Senin, 18 Desember 2023

Perbudakan dalam Kekaisaran Kolonial Belanda di Asia Tenggara : Tinjauan Kembali [kota] Ambon di abad ke-17


 [G.J. Knaap]

 

 

  1. Kata Pengantar

Sejarahwan Gerrit J. Knaap dalam salah satu kajiannya pernah memaparkan tentang komposisi budak di kota Ambon pada dekade akhir abad ke-17a. Pada artikel tersebut, Knaap hanya mendeskripsikan soal perbudakan secara garis besar atau umum saja di kota Ambon. Pada kajian terbaru ini, sang penulis lebih memberikan gambaran dan analisis mendalam tentang perbudakan di kota Ambon. Ia menyebut bahwa kota Ambon pada akhir abad ke-17 adalah kota yang “berkerangka atau berpondasi budak”.  

Kajian ini berjudul Slavery in the Dutch Colonial Empire in Southeast Asia : Seventeenth Century Amboina Reconsidered, dimuat pada Slavery and Abolition : A Journal of Slave and Post-Slave Studies, volume 43, isu 3, tahun 2022, halaman 499 – 516. Artikel terbaru ini bisa dianggap sebagai bagian ketiga dari “trilogi” dari kajian Gerrit Knaap tentang perbudakan, yang pertama tentang perbudakan di Colombo, Ceylon (Srilangka)b dan 2 terakhir membahas khusus di Ambon abad ke-17. Selain kajian dari Gerrit Knaap, pada volume ini juga disajikan kajian dari Hans Hagerdalc, Claude Chevaleyred, Stefan Eklof Amirelle, Richard B. Allenf dan lain-lain. 

Mestizo dan Istrinya, ca. 1704

Seperti yang disebutkan oleh sang penulis sendiri, bahwa kajian ini bersumber dari tulisan penulis sebelumnya ditambah dengan berbagai informasi baru yang dikumpulkan dalam penelitian lanjutan/terbaru. Ada berbagai informasi menarik jika kita membaca kajian ini, misalnya upaya pembakaran negeri/desa Siri Sori di pulau Saparua oleh lebih dari 20 orang budak pada tahun 1675, perampokan yang dilakukan oleh 30 orang budak yang bersembunyi di 3 rumah di sepanjang teluk Ambon hingga ke Hitu pada tahun 1693, penguasa VOC Amboina melarang penjualan budak beragama Kristen kepada kaum Muslim pada tahun 1678, juga ada gagasan dari VOC pada sekitar tahun 1690 untuk melarang umat Islam menyunat budak mereka, meski gagasan ini kemudian ditolak dan sebagainya.

Kajian sepanjang 18 halaman ini dilengkapi dengan 32 catatan kaki dan 3 buah tabel. Kami hanya akan menambahkan beberapa lukisan/gambar/tabel dan sedikit catatan tambahan pada hasil terjemahan ini. Semoga kajian dari Prof. Gerrit Knaap ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

 

  1. Terjemahan

Abstrak

Artikel ini berfokus pada perbudakan di kota kolonial Amboina, khususnya pada paruh kedua abad ke-17. Diawali dengan garis besar geografi dan demografi perbudakan di Propinsi Amboina, pertama berurusan dengan budak-budak milik kelompok perkotaan non-pribumi, para pegawai VOC dan para “pemukim”, orang-orang Eropa, Cina dan kelompok warga “pribumi” (dalam hal ini migran Asia non-Ambon), dan kemudian beralih ke kelompok budak yang dimiliki oleh warga etnis asli Ambon yang tinggal di desa-desa, “pedesaan” non-perkotaan. Diskusi kemudian beralih ke kondisi sosio-ekonomi dan hukum dimana para budak “dikuasai”, membahas hal-hal seperti asal-usul, perlawanan dan penindasan. Bagian keempat membahas tempat perbudakan di Amboina abad ke-17 dibandingkan dengan konteks yang lebih luas, yaitu Asia Tenggara dan kerajaan kolonial Belanda di wilayah tersebut.

Pada era awal modern, kepulauan di Indonesia Timur merupakan tujuan utama para pedagang-petualang dan penjajah Eropa. Iming-imingnya adalah “rempah-rempah terbaik” yang sangat didambakan, yaitu cengkeh, pala, dan bunga pala. Pada awal tahun 1500-an, wilayah Maluku (sekarang Maluku Utara) dan Kepulauan Banda (sekarang menjadi bagian dari [kabupaten] Maluku Tengah) merupakan satu-satunya wilayah di dunia yang menghasilkan cengkeh, pala, dan bunga pala. Dengan hadiah sebesar itu, tidak mengherankan bahwa ketika mereka tiba, kekuatan kolonial Eropa pertama di Timur Asia, Portugal dan Spanyol, segera mulai mencampuri urusan negara-negara dan masyarakat adat/pribumi di Indonesia Timur. Didorong oleh ketatnya persaingan antar penjajah Eropa dan pedagang Asia untuk mendapatkan “rempah-rempah terbaik”, selama abad ke-16 wilayah produksi cengkeh meluas dari kepulauan Maluku hingga Kepulauan Amboina (sampai saat ini juga merupakan bagian dari Maluku Tengah)1.

Sejak awal abad ke-17 Perusahaan Hindia Timur Belanda, disingkat VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), secara bertahap mengusir Portugis dan Spanyol dari Indonesia Timur. Dalam tekadnya untuk memonopoli penjualan pala, bunga pala, dan cengkeh di seluruh dunia, VOC mengobarkan perang penaklukan yang dashyat melawan kekuatan pribumi setempat. Pada tahun 1660-an, hegemoni VOC di wilayah tersebut hampir selesai. Sejak awal abad ini, daerah penghasil rempah-rempah yang dikuasai VOC telah terbagi menjadi 3 “propinsi”, yaitu Amboina, Banda, dan Malukug. Di Banda, VOC menerapkan monopsoni, yaitu pasar dengan hanya 1 pembeli, untuk ekspor pala dan bunga pala, dan di Ambon untuk ekspor cengkeh. Pada saat perang penaklukan usai, VOC mula-mula melarang dan kemudian menghapuskan sepenuhnya budidaya cengkeh di propinsi ketiga, yaitu Maluku, dimana kehadiran VOC semata-mata untuk mencegah pihak lain melakukan kembali ekspor rempah-rempah berkualitas saingannya. Di ketiga propinsi tersebut maupun di propinsi-propinsi lain pada masa kekuasaan VOC, perbudakan merupakan ciri khas masyarakat kolonial. Tentu saja pada abad ke-17, propinsi Banda dan Amboina merupakan daerah pengimpor budak. Apakah hal ini juga terjadi di propinsi Maluku, masih belum dapat dipastikan2.

Artikel ini berfokus pada perbudakan di kolonial Amboina, khususnya pada paruh kedua abad ke-17. Hal ini didasarkan pada literatur, termasuk karya sang penulis sendiri yang diterbitkan sebelumnya serta informasi baru yang dikumpulkan dalam penelitian terbaru di kearsipan VOC di Arsip Nasional di Den Haag. Artikel ini diawali dengan garis besar geografi dan demografi perbudakan di propinsi Amboina. Pertama-tama, hal ini berhubungan dengan budak-budak yang dimiliki oleh kelompok perkotaan non-pribumi, para pegawai VOC dan para “pemukim”, kelompok-kelompok warga Eropa, Cina, dan “pribumi” (dalam hal ini para migran Asia non-Ambon), dan kemudian beralih ke budak-budak yang dimiliki oleh penduduk etnis asli/pribumi Ambon yang tinggal di desa-desa, “pedesaan” non-perkotaan. Diskusi kemudian akan berpindah ke kondisi sosio-ekonomi dan hukum dimana para budak “dikuasai”, membahas hal-hal seperti asal usul, perlawanan dan penindasan. Bagian ke-4 membahas tempat perbudakan di Amboina pada abad ke-17 dibandingkan dengan konteks yang lebih luas, yaitu Asia Tenggara dan kerajaan-kerajaan kolonial Belanda di wilayah itu. Definisi perbudakan yang digunakan dalam artikel ini adalah definisi dari Bruno Lasker: “Perbudakan, yang berbeda dari bentuk-bentuk perbudakan lainnya, berarti kepemilikan seseorang oleh orang lain atau oleh lembaga sosial, yang melibatkan hak pelepasan dengan hadiah atau penjualan meskipun tidak harus dengan/melalui kematian yang kejam”. Anthony Reid, dalam bukunya tentang perbudakan di Asia Tenggara, memperluas hal ini dengan mengutip penelitian H.J. Nieboer pada tahun 1910, yang menyatakan : “Kita dapat mendefinisikan seorang budak dalam arti biasa sebagai seorang laki-laki, yang merupakan milik orang lain, secara politik dan secara sosial berada pada tingkat yang lebih rendah dari masyrakat umum, dan melakukan wajib kerja”3.

Alasan utama untuk memusatkan perhatian pada propinsi Amboina adalah karena propinsi ini merupakan salah satu daerah dimana VOC mempunyai tradisi panjang dalam menyusun sensus penduduk. Sejak awal kehadirannya pada tahun 1605, VOC tertarik untuk mengetahui berapa jumlah penduduk yang berada dibawah kekuasaannya. Tujuan awalnya adalah untuk menilai kemampuan militer, jumlah laki-laki yang mampu mengangkat senjata, namun kemudian juga untuk memastikan potensi jumlah pekerja wajib, umat Kristen dan non-Kristen, dan kapasitas masyarakat untuk memproduksi cengkeh. Pada mulanya upaya untuk memperkirakan jumlah ini hanya sekedar perkiraan, namun pada tahun 1667, hal ini telah meluas menjadi keinginan untuk menghitung “jiwa”, dalam kasus penduduk asli/pribumi Ambon setidaknya pada tingkat desa dan dalam kasus penduduk/pemukim non-Ambon pada level rumah tangga4. Pada awal tahun 1670-an apa yang disebut dengan deskripsi jiwa/deskripsi penduduk ini telah mengambil bentuk definitifnya. Dari tahun 1671 hingga tahun 1695, deskripsi-deskripsi tersebut dikirim ke Batavia dan dari sana ke Belanda, dan masih tersedia dalam arsip. Setelah tahun 1696, pemerintah propinsi Amboina tidak lagi mengirimkan dokumen-dokumen tersebut ke Batavia : sehingga dokumen-dokumen tersebut hilang selamanya5. Dalam artikel ini, analisis terhadap kelompok budak penduduk Ambon, jika menyangkut etnis Ambon yang tinggal di pedesaan, dikonsentrasikan pada 3 tahun penting, yaitu tahun 1673, 1683 dan 1692. Bagi pemukim non-Ambon, yang tinggal di kota Ambon dan di pos-pos luar penjagaan propinsi, tahun acuannya adalah tahun 16946

Geografi dan Demografi Perbudakan di kalangan non-Ambon, c. 1670–1695

Perincian statistik perbudakan di kalangan komunitas “imigran” non-Ambon pada tahun 1694 diuraikan dalam tabel 17. Pada dasarnya hal ini menyangkut 2 kelompok, yang mayoritas tinggal di kota Ambon, yaitu : para pegawai VOC dan “coloniers” atau “kaum kolonialis”, yang merupakan para pendatang yang menetap di Amboina. Para pemukim migran juga disebut “ (vrij) burger, yaitu burgher (bebas) atau warga kota. Selama abad ke-17, kota Ambon terdiri dari 3 kelompok warga : Eropa, Tionghoa, dan pribumi, dimana kelompok pribumi terdiri dari imigran Asia non-Amboina dan non-Tionghoa. Para pegawai VOC tinggal di markas-markas VOC, yaitu kastil/benteng Victoria, jalan-jalan utama kota Ambon dan di banyak benteng kecil serta pos-pos penjagaan yang tersebar di seluruh propinsi Amboina. Hampir tanpa kecuali, anggota ketiga kelompok masyarakat tersebut tinggal di kota Ambon. Pada kuartal terakhir abad ke-17, jumlah penduduk non-Ambon di seluruh propinsi menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan sekitar 1%8

Dalam menafsirkan tabel 1, penting untuk diingat bahwa salah satu komunitas ini, yaitu kategori pegawai-pegawai VOC, mempunyai komposisi demografis yang sangat khusus : hampir seluruhnya terdiri dari para bujangan Eropa. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang militer, yang bertugas di garnisun-garnisun di benteng-benteng. Oleh karena itu, dari kategori-kategori yang tercantum pada tabel 1, pegawai VOC mempunyai jumlah orang kulit putih terbanyak di jajarannya. Sebagian besar perempuan kulit putih, sebuah kelompok yang sangat kecil di Amboina, juga terdaftar di antara pegawai VOC, biasanya merupakan pasangan (atau istri) dari kalangan eselon atas Eropa.  Terdapat 89 orang di kota Ambon, yang sebagian besar adalah pegawai VOC berpangkat tinggi yang mempunyai rumah tangga (keluarga) sendiri, dan lebih banyak lagi yang terdiri dari 558 orang yang jelas-jelas tidak mempunyai/memiliki rumah tangga dan 65 orang lainnya yang statusnya masih diragukan. Di propinsi lainnya, jumlah pegawai VOC yang mempunyai rumah tangga berjumlah 82 orang, 311 belum memiliki rumah tangga, dan pegawai tidak pasti sebanyak 7 orang. Beralih ke kepemilikan budak, dari total 712 pegawai VOC di kota Ambon hanya 9,4% yang memiliki budak. Di propinsi lain, jumlah pegawai VOC adalah 400 orang, dan 12,3% diantaranya adalah pemilik budak9. Diantara 89 pegawai VOC di kota Ambon yang menjadi kepala rumah tangga, hampir 25% tidak memiliki budak sama sekali, sementara di ujung lain spektrum, 19% memiliki 11 budak atau lebih. Seperti yang akan ditunjukkan di bawah, kategori pegawai VOC mempunyai distribusi kepemilikan budak yang paling tidak merata. Rata-rata rumah tangga pegawai VOC juga melebihi jumlah rangga di komunitas lain10.

Sedangkan para pegawai VOC, tentara, pelaut, pegawai negeri, dan pedagang terus menerus melakukan migrasi, pertama dari Eropa ke Asia dan akibatnya dari propinsi ke propinsi dan dari stasiun (markas/tempat) ke markas/tempat lain di wilayah kekuasaan VOC, maka warga di kota Ambon dapat dianggap sebagai komunitas pemukim sejati. Namun, hal ini tidak berarti bahwa seluruh individu di dalamnya merupakan bagian dari rumah tangga mapan. Terlebih lagi, pada akhir abad ke-17, warga Eropa di Amboina sudah tidak lagi memiliki karakter “Eropa”. Komposisinya telah banyak berubah sehingga jumlah laki-laki Eropa dan laki-laki mestizo hanya cukup untuk membentuk lapisan atas kelompok warga kota, sehingga perlu menerima orang kulit berwarna untuk mengisi barisan bawah milisi, yang merupakan tugas kelompok warga kota yang tersedia untuk berpatroli di jalan-jalan pada malam hari dan berada dalam keadaan darurat militer. Penerimaan orang kulit berwarna ini dimulai pada tahun-tahun sebelum tahun 1690 dan tampaknya kelompok masyarakat pribumi adalah sumber utama kandidat. Namun demikian, pada tahun 1694 kelompok warga Eropa masih hanya menampilkan 24 kepala rumah tangga laki-laki Eropa dan 24 laki-laki mestizo, dibandingkan dengan 48 orang Mardijker, 90 orang Makassar, dan 7 orang Ambon. Pada akhir abad ke-17, para Mardijkers, yang secara harafiah berarti “orang-orang yang dibebaskan”, kemungkinan besar merupakan generasi kedua dari para budak yang dibebaskan, sedangkan orang Makassar mungkin merupakan generasi pertama. Apapun komposisi yang rumit ini, jumlah rumah tangga kelompok warga Eropa, Cina, dan Pribumi adalah 257, 130 dan 197, masing-masing melebihi jumlah pegawai VOC. Jika kita menghubungkan jumlah total rumah tangga dengan jumlah pemilik budak pada tabel 1, proporsi pemilik budak adalah 59,9% untuk orang Eropa, 74,6% untuk orang Cina, dan 58,3 untuk kelompok Pribumi warga kota, yang sekali lagi angka-angka tersebut melebihi jumlah dari pegawai VOC tersebut. Oleh karena itu, proporsi rumah tangga yang tidak memiliki budak adalah sekitar 40%, 25% dan hampir 42% untuk kelompok Eropa, Cina dan Pribumi warga kota. Persentase mereka yang memiliki 11 budak atau lebih, hampir mencapai 9%, 16% dan 4%11. Akibatnya, kelompok Cina warga kota menonjol sebagai kelompok yang memiliki rumah tangga yang paling sedikit memiliki non-budak serta rumah tangga terbanyak yang memiliki setidaknya 11 budak, yang mana hal itu 2 kali lipat rata-rata. Penjelasan mengenai hal ini mungkin ada hubungannya dengan pekerjaan : orang Cina terkenal sebagai pedagang yang paling cakap, pengrajin, dan budak akan sangat membantu dalam bisnis mereka. 

Tabel 2 berkaitan dengan komunitas non-Ambon, namun hanya sejauh komunitas tersebut berlokasi di kota Ambon, yang menyajikan proporsi budak untuk setiap kategori serta jumlah rata-rata keseluruhan budak per rumah tangga pemilik budak. Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir separuh atau 52% penduduk kota Ambon, yang biasanya merupakan pemukiman VOC perkotaan, adalah para budak. Oleh karena itu, kota Ambon bisa disebut sebagai masyarakat berkerangka/berpondasi budak. Anak-anak merupakan kelompok kecil di antara para busak, tidak lebih dari 15%. Di sisi lain, lebih dari separuh budak, atau hampir 52% adalah laki-laki dewasa. Pemilik budak jelas lebih memilih laki-laki dewasa, mungkin karena banyak dari mereka yang dimaksudkan untuk dijadikan pekerja produktif, seperti yang telah disebutkan dalam kasus kelompok Cina warga kota. Untuk setiap 3 budak laki-laki dewasa, hanya ada 2 perempuan. Salah satu penjelasan mengenai lebih sedikitnya jumlah budak perempuan adalah karena perempuan memiliki peluang lebih besar untuk melakukan “mobilitas ke atas”, menggunakan istilah Reid, melalui gundik dan akhirnya dibebaskan menjadi istri resmi majikan. “Mobilitas ke atas” ini memang penting dan juga didukung oleh fakta bahwa 172 kepala rumah tangga yang berstatus duda di kota Ambon, sekitar 50% diantaranya tergolong orang Makassar dan sekitar 25% sebagai Mardijker, yang sebelumnya dilabeli sebagai bekas budak. Kembali ke pembagian kasar umum populasi budak, nampaknya hanya ada 1 anak budak untuk setiap 2 perempuan. Akibatnya, karena kelompok budak secara keseluruhan tidak mampu bereproduksi, impor budak menjadi hal yang penting. Membandingkan seluruh komunitas pada tabel 2, salah satu kategori, yaitu pekerja/pegawai VOC menujukkan persentase budak terendah. “Faktor bujangan” jelas berperan di sini. Selain itu, karena komunitas pemukim, seperti kelompok Eropa dan Tiongkok warga kota, mempunyai persentase budak tertinggi, hal ini merupakan bukti tambahan bahwa budak laki-laki dewasa dibutuhkan untuk tujuan produktif dalam perdagangan, pelayaran, penangkapan ikan, penyulingan, penggergajian, pekerjaan pembuatan batu bata dan keramik/ubin. Namun, jumlah rata-rata budak per rumah tangga yang memiliki budak, dengan pegawai VOC di urutan teratas dan penduduk asli/pribumi di urutan paling bawah, mengarahkan kita ke arah lain, sehingga menunjukkan peringkat yang sangat sesuai dengan kekuasaan dan status politik12.

 

Geografi dan Demografi Perbudakan di kalangan Orang Ambon, c. 1670–1695

Ketika VOC merebut benteng Portugis di kota Ambon pada tanggal 23 Februari 1605, orang Ambon “dari benteng”, yang pada dasarnya beragama Kristen yang mendiami bagian selatan Pulau Ambon dan bagian selatan dari 3 pulau kecil di sebelah timurnyah, bersumpah setia kepada penguasa Republik Belanda dan VOC. Oleh karena itu terjalinlah relasi kolonial, dimana masyarakat Ambon menjadi subyeknya. Sebaliknya, masyarakat Ambon di bagian utara keempat pulau tersebut dan masyarakat di kepulauan yang terletak jauh di utara dan barat bukanlah subyek melainkan sekutu VOC. Status mereka berubah dalam waktu kurang dari 20 tahun, dengan adanya konflik mengenai pengiriman eksklusif cengkeh kepada Belanda dan harga yang harus dibayar, mengubah aliansi antara VOC dan masyarakat Muslim Ambon menjadi permusuhan terbuka. Akibat dari “Perang Ambon” yang berdarah-darah, yang berlangsung selama beberapa dekade, menyebabkan penaklukan terakhir dan total atas kepulauan Amboina, dan kaum Muslim juga menjadi subyeknya. Orang-orang Ambon, apapun agamanya, tidak menjadi warga kota Ambon seperti orang-orang non-Ambon yang disebutkan di atas: mereka disebut “negorijlieden” atau penduduk desa/negeri. Penduduk desa/negeri ini dapat diwajibkan menjadi pendayung di hongi, armada sampan/perahu bercadik, yang bertugas 1 bulan setiap tahun untuk melayani VOC. Jika karena alasan apapun mereka dilarang masuk hongi, penduduk desa diharuskan melakukan kerja paksa, terutama bekerja pada pemeliharaan dan perbaikan benteng-benteng VOC13.

Ketika VOC mulai menghitung “jiwa-jiwa” di propinsi Amboina pada tahun 1667, VOC juga memasukan penduduk asli/pribumi Ambon di desa-desa mereka. Tampaknya, sekitar pertengan tahun, pemimpin sebuah desa harus menghitung jumlah penduduk di setiap rumah tangga dan melaporkan jumlah tersebut kepada pejabat di distrik-distrik VOC. Namun demikian, pada proto-sensus yang masih ada, hasilnya tidak dicatat untuk setiap rumah tangga, melainkan pada tingkat desa saja, dengan kolom yang terpisah untuk jumlah laki-laki, perempuan, dan anak-anak, yang dikelompokkan menurut agama dan statusnya14. Pada tabel 3 disajikan hasil-hasil penanganan perbudakan pada masyarakat pribumi/asli Ambon selama 3 tahun penting yang telah disebutkan. 

Tabel 3 menunjukkan bahwa proporsi budak dalam masyarakat asli/pribumi Ambon di seluruh propinsi berkisar antara 12% dan 13%. Namun, jumlah untuk 2 dari 4 wilayah gabungan, pulau Ambon dan kepulauan Barat, lebih tinggi. Pulau Ambon, yang merupakan pusat propinsi ini, juga merupakan wilayah dimana produksi cengkeh masih diperbolehkan oleh VOC sehingga menghasilkan pendapatan tunai yang cukup besar. Pulau-pulau barat terletak secara strategis di sepanjang jalur perdagangan bersejarah di Indonesia Timur, yang maknanya semakin berkurang setelah VOC tiba di sana. Oleh karena itu cukup mengejutkan bahwa kepulauan barat masih memiliki jumlah budak yang begitu besar karena wilayah tersebut dilarang memproduksi cengkeh setelah Perang Besar Ambon (1651-1656/1658) yang menghancurkan. Dua wilayah agregat yang tidak mencapai jumlah 12% hingga 13% adalah kepulauan Lease dan Seram bagian barat daya. Kepulauan Lease relatif merupakan pendatang baru sebagai penghasil cengkeh, karena baru memulai budidaya pada kuartal kedua abad ke-17. Setelah Perang Besar Ambon, pulau-pulau ini termasuk pulau yang masih diizinkan memproduksi cengkeh oleh VOC. Sebagian besar pesisir Seram barat daya merupakan wilayah yang dimasukan ke dalam propinsi ini setelah sekitar tahun 1650. Penduduknya sebagian besar adalah Alifuru, sebuah kata kolektif untuk anggota masyarakat suku yang tinggal di pedalaman Seram yang diselimuti hutan, penganut animisme yang berada dalam proses memeluk agama Kristen Protestan oleh pendeta-pendeta VOC dan kepala sekolah. Perekonomian Seram baru saja mengalami kemajuan melampaui tingkat subsisten : “kondisi pasar” sangat mencolok karena katidakhadiran mereka15.

Jika dilihat dari tingkat wilayah pada tabel 3, terlihat jelas bahwa perbedaan antar wilayah di Pulau Ambon tidak terlalu signifikan. Persentase di Hitu, wilayah pesisir utara Ambon yang beragama Islam, yang merupakan daerah produksi cengkeh yang lama dan masih berkembang, sedang meningkat atau mungkin baru pulih dari perang pada tahun 1640-an, sedangkan persentase di Leitimor, semenanjung bagian selatan yang mayoritas Kristen tempat kota Ambon berada, tampaknya mengalami stagnasi pada periode 1672-1692. Wilayah dengan persentase budak tertinggi di temukan di kepulauan barat, khususnya pulau Manipa yang berpenduduk mayoritas Muslim, yang juga sedang dalam masa pemulihan dari perang pada tahun 1650-an. Manipa, dengan kepemilikan budak sebesar 20% atau lebih, merupakan wilayah yang terletak di pusat kepulauan barat, yang merupakan batu loncatan bagi jalur perdagangan lokal. Melihat desa-desa yang paling “kaya budak” di wilayah tersebut, mereka tampaknya memiliki satu elemen yang sama. Penduduk pemukiman-pemukiman ini seringkali merupakan sisa-sisa kelompok elit sebelum penaklukan, berpihak atau diampuni oleh penguasa kolonial Belanda. Akibatnya, sampai batas tertentu “kaya budak” sama dengan “[telah] lama kaya”. Daerah dengan persentase budak yang rendah adalah Ambelau, Seram Hitu dan Seram Saparuai, semuanya terletak di pinggiran propinsi. Di Seram Hitu pada tahun 1692 masih terdapat desa-desa Alifuru yang belum turun dari perbukitan dan hutan di pedalaman hingga ke pesisir pantai. Oleh karena itu, Alifuru tradisional, yang merupakan pendahulu budaya atau “nenek moyang” masyarakat pesisir Ambon, termasuk dalam masyarakat tanpa budak16.

Tabel 3 juga memungkinkan untuk menghitung tingkat pertumbuhan tahunan populasi budak di desa-desa Ambon yang tampaknya sebesar 1,2% antara tahun 1673 dan 1692. Angka ini hanya sedikit di atas pertumbuhan populasi budak di kota Ambon, dan juga di atas masyarakat desa-desa Ambon secara keseluruhan sebesar 1,0%. Namun ada satu perbedaan mencolok antara budak di kota Ambon dan budak di desa-desa Ambon yang perlu digarisbawahi : rasio jenis kelamin di kalangan orang dewasa. Di kota Ambon, rasio jenis kelamin adalah sekitar 650 perempuan per 1000 laki-laki; di desa-desa Ambon angkanya adalah 990 per 1000. Perbedaan mencolok antara kota dan pedesaan ini dapat dijelaskan sampai batas tertentu oleh fakta bahwa budak di kota lebih cenderung digunakan untuk pekerjaan produktif, sebuah situasi yang juga lazim terjadi di tempat lain di Asia Tenggara. Yang menarik adalah rasio jenis kelamin di desa-desa tidak berada pada tingkat yang sama di semua tempat. Secara keseluruhan di kepulauan barat dan Seram barat daya, terdapat 1.200 dan 1.220 perempuan per 1.000 laki-laki. Kepulauan barat mayoritas beragama Islam, namun Seram Selatan baru saja berpindah agama dari “paganisme” menjadi Kristen. Kemungkinan besar munculnya kelebihan budak peremppuan di wilayah ini mungkin ada hubungannya dengan gundik atau poliginij. Pengamatan umum terakhir mengenai perbudakan di masyarakat pedesaan Amboina berkaitan dengan proporsi anak-anak. Sekitar 25% dari budak tersebut adalah anak-anak, yang diperkirakan berusia di bawah 16 tahun anak laki-laki dan di bawah 12 tahun untuk perempuan. Persentase yang tinggi ini membuat kecil kemungkinannya bahwa populasi budak di desa-desa Ambon akan mampu mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 1,2% melalui reproduksi alami. Terlebih lagi ketika disadari bahwa secara keseluruhan masyarakat desa Ambon menunjukkan proporsi anak sebesar 38% hingga 39%, suatu kondisi yang sejalan dengan pertumbuhan tahunan sebesar 1,0%17.

 

Budak Bali di Batavia, ca 1700

Kondisi Perbudakan di Amboina

Dengan memperhatikan persentase pertumbuhan budak dari non-Ambon di kota Ambon dan budak-budak dari orang Ambon di desa-desa, jelaslah bahwa setiap tahun pasti banyak budak yang ditambahkan ke dalam kelompok orang-orang yang tidak bebas. Karena jumlah kelahiran di kalangan budak sangat terbatas, impor budak dari luar negeri sangat penting. Sayangnya, informasi mengenai impor ini hampir tidak ada. Baru pada tahun 1670 disebutkan jumlah impor tahunan sekitar 600 orang budak dari etnis “berbahaya”, yang menunjukkan tingkat impor sebesar 8% hingga 9% dari total populasi budak di propinsi tersebut. Etnis yang “berbahaya” menurut definisi VOC, mencakup 1/3 dari seluruh populasi budak di propinsi tersebut, termasuk suku Makassar, Bugis, Buton, dan Bali. Kecuali suku Bali dan pada tingkat yang lebih rendah, yaitu suku Buton, suku-suku ini merupakan suku-suku yang mempunyai sejarah peperangan serius dengan VOC. Jika kita berasumsi bahwa impor dari bagian yang “tidak berbahaya” juga berjumlah 600, total impor budak setiap tahunnya pasti mencapai tingkat yang sangat tinggi yaitu 20% untuk seluruh propinsi. Dalam semua diskusi tentang “berbahaya” dan “tidak berbahaya” ini, kita harus menyadari bahwa tidak semua orang sependapat dengan VOC sendiri, tampaknya para pemilik budak lebih memilih orang-orang dari kepulauan, misalnya dari Sulawesi dan Bali, karena para budak ini berasal dari masyarakat agraris yang lebih maju dibandingkan mereka yang berasal dari wilayah sebelah timur dari Sulawesi. Yang pertama dapat diandalkan untuk memiliki ketrampilan, khususnya di bidang pertanian dan kerajinan tangan. Etnis di sebelah timur dari Sulawesi dianggap “kurang berbahaya” terhadap ketertiban umum di Amboina. Mereka termasuk orang Papua, orang Ambon dan Alifuru Maluku, orang Aru dan orang Indonesia Timur lainnya. Budak impor mendapatkan harga antara 40 dan 80 rijksdaalder. Karena jumlah ini jauh lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata tahunan yang diperoleh dari menanam cengkeh, pastilah sulit bagi masyarakat Ambon untuk membeli atau memiliki budak. Oleh karena itu, mayoritas penduduk desa-desa Ambon yang memiliki budak pasti mempunyai latar belakang elit. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah orang Ambon sendiri dijual sebagai budak. Bukti mengenai hal ini dalam sumber sangat jarang, dengan Alifuru dari Buru dan Seram diculik oleh perampok dari luar, dengan catatan pengecualian18

Masyarakat membeli budak untuk tujuan “produktif” dan juga “non-produktif”. Tujuan produktif adalah tugas-tugas rumah tangga seperti mengurus rumah dan memasak, mengambil kayu bakar, bekerja kasar di bengkel, menggarap dan memanen di perkebunan, menangkap ikan di perairan pantai, membawa muatan berat ke dan dari pasar dan kapal, serta membantu dan berlayar dalam pelayaran dagang. Tujuan non-produktif termasuk misalnya, mengawal majikan dan gundik yang berkunjung atau menghadiri kebaktian gereja sebagai pembawa payung. Beberapa budak perempuan bisa menjadi pasangan sah atau pasangan de facto dari majikan mereka dan menjadi ibu dari anak-anaknya. Setelah budak-budak baru tiba di Amboina, sulit untuk mengatakan apakah mereka sering berpindah kepemilikan atau tidak sama sekali. Selain budak impor, tentu saja ada invidu dari etnis apapun di Amboina, yang lahir dan meninggal sebagai budak. Budak juga sering dibebaskan oleh pemiliknya, khususnya di kota Ambon, dimana salah satu kelompok warganya berutang pada seluruh keberadaannya pada praktik ini. Untuk menghindari kesulitan mengenai status budak yang dibebaskan, setelah sekitar tahun 1680 VOC mewajibkan agar akta pembebasan harus dibuat dihadapan komisaris VOC. Masih diragukan apakah pembebasan juga dilakukan pada masyarakat pribumi, karena tidak ada contoh mengenai hal ini yang ditemukan dalam catatan arsip. Sikap mereka terhadap pembebasan dengan jelas menunjukkan bahwa pemerintah kolonial di Ambon tidak sepenuhnya acuh tidak acuh terhadap nasib para budak. Pada tahun 1678, penguasa VOC di Amboina melarang penjualan budak Kristen kepada Muslim. Sekitar tahun 1690, VOC bahkan memikirkan gagasan untuk melarang umat Islam menyunat para budaknya. Proposal ini tidak pernah menjadi undang-undang karena pemerintah memperkirakan hal ini akan menimbulkan masalah bagi masyarakat Muslim19.

Seperti halnya masyarakat budak di tempat lain, keharmonisan antara tuan dan budak di Amboina tidak bisa dianggap remeh. Deskripsi atau penggambaran jiwa-jiwa mempunyai kolom khusus untuk etnis “berbahaya” dan ini menjadi bukti bahwa pemerintah kolonial memperkirakan akan ada masalah. Pada tahun 1672, Pemerintah Tinggi di Batavia telah memerintahkan pemerintah VOC di Makassar untuk tidak mengirimkan satupun budak laki-laki ke Amboina dari Makassar. Pada tahun 1666 dan tahun 1683, pemasukan budak laki-laki Bali dan Makassar oleh pedagang swasta dilarang. Peraturan lebih lanjut mengenai pasokan budak disahkan pada tahun 1681 ketika, atas perintah Pemerintah Tinggik, larangan diberlakukan terhadap impor budak dari Kei, Aru, dan Tanimbar, gugusan pulau di sebelah tenggara Amboina, meskipun terdapat fakta bahwa mereka selalu diklasifikasan sebagai etnis “tidak berbahaya”. Alasan sebenarnya adalah untuk mencadangkan pulau-pulau ini sebagai daerah perbekalan semata-mata untuk perekrutan budak ke Banda, propinsi penghasil pala dan bunga pala milik VOC yang terletak di sebelah tenggara. Pada tahun 1688, Pemerintah Tinggi menganggap bahwa jumlah budak Makassar dan Bugis yang “berbahaya” masih terlalu tinggi, dan seringkali terdapat kecenderungan untuk memasukan budak Bali dan Bima yang “berbahaya” ke dalam budak-budak yang “tidak berbahaya”. Keadaan ini menyebabkan terulangnya larangan impor budak berbahaya pada tahun 1689. 

Tentu saja, bahaya yang lebih besar daripada impor ini adalah seringnya terjadi masalah antara tuan dan budaknya. Ketika kejadian seperti itu mengancam ketertiban umum, VOC-lah yang harus mencari “solusi”. Salah satu masalah yang mungkin paling mengkhawatirkan VOC adalah pelarian para budak, terutama untuk menghindari perlakuan kasar dari majikan mereka. Akibatnya, pada tahun 1683 dikeluarkan peraturan yang melarang penggunaan belenggu kayu atau besi pada budak sebagai hukuman. Sebagai gantinya, jaksa penuntut umum VOCl dapat diminta untuk melakukan hal tersebut. Pelarian budak telah dilarang dalam peraturan tahun 1636 dan pada tahun 1656 setiap penduduk dilarang menawarkan perlindungan kepada budak yang melarikan diri. Pada tahun 1668 dikeluarkan peraturan di kota Ambon yang memerintahkan agar perahu dirantai untuk mencegah budak melarikan diri ke luar negeri. Tampaknya, kapal yang berlayar di laut dipandang sebagai salah satu kebocoran terpenting dalam sistem perbudakan di kota Ambon. Ketakutan akan budak yang melarikan diri merupakan tema yang muncul berulang kali dalam sumber-sumber arsip dari Amboina. Oleh karena itu, pada tahun 1676 para pemilik budak diperintahkan untuk menjaga budak-budak mereka di rumah pada malam hari untuk mencegah mereka melarikan diri namun juga untuk memudahkan pelacakan budak-budak yang sedang melarikan diri20.

Melarikan diri dari majikannya adalah senjata paling penting dalam gudang senjata perlawanan para budak; piliha terpopuler kedua adalah pembakaran. Kasus pembakaran yang paling terkenal pada periode ini adalah rencana yang dibuat oleh lebih dari 20 orang budak untuk membakar desa Siri-Sori di Pulau Saparua pada tahun 1675. Namun, para komplotan itu ditangkap dan, setelah dicambuk di depan umum di pasar, mereka kembali ke tuannya. Melarikan diri bisa tejadi sendiri-sendiri atau berkelompok. Umumnya para pelarian bersembunyi di hutan lebat di pedalaman pulau-pulau di propinsi tersebut, tempat mereka mencuri makanan dari kebun-kebun orang Ambon atau merampok orang yang tidak bersalah. Pilihan yang lebih berani adalah dengan mencuri kapal dari pantai dan kemudian berlayar menuju tempat kelahiran mereka, namun hal ini memerlukan perencanaan yang matang dan biasanya dilakukan dalam kelompok kecil. Karena sebagian besar budak berasal dari Sulawesi, tidak mengherankan jika para budak yang melarikan diri dengan perahu, dari Pulau Ambon dan dari propinsi Banda lebih jauh ke tenggara, seringkali terdampar di Buru dan Ambelau, pulau-pulau yang termasuk dalam kepulauan barat Amboina. Perampokan terhadap orang-orang yang lewat di Pulau Ambon, Pulau Lease, dan kepulauan barat juga merupakan upaya terorganisir yang dilakukan oleh para pelarian yang bercokol di puncak bukit atau di lereng gunung. Contoh paling terkenal dari para perampok ini adalah sekelompok 30 orang yang bersembunyi di 3 rumah di sepanjang jalan darat dari Teluk Ambon ke Hitu pada tahun 1693. Ketika regu pencari bersenjata lengkap menyita rumah mereka, semua orang yang melarikan diri telah menghilang. Meskipun VOC berinisiatif mengirimkan kelompok pencari ini secara rutin, namun keberhasilannya tidak banyak. Untuk setiap pelarian yang tertangkap, VOC membayar hadiah sebesar 10 rijksdaalder, yang imbalannya akan dibayar oleh pemilik budak yang bersangkutan. Kadang-kadang hadiahnya digandakan atau ditingkatkan menjadi 10 rijksdaalder untuk pelarian yang mati dan 20 rijksdaalder untuk yang masih hidup. Menjelang akhir abad ke-17, ketika pelarian menjadi masalah yang semakin meningkat di kawasan hutan lebat, VOC memerintahkan para kepala desa di Ambon untuk tetap waspada terhadap para budak yang melarikan diri di wilayah kekuasaan mereka21.

Hukuman bagi budak yang diketahui berencana melarikan diri atau mereka yang ditangkap oleh regu pencari yang dijatuhkan oleh VOC dan sangat berat. Rata-rata pelarian selalu dicambuk di depan umum, dicap di pipi atau diamputasi salah satu telinganya, selain itu juga dihukum bekerja dengan rantai untuk jangka waktu yang bervariasi dari 10 tahun hingga seumur hidup. Budak yang melakukan kekerasan terhadap pemiliknya atau orang lain akan digantung. Nasib serupa menimpa para pelarian yang bersembunyi di hutan dan merampok orang yang lewat. Budak yang tertangkap basah melakukan pembakaran akan digantung atau dicekik. Tindakan perlawanan budak yang paling spektakuler di propinsi Amboina terjadi di pulau Buru pada bulan November 1668. Sembilan orang pelarian dari Banda yang ditangkap kembali untuk sementara waktu dipekerjakan di taman kompeni dekat benteng Oostburg sambil menunggu transportasi ke kota Ambon. Suatu hari saat matahari terbenam, ketika Oostburg hampir ditinggalkan garnisun Eropa, mereka memanfaatkan kesempatan untuk menduduki benteng tersebut. Namun 5 dari 9 orang telah melarikan diri dari benteng bahkan sebelum tentara VOC menyerbunya. 4 orang sisanya, 1 Makassar, 1 Bugis, dan 2 orang Bima, berhasil memukul mundur tentara tersebut. Membunuh 6 orang diantaranya, dan menguasai Oostburg selama 2 hari. Akhirnya, 3 buronan tewas dalam aksi itu, sedangkan buronan ke-4 menyelinap keluar benteng dengan menyamar sebagai tentara. Sayangnya dia dikenali dan ditangkap dan 1 bulan kemudian dipenggal dan ditempatkan di kota Ambon22.

Tindakan perlawanan seperti pembakaran atau pelarian yang dilakukan oleh para budak terhadap majikannya biasanya dilakukan oleh budak laki-laki. François Valentijn, penulis ikhtisar ensiklopedis Oud en Nieuwe Oost-Indien (1724-1726), yang bertugas sebagai pendeta di Amboina dari tahun 1686-1687 dan 1688 – 1694, memberikan gambaran yang jelas tentang budak rumah tangga orang Eropa. Valentijn sendiri telah menjadi pemilik budak melalui pernikahannya dengan seorang janda kayam dan menjadi pemilik 30 budak. Menurut Valentijn, “ketidaknyamanan” terbesar bagi pemilik budak adalah memiliki “budak yang jahat”, mabuk-mabukan, mencuri dari pemiliknya atau sesama budaknya, atau menghisap madat, obat yang terbuat dari tembakau dan opium. Secara pribadi memberikan hukuman fisik kepada budak-budak tersebut sendirian adalah hal yang terlalu berat bagi Valentijn; sebaliknya ia memerintahkan 2 orang “kafir” yang dipekerjakan oleh jaksa penuntut umum VOC untuk melakukan pekerjaan itu dengan biaya 12 stuiver23.

Meskipun ada masalah seperti itu, hubungan antara tuan atau nyonya dan budak laki-laki tidak selalu buruk. Sumber-sumber arsip juga menyebutkan contoh-contoh budak yang mendapatkan kepercayaan dari majikan mereka hingga dikirim dalam pelayaran perikanan dan perdagangan jarak jauh. Kejadian seperti ini tercatat bahkan setelah tahun 1668, tahun ketika VOC memerintahkan agar perahu-perahu di kota Ambon diamankan dengan rantai. Meskipun demikian, tampaknya hubungan antara tuan atau nyonya dan budak perempuan secara umum lebih baik dibandingkan dengan budak laki-laki. Sebagaimana telah disebutkan, budak perempuan bisa mempunyai kesempatan untuk menjadi gundik majikannya, bahkan menjadi istri resmi majikannya. Banyak rumah tangga budak di Eropa memiliki seorang “May di Casa”, budak perempuan paling senior, yang mengatur semua pekerjaan di rumah dan bertanggung jawab atas semua kunci pintu, lemari, dan peti. Budak perempuan juga bisa menjadi rebutan, misalnya ketika pemiliknya tertarik pada budak perempuan yang sudah menjadi hubungan dengan budak lain. Valentijn mengatakan ini bisa menjadi masalah hidup dan mati. Atau, seorang pemilik budak yang sudah menikah mungkin juga merayu seorang budak wanita muda di rumahnya sendiri, sehingga membuat istrinya cemburu. Dalam situasi seperti ini, istri bisa saja mempersulit kehidupan budak perempuan tersebut24

Perbudakan di Ambon Dibandingkan dengan Daerah Lain

Sistem perbudakan merupakan fakta sosial yang diterima di setiap sudut Dunia Samudera Hindia. Namun, karena penelitian yang berfokus pada Dunia Samudera Hindia biasanya tidak mencakup wilayah yang terletak di pantai Pasifik di Asia, sebuah wilayah yang sebagian besar telah mengalami “sinicisasi” yang seringkali lebih tepat disebut sebagai Asia Timur, maka patut dipertanyakan apakah Amboina benar-benar merupakan bagian dari Dunia Samudera Hindia ini. sesampainya dari arah barat, seperti yang dilakukan sebagian besar pelaut modern awal dari Eropa, orang mungkin bertanya : di manakah ujung Samudera Hindia? Bukankah Selat Malaka, Sunda, dan Lombok merupakan pintu masuk menuju dunia lain? Terlebih lagi, karena Dunia Samudera Hindia merupakan wilayah yang begitu luas, rumah bagi beragam masyarakat dan budaya dari berbagai jenis dan ukuran, maka timbul keraguan besar mengenai kegunaan konsep ini. Namun jaringan maritim lintas samudera yang menghubungkan satu sudut dengan sudut lainnya sudah ada sejak dahulu kala. Jaringan yang paling penting pada milenium kedua adalah Hindu, Muslim, Portugis, Belanda, Inggris, dan Perancis25

Mengingat keraguan mengenai konsep Dunia Samudera Hindia, saya terus mempertimbangkan Asia Tenggara sebagai kerangka acuan dalam membandingkan Amboina pada paruh terakhir abad ke-17 dan di Asia Tenggara dengan simpul-simpul lain dalam jaringan kekaisaran Belanda. Asia Tenggara adalah salah satu dari 3 sub-wilayah untuk pekerja tawanan dalam sistem perbudakan di Samudera Hindia Belanda seperti yang didefinisikan oleh Markus Vink. Sekitar tahun 1660, sub kawasan Asia Tenggara secara bertahap muncul sebagai pasar pasokan terpenting bagi kekaisaran VOC. Selain sebagai pasar pasokan, Vink juga menyebut bahwa Asia Tenggara sebagai sub-wilayah permintaan. Namun perlu disebutkan bahwa permintaan ini telah meningkat jauh lebih awal, yaitu sekitar tahun 1620-an26.

Arti penting dari analisi perbudakan di Amboina pada akhir abad ke-17 adalah bahwa wilayah ini tidak hanya membuka peluang untuk mendapatkan wawasan yang lebih baik mengenai sistem perbudakan kolonial Belanda atau Eropa, namun juga memungkinkan kita untuk menggambarkan sistem kedua, sistem perbudakan pribumi. Membandingkan kedua sistem mungkin dapat membantu menghasilkan perspektif baru mengenai isu ini. Dalam artikelnya, Vink memperkirakan jumlah budak “Belanda” di Dunia Samudera Hindia berjumlah 66.000 pada sekitar tahun 1688, tidak termasuk budak kompeni. Namun, sebagaimana telah dikemukakan oleh Rik van Welie, Vink tidak seharusnya melabeli lebih dari 7.000 budak Ambon sebagai “budak Belanda”. selain mengomentari kesenjangan ini, Van Welie sendiri tidak memberikan perhatian lebih jauh terhadap budak-budak orang Ambon, karena tujuan artikelnya adalah untuk menggambarkan perbudakan Belanda di seluruh penjuru dunia27.

Jadi bagaimana kita menilai kasus Amboina pada paruh kedua abad ke-17? Dan bagaimana seseorang bisa menjadi budak di Amboina? Dalam ulasan rintisannya namun serampangan mengenai kerja ijon di Asia Tenggara pada tahun 1950, Bruno Lasker menyebutkan 5 cara seseorang bisa menjadi budak : ditangkap dalam peperangan, dihukum karena kejahatan, ditangkap melalui campur tangan bajak laut dan pedagang, tanggungan penjualan serta berhutang28

Dimulai dengan faktor pertama, perlu ditekankan bahwa setelah sekitar tahun 1660, berakhirnya apa yang disebut Perang Besar Ambon (1651-1656/1658) yang berkecamuk di Seram barat daya dan kepulauan barat yang disebut Perang Ambon ke-6. Perang (1657-1661) di Seram Timur, tawanan perbudakan yang dibawa dalam pertempuran atau akibat penggerebekan oleh serdadu VOC dan/atau para pejuang Ambon yang pro-VOC hampir hilang di propinsi Amboina. Setelah tahun 1660, satu-satunya daerah di Amboina dimana peperangan, dalam hal ini peperangan suku, masih mewabah adalah daerah pedalaman Seram yang dihuni oleh suku Alifuru yang semi nomaden. Namun, hampir tidak ada satupun sumber arsip yang menyebutkan tentang penjualan tawanan oleh para pelaku kekerasan suku ini. Karena masyarakat pesisir yang menjadi korban peperangan tersebut, setidaknya di bagian barat Seram, secara teratur meminta penguasa kolonial untuk melakukan intervensi atas nama mereka, VOC menyimpan dokumentasi yang cukup teliti mengenai masalah tersebut, sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya konflik perbudakan semacam itu akan luput dari perhatiannya. Beralih ke faktor kedua, hukuman pidana, sekali lagi tidak ada bukti mengenai hal ini dalam catatan arsip. Faktor ketiga, tindakan bajak laut dan pedagang, memang merupakan mekanisme penting dalam perbudakan. Ketika kita berbicara tentang bajak laut, yang kita maksud adalah pelaut dari Papua yang berkeliaran di sekitar pulau Amboina untuk mencari tawanan. Namun bajak laut ini terjadi secara berkala, karena VOC melancarkan berbagai upaya untuk menghancurkannya, karena dianggap sebagai ancaman terhadap “rakyatnya” di Amboina dan Banda. Di sisi lain, para pedagang antar pulau, khususnya yang terlibat dalam impor budak dari Sulawesi dan Bali serta berbagai lokasi di sebelah timur kedua pulau ini, merupakan faktor yang konstan dan signifikan dalam pertumbuhan jumlah budak di Ambon, tentunya bagi masyarakat perkotaan non-Ambon, dan mungkin pada tingkat yang lebih rendah, juga bagi masyarakat pedesaan Ambon. Jumlah impor budak yang dianggap “berbahaya” pada sekitar tahun 1670 yang telah disebutkan, yaitu sekitar 9% dari seluruh populasi budak, merupakan bukti yang meyakinkan atas pernyataan ini. Pasokan budak dari Bali dan Sulawesi merupakan hasil dari banyaknya perang internesin (penghancuran 2 sisi/pihak/kubu) dalam lanskap politik yang sangat terfragmentasi di pulau-pulau tersebut. Beralih ke faktor keempat dan kelima, tanggungan penjualan dan hutang, tidak ada bukti dalam sumber-sumber di akhir abad ke-17 bahwa salah satu dari faktor-faktor ini berperan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa administrasi pemerintahan VOC yang teliti di Amboina menjadikan Amboina mempunyai karakter negara pengawas yang dikelola dengan baik29.

Lalu, bagaimana mungkin menjadi budak? Selain faktor pewarisan atau perbudakan melalui kelahiran yang “dihilangkan” oleh Lasker, tentu merupakan mekanisme yang paling menonjol di antara mereka yang dimiliki oleh para elit, masyarakat yang tadinya diberi label “ orang kaya lama”, impor budak non-Ambon dari kepulauan Sunda Kecil dan dari Sulawesi adalah yang paling penting. 

Selain itu, bagaimana kedua rezim perbudakan di Amboina cocok dengan penelitian umum mengenai perbudakan di Asia Tenggara? Buku yang diedit oleh Anthony Reid, Slavery, Bondage, and Dependency in Southeast sangat membantu dalam hal ini. Dalam artikel pengantarnya, Reid menjelaskan dengan jelas bahwa perbudakan adalah bagian dari masyarakat asli/pribumi jauh sebelum kedatangan orang Eropa di wilayah tersebut. Ia menghubungkan perbudakan di Asia Tenggara dengan tradisi panjang pemikiran dalam hierarki vertikal dan relasi patron-klien ditambah dengan faktor ekonomi berupa melimpahnya lahan dan kekurangan tenaga kerja. Relasi patron-klien juga harus menjadi bagian yang hakiki dalam masyarakat pribumi Ambon. Meskipun kelompok “orang kaya lama” di wilayah tertentu di Ambon mungkin cocok dengan pola ini, hal ini tidak serta merta dapat dikatakan sebagai argumen kelangkaan tenaga kerja. Meskipun produksi cengkehnya cukup untuk pasar dunia, perekonomian masyarakat pribumi Ambon pada abad ke-17 masih banyak menggunakan tenaga kerja, khususnya dalam budidaya tanaman pangan. Reid juga berpendapat bahwa utang perbudakan tersebar luas di Asia Tenggara karena banyak orang miskin secara aktif mencari perlindungan dari orang kaya. Namun, hingga saat ini belum ada bukti adanya utang perbudakan dalam sistem perbudakan pribumi di Amboina. Jika seorang budak memang berasal dari masyarakat pelindungnya sendiri, hubungannya bisa jadi cukup harmonis. Hal ini kecil kemungkinannya terjadi jika budak tersebut datang dari luar, misalnya melalui impor dari luar negeri atau penangkapan. Impor dan penangkapan dapat menimbulkan hubungan yang lebih bertentangan, yang tampaknya paling banyak terjadi di lingkungan komersial perkotaan di Asia Tenggara. “Model orang luar” yang berlawanan ini sangat cocok dengan keadaan di kota Ambon, namun mungkin juga dapat diterapkan pada sistem perbudakan pribumi di Amboina yang pada periode yang sedang dibahas masih mencakup sejumlah besar budak dari luar negeri30.

Dalam bukunya yang diedit itu, Reid berfokus pada masalah sistem perbudakan “tertutup” dan “terbuka”. Yang pertama (atau sistem tertutup) menujukkan situasi dimana budak dari tempat lain selalu berada di luar kelompok pemilik, dan yang terakhir (atau sistem terbuka) menunjukkan situasi dimana orang luar secara bertahap dimasuk ke dalam kelompok kerabat lokal. Konsep tertutup dan terbuka pertama kali diperkenalkan oleh James Watson dalam bukunya yang membandingkan perbudakan di Asia dan Afrikan. Watson menyatakan bahwa sistem terbuka lazim terjadi di Asia Tenggara. Reid tidak sependapat dengan hal ini, dan menyatakan bahw Asia Tenggara mempunyai sistem terbuka dan tertutup yang saling berdampingan, dan memberikan contoh mengenai keduanya. Sebagian besar sistem tertutup ditemukan dalam masyarakat statis, yang menggabungkan pertanian yang relatif banyak tenaga kerja dengan perekonomian dengan monetisasi yang sangat rendah. Reid mengatakan bahwa dalam masyarakat seperti ini 10-30% penduduknya bisa menjadi budak kaum elit. Setidaknya pada pandangan pertama, 15% budak di masyarakat pribumi Amboina mungkin termasuk dalam tipe ini, karena tidak ada indikasi bahwa para budak, yang sebagian besar adalah orang luar, secara bertahap dimasukan ke dalam kelompok kerabata. Reid lebih lanjut mengemukan sistem perbudakan terbuka di emporia perdagangan internasioanl pra-kolonial di Asia Tenggara. Penerus emporia perdagangan ini, yaitu daerah kantong kolonial perkotaan Eropa, melanjutkan tradisi sistem perbudakan terbuka. Kota Ambon, dengan proporsi 52% budak, cocok dengan model sistem terbuka. Situasi dimana budak merupakan mayoritas penduduknya merupakan ciri khas kota Ambon yang dimiliki oleh pemukiman Belanda lainnya di Asia Tenggara, seperti Batavia dan Makassar. Namun, Reid melanjutkan dengan menunjukkan bahwa karakter sistem terbuka di daerah kantong kolonial ini menurun, dan menyalahkan kecenderungan elit Eropa yang menekankan kekhasan rasial para budak dalam masyarakat31

Pieter Cnol, Istri, anak dan para budak, lukisan Jacob Coeman ca 1665

Klaim Reid bahwa sistem terbuka di pusat-pusat kota kolonial mengalami kemunduran karena kekhasan rasial dapat dianggap sebagai antitesis terhadap gambaran positif dugaan perlakuan ringan terhadap budak dalam sistem pribumi yang umumnya disebarkan oleh para penulis Eropa kontemporer. Dalam buku yang sama, Heather Sutherland mengkritik dikotomi antara perbudakan di Eropa dan Indonesia, termasuk perbedaaan antara perbudakan yang “keras” dan “ringan”. Ia menegaskan bahwa perdagangan budak dan perbudakan pada abad ke-17 dan ke-18 di Asia Tenggara merupakan cerminan dari keterhubungan kedua kategori tersebut dan bahwa memperlakukan “manusia sebagai binatang” menodai sistem Eropa dan pribumi32. Jika kita membandingkan perbudakan di kota Ambon dan perbudakan di desa-desa Ambon, nampaknya kondisi di kota Ambon jauh lebih buruk. Besarnya proporsi budak, preferensi terhadap tenaga kerja dewasa atau “produktif” dan sedikitnya jumlah anak-anak di kalangan budak di kota Ambon menunjukkan bahwa hidup ini sulit. Selain itu, sebagian besar kasus budak yang melawan atau melarikan diri dari majikannya terjadi di kota. Tentu saja, letak permasalahan yang relatif dekat akan menyebabkan VOC “mengawasi” perbudakan di perkotaan dengan lebih cermat dibandingkan dengan perbudakan di pedesaan. Meskipun terdapat kekerasan, terdapat “katup pengaman” yang meringankan tekanan sosial di perkotaan. “Mobilitas ke atas” melalui pembebasan pasti lebih tersebar luas di kota-kota dibandingkan di desa-desa dimana sejumlah besar bekas budak menjadi bagian dari komunitas pemukim di Amboina. Satu kelompok, yaitu kelompok warga pribumi, bahkan seluruhnya terdiri dari bekas budak. Oleh karena itu, kota Ambon tidak diragukan lagi merupakan contoh sistem perbudakan terbuka di daerah kantong kolonial.

=== selesai ===

Catatan Kaki

1.         G.J. Knaap, ‘Some Observations on a Thriving Dancing Party; The Cultivation for Cloves in Sixteenth and Seventeenth Century Ambon’, Papers of the Fourth Indonesian-Dutch History Conference, Yogyakarta 24–29 July 1983. Volume I. Sartono Kartodirdjo, ed., Agrarian History (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986), 66–9.

2.        Gerrit Knaap, Henk den Heijer, and Michiel de Jong, Oorlogen Overzee; Militair optreden door compagnie en staat buiten Europa, 1595–1814 (Amsterdam: Boom, 2015), 76–9, 97–106; Gerrit Knaap, ‘Robbers and Traders; Papuan Piracy in the Seventeenth Century’, in Pirates, Ports and Coasts in Asia; Historical and Contemporary Perspectives, eds. John Kleinen and Manon Osseweijer (Singapore: ISEAS, 2010), 147–52.

3.        Bruno Lasker, Human Bondage in Southeast Asia (Richmond: University of North Carolina Press, 1950), 15, 69–70; A. Reid, ‘Introduction: Slavery and Bondage in Southeast Asian History’, in Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, ed. Anthony Reid (New York and St. Lucia: University of Queensland Press, 1983), 2.

4.        Untuk deskripsi dalam bahasa Inggris mengenai sumber ini, lihat Gerrit Knaap, ‘The Demography of Ambon in the Seventeenth Century; Evidence from Colonial Proto-Censuses’, Journal of Southeast Asian Studies 26 (1995), 228–33.

5.        Adanya deskripsi jiwa-jiwa antara tahun 1671 dan 1695 menjadi motivasi utama penulis melakukan penelitian PhD di Amboina. Analisis lengkap deskripsi tersedia dalam Gerrit Knaap, Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656–1696 (Second imprint: Leiden: KITLV Press, 2004), 128–58, 163–70, 177–9, 365–75.

6.       Informasi demografi Kota Ambon berasal dari Gerrit Knaap, ‘A City of Migrants; Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century’, Indonesia 51 (1991): 119–25. Pemilihan tahun 1694 diambil karena niat untuk membandingkan Kota Ambon dengan Kolombo, ibukota propinsi VOC Ceylon, yang telah penulis terbitkan sebelumnya.

7.        Menurut Markus Vink, ‘'The World's Oldest Trade’: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century’, Journal of World History 14 (2003): 170, “jumlah pasti mengenai populasi subjek dalam penaklukan Belanda masih kurang”. Kasus Amboina merupakan contoh nyata bahwa arsip-arsip masih memberikan peluang luas untuk merekonstruksi demografi wilayah kekuasaan VOC. Amboina bukan satu-satunya kasus.

8.        Knaap, ‘City of Migrants’, 110–13; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 139.

9.       Knaap, ‘City of Migrants’, 120–1; VOC 1551, Zielsbeschrijving 1694.

10.     Knaap, ‘City of Migrants’, 121–5.

11.       Knaap, ‘City of Migrants’, 111–13, 120–1, 124; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 132; VOC 1551, Zielsbeschrijving 1694.

12.      Knaap, ‘City of Migrants’, 118, 121, 123–4; Reid, ‘Introduction’, 25–6.

13.      Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 11, 21–4, 26–30, 177, 181–2, 192–4, 370.

14.      Knaap, Ibid., 369–72.

15.      Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 163–5.

16.     Knaap, Ibid., 165–7.

17.      Knaap, Ibid., 144–5, 167–9, 370; Reid, ‘Introduction’, 22–3.

18.      VOC 1281: 293v; VOC 1293, legenda zielsbeschrijving 1673; VOC 1317: 282v, 297r; VOC 1334: dagregister 275r, 279r-v; VOC 1516: 40r; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 163, 169–70, 279–82, 328–9.

19.     VOC 917: 1237; Fr. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indiën, Volume 2 (Dordrecht/Amsterdam: Onder de Linden, 1724), ‘Beschrijving van Amboina’, 343; Idem, ‘Ambonsche Zaaken’, 256–7; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 171–2.

20.    VOC 889: 664; VOC 905: 2667; VOC 909: 1165; VOC 914: 1408–1409; VOC 1286: 517v; VOC 1461: 10v; Valentijn, ‘Ambonsche Zaaken’, 254, 256–7; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 171–3.

21.      VOC 1281: resolutions 83r, incoming letters 252r; VOC 1300: dagregister 376v; VOC 1309: resolutions 873v; VOC 1317: dagregister 255r, 261v, 282v, 297r, 349r, 350v; VOC 1325: resolutions 98; VOC 1344: resolutions 134; VOC 1461: 11v-12r; VOC 1556: 17r; Valentijn, ‘Ambonsche Zaaken’, 258.

22.     VOC 1271: dagregister 19r-23v, 327r, 335v, VOC 1309: dagregister 1160r; VOC 1317: dagregister 385r; VOC 1344: dagregister 132; VOC 1356: dagregister 18.

23.     ‘François Valentijn – Oud en Nieuw Oost-Indiën’ in: Harry A. Poeze (ed), Oosterse omzwervingen; Klassieke teksten over Indonesië uit Oost en West (Leiden: KITLV Uitgeverij, 2000), 123–4, 132, 134–5.

24.     VOC 1281: dagregister 19r, 21v; VOC 1317: dagregister 307v; VOC 1344: dagregister 444, 474;Knaap, ‘François Valentijn’, 134–5.

25.     Richard B. Allen, European Slave Trading in the Indian Ocean, 1500–1850 (Athens: Ohio University Press, 2014), 6–7.

26.    Vink, ‘'The World's Oldest Trade’, 139, 143, 147.

27.     Vink, ‘'The World's Oldest Trade’, 166–7; Rik van Welie, ‘Patterns of Slave Trading and Slavery in the Dutch Colonial World, 1596–1863’, in Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage, ed. Gert Oostindie (Leiden: Brill, 2008), 188–9, 191, 214.

28.     Lasker, Human Bondage, 16–17.

29.    Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 33–4, 49–53, 73–9; Knaap, ‘Robbers and Traders’, 150–2.

30.    Reid, ‘Introduction’, 6–14; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 221, 241–2.

31.      A. Reid, ‘“Closed” and “Open” Slave Systems in Pre-Colonial Southeast Asia’, in Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, ed. Anthony Reid (New York and St. Lucia: University of Queensland Press, 1983), 156–8, 161–6, 173–5; Vink, ‘'The World's Oldest Trade’, 148–9.

32.     Reid, ‘Closed and Open Slave Systems’, 173–5; H. Sutherland, ‘Slavery and the Slave Trade in South Sulawesi, 1660s–1800s’, in Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, ed. Anthony Reid (New York and St. Lucia: University of Queensland Press, 1983), 264–5.

 

Catatan Tambahan

a.        Gerrit Knaap, “A City of Migrants; Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century”,  Indonesia 51 (1991): 119–25

b.       Gerrit Knaap, “ Europeans, Mestizos and Slaves: The Population of Colombo at the End of the Seventeenth Century”, Itinerario, volume 5, isu 2, Juli 1981, halaman 84-101

c.        Hans Hagerdal, “Warfare, Bestowal, Purchase : Dutch Acquisition of Slaves in the World of Eastern Indonesia, 1650 – 1800, hal 553-573

d.       Claude Chevaleyre, “Insider by Analogy : Slaves in the Great Ming Code, halaman 460 – 481

e.        Stefan Eklof Amirell, “An Extremely Mild Form of Slavery........of the Worst Sort” : American Perceptions of Slavery in the Sulu Sultanate, 1899 – 1904, halaman 517 – 532

f.         Richard. B. Allen, “Exporting the Unfortunate : The European Slave Trade from India, 1500 – 1800, halaman 533 – 552.

g.        Gouvernment van Ambon (Amboina), Gouvernment van Banda dan Gouvernment van Moluccas

h.       Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut atau gugusan Uliaser

i.         Seram Hitu adalah wilayah di pulau Seram yang merupakan wilayah kekuasaan dari “karesidenan VOC Hitu/Hila dan Seram Saparua adalah wilayah di pulau Seram yang merupakan wilayah kekuasaan dari “karesidenan VOC Saparua.

§  Knaap, Gerrit. J, Kruidnagelen en christenen; De VOC en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden 2004,  hal 106.

§  Vanharbeke, Maarten, Amboina, de VOC op Ambon in 1732 : een socio-economische analyse (skripsi di Universitas Gent, Hal 186)

j.         Poligini adalah rumah tangga poligami yang terdiri dari seorang suami dan lebih dari 1 istri

k.        Pemerintah Tinggi atau Pemerintah Agung adalah terjemahan dari kata Hoge Regering. Hoge Regering adalah “Pemerintah Pusat” yang terdiri dari Lembaga Gubernur Jend VOC dan Raad van Indie (Dewan Hindia) yang bermarkas di Batavia

l.         Jaksa penuntut umum VOC disebut juga Fiscaal

§  Gaastra, Femme.S., The Independent Fiscaals of the VOC 1689 – 1719, Itinerario, volume 9, isu 2, July 1985, halaman 92-107

m.      Francois Valentyn menikah dengan Cornelia Snaats, janda dari Hendrik Leijdecker, seorang vrij burgher yang menjadi kapten/pemimpin kaum burger Ambon (1679 – 1691) dan anggota Raad van Justitie Ambon. selain itu Cornelia Snaats adalah saudara perempuan dari Anthonij Snaats, Opperhofd van Haruku (1692 – 1694)

n. James L. Watson (ed)., Asian and African System of Slavery, California : Basil Blackwell, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar