Selasa, 12 Desember 2023

Pasar-pasar dan Perdagangan Jawa di era sebelum Majapahit

 

[Jan Wiseman Christie]

 

  1. Kata Pengantar

Tulisan yang diterjemahkan ini berjudul Markets and Trade in Pre-Majapahit Java, ditulis oleh [alm] Jan Wiseman Christie, dan dimuat oleh Karl. L. Hutterer (ed) dalam bukunya Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia : Perspectives from Prehistory, History and Ethnography, yang diterbitkan oleh The University of Michigan, USA, tahun 1977. Buku ini sendiri memuat 14 tulisan dari berbagai sarjana, dan terdiri dari 3 bab. Tulisan Jan Wiseman ini ditempatkan di bab III dengan sub judul Exchange and Prehistoric and Historic Development of Southeast Asia, pada halaman 197-212.

Tulisan ini terdiri dari 19 catatan kaki, dan tidak ada gambar/foto maupun tabel. Pada terjemahan ini, kami hanya menambahkan beberapa foto/gambar.  Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dalam mengembangkan wawasan kesejarahan kita.    

  1. Terjemahan

Pendahuluan: Perdagangan Jawa Awal

Referensi pertama yang jelas tentang Jawa dalam catatan Tiongkok muncu pada pertengahan abad ke-7. Ada sejumlah referensi awal mengenai “kerajaan” yang mungkin muncul di pulau tersebut, namun sampai saat ini belum ada identifikasi pasti mengenai “negara-negara” awal tersebut. “Negara” atau “Kerajaan” Ho-ling, yang mengirimkan misi pertamanya ke Tiongkok pada tahun 640 M, tanpa diragukan lagi telah diidentifikasi sebagai “negara” terbesar yang ada di Jawa pada waktu itu. Sejak pertama kali muncul dalam sejarah Tiongkok, Ho-Ling dilaporkan merupakan “negara” yang memiliki kepentingan komersial yang cukup besar di Laut Selatan. Laporan-laporan ini tidak hanya datang dari catatan-catatan istana (Wang 1958: 122-123), namun juga dari sumber-sumber Budha di Tiongkok. Sebagian besar peziarah yang melewati Laut Selatan pada abad ke-7 melakukannya dengan menggunakan serangkaian kapal dagang. Di antara mereka yang rencana perjalanannya diketahui, hampir sama banyak yang berlayar bersama pedagang menuju Ho-Ling seperti halnya Shih-li-fo-shih atau Srivijaya/Sriwijaya (Chavannes 1894)1, sebuah fakta yang diabaikan dalam antusiasme ilmiah mengenai Srivijaya dalam 60 tahun terakhir.

Peranan Jawa dalam perdagangan Asia Tenggara terus meningkat pada abad-abad berikutnya dan setelah abad ke-11, khususnya pada masa Majapahit (abad ke-14 dan ke-15) ketika Jawa dianggap sebagai kekuatan dagang dominan di Nusantara (Schrieke 1955: 19,29; Wolters 1967: 251). Sumber-sumber sejarah dari luar – terutama Tiongkok – tidak memberikan rincian apapun mengenai kegiatan perdagangan luar negeri orang Jawa pada akhir milenium pertama dan awal milenium kedua, dan juga tidak menyebutkan aktivitas ekonomi di Pulau Jawa sendiri. Namun demikian, terdapat sejumlah besar bahan-bahan epigrafi asli dan beberapa data arkeologis yang belum tergali, yang darinya kita dapat memperoleh sejumlah besar informasi mengenai perekonomian Jawa pada periode sebelum abad ke-14.

 

Sumber Internal: Bahan Arkeologi dan Epigrafi2

Data arkeologis dari Jawa masih sedikit pada periode ini. Meskipun jumlah monumen keagamaan yang diketahui – sebagian besar berasal dari akhir abad ke-18 dan ke-19 – lebih dari 100, namun belum ditemukan pusat populasi besar yang berusia lebih dari abad ke-14. Faktanya, di kawasan Jogjakarta-Magelang, Jawa Tengah, tempat sebagian besar peninggalan candi berada, hingga saat ini belum ditemukan pemukiman sekuler dalam skala berapa pun pada milenium pertama. Permasalahan kronologi, pola pemukiman, dan perekonomian hanya ditangani di 2 wilayah terbatas di Jawa Tengah – di Kabupaten Rembang di pantai utara (Asmar dkk, 1975) dan di wilayah dataran sekitar Jogjakarta (hanya tempat keagamaan, Asmar dan Bronson 1973) -. Jadi, berdasarkan data arkeologi saja, hanya kesimpulan sementara yang dapat ditarik mengenai hal-hal tersebut, seperti sifat organisasi politik dan ekonomi Jawa sebelum kontak dengan bangsa Eropa. Sekalipun terdapat lebih banyak data arkeologi yang tersedia saat ini, informasi yang tersedia dapat memberikan informasi mengenai hal proses yang terlibat dalam kegiatan ekonomi terbatas. Fakta yang menunjukkan pergerakan barang-barang tertentu yang tidak mudah rusak di dalam atau antar-daerah tidak banyak memberi tahu kita tentang mekanisme yang mengatur penyebaran barang-barang tersebut atau keadaan sosio-ekonomi yang lebih luas dimana hal itu terjadi. Tidak ada rekonstruksi yang akurat dan menyeluruh terhadap elemen masyarakat kuno yang kompleks yang dapat dilakukan tanpa adanya catatan-catatan dokumentasi.

Untungnya di Jawa terdapat banyak bahan dokumentasi dari periode tersebut dalam bentuk prasasti. Sekitar 250 prasasti batu dan pelat-pelat tembaga ini telah dipublikasikan. Sebagian besar materi epigrafi ini terbagi dalam 3 kelompok. Kelompok paling awal, yang berasal dari abad ke-5 hingga ke-9, berbahasa Sansekerta. Semua dari 20 atau lebih prasasti berbahasa Sansekerta yang dipublikasikan bersifat metrik dan bersifat religius atau eulogistik. 7 Dokumen berbahasa Melayu Kuno yang berasal dari abad ke-7 hingga ke-9 memiliki karakter yang lebih bervariasi, namun juga memberikan sedikit informasi mengenai ekonomi. Baru pada prasasti berbahasa Jawa pertama yang muncul pada awal abad ke-19 kita mulai mendapatkan informasi ekonomi yang berguna. Sekitar 95% prasasti berbahasa Jawa yang ditulis antara abad ke-9 dan ke-13 merupakan dokumen resmi yang mencatat hibah síma – pengalihan hak pajak oleh Raja atau penguasa yang lebih kecil/bupati setempat – hampir semua penerima manfaat hibah ini adalah lembaga keagamaan. Dari hampir 250 prasasti yang ditinjau/diselidiki, lebih dari 60 atau sekitar 25% ditemukan memuat referensi langsung terhadap berbagai bentuk dan tingkat kegiatan ekonomi. Format dokumen-dokumen ini, mulai dari contoh-contoh paling awal dan seterusnya, sangat terstandarisasi dan diformalkan, memberikan kesan bahwa jenis transaksi ini telah dicatat pada bahan-bahan yang lebih mudah rusak selama beberapa waktu sebelum awal abad ke-9.

Sumber Foto : Kenneth R. Hall

Latar Sosial Ekonomi: Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur  Awal

Prasasti berbahasa Jawa paling awal, yang berasal dari awal abad ke-9, memberi kita gambaran tentang masyarakat agraris yang makmur, padat penduduk, dan stabil secara politik. Hal ini ditandai dengan adanya kaum petani sejati, stratifikasi sosial yang berkembang dengan baik, dan suatu pemerintahan yang, jika tidak sepenuhnya tersentralisasi, didukung oleh birokrasi yang rumit dan sistem status yang sudah melibatkan para penguasa kecil di daerah-daerah semi otonom. Struktur pemerintahan ini dibiayai oleh sistem perpajakan langsung yang kompleks, ekstraksi tenaga kerja rodi, dan berbagai bentuk pajak pertanian mulai dari pemberian domain prebendal (melibatkan pengendalian pendapatan dari tanah dan bukan dari tanah itu sendiri) hingga penciptaan suatu kelas atau golongan yang disebut mangilala drwya haji (pemungut iuran raja), beberapa diantaranya setidaknya bertugas di istana dalam kapasitas kecil, dan sebagai imbalannya menerima hak untuk memungut biaya atau kehormatan di pedesaan3.

Meskipun wilayah dataran Jawa Tengah dan Timur mempunyai jumlah penduduk yang relatif padat, tampaknya belum ada pusat penduduk yang besar selain keraton (istana, ibu kota) hingga awal milenium kedua. Unit administratif dan ekonomi dasar tampaknya adalah wanua (kemudian disebut thani, paraduwan,dapur, desa)4 atau kompleks desa yang terdiri dari desa induk dan beberapa – idealnya 4 atau 8 anak dusun (Boechari 1973: 26,39; Moertono 1968: 27). Pola ini tercermin dalam pengelompokan administratif desa mancapat dan mancalima di masa kini (Moertono 1968: 27; Koentjaraningrat 1967: 270-271). Pada awal abad ke-19, Crawfurd mencatat bahwa tidak ada kata asli Jawa untuk kota kecil dan kota besar, dan bahkan ibu kota dan kota propinsi tidak lebih dari kumpulan desa-desa dengan istana di tengahnya. Namun ia melaporkan bahwa kompleks istana di Jogjakarta yang pada waktu itu berpenduduk lebih dari 10.000 orang (Crawfurd 1856: 182-183).

 

Pasar, Jaringan Perdagangan dan Perdagangan Lokal

Perekonomian Jawa pada abad ke-9 telah dimarketisasi, meskipun mungkin belum sepenuhnya dimonetisasi5, dengan siklus pasar 5 hari6 yang beroperasi di dalam dan memberikan kohesi pada wanua. Pasar ini tampaknya beredar di antara kelompok wanua yang cukup padat. Tidak ada indikasi adanya hierarki pusat-pusat pasar seperti yang dijelaskan di pedesaan tradisional Tiongkok (Skinner 1964), meskipun pasar-pasar di istana raja atau penguasa kecil dan di beberapa pusat keagamaan tidak diragukan lagi lebih besar daripada rata-rata pasar pedesaan.

Pasar (pkĕn/pkan dalam bahasa Jawa kuno, meskipun dalam beberapa dokumen selanjutnya kata pasar yang berasal dari bahasa Persia digunakan) memiliki lokus tetap. Tempat-tempat pasar kadang-kadang dikutip bersama dengan jalan dan fitur alam seperti sungai dan hutan dalam menggambarkan posisi sebidang tanah, seperti misalnya dalam prasasti Muncang tahun 944 M :

          (7) .........lma kidul ning pkan in muncang...............(10)..............lor ing pkan ing muncang .....

          (7) ......... tanah di selatan pasar di Muncang...........(10).............. utara padar di Muncang

          (Brandes dan Krom, 1913: 108)

Kadang-kadang bahkan nama dusun di wanua mencerminkan posisi pasar7.

Pasar dipimpin oleh pejabat setempat, apkĕn atau mapkĕn, yang mengontrol akses ke pasar dan memungut biaya atau pajak atas barang yang ditawarkan untuk dijual di lingkungannya8. Referensi-referensi pejabat pasar ini terdapat dalam prasasti-prasasti Jawa kuno yang paling awal dan terus muncul dengan frekuensi yang relatif sepanjang periode penelitian, baik dalam daftar pejabat wanua maupun daftar mangilal drwya haji. Setidaknnya dalam beberapa kasus, mereka termasuk dalam golongan pejabat wanua yang dibayar atas jasa mereka dalam memanfaatkan tanah wanua9, sebuah sistem yang masih digunakan di Jawa untuk memberikan imbalan kepada pejabat desa (Koentjaraningrat 1967: 273).

Para pedagang yang beroperasi di pasar pedesaan termasuk petani lokal, pengrajin, dan beberapa kelas/kelompok pedagang keliling, pengangkut dan perantara profesional, seperti :

§  adwal     : penjual, pedagang kecil-kecilan

§  apikul    : pengangkut/pedagang yang menggunakan pikul atau potongan di bahu (kelompok pengangkut yang menggunakan kereta atau hewan pengangkut nampaknya juga ada, namun terminologinya tidak jelas. Kadang-kadang juga disebutkan penggunaan rakit dan perahu)

§  adagang : pedagang, mungkin berskala reltif kecil, meskipun di atas level adwal dan mencakup wilayah yang lebih luas. Mungkin bukan orang asing.

§  abakul atau adagang bakulan : perantara/agen profesional di pasar??

§  banyaga bantal : (dari bahasa Sansekerta vanij “pedagang”, dan bahasa Jawa bantal, satuan ukuran kecil yang biasanya dikaitkan dengan barang yang dibawa pikul) pedagang berukuran sedang?. Posisi banyaga bantal tampaknya berada di pinggir pasar pedesaan (lihat catatan kaki nomor 19). Banyaga, atau pedagang skala besar, tidak beroperasi di pasar pedesaan. Kelompok ini akan dibahas di bagian selanjutnya.

Volume dan jenis barang yang ditangani oleh masing-masing vendor pada tingkat ini jelas lebih kecil dan jumlah serta variasi vendor juga banyak10. Tatanan pasar pada periode ini sangat mirip dengan apa yang dijelaskan oleh Raffles pada awal abad ke-19 (Raffles 1830: 193, 220-221), dan tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemukan di Jawa saat ini. Karena tidak ada satu pun prasasti yang berhubungan langsung dengan transaksi pasar (prasasti tersebut hanya mencantumkan jumlah dan kelompok pengrajin dan pedagang lain yang dibebaskan dari pajak), kita hanya mengetahui sedikit tentang mekanisme intra pasar yang menopang dan mengatur pertukaran barang dan jasa. Namun, tampaknya rata-rata pasar pedesaan menangani jenis barang dan jasa yang secara substansial sama dengan pasar abad ke-19 dan, sebagian besar, pasar pedesaan modern, dan transaksinya mempunyai skala yang hampir sama. Barang-barang dagangan biasanya berupa barang-barang yang mudah diangkut dan relatif tidak mudah rusak seperti tekstil, perangkat keras, logam, barang-barang rumah tangga, bahan makanan yang dapat disimpan dan lain-lain. Sebagian besar barang-barang ini, dalam jumlah yang ditangani oleh masing-masing pedagang (biasanya senilai pikul), mungkin tidak memerlukan investasi modal yang besar, meskipun barang-barang bergengsi seperti emas dan perhiasan juga diperdagangkan. 

Pasar wanua tidak terisolasi atau mandiri. Seperti disebutkan di atas, para pedagang yang sering mengunjungi pasar tidak hanya mencakup petani dan perajin lokal, namun beberapa kelompok pedagang keliling dan pengangkut. Síma memberikan pembebasan pajak kerajaan kepada para pedagang yang tinggal di wanua, tidak hanya atas transaksi komersial di dalam batas-batas wanua, namun juga di semua distrik lain yang mereka datangi. Selain itu, banyak produk yang dibawa oleh para pedagang ini jelas-jelas berasal dari daerah : garam dan pewarna wungkudu dari pantai utara, beras dari dataran rendah, timah dan mungkin logam lain yang seluruhnya berasal dari luar Jawa.

Kehadiran abakul di pasar abad ke-9 mungkin menunjukkan bahwa jaringan perdagangan antar pasar di Jawa modern berakar pada milenium pertama. Bakul, yang merupakan bagian penting dari pasar modern di Jawa (Dewey 1962: 75-81), muncul sejak tahun 880 M (Boechari n.d. : 23), meskipun, jika frekuensi penyebutannya bisa dijadikan panduan, tampaknya jumlah tersebut jauh lebih sedikit bakul di antara pada pedagang dibandingkan yang ada saat ini. Bakul modern adalah pedagang perantara profesional, yang biasanya menjalankan bisnis hanya di kawasan pasar, membeli dalam jumlah besar dari pengangkut tahap pertama (petani dan pengolah) dan menjual secara eceran ke pembeli perorangan atau dalam jumlah besar ke pengangkut tahap kedua (pikul – pembawa, dan lain-lain). Karena bakul (abakul) dan berbagai kelompok pengangkut muncul dalam prasasti, hal ini mungkin menunjukkan bahwa pola spesialisasi ekonomi juga terdapat di pasar kuno. Dulu, seperti sekarang, operator tahap kedua harus menyediakan tautan penting yang mengikat setiap pasar ke dalam jaringan regional. Saat ini, bahkan dalam menghadapi persaingan dari jenis angkutan lain, pengangkut pikul memandahkan barang dalam jumlah besar ke kelompok 4 pasar atau lebih (Dewey 1962: 132).

Kesan yang diperoleh dari prasasti tentang jaringan perdagangan intra dan antar kawasan yang berkembang dengan baik (walaupun belum tentu bersifat hierarkis) didukung oleh sedikitnya data arkeologi yang tersedia saat ini. Sebuah survei terhadap jenis-jenis tembikar yang ada di sejumlah situs candi di dataran Jawa Tengah (termasuk bahan galian dan bahan yang dikumpulkan di permukaan), menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-8 atau ke-9, produk-produk dari setidaknya 3 pusat pembuatan tembikar yang terpisah beredar di seluruh wilayah tersebut antara Prambanan dan Magelang. Pola yang sama juga terjadi di Kabupaten Rembang di pesisir utara: sejak abad ke-10, barang-barang lokal tersebar di seluruh wilayah survey yang luasnya sekitar 2.500 km2 (Asmar dkk. 1975: 98-100).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem pasar modern di Jawa “sebagian besarnya bukan merupakan pertumbuhan lokal, melainkan diperkenalkan dari luar pada saat Jawa telah mencapai tingkat perkembangan sosial, politik, dan agama yang sangat tinggi” (Geertz 1963b: 42), dan bahwa “barulah pada abad ke-14 dan abad-abad setelahnya.....(bahwa) pola pasar mengambil bentuk historisnya yang khas” (hal 43). Namun demikian, tidak ada indikasi bahwa pasar pedesaan di Jawa merupakan hasil paksaan atau pinjaman dari luar, dan juga tidak muncul baru-baru ini. Sistem ini tidak hanya terkait erat dengan pola permukiman, namun terminologi pasar Jawa kuno, berbeda dengan terminologi di beberapa wilayah lain di Asia Tenggara, tampaknya hampir seluruhnya bersifat pribumi/asli. Faktanya, sulit dipercaya bahwa Jawa bisa mencapai tingkat pembangunan sosial dan politik yang tinggi tanpa perekonomian daerah yang berkembang dengan baik.

Pedagang, Perdagangan Luar Negeri, dan Pertumbuhan Pusat Perkotaan Pesisir

Meskipun sistem pasar pedesaan di Jawa menunjukkan sedikit bukti bahwa sistem tersebut diadopsi sebagai akibat dari kontak dengan luar negeri atau karena adanya perubahan struktur yang signifikan akibat pengaruh eksternal, bidang perekonomian lainnya juga terkena dampak yang sangat besar. Perubahan terjadi pada interaksi ekonomi yang berada di luar dan di atas pasar pedesaan, sikap pemerintah terhadao perdagangan, dan persebaran penduduk di kawasan dataran Brantas. Dorongan bagi perubahan-perubahan ini, yang dimulai pada abad ke-9 dan semakin cepat pada abad ke-10 hingga ke-12, disebabkan oleh peningkatan besar dalam volume dan kepentingan ekonomi perdagangan dengan Tiongkok pada akhir Dinasti Tang dan Dinasti Sung.

Selama abad ke-8 dan ke-9, ibukota-ibukota utama Jawa dan sebagian besar wilayah yang berada di bawah kekuasaannya terletak di dataran Kedu, Jawa Tengah, dan di sebelah selatan pegunungan Perahu-Merapi. Diketahui bahwa pemerintahan pedalaman ini telah lama menjalin kontak dengan India, meskipun bukti adanya aktivitas komersial besar masih sedikit. Hubungan komersial dengan Tiongkok pada abad ke-8 dan ke-9 dibuktikan dengan banyaknya periuk-periuk Tiongkok yang terdapat di sebagian besar, jika tidak semua, situs-situs candi di Jawa Tengah. Hingga akhir milenium pertama Masehi, perdagangan laut pasti hanya memperdagangkan barang-barang prestise dan eksotik dalam jumlah yang relatif kecil. Tidak ada tanda-tanda pertumbuhan pelabuhan seperti yang diharapkan jika barang-barang yang ditangani dalam jumlah besar. Belum ada situs pelabuhan pada milenium pertama yang ditemukan di sepanjang pantai utara wilayah ini dan tidak ada bukti bahwa kota-kota utama Jawa Tengah memegang kendali langsung atas wilayah ini sebelum akhir abad ke-911. Ibu kota bahkan mungkin berupaya untuk menekan pertumbuhan pusat-pusat perdagangan besar di pesisir pantai, karena merasa bahwa kenyamanan pelabuhan tersebut akan lebih kecil dibandingkan dengan bahaya membiarkan pemusatan persaingan kekuatan berkembang lebih jauh dari ibu kota. Tidak adanya hubungan sungai langsung antara daerah pedalaman dan pantai yang berada tepat di sebelah utara serta relatif mudahnya akses darat ke pantai berarti bahwa tidak ada satu pun lokasi di pantai yang memiliki keungtungan alami yang luar biasa sebagai pelabuhan perdagangan. Karena terdapat beberapa rute yang dapat dipilih12, tidak akan sulit bagi pemerintah daerah pedalaman untuk mengalihkan kebiasaan dan perlindungan akses jalan dari satu tempat pendaratan ke tempat lainnya.

Kemungkinan lain, perdagangan dengan wilayah pedalaman Jawa Tengah, bahkan pada periode ini, disalurkan melalui Jawa Timur. Meskipun belum ada situs-situs pelabuhan milenium pertama yang ditemukan di Jawa Timur, terdapat bukti dokumenter adanya aktivitas komersian di kawasan Delta Brantas pada pertengahan abad ke-913. Namun tidak dapat dipastikan apakah wilayah ini berada di bawah kendali langsung kota-kota utama Jawa Tengah sebelum akhir abad tersebut14. Kegiatan perdagangan luar negeri di Jawa Timur pada saat itu tampaknya masih terpusat di wilayah hilir Brantas. Sungai Solo, yang pada abad-abad berikutnya menyediakan akses ke dataran Jawa Tengah (Schrieke 1957: 296; Crawfurd 1856: 170), tampaknya tidak banyak digunakan sebelum awal abad ke-1015 dan tidak ada catatan mengenai pelabuhan di muara Solo sebelum berdirinya Gresik pada akhir abad ke-14.

Meskipun tampaknya tidak ada pelabuhan besar yang melayani wilayah dataran Jawa Tengah, baik pedagang maupun komunitas pedagang disebutkan dalam prasasti di wilayah tersebut. Pedagang skala besar yang berhubungan dengan perdagangan luar negeri (bahasa Sansekerta “vanij/vanik”, bahasa Jawa kuno “banyaga”) muncul dalam prasasti pada akhir abad ke-8 (Boechari, komunikasi pribadi). Ada beberapa penyebutan banyaga lainnya dalam prasasti Jawa Tengah, meskipun dalam banyak kasus kata tersebut tampaknya digunakan sebagai nama pribadi. Satu-satunya penyebutan keuntungan atau “bunga” terdapat dalam metrik prasasti tahun 856 M, yang menyebutkan pedagang dibandingkan dengan bangau, angsa, dan burung migran lainnya (Casparis 1956: 280).

Penyebutan kebanyagan (komunitas pedagang/pemukiman/perkampungan?) muncul seja tahaun 850 M. Konstruksi ka - - an digunakan dalam konteks lain untuk menunjukkan kelompok atau kelas masyarakat dan tanah atau tempat yang terkait dengannya. Prasasti Tulang Air tahun 850 M merujuk pada seorang pendeta kuil kabanyagan (Casparis 1956: 236). Prasasti lain, bertanggal 919 M, menyebutkan tentang seorang pejabat yang tinggal di kabanyagan di wanua Galuh (Damais 1970: 579). Tidak ada satu pun prasasti pada periode ini yang menyebutkan kewarganegaraan para pedagang tersebut, namun fakta bahwa mereka membentuk kelompok atau pemukiman/perkampungan mungkin menunjukkan bahwa setidaknya beberapa dari mereka adalah orang asing seperti di wilayah lain di Asia Tenggara pada saat itu. Orang asing disebutkan dalam prasasti Jawa Tengah, namun hanya dalam konteks keagamaan. Tidak ada indikasi bahwa pedagang atau orang asing pada periode ini mempunyai hubungan resmi dengan pemerintah Jawa.

Setelah pemindahan terpenting ibu kota ke daerah hilir Brantas di Jawa Timur pada awal abad ke-10, para penguasa Jawa menjadi lebih aktif dan tertarik secara langsung pada perdagangan luar negeri. Antara abad ke-10 dan ke-12, sebagian besar dokumen sima yang dikeluarkan berkaitan dengan pemukiman pesisir delta Brantas. Beberapa dari hibah ini tentu saja diberikan untuk mengurangi kekuasaan penguasa kecil setempat yang menguasai wilayah pelabuhan dengan merampas pendapatan mereka. Hibah lainnya diberikan dengan tujuan untuk mendorong pemukiman di kawasan pelabuhan dan dengan demikian mengurangi bahaya bandit bagi para pedagang dan masyarakat pesisir (pesisiran)16. Pada pertengahan abad ke-11 juga disebutkan adanya proyek kerajaan besar yang melibatkan pembendungan dan pengalihan 3 saluran di sungai Brantas cabang Porong. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bahaya banjir dan memberikan manfaat tidak hanya bagi para petani setempat, tetapi juga para “pengendali kapal, pilot dan pengumpul barang di Hujung Galuh, termasuk nakhoda kapal dan pedagang (banyaga) yang berasal wilayah/negara lain”17. Barangkali dokumen paling penting yang berkaitan dengan kawasan pelabuhan adalah Mananjung (Rempah) yang berasal dari abad ke-10 atau ke-11. Di dalamnya raja menguraikan peraturan untuk pengendalian kualitas, standarisasi berat dan ukuran, dan tampaknya menetapkan harga untuk produk yang dikumpulkan dan disimpan di pelabuhan (Stutterheim 1928: 105-108). Upaya nyata untuk mengendalikan harga barang di pelabuhan ini memang menarik, namun tidak ada bukti bahwa upaya untuk mengatur perdagangan secara langsung hanya bersifat sporadis.

Secara keseluruhan, kesan yang didapat dari prasasti tersebut adalah adanya kepentingan pemerintah yang cukup besar terhadap pelabuhan delta Brantas, bahkan sampai mendorong penumpukan penduduk di kawasan pelabuhan karena alasan keamanan. Kecenderungan konsentrasi penduduk dalam jumlah besar di wilayah pesisir ini rupanya terus mendapat sanksi pemerintah pada masa Majapahit. Pusat-pusat pesisir ini bertambah kuat ketika Majapahit hancur, dan akhirnya memisahkan diri, membentuk serangkaian negara pelabuhan kecil yang berpusat pada perdagangan di sebagian besar pantai utara.

Tidak ada referensi langsung mengenai mitra dagang Jawa di luar negeri yang ditemukan dalam sumber-sumber asli sebelum abad ke-14, namun daftar barang dagangan dan penduduk asing dapat digunakan untuk melengkapi referensi dalam sejarah luar negeri dan daftar sisa-sisa barang impor yang digali untuk menghasilkan gambaran yang cukup lengkap tentang aktivitas perdagangan sebelum era Majapahit. Gambaran ini tidak berbeda jauh dengan gambaran perdagangan pada masa kontak Majapahit dan Eropa. Prasasti Mananjung yang dibuat pada akhir abad ke-10 atau ke-11 mencantumkan barang-barang dagangan yang digunakan untuk perdagangan luar negeri, meskipun daftar tersebut tidak lengkap karena hanya mencakup produk lokal yang dijual dalam berat atau volume standar. Dari jumlah tersebut, beras dinyatakan sebagai yang paling penting, disusul lada, garam, kacang-kacangan, pewarna dan obat-obatan. Mayoritas barang-barang ini jelas tidak digunakan dalam perdagangan langsung dengan Tiongkok (untuk ekspor orang Jawa ke Tiongkok pada abad ke-11 dan ke-12, lihat Wheatley 1959). Namun jika kita membandingkan daftar ini dengan catatan awal Belanda dan Portugis mengenai ekspor orang Jawa ke wilayah lain di Nusantara, kita akan menemukan kesamaan yang jelas. Pada abad ke-15, beras Jawa dikirim ke barat ke Sumatera dan Malaka dan ke timur ke Maluku. Begitu pula garam, kacang-kacangan, dan bahan makanan lainnya. Lada dan pewarna dikirim tidak hanya ke Tiongkok, tetapi juga ke Bali dan ditukar dengan kain ikat Bali yang banyak diminati di Maluku (Schrieke 1955: 19-22). Permusahan antara Jawa dan Srivijaya pada akhir abad ke-10 pasti ada kaitannya dengan perdagangan Nusantara ini. Permusuhan ini mungkin timbul lebih karena persaingan untuk mendapatkan posisi sebagai pusat perbelanjaan utama barang-barang dari pulau-pulau lain dibandingkan persaingan sebagai produsen utama produk-produk tertentu. Barang-barang dagangan yang dinyatakan oleh sumber-sumber Tiongkok, dinasti Sung, berasal dari pulau Jawa sebagian besar merupakan hasil pertanian dan manufaktur, sedangkan barang-barang yang berasal dari Srivijaya adalah hasil-hasil hutan (Wheatley 1959). Hanya pada barang-barang re-ekspor saja yang terjadi tumpang tindih sehingga berpotensi menimbulkan konflik. 

Jan Wiseman Christie

Orang asing muncul dalam prasasti-prasasti Jawa Timur dalam beberap konteks. Juru China, Juru Barata, dan Juru Kling (kepala komunitas Tionghoa, Barat, dan India) muncul dalam daftar mangilala drwya haji. Berbagai kelompok orang asing muncul dalam konteks yang menyiratkan bahwa mereka mungkin berfungsi sebagai penerjemah dan perantara dalam negosiasi antara istana dan pedagang asing; pejabat serupa disebutkan dalam catatan awal Portugis dan Belanda (Schrieke 1955: 28). Dalam 6 prasasti Jawa Timur abad ke-9 hingga ke-11 juga disebutkan tentang sekelompok orang asing yang disebut wargga kilalan (kelompok kolektor). Kelompok ini, yang mencakup suku Khmer, Cham, Ramanyadesis, Singhala, Pandikira, Karnatika, Dravida, Aryya, dan Kalinga – beberapa diantaranya diidentifikasi sebagai pedagang (Barrett 1968: 129) – tampaknya memiliki semacam hak pemungutan pajak di wilayah Brantas bawah18.

Banigrama (bahasa Sansekerta “vaniggrama”) atau komunitas/perkumpulan pedagang, yang terdapat pada prasasti pesisir pada periode yang sama, tampaknya juga berfungsi sebagai lembaga pemungut pajak. Kelompok banigram ini, yang hanya disebutkan di kawasan pelabuhan, hampir pasti merupakan perkumpulan dagang asing. Tindakan mereka tampaknya sama seperti yang dilakukan para saudagar dan kelompok saudagar Cina pada masa Mataram Akhir (Moertono 1968: 137; Raffles 1830: 198-199, 221).

Keterkaitan pedagang asing dengan pengumpulan pajak bukannya tidak ada bandingannya dalam sejarah Jawa, namun hal ini merupakan bukti paling awal adanya praktik perpajakan klasik Asia Tenggara yang melibatkan orang asing di Nusantara. Prasasti-prasasti Jawa Tengah abad ke-8 dan ke-9 tidak memberikan indikasi bahwa praktik ini pernah terjadi di pedalaman. Sistem pajak pertanian ini mungkin bukan muncul hanya sebagai respons terhadap meningkatnya kebutuhan raja akan uang tunai dan barang-barang prestise asing, tetapi juga karena sistem ini berfungsi untuk mengurangi beban administratif dalam memindahkan barang dagangan dari wanua ke pelabuhan dengan cara yang tertib. Karena tidak ada bukti keberadaan jaringan pusat pemasaran dan pengumpulan tingkat menengah, masalah perpindahan barang-barang tertentu dalam jumlah yang dapat diprediksi dari sejumlah besar pemukiman kecil di pedesaan ke pusat pengumpulan di pantai pastilah sangat akut. Pedagang skala kecil tentu saja berpartisipasi dalam pergerakan barang ini, namun koordinasi antara pasokan dan permintaan untuk memproduksi barang dalam jumlah yang terjamin di pelabuhan pada waktu yang tepat akan berada di luar kemampuan organisasi mereka. Solusi yang paling sederhana bagi pemerintah Jawa adalah dengan memberikan hak kepada pedagang skala besar atau kelompok pedagang untuk mengumpulkan hasil bumi dalam jumlah tertentu dari sejumlah pemukiman atau distrik dengan imbalan pembayaran berkala kepada raja19. Inilah cara raja-raja di Jawa memecahkan masalah penyediaan dana bagi berbagai pejabat mereka : untuk setiap departemen atau pengeluaran baru, raja menciptakan pajak baru dan memberi wewenang kepada para pejabat yang terlibat untuk memungutnya sendiri (Moertono 1968: 134).

Sistem pengumpulan barang dagangan melalui perpajakan ini dapat menjelaskan mengapa barang perdagangan luar negeri tidak disebutkan dalam daftar barang dagangan pasar pedesaan tetapi disebutkan dalam daftar hadiah yang dibagian pada upacara hibah sima. Perdagangan luar negeri mungkin sebagian besar telah melewati pasar pedesaan, dengan perpajakan dan pemberian hadiah memainkan peran utama dalam pergerakan barang-barang tersebut. Penjelasan ini hanyalah penjelasan tentatif dan mungkin hanya cukup untuk pergerakan barang dagangan yang lebih bergengsi. Barang-barang non-prestise, terutama logam dan pewarna muncul dalam daftar pasar dan tidak diragukan lagi didistribusikan melalui pedagang perantara berskala kecil.

====== selesai ====

 

Catatan Kaki

1.           Menurut biografi para biksu I Ch'ing, 11  peziarah menghentikan perjalanan mereka di Ho-ling dan 13 peziarah di Shih-li-fo-shih.

2.          Selain sumber-sumber yang dikutip dalam teks dan di tempat lain dalam catatan, literatur tentang prasasti Jawa berikut ini juga telah dibaca: Bhandarkar (1887-9); Bosch (1917; 1925a; 1941); Stein Callenfels (1934); Casparis (1950; 1958; 1961); Damais (1952), Goris (1928; 1930); Kern (1913); Krom (1911; 1913); Naerssen (1937a; 1937b); Poerbatjaraka (1922; 1936), Sarkar (1938); Stuart dan Limburg Brouwer (1872); Stutterheim (1925a; 1925b; 1927; 1940); Wibowo (nd).

3.          Untuk lembaga paralel pada masa Mataram Akhir, lihat Moertono (1968:90-1, 135).

4.          Paraduwan dan dapur berarti “kelompok “, cluster'.

5.          Meskipun sejumlah keping perak bercap 'ma  telah ditemukan di Jawa Tengah (Casparis: komunikasi pribadi), perekonomian Jawa tampaknya belum dimonetisasi secara umum hingga setelah abad ke-12. Sejumlah besar uang logam periode Majapahit telah ditemukan di Jawa Timur, dan disebutkan dalam prasasti Jawa abad ke-14 dan ke-15 mengenai pembayaran pajak yang dilakukan dengan uang logam yang disebut “pisis”  (Pigeaud 1960-63: 111, 166 dan 173; Brandes dan Krom 1913: 218-26). Koin-koin ini mungkin berupa uang tunai tembaga Tiongkok atau koin-koin lokal dengan pecahan yang sama kecilnya, yang keduanya dilaporkan oleh Chau Ju-kua pada awal abad ke-13 telah digunakan di Jawa (Hirth dan Rockhill 1966: 78).

6.         Hari-hari dalam minggu pasar yang terdiri dari lima hari terdapat pada tanggal-tanggal pada semua prasasti Jawa. Prasasti Waharu tahun 931 M menyebutkan tentang “pken kliwon” atau Pasar Kliwon (Stuart 1875:16). Kliwon adalah salah satu hari dalam pekan pasar yang terdiri dari lima hari.

7.          Lihat prasasti Panumbangan tahun 1140 M yang di dalamnya tampak sebuah dusun bernama Tkidul ing pasarT atau Selatan Pasar (Brandes dan Krom 1913: 159-63).

8.          Pejabat pasar disebutkan dalam daftar mangilala drwya haji (pemungut pajak raja). Prasasti Bali pada periode yang sama menyebutkan pejabat pasar (seer pasar) dengan fungsi serupa. Petugas pasar yang memungut retribusi masih terdapat di pasar-pasar Jawa (Dewey 1962: 61-2).

9.         Terdapat referensi tentang “lmah kapkanan” atau tanah yang melekat pada kantor petugas pasar, serta tanah yang menempel pada pejabat wanua lainnya.

10.       Pengrajin dan pengolah yang ada di pasar antara lain adalah beberapa macam pandai besi, penenun, pembuat pewarna, pembuat gelendong, pengolah lilin?, tukang kayu, pembuat gerabah, pembuat keranjang dan anyaman, pembuat jaring, pembuat sarung keris, dan lain-lain. Tingkat wanua meliputi sandang, kain ikat, kain cadar, benang, kapas, safflower, wungkudu, kayu brazil dan berbagai bahan pewarna lainnya, lilin?, gelendong, gerabah, garam, beras, kue wijen, gula pasir, bawang merah, jeruk nipis, jahe, sirih, arang , payung, keranjang, obat-obatan, kotak sirih, jaring ikan, dll.

11.         Pantai utara Jawa Tengah secara arkeologis agak membingungkan. Ini telah menghasilkan beberapa prasasti Sansekerta dan Melayu Kuno abad keenam dan ketujuh dan sisa-sisa candi awal yang berserakan dengan gaya yang berbeda dari candi-candi Dataran Tinggi Dieng atau Dataran Kedu, tetapi karena sebagian besar bahan epigrafik tidak dapat dibaca dan tidak ada penggalian (dan survei kecil) telah dilakukan di salah satu lokasi tersebut, hanya sedikit yang dapat dikatakan mengenai kawasan ini saat ini.

12.        Ada beberapa penyebutan jalan-jalan utama pada prasasti akhir abad kesembilan dan awal abad kesepuluh. Lihat juga Schrieke (1957: 105-11).

13.        Kuti, 840 M (Sarkar 1971: I, 76-99)—salinan yang agak cacat; Waharu, 873 M (Stuart 1875:7-10); Kancana, 860 M (Sarkar 1971:1 133-62).

14.        Rakryan Kanuruhan, yang tampaknya menguasai wilayah sekitar Pasuruhan di Jawa Timur, muncul sebagai salah satu penyumbang candi-candi kecil di Prambanan, dekat Jogjakarta di Jawa Tengah, pada awal atau pertengahan abad kesembilan (Casparis 1956: 310, n .112). Pada tahun 860 M, gelar pejabat tinggi pemerintahan—Rakryan i Hino, Rakryan i Halu, Rakryan i Sirikan—muncul di Jawa Tengah dan Timur. Namun, baru pada masa pemerintahan Balitung pada tahun 899 M, nama raja yang sama muncul di kedua wilayah tersebut. Penting juga untuk dicatat bahwa dokumen hibah sfma di Jawa Tengah dan Jawa Timur, meskipun memiliki tujuan yang sama, namun formatnya sangat berbeda pada abad kesembilan.

15.        Penyebutan pertama kali terdapat dalam prasasti Wanagiri tahun 903 M (Stutterheim 1934).

16.       Prasasti Kaladi tahun 909 M (Barrett 1968:107).

17.        Prasasti Kamalagyan tahun 1037 M (Brandes dan Krom 1913:134-6).

18.        Untuk daftar orang asing lihat Kuti, 840 M (Sarkar 1971: I 76-99); Kaladi, 909 M (Barrett 1968:129); Palebuhan, 927 M (Stutterheim 1932:420-37); Turun Hyang, abad kesebelas (Brandes dan Krom 1913:143-6); Cane, 1021 M (ibid. :120-5); dan Patakan, abad kesebelas (ibid. :125-8). Semua kecuali satu, berupa prasasti pelat tembaga yang mudah dibawa-bawa, ditemukan di wilayah Delta Brantas. Prasasti pedalaman tidak menyebutkan kelompok orang asing ini.

19.       Banyaga bantal, pedagang skala menengah, mungkin bertindak sebagai agen bagi pedagang skala besar yang menuju pelabuhan. Posisinya di pasar pedesaan nampaknya agak terpinggirkan; dia lebih sering terdaftar di kalangan pemungut pajak daripada di kalangan pedagang. Pada masa Mataram Akhir, terdapat penyebutan hak istimewa tax farming oleh petani pajak pedagang Cina (Raffles 1830:198-200). Hal serupa mungkin terjadi pada abad kesebelas dan kedua belas.

 

Bibliografi

§  Asmar, T., and B. Bronson 1973,  Laporan Ekskavasi Ratu Baka. Jakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

§  Asmar, T. , B. Bronson, Mundarjito, and J. Wisseman 1975, Laporan Penelitian Rembang. Jakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

§  Barrett, A. M. 1968 "Two Old Javanese Copper-plate Inscriptions of Balitung. " M.A. thesis, University of Sydney.

§  Bhandarkar, R. G. 1887-89 "A Sanskrit Inscription from Central Java. " JMBRAS 17 (2): 1-10.

§  Boechari 1973 "Some Considerations on the Problem of the Shift of Mataram’s Center from Central to East Java in the 10th Century. " Paper presented at the London Colloquy on Early Southeast Asia. University of London: School for Oriental and African Studies.

§  Boechari n.d. Prasasti-prasasti Jawa Tengah II. Mimeographed. Jakarta.

§  Bosch, F. D. K. 1917 "Een Koperen Plaat van 848 Saka”,  OV 1917:88-98.

§  Bosch, F. D. K 1925a “De Oorkonde van Kembang Aroem”, OV 1925:41-9.

§  Bosch, F. D. K 1941 "Een Maleische Inscriptie in het Buitensorgsche”,  BKI 100:49-53.

§  Brandes, J. L. A., and N. J. Krom 1913, “Oud-Javaansche Orkonden nagelaten Transscripties van wijlen Dr. J. L. A. Brandes uitgegeven door Dr. N. J. Krom" VBG 60

§  Casparis, J. G. De 1956, Prasasti Indonesia II: Inscripties uit de QailendraTijd. Bandung: Masa Baru.

§  Casparis, J. G. De 1958, Short Inscriptions from Tjandi Plaosan Lor. Berita Dinas Purbakala 4. Jakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

§  Casparis, J. G. De, 1961, "New Evidence on Cultural Relations Between Java and Ceylon in Ancient Times. " Artibus Asiae 24: 241-8.

§  Chavannes, E. 1894, Memoirs Compost a l’Epoque de la Grande Dynastie T’ang sur les Religieux Eminents qui Alterant Chercher la Loi dans les Pays d’0ccident (I Ching 634-713). Paris: E. Leroux.

§  Crawfurd, J. 1856 A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. London: Bradbury and Evans.

§  Damais, L. C. 1952 "Etudes d'Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Inscriptions Datees de lndonesie. " BEFEO 46:1-105.

§  Damais, L. C. 1970 "Repertoire Onomastique de l’Epigraphie Javanaise (Jusqu'a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotuhga dewa): Etude d’Epigraphie Indonesienne. " BEFEO 66.

§  Dewey, A. G. 1962 Peasant Marketing in Java. Glencoe, III.: Free Press.

§  Geertz, C. 1963b, Peddlars and Princes. Chicago: University of Chicago Press.

§  Goris, R, 1928, "De Oudjavaanische Inscripties uit het Sri-Wedari te Soerakarta." OV 1928:63-70.

§  Goris, R, 1930, "De Inscriptie van Koeberan Tjandi. " TBG 70: 157-70

§  Hirth, F. , and W. W. Rockhill 1966,  Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi. New York: Paragon.

§  Kern, H. 1913 "Sanskrit-Inscriptie ter Eere den Javaanschen Vorst Erlanga." BKI 67:610-22.

§  Koentjaraningrat 1967 "Tjelapar: A Village in South Central Java. " In Villages in Indonesia, edited by Koentjaraningrat, pp. 244-80. Ithaca: Cornell University Press.

§  Krom, N. J. 1911,  Over Inscriptie's van Middenen Oost Java w. o. Die van 829 S. op den Ganesa van Blitar. " Rapporten van den Oudheidkundigen Dienste in Nederlandsch Indisch 1911:138.

§  Krom, N. J. 1913 TTEpigraphische Aanteekeningen I: ErlanggaTs Oorkonde van 963.TT TBG 60:585-91.

§  Moertono, S. 1968 State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century.  Cronell Modern Indonesia Project Monograph Series 43. Ithaca: Cornell University.

§  Naerssen, F. H. van 1937a,  Een Hindoe-Balineesche Oorkonde Gevonden in Oost Java." TBG 77:602-10.

§  Naerssen, F. H. van , 1937b, "Twee Koperen Oorkonden van Balitung in het Koloniaal Instituut te Amsterdam.Tr BKI 95:441-61.

§  Pigeaud, Th. G. Th. 1960-63, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Nagera-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A. D. 3rd ed. The Hague: Martinus Nijhoff.

§  Poerbatjaraka, R. Ng. 1922 "Transcriptie van een Koperen Plaat in het Museum teSolo." OV 1922:29.

§  Poerbatjaraka, R. Ng. 1936 "Vier Oorkonden in Koper. " TBG 76:373-90.

§  Raffles, Sir T. S. 1830 The History of Java. 2nd ed. London: J. Murray.

§  Sarkar, H. B. 1938 "Copper-plates of Kembang Arum 824 Saka. " Journal of the Greater India Society 5:31-50.

§  Schrieke, J. J. O. 1955 Indonesian Sociological Studies: Selected Writings of B. Schrieke, Part 1. The Hague: W. van Hoeve.

§  (Schrieke, J. J. O.) (1957) Realm in Early Java. The Hague: W. van Hoeve

§  Skinner, G. W 1964 "Marketing and Social Structure in Rural China. " Journal of Asian Studies 24:3-43.

§  Stein Callenfels, P. V. 1934 “De Inscriptie van Soekaboemi”,  Mededeelingen der Koninklijk Akademie van Wetenschappen, Afdeeling Letterkunde 1934:115-30.

§  Stuart, A. B. C., and J. J. Limburg Brouwer 1872, "Beschreven Steenen op Java. " TBG 18:91-117.

§  Stutterheim, W. F 1925a “Een Oorkonde op Koper uit het Singosarische. " TBG 65:208-81.

§  Stutterheim, W. F 1925b “Rama-Legenden und Rama-Reliefs in Indonesien”. 2 vols. Munich: Georg Muller Verlag.

§  Stutterheim, W. F. 1928  Transscriptie van een Defecte Oorkonde op Bronzen Platen uit het Malangsche. " OV 1928:105-8.

§  Wang, Gungwu 1958 "The Nanhai Trade: A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea”  JMBRAS 31(2).

§  Wheatley, P. 1959 “Geographical Notes on Some Commodities Involved in Sung Maritime Trade" JMBRAS 32(2).

§  Wibowo n. d. "Prasasti Alasantan." Typescript. Modjokerto. 

 Wolters, O. W 1967 Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya. Ithaca: Cornell University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar