Sabtu, 30 Desember 2023

Gereja dan Kekristenan di Saparua (Kepulauan Ambon)

 

[R. Bosert]


A.    Kata Pengantar

Setelah bertugas melakukan pelayanan penginjilan di pulau Saparua selama 19 tahun, Guru-Penginjil (zendeling-leraar) Rudolf Bosserta kembali ke Belanda pada tahun 1874, dan ia menulis pengalamannya selama bertugas di pulau Saparua. Pengalaman penugasannya dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan dengan judul Kerk en Christendom op Saparoea (Ambonsche Eilanden), dimuat dalam Jurnal atau “Majalah” Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap, Negentiende Jaargang (edisi tahun ke-10), tahun 1875 dan diterbitkan oleh M. Wyt en Zonen, Rotterdam, pada halaman 234 – 266. 

Gereja di Saparoea, ca. 1898

Membaca pengalaman sang guru penginjil sepanjang 33 halaman ini, membuat kita memahami kehidupan sosial dan religiusitas masyarakat pulau saparua pada paruh kedua abad ke-19. Ternyata ada sisa-sisa kebiasan atau tradisi keagamaan Kristen Katolik yang masih tetap “dipegang” dan dipraktekkan oleh masyarakat atau jemaat Protestan di pulau Saparua. Kebiasaan memperlakukan prosesi Perjamuan Kudus atau Perjamuan Tuhan secara sakral, Perjamuan Kudus yang dilakukan sebanyak 4 kali dalam 1 tahun, tangisan dari para katekis atau siswa katekisasi saat dinyatakan tidak lulus dalam ujian atau pemeriksaan untuk menjadi calon anggota gereja (anggota sidi baru). Selain itu, ada beberapa praktek keagamaan dan sosial/budaya yang masih terlihat hingga kini, seperti pemberian jemaat kepada gereja sebagai “persembahan” atau ucapan terima kasih, posisi kursi untuk Raja di dalam gedung gereja (yang pada masa itu disebut hampir setinggi mimbar), kunjungan ke rumah-rumah jemaat, “pelet” yang dibawa ke gereja, hal-hal yang terjadi pada kematian dan pemakaman, serta lain-lain.

Kami menerjemahkan tulisan ini dan menambahkan beberapa foto/gambar, tabel dan sedikit catatan tambahan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dalam pemahaman kita tentang masa lalu leluhur kita, terkhususnya pada praktek-praktek kehidupan agama, sosial/budaya, yang masih terlihat hingga hari ini.

 

B.    Terjemahan         

[.........................................................]b


Saya ditugaskan di Tanawangko, dan bekerja di sana sampai tahun 1854, ketika saya kemudian dimutasikan ke Kepulauan Ambon, dan segera setelah itu mendapatan tugas baru di Pulau Saparuac. Tak ada apapun yang harus dibicarakan lagi tentang Tanawangko. Saya hanya ingin berbicara tentang Saparua di sinid. Ketika saya hendak pergi ke sana (ke Kepulauan Ambon), saya disarankan untuk tidak melakukannya. “Mintalah Lembaga Penginjilan untuk tetap tinggal dan bertugas di Minahasa. Apa yang akan anda lakukan terhadap orang-orang Kristen pesisir itu?”, begitu kata mereka. Umat Kristen pesisir, berbeda dengan umat Kristen/Jemaat yang didirikan oleh para misionaris kami, khususnya di atas Minahasa, kata itu hampir merupakan istilah pelecehan, yang berarti sama seperti umat Kristen yang “jahat”, umat Kristen nominal; dan memang bukan tanpa alasan. Komunitas-komunitas tersebut, khususnya di Karesidenan Ambon, tetapi juga di Menado, Kema Amoerang, dan di tempat lain, yang berasal dari tahun-tahun awal. Dibawah “penjajahan” Portugis, yang membawa serta pendeta-pendeta mereka dalam usaha penaklukan mereka, penduduk diperintahkan (seperti yang dikatakan oleh seseorang dengan sangat naif) untuk menjadi Katolik Roma, dan memang demikian adanya, dan kepercayaan itu masih berpengaruh di antara mereka. Mereka seperti itu selama kurang lebih 100 tahun, dan hal itu masih dapat dilihat dari sisa-sisa kepercayaan tersebut di antara mereka.

Kemudian orang Ambon beralih ke Belanda, dan agama Jan Kompanie, yaitu agama VOC, yaitu Protestan, dianut oleh mereka. Kalian akan melihat, ini adalah metode yang sangat berbeda dari yang dulu dan diikuti oleh para misionaris kita. Mereka dijadikan orang Kristen; sebenarnya mereka tidak menjadi seperti itu. Mereka mengambil/menggunakan nama-nama Kristen dan mengikuti bentuk-bentuk agama Kristen. Itu adalah cara yang sepenuhnya salah – dan konsekuensinya tidak dapat dihindari lagi. Bagi orang-orang “kafir” yang sudah dibaptis, kebaikan apa yang dapat diperoleh atau diharapkan dari hal itu?

Dan kemudian jemaat-jemaat itu kadang-kadang dikunjungi oleh para pendeta keliling, yang berkhotbah, membaptis anak-anak, menyelenggarakan Perjamuan Tuhan/Perjamuan Kudus, dan oleh para guru atau pengajar katekismus/katekisasi, dan menerima mereka sebagai anggota katekisasi. Tidak ada pilihan lain selain hal ini yang harus dilakukan dengan sangat tidak sempurna dan tidak memadai. Perjalanannya sulit dan jarang dilakukan. Pendeta hanya bisa menghabiskan waktu yang singkat di satu jemaat. Selain itu, tidak semuanya menguasai bahasa Melayu dengan cukup baik. Ketika kita melihat daftar pendeta di Ambon yang disusun oleh Valentijne, kita dikejutkan oleh perubahan atau pergantian terus menerus yang berkontribusi terhadap hal ini. Karena semua ini, pekerjaan ini sia-sia dan tidak diinginkan. Akibatnya, banyak orang, seperti yang ditulis Inspektur, benar-benar ingin segera kembali/pulang. 

Demikian sekilas apa yang telah dilakukan VOC pada tahun-tahun sebelumnya terhadap komunitas Kristen di kepulauan Ambon. Lembaga penginjilan berbuat lebih banyak dan jauh. Pendeta Kamf, yang bekerja di antara mereka (penduduk kepulauan Ambon) selama bertahun-tahun, dan masih dikenang oleh mereka, berasal dari Lembaga kita. Dan memang benar, apa yang kita baca di suatu tempat : Lembaga Penginjilan Belanda mempunyai misionaris/penginjil dalam jumlah besar untuk kepulauan Ambon, hingga tiba saatnya Dewan Gereja Hindia memahami bahwa Kepulauan Ambon hanya menyediakan posisi bagi para Pendeta, dan para misionaris itu dikecualikan. Pada saat itu, Lembaga Penginjilan hanya bekerja melalui sekolah pelatihan untuk guru-guru pribumi. Namun, setelah beberapa tahun, menjadi jelas bahwa tidak cukup banyak pendeta yang menawarkan diri untuk mengabdi di Hindia, dan kemudian muncul situasi baru. Berdasarkan kesepakatan dengan Pemerintah, Lembaga Penginjilan Belanda berjanji untuk menyediakan 6 misionaris untuk melayani komunitas Kristen pribumi di kepulauan Ambon selama jangka waktu 10 tahun. Saya adalah orang pertama dari keenam orang ini, dan Saparua menjadi tempat kerja saya, atas arahan Lembaga dan dengan persetujuan Pemerintah.

Wilayah kerja saya di pulau itu (pulau Saparua), pulau Nusalaut, dan pantai selatan Pulau Seram, terlalu luas untuk ditangani oleh 1 orang, dan kemudian terbatas pada pulau Saparua dengan 13 desa/negeri-nyag. Di pulau Saparua saya memberitakan injil, pertama dengan status sebagai guru penginjil dan kemudian berstatus pendeta bantu (Hulpprediker) selama 19 tahunh, dan saya akan tetap berada di sana, jika sakit parah yang disebabkan oleh pengaruh iklim tropis yang berkepanjangan, membuat terlintas di benak saya untuk meminta izin kembali ke Eropa. Tidak ada pekerjaan penginjilan di Saparua, tidak ada pekerjaan di kalangan para penyembah berhala, dan memang tidak ada.

Di sana terdapat jemaat-jemaat Kristen, yang terorganisir dengan baik, dengan penatua dan diaken, di bawah Dewan Gereja Protestan di Hindia Belanda; dengan gereja-gereja, dengan sedikit pengecualian, ada di setiap komunitas, dan banyak di antaranya yang didekorasi dengan sangat baik dan rapi. Saya dapat mengatakan bahwa saya telah melakukan sesuatu untuk memperbaiki gereja. Ada misalnya, tidak ada satu pun gereja dengan jendela kaca. Jika seseorang tidak ingin duduk dalam kegelapan, maka jendela harus dibuka, dan hal ini sangat tidak menyenangkan dalam cuaca badai, hujan, dan angin. Saya membawa ribuan panel kaca dari Eropa untuk gereja-gereja di pulau Saparua. Saya memulainya dari jemaat Saparua sendiri, dan rasa cemburu dari jemaat lain menyemangati saya; jemaat-jemaat lain juga menginginkan hal tersebut. Saya juga menerima perlengkapan lain untuk itu : mahkota lampu, tirai, jam. Dahulu, jemaat-jemaat berkumpul melalui genderang yang ditabuh, seperti yang dilakukan umat Islam.

Selain umat Kristen yang terdapat di 13 desa/negeri, ada pulau umat Islam, yang berada di 3 desa/negeri terpisahi, dan memiliki toleransi yang sangat baik terhadap umat Kristen. Kami tidak diperbolehkan bekerja di antara mereka, namun kami sangat akrab dengan mereka, dan saya bahkan bersahabat baik dengan para Regent beragama Islam tersebut. Ada juga beberapa orang Arab dan Cina, yang sebagian besar adalah pedagang, dan itulah penduduk di pulau Saparua. Di pulau Haruku, yang juga saya kunjungi beberapa kali setelah kematian penginjil Van Ekrisj, tidak mempunyai guru sendiri, hubungannya agak berbeda. Jumlah umat Kristen dan Islam di pulau itu kira-kira sama/berimbangk. Di pulau Nusalaut, semuanya beragama Kristen. Umat Kristen di semua pulau ini terbagi menjadi orang Burgher dan orang negeri atau penduduk desa. Desa-desa di pulau-pulau ini diperintah oleh seorang Regent, dengan gelar Raja, Patti, Orangkaija, atau Gezaghebber. Kelompok penduduk Burger dipimpin oleh komandan dan atau Wijkmeesterl. Pemerintah Eropa saat ini dipimpin oleh seorang Kontroleurm, dibawah pimpinan Resident Ambon. 

Gereja di Nalahia, ca. 1905

Sekolah dapat ditemukan hampir di mana-mana. Tidak banyak hal istimewa yang dapat dikatakan mengenai pekerajaan pelayanan saya. Saya sudah mengatakannya, hal ini tidak terjadi di kalangan orang-orang “kafir”, dimana seseorang dapat berbicara tentang penderitaan terhadap sedikit atau banyak orang; dimana misionaris mempunyai sekolah-sekolah yang berada di bawah pengawasannya dan dapat menceritakan kisah-kisah tentang sekolah-sekolah tersebut, dan seterusnya. Ini hanyalah pekerjaan pelayanan, dalam komunitas Kristen yang sudah mapan. Namun masih berbeda dengan di Belanda, karena keadaan yang sudah berubah. Pada hari Minggu, saya selalu berkhotbah, dengan beberapa pengecualian, di kota/desa utama yaitu desa/negeri Saparua; para guru yang berkhotbah di gereja-gereja di jemaat-jemaat lain/luar. Saya tidak ingin bepergian pada hari Minggu. Tidak ada kereta api, kapal uap, atau kereta pos, bahkan tongkang, atau kuda. Satu-satunya alat transportasi adalah kursi tandu. Setidaknya dibutuhkan 8 orang untuk memikulnya. Sang penatua, yang selalu menemaniku, bepergian seperti ini. Dan kemudian 4 atau 6 orang lagi diminta untuk membawa perbekalan yang diperlukan. Saya kemudian harus memaksa setidaknya 20 orang untuk bekerja pada hari minggu. Orang-orang itu datang dari tempat peristirahatannya untuk menjemput kami, dan oleh karena itu mereka merasa lelah ketika kembali ke sana bersama kami. Mereka kemudian beristirahat dan tidak datang ke gereja. Mereka harus membawa kita kembali pada malam hari. Itu sebabnya saya biasanya memilih hari rabu untuk kunjungan saya; dan saya dapat melakukannya dengan baik, karena saya selalu berdoa di gereja yang penuh umatnya. Ketika pandita datang/berkunjung, hampir semua pekerjaan terhenti; kecuali Regent merasa berkeberatan. Setelah tiba di suatu desa/negeri, biasanya jam 08.00 pagi, kami diterima oleh Regent dan Guru, biasanya di rumah Regent desa itu. Usai sapaan biasa, kami diberi laporan jika terjadi sesuatu yang istimewa di masyarakat. 

Kemudian muncullah daftar anak-anak yang dibaptis, daftar anggota katekisasi, dan daftar pernikahan yang akan dilangsungkan. Sementara itu, untuk pertama kalinya terdengar suara, agar jemaat bisa berkumpul secara bertahap di rumah ibadah. Seringkali terdapat anak-anak haram di antara anak-anak yang dibaptis. Sebuah kata khidmat pertama kali diucapkan kepada orang tua dari anak-anak tersebut. Saya menerima banyak janji, namun seringkali tetap seperti itu. Untuk sementara waktu saya menolak untuk membaptis anak-anak dari orang tua yang bisa namun tidak mau menikah, namun saya tidak dapat terus mempertahankan hal demikian. Ada yang pergi ke Ambon dan membaptis anak-anak mereka di sana. Dewan Gereja di Saparua mulai memprotes, dan kalau pengaduan sampai ke Dewan Gereja di Batavia, saya mungkin terbukti salah. Lagi pula, di mana pun, di sini maupun di Hindia. Jadi lebih baik mengakuinya pada waktunya (apalagi karena tidak membaptis anak haram toh tidak terlalu berpengaruh) daripada terpaksa melakukannya di kemudian hari. Tetapi saya tetap berpegang pada hal ini, bahwa anak-anak yang sah harus dibaptis terlebih dahulu, baru kemudian anak-anak yang lain. Saya pernah berkhotbah di gereja pada pagi hari, sore hari digunakan untuk ujian katekisasi. Namun, jika hari itu adalah Perjamuan Kudus, saya akan mempersiapkannya di pagi hari dan melayani Perjamuan Kudus di sore hari, dan kadang-kadang di malam hari.

Fragmen Registrasi Baptisan di jemaat Saparua, 1868

Khotbah saya sederhana, dalam bahasa Melayu rendah, yang awalnya dikritik karena orang mengira bahasa Melayu tinggi lebih baik, tetapi saya harus berkhotbah dalam bahasa yang bisa dimengerti semua orang, sehingga tetap seperti itu. Saya jarang berkhotbah menggunakan materi dari Perjanjian Lama. Sering dari Perjanjian Baru, terutama dari Injil khususnya tentang perumpamaan, tetapi juga dari surat-surat Paulus, dan juga dari surat Jacobus. Lebih jauh tentang itu, nanti akan dilihat. Namun, saya lebih suka menggunakannya. Saya melihat lebih banyak hasil dari itu. Apa yang mereka dengar di sana lebih dipahami dan diingat dengan baik. Misalnya, ketika hari selasa diadakan katekisasi, saya menanyakan apa yang mereka dengar di gereja pada hari minggu, dan saya hanya mendapat jawaban sedikit dan tidak cukup, namun banyak orang yang tahu benar apa yang dibicarakan dalam katekisasi pada hari selasa sebelumnya.

Namun, memeriksa anggota katekisasi sudah merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan. Pertama, diputuskan bahwa saya tidak akan memeriksa atau menguji siapapun yang belum menerima katekisasi setidaknya selama 2 tahun dan kecuali orang lanjut usia, yang dapat membaca dengan baik. Namun kemudian Regent datang : “Jika Tuanku berkenaan, putri atau keponakanku, dia belum 2 tahun menerima pengajaran (katekisasi)”. Para guru, yang sangat tertarik agar saya memeriksa anggota katekisasi karena alasan materi, hadiah, dan lain-lain, semakin mengganggu saya. Kadang-kadang guru memperburuk keadaan. Dia “memanipulasi” daftar katekisasi, yang darinya saya hanya bisa melihat siapa yang telah belajar selama periode yang ditentukan, dan memberikan saya 1 daftar lagi, yang dipalsukan. Saya segera menyadarinya. “Hei guru, ini bukan daftar yang terakhir kali saya lihat” – “Tidak Tuan, tapi daftar itu robek (atau kotor, atau tinta jatuh di atasnya). Saya tidak berani memberikan daftar itu ke Tuan. Itu sebabnya saya membuat daftar yang baru” – “Baik, tapi yang lama masih ada?” – “Tidak Tuan, saya telah merobeknya” – “Sekarang, guru, saya mengerti, tetapi jika daftar lama itu tidak ada, maka pemeriksaan anggota tidak bisa dilakukan”. Kadang-kadang daftar itu masih ada, tetapi jika tidak ada, ya, saya akan tetap melakukan pemeriksaan anggota katekisasi, tetapi : “Guru, berhati-hatilah! Pastikan daftar yang saya verifikasi ada di lain kali, dan lain-lain”. Jadi, peraturan dan ketertiban berangsung-angsur muncul, karena di tempat itu tidak teratur ketika saya tiba di sana. Tidak mungkin terjadi sebaliknya. Setidaknya sudah 2 tahun tidak ada pendeta. Ini adalah periode yang menyedihkan untuk Ambon, ketika semua orang terserang demam, dan para guru juga tidak luput dari penyakit ini. Kebetulan pada awalnya, saya kadang harus membaptis 100 anak-anak dalam 1 hari.

Anggota Sidi Gereja di Saparua

Tapi, ujian anggota katekisasi dimulai. Kami, [yaitu] Regent, Guru, Penatua, dan saya, datang ke gereja. Para siswa/anggota katekisasi sambil berdiri, semuanya berpakaian hitam, dilengkapi dengan Perjanjian Baru, Mazmur, dan buku soal. Salam umum dimulai, “Tabee, Tuan-tuan, salamat datang”. Saya berjalan di sepanjang barisan, menyuruh mereka duduk dan menyimpan buku-buku itu, karena tidak lagi diperlukan. Setelah berdoa singkat, atau menyanyikan 1 bait mazmur, pertanyaan-pertanyaan dimulai, dimana saya selalu berhati-hati agar yang satu tidak membantu yang lain dalam membisikkan jawabannya, karena mereka pintar dalam hal-hal demikian. Ujian ini mencakup sejarah paling penting dari Perjanjian Lama, dan lebih khusus lagi Perjanjian Baru, khususnya tentang segala hal yang berhubungan dengan Yesus, ajaran-Nya, penderitaan-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, dan kebenaran Kekristenan. Jumlah siswa/anggota katekisasi sangat bervariasi, dari 20 orang sampai 100 orang kadang lebih dari itu. Kalau sedikit, maka saya bisa mengingatnya, siapa yang memberikan jawaban dengan cukup dan siapa yang tidak; tetapi kalau banyak, penatua punya daftarnya dan mencatatnya dengan pensil. Setelah ujian selesai (yang memakan waktu 2-4 jam), barulah dipilih siapa yang cukup berpengetahuan untuk diputuskan/ditetapkan; dan kemudian Regent dan Guru terlebih dahulu akan diperiksa atau ditanyakan berdasarkan hati nuraninya untuk melihat apakah ada yang bisa dikatakan tentang perilaku mereka. Jika jawaban ini menguntungkan, dan biasanya memang demikian, maka mereka diberitahu bahwa jika kami kembali, dan mereka telah belajar dengan tekun selama itu, dan jika perilaku mereka juga dilaporkan dengan baik, maka mereka akan diterima sebagai anggota gereja.

Setelah menyanyikan bait mazmur yang lain, kami meninggalkan gereja. Kemudian, tangisan dan ratapan pun terdengar dari mereka-mereka yang masih terus belajar. Tidak hanya mereka sendiri, ibu-ibu dan adik-adik yang hadir dalam pemeriksaan turut menyayangkan. Para laki-laki tidak bisa berbuat banyak/membantu dalam hal ini. Pada awalnya saya kadang-kadang kembali ke gereja untuk menenangkan situasi itu. “sekarang diamlah, belajarlah dengan rajin; kami akan kembali dalam 3 bulan; mungkin itu menjadi giliranmu”; tetapi, itu tidak banyak membantu. Beberapa dari mereka datang kepada saya di Saparua dan bertanya apakah mereka dapat belajar dari saya. Saya tidak pernah menolak hal itu. Mereka bisa melakukan hal itu, jika memang demikian tidak terlalu sulit bagi mereka untuk berjalan bolak balik . Pelajaran katekisasi saya terbuka untuk semua orang. Gereja di Saparua cukup luas. Sejumlah besar katekis dibagi menjadi 3 kelas di sana. Saya terutama prihatin dengan kelas tinggi/atas, kelas yang lain mempedulikan hal itu. Mereka kemudian datang ke bangku depan, ketika para penatua sedang bekerja. Namun ada juga yang menjadi marah karena tidak diterima sekarang. Mereka kemudian tidak datang lagi sementara waktu, sehingga merugikan sendiri, dan kemudian harus memulai lagi seperti sebelumnya. 

Puing-puing gereja di Noloth, ca 1845

Ada ketidaknyaman lain yang terkait dengan pekerjaan ini. Saya punya, misalnya di 1 jemaat ada 30 orang yang dipilih, di jemaat lain ada 20 orang, dan di jemaat ketiga bahkan lebih sedikit lagi. Lalu kebetulan Regent atau Guru mendatangi saya dan menjelaskan masalahnya kepada saya. Hal ini membuat sang guru itu merasa malu; atau, bukankah pengajarannya sebaik ini dan itu? Terkadang ada masalah dengan hal itu, tapi tentu saja saya tidak memberi tahu mereka akan hal itu. “Ya !”, katanya di lain waktu, tapi Tuan menuntut terlalu banyak dari para siswa, mereka bukan orang Eropa. Para pendeta melakukannya secara berbeda, mereka semua menerimanya”. Saya tidak percaya itu. Tapi cukup. Kalian akan memahami bahwa pemeriksaan anggota katekisasi baru bukanlah tugas yang menyenangkan. Namun, di [negeri/jemaat] Saparua semuanya berbeda. Di sana, saya pribadi memilih siswa-siswa yang saya anggap cocok untuk menjadi calon anggota gereja; kemudian dilakukan ujian di hadapan seluruh  dewan gereja (konsistori), dan kemudian jarang ada yang ditolak, kecuali ada kritik atas perilakunya dan saya tidak mengetahuinya. Di Saparua, masyarakat sudah terbiasa melakukan kunjungan rumah. Kepala sekolah memberitahuku hal itu. Dia menganggap dirinya sebagai pemimpin/ketua dewan gereja, meskipun dia bukan seorang penatua melainkan seorang guru. Saya harus mengatakan kepadanya bahwa berdasarkan jabatan saya, saya menjadi ketua dewan gereja sesuai dengan peraturan gereja protestan di Hindia Belanda. Dia tidak terlalu menyukai hal itu, tetapi surat-surat dan laporan-laporan itu tetap diserahkan/dikirimkan kepada saya. Saya bertanya apakah mereka pernah mengadakan pertemuan. Ya, sesekali. Apakah ada sekretaris? Tidak, Apakah notulen rapat disimpan? Tidak juga. Singkatnya, hal-hal itu juga harus dibenahi. Rapat harus selalu diadakan, pandita menjadi pemimpin/ketua; salah satu diaken termuda menjadi sekretaris.

Catatan akan disimpan tentang apa yang dibahas dalam pertemuan tersebut, dan pertemuan ini akan diadakan setidaknya 4 kali dalam setahun. Tapi saya masih bersama kepala sekolah itu. Dia datang ke pertemuan-pertemuan itu dan tidak seharusnya berada di sana, dan dia sudah tua. Namun ketika posisi sebagai penatua kosong karena meninggal, saya pastikan dia diangkat untuk menggantikannya. Kunjungan rumah akan dilakukan sebelum Perjamuan Kudus, yang akan dirayakan 4 kali setahun. Hal ini diumumkan pada minggu pagi. Ini akan dimulai di wijk A, dan kemudian di seluruh 6 wijk di Saparuan. Pemberitahuan terlebih dahulu ini diperlukan karena masyarakat hampir setiap hari pergi ke ladang/kebun yang terkadang terpencil, dan hanya bisa tinggal di rumah jika mereka mengetahui ada kunjungan ke rumah. Yang terbaik juga melakukan hal yang sama, dan mereka menungguku dengan berpakaian rapi, dan selalu menggunakan busana gereja. Namun seringkali, sangat sering, kita menemukan pintu yang tertutup, atau seorang anak berusia 3 atau 4 tahun sendirian di rumah. “Hai, Nak, apakah tidak ada orang di rumah ini?” – “Tidak” – “Di mana mereka?” – “Di kebun” – “Kapan mereka pulang?” – “Malam ini”, atau “tidak tahu”. Dan, perlu diingat, mereka ini biasanya adalah orang-orang yang paling membutuhkan kunjungan rumah, yang tidak menghadiri gereja atau Perjamuan Kudus, yang hidup tidak teratur, dan lain-lain. Lambat laun saya menjadi yakin bahwa ke rumah-rumah ini, setidaknya ada, tidak efektif, saya menemukan beberapa kasus dengan cara berbeda yang tidak dapat ditemukan selama kunjungan rutin ke rumah-rumah. Tapi sekarang orang-orang lebih baik yang menunggumu. Mereka sebagian besar perempuan, jarang ada laki-laki, begitu pula semua anggota dalam rumah. Biasanya ibu rumah tangga sendirian.

Tidak ada buku keanggotaan gereja di Saparua. Saya pikir saya bisa menyusunnya jika, pada saat kunjungan ke rumah, saya menuliskan nama-nama anggotanya. Jadi hal ini dimulai dengan : “berapa banyak orang Kristen di rumah ini? berapa banyak anggota gereja? Berapa jumlah anak kalian? Apakah mereka pergi ke sekolah? Apa sudah memasuki katekisasi? Ayo, panggil mereka ke sini, kami juga ingin berbicara dengan mereka”. Jadi saya secara bertahap memperoleh buku keanggotaan gereja dan para katekis (awalnya saya hanya menemukan 16 orang) segera menjadi lebih banyak. Cara saya mengajar tentu saja berbeda kemudian dengan kepala sekolah lama yang memberikan pengajaran agama sebelum saya tiba. Itu sebagian besar merupakan alat yang mirip dengan menghapal katekismus atau pemahaman singkat, dan saya mulai dengan sejarah. Mereka harus membaca dan membaca ulang satu atau dua bab di rumah dan kemudian menjelaskan isinya dengan kata-kata mereka sendiri. Lalu saya menambahkan dan menjelaskan. Saya menyukainya, mereka senang, dan tidak butuh waktu lama sebelum saya mengadakan beberapa katekismus degan 100 hingga 120 siswa. Dan jika beberapa dari mereka mengundurkan diri setiap tahun dan menjadi calon anggota gereja, kekurangan tersebut akan segera tergantikan lagi.

Saya tidak menemukan banyak pengajaran doktrinal yang dikurangi. Tidak pernah sepatah kata pun tentang keaslian Alkitab, keberadaan Tuhan dan sejenisnya. Mengapa tidak? Alkitab adalah hal suci bagi mereka, dan tak seorangpun meragukan keberadaan Tuhan. Bahawa Allah adalah Pencipta dan Pemelihara dunia, Bapa kita, yang karena kasih memberikan Putra-Nya kepada kita, dan yang ingin menyelamatkan kita melalui Dia. Kita mengetahui kehendak-Nya melalui Yesus. Inilah isu-isu utama dalam agama Kristen.

Tapi, saya masih harus menyampaikan beberapa kisah tentang kunjungan-kunjungan rumah tersebut. Setelah disebutkan di atas, misalnya : “Apakah kamu datang ke gereja?” – “oh ya, Tuan Pendeta dan Tuan Penatua” (mereka selalu penuh pujian pada kesempatan seperti itu) – “Dan anak-anakmu?” – “Ada yang berumur 10 dan ada yang berumur 9 tahun. Belum, mereka belum pergi ke gereja” – “Mengapa tidak?” – “Mereka belum mengikuti katekisasi” – “Baiklah, tapi mereka harus pergi ke gereja, percayalah, mereka akan mengerti tentang itu”. Selama bertahun-tahun saya bekerja di Saparua, saya melakukan segala yang saya bisa untuk membawa anak-anak ke gereja, dan saya jarang berhasil dalam beberapa hal. Pertama-tama, mereka harus mengenakan busana gereja berwarna hitam (dan mereka hanya mendapatkannya ketika mereka mengikuti katekisasi) dan kemudian mereka pergi ke gereja. Anak-anak hanya datang ke gereja pada hari Natal dan malam Tahun Baru, dan kadang anak-anak kecil berusia 2 tahun dan 3 tahun yang menangis dan membuat “keributan”. Itu hal ekstrim yang lain. 

Statistik Jemaat-jemaat di Pulau Haruku dan Saparua, 1870

Kita lanjutkan dengan kunjungan rumah. “Kalian tahu, 14 hari lagi akan ada Perjamuan Kudus, kami mengundang kalian untuk mengikutinya, maukah kalian datang?”. Jawabannya tentu berbeda-beda. Ada yang selalu datang, dan mereka juga mengaku menjalankan kewajiban agama dengan ketat. Sedangkan yang lainnya, menjawab : “Iya, Tuan, itu tidak mungkin sekarang, karena saya belum......., Saya sudah lama tidak ke gereja, dan sekarang saya sedang makan malam!, Itu tidak mungkin. Pertama-tama saya harus menebus kelalaian itu”. – “ Ya!, tapi kamu tidak bisa memperbaikinya. Jika kalian bisa menebus kesalahan kalian, maka kalian tidak perlu datang ke Perjamuan Kudus. Yesus tidak memanggil orang benar, melainkan orang berdosa. Aku tahu orang-orang yang datang kepada-Nya sebagai orang berdosa, Dia berkata : Pergilah dengan damai dan jangan berbuat dosa lagi”. Yang lain berkata : “ Ia Tuan, saya ingin datang, tetapi hati saya tidak mengizinkan saya melakukannya, juga tidak mengizinkan saya.............”. Akhirnya diucapkan beberapa kali : “Saya tidak bisa, karena saya belum menikah”. – “Tapi kenapa kamu tidak bisa?”. Kemudian kita mendengar segala macam alasan. Suatu ketika saya menerima jawaban yang harus saya sampaikan kepada kalian. Seorang wanita burger tinggal bersama dengan seorang laki-laki penduduk negeri dan memiliki seorang putra darinya. Ketika saya bertanya mengapa dia tidak menikah, dia berkata : “Apakah Tuan bermaksud agar saya membuat anak saya tidak bahagia? Saya perempuan burger (bahasa Melayu untuk warga kota yang berarti bebas), dan laki-laki saya hanya seorang penduduk negeri. Sekarang anak saya sudah menjadi warga burger, tetapi kalau saya menikah, dia akan menjadi laki-laki penduduk negeri. Apakah menurut Tuan, saya ini anak dari seorang Raja atau Pattij? Terima kasih, Tuan”. Dan apa yang saya katakan selanjutnya, tidak banyak membantu. Dia tinggal bersama laki-laki itu sampai kematiannya, tanpa menikah. Dulu perbedaan antara warga burger dan penduduk negeri cukup besar. Pria penduduk negeri itu sebenarnya adalah seorang budak. Negeri, tempat ia dilahirkan, tetap menjadi tempat tinggalnya, ia tidak diperbolehkan meninggalkannya. Dia harus melakukan banyak melakukan wajib kerja dan tidak dibayar dan seringkali ditindas dengan kejam oleh para pemimpin negeri. Saya telah melihat contoh-contoh yang lebih buruk tentang ini. Namun hal itu sekarang sudah menjadi masa lalu. Orang negeri kini hampir sebebas warga burger. Dia bisa hidup di mana pun dia mau. Monopoli cengkeh juga telah dihapuskan; jadi dia ahli dalam pekerjaannya. Wajib Kerja, kecuali beberapa pekerjaan negeri, sudah tidak ada lagi kecuali dengan bayaran besar, atau lebih tepatnya bukan lagi wajib kerja, karena yang tidak mau tidak perlu lagi mendayung atau membawa sesuatu. Namun terlepas dari semua ini, orang negeri, di mata kaum burger tetaplah orang yang lebih rendah.

Sekarang kalian bertanya, apakah anda sudah menggarap “buah-buahan” di Saparua? Pernahkah anda melihat kemajuan? Oh ya ! Tentu ! Lagipula, tanpa buah, injil tidak akan pernah diberitakan di manapun. Dan ada kemajuan yang nyata, hal ini antara lain terlihat dari meningkatkanya minat mendengarkan firman Tuhan. Saya selalu menemukan gereja yang penuh, semakin banyak. Meski banyak yang masih hidup di luar nikah, namun jumlah pernikahan mengalami peningkatan. Katekisasi yang saya lakukan, seperti sudah saya sampaikan, semakin banyak dihadiri juga oleh anak-anak muda dari negeri lainnya. Itu sebabnya, jumlah keanggotaan di jemaat telah meningkat pesat. Saya adalah orang pertama yang mengakui bahwa masih banyak sekali kesalahan yang ada di gereja-gereja tersebut. Namun apakah keadaan di banyak kota di negara kita terlihat jauh lebih baik? Segalanya tidak berjalan baik bagi saya setelah lama absen. Jangan lupa bagaimana orang-orang Kristen di Ambon itu dijadikan Kristen, dan betapa sedikitnya tindakan yang dilakukan untuk mereka. Tidak aneh jika ditemukan jejak-jejak di antara mereka yang berasal dari 100 tahun lalu telah beragama Katolik Roma. Lihat, kita masih menemukan di antara mereka manfaat dari perbuatan baik, memberikan sedekah, memberikan sumbangan kepada gereja setelah sembuh dari penyakit atau dipromosikan dalam suatu pekerjaan : pemberian yang dijanjikan sebelumnya. Seorang laki-laki, penduduk pribumi, dan salah satu orang penting, menghadiahkan sebuah stoples yang indah kepada gereja di Saparua, dan mengatakan kepada saya sendiri bahwa istrinya sedang sakit, dan kemudian berjanji untuk memberikan sesuatu kepada gereja, jika Tuhan menyembuhkan istrinya dan wanita itu pulih. Bukti mengenai hal-hal seperti ini ditemukan di banyak gereja. Kadang-kadang terjadi bahwa seseorang, pada suatu minggu pagi, di semua gereja di Pulau Saparua, bersedekah guna memperoleh sesuatu yang diinginkan. Namun, saya pernah mempunyai kasus aneh yang harus saya sampaikan di sini. Suatu hari minggu, sepulang gereja, beberapa diaken mendatangi saya dengan membawa 2 bungkusan kecil, berisi 1 sen dan sedikit pasir, dibungkus kertas. – “Hei, apa maksudnya?” – “ Ya Tuan, kami menemukan bungkusan-bungkusan itu di gereja, tapi kami tidak tahu artinya. Kami akan menyelidikinya. Orang-orang pasti tahu”. Beberapa hari kemudian mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan hal ini ingin mengutuk orang lain, dan ingin mendoakan kutukannya itu kepada orang itu dari Tuhan. Minggu berikutnya saya membawa 2 bungkusan itu ke mimbar, dan setelah kebaktian, menceritakan bagaiman kami mendapatkannya dan menunjukkannya kepada jemaat. Saya tidak tahu, kataku, siapa yang melemparkannya ke dalam gereja; kami telah mengeluarkan uangnya; tapi kami tidak bisa menggunakan pasir itu untuk orang miskin. Saya melemparkan ini ke atas mimbar, dan memohon kalian untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi. Kalian mungkin menganggap perilaku ini aneh, tetapi seseorang harus bertindak sesuai keadaan.

Saya juga pernah menendang matakau yang saya temukan di jalan, meski terkadang saya mendengar : “Tuan, jangan lakukan itu”. Saya kemudian menjawab : “Mereka harus melihat bahwa kita tidak percaya pada kutukan-kutukan itu”. Tapi, tahukah anda apa itu matakau? Itu adalah rumah kecil, didirikan di sana-sini di luar desa/negeri, biasanya dekat jalan raya. Di rumah itu tergantung gambar sesuatu yang dicuri, dan orang yang membangun rumah itu (matakau itu) mengutuk pencuri itu, sehingga ia menjadi penderita kusta, atau mati di laut, atau rumahnya terbakar, atau semacam itu, kalau pencuri itu tidak mengembalikan barang curiannya. Saya bisa menceritakan lebih banyak contoh mengenai hal ini, tapi itu akan menghabiskan waktu. Tanda-tanda lahiriah dari kekristenan, pembaptisan dan Perjamuan Kudus, sangat dihargai di kalangan umat Kristen Ambon, bahkan dinilai terlalu tinggi/berlebihan.

Sangat disayangkan jika seorang anak tidak dibaptis dan meninggal. Pada awalnya saya terkadang menerima permintaan untuk datang dan membaptis anak-anak yang sakit kritis di rumah, dan saya akui, hanya sekali saya melakukannya. Namun setelah dipikir lebih jauh, saya berpikir bahwa hal itu bertentangan dengan pemahaman protestan, khususnya reformed, tentang baptisan, dan saya tidak melakukannya lagi. Bahkan setelah Perjamuan Kudus, kita masih dapat menemukan banyak peninggalan Katolik Roma di sana. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Perjamuan Kudus dilakukan tidak hanya dengan penuh hormat, tetapi juga dengan sangat rahasia. Malam sebelum Perjamuan Kudus, lampu-lampu di dalam gereja dinyalakan, dan demikian juga pada malam setelah Perjamuan Kudus. Roti dan anggur, biasanya disiapkan terlebih dahulu di rumah Guru, dibawa ke gereja melalui prosesi, terkadang terlindung dari sinar matahari dengan menggunakan payung kewibawaan Raja. Saat memasuki gereja, pintu gereja sedikit terbuka; kita harus melewatinya. Siapa pun yang belum menjadi anggota gereja tidak boleh hadir pada Perjamuan Kudus. Mereka yang datang untuk makan Perjamuan mengenakan pakaian khusus, dengan beberapa celana pendek hitam, tetapi tanpa stoking atau sepatu, dan topi bersudut tiga. Mereka berjalan perlahan-lahan, satu demi satu, agar mereka tidak tersandung, karena hal itu adalah nasib buruk, dan jika mereka tersandung, mereka lebih memilih untuk kembali. Ada cetakan kecil doa untuk Perjamuan Kudus. Saya tidak tahu bagaimana mereka mendapatkannya. Di dalamnya kita menemukan : doa di pagi hari ketika bangun tidur, ketika berpakaian, ketika seorang ke luar rumah, masuk ke gereja, duduk di meja, menerima roti, mengambil cangkir, ketika seseorang berdiri dan kembali ke tempat duduknya. Laki-laki dan wanita tidak suka duduk di meja yang sama. Saya tidak perlu memberitahu anda bahwa saya tidak menyetujui semua formalitas ini dan sering menentangnya, dan di mana sudah ada, terutama di pusat kota, tetapi juga di luar desa/kota utama, banyak yang berubah; namun masyarakat begitu “diperbudak” oleh kebiasaan, hal-hal ini menghilang dengan sangat lambat. Saya memberi tahu para anggota katekisasi saya sebelum makan Perjamuan Kudus bahwa mereka juga boleh datang ke gereja, tetapi biasanya orang tua tidak menginginkan hal ini dan mereka tetap tidak datang. 

Foto pengantin Ambon, 1902 [koleksi P. Nayoan]

Mereka juga memiliki beberapa hal dari kaum Muslim. Di beberapa desa/negeri, umat Kristen disunat oleh pendeta Muslim dan merayakan hari Jumaat dan Minggu. Seseorang pernah berkata kepada saya : “Yesus juga disunat dan dibaptis”. Dan masih banyak takhayul lainnya. Matakau, Pontianak, Swanggi, ini adalah setan-setan penyebab penyakit dan dikirim menyeberangi lautan ke tempat lain dengan sebuah perahu kecil berisi buah-buahan : di mana saya harus mengakhirinya?. Tapi tetap saja, menurut saya semua ini bukanlah yang terburuk; bukan hal yang secara khusus menghalangi kerajaan Allah untuk masuk ke dalam hati dan membuatnya berbuah bagi kehidupan. Dengan banyaknya takhayul, iman yang sejati masih bisa ada. Tetapi kecanduan pada kebiasaan, kurangnya kebenaran dan ketulusan, kesombongan dan penipuan diri sendiri, berpikir bahwa sesorang adalah seorang Kristen namun tidak menunjukkannya, lihatlah, di situlah titik dimana segala sesuatu berakhir; itulah yang membuat dakwahnya tidak membuahkan hasil.

Apapun yang bukan kebiasaan, itu tidak baik (Tra biasa). Anak-anak tidak datang ke gereja karena bukan kebiasaan (biasa). Seorang wanita hamil tidak datang pada Perjamuan Kudus, karena hal itu tidak lazim. Ada juga takhayul di kalangan anak-anak ia akan mengalami “keguguran”. Jika seseorang berada dalam masyarakat negeri lainnya, ia biasanya tidak pergi ke gereja. Jika ada yang meninggal, keluarganya tidak datang pada bulan pertama, dan anak-anak tidak datang ke sekolah atau mengikuti katekisasi. Namun pada hari minggu keempat seluruh keluarga, para pelayat maju ke depan, semuanya berkabung mendalam di gereja, untuk menunjukkan warna hitam (berduka). Biasanya mendengar hal ini pada hari Sabtu dengan permintaan untuk mengingatnya dalam doa. Seperti yang saya katakan sebelumnya, orang selalu datang ke gereja dengan pakaian hitam, bahkan pada hari libur. Itu juga merupakan kebiasaan. Saya inginnya berbeda, karena tidak mengutamakan kebersihan, jarang dicuci, dan juga kurang pantas, apalagi pada hari libur. Putih adalah warna untuk suatu daratan yang hangat, juga untuk Hindia Belanda. Saya pernah mengatakan bahwa malaikat muncul dengan jubah putih. Aku menentang pakaian hitam itu, tapi tidak banyak membantu. Pasti ada yang berkata beberapa kali : “selama orang Kristen Ambon memakai pakaian hitam, mereka pasti bukan orang Kristen yang baik”. Saya percaya pada peribahasa itu, tapi memang benar bahwa kebiasaan mengalahkan segalanya. Sejujurnya, ketulusan, saya menemukannya sedikit dan jarang. Orang berbohong demi keuntungan, karena takut akan hukuman, karena alasan lain, tetapi juga karena kebiasaan, terkadang tanpa alasan sama sekali, dan tanpa menganggap bahwa kejahatan adalah kejahatan yang besar. Kata Trada (tidak) akan keluar sebelum mereka menyadarinya. Dalam katekisasi, misalnya : “Anda tidak diperbolehkan melihat buku Anda” – “Tidak “ (saya tidak akan melakukannya) – “Saya mengerti” – “Tidak” . Bahkan dengan orang-orang yang tidak diharapkan ini, saya menemukan bahwa itu tidak benar, tidak jujur. Dan seseorang bahkan tidak malu untuk membuat sumpah palsu. Seorang Asisten Resident berkata beberapa kali, bahwa dia enggan mengambil sumpah, karena dalam kasus hukum menjadi jelas baginya bahwa saksi disuap untuk bersumpah palsu.

Penduduk Saparua, ca. 1898

Namun, yang tidak boleh dilupakan di sini adalah, bahwa mereka hanya mempunyai sedikit pemahaman tentang kekristenan yang sebenarnya, tentang apa yang seharusnya menjadi ciri orang Kristen. Menurut mereka, siapakah orang Kristen yang baik? Dengarkan sendiri. “Saya seorang Kristen yang baik, karena saya telah dibaptis, telah belajar, telah menjadi anggota gereja, dan setia menghadiri gereja dan mengikuti Perjamuan Kudus. Oleh karena itu, saya setia menunaikan tugas keagamaan saya”. Dengan demikian, seseorang mengacaukan cara dan tujuan. Bahwa semua itu adalah sarana untuk belajar hidup sebagai seorang Kristiani, bahwa diperlukan sesuatu yang lain selain penampilan luar ini, bahwa kekristenan yang praktis adalah kebenaran, dan tanpa hal ini segala sesuatu yang lain adalah sia-sia, adalah sesuatu yang pada umumnya tidak dimengerti oleh umat Kristen Ambon. Saya katakan di atas bahwa sering berkhotbah dari Surat Yakobus, padahal sebenarnya orang lebih suka mendengar dari surat-surat Paulus. Tentu saja ajaran Paulus, “Karena kasih karunia, kamu diselamatkan oleh iman”, merupakan salah satu ajaran utama dalam agama Kristen. Namun ajaran tersebut seringkali disalahpahami. Dan tidak hanya oleh mereka yang mengajarkan manfaat dari perbuatan baik, tetapi juga oleh mereka yang jangan terlalu didekatkan dengan pengamalan agama Kristen, yang penting beriman. Tapi iman macam apa itu? Bukankah doktrin ini menjadikan orang acuh tak acuh dan tak bertuhan? Inilah yang ditanyakan dalam 64 pertanyaan katekisasi. Apakah mungkin dulu penulis takut akan hal itu? Jawabannya, seperti yang anda tahu, adalah Tidak, hal itu mustahil bagi mereka yang telah ditanamkan dalam Kristus oleh iman yang benar; itu harus menghasilkan buah syukur. Cabang tersebut kemudian menerima kekuatan dari pokok anggur. Namun jika buah-buah tersebut, yaitu praktik agama Kristen, hanya terlihat sedikit di kalangan umat Kristen Ambon, dan sama sekali tidak terlihat di antara banyak orang. Jika tuduhan tersebut sering kali benar : umat Islam lebih, atau sama sekali tidak terlihat.

Ketika menggunakan kata-kata Paulus, nama Tuhan diberitakan oleh mereka, melalui tingkah laku mereka, kadang-kadang difitnah, dan jika kekristenan seringkali menanggung kesalahan orang kristen yang jahat, maka Jacobus tidak terlalu berguna ketika ia berbicara tentang iman yang mati; ketika dia menjadikan Abraham sebagai teladan, siapakah yang memperlihatkan imannya melalui perbuatannya? Dan kemudian kata-kata Jacobus, “Agama yang suci dan tidak tercemar di hadapan Allah dan Bapa adalah berbuat baik kepada para janda dan anak yatim piatu, dan menjaga diri tidak ternoda dari dosa”; demikianlah kemurnian dan contoh terhadap kemanusian. Lihatlah, jika mereka memahami hal-hal ini dengan lebih baik, mereka tidak akan peduli dengan penampilan dan akan mengamatinya dengan cermat, jangan sampai ada yang terlewat. Namun Jacobus memiliki lebih banyak lagi, yang sangat berguna di sini. Kebanggan dan meninggikan diri terhadap atasan, dan memandang rendah dengan hina terhadap bawahan, adalah hal yang lumrah. Seseorang memperhatikan hal ini bahkan di gereja-gereja, misalnya di banyak tempat, kursi/bangku Regent hampir sama tinggi dengan mimbar : Regent harus memandang rendah dirinya sendiri. Jika kursi/bangkunya berseberangan dengan mimbar, maka seluruh ruang tengah gereja kosong’ laki-laki dan perempuan duduk berseberangan seolah-olah tersembunyi, karena tidak pantas mereka duduk membelakangi Regent. “Saudara-saudaraku, tidakkah kamu memiliki iman kepada Yesus Kristus dalam hal pribadi”, selanjutnya kata Jacobus.

Regent van Noloth bersama keluarga, ca. 1891

Undang-undang sekolah yang baru (setidaknya merupakan omong kosong bagi masyarakat Maluku, dan yang juga akan diubah, karena sekolah-sekolah kosong, karena tidak boleh diberikan pengajaran agama) tersebut antara lain mengatur bahwa di setiap umat Kristiani, komunitas dimana ada sekolah, sekolah lokal, panitia harus terdiri dari paling banyak 7 orang dan sekurang-kurangnya 3 orang anggota. Kontroleur van Saparuao menunda pembentukan komite sekolah; dia keberatan dengan hal itu. Kalian akan melihat alasannya. Ketika Resident mendesak, mereka ditunjuk di masing-masing negeri, yaitu Regent dengan 2 kepala soa (atau wijkmeester), karena tentu saja para guru tidak memenuhi syarat. Apa yang telah diramalkan oleh Kontroleur telah terjadi. Regent hanya mengatakan kepadanya, dengan penuh hormat, bahwa mereka mengucapkan terima kasih atas kehormatan duduk di komisi dengan orang kitjil (orang kecil), bercelana pendek dan bertelanjang kaki. Tidak, itu tidak mungkin. Dan kemudian, mengejar posisi yang lebih tinggi, ingin menjadi guru, tidak bisa mengendalikan lidah, dan masih banyak lagi. Jacobus melayani di sana dengan luar biasa, andai saja mereka mau belajar darinya. Dari semua yang telah anda lakukan selama ini, jika anda sudah mendengarnya, anda pasti memahami bahwa masih banyak kekurangan di kalangan umat Kristen Ambon. Saya tidak mengatakan pada mereka semua, tetapi secara umum, pada mayoritas. Sementara di antara mereka hanya ada sedikit butiran, banyak sekam, selalu ada, ada yang lebih baik di antara mereka. Dan itu memberikan keberanian untuk masa depan. Sekalipun itu terjadi dengan sangat lambat, injil harus tetap menunjukkan dirinya sebagai kekuatan Tuhan di sana.

Masyarakat sudah menilai orang-orang Kristen Ambon dengan cara yang sangat berbeda. Beberapa orang tidak menemukan sesuatu yang baik di dalamnya. Kami hanya mendengar bahwa orang-orang Muslim akan lebih baik. Hal itu sebenarnya tidak benar. Dalam banyak hal, orang Kristen lebih baik. Kalau najis, pastinya orang Islam itu kotor. Pada saat terjadi wabah penyakit, khususnya penyakit cacar dan kolera, umat Islam selalu menjadi pihak yang paling menderita, karena tidak mau divaksin, tidak mau minum obat, dan kemudian bahkan di kalangan umat Kristiani, hal ini juga ditemukan dengan pasrah secara pasif, yang mereka sebut Allah. Hidup itu baik, mati juga baik, sesuai dengan kuasa dan kehendak Tuhan. Jika seseorang berada di laut bersama orang-orang Islam dan badai mulai terjadi, mereka meletakan dayung dan mulai menggumamkan doa. Memang benar bahwa orang-orang Kristen di Ambon adalah orang-orang yang malas; tetapi berapa banyak tempat yang ada di Belanda jika seseorang bisa mencari nafkah dengan muda di sana? Jika seseorang hampir tidak membutuhkan pakaian apapun, jika tidak ada musim dingin, jika seseorang dapat membangun sendiri, hampir secara gratis, sebuah rumah yang mampu mengatasi musim?.

Kisah seorang bapak yang pernah bertanya kepada seorang burger Ambon : “maukah kamu memakai jas saya”?, dan fakta bahwa laki-laki itu menolak karena dia beragama Kristen dan memakai topi adalah bagian dari dongeng. Pertama-tama, ia memiliki banyak pengaruh barat : di Hindia Belanda, laki-laki tidak berjalan di sepanjang jalan sambil membawa bingkisan. Lagipula, burger Ambon yang punya topi hanya memakainya saat pergi ke gereja atau ke pesta. Dan yang terakhir, tepatnya cara mereka menghasilkan uang. Hal ini terlihat ketika kapal datang setiap bulannya. Namun pihak lain menilai mereka terlalu baik. Ada tertulis di suatu tempat (dan oleh seseorang yang pernah ke sana, tapi mungkin hanya melihat mereka di suatu pesta) bahwa mereka bersih, bahwa mereka sering mandi di pemandian indah yang mereka bangun/buat sendiri. Itu sama sekali tidak benar. Istri sayap harus menyuruh orang-orang kami (para pelayan kami) pergi dari waktu ke waktu untuk mandi, dan saya jamin bahwa saya belum menemukan tempat mandi yang layak di manapun, kecuali di beberapa desa/negeri. Ya, kontroleur van Saparua punya satu untuk keluarganya, dan pria itu pasti pernah mandi di sana, tetapi penduduk pribumi mungkin akan menjauhinya. Ada yang jarang mandi, ada pula yang kadang-kadang mandi, misalnya, pada minggu pagi, sebelum ke gereja. Namun jumlah tersebut terlalu sedikit di sebuah negara yang mengharuskan mandi setiap hari demi kebersihan. Orang-orang menunjukkan bahwa kebun cengkeh mereka dirawat dengan sangat rapi. Ya, karena mereka diwajibkan melakukan hal itu. Itu adalah layanan untuk pemerintah, komisaris untuk cengkeh melakukan inspeksi beberapa kali dalam setahun; dan siapapun yang tidak merawat pohon cengkehnya dengan baik akan didenda atau dihukum. Saya baru saja melihatnya. Tapi sekarang, lihatlah, monopoli cengkeh telah dihapuskan, dan ini merupakan sebuah keberuntungan, namun kini kebun-kebun tersebut terlihat seperti hutan belantara. Mereka tidak perlu berbuat lebih banyak mengenai hal ini. bahkan ada yang menebang pohon cengkeh. Dan yang terlihat lebih baik lagi, karena Raja tetap memegang kendali, karena dia melihat keuntungan di dalamnya.

2 wanita Ambon, ca, 1890an

Memindahkan penumpang, dengan orembai atau dengan kursi tandu. Ya mereka melakukannya dengan baik, tapi sekali lagi itu dilakukan atas perintah, dan sesuai dengan tarif pemerintah. Sekarang dibutuhkan banyak usaha dan bayaran yang lebih tinggi, jika tidak mereka akan berterima kasih karenanya. “Burger Ambon, kata Jannen; mereka bersinar seperti sampanye, kalau ada yang punya kemampuan menghadapinya, sama seperti komandannya” lanjutnya. Ya, tapi mereka mengaturnya dengan botol arak dan rotan, dan kami tidak melakukan itu. “Dan betapa indahnya mereka membuat mawar cantik, bunga, minyak ambon, dan segala hiasan dari cengkih”. Ya, anda dapat melihatnya di museum lembaga penginjilan, tetapi tidak di rumah penduduknya. Itulah yang dilakukan perempuan-perempuan di Ambon dan sebagian warga Cina. Kerajinan yang dilakukan oleh penduduk pribumi, terkadang dengan senang hati, adalah pertukangan kayu, pembuatan batu bata, pandai besi, pembuatan sepatu dan penjahit, dan hanya itu, kecuali pot dan wajan dari negeri Ouw.

Sekarang tentang perayaan-perayaan mereka, pada saat pembaptisan, pernikahan, pemakaman dan penerimaan menjadi anggota gereja. Pada saat pembaptisan seorang anak, khususnya nama depan lainnya, biasanya diadakan jamuan pembaptisan untuk keluarga dan pesta dansa pada malam hari. Kadang kami diundang ke sana, tapi biasanya kami tidak hadir karena menurut kami berdansa di pesta baptisan kurang pantas. Namun, jika kami pergi, tentu kami hanya akan pergi sebagai penonton. Bagi umat Kristiani di Ambon, pernikahan adalah setengah sipil, setengah gerejawi. Hanya bagi orang-orang Eropa dan mereka yang statusnya di samakan dengan mereka, hal ini sepenuhnya beradab, seperti yang terjadi di sini. Pengantin laki-laki pergi bersama pengantin perempuan dan orang tua keduanya, jika mereka masih hidup, dan dengan beberapa orang saksi, yang disebut compader dan commader, ke kantor Kontroleur untuk didaftarkan. Mereka menerima buktinya dan membawanya kepada saya. Kemudian pada 2 hari minggu berturut-turut, perintah pernikahan itu dibacakan di gereja, dan mereka dapat menikah di gereja bila sudah lewat 3 kali 24 jam setelah pembacaan perintah pernikahan kedua kali. Namun biasanya mereka menunggu hingga hari minggu berikutnya. Kemudian mereka menikah di gereja, dan itulah akhir dari urusan mereka. Guru mengirimkan kopian buku nikahnya setiap bulan, dan jika pasangan suami istri menghendaki, mereka dapat memperoleh akta nikah dari kontroleur dengan stempel ½ gulden. Pakaian pengantin laki-laki sama dengan pakaian kita (pakaian Eropa), tetapi pakaian pengantin wanita sama sekali berbeda. Saya merujuk anda lagi ke museum lembaga penginjilan di Roterdam. Saya tidak dapat menggambarkannya, namun saya dapat memberitahu anda bahwa saya telah melakukan bagian saya untuk menghapus pakaian itu. Mengapa? Ini bukan kebiasaan bangsa kita, tapi merupakan kebiasaan orang Portugis, terutama karena banyak orang menunda pernikahan mereka karena biaya yang harus dikeluarkan. Orang membayar 25 – 50 gulden untuk menyewa pakaian tersebut. Jika seseorang ingin berpakaian yang berbeda saat mencatat pernikahan dan di pesta pernikahan, maka biayanya akan lebih lagi. Saya pikir itu cukup untuk mengatasi hal ini, meskipun pemiliknya adalah pemilik barang-barang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mengambil kabaja dan sutra hitam saja, yang harganya sekitar ƒ 25 di Maluku, maka ia memiliki sepotong pakaian yang dapat digunakan pada Perjamuan Kudus dan seringkali pada acara-acara lain, dan yang juga terlihat jauh lebih baik. Beberapa istri Regent, misalnya, saya menikah dengan gaun itu dan dengan karangan bunga melati di rambut saya, dan saya pikir itu akan diikuti.

sepasang pengantin menuju ke gereja, 1910an

Sebagai ciri khusus dalam melangsungkan pernikahan, saya harus menyebutkan apa yang disebut upacara pemasangan “mahkota”. Namun, hal itu hanya terjadi jika calon pengantin wanita masih berusia muda. Di luar gereja, pengantin baru kemudian disambut oleh pengiring pengantin dengan musik; dan seorang wanita lanjut usia, biasanya dari keluarga atau lainnya, atau seorang kerabat/kenalan yang baik, menaruh mahkota berlian di rambut pengantin; kemudian musik dimulai dan, dengan tembakan penghormatan. Hal ini tentu saja hanya terjadi di kalangan orang-orang terpandang, dan tidak sering terjadi. Acara pernikahan berlangsung satu, dua, terkadang tiga hari, dan setiap orang yang diundang membawa hadiah berupa uang atau makanan dan minuman. Kadang-kadang terjadi bahwa  setelah perayaan yang tersisa, dan tuan rumah masih mendapat manfaat dari kesenangan itu. Meja dan kamar pengantin biasanya didekorasi dengan sangat indah, jika tidak selalu penuh cita rasa, dan tariannya berlangsung hingga pagi hari.

Jika ada seseorang yang meninggal, hal ini akan diperhatikan, asal jaraknya tidak terlalu jauh, akan segera terdengar ratapan yang mengerikan. Saat kolera sedang merajalela di Saparua, sungguh menakutkan jika saya mendengarnya pada malam hari, terkadang dari 3 atau 4 rumah sekaligus. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mereka tidak sedih karena kehilangan ayah, ibu, istri, atau anak, tapi memang benar bahwa penderitaan itu adalah hal yang lumrah. Itu bagian dari itu. Dimulai ketika penderita telah meninggal dunia, dan dimulai lagi setiap kali salah satu keluarga datang dari tempat lain. Itu diakhiri, ketika jenazah keluar dari pintu. Biasanya orang yang meninggal dikuburkan keesokan harinya, dan malam saat orang yang meninggal tersebut berada di dalam rumah, dihabiskan dengan menangis. Bayangkan, orang bermain kartu sepanjang malam. Mereka mendatangi pimpinan pemerintah dan meminta izin untuk melakukannya, karena tanpa izin tersebut penduduk pribumi tidak diperbolehkan bermain. Bukankah saya sudah berjuang melawan kebiasaan buruk itu? Tentu saja, tetapi saya tidak berhasil mencegah mereka melakukan hal itu sekalipun. “Kontroleur sudah memberi kami izin, jadi kami akan melakukannya” – “Ya, tapi itu tidak cocok/tidak baik” – “Itu mungkin benar bagi orang Belanda, tapi bagi kami hal itu merupakan kebiasaan”. Pemakaman di Saparua terlihat seperti pemakaman Yahudi, seperti yang pernah saya lihat di masa lalu. Tanpa aturan dan perintah, semuanya berjalan bersama. 

Jenazah Elias Siegers, ca 1910

Segera setelah jenazah dibaringkan di usungan pemakaman, penggali kubur atau guru akan memulai : “Tuanku, kami akan menguburkan jenazah N.N., putra N.N yang masih hidup (mengikuti relasi dengan jenazah). Dia meninggal pada usia 30 tahun. Matanya tidak dapat lagi melihat, tidak dapat lagi mendengar, tidak dapat berbicara lagi, dan tidak dapat menggerakan tangan atau kakinya. Jadi kami membawanya ke kuburan. Saya meminta para pembawa jenazah untuk membawa/memikul usungan tersebut dan berjalan perlahan, dan mohon mengikuti Yang Mulia”. Jika orang yang meninggal adalah Regent, atau warga burger terpandang, tembakan penghormatan akan dilakukan selama pemakaman berlangsung. Ada hiruk pikuk yang tidak biasa terjadi di kuburan. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk dikatakan, sesuatu untuk diperintahkan. Salah satu keluarga mendatangi saya : “Jika Tuan berkenaan, berbicaralah sesuatu” – “ Ya, baiklah, asalkan kehidupan berakhir terlebih dahulu”. Saya kemudian akan mengucapkan sepatah kata pendek berdasarkan beberapa teks yang sesuai . Jika kita kembali ke rumah setelah pemakaman, segalanya telah berubah. Tidak ada lagi yang mendengar suara tangisan. Segala macam hal disajikan. Ini akan menjadi pesta yang nyata, dan pada malam hari kami akan bermain kartu lagi.

Saya, atau istri saya, diundang menghadiri perayaan penerimaan anggota sidi/anggota gereja. Juga saat saya menyampaikan anggota gereja tahunan, mereka akan datang kepada kami beberapa hari kemudian untuk mengucapkan terima kasih, dan kemudian membawakan beberapa barang, minyak, ayam, telur, kayu bakar, untuk istri saya. Kami ingin memberi mereka imbalan, maka suatu malam anak-anak muda itu diminta bergabung dengan kami, dan istri saya menyediakan roti, kue kering, kopi, dan teh yang diperlukan. Kemudian guru juga datang bersama istrinya, terkadang beberapa anggota dewan gereja; lalu kami sesekali menyanyikan sebuah ayat mazmur, dan kami menghabiskan malam itu dengan gembira. Pada akhirnya, seseorang mengucapkan terima kasih kepada semua orang, kebanyakan dalam bahasa Melayu yang “tinggi-tinggi” atau muluk-muluk, seperti biasa, diikuti dengan teguran, yang menyatakan bahwa ucapan terima kasih yang terbaik adalah jalan kekristenan. Sayangnya, harus saya tambahkan juga, banyak orang yang segera menjauh dari hal-hal baik. Banyak yang menempuh jalannya sendiri, yaitu jalan dosa. Sekali seseorang menjadi anggota gereja, ia dapat hidup sesuai dengan makna dan kesenangan. Mereka berkata : “kami adalah anggota gereja, dan hal itu tidak dapat lagi diambil dari kami”. Segera terdengar dari banyak gadis bahwa mereka hidup di luar pernikahan. Berapa banyak anak haram yang telah saya baptis dari ibu-ibu yang mengaku seperti itu kepada saya? Saat saya mengeluh hal ini kepada kepala sekolah yang lama, beliau berkata kepada saya : “iya Tuan, saat pertama mereka menjadi anggota gereja, mereka segera ingin menjadi ibu. Sebelum waktu itu, hal itu tidak mungkin dilakukan, karena dengan demikian maka mereka tidak mau menjadi anggota gereja”. Saya pikir akan lebih jika tidak tidak ada seorang pun yang akan diterima menjadi anggota gereja, jika belum menikah, namun hal itu juga tidak mungkin.

Seorang wanita yang sudah mempunyai 3 anak di luar nikah, datang kepadaku untuk meminta baptisan bagi ketiga anaknya. “Tetapi Eva, mengapa kamu belum menikah? Tahukah kami, bukan, bahwa kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang penuh dosa”? – “Ya Tuan, saya ingin, tetapi ayah saya tidak mau. Dia tidak peduli jika saya mempunyai banyak anak di luar nikah, tetapi saya tidak diperbolehkan menikah; saya harus tinggal bersamanya”. Bukankah itu sangat disayangkan? Bukankah cocok di sini, lebih menaati Tuhan daripada manusia, dan siapa yang lebih mencintai ayah atau ibu daripada aku? Tetapi mereka sangat takut dengan kutukan ayah atau ibu mereka sehingga mereka hampir tidak bisa melakukan apapun yang bertentangan dengan keinginan orang tuanya. Gadis lain, putri seorang penatua, mempunyai seorang anak, tetapi dengan seorang penduduk negeri. Dia ingin menikah, tetapi ayahnya tidak menginginkannya. Ayahnya berasal dari kaum bangsa (bangsawan), dan putrinya ingin menikah dengan seorang laki-laki penduduk negeri ! Tidak, itu tidak mungkin. Ketika mereka memberitahuku hal ini, aku meminta ayah itu untuk datang kepadaku dan berbicara dengannya. Ia, seorang penatua, harus menjadi teladan yang baik bagi jemaat, dan tidak membiarkan putrinya hidup seperti itu. Ya, dia terharu dan menitikkan air mata, tapi tetap saha, tidak, ia tidak mau menikahkan putrinya dengan laki-laki penduduk negeri. Maka sebaiknya, dewan gereja memberhentikan dia dari jabatannya, karena ia tidak bisa dibiarkan seperti itu. Saya bisa memberikan lebih banyak contoh, tapi lebih banyak lagi jumlah mereka, yang atas kemauannya sendiri, hidup bertahun-tahun di luar pernikahan. Hal ini seringkali akan berujung pada pernikahan di kemudian hari, namun terkadang juga tidak. Seorang laki-laki mempunyai beberapa anak dari seorang wanita yang juga tinggal di rumahnya. “Mengapa kami tidak menikahinya?”, saya bertanya kepadanya. “Iya Tuan, semua anak saya perempuan. Kalau saya mempunyai anak laki-laki, saya akan menikahi dia, tetapi kalau tidak, maka saya tidak menikahinya”.  

Sesampainya di Saparua, kepala sekolah di sana mengadakan katekismus/katekisasi bulanan dengan para guru, tapi itu tidak berarti apa-apa. Kami guru-penginjil di karesidenan Ambon yang hadir waktu itu, meminta subkomite di Ambon untuk mengambil alih proses katekisasi itu, dan permintaan kami dikabulkan. Katakese adalah salah satu kegiatan favorit saya selama bertahun-tahun. Bukan hanya tentang sejarah Alkitab dan doktrin agama, tapi sekarang juga tentang sejarah gereja, kemudian tentang geografi atau ilmu alam, tentang segala sesatu yang terjadi dan apa yang ingin mereka ketahui. Para guru juga menikmati hal itu. Kehadiran mereka yang setia pada pertemuan-pertemuan itu membuktikan hal ini, meskipun mereka harus berjalan 4 sampai 7 paal (paalen) untuk sampai ke Saparua. Tetapi hal ini pun sudah dibatalkan oleh undang-undang sekolah. Sekarang guru hanya diperbolehkan meninggalkan sekolahnya karena sakit. Sesekali saya juga mengadakan katekismus dalam bahasa Belanda, hanya sedikit, dan biasanya tidak terlalu banyak bermanfaat. Orang-orang menginginkan hal ini untuk membedakan diri mereka dari bahasa aslinya, dan bahasa tersebut biasanya tidak cukup kuat.

Masih banyak yang belum dilakukan, bahkan sampai saat ini, untuk jemaat-jemaat yang tersebar di kepulauan Ambon. Bahkan saat ini hanya ada sedikit dari sekian banyak yang ada. Keenam misionaris yang dikirim ke Ambon oleh Lembaga Penginjilan Belanda tersebut sempat lengkap  untuk beberapa waktu, namun 2 orang diantaranya meninggalkan jabatannya, 1 orang kini bekerja di tempat lain (di Savoe), 1 orang meninggal di Ambon, dan 1 lagi dalam perjalanan kembali ke Belanda. Kecuali rekan lama kami, Luijkeq, yang masih bekerja semaksimal mungkin, kini terdapat penginjil Barr, De Vriess dan Van Enstt di Waai, Saparua dan Hutumuri. Namun jumlah tersebut tidak seberapa karena banyaknya komunitas Kristen yang tersebar di berbagai pulau. Atas ijin Tuhan, kami juga akan ke sana lagi akhir tahun ini. Namun mungkin saja setiap orang yang bermaksud baik dalam pekerjaan Tuhan berdoa, agar Dia mengirimkan lebih banyak pekerja juga di bagian kebun anggur-Nya ini, sehingga kerajaan sorga dapat masuk ke dalam hati orang-orang di sana. Semoga kekuataan bisa menjadi nyata, itu menjadi doa kita bersama!.

 

Rotterdam, Mei 1875                                                                                              R. Bossert

 

==== selesai ===

 

Catatan Tambahan

a.        Rudof Bossert lahir di Alkmaar, Belanda pada tanggal 30 September 1815 (sumber lain menyebut tahun 1816), bertugas di Depok pada periode 1847-1848, di Tanawangko (Minahasa) pada 1848 – 1854), di Saparua pada 1854 – 1873, pada Desember 1873 kembali ke Belanda selama 2 tahun, 10 Desember 1875 bertugas di Alang (1875-1876) dengan status Hulpprediker (Pendeta Bantu), bertugas di Haruku (1876-1880), Desember 1880 kembali lagi ke Belanda dan tahun 1884 pensiun. Meninggal dunia pada tahun 1903.

Ø  Chr. G.F. de Jong,  De Protestantse Kerk in de Midden Molukken 1803 – 1900, bijlage IV, hal 639, bijlage V, hal 643

Ø  Chr. Fr. van Fraasen, Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902, Huygen KNAW, 1997

Ø  L.J. van Rhijn, Reis door den Indischen Archipel, in het belang der Evangelische Zending, M.Wyt en Zonen, Rotterdam, 1851, hal 411

b.       Halaman 234 – 236 pada tulisan berbahasa Belanda tidak kami terjemahkan dengan pertimbangan “teknis” semata, dikarenakan pada halaman-halaman ini hanya menceritakan tentang kisah sang penulis menuju ke Roterdam untuk memulai tugasnya dari Lembaga Penginjilan Belanda, perjalanannya ke Hindia Belanda, penugasannya di Depok, dan penugasan ke Tanawangko [Minahasa] di Sulawesi.

c.        Penugasan/penunjukan penginjil Rudolf Bossert untuk bertugas di kepulauan Ambon, terkhususnya di pulau Saparua, pulau Nusalaut dan pesisir selatan pulau Seram, berdasarkan besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda bertanggal 18 Mei 1854 nomor 5 dan bertanggal 8 Juli 1854 nomor 7, besluit menteri koloni bertanggal 22 Maret 1854 nomor la A no. 2/193.

Ø  Besluit gouverneur-generaal (Duymaer van Twist) 20 mei 1855 no. 9, Batavia. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, 7169. Extract in: NA, Koloniën 2.10.02, 480, vb. 9 januari 1856 no. 6.

d.       Rudolf Bossert tiba di Saparua pada 8 November 1854

Ø  R. Bossert aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Saparua, 10 april 1855; ARvdZ 64/4/4. [dimuat oleh Chr.G.F. de Jong,  De Protestantse Kerk in de Midden Molukken 1803 – 1900, tweede deel (1854 – 1900), KITLV Uitgeverij, Leiden, 2006, hal 36 – 43

e.        Daftar para pendeta yang bertugas di Ambon yang disusun oleh Francois Valentijn dimulai dari Caspar Wiltens (1615 – 1625) hingga N. Nicolai (1723), pendeta yang bertugas di pulau Saparua dimulai dari Rogier Henriks (1625 – 1626) hingga Dirk Maartens (1706 – 1709), pendeta yang bertugas di pulau Haruku dimulai dari Godef van Akendam (1662 – 1664) hingga Ludovicus de Mey (1697 – 1700)

Ø  Francois Valentijn, Omstandig Verhaal van de Geschiedenissen en Zaaken het Kerkelyke ofte den Godsdienst Betreffende zoo in Amboina............., vyfde stuuk, Joanes van Braam, Dordrecht, 1726, hal 140 – 141

f.         Joseph Kam, bertugas di Ambon pada periode 1815 – 1833

g.        13 negeri di pulau Saparua yaitu : Saparua, Tiouw, Paperu, Booi, Haria, Porto, Tuhaha, Ihamahu, Nolloth, Itawaka, Siri Sori Sarane, Ullath dan Ouw. Ke-13 negeri atau desa ini menjadi 12 gementee atau Jemaat, dimana negeri Saparua dan Tiouw menjadi 1 jemaat, sedangkan 11 negeri yang lainnya masing-masing 1 jemaat.

Ø  R. Bossert aan het Hoofdbestuur van het NZG te Rotterdam, Saparua, 10 april 1855; ARvdZ 64/4/4. [dimuat oleh Chr.G.F. de Jong,  De Protestantse Kerk in de Midden Molukken 1803 – 1900, tweede deel (1854 – 1900), KITLV Uitgeverij, Leiden, 2006, hal 37

Ø  R. Bossert, Staat der Christengemeenten op de eilanden Saparoea en Haroekoe op ultimo 1870, [dimuat pada Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap, volume 15, M. Wyt & zonen, Rotterdam, 1871, hal 306]

h.       Sejak 1854 – 1873 atau 19 tahun bertugas di Saparua.

Ø  Chr. G. F. de Jong,  De Protestantse Kerk in de Midden Molukken 1803 – 1900, bijlage V, hal 643

i.         3 negeri yang dimaksud adalah negeri Iha, Kulur dan Siri Sori Salam (Islam)

j.         Arris van Ekris, bertugas di Saparua pada tahun 1857 – 1858. Ia meninggal saat masih bertugas di pulau Haruku (1865-1868) dan meninggal di Ambon pada 14 Februari 1868

Ø  Chr. G. F. de Jong,  De Protestantse Kerk in de Midden Molukken 1803 – 1900, bijlage V, hal 643

k.        Misalnya berdasarkan data dari penginjil Pieter Keijser yang bertugas di Ambon 1833- 1837 per Juni 1837, penduduk beragama Kristen di pulau Haruku sebanyak 3.040 jiwa dan penduduk beragama Islam di pulau Haruku sebanyak  2.861 jiwa. Sedangkan menurut data dari E.W.A. Ludeking, pada tahun 1854, penduduk pulau Haruku yang beragama Kristen berjumlah 3196 jiwa dan penduduk beragama Islam berjumlah  3468 jiwa

Ø  L.J. van Rhijn, Reis door den Indischen Archipel, in het belang der Evangelische Zending, M.Wyt en Zonen, Rotterdam, 1851, halaman 438, catatan kaki nomor 1

Ø  E.W.A. Ludeking, Schets van de Residentie Amboina, s’Gravenhagen, Martinus  Nijhoff, 1868, hal 127

l.         Misalnya di pulau Saparua, pemimpin kaum burger disebut Comandant der Burgerij atau Komandan orang Burger/orang bebas.

m.      Misalnya dari tahun 1800 – 1825, karesidenan Saparua dipimpin oleh pejabat dengan gelar Resident, sejak tahun 1825 – 1866, status karesidenan Saparua dan karesidenan Haruku “dimerger” menjadi 1 afdeeling yang dipimpin oleh seorang Assisten Resident, sejak tahun 1866 – 1942, afdeeling Saparua menjadi onderafdeeling dan dipimpin oleh pejabat dengan gelar Controleur atau Kontroler

n.       Negeri Saparua dan Tiouw terdapat 6 wijk atau lingkungan, dimulai dengan Wijk A yang meliputi wilayah negeri Tiouw, dan Wijk B – F meliputi wilayah negeri Saparua.

o.       Pada periode penugasan Rudolf Bossert di Saparua (1854 – 1873), Assisten Resident dan Kontroleur van Saparua adalah Wilhelm Schminke (1854 – 1859), Willem Anthonie Duvelar van Campen (1859 – 1861), Andries Pieter van Leuween (1861 – 1863), Matthias Herman Willem Nieuwenhuijs (1863 – 1864), Gerardus Johannes Petrus Peeters (1864 – 1865), Thomas Reinier Johanes Marinus Huijsers (1865 – 1866), Frederik Anthon Nieuwenhuijzen (1867 – 1869), Daniël Nicolaas Frederik Kiehl (1869 – 1870), Louis Ferdinand Goldman Jr (1871 – 1872) dan Gerrit Willem Wolter Carel baron van Hoëvell (1872 – 1875)

p.       Referensi yang tersedia dan kemudian kami periksa, tidak secara eksplisit menyebut nama dari istri Rudolf Bossert, tapi mungkin istrinya bernama Mejufvrouw Knechtlie van Rotterdam.

Ø  L.J. van Rhijn, Reis door den Indischen Archipel, in het belang der Evangelische Zending, M.Wyt en Zonen, Rotterdam, 1851, hal 411 - 412

q.       Willem Luijke pernah bertugas di Haruku (1842 – 1849), Ambon (1827-1828, 1841-1842, 1849-1854), Hutumuri (1854-1855) dan Rumahtiga (1855-1883).

r.        Johan Jacob Bar Jr, bertugas di Waai pada 1859 – 1873 dan 1873 – 1883

s.        Sijtse Jansz Vries bertugas di Saparua menggantikan Rudof Bossert pada 1874 – 1886

t.         J.M. van Enst bertugas di Hutumuri pada tahun 1874 - 1878

Tidak ada komentar:

Posting Komentar