Minggu, 07 Januari 2024

KAKIHAN SERAM

 

[ARRIS VAN EKRIS]

 

  1. Kata Pengantar

Tulisan yang kami terjemahkan ini adalah tulisan dari seorang penginjil bernama Arris van Ekrisa. Ia pernah bertugas atau menginjil di negeri Kamarian pada tahun 1858 – 1865. Berbekal 7 tahun bertugas di wilayah itulah, ia menulis tentang kakihan/kakehan. Tulisan van Ekris berjudul Het Ceramsche Kakianverbond, yang ia tulis di Kamarian pada Agustus 1864, dimuat di Jurnal Mededeelingen van wege het Zendelinggenootschap, negende jaargang (volume ix), dan dipublikasikan di Rotterdam oleh penerbit M.Wyt & zonen, tahun 1865, pada halaman 205 – 226. Sependek yang kami ketahui, ini adalah tulisan pertama dari 2 tulisan van Ekris tentang Kakihan Seramb.

Terminologi Kakihan/Kakehan dan asal usulnya serta bagaimana “prosedurnya” masih menjadi “misteri” hingga hari ini, meskipun kata ini “familiar” di kalangan masyarakat Maluku Tengah, terkhususnya pulau Seram. Sejak paruh pertama abad ke-19 hingga masa kini, ada beberapa tulisan yang membahas tentang “kakihan” dan “saniri 3 batang air”, baik secara khusus maupun hanya secara umumc. Haruslah diakui bahwa ada perbedaan intepretatif dari tulisan-tulisan itu, namun minimal membuat kita “kaya” akan pemahan kita terhadap apa itu kakihan. Apa yang ditulis oleh van Ekris juga menawarkan perspektif demikian. Sebagai seorang penginjil yang memiliki pemahaman dogmatika dan theologia Kristen abad ke-19, tentunya ia mendeskripsikan kakihan dari perspektif agama dan budaya yang ia pahami. Tentu saja, kita bisa setuju dan tidak setuju terhadap apa yang disampaikan. Namun bukan itu yang penting, tetapi intepretasi dan pemaparan itulah yang membuat kita kaya, paling tidak kita bisa mengetahui dan memahami sudut pandang orang Eropa terhadap tradisi para leluhur kita.

Tulisan sepanjang 22 halaman ini kami terjemahkan dan hanya menambahkan beberapa gambar/lukisan, sedikit catatan tambahan untuk melengkapi 15 catatan kaki dari sang penulis. Akhirnya selamat membaca, semoga kita semakin lebih bersikap dewasa dalam pengetahuan dan pemahaman kesejarahan kita sendiri.

  1. Terjemahan

Sulit untuk menulis tentang “perkumpulan rahasia” selama perkumpulan itu masih ada. Jika seseorang menjadi anggota [perkumpulan itu], maka ia tidak boleh melakukannya [menuliskannya], dan jika ia bukan anggotanya, maka ia juga tidak boleh melakukannya. Namun ada sesuatu untuk dikatakan tentang hal itu; apa yang diketahui tentang hal ini, apa yang telah dibocorkan, dapat mengungkap hal-hal yang kurang diketahui, dan melalui kebulatan suara banyak saksi, [maka] kebenaran bisa terungkap. Ketika saya mengambil pena untuk memberikan beberapa refleksi dan komunikasi mengenai perkumpulan Kakihan Seram, saya tidak membayangkan bahwa saya harus memenuhi harapan yang tinggi. Masih banyak lagi pertanyaan yang bisa ditanyakan : bagaimana asal-muasal perkumpulan Kakihan? Apa tujuannya? Apa sifat dan strukturnya? Apa kelebihan dan kekurangannya? Bagaiman nasib kelanjutannya atau masa depannya?. Tapi saya tidak bertanggung jawab untuk memberikan jawaban yang bisa memuaskan untuk semuanya. Namun, mungkin hal-hal berikut ini bukannya tanpa minat.

Terbentuknya perkumpulan Kakihan tidak lepas dari berdirinya 2 “institusi” di wilayah kepulauan Maluku ini. Maksudku adalah Oelisiwa dan Oelilima. Bagaimanapun juga, semua anggota Kakihan ini berasal dari Oelisiwa dan dikatakan sangat tidak puas dengan Oelilima, sehingga setidaknya pihak pemerintah tidak perlu takut akan adanya konspirasi dari kedua “lembaga” ini [Oelisiwa dan Oelilima].

Asal usul kedua “lembaga” ini tidak terlalu jelas. Menurut beberapa orang, setelah banjir besar di Seram, ada 3 bersaudara/adik-kakak (bersama keluarga mereka?)1. Mereka berpisah satu sama lain di gunung Noenoesakoe. Yang tertua menetap di Seram Barat dan keturunannya disebut Oelisiwa. Saudara yang kedua pergi ke Seram Timur, dan dari sana muncul Oelilima. Keturunan saudara terakhir [yang bungsu] akhirnya menghuni pulau-pulau di selatan Seram, dan disebut Oeliasa atau Oeliate. Namun penjelasan ini mempunyai kelemahan. Haruku, Saparua dan Nusalaut masih diberi label Oeliassers sampai sekarang, namun Ambon jelas dibedakan dari nama itu. Apalagi di keempat pulau tersebut masih terdapat jejak-jejak pembagian Oelisiwa dan Oelilima, namun tidak ada sedikit pun bukti adanya Oeliasi sebagai “bagian” tersendiri2/d. Jika kita percaya pada Valentijn, maka kedua “institusi” ini diciptakan oleh kekuasaan yang dilakukan oleh kesultanan Ternate dan Tidore atas Seram, Ambon dan Oeliasser. Menurutnya, Oelilima merupakan subjek atau sekutu yang dipajaki oleh Ternate, sedangkan Oelisiwa mempunyai relasi yang sama dengan Tidore. Ini adalah pernyataannya yang terus menerus, namun kadang-kadang ia mengatakan bahwa Oelisiwa adalah “milik” Ternate, dan bahkan memberikan alasannya. Oleh karena itu, ia tampaknya tidak memiliki cukup kepastian mengenai hal itu. Selain itu, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa Tidore adalah pimpinan dari Oelisiwa. Selain pulau-pulau kecil, itu hanya “meliputi” bagian Seram Barat. Tidore kemudian mempunyai kekuasaan yang lebih besar di sekitar wilayah timur Seram, karena kekuasaannya masih diakui di wilayah tersebut. Hanya sisi barat Hoamoal yang sempat berada di bawah kekuasaan Tidore untuk sementara waktu, namun segera beralih di bawah kekuasaan Ternate. Yang terakhir di sisi lain, Ternate menegaskan kekuasaannya atas wilayah barat, dan hal ini tidak terjadi tanpa perlawanan yang kuat jika Tidore berkuasa di wilayah tersebut. 

alifuru seram, ca. 1890

Terakhir, ada yang berpendapat bahwa “institusi-institusi” ini berasal dari kesultanan Ternate dan Raja Sahoelaoe. Konon mereka telah membagi wilayah kekuasaan mereka, dengan Oelisiwa berada dibawah kekuasaan Sahoelaoe, dan Oelilima dibawah kekuasaan Ternate. Penjelasan ini juga memiliki kelemahan, namun juga memiliki kelebihan. Raja pertama Sahoelaoe adalah orang asing. Namanya artinya : seseorang yang datang dari jauh, atau juga : seseorang yang menyeberangi lautan. Gelar Kolano, yang sampai beberapa tahun lalu biasa digunakan untuk raja-raja Sahoelaoe, juga digunakan oleh para pangeran beragama pagan di Ternate, Tidore, Batjan, dan Djilolo. Perlu dicatat bahwa migrasi, pelayaran laut, dan pemukiman sudah menjadi tren di sini sebelum kedatangan orang Eropa3. Pemukiman ini biasanya berakhir dengan bergabungnya orang asing dengan penduduknya, namun juga menjadi penguasa pemukiman itu. Keinginannya untuk melakukan penaklukan juga membawanya untuk membawa penduduk pribumi di bawah kekuasaan orang asing4. Kini tidak aneh ketika penduduk Ternate masih beragama pagan, seorang kerabat pangeran mereka menetap di Seram, mendirikan dan memperluas kekuasaan Ternate di sana, sebagian dengan cara damai, sebagian lagi dengan kekuatan senjata, dan akhirnya terjadi pembagian wilayah, dimana salah satu dari mereka, [yaitu] Kolano Sahoelaoe5, menjadi pemimpin penduduk yang bernama Oelisiwa6. Oelisiwa di Ambon dan Oeliasser, yang mungkin sebagian berasal dari Seram, tampaknya dengan cepat menarik diri dari “kekuasaan” Sahoelaoe di bawah pengaruh pemerintah Eropa. Namun, ada 2 keberatan yang dapat diajukan terhadap pernyataan terakhir ini. Raja Sahoelaoe sekarang adalah “milik” Oelilima, dan pada masa Valentijn, ia juga “bergabung” dengan Oelilima. Namun saat ini, di Seram, Sahoelaoe tidak berarti apa-apa selain bahwa ia bukan anggota kakihan/kakehan, apapun makna yang melekat pada kakehan itu pada masa itu. Kakehan hanyalah merupakan bagian dari Oelisiwa. Radja Sahoelaoe, dibawah otoritasnya yang sekarang kurang dikenal, telah mengabaikan Oelisiwa, dan tidak ada yang menghalangi kita untuk berasumsi bahwa leluhur mereka adalah Oelisiwa sebelum terbentuknya “lembaga” kakehan. Keberatan lainnya adalah nama Oeliasa masih belum dapat dijelaskan. Kata ini juga ditulis Leiasi. Mungkin ini merupakan nama aslinya, dan nama lain muncul karena “korupsi” penyebutan/penulisan. Lei, umum digunakan sebagai tempat/lokasi (misalnya Leitimor, Leinitoe) yang artinya di sisi, juga di luar, atau di sisi lain. Sedangkan makna dari kata asi, tidak saya ketahui maknanya. Jika sebagian dari Seram disebut demikian (tetapi kemungkinan besar namanya tidak akan berubah di sini), maka arti/makna kedua dari lei bisa ditempatkan, dan nama tersebut akan diperjelas.

Nama Oelisiwa dan Oelilima berasal dari kata oeli (juga ali, ari, wali, wari) yang berarti “persaudaraan” dan siwa yang bermakna 9 (sembilan) serta lima, yang bermakna 5 (lima), dan karena itu berarti “persaudaraan” sembilan atau “persaudaraan” lima; atau oeli yang bermakna berulang-ulang, jadi oelisiwa berarti berulang 9 kali, sedangkan oelilima berarti berulang 5 kali, dan kemudian pembagian ini disebut demikian karena konon masyarakat Oelisiwa selalu membayar upeti, denda, atau maharnya 9 kali lipat, seperti halnya Oelilima yang menggunakan 5 kali lipat dalam cara yang sama. Disebutkan pula asal-usul nama-nama tersebut sebagai berikut : Raja Sahoelaoe, sebagai kaka (kakak atau saudara tua) konon mendapat 9 bagian wilayah yang diperintah sedangkan kesultanan Ternate sebagai ade (adik atau saudara muda) menerima 5 bagian wilayah. Sejak kedatangan Portugis, masyarakat terpecah menjadi 2 kubu. Mereka seringkali tampaknya hidup dalam hubungan yang kurang baik satu sama lain. Setidaknya Valentijn membandingkan hal itu dengan “masyarakat” Hoek dan “masyarakat” Kabeljauwe. Namun mungkin kita tidak perlu menitikberatkan pada pernyataannya. Namun, karena Islam tersebar luas di kalangan Oelilima, seperti halnya pagan di kalangan Oelisiwa, dan Islam tidak sepenuhnya redup, mempunyai sedikit toleransi, hal ini mungkin menjadi penyebab berkurangnya perdamaian. VOC tentu saja tidak senang dengan keberadaan “faksi-faksi” tersebut. Meskipun “memecah belah dan memerintah” adalah prinsip kebijakan VOC, dan oleh karena faksi-faksi itu sendiri tidak merugikan VOC, namun pengaruh Ternate di wilayah-wilayah ini menjadi duri bagi VOC. Namun upaya VOC untuk membubarkan atau melenyapkan faksi-faksi tersebut tampaknya telah lama tidak berhasil, setidaknya dalam tulisan sejak zaman Valentijn, faksi-faksi tersebut masih tampak ada. Saat ini, yang tersisa hanyalah nama-nama Ambon dan Oeliasser. Namun di Seram, faksi-faksi ini masih terlihat jelas. Di sini (di Seram) disebut juga Patasiwa dan Patalima, mungkin berasal dari kata patan, yang berarti badan, lembaga, korporasi, atau perkumpulan7. Patalima sebagian besar beragama Islam dan kaum pagan, hanya sedikit saja yang beralih ke agama Kristen8. Upacara yang dapat diterima dalam perkumpulan tersebut antara lain “papar gigi” (mengikir gigi) dan “pake kain kadoet” (menggunakan kain kadoet), dimana upacara ini berlangsung beberapa hari berturut-turut. Sunat juga digunakan di kalangan umat Kristen, mungkin karena pengaruh Islam. Ikatan faksi yang terjalin antara Patalima Seram nampaknya agak longgar. Berbeda dengan faksi yang lain, yaitu Patasiwa. Ikatan faksi ini membentuk “institusi” kakian Seram, yang juga disebut kakihan atau kakehan. Arti nama ini tidak saya ketahui, Valentijn juga tidak menjelaskannya. Waktu asal mula institusi ini sulit ditentukan. Pada masa Valentijn (paruh terakhir abad ke-17), institusi ini sudah ada. Jika kita mempertimbangkan ketidakjelasan dari Valentijn, maka kita akan menduga – karena ia tidak menyebutkan institusi ini – bahwa institusi ini belum ada pada waktu itu. 

Diketahui bahwa kesultanan Ternate dan Tidore, khususnya Ternate, telah mempermasalahkan kekuasaan mereka atas Seram kepada VOC. Hal ini tidak berhenti pada perdebatan mengenai hak mereka atas wilayah tersebut; para Sultan Ternate sebenarnya berusaha untuk menegaskan kekuasaannya di wilayah itu. Di Ambon dan Oeliasser, kekuasaan mereka telah sangat berkurang akibat pengaruh VOC, dan upeti besar yang biasa mereka bebankan kepada masyarakat di sana tidak dapat dipungut lagi9. Berbeda dengan di Seram. Bagian barat wilayah ini khususnya, dan lebih khusus lagi pesisir selatan, terus menerus “dibombardir” dan diganggu oleh para perwakilan kesultanan Ternate. Denda yang berat dikenakan kepada masyarakat10, dan upaya dilakukan untuk mencegah mereka melakukan pelayanan bagi VOC melalui ancaman pelarangan11. Mereka hanya punya sedikit yang tersisa untuk Seram selain seorang kopral di sana-sini dan beberapa orang kuat. Oleh karena itu, orang Seram harus membantu diri mereka sendiri. Suku Alfuru (yaitu masyarakat pegunungan) tidak terlalu merasa terganggu dengan Ternate, namun mereka mengetahui dari tradisi (yang telah lama dilestarikan di kalangan masyarakat pagan) bahwa perwakilan Ternate telah lama menetap di Seram pada masa-masa sebelumnya. Klaim otoritas atas wilayah Seram Barat dapat dibuat, dan beberapa telah dibuat. Oleh karena itu, populasi pesisir dan pegunungan menjadi lebih erat kaitannya, dan demikian terbentuklah institusi kakian, yang secara bertahap diikuti oleh seluruh Patasiwa Seram. Institusi ini terutama ditujukan untuk melawan Ternate, namun mereka tidak ingin dilepaskan dari Ternate demi dapat melayani VOC dengan lebih baik. Sebaliknya, institusi ini menjadi sarana untuk melawan pengaruh asing. Kita harus bebas, bukan bebas dari penguasa ini atau itu, melainkan dari segala dominasi orang asing. Mereka yang tidak lagi sepenuhnya bebas berupaya untuk mempertahankan kebebasan yang masih tersisa bagi mereka. Pemerintahan asing hanya membawa perubahan pada kondisi dan moral masyarakat, jika kepentingan penakluk memerlukannya. Tidak seorang pun, khususnya orang-orang “primitif” ingin melihat perubahan itu, dan karena itu faksi tersebut membawa serta bertujuan untuk mempertahankan kehormatan yang telah berusia tua/lama.

Oleh karena itu, Kakian/Kakihan/Kakehan adalah sebuah asosiasi politik. Namun, hal ini juga didasarkan pada agama. Agama dan politik tidak dipisahkan secara tegas di kalangan masyarakat primitif, khususnya masyarakat non-Kristen, namun saling berkaitan erat. Upacara yang dilakukan kakian/kakihan bersifat religius, disebut juga dengan agama lama, yang berbeda dengan Islam dan Kristen. Tanpa hal tersebut, ia tidak akan dapat bertahan lama, karena upaya-upaya yang telah dilakukan tidak diperlukan lagi, karena Ternate melepaskan kekuasaannya atas Seram dan VOC akhirnya hampir tidak lagi memperdulikan hal tersebut. Memang benar, umat Kristiani dan umat Islam juga termasuk dalam faksi tersebut, namun meskipun bersifat keagamaan, bagi mereka itu bukanlah agama, dan ketidaktahuan keduanya, keterikatan mereka pada kebiasaan lama, yang tidak melihat adanya kontradiksi, cukup menjelaskan bagaimana mereka bisa dan tetap terlibat dalam institusi tersebut, bagaimana umat Islam bisa makan daging babi di hutan, dan tidak makan daging babi di dalam desa/kampung; bagaimana umat Kristiani bisa menyembah Tuhan di gereja dan menyembah/memanggil leluhur yang berdiam di loteng rumah12. Daerah kakian/kakihan meliputi Seram bagian barat. Semenanjung Hoamoal, yang dulunya sangat padat penduduknya, juga termasuk di dalamnya, namun kini hanya orang-orang dari pulau-pulau kecil yang menetap di situ. Kakihan terdiri dari 3 “bagian”. Negeri-negeri di pesisir selatan, dari Elpaputih sampai Kaiboboe, dan negeri-negeri Alifuru di lereng-lereng pegunungan selatan, diantara kedua wilayah ini, termasuk “wilayah” Tala. Enam (6) desa/negeri, salah satunya berada di pegunungan dan semuanya terletak di ujung barat Seram termasuk “wilayah” Eti. Penduduk pesisir/pantai utara dan lereng-lereng pegunungan utara antara Noeniali dan teluk Sawai termasuk “wilayah” Sapalewa. Tentu saja tidak mungkin memberikan penentuan batas-batas wilayah itu dengan benar. Ketiga “wilayah” ini mendapatkan namanya dari 3 aliran sungai besar, yaitu sungai Tala, yang bermuara di teluk Elpaputih, sungai Eti yang mengalir ke laut di teluk Piroe, dan sungai Sapalewa yang mengalir ke pantai utara di Noeniali. Di wilayah-wilayah berhutan lebat yang jarang penduduknya, sungai-sungai menawarkan jalur yang kurang lebih cocok karena kurangnya jalan darat. Oleh karena itu, muara sungai merupakan tempat yang sangat cocok untuk tempat berkumpul dalam jumlah yang besar. Di sanalah diadakan pertemuan-pertemuan institusi sejak dahulu kala, dan di sanalah pertemuan-pertemuan diadakan sampai sekarang. Masing-masing “wilayah” ini dipimpin oleh seorang kepala/pimpinan yang bergelar kapala saniri, atau ketua dewan. Ketiga kepala ini juga secara kolektif disebut “tiga kapala ajer” atau 3 kepala sungai/aliran sungai. Mereka memimpin pertemuan ketika diadakan di wilayah mereka. Mereka menyelesaikan perselisihan antar desa/negeri yang timbul. Mereka memastikan ketertiban dan keharmonisan penduduk/masyarakat di bawah pemerintahannya. Mereka dipercaya untuk menegakan adat-istiadat. Mereka berhak memungut upeti, menjatuhkan denda dan menghukum yang bersalah13. Setiap kapala saniri mempunyai kapitan-nya sendiri. Figur ini bertugas menyampaikan perintah, dan dia harus memastikan perintah tersebut dilaksanakan. Dia harus memastikan bahwa baileo dan rumah kakihan dari berbagai negeri harus dipelihara dan terawat dalam kondisi baik. Jika penduduk tidak melakukannya, maka dia akan menjatuhkan denda kepada mereka. Ketiga kapitan tersebut masih dikenal hingga saat ini dengan nama-nama yang mereka miliki di masa Valentijn. Untuk “wilayah” Tala, kapitannya disebut Makoeresi, untuk “wilayah” Eti, kapitannya menyandang nama Toepasooe, dan “wilayah” Sapalewa, kapitannya disebut Manoemeten atau Manoemitenf. Arti nama dari Makoeresi dan Toepasooe, tidak saya ketahui. Sedangkan Manoemeten/Manoemiten berarti burung hitam atau ayam hitam. Selanjutnya di setiap “wilayah” itu ada 2 orang “pejabat”, yang pertama bergelar saer oee (bahasa Melayu berarti : pohon bandera) yaitu ujung/bagian bawah tiang bendera; yang kedua bergelar saer hoehoei (bahasa Melayu berarti : oedjong bandera) yaitu ujung/bagian atas tiang bendera. Pohon Bandera dari “wilayah” Tala bertempat di Watoei, dari “wilayah” Eti bertempat di Eti, dan dari “wilayah” Sapalewa bertempat di Nakaela. Oedjong/Ujung Bandera dari “wilayah” Tala bertempat di Kairatoe, dari “wilayah” Eti bertempat di Kawa, dan dari “wilayah” Sapalewa, yang telah dianggap “dihancurkan” selama beberapa waktu sejak ekspedisi tahun 1860, bertempat di Boeria. Mereka tampaknya tidak memiliki kekuasaan eksekutif. Namun, jika terjadi hukuman terhadap satu negeri/desa, kapala saniri harus berkonsultasi dengan mereka, dan rapat dewan tidak boleh diadakan tanpa izin mereka. 

Ajer Tala, ca. 1890

Selanjutnya, di setiap negeri/desa paling sedikit ada satu (1) “pejabat” yang bergelar maoeen (mauwen) atau makaseroe. Dia menjaga rumah kakihan dalam kondisi baik, dan juga harus memelihara/merawat baileo. Namun dalam hal memelihara/merawat baileo harus dilakukan dengan koordinasi para Regent, karena pejabat-pejabat Eropa melakukan inspeksi terhadap negeri-negeri. Ia harus memastikan bahwa setidaknya sejumlah anak-anak berusia muda/remaja disiapkan untuk dimasukan ke dalam institusi. “Pendaftaran” hal itu dilakukan oleh dia dan salah satu bawahannya, yaitu masaloo. Jika ia mengetahui bahwa dalam tugasnya ada seseorang yang bertindak bertentangan dengan ketentuan institusi, ia harus memberitahukan kapala saniri, yang kemudian akan memerintahkannya untuk menagih denda atau melaksanakan hukuman. Ia membuat “dewan” di kalangan negeri-negeri ketika masalah institusi harus diselesaikan, dan dia mengepalai dewan itu. Terakhir, ia adalah penjaga barang-barang yang dari waktu ke waktu telah dibayarkan sebagai denda negeri-negeri, menurut keputusan kapala saniri atau “lembaga” tinggi. Masaloo, yang disebutkan di atas, adalah utusan di negeri-negeri. Lebih jauh lagi, kita temukan kakiai dan maätita, yang tugasnya adalah antara lain menjaga ketertiban dan melayani pada pelaksanaan perayaan kakian. Untuk anggota tidak resmi institusi, senioritas juga diperhitungkan. Anggota yang lebih tua duduk lebih “tinggi” daripada anggota yang lebih muda saat makan, ini dalam hal tertentu bermakna level atau tingkatannya di bawah mereka, sehingga mereka wajib memberikan pelayanan pada kesempatan itu maupun pada pertemuan-pertemuan lainnya.  Semua anggota memiliki 1 atau 2 tato [berbentuk] menyilang (atau berbentuk “salib”) di dada mereka sebagai bukti bahwa mereka termasuk dalam institusi. Terkadang, khususnya para Regent, yang tidak mau keluar, memiliki tato itu di lengan. Tato bentuk ini disebut pilon atau pelen dalam bahasa daerah/bahasa tanah (bahasa Melayu berarti : tjap). Sangat sedikit informasi mengenai inisiasi untuk masuk dalam institusi, dan hal sedikit tersebut belum diketahui secara pasti. Para peserta yang akan diikutsertakan dalam institusi dibawa oleh maoeen dan masaloo ke rumah kakihan atau roemah nitoe (bahasa Melayu berarti : rumah setan). Setiap negeri/desa mempunyai rumah seperti itu, yang letaknya paling dekat dengan hutan, dan tidak memiliki akses masuk kecuali pintu. Akses terhadap cahaya ditutup sepenuhnya. Tidak seorang pun boleh mendekati rumah itu, apalagi memasukinya, kecuali para anggota institusi. Beberapa rumah itu lebih dikenal daripada yang lain, misalnya dari Elpapoetih, dimana di negeri itu beberapa maoeen (mauwen) tinggal atau menetap di situ. Itulah sebabnya orang-orang yang akan diinisiasi dibawa ke sana, dan bukan ke rumah-rumah dari negeri asal mereka. Para calon akan didorong masuk melalui lubang berbentuk paruh buaya atau kasuari. Jadi, seperti yang mereka katakan, “setan besar” akan memakan mereka. Duduk di situ dalam kegelapan (karena tidak pernah ada lebih dari 1 orang di dalam rumah pada satu waktu), mereka mendengar berbagai macam suara aneh melalui tabung bicara yang terpasang, dan terkadang mendengar denting parang dan beberapa suara tembakan. Di sini mereka tinggal selama beberapa hari sambil menerima makanan dari maoeen. Namun, pertama-tama maoeen menerima makanan dalam jumlah besar dari keluarga calon inisiasi, dan mengambil sedikit untuk dirinya. Terkadang butuh waktu berbulan-bulan bagi mereka untuk kembali ke desa/negeri. Klaim bahwa mereka tidak terlihat atau tidak ada di suatu desa begitu lama karena harus bertempur, masih belum bisa dibuktikan. Diduga mereka para calon inisiasi, setelah inisiasi, pergi ke beberapa negeri Alifuru dan merayakannya di sana. Ketika mereka kembali ke desa/negeri, mereka tidak bisa makan atau berbicara, dan hanya bisa berjalan dengan lemah. Namun dalam waktu singkat, mereka mampu kembali bugar. Tak dapat disangkal ada “kebohongan” atau “penipuan” di balik hal ini, tetapi hal ini tidak sepenuhnya disengaja. Ini adalah kebenaran psikologis yang telah dicatat beberapa kali, bahwa penipuan tidak selalu merupakan asal-muasal takhayul, tetapi seringkali merupakan akibat dari takhayul. Apa yang telah dikatakan di sini tentang inisiasi ke dalam institusi, saya pelajari secara langsung dan tidak langsung dari para anggota kakihan. Penjelasan Valentijn tidak berbeda dengan point utama ini, tetapi berbeda dalam beberapa detail. Menurutnya, para calon inisiasi tinggal di rumah kakihan selama 3 bulan untuk dididik dalam pelayanan iblis oleh para maoeen. Dia mengatakan bahwa pada saat peresmian rumah tersebut, terdengar teriakan dan ratapan mengerikan dari dalam rumah, dan tombak-tombak berdarah ditusukkan melalui atap rumah. Dia tidak menyebutkan tabung bicara dan suara benturan senjata, atau tentang lubang berbentuk paruh buaya atau kasuari. Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa para calon inisiasi menerima sehelai buluh putih dengan untaian tanda tembaga di atasnya, dan mereka berkeliling desa-desa/negeri-negeri untuk meminta kain (mungkin kain patola) dan gong dari keluarga mereka, untuk dibagikan kepada para maoeen. Tinggal selama 3 bulan di rumah kakihan mungkin tidak ada bedanya dengan tinggal di hutan dan di desa-desa lainnya, seperti yang saya sebutkan di atas. Karena inisiasi biasanya terjadi pada usia-usia ketika para calon masih tinggal bersama orang tua mereka, maka mereka juga hampir tidak dapat memberikan gong dan kain kepada maoeen, karena barang-barang tersebut selalu menjadi milik kepala keluarga, meskipun demi kenyamanan, merupakan milik semua anggota keluarga. Mungkin juga upacara inisiasi tidak sama di semua tempat. Kecil kemungkinan bahwa upacara tersebut berbeda di masa lalu dengan di masa sekarang. Di kalangan masyarakat yang primitif atau setengah primitif, adat-istiadat dan upacara-upacara tidak berubah banyak. Valentijn juga mengatakan bahwa rumah kakihan disebut marel atau toetoewo. Saya belum pernah mendengar nama toetoewo, sedangkan marel berarti posum atau opussum (atau mungkin seperti hewan kuskus atau kusu)g

Mauwen Alifuru, ca. 1892

Untuk menyelesaikan urusan-urusan institusi, diadakan pertemuan-pertemuan, sebagaimana disebutkan di atas, yang dihadiri oleh semua pejabat tinggi dan, sejauh mungkin, semua anggota. Anak-anak muda yang belum menjadi anggota institusi tidak dapat ikut dalam pertemuan, namun melalui kehadiran mereka, diharapkan bahwa mereka juga akan segera bergabung, dan oleh karena itu tidak berusaha untuk tidak terlihat atau disembunyikan oleh para Regent yang terlibat.

Selain ketiga sungai tersebut, tempat lain yang diperuntukkan untuk menyelenggarakan pertemuan, seperti Wailej dan Waisarisa di “wilayah” Tala, dan Waimeten di “wilayah” Sapalewa. Untuk “wilayah” Eti, bertempat di Amarali, wilayah pesisir milik desa/negeri Piroe. Di semua tempat ini terdapat hutan sagu, yang mana hasil pemanfaatannya diambil atau dikelola oleh negeri yang berada di dekatnya. Namun, desa-desa atau negeri-negeri yang termasuk dalam institusi, disebut dusun tiga ajer, dan harus berfungsi untuk menyediakan segala keperluan bagi orang-orang yang berkumpul. Pada pertemuan ini semua perselisihan diselesaikan di yuridiksi tertinggi dan keputusan umum diambil. Semua anggota wajib menjaga kerahasiaan apa yang terjadi di sana. Pemerintah memang mempunyai “utusan” atau komisioner yang hadir dalam rapat-rapat/pertemuan tersebut (saya tidak tahu berapa lama mereka hadir). Namun terdapat perbedaan antara bitjara di darat dan bitjara di laut, dan pada bitjara di laut tidak ada seorang pun yang hadir di luar anggota institusi. Pernyataan bahwa keputusan kedua belah sudah bulat, mungkin diragukan. 

Ajer Sapalewa, ca. 1920an

Ketentuan aneh dalam institusi kakihan adalah : larangan menabur garam, membakar kayu dan membangun rumah seluruhnya atau sebagian. Sulit untuk menemukan alasan pelarangan menabur garam, namun pelarangan pembakaran kapur dan pembangunan rumah, mungkin berasal dari keengganan masyarakat untuk memasok bahan-bahan untuk pembuatan benteng kecil di Seram, dan bahkan kurang berminat untuk bekerjasama dalam proses pembangunannya14. Namun peletakan batu bata untuk pondasi rumah dan separuh dinding diperbolehkan oleh kapala saniri wilayah dengan membayar upeti/denda tertentu. Besarnya upeti ditentukan oleh ukuran rumah, tinggi pondasi dan separuh dinding. Upeti atau denda tersebut terdiri dari piring dan piring-piring kasar tertentu, kain “beraneka” warna, yang disebut kain patola karena mirip warnanya dengan ular patola, gong, dan senjata. Minimal yang dikeluarkan oleh penduduk untuk membangun rumah adalah 300 mangkuk, 30 piring, 30 kain patola, 3 gong dan 3 senjata. Semuanya di sini berlipat 3 (tiga), karena 1/3 dari upeti tersebut dibayarkan kepada kepala masing-masing wilayah. Denda yang dikenakan untuk masalah garam dan pembakaran kapur juga harus dibayarkan kepada 3 kapala saniri. Namun jika sudah dilakukan maka pelaku atau negeri juga harus membayar denda kepada penduduk dimana korban berdiam di situ. Jika suatu negeri membantu negeri lain dalam perang dan kehilangan orang-orang dalam perang tersebut, negeri yang dibantu harus memberikan kompensasi kepada pihak yang membantu atas kerugian tersebut dengan membayar denda kepada negeri tersebut. Jika denda yang dikenakan tidak dibayar, kapala saniri mengeluarkan peringatan melalui kapitan-nya. Kapitan bersama rombongannya, mendatangi negeri dimana denda harus dibayar, dengan nyanyian, atau lebih tepatnya menggumam hia, hia, hoi, hoi. Menurut beberapa orang, para bawahan kapitan membawa sebatang pohon, yang mereka tanam di depan rumah pada malam kedatangan mereka (karena mereka selalu datang pada malam hari). Jika denda tetap ditolak, kapala saniri  memerintahkan pimpinannya untuk ditahan. Perintah itu sebenarnya tidak perlu, asalkan diizinkan, itu sudah lebih dari cukup. Apabila seseorang dikenai denda oleh institusi karena kelalaiannya sendiri, maka teguran tersebut dilaksanakan oleh maoeen dan rombongannya. 

Tuntutan yan diajukan sebuah negeri terhadap negeri lainnya tidak selalu dipenuhi, baik karena tuntutan tersebut belum diajukan ke saniri besar, atau tidak dibenarkan oleh mereka, atau karena kapala saniri lalai, atau lalai dalam menegakkan keputusan, atau tidak dalam posisi untuk melakukannya. Dalam hal ini, negeri yang menuntut, baik dengan atau tanpa pengawasan kapala saniri, cenderung mencari keadilan dengan mendapatkan kepala sebanyak-banyak dari penduduk yang harus membayar upeti, suatu perkiraan jumlah kepala yang tidak berkurang. Itu hanya upaya paksaan atau cara untuk membawa permasalahan tersebut ke saniri. Untuk mencegah gangguan tersebut, dilarang berpindah dari satu “wilayah” ke “wilayah” lain, dan masuk tanpa surat izin dari kapala saniri yang berada di bawah yuridiksinya. Pembuktian ini berupa seutas tali yang diikatkan kapala saniri pada saat mengucapkan mantra di pergelangan tangan orang yang meminta izin. Orang ini wajib menunjukan tanda ini kepada kapala saniri di wilayah lain yang dia tuju, dan yang terakhir sebagai bukti bahwa kapala saniri telah melihat tanda itu, ia mengikat tali yang lain lagi. Takhayul menjadi jaminan seseorang tidak melakukan penipuan. Masyarakat atau penduduk lebih memilih pergi tanpa izin, seperti yang biasa terjadi pada ini, meskipun ada praktik seperti itu. Ketakutan terhadap kapala saniri menghalangi banyak orang untuk melakukan perjalanan dibandingkan dengan pertanda buruk yang ditemui di jalan. Jika sehelai daun kuning jatuh di jalan tepat di depan orang yang melakukan perjalanan, atau jika seekor ular merayap di depannya, dia akan kembali pulang, dan kemudian mengetahui dengan “mawe” (sejenis ramalan) jam atau waktu yang lebih menguntungkan untuk perjalanan dan tujuannya. Jika saya bermaksud menulis tentang takhayul-takhayul Seram, saya dapat membuat daftar beberapa hal di sini dan menjelaskannya lebih terperinci, tetapi sekarang saya hanya membahas tentang kakihan. Pertanyaan tentang kegunaan kakihan akan dibahas selanjutnya. Pertanyaan ini sendiri sangat terbuka, dan bisa jadi jawabannya : Apa yang dulunya bermanfaat, bisa merugikan sekarang dan sebaliknya; apa yang dianggap menguntungkan oleh seseorang, mungkin saja merugikan bagi orang lain. Penolakan terhadap pengaruh Ternate bermanfaat bagi Seram dan pemerintah Eropa. Kini setelah tujuan ini telah lama tercapai, institusi ini menjadi tidak “berguna” lagi dalam hal ini. Kebencian Patasiwa terhadap Islam, menjadikan kakihan berguna dalam hal mencegah terhadap takhayul-takhayul dari Islam itu sendiri. Islam tidak berguna dalam banyak hal, seringkali merugikan pemerintah, dan juga tidak ada manfaatnya bagi kaum pagan jika mereka menjadi Muslim. Toleransi telah terbiasa di kalangan kaum pagan, dan kakihan telah mempromosikan hal ini dengan mempertahankan paganisme. Meskipun pada dasarnya hal ini merupakan ketidakpedulian yang bodoh, hal ini jauh lebih disukai daripada fanatisme. Kelompok kakihan yang beragama Kristen dan Islam tidak saling bermusuhan, selama agama-agama itu tidak bertentangan atau melanggar aturan institusi. Keterikatan pada hal-hal yang lama atau kuno seringkali merupakan fenomena patologis. Kesetian para anggota institusi satu sama lain kurang disukai oleh pemerintah, dan bantuan yang mereka berikan satu sama lain jika terjadi pemberontakan adalah kejahatan dalam pandangan pemerintah Eropa, namun jika dipertimbangkan, semua ini sampai batas tertentu layak diapresiasi. Pengayauan/perburuan kepala/potong kepala tentu saja merupakan sebuah kejahatan besar, namun kontrol terhadap kakihan membuat institusi itu tunduk pada pemerintah, dan oleh karena itu agak menghambat kegiatan pengayauan. Dan yang terakhir, penting bagi pemerintah bahwa kelompok kakihan tidak akan pernah mempunyai tujuan yang sama dengan Patalima. 

Namun, manfaat kecil ini “tertutupi” oleh kerugian yang besar. Dipertahankannya paganisme bukanlah suatu berkah bagi masyarakat, tidak ada keuntungan bagi pemerintah. Kekristenan tidak dapat berkembang dalam suasana takhayul seperti itu. Selama umat Islam mengikuti perayaan kakihan, selama umat Kristen mengunjungi roemah setan, kedua kelompok dibiarkan saja, namun jika mereka berperilaku sesuai ajaran agama mereka, maka hal itu akan bertentangan dengan institusi. Mereka boleh melakukan apa yang diperintahkan, namun mereka tidak boleh mengabaikan apa yang dilarang. Pengayauan, meskipun teroganisir sampai batas tertentu, tetap merupakan kejahatan besar karena merupakan pembunuhan. Tidak ada keraguan bahwa pemberontakan dan konspirasi, kesetiaan yang fanatik terhadap hal-hal kuno, sikap tertutup terhadap orang asing, pengaruh peradaban, merupakan kerugian besar bagi rakyat dan juga bagi pemerintah Eropa. Masyarakat yang mengakui kewenangan atau kekuasaan pemerintah, dengan demikian berada di bawah 2 “pemerintah”. Tidak ada Regent yang berani membangun/mendirikan rumah tanpa membayar upeti/denda yang telah ditetapkan, dan karena upeti/denda yang besar, maka ia lebih memilih untuk puas dengan rumah yang tidak terbuat dari batu bata. Penduduk pada umumnya akan terlalu malas atau terlalu acuh tak acuh untuk membangun rumah dari batu. Mereka tidak perlu menyiapkan garam, karena mereka bisa membelinya, dan jika tidak bisa membelinya, lebih baik merebus air laut daripada harus bekerja keras seperti membuat garam. Mereka tidak berpikir untuk membakar kapur, dan jika hal ini diperintahkan oleh pemerintah, mereka dapat mengindari beban tersebut15.

Kaum maoeen atau mauwen punya pengaruh besar di negeri-negeri, sehingga para regent terhambat dalam pemerintahannya. Ini seperti melayani 2 tuan, yang biasanya tidak mungkin terjadi tanpa bersikap bermuka dua. Untuk mengurangi dampak buruk dari hal ini, beberapa regent bahkan menjadi maoeen, yang lebih bersifat “politis” daripa Kristen. Namun tidak menyenangkan juga bagi para regent yang terhormat, kadang-kadang diperlakukan sebagai bawahan oleh maoeen dan kelompok kakihan lainnya. Para kapala saniri, meskipun pemerintah mempunyai andil besar dalam penunjukan mereka, tidak melayani pemerintah dengan lebih setia dan lebih bersemangat. Ketidaktulusan, gangguan, penyiksaan bukanlah hal asing bagi mereka, dan tindakan mereka bisa saja jarang dapat diawasi. Mereka sebagian besar tidak berguna bagi pemerintah. Pertemuan Saniri yang diinvestasikan mereka lebih merugikan masyarakat negeri di sekitar tempat mereka berada dibandingkan menguntungkan pemerintah. Setelah saniri berakhir, hal pertama yang dirasakan mungkin apa yang telah dirasakan orang Mesir setelah wabah/tulah belalang. Pesta makan dan minum yang dirayakan bersama oleh kaum kakihan mempromosikan sikap tidak bertarak (atau hal kehilangan penguasaan menguasai diri) dan mabuk-mabukan, dan pertemuan antar laki-laki dan perempuan di waktu malam sangat mendorong pesta pora. Terakhir, kakihan mengikat penduduk dengan tempat tinggalnya. Dimana baileo berada, di situlah ia harus tinggal. Hanya jika baileo dibakatr/terbakar saat peperangan, barulah masyarakat/penduduk diperbolehkan untuk pindah, itupun mereka enggan melakukannya. Itulah sebabnya masyarakat pegunungan terpaksa menetap di tepi pantai/pesisir, yang tidak mereka sukai karena alasan lain yang kurang penting bagi mereka. Mereka juga membangun rumah di tepi pantai, biasanya mereka lebih suka tinggal di pegunungan. Mereka menyebut negeri-negeri pesisir seperti itu sebagai selomeit (secara harfiah berarti pemandangan pantai). Ini adalah semacam kawasan pedesaan bagi mereka. Mereka sesekali datang ke sana untuk melihat-lihat, bila ada pedagang atau bila Assisten Resident datang meninjau. Namun tempat tinggal mereka yang sebenarnya adalah di pegunungan, dan di situlah harta utama mereka berada, dan jika ada tanda sekecil apapun bahwa pemerintah ingin melakukan sesuatu yang mereka takuti atau tidak inginkan, mereka segera kembali ke lingkungan/negeri lama mereka, berperalatan lengkap dan siap menghadapi apa yang mereka takuti selanjutnya. 

wanita alifuru, ca. 1890

Dengan semua itu, pemerintah tidak perlu takut terhadap kakihan. Sepertinya mereka sedang menjalani hari-hari terbaiknya. Meski masih bernilai tinggi atau dihormati sebagai pusaka leluhur, dan patut dipertanyakan untuk mencegahnya secara langsung, namun sudah ketinggalan zaman, kekuatannya terbatas, dan peraturannya tidak selalu dipatuhi. Tidak selalu ada rasa hormat, yang diharapkan terhadap otoritas mereka. Ketika kapitan Tala, dalam perjalanannya pada tahun 1863h, menjatuhkan denda kepada maoeen / mauwen Latoe karena kondisi baileo yang buruk, regent mengikutinyai ke negeri terdekat dan membayar denda berupa “penutup telinga”. Ada yang mengatakan bahwa kakihan hanya sebuah tempat untuk mengadakan pesta pora dan minum-minum di hutan, dan oleh karena itu seluruh urusan akan dirahasiakan sehingga perempuan dan anak-anak tidak akan mengetahuinya. Penggambaran ini tidak diragukan lagi adalah salah. Laki-laki dan perempuan tidak perlu bercanda di sini tanpa mengenal satu sama lain. Tidak ada bahaya bahwa salah satu dari mereka akan menebusnya. Selain itu, baik perempuan maupun laki-laki berpartsipasi dalam pertemuan malam. Namun memang benar bahwa makanan dan minuman menempati tempat penting di antara lembaga-lembaga kakihan. Dan hal inilah merupakan bukti lain dari kemundurannya karena selain menyediakan makanan, tidak banyak lagi yang bisa dilakukan kakian/kakihan. Keinginan untuk bergabung ke dalam institusi itu masih cukup besar. Dan desakan anggota untuk mendorong orang lain melakukan hal tersebut, dan ketidakpuasan ketika orang tidak merespon dorongan tersebut, masih merupakan wujud kehidupan. Kakihan bisa terus eksis untuk waktu yang lama. Tidak disarankan untuk membubarkannya secara paksa. Kekristenan dan peradabanlah yang harus “melenyapkannya”. Hal ini sudah mulai menjadi konyol di mata sebagian orang. Semoga hal itu ditinggalkan demi alasan yang lebih baik !. Waktunya tidak lama lagi !

 

Kamarian , Augustus 1864.

 

==== selesai ====

 

Catatan Kaki

1.         Kisah ini diceritakan dengan sedikit dimodifikasi oleh orang lain. Saya “mengeditnya” saat saya mendengarnya

2.        Jika batu penyembahan (batoe bakar atau batoe astana) berada di sisi baileo, yang menghadap atau “berdekatan” ke arah laut, maka negeri tersebut adalah Oelisiwa; jika batu tersebut ditempatkan berada di sisi baileo yang menghadap atau lebih “dekat” ke arah darat/gunung/hutan (yang salah satu sisinya selalu mengarah ke arah laut), maka negeri tersebut adalah Oelilima; jika berada di tengah-tengah tepat di depan baileo, maka negeri itu adalah Oelisiwa dan juga Oelilima

3.        Selain banyak kita jumpai di tulisan Valentijn, nama-nama keluarga seperti Wakanno (Banda), Tarinaten (Ternate), nama-nama yang diakhiri kata mahoe (Jawa), Manoehoetoe (bergerak dan terdampar), serta nama-nama negeri, seperti Hoetoemoeri (tiba belakangan/terakhir), yang bermakna berasal dari luar atau datang dari tempat lain

4.        Samaraoe dan Roebohongi, yang berturut-turut menjadi perwakilan Ternate, berjasa besar dalam memperluas wilayah kekuasaan kesultanan Ternate di wilayah tersebut

5.        Raja Sahoelaoe terakhir, menggunakan gelar orangkaja van Poelej.

6.       Raja-raja Sahulau dulunya mempunyai kekuasaan yang cukup besar di Seram, dan kadang-kadang membantu VOC dengan ratusan pasukan untuk menghukum penduduk Ambon dan Oeliasser. Sampai beberapa waktu lalu, masyarakat Seram Barat mempunyai anggapan yang tinggi atau menghormati terhadap Kolano, sehingga menurut mereka pasti ada badai petir atau gempa bumi, jika ia berkenan tiba di pantai; dan tembakan penghormatan yang biasa ditembakan oleh pemerintah Belanda pada saat kedatangannya menjadi bukti bahwa ia belum sepenuhnya kehilangan kehormatan itu

7.        Derivasi kata patan, yang merupakan korupsi dari bahasa Arab-Melayu, yang bermakna badan, nampaknya sangat tidak mungkin. Kami lebih memikirkan kata pata, yang muncul dalam beberapa dialek Seram. Pengetahuan lebih lanjut tentang bahasa dan legenda penduduknya seharusnya dapat memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. Lihat Med VIII, hal 326

8.        Di Oeliasser, sebagian besar negeri-negeri Patalima telah memeluk agama Kristen, namun negeri-negeri Islam masih tetap bertahan

9.       Pada abad ke-15, Samarai (Samarau) telah mengenakan upeti kepada masyarakat Ambon, dan pada tahun 1621 Kimelaha Ternate, yang bernama Daya menuntutnya dari masyarakat Hitoe

10.     Pada tahun 1580, Baboe (Baabullah), Sultan Ternate, membebaskan penduduk Hitoe dari kewajiban membayar upeti, dan ketika upeti itu diminta lagi pada tahun 1637 dan penduduk Hitoe memprotesnya, [dengan alasan] Ternate tidak diberi hak untuk melakukan hal tersebut dengan alasan di atas [maksudnya adalah karena Sultan Baabulah telah membebaskan kewajiban itu]. Pada tahun 1644, puluhan ribu rijksdaalder diperas dari penduduk Seram

11.       Pada akhir tahun 1637, 5 negeri Seram berpura-pura bahwa mereka dilarang untuk berpartisipasi dalam pelayaran Hongi karena ancaman dari perwakilan Ternate di Loehoe (Luhu)

12.      Penduduk Seram hanya mengenal agama Kristen dan Islam sebatas nama dan beberapa tandanya. Sebenarnya mereka adalah kaum pagan, yang politeismenya bertumpu pada landasan panteistik. Nama “Hindu” untuk merujuk pada Pagan juga menunjukkan hal ini

13.      Valentijn tidak menyebut kapala saniri. Dalam tulisannya, pemimpin wilayah adalah kapitan, namun hal ini bukan alasan untuk tetap mempertahankan jabatan pertama untuk institusi berikutnya

14.      Perlu dicatat bahwa, jika saya mendapat informasi yang benar, desa Alifuru, Boeria, setelah ekspedisi tahun 1860, menyatakan bersedia tinggal di pesisir, asalkan tidak ada benteng yang dibangun di sana

15.      Ketika negeri-negeri pesisir Seram di bawah kekuasaan karesidenan Haruku (atau disebut Seram Haruku) harus menyuplai kapur untuk pembangunan rumah penginjil di Kamarian, mereka membelinya dari wilayah Oeliasser. Tentu saja mereka bebas melakukan hal ini, namun meskipun mereka tidak perlu membayar lebih dari harga yang ditetapkan pemerintah, akan lebih menguntungkan jika mereka melakukan pekerjaan itu sendiri.

 

 

Catatan Tambahan

a.        Arris van Ekris, lahir pada 23 September 1831 di Dordrecht, Belanda. Ia tiba di Ambon pada 21 Desember 1856. Bertugas di Alang (Ambon) pada periode 1856 – 1857, di Saparua pada 1857 – 1858, di Kamarian pada 1858 – 1865 dan di Haruku pada 1865 – 1868. Ia meninggal di Ambon pada tanggal 14 Februari 1868. Arris van Ekris menikah dengan Hendrika Engel di Saparua pada tanggal 22 Juli 1857.

b.       Arris van Ekris, Lets over het Ceramsche Kakianverbond, dimuat pada  Tijdschriji voor Indische Taal-,Land- en Volkenkunde, volume 16, tahun 1867, halaman 290 - 315

c.        Tulisan-tulisan yang dimaksud, seperti :

§  W.J.M van Schmid, Het Kakihansch verbond op het eiland Ceram. Tijdschrijì voor Nederlandsch-Indië 5-2:25-38, tahun 1843

§  Arris van Ekris, Het Ceramsche Kakianverbond, Mededeelingen van wege het Zendelinggenootschap, negende jaargang (volume ix), Rotterdam,M.Wyt & zonen, 1865, halaman 205 – 226.

§  Arris van Ekris, Lets over het Ceramsche Kakianverbond, Tijdschriji voor Indische Taal-,Land- en Volkenkunde, 16, 1867, halaman 290 - 315

§  O.D. Tauern, Patasiwa und Patalima : Vom Molukkeneilanú Seran und seinen Bewohnern Leipzig: Voigtländer.,tahun  1918

§  E. Stresemann, Religiose Gebrauche auf Seran, Tijdschrift voor Indische Taal-,Landen Volkenkunde 62:305-424, tahun 1923

§  A.B. Deacon, The Kakihan Society of Ceram and New Guinea Initiation Cults, Folklore, volume 36, nomor 4, hal 332 – 361, tahun 1925

§  J.Ph. Duyvendak, Het Kakean-genootschap van Seran, Almelo, Hilarius, tahun 1926

§  G. De Vries, Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran; Zeden, gewoonten en mythologie van een oervolk, Zutphen: Thieme, 1927

§  A.E. Jansens, Die drei Stromme; Zuge aus dem geistigen und religiösen Leben der Wemale, einem Primitiv-Volk in den Molukken. Leipzig: J.W. GoetheUniversitat, tahun 1948

§  Gerrit. J. Knaap, The Saniri Tiga Air (Seram); An account of its discovery and interpretation between about 1675 and 1950, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149 (1993), no: 2, Leiden, 250-273

§  Christine Boulan-Smit, Traditional Territorial Categories and Constituent Institutions in West Seram: The Nili Ela of ’WELE Telu Batai and the Alune Hena of Ma’saman Uwei, (dimuat di Thomas Reuter (editor), Sharing the Earth, Dividing the Land : Land and Territory in the Austronesian World, ANU Press, 2006, hal 157 - 177

d.       Letak batu penyembahan yang merujuk pada Patasiwa dan Patalima ini, menurut J.D. Poetiraij adalah untuk Patasiwa letaknya “lebih dekat” ke arah darat/pegunungan, sedangkan untuk Patalima letaknya “lebih dekat” ke arah laut [bandingkan dengan catatan kaki nomor 2 di atas menurut Arris van Ekris]. Van Ekris sendiri seperti “tidak konsisten” dengan penjelasan ini, pada berita atau surat yang ia sampaikan pada 14 Mei 1861, ia menyebut bahwa batu penyembahan yang terletak di arah darat adalah negeri-negeri Oelisiwa, sedangkan yang terletak ke arah laut adalah negeri-negeri Oelilima

§  Lihat Brief van den Zendeling Arris van Ekris, Roemakai 14 Mei 1861 (dimuat pada Mededeelingen van wege het Zendelinggenootschap, vijfde jaargang (volume v), Rotterdam,M.Wyt & zonen, 1861,Hal 313 – 329, khusus halaman 319

§  J.D. Poetiraij, De Bewoners van Ambon en de Oeliassers (1922) (dimuat dalam Adatrechtbundels, volume xxiv, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1925, hal 332 – 352, khusus hal 334

§  Andrew Huwae, Baileu : Kajian tentang bentuk dan manifestasi fisik dari masyarakat adat di kecamatan pulau Saparua, Kapata Arkeologi, volume 8, nomor 1, 2012, hal 35 – 42

e.        Hoek dan Kabeljauw adalah 2 masyarakat di abad ke-14 dan ke-15 di Belanda yang berselisih paham

f.         Kapitan Makoeresi tinggal/bertempat di Lisiali, Kapitan Toepasaooe di Sole dan Kapitan Manoemeten di Hatuale

§  Gerrit. J. Knaap, The Saniri Tiga Air (Seram); An account of its discovery and interpretation between about 1675 and 1950, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149 (1993), no: 2, Leiden, 250-273, khusus halaman 260

g.        Posum atau Opossum adalah hewan berkantung (marsupial) Amerika yang memiliki ekor telanjang dan kaki belakang dengan ibu jari berlawanan

h.       Nama Kapitan dari “wilayah” Tala yang bergelar Makoeresi pada tahun 1863 tidak diketahui, namun pada tahun 1888 – 1890 bernama Matinahorouw

§  Proces-verbaal opgesteld door resident van Ambon (Heijting) met betrekking tot conferentie gehouden inzake verzoening met Honitétu, Hatusua, 8 januari 1890. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.02, mr. 164/1890.

     i.    Regent van Latoe pada tahun 1863, bernama Pohon Patty yang memerintah kira-kira tahun 1834 – 1860an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar