kepada masyarakat pribumi itu sendiri. Dengan demikian, kiasan seperti “penduduk pribumi yang malas“, “oriental yang lalim”, dan pemburu kepala yang tidak beradab” dikembangkan alih-alih “dipecahkan”, karena hal itu memberi Belanda alasan untuk kelanjutan kekaisaran mereka. Belanda tahu bahwa harmonisasi perbaikan sosial melalui pembangunan ekonomi dalam kerangka administrasi pemerintahan tidak langsung itu tidak mungkin, sehingga dalam kasus kolonisasi Seram, aturan tidak langsung berfungsi sebagai kendaraan ganda untuk pragmatisme administrasi dan legitimasi diri kolonial.

A.J. Baron Quarles de Quarles (1855-1914)

Pada tahun 1906, negeri-negeri pesisir dikenakan pajak kepala, yang menghasilkan sekitar f 14,000 hingga f 19,000 pada tahun 1906-190753. Tetapi untuk meningkatkan “keadilan dan kewajaran”, jumlah maksimum “pembayar pajak” harus dimasukan; dari tahun 1906 dan seterusnya, penduduk pesisir membayar “beban pemerintahan” bagi Alfur pedalaman. Pengganti Van Assen, A.J. Quarles de Quarlesd (1905-1908), menganggap waktunya telah tiba untuk “mengajarkan orang Alfur bahwa konsekuensi dari penaklukan mereka kepada otoritas Belanda [.......] terwujud dengan terlibat dalam pengeluaran publik”54. De Quarles setuju bahwa orang Alfur sulit untuk dikenai pajak karena “ketidakbiasaan mereka untuk kerja struktural” dan “tempat tinggal tidak tetap”, tetapi dia juga percaya bahwa mengenakan pajak akan menghasilkan

pengenalan yang lebih baik dengan tanah dan orang, karena para pejabat [.......] dapat berkunjung ke wilayah-wilauah untuk membangun hubungan yang lebih dekat antara orang yang membayar pajak dan administrasi kita55.

Ini akan mempercepat cengkeraman fiskal pemerintah di dalam negeri, seperti yang secara ambisius diyakini De Quarles. Selain itu, perpajakan, katanya, akan “sangat penting [.......] merangsang mereka untuk membawa produk-produk tanah mereka [......] ke pasar untuk menukarnya dengan uang”56. Bagi De Quarles, pajak berperan penting, baik untuk penerimaan pemerintahan kolonial, dan menaikan kaum Alfur ke tahap monetisasi dan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi. Tetapi direktur direktur Departemen Keuangan kolonial yang konservatife, merasa skeptis dengan “teori berani” ini. Dia khawatir, jika dibangun melalui perpajakan, hubungan antara negara dan rakyat akan tetap lemah, bermusuhan, dan tidak terkonsolidasi. Menggunakan perpajakan sebagai sarana untuk menilai letak tanah, tulis sang direktur, adalah strategi yang berbahata dan masalah “menempatkan kereta di depan kuda”. Kegagalan menerapkan pajak dapat diartikan sebagai tanda kelemahan dan pelemahan otoritas Belanda. Pajak, tulis sang direktur, merupakan “akhir tahap administrasi”, hanya untuk diterapkan di daerah-daerah yang sepenuhnya “dikuasai”57. Jadi Seram dijadikan contoh sekali lagi. Dilihat melalui lingkup pemerintahan tertinggi, wilayah pedalaman tidak dianggap layak untuk mempertaruhkan pergolakan lebih lanjut atau menghambur-hamburkan anggaran, suatu dosa administrasi-kolonial terbesar. 

A.W.F. Idenburgh (1861-1935)

Pada tahun 1909, Gubernur Jend Hindia Belanda, A.W.F. Idenburgf (menjabat 1909-1916) bertugas. Berdedikasi pada program etis, emansipasi, dan desentralisasi, ia menunjuk direktur keuangan yang lebih progresifg. Pengganti De Quarles, G. Sieburghh (bertugas 1908-1910), menerbitkan kembali rencana pajak, menyetujui bahwa pajak memiliki “keyakinan edukasi”. Selama “fiskalisme berlebihan” dihindari, katanya, kaum Alfur akan menyadari “manfaat membayar pajak”58. Sieburgh mendapatkan persetujuan dari direktur baru, dan memperkenalkan pajak pokok sebesar f 2 hingga f 7,50 di seluruh pulau pada tahun 1910. Pada tahun 1914, pajak kepala diganti dengan pajak perusahaan umum di Amahai dan Wahai, yang dikeluarkan untuk penduduk pribumi dan penduduk “Timur Asing” di seluruh Nusantara, dengan tarif fleksibel antara pajak f 0,40 per f 10,00 pendapatan59. Pada tahun 1914-1920, jumlah rata-rata f 5,30 per orang dikumpulkan di Amahai dan Wahai, dan pendapatan menunjukan pertumbuhan yang stabil hingga resesi kolonial pasca-Perang Dunia I (lihat gambar 3 dan tabel 2)60



Pengenaan pajak ini dipandang sebagai intervensi sosial yang berhasil. Sekitar tahun 1920, kaum Alfur membayar di atas tarif rata-rata pajak, yang dinilai di seluruh kepulauan bagi penduduk pribumi di kepulauan luar (Fievez de Malines van Ginkel 1929: 24-29, 53-54). De Quarles melaporkan “pembayaran pajak yang bersemangat, cepat dan tepat waktu”61. Sachse mengisyaratkan pengurangan tunggakan pajak yang signifikan, dan meramalkan bagaimana pelembagaan corvée lebih lanjut akan membantu melawan alkoholisme dan menanamkan “kepatuhan yang lebih besar” dan “menghormati otoritas” (Sachse 1922 : 190)62. G.L. Tichelmani, controleur Amahai (1918-1922), merayakan “efek edukasi” dari perpajakan yang telah ditunjukan seperti kaum Alfur, katanya, dengan mudah memenuhi penilaian pajak mereka dengan melakukan beberapa hari kerja ekstra untuk mendapatkan uang tunai, tanpa mengalami beban yang lebih tinggi63

G.L. Tichelman bersama istri di rumah Controleur di Amahai, ca. 1920

Laporan-laporan semacam itu menyembunyikan kenyataan resistensi struktural. Orang-orang secara teratur dilaporkan telah “melarikan diri” dari desa mereka untuk menghindari inkripsi, pemeriksaan pajak, dan kerja paksa, dan pemukiman paksa dialami sebagai pembatasan kebebasan (Boulan-Smit 1998: 53-56)64. Beberapa bangunan “palsu”, rumah-rumah sementara yang bobrok di pesisir, yang hanya mereka huni selama tur inspeksi pemerintah. Yang lain diam-diam menyelenggarakan pertemuan kakehan untuk melanjutkan ritual inisiasi untuk menghindari konversi ke agama Kristen, yang diyakini mempercepat inklusi ke dalam jaringan pendaftaran negara kolonial. Banyak yang menolak untuk didaftarkan atau mengungkapkan nama mereka dan pergi ke hutan sebelum pemungutan pajak dilakukan65. Pemberontakan terhadap pajak pecah di Maneo dan Amahai pada tahun 191566, yang oleh Sachse dikaitkan dengan “kekecewaan dan ketidakpuasaan yang mengakar tentang pelarangan kakehan” (Sachse 1919: 101)67. Hanya dibawah ancaman implisit struktural dari kekerasan militer, Belanda mampu memaksakan pemukiman penduduk desa dan pembayaran pajak, tetapi bahkan ancaman kekerasan digunakan 2 arah : pemberontakan skala kecil terus terjadi, dan senjata tetap tersedia secara luas di pulau itu (Sachse 1922 : 87-91; 1922: 85; Manuhutu 1985: 277-278, 293-295).

Kondisi negara yang rapuh ini memberikan kesempatan kepada para pesaing untuk menguji batas-batas negara. Pada tahun 1922, penduduk desa di negeri Rutah menolak untuk melakukan pelayanan negeri. Tampaknya seluruh penduduk telah bergabung dengan partai nasionalis anti kolonial, yaitu Insulindej, yang telah memberitahu mereka bahwa menjadi anggota partai itu, secara otomatis menghilangkan kewajiban mereka untuk melakukan pelayanan kerja dan membayar pajak (Chauvel 1990: 96). Menurut Tichelman, ini membuat “penduduk negeri kecil itu sebagai kambing hitam para pemimpin Insulinde yang licik”68. Refleks khas kolonial adalah menangkap “penghasut” yang dituduhkan dan memulihkan tatanan politik kolonial, tetapi para pejabat telah menemukan pesaing yang cakap, yang menyebabkan mereka kehilangan cengkeraman mereka di wilayah Alfur melalui masalah perpajakan. Seperti di tempat-tempat lain di Indonesia, pemain baru membentuk realitas kesadaran politik dan ativisme yang dalam jangka panjang, dapat dan tidak akan ditahan69.

Gambar 4 menampilkan Controleur Tichelman dan istrinyak mempersiapkan Queensday di rumah mereka di Amahai (huruf W [pada gambar] menunjuk Ratu Wilhelmina). Foto-foto seperti ini menggambarkan citra negara yang kuat dan bersatu serta kehidupan yang damai dan teratur di wilayah yang dulunya merupakan wilayah para pemburu kepala yang kejam. Tapi Amahai hanya sepelemparan batu dari Rutah, melambangkan bagaimana otoritas konkret pemerintah Belanda tercapai, mungkin tidak lebih jauh dari rumah controleur itu sendiri.

5. Kesimpulan

Kolonisasi Belanda atas Seram dilatarbelakangi oleh ancaman yang ditimbulkan oleh gaya hidup Alfur yang diduga, tidak terikat, “kekerasan”, dan tidak berwarganegara, terhadap kelanjutan kekaisaran Belanda dan rezim kebenarannya untuk kemajuan, keamanan, dan perkembangan. Dengan setiap tindakan kekerasan atau kampanye pengayauan yang dilakukan oleh Alfur, kekhawatiran ini diperkuat. Di negara kolonial modern, tidak ada ruang untuk kekerasan semaacam itu atau strategi altenatif apapun dari organisasi sosial. Rumusan suci administratif pemerintahan Eropa berusaha untuk memasukan semua tanpa kecuali untuk menyembuhkan “penyimpangan sosial”, seperti pengayauan (yang dikembangkan oleh obsesi sejati Belanda) atau tempat tinggal tidak permanen. Dorongan untuk “menyelesaikan masalah” kekerasan yang melekat dan pengayauan, dipandang penting tidak hanya untuk melindungi penduduk pesisir atau Alfur lainnya, tetapi juga untuk mengirimkan pesan yang jelas bahwa di dalam kekaisaran, tidak ada tempat untuk kekerasan “acak. Hal ini dilakukan untuk menjaga citra pemerintahan dan ketertiban kolonial yang kredibel dan sah di mata penjajah dan pihak terjajah di dalam dan di luar kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, Belanda membuang pola-pola tatanan publik, agama, sosial, dan spiritual yang saling terkait dengan Alfur, yang diekspresikan dalam perkumpulan rahasia, peperangan ritual, dan penciptaan perdamaian, sebagai “kekerasan tanpa pikiran” yang lahir dari “pendendam”, “biadab”, “tidak ekonomis”, dan perilaku “menghancurkan diri sendiri” yang merupakan gejala dari ketidakmampuan masyarakat pribumi bahkan untuk mencita-citakan “kemajuan”, “peradaban” dan “modernitas”. Melalui praktik diskursif  pengumpulan-pengetahuan yang khas, suku Alfur yang secara epistemik diesensialisasikan ke dalam kategori “pemburu kepala yang berbahaya dan tidak beradab”, yang memungkinkan tindakan kolonisasi “sah” di pedalaman Seram.

“Keinginan untuk berkembang” kolonial secara substansial diekspresikan melalui perpajakan, yang diasosiakan, baik oleh Belanda maupun Alfur, dengan tenaga kerja pertanian struktural yang menetap, tempat tinggal permanen, dan properti serta pendapatan tetap – singkatnya, kehidupan yang dapat dicatat di atas kertas. Pajak menawarkan pemberdayaan rasional yang resmi untuk mendobrak hambatan lokal untuk negara mereka; menginstal pemerintah lokal yang didanai sendiri; “benar” dan mendisiplinkan perilaku tertentu; dan menyalurkan reorganisasi sosial-politik. Dengan menundukan Alfur dan mengenakan pajak, negara kolonial melegitimasi diri dan mengukuhkan statusnya sebagai pemegang kekuasaan yang sah di Indonesia. Dengan demikian, pajak berada di garis depan modernitas kolonial “terutama yang berkaitan dengan melumpuhkan bentuk-bentuk kehidupan lama, dengan secara sistematis meruntuhkan kondisinya, sehingga mewajibkan bentuk-bentuk kehidupan baru muncul” (D.Scott 1995: 193).

Setelah ditaklukan dan dimasukan ke dalam daftar pajak di bawah pengawasan para pemimpinnya, Belanda mengharapkan Alfur secara otomatis menganut gagasan kemajuan kolonial dan mengakui “manfaat” imperialisme yang baik hati. Dengan keengganan Alfur untuk “bekerjasama”, Belanda melihat penegasan rezim kebenaran mereka, jelas, bahwa mereka masih “belum siap” untuk pemerintahan modern dan tidak layak untuk dikondisikan oleh pajak kolonial menuju bentuk-bentuk produktivitas dan kemakmuran yang lebih besar.  Kelanjutan kekerasan “melegitimasi” intervensi militer yang kuat, konversi, dan reformasi, sementara perpecahan internal di antara berbagai kelompok dan antara masyarakat pesisir dan pedalaman melengkapi pintu masuk Belanda sebagai “raja asing” untuk menarik penguasa lokal ke dalam skema pemerintahan tidak langsung Belanda. Alih-alih mengawasi Alfur melalui perantara pesisirnya, Belanda menunjuk “penguasa-penguasa boneka” kepada siapa sistem pemerintahan dan perpajakan, sebagian besar bersumber. Dengan demikian, Belanda menjunjung tinggi citra negara pajak yang seharusnya mahakuasa, bersatu, dan adil, sementara dalam kenyataannya, pengoperasian sistem pajak, keuntungannya dan kekuatan untuk mengumpulkan dan memberikan informasi kepada negara berdasarkan penilaian pajak, sebagian besar diserahkan kepada para penguasa ini, yang karenanya didorong untuk fokus pada ekstraksi maksimal dan peningkatan kekuatan simbolik mereka, daripada melaksanakan agenda pembangunan kolonial. Untuk mempertahankan gagasan tentang pemerintahan yang efisien, lokal, dan didanai sendiri oleh para penguasa yang “dibebaskan”, Belanda menyalahkan masalah yang melekat pada aturan tidak langsung yang disebabkan oleh dugaan kekurangaan “bawaan” masyarakat pribumi. “Kekurangan” ini terdiri dari agen dan kecerdikan Alfur dalam memanipulasi kebijakan negara kolonial. Ini bukan efek yang tidak disengaja yang hanya dimungkinkan oleh ketidakefektifan praktik kolonial, melainkan strategi aktif untuk menangkap peluang untuk merespons, menengahi, dan meminimalkan efek pemerintahan kolonial dengan melanjutkan praktik budaya untuk mempertahankan gaya hidup tanpa warga negara.

Di atas kertas, kolonisasi Belanda di pedalaman Seram tampaknya merupakan contoh praktik-praktik negara yang khas dalam pengumpulan pengetahuan, pendaftaran, dan reformasi sosial. Tetapi di bawah permukaan, tata cara, daftar, dan dokumen yang besar dan kuat, itu adalah proses kompromi dan adaptasi, berakar pada upaya-upaya tanpa henti untuk menegakkan simbolisme dan ritual, menutupi apa yang kurang dalam kekuasaan. Mendandani para kepala suku dengan pakaian Eropa atau mendirikan portal perayaan untuk Queensday melambangkan aturan tetapi tidak mewujudkan atau memutuskan hal itu. Ambisi pemerintah yang luas dari kebijakan Belanda tidak dicapai dengan membagikan gelar dan tongkat kerajaan, tetapi bergantung pada perubahan realitas perlawanan rakyat dan interaksi para pemimpin dan administratur di lokasi. Kepura-puraan setengah hati bahwa Seram hanyalah masyarakat lain yang damai, mandiri, dan produkti, yang tergabung dalam negara kolonial yang bersatu, tidak dapat menyembunyikan bahwa negara Belanda terus menerus bergantung pada ikatannya dengan struktur penguasa lokal dan pribumi dan kadang-kadang, penegakkan dari otoritasnya yang diakui. Sementara itu, ia juga berlomba-lomba untuk mempengaruhi masyarakat adat dengan entitas lokal, yang berkisar dari lembaga-lembaga politik ritual, seperti jejaring kakehan dan pela hingga partai-partai nasionalis.

Ini menunjukan bahwa pemerintahan kolonial bukanlah transisi pengetahuan dan data yang searah dan berlebihan ke dalam kebijakan yang dirumuskan secara terpusat; alih-alih, itu adalah proses enggan dari birokrasi tanpa akhir dan pertimbangan yang cermat, yang dicirikan oleh kesepakatan perantara, improvisasi dan strategi penghindaran dan perlawanan yang cerdik. Kehadiran ngara itu sendiri menuntut interaksi dan keterlibatan, tetapi alat-alat pendaftaran dan inkripsi negara terus menerus dihindari dan dimodifikasi. Orang-orang melarikan diri dari negara melalui kegembiraan, desersi, dan migrasi, dan bahkan ancaman kekerasan yang terus membayangi digunakan oleh kedua belah pihak – meskipun sebagai alat perlawanan, ia kehilangan popularitas karena Belanda telah terbukti setara, atau mungkin lebih kejam daripada Alfur.

Hibriditas memang merupakan inti dari pertemuan kolonial (Bhabha 1994: 21, 89, 111). Dalam relasi kolonial, adaptasi terjadi ketika masing-masing pihak menginternalisasi sifat-sifat yang lain. Skema pajak dan praktik administrasi dilakukan melalui interaksi antara penjajah Belanda dan masyarakat pribumi, melalui pragmatisme dan aka. Ranah pejabat, perantara, dan subjek menyatu dan melebur, meruntuhkan pemisahan kelas, kekuasaan, dan posisi yang dijunjung oleh negara, sambil menyusun kembali bentuk-bentuk baru praktik dan pengetahuan kolonial, serta mengubah negara kolonial dari dalam.

 

===== selesai ====

 

Catatan Kaki

37.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, pp. 2–3, Res. Ambon to gg, 2-9-1903, na MinKol 1901–1953 ov, 244, Verbaal 6-6-1904 no. 3.

38.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, pp. 2–3, Res. Ambon to gg, 2-9-1903, na MinKol 1901–1953 ov, 244, Verbaal 6-6-1904 no. 3.

39.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, pp. 7–8, na MinKol 1901–1953 ov, 244, Verbaal 6-6-1904 no. 3.

40.  Major Van de Siepkamp (lihat di bawah) mengklaim bahwa para posthouder memiliki “keterbatasan perkembangan dan intelektual” dan “mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan gubernemen” yang “berkontribusi pada menurunnya prestise gubernemen Eropa”

41.   Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, pp. 29–30, na MinKol 1901–1953 ov, 244 Verbaal 6-6-1904 no. 3.

42.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, p. 30, na MinKol 1901–1953 ov, 244 Verbaal 6-6-1904 no. 3.

43.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, p. 32, na MinKol 1901–1953 ov, 244 Verbaal 6-6-1904 no. 3.

44.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, p. 33, na MinKol 1901–1953 ov, 244Verbaal 6-6-1904 no. 3. “Menyembuhkan” alkoholisme juga di antara ambisi-ambisi gubernemen yang dilakukan oleh gubernemen dengan harapan untuk diperkenalkan pada Alfur

45.  A2 over voorstellen voor belastinginvoering op Ceram, gg to MinKol, 7-4-1904, na MinKol 1901–1953 ov, 244, Verbaal 6-6-1904 no. 3.

46.  Resident van Ambon to gg, 13-11-1903, Nota betreffende de organisatie van bestuur van het eiland Ceram en andere gedeelten van het gewest Amboina, pp. 15, 31; na MinKol 1901– 1953 ov, 244, Verbaal 6-6-1904 no. 3.

47.  Advies Raad van Indië, 10-3-1905, na MinKol 1901–1953 ov, 354, Verbaal 13-1-1906 no. 67; Eerste Gouvernements secretaris to Legercommandant, 11-3-1905, na MinKol 1901–1953 ov, 354, Verbaal 25-4-1905 no. 28.

48.  Voorstel tot pacificatie Ceram door Civiel Gezaghebber Maj. v.d. Siepkamp, na MinKol Politieke Verslagen en Berichten uit de Buitengewesten, 1898–1940, 2.10.52.01, 377.

49.  Van de Siepkamp mengklaim bahwa sebelum masa Van Assen dan Sachse, 'pembagian suku' antara suku Patasiwa dan Patalima tidak diketahui, meskipun De sluik-en . kroesharigerassen karya Riedel  (1886) menyebutkan perbedaan ini.

50.  Commandant van de mobiele colonne te Seram to gg, date unknown, na MinKol 1901– 1953 ov, 444, Verbaal 21-3-1907 no. 4.

51.   Resident van Ambon to gg, 12-1-1914, na MinKol 1901–1953 ov, 1230, Verbaal 14-8-1914 no. 41.

52.   Sampai tahun 1905, 'upah kolektor' juga diberikan kepada pejabat (Indo-) Eropa di Kepulauan luat, memberikan tambahan yang bagus untuk pendapatan mereka.

53.  Staatsblad van Nederlandsch-Indië 76/1906; Verslag Resident van Ambon to gg, 20-4-1906, 20-5-1906, and 2-7-1906, na MinKol 1901–1953 ov, 244, Verbaal 21-3-1904 no. 4.

54.  Resident van Ambon to gg, 11-9-1906, anri as gb, 1522, Besluit 5-5-1907/mgs 5-05-1907.

55.  Resident van Ambon to gg, 10-2-1908, na MinKol 1901–1953 ov, 587, Verbaal 30-9-1908 no. 6.

56.  Resident van Ambon to gg, 11-9-1906, anri as gb, 1522, Besluit 5-5-1907/mgs 5-5-1907.

57.  DirFin to gg, 4-3-1907 and Resident van Ambon to DirFin, 3-12-1906, anri as gb, 1522, Besluit 5-5-1907/mgs 5-5-1907; DirFin to gg, 13-6-1908, na MinKol ov, 587, Verbaal 30-9- 1908 no. 6.

58.  Memorie van Overgave G. Sieburgh, Ambiona, 1910, na MinKol Memories van Overgave, 2.10.39 (hereafter MvO), 312.

59.  Staatsblad van Nederlandsch-Indië 132/1914.

60. Sachse 1922:145. For Wahai in 1910 and Amahei in 1920, data are missing.

61.   MvO A.J. Quarles de Quarles, Ambiona 1908, na MinKol MvO, 311.

62.   Resident van Ambon to gg, 20-5-1906, na MinKol 1901–1953 ov, 444, Verbaal 21-3-1907 no. 4. Menurut Sachse, 'kerja tetap, pengawasan kebersihan dan terutama pencegahan kesempatan minum sagu' dengan memaksakan layanan corvée adalah 'untuk kepentingan rakyat'. Terkadang perpajakan dan corvée bertentangan; pada tahun 1915, pekerjaan jalan antara Murikau dan Piru dihentikan sementara agar masyarakat dapat membayar pajak mereka (Sachse 1919:20, 32–5, 37–8).

63.  MvO G.L. Tichelman, Amahei, na Collectie 133 G.L. Tichelman, 1907–1940, 2.21.097.01, 7.

64.  Resident van Ambon to gg, 12-1-1914, na MinKol 1901–1953 ov, 1230, Verbaal 14-8-1914 no. 41. See also Manuhutu 1985:298–9 and Tauern 1918:177.

65.  Resident van Ambon to gg, 12-1-1914, na MinKol 1901–1953 ov, 1230, Verbaal 14-8-1914 no. 41.

66. MvO H.J.A. Raed van Oldenbarnevelt, Ambiona 1915, na MinKol MvO, 313; MvO W.D. van Drunen Littel, Amboina 1918, na MinKol MvO, 314.

67.  Staatsblad van Nederlandsch-Indië 15/1910.

68.  Gezaghebber van Amahei to Assistent-Resident van Seram, 17-4-1920, na MinKol 1901– 1953 ov, 2406, Verbaal 12-4-1922 no. 37.

69. Resident van Ambon to gg, 22-4-1920, na MinKol 1901–1953 Mailrapporten 135, Mailrapport 1920 no. 553.

 

References
Unpublished Sources
Arsip Nasional Republik Indonesia (anri), Jakarta, Algemeene Secretarie (Grote
Bundel), 1522 and 4111.

Nationaal Archief, Den Haag, Archief Ministerie van Koloniën:
– 1850–1900
– 1695: Verbaal 23-12-1865 no. 10
– 2126: Verbaal 19-8-1868 no. 6
– 4245: Verbaal 19-3-1889 no. 61
– 4675: Verbaal 25-2-1892 no. 44
– 1901–1953, Openbaar Verbaalarchief (ov):
– 244: Verbaal 6-6-1904 no. 3
– 354: Verbaal 13-1-1906 no. 67
– 444: Verbaal 21-3-1907 no. 4
– 651: Verbaal 19-6-1909 no. 31.
– 587: Verbaal 30-9-1908 no. 6
– 1230: Verbaal 14-8-1914 no. 41
– 2406: Verbaal 12-4-1922 no. 37
– 1901–1953, Mailrapporten:
– 135: Mailrapport 1920 no. 553
Politieke Verslagen en Berichten uit de Buitengewesten, 1898–1940, 377.
Memories van Overgave, 311, 312, 313, 314.
Collectie 133, G.L. Tichelman, 1907–1940, 7.

Published Sources

§  Alatas, S.H. (1977). The myth of the lazy native: A study of the image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th century and its function in the ideology of colonial capitalism. London: F. Cass.

§  Aritonang, J.S. and K.A. Steenbrink (2008). A history of Christianity in Indonesia. Leiden and Boston: Brill.

§  Bartels, D. (1977). Guarding the invisible mountain: Intervillage alliances, religious syncretism and ethnic identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas. [PhD thesis, Cornell University, Ithaca.]

§  Bartels, D. (1994). In de schaduw van de berg Nunusaku: Een cultuur-historische verhandeling over de bevolking van de Midden-Molukken. Utrecht: Landelijk Steunpunt Edukatie Molukkers.

§  Benjamin, G. (2002). ‘On being tribal in the Malay world’, in: G. Benjamin and C. Chou (eds), Tribal communities in the Malay world: Historical, cultural and social perspectives, pp. 7–76. Singapore: iseas.

§  Bhabha, H.K. (1994). The location of culture. New York: Routledge.

§  Boulan-Smit, M.C. (1998). We, of the banyan tree: Traditions of origin of the Alune of West Seram. [PhD thesis, Australian National University, Canberra.]

§  Boulan-Smit, M.C. (2006). ‘Traditional territorial categories and constituent institutions in West Seram: The Nili Ela of ’wele Telu Batai and the Alune Hena of Ma’saman Uwei’, in: T. Reuters (ed.), Sharing the earth, dividing the land. Land and territory in the Austronesian world, pp. 157–77. Canberra: anu Press.

§  Brunner, O.R.E. (1928). De unificatie van het belastingstelsel in Ned.-Indië. Weltevreden: Kenanga.

§  Bush, B. and J. Maltby (2004). ‘Taxation in West Africa: Transforming the colonial subject into the “governable person” ’, Critical Perspectives on Accounting 15–1:5– 34.

§  Chauvel, R. (1990). Nationalists, soldiers and separatists: The Ambonese islands from colonialism to revolt, 1880–1950. Leiden: kitlv Press.

§  Cohn, B.S. (1996). Colonialism and its forms of knowledge:The British in India. Princeton: Princeton University Press.
Duyvendak, J.P. (1926). Het kakean-genootschap van Seran. [PhD thesis, Leiden University, Leiden.]

§  Eerde, J.C. van (1920). ‘Gegevens betreffende de onder-afdeeling West-Ceram’, Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap 37–4:531–5.

§  Ellen, R.F. (1997). ‘On the contemporary uses of colonial history and the legitimation of political status in archipelagic Southeast Seram’, Journal of Southeast Asian Studies 28–1:78–102

§  Ellen, R.F. (2014). Nuaulu religious practices: The  frequency and reproduction of rituals in Moluccan society. Leiden and Boston: Brill.

§  Fievez de Malines van Ginkel, H. (1929). Verslag van den belastingdruk op de inlandsche bevolking in de Buitenge westen. Weltevreden: Landsdrukkerij.

§  Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison. 2nd ed. New York: Vintage Books.

§  Fraassen, Ch.F. van (1987). Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel. Van soaorganisatie en vierdeling: Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië. [PhD thesis, Leiden University, Leiden.]

§  Havik, P.J., A. Keese and M. Santos (eds) (2015). Administration and taxation in former Portuguese Africa, 1900–1945. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars Publishing.

§  Henley, D. (2002). Jealousy and justice: The indigenous roots of colonial rule in northern Sulawesi. Amsterdam: vu Uitgeverij.

§  Hoëvell, G.W.W.C. baron van (1896). ‘Bijschrift bij de kaarten van Seran (Vulgo Seran)’, Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap 13:508–32.

§  Hugenholtz, W.R., (2008). Landrente belasting op Java, 1812–1920. [PhD thesis, Leiden University, Leiden.]

§  Jensen, A.E. (1948). Die drei Ströme: Züge aus dem geistigen und religiösen Leben der Wemale: Einem Primitiv-Volk in den Molukken. Leipzig: Harrassowitz.

§  Kafka, B. (2007). ‘The demon of writing: paperwork, public safety, and the reign of terror’, Representations 98:1–24.

§  Kloos,D.(2014). ‘A crazystate:Violence, psychiatry, and colonialism in Aceh, Indonesia, c. 1910–1942’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 170–1:25–65.

§  Knaap, G. (1993). ‘The Saniri Tiga Air (Seram). An account of its “discovery” and interpretation between about 1675 and 1950’, Bijdragen tot de Taal-, Land- enVolkenkunde 149–2:250–73.

§  Li, T.M. (2007). The will to improve: Governmentality, development, and the practice of politics. Durham: Duke University Press.

§  Lindblad, J.Th. (1989). ‘Economic aspects of the Dutch expansion in Indonesia, 1870– 1914’, Modern Asia Studies 23:1–24.

§  Locher-Scholten, E. (1981). Ethiek in fragmenten: Vijf studies over koloniaal denken en doen van Nederlanders in de Indonesische archipel, 1877–1942. Utrecht: Hes.

§  Locher-Scholten, E. (1994). ‘Dutch expansion in the Indonesian archipelago around 1900 and the imperialism debate’, Journal of Southeast Asia Studies 25–1:91–111.

§  Manuhutu, W. (1985). ‘Pacificatie in praktijk: De expansie van het Nederlands gezag op Ceram, 1900–1942’, in: J. van Goor (ed.), Imperialisme in de marge: De afronding van Nederlands-Indië, pp. 267–315. Utrecht: Hes.

§  Meijer Ranneft, J.W. and W. Huender (1926). Onderzoek naar den belastingdruk op de inlandsche bevolking. Weltevreden: ’s Landsdrukkerij.

§  Noor, F.A. (2020). Data-gathering in colonial Southeast Asia 1800–1900: Framing the other. Amsterdam: Amsterdam University Press.

§  Ong Hok Ham (1975). The residency of Madiun: Priyayi and peasant in the nineteenth century. [PhD thesis, Yale University, New Haven.]

§  Raben, R. (2013). ‘A new Dutch imperial history?: Perambulations in a prospective field’, bmgn: Low Countries Historical Review 128–1:5–30.

§  Riedel, J.G.F. (1921). De sluik- en kroesharige rassen tusschen Selebes en Papua. ’s Gravenhage: Nijhoff.

§  Ruinen, W. (1921). ‘Sagopalmen en hunne beteekenis voor de Molukken’, Indische Gids 43–1/2:501–23, 598–622.

§  Ruinen, W. (1929). ‘Ethnografische gegevens van West-Ceram’, Mensch en Maatschappij 5:220–32.

§  Ruiter, T.G. (2002). ‘State policy, peasantization and ethnicity: Changes in the Karo area of Langkat in colonial times’, in: G. Benjamin and C. Chou (eds), Tribal communities in the Malay World: Historical, cultural and social perspectives, pp. 401–21. Singapore: iseas—Yusof Ishak Institute.

§  Rutten, L. (1920). ‘Ontwikkelingsmogelijkheden van het eiland Ceram’, Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap 27:43–73.

§  Sachse, F.J.P. (1907). Het eiland Seran en zijne bewoners. Leiden: Brill.

§  Sachse, F.J.P. (1919). Gegevens uit de nota betreffende de onderafdeeling West-Ceram. Batavia: Encyclopaedisch Bureau.

§  Sachse, F.J.P. (1922). Seran. Weltevreden: Kolff.

§  Scott, D. (1995). ‘Colonial governmentality’, Social Text 43:191–220.

§  Scott, J.C. (1998). Seeing like astate:How certainschemes to improve the human condition have failed. New Haven: Yale University Press.

§  Scott, J.C. (2009). The art of not being governed: An anarchist history of upland Southeast Asia. New Haven: Yale University Press.

§  Slater, D. and D. Kim (2015). Standoffish states: Nonliterate Leviathans in Southeast Asia. TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia 3–1:25–44.

§  Stoler, A. (2009). Along the archival grain: Epistemic anxieties and colonial common sense. Princeton: Princeton University Press.

§  Szreter, S. and K. Breckenridge (2012). ‘Editors’ introduction. Recognition and registration: The infrastructure of personhood in world history’, in: K. Breckenridge and S. Szreter (eds), Registration and recognition: Documenting the person in world history, pp. 1–38. Oxford: Oxford University Press.

§  Tauern, O.D. (1918). Patasiwa und Patalima: Vom Molukken eiland Seran und seinen Bewohnern. Ein Beitrag zur Völkerkunde. Leipzig: Voigtländer.

§  Tichelman, G.L. (1925). ‘De onder-afdeling Amahei (Seran)’, Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap 42:653–724.

§  Vries, G. de (1927). Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran: Zeden, gewoonten en mythologie van een oervolk. Zutphen: Thieme.

§  Wahid, A. (2013). From revenue farming to state monopoly: The political economy of taxation in colonial Indonesia, Java c. 1816–1942. [PhD thesis, Utrecht University, Utrecht.]

 

Catatan Tambahan :

a.        E. Van Assen bernama lengkap Edzar van Assen, putra dari Anthonij van Assen dan Maria Elizabeth Schreuder. Ia lahir di Leeuwarden, pada tanggal 22 Maret 1853, dan meninggal pada 28 Februari 1932. Ia menikah dengan Cecilia Geertruida Maria Olimpia Sol.  Sebelum bertugas di Ambon, Van Assen menjadi Asissten-Resident Kutai, Kalimantan (1897-1900).  Di Ambon, ia menggantikan Residen Johannes van Oldenborgh (1896-1900).

b.        Jabatan sebenarnya adalah Assisten Resident afdeeling van Ceram, yang sekaligus komandan sipil dan militer

c.        Mayor A.P. van de Siepkamp, bernama lengkap Albertus Petrus van de Siepkamp, lahir pada 26 Maret 1858, meninggal pada 13 Februari 1929. Ia adalah putra dari Gerhardus Pieter van de Siepkamp dan Gezina Johanna Meinardina Beekhuis.  Ia bertugas di Seram sejak 17 Agustus 1905 hingga 21 April 1907, dan digantikan oleh M.C. Schadee (April 1907 – Juni 1909)

d.       A.J. Quarles de Quarles bernama lengkap Alexander Johan Baron Quarles de Quarles, putra dari Charles Henri Quarles de Quarles (1810 – 1882) dengan Anna Maria Emilia van Dongen (1829 - 1897). Ia lahir pada 10 April 1855 dan meninggal pada 20 Oktober 1914. Ia menikah 2 kali yaitu dengan Adolphine Jacqueline Johanna de Pesters pada tanggal 4 Juli 1889, dan dengan Catharina Maria Henriette van Ewijk pada 17 Februari 1914.

e.        Direktur Keuangan yang disebut konservatif, adalah J.P.C. Hartevelt (5 Mei 1906 – 2 Juni 1909)

f.         A.W.F. Idenburgh bernama lengkap Alexander Willem Frederik Idenburgh, putra dari Petrus Johannes Idenburgh dan Rosine Alexandrine Frederike van der Hegge Spies. Ia lahir pada 23 Juli 1861, meninggal pada 28 Februari 1935.  Ia menikah dengan Maria Elizabeth Duetz.  Ia menjadi Gubernur Jend Hindia Belanda pada 18 Desember 1909 hingga 21 Maret 1916.  Posisinya sebagai Gub Jend, digantikan oleh J.P. graaf  van Limburg Stirum (1916-1921)

g.        Direktur Keuangan yang dimaksud adalah F.A. Liefrinck (2 Juni 1909 - 17 Desember 1918)

h.       G. Sieburgh bernama lengkap Gerardus Sieburgh, lahir pada 25 Februari 1860, meninggal pada 8 Februari 1933. Ia adalah putra Edouard Nicolaas Sieburgh (1826 - 1871) dan Jacoba Antoinetta Wilhelmina Potter (1833 - 1908). Menikah dengan Catharina Leonie Maria van Asch pada 8 November 1894 di Oosterhout. Posisinya sebagai Resident van Ambon digantikan oleh Hendrik Jan Anthonie Raedt van Oldenbarneveldt (1910-1915)

i.         G.L. Tichelman bernama lengkap Gerardus Louwrens Tichelman, lahir pada 31 Januari 1893 di Palembang, dan meninggal pada tanggal 3 Januari 1962. Ia adalah putra dari Johannes Cornelis Tichelman dan Christina Louwrina Albertina van Eijck. Ia menikah dengan Sjoukjen Mararetha Elisabeth Albertina Posthuma pada tanggal 27 Desember 1917 di Seram. Di Amahai ia bertugas sebagai Controleur onderafdeeling van Amahai sejak 11 Januari 1918 hingga 01 November 1922, kemudian digantikan oleh L.J. Huisinga dalam status pejabat (November 1922 – 1923)

j.         Insulinde didirikan pada tahun 1907, di Ambon partai ini dikomandani oleh A.Pattinasarany dan Johan Tupamahu.  Pattinasarany menjadi anggota Ambonraad pada 1921-1927, sedangkan Johan Topamahu pada 1921-1927. 

k.     Istri G.L. Tichelman bernama Sjoukjen Mararetha Elisabeth Albertina Posthuma (Lihat catatan tambahan huruf  i)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar