Rabu, 10 Januari 2024

“Bermain” layang-layang dan menangkap ikan dalam [lukisan] Panorama Ternate tahun 1600


(bag 1)

[Stefan Dietrich]

 

  1. Pengantar

Armada Belanda yang dipimpin oleh Wybrant van Warwijck tiba di Ternate pada Mei 1599, dan tinggal selama 3 bulan. Selama waktu itulah, seorang ABK armada itu, melihat, mengamati dan kemudian “merekam” apa yang ia lihat di perairan Ternate. Kebiasaan “unik” dan mungkin “aneh” yang ia lihat adalah tradisi orang pribumi Maluku pada waktu dalam soal penangkapan ikan. Salah satu yang ia amati dan tulis dan kemudian direpresentasikan lewat lukisan adalah memancing/menangkap ikan menggunakan “layang-layang”. Properti layang-layang dalam konteks ini adalah bukan layang-layang yang kita kenal di masa sekarang, namun “layang-layang” yang terbuat dari daun Pakis Ek, yang banyak tumbuh di Ambon dan Seram menurut tulisan Rumphius pada paruh kedua abad ke-17. 

Stefan Dietrich, seorang sarjana etnografi dari Universitas Munich, Jerman, mengkaji soal ini dalam tulisannya yang berjudul Flying a kite and catching fish in the Ternate panorama of 1600, yang dipublikasi di The Journal of the Hakluyt Society, edisi Agustus 2012, halaman 1 – 30. Ia mengkaji kebiasaan penangkapan ikan orang Maluku berdasarkan adegan atau fragmen yang terlihat dalam lukisan Panorama Ternate, yang diterbitkan tahun 1600. Tulisan sepanjang 30 halaman ini terdiri dari 96 catatan kaki, 18 lukisan/gambar. Kami mencoba menerjemahkan tulisan ini dengan menambahkan sedikit catatan tambahan yang diperlukan serta sedikit gambar/lukisan, dan membaginya menjadi 2 bagian. Semoga kajian dari sang penulis ini bisa menambah wawasan kesejarahan kita tentang masa lalu kita sendiri.

  1. Terjemahan

Catatan kunjungan pertama Belanda ke Maluku pada musim panas tahun 1599, tercakup dalam [lukisan] panorama Ternate (gbr 1). Ini adalah gambar pertama yang memberikan kesan visual kepada publik Eropa tentang sumber cengkih yang terkenal, di luar laporan verbal. Lukisan panorama tersebut menunjukan ciri-ciri topografi yang khas, seperti gunung  yang “membentuk” pulau Ternate, kota di bawahnya, dan terumbu karang di sepanjang pantai. Ini menunjukan tempat-tempat sejarah yang menarik, yang berkaitan dengan pelayaran orang Eropa yang telah ada sebelumnya, seperti bangunan yang berasal dari kedatangan orang Portugis (L,M), dan rumah tempat meriam milik Francis Drake yang disimpan (H). Dan, tentu saja, mengacu pada kehadiran langsung ekspedisi Belanda : 2 kapal, yaitu Amsterdam dan Utrecht (A), dan sebuah kapal Ternate yang berlayar menuju kedua kapal itu untuk melakukan penyelidikan (B). Ada juga referensi untuk bagian militer, seperti kapal perang (C), dan detail seperti kepala musuh yang terbunuh digantung di tiang di dalam air (D). 

Sangat umum bahwa penggambaran kota-kota pesisir dan jalan raya seperti itu, tersebar “diatas” perairan, menunjukan sejumlah “keahlian penduduk pribumi”. Seringkali ini memenuhi fungsi latar belakang untuk aspek lain dan lebih signifikan, memberikan kesan umum tentang kegiatan sehari-hari warga kota atau pedagang kecil daripada menyampaikan informasi spesifik (lihat gbr 13). Namun, tidak demikian dengan [lukisan] panorama Ternate (selain 2 perahu layar kecil di laguna yang merupakan elemen dekoratif). Di sini kapal/kapal penangkap ikan (T) benar-benar “bercerita” sendiri dan mengilustrasikan informasi yang dijelaskan lebih lanjut dalam teks terlampir. Terlebih lagi, mereka tidak memiliki hubungan intrinsik dengan peristiwa sejarah atau hal-hal penting seperti perdagangan, diplomasi, adat-istiadat yang relevan terhadap interaksi dengan otoritas Ternate, dan lain-lain, kecuali bahwa mereka diamati pada saat itu dan untuk beberapa alasan membangkitkan rasa ingin tahu cukup untuk telah disertakan dalam teks dan ilustrasi. Dengan demikian, mereka mewakili bagian penting dari pengamatan dan catatan etnografis.

Di antara perahu-perahu tersebut ada satu yang menggambarkan teknik penangkapan ikan yang khusus dilakukan di perairan Indonesia (dan Maluku khususnya), di kepulauan Caroline dan sebagian Pasifik Barat Daya, yaitu memancing menggunakan layang-layang. Pada bagian akhir abad ke-19, teknik penangkapan ikan ini memasuki kalangan pengamat asal barat di wilayah ini. Meskipun deskripsinya langka dan sporadis, mereka akhirnya menambahkan memancing menggunakan layang-layang ke dalam studi sistematis dan komparatif tentang alat dan metode penangkapan ikan1. Latar belakang umum dokumentasi ini, serta fakta bahwa ini adalah catatan paling awal tentang memancing menggunakan layang-layang dalam literatur Eropa, dan yang paling menyeluruh khususnya yang berkaitan dengan Ternate, menjamin untuk melihat lebih dekat sumbernya dan apa yang dikomunikasikannya. Dengan demikian, 2 bagian pertama dari tulisan ini membahas sumber-sumber pelayaran pertama Maluku, dan mengevaluasi catatan-catatan etnografis tentang memancing menggunakan layang-layang dalam konteks komparatif dan kronologis yang lebih luas.

Orang Eropa mempelajari bermain layang-layang dari Asia, dan pesawat layang-layang menjadi salah satu “prekursor aerodinamika dan penerbangan”2. Dalam cara apapun kita memandang/memahami layang-layang dewasa ini, sekitar tahun 1600 layang-layang relatif baru dan belum menjadi pemandangan yang familiar. Bahkan, [lukisan] panorama ternate tampaknya tidak hanya menjadi sumber paling awal tentang memancing menggunakan layang-layang, tetapi juga merupakan penggambaran pertama dari adegan terbangnya pesawat layang-layang dalam literatur Eropa. Bagian ketiga dari tulisan ini akan berpindah, jika hanya sepintas, ke konteks sejarah ini, termasuk pertanyaan mengapa aktivitas bermain layang-layang tidak menimbulkan komentar khusus dari pengamat tahun 1599. Saat kisah pelayaran Belanda “memasuki” kompilasi pelayaran dan penemuan, [lukisan] panorama Ternate dan teks penjelasannya akhirnya menjadi bagian dari catatan sejarah dan akumulasi pengetahuan di Maluku. Bagian keempat dari tulisan ini akan melihat secara singkat contoh-contoh terpilih yang memberikan gambaran tentang bagaimana pengetahuan tertentu tentang Ternate “diprioritaskan”. Bagian terakhir berlanjut dengan cara ini, dengan melihat bagimana sumber-sumber kita memasuki keilmuan modern, dan pada rantai kesalahan kebetulan yang menyertainya.

 

Pelayaran Belanda pertama ke Maluku

Armada 8 kapal Belanda pertama mencapai Maluku, yang disebut “Pelayaran Kedua” ke Hindia Timur sebelum pembentukan VOC (tahun 1602). Armada ini, dibawah komando Jacob van Neck dan Wybrant Warwijck, berangkat pada Mei 1598, mencapai Banten (Jawa Barat) menjelang akhir tahun itu. Pada Januari 1599, 4 kapal di bawah komando Jacob van Neck memulai perjalanan pulang mereka, tiba di tanah air (Belanda) pada bulan Juli (1599). 4 kapal yang tersisa di bawah pimpinan Wybrant Warwijck melanjutkan perjalanan ke timur, tiba di Ambon (Hitu) pada awal Maret. Beberapa hari kemudian, 2 kapal dibawah pimpinan Jacob van Heemskerk melanjutkan ke Banda dimana mereka tinggal di sana sampai awal Juli 1599, dan akhirnya kembali tiba di Belanda pada Mei 1600. 2 kapal lainnya di bawah pimpinan Wybrant Warwijck tetap di Ambon selama sekitar 1 bulan dan kemudian melanjutkan ke Ternate dimana mereka tinggal selama 3 bulan (23 Mei – 19 Agustus 1599)a. Mereka kembali ke Belanda pada akhir Agustus 16003. Selama 3 bulan itu, seorang ABK kapal mengamati dan mencatat metode penangkapan ikan secara lokal, dan akhirnya informasi ini masuk ke dalam catatan pelayaran yang dipublikasikan. Pengarang, atau penulis dari catatan itu, tetap tidak diketahui identitasnya4

Tentu saja, minat pada pelayaran ini cukup besar pada saat itu. Secara komersial pelayaran itu sukses, dan itu adalah “perampokan” pertama ke sumber pala dan cengkeh yang terkenal itu – Banda, Ternate, dan Ambon. Berita tentang pelayaran itu segera dicetak, tampaknya pada awal tahun 1599 dalam kisah perjalanan van Neck ke Banten dan kembali5, sementara kembalinya van Heemskerk dan Warwijck dari Banda dan Ternate memungkinkan kisah lengkap “Pelayaran Kedua” diketahui6. Kisah lengkap, termasuk materi-materi tentang Maluku, diterbitkan pada tahun 1600, diikuti oleh edisi kedua dan pengembangannya pada tahun 1601. Terjemahannya ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman dan, melalui terjemahan Jerman, yaitu Latin,  muncul pada tahun yang sama. Edisi bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya selanjutnya mengikuti di sepanjang abad ke-17 dan ke-187.  

Beberapa komentar mungkin untuk menunjukkan bagaimana materi yang relevan di sini – informasi visual dan tekstual tentang metode penangkapan ikan – muncul di cetakan awal8. Berkenaan dengan materi khusus ini, semua edisi awal adalah sumber yang hampir sama validnya. Ada beberapa perbedaan, tetapi ini lebih berkaitan dengan format daripada substansi. Artinya, ketika materi-materi tentang Maluku tiba di Belanda, mereka dicetak dan tetap seperti itu secara substansial tidak berubah, sementara penerbit mengatur ulang posisi materi-materi itu ke tingkat yang lebih besar atau lebih kecil.

Edisi pertama berbahasa Belanda tahun 1600 tidak tersedia bagi saya untuk diperiksa9. Namun, karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan diterbitkan pada tahun 1601 oleh de Bry bersaudara dalam koleksi pelayaran Hindia Timur mereka10. Edisi ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diterbitkan pada tahun 160111. Ada terjemahan bahasa Jerman lain yang didasarkan, atau terutama didasarkan, pada edisi pertama berbahasa Belanda tahun 1600, yaitu yang diterbitkan dalam koleksi yang diedit oleh Levinus Hulsius pada tahun 160212. Edisi kedua bahasa Belanda dan pengembangannya tahun 1601, sekarang dapat diakses dengan mudah melalui edisi baru yang diterbitkan oleh Keuning pada tahun 194213. Dari edisi kedua ini, diperoleh 3 edisi lagi : edisi bahasa Prancis (tahun 1601, diterbitkan ulang tahun 1604)14, lainnya dalam bahasa Inggris (tahun 1601)15, dan satu dalam bahasa Jerman (tahun 1601)16.

Berkenaan dengan informasi visual, pelat-pelat/lempeng dikelola secara berbeda tetapi tidak menyimpang dari apa yang mereka wakili. Dalam edisi Belanda tahun 1600, dan juga edisi tahun 1601, bersama dengan terjemahan Prancis dan Jerman yang diturunkan dari terjemahan terakhir, [lukisan] panorama Ternate adalah pelat/lempeng nomor 15 (gbr 1). Pelat-pelat/lempeng diselingi di tempat yang tepat dalam teks “berjalan”17. Dipisahkan secara tipografis, keterangan menyertai pelat/lempeng, huruf kapital merujuk silangan keterangan-keterangan ke elemen ilustrasi (A sampai V dalam kasus lukisan panorama Ternate). Dalam edisi De Bry (tahun 1601) semua lempeng, secara khas untuk koleksi pelayaran milik De Bry18, dirangkai menjadi 1 blok, bersama dengan keterangan, mengikuti teks utama, lukisan panorama Ternate muncul sebagai lempeng nomor 13. Perbedaan penomoran lempeng menunjukkan bahwa De Bry telah memodifikasi ilustrasi sampai tingkat tertentu, misalnya menggabungkan motif dari lempeng asli yang berbeda menjadi satu19, tetapi untuk lempeng lukisan panorama Ternate tidak demikian. Jika ada, De Bry lebih teliti daripada pengukir untuk edisi Belanda tahun 1601 yang lupa menambahkan referensi silang huruf V untuk ilustrasi mereka bahkan angka-angka dalam keterangan (lihat gbr 1).

Edisi Hulsius (tahun 1605, nomor 12) adalah kasus khusus sama sekali. Pelat-pelat/lempengannya tidak diberi nomor, [lukisan] panorama Ternate muncul menghadap halaman 101 (gbr 2), dan Hulsius mengacaukan sepenuhnya, menggabungkan 2 lempeng ditambah motif dari yang ketiga. Panorama, seperti itu, pelat/lempeng asli bernomor 15 (lempeng no 13 di De Bry) tetap menjadi dasar, tetapi lebih dalam, atau lebih tetapnya ke bagian laguna, Hulsius “menekan” lempeng asli nomor 14 (lempeng nomor 14 di De Bry) yang menunjukkan kedatangan kapal-kapal Belanda di Ternate dan perayaan mereka. Hasilnya adalah bahwa 2 kapal Belanda diwakili 2 kali, satu pasangan dipertahankan dari lempeng nomor 15 dan yang lainnya dari lempeng nomor 1420. Selain itu, dari lempeng asli nomor 17 (pelat nomor 16 di De Bry; lihat gbr 16, bagian bawah), sebuah galai asal Ternate ditempatkan ke dalam panorama sehingga tidak ada ruang yang tersisa untuk semua perahu nelayan, hanya 1 perahu yang tersisa di tempatnya. Itu muncul kembali di halaman judul (gbr 3) dimana 2 perahu lagi diperkenalkan, sementara 3 perahu asli menghilang sama sekali. Kebetulan, dengan cara ini, penggambaran memancing menggunakan layang-layang kini mendapat posisi menonjol. Namun, terlepas dari perombakan ini, dan meskipun perahu penangkap ikan tidak dikelola dengan hati-hati, inti dari informasi visual masih tetap ada.

Ketika membandingkan keterangan pada lukisan panorama Ternate, ada perbedaan karakteristik dalam format antara edisi Belanda tahun 1601 (dan yang berasal darinya) dan edisi De Bry. Yang pertama memiliki 2 jenis kerangan : “pendek” dan “panjang”21. Namun perbedaan ini menimbulkan harapan yang salah. Dari 20 keterangan yang ditandai dengan huruf A sampai huruf V, keterangan pendek dan panjang adalah identik atau hampir identik dalam 12 kasus23, dan kita tidak dapat menghindari kesan bahwa dalam kasus lain ketengaran pendek sengaja “dipendekkan” untuk menghindari redundansi/kelebihan total. Edisi De Bry hanya memiliki 1 jenis teks, dan dari 16 ini hampir identik (memungkinkan untuk beberapa variasi gaya) dengan “teks panjang” dari kelompok edisi tahun 1601 yang disebutkan di atas23. Sebenarnya, hanya berkaitan dengan hingga huruf T, metode-metode memancing, bahwa perbedaan itu masuk akal, teks pendek benar-benar pendek (4 kata), dan teks panjang benar-benar diperpanjang (224 kata)24 menjadi yang terpanjang dari semuanya. Edisi De Bry hanya memiliki keterangan singkat tetapi menambahkan bahwa penjelasan “lebih jelas” dapat ditemukan di teks utama (“davon in der History klärlich zu lesen”). Di sana, diantara materi-materi deskriptif di Ternate, bagian yang relevan secara jelas dan membantu ditandai dengan sub judul marginal yang mengulangi “judul singkat” di lempeng25. Namun, diluar variasi editorial ini tidak ada perbedaan mendasar dalam informasi tentang metode penangkapan ikan yang disampaikan teks kepada pembaca.

Hal ini juga benar, yang memungkinkan adanya kelonggaran, dalam edisi Hulsius (tahun 1605, nomor 12). Sebagai konsekuensi dari perubahan ilustrasi, Hulsius juga mengubah huruf referensi (cara memancing sekarang menjadi huruf R). Karena ia tidak menyertakan keterangan, daftar huruf dengan penjelasan (“teks singkat”) disertakan dalam teks utama (hal 94-95). Namun, dalam teks yang berisi materi-materi deskriptif tentang Ternate juga muncul sub pos marginal terkait dengan metode penangkapan ikan (“wie sie fisch fangen”) dan penjelasan lengkapnya (hal 97-98). Referensi ke huruf R ini, ilustrasi disertakan yang tidak akan membawa pembaca terlalu jauh karena dalam ilustrasi, ia hanya akan menemukan 1 perahu tersisa, yang meninggalkan sebagian besar penjelasannya tanpa referensi visual sebagai hubungan intrinsik antara halaman judul dan lukisan panorama Ternate yang telah buram. Meski begitu, ketika semuanya disatukan, sebagian besar substansinya masih ada.

 

Memancing menggunakan layang-layang

Perlengkapan memancing menggunakan layang-layang, melibatkan layang-layang dan tali, panjang pertama berfungsi sebagai tali layang-layang dan yang kedua sebagai gabungan ekor dan tali pancing. Pada ujung tali pancing terpasang umpan, biasanya, menurut di beberapa tempat, terdiri dari jerat yang diberi umpan atau segumpal jaring laba-laba (lihat gbr 4,11,14,17). Penangkapan ikan dilakukan dari atas perahu, melibatkan 1 atau 2 orang untuk mengayuh, menerbangkan layang-layang dan menarik tali pancing ketika ikan ditangkap. Metode ini mungkin tampak tidak biasa tetapi merupakan salah satu yang secara tradisional ditemukan di kepulauan Indonesia, Pasifik Barat Daya dan Mikronesia26. Sebagai kaidah, metode ini didokumentasikan, dan tampaknya memang khusus untuk lokalitas tertentu, tidak dipraktikkan di sekitar wilayah mereka dan tidak menjadi metode umum – seperti memancing dengan tombak atau menggunakan jaring – yang tersebar luas di seluruh wilayah27. Ini juga merupakan metode yang agak khusus yang menargetkan 1 jenis ikan tertentu, yaitu anggota tertentu dari keluarga ikan jarum (Belonidae spp). 

Mengingat bahwa memancing menggunakan layang-layang bukanlah metode yang umum ditemui; yang dalam istilah ekonomi itu adalah arti penting periferal (lebih untuk kebutuhan subsisten daripada untuk produksi komoditas yang dapat dipasarkan; bahwa itu tidak cukup jelas28; dan seringkali terbatas pada musim tertentu, dokumentasinya sangat bergantung pada orang yang tepat berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Dibutuhkan seseorang untuk melihatnya, untuk mengembangkan rasa ingin tahu apa yang aktif (mengapa seseorang menerbang layang-layang di laut?), untuk menghargai apa yang dilihat daripada mengabaikannya sebagai permainan anak-anak, dan untuk mengamati dan menggambarkannya untuk dipublikasikan. Dengan demikian, catatan etnografi tidak merata dan terputus-putus, dimulai pada abad ke-19 dengan catatan Caspar Reinwardt dan mengarah ke gambaran yang agak lebih lengkap hanya pada akhir abad ke-2029.

Oleh karena itu, tampaknya semakin luar biasa bahwa pada tahun 1599, seorang ABK anonim dari pelayaran Belanda harus mengamati dan menjelaskan praktik tersebut, dan bahwa praktik tersebut menemukan jalannya ke dalam ilustrasi pelayaran tersebut (gbr 4.1). Informasi tekstual yang menyertai ilustrasi, “kutipan panjang” atau paragraf dari teks “berjalan”, tergantung pada edisinya berbunyi sebagai berikut :

T. Apakah cara mereka memancing ikan besar: pertama, mereka menangkap ikan kecil dengan jaring kecil, kemudian memasang tongkat panjang tepat di bagian depan perahu, di ujungnya mereka membuat lubang, disepanjangnya dipasang tali atau tali panjang, dan di ujung tali itu diikatkan kail ikan, dengan sehelai daun di atasnya, sehingga tali itu dapat bergerak mengikuti tiupan angin, lalu orang yang duduk di belakang melemparkan ikan kecilnya ke kail, yang mereka gantung di dekat air, yang dengannya mereka menipu ikan besar, dan kemudian mengambilnya dengan kail30.

Deskripsinya sesuai dengan standar banyak catatan modern. Dengan rapi disebutkan 2 detail khas perairan Indonesia : layang-layang bersisi tunggal dan tiang/tongkat. Di berbagai daerah (di antaranya Kepulauan Seribu, Bawean, dan Ambon) layang-layang untuk memancing berasal dari sehelai daun tanaman tunggal, tanpa satu pun, atau terkadang hanya satu, elemen konstruktif lebih lanjut : penguatan poros tengah. Suatu tanaman khas untuk “layang-layang” adalah Daun Pakis Ek (Drynaria quercifolia, J.Smith; lihat gbr 12), dan karena itu juga dilaporkan relatif ada di Ambon dan Seram pada paruh kedua abad ke-17 oleh Rumphius31. Detail lainnya, penggunaan tiang/tongkat untuk menerbangkan layang-layang daripada menerbangkannya dari/menggunakan tangan, juga telah didokumentasi dalam pengamatan etnografi baru-baru ini. Cara ini sering menyertai penggunaan layang-layang berdaun/bersisi tunggal. Detail kecil tapi tepat adalah lubang-lubang di ujung tongkat, yang disebutkan dalam kutipan di atas. Ini juga dijelaskan dalam sumber-sumber modern, dan contoh tiang/tongkat dengan lubang/lingkaran yang terdiri dari cincin batu yang terpasang (asalnya : “Maluku”) telah disimpan di Museum Tropen, Amsterdam32. Sesuatu dijelaskan secara ambigu dan dengan demikian hanya ditangkap secara samar pada ilustrasi adalah posisi daun layang-layang di sepanjang garis. Teks mengatakan bahwa daun itu “di atas” pengait yang diikat, tentu saja, di ujung garis/baris. Ini memang yang digambarkan oleh seniman secara harfiah, tetapi jika kita membayangkan memancing menggunakan layang-layang di ketinggian yang agak lebih tinggi, daunnya masih akan “di atas” kail tetapi akan lebih banyak berada di bagian tengah dari panjang tali di antara ujung kail, galah/tongkat dan kail, seperti yang digambarkan dalam gambar modern memancing menggunakan layang-layang di Banda (gbr 4.2). 

Fitur yang bisa diperdebatkan adalah penggunan kail dan metode “chumming” (menarik ikan dengan melemparkan umpan ikan hidup). Tampak bagi saya bahwa dalam hal ini 2 metode yang berbeda dicampur atau digabung menjadi 1 gambar : memancing menggunakan layang-layang untuk ikan jarum dan memancing untuk cakalang (bonito/tuna). Di Maluku, “chumming”, dalam kasus yang terakhir (memancing untuk cakalang), adalah metode lama dan mapan, sedangkan untuk memancing menggunakan layang-layang itu akan menjadi pengecualian tunggal. Deskripsi etnografis hampir semuanya setuju bahwa di Maluku digunakan jerat berumpan (gbr 4.2) atau jaring laba-laba33. Mungkin selang waktu antara pengamatan yang dilakukan di tempat dan komitmen mereka pada teks dan ilustrasi menghasilkan 2 metode penangkapan ikan menjadi membingungkan.

Namun, “chumming” yang dijelaskan dalam teks berhubungan dengan 4 kapal/perahu penangkap ikan lainnya dalam ilustrasi (gbr 1). Teks dengan rapi menggambarkan bagaimana umpan ikan hidup diperoleh : membuang/melempar jaring (buang jaring) dan “menyendok” menggunakan jaring. Sementara terjemahan bahasa Inggris yang dikutip di atas hanya menyebutkan “buang jaring” (seperti terjemahan bahasa Prancis, nomor 14, hal 19), edisi bahasa Belanda dan Jerman kedua dari De Bry dan Hulsius menyebutkan keduanya (“schepnet oft worpnet”, nomor 13, hal 122). Interpretasi saya adalah bahwa penggunan jaring untuk “menyendok” diilustrasikan oleh 2 kapal/perahu penangkap ikan di sebelah kanan, sedangkan kapal/perahu ketiga dan jaring lempar/melempar/membuang jaring, masing-masing jenis jaring ditampilkan pada tahap yang berbeda dalam proses (misalnya, melemparkan jaring ketika jaring dilempar dan ditarik kembali)34. Oleh karena itu, perahu-perahu dengan jaring menunjukkan 2 metode penangkapan ikan dalam cara mereka sendiri, namun teks mengintegrasikannya ke dalam urutan operasional yang, dari catatan etnografis, adalah tradisional dan khususnya rumit di Maluku35, yaitu memancing cakalang dengan galah, pancing dan kail, yang didahului dengan penangkapan ikan dengan umpan hidup, misalnya dengan “schepnetje” (jaring lempar dan jaring menyendok yang relatif kecil biasanya digunakan untuk menangkap ikan kecil)36. Namun, memancing menggunakan layang-layang, yang menggunakan jerat, juga membutuhkan umpan ikan kecil (gbr 4.2). Di Bali bagian barat laut, mereka yang ingin melakukan memancing menggunakan layang-layang terlebih dahulu menangkap ikan untuk umpan mereka dengan jaring37.

Max Weber, ahli biologi kelautan, telah melihat “layang-layang” di berbagai lokasi di Indonesia – Talaud, Ternate, Banda, dan Geser – selama periode ekspedisi Sibolga tahun 1899 – 1900 yang terkenal, menyebut : Combien est limité l'esprit d'invention de nos pêcheurs, comparativement à celui des indigènes de l’Archipel!”38. Menariknya, pengamat kita tahun 1599 itu tampaknya tidak terlalu terkejut oleh apa yang dilihatnya sebagai sesuatu yang aneh, ingin tahu, atau eksotis, meskipun menurutnya hal itu layak untuk direkam/dicatat. Satu hal yang menurutnya sangat mencengangkan adalah kejernihan air lautnya. Berikut penjelasan tentang memancing menggunakan layang-layang, ada sebuah penjelasan menangkap ikan dengan “perangkap di dasar laut” (atau mungkin bubu), dan setelah beberapa waktu para nelayan kembali ke tempat mereka di perahu mereka, melihat ke bawah untuk melihat apakah ada ikan di dalam perangkap, dan jika demikian, salah satu dari mereka menyelam turun untuk mengangkatnya39. Situasi ini, yaitu waspada terhadap perangkap, mungkin diwakili oleh perahu nelayan di paling kiri [lukisan] panorama yang penghuninya tampaknya tidak sedang melakukan aktivitas tertentu (gbr 1). Uraian seperti itu sederhana, tetapi dalam ini reporter meragukan keandalan laporannya :

Di sini mungkin ada keberatan dari beberapa orang, bagaimana mereka bisa melihat dan membedakan kedalaman 15, 16, 17 fathoom, membedakan apakah ada ikan atau tidak di dalam perangkap, biarlah ini cukup untuk jadi jawaban, bahwa air di sana sangat jernih dan cerah, sehingga kita dapat keluar dari kapal dan melihat jangkat dengan sangat jelas ketika jangkar berada di dalam air, dan dengan mudah melihat banyak sekali ikan-ikan berenang, ya di dasar laut yang paling dalam, seolah-olah hanya sedalam 1 kaki40.

Aspek yang aneh dan eksotik itu tampaknya bukan memancing menggunakan layang-layang (seperti yang terjadi pada sebagian besar pengamat abad ke-19 dan awal abad ke-20) tetapi kejernihan airnya yang menakjubkan, mungkin dibandingkan dengan perairan Laut Utara yang hijau dan berpasir.

Secara keseluruhan, kita hanya dapat berspekulasi tentang bagaimana pengamat kita pada tahun 1599 memahami memancing menggunakan layang-layang, apa yang dia lihat, dan bagaimana dia menghubungkannya dengan apa yang akrab baginya (diantaranya, tampaknya, adalah gagasan tentang laut yang berlumpur). Mungkin dia melaihatnya hanya sebagai jenis memancing, tidak ada yang spektakuler, tetapi layak untuk dilaporkan karena “daun tak dikenal” di pancing. Kata “layang-layang” tidak digunakan dalam teks, dan kita mungkin bertanya-tanya apakah pengamat kita sama sekali menyadari fakta bahwa dia memang melihat “layang-layang”.

 

==== bersambung ==

Catatan Kaki

 

1.      A. von Brandt, Fish Catching Methods of the World, 3rd edn, rev. and enl., Farnham, 1984, pp. 78 f.; Th. Monod, ‘Contribution à l’établissement d’une classification fonctionelle des engins de pêche’, Bulletin du muséum national d’histoire naturelle, 3e sér., no. 156, 1973, pp. 213, 215 f.; H. H. Frese, ‘The Classification of Fishing Gear’, Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, 16, 1962, pp. 16 f.; J. A. Mauduit, Manuel d’ethnographie, Paris, 1960, p. 138; H. Major, Salt water Fishing Tackle: the Complete Book of Equipment and its Use, 3rd edn, New York, 1955, pp. 5 f.; T. W. Burdon, ‘A Consideration of the Classification of Fishing Gear and Methods’, Proceedings of the Indo-Pacific Fisheries Council, Sect. II/21, 1951, p. 157, www.apfic.org/Archive/techpapers/1951/12.pdf (last accessed 27 Febr. 2009); A. Leroi-Gourhan, Évolution et techniques, II: milieu et techniques, Paris, 1945 [repr. 1973, 1992, 2009], pp. 82, 84, 87; G. Montandon, L’Ologenèse culturelle: traité d’ethnologie cyclo-culturelle et d’ergologie systématique, Paris, 1934, pp. 244 ff.

2.     D. F. Lach, Asia in the Making of Europe, vol. II: A Century of Wonder, Chicago, etc., 1970-77, pt. 3, p. 403; E. A. De la Rüe, L’homme et le vent, 12e édn, [Paris], 1951, pp. 174 f.; B. Laufer, The Prehistory of Aviation, Chicago, 1928, Field Museum of Natural History, Publ. 253, pp. 31 ff.

3.     Pelayaran tersebut telah didokumentasikan secara lengkap di De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Jacob Cornelisz. van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600, ed. J. Keuning, 5 vols., ‘s-Gravenhage, 1938-51, Werken uitgegeven door de Linschoten-Vereeniging, 42, 44, 46, 48, 50. Keuning memberikan rangkuman kronologi perjalanan di volume I, pp. xvii ff.

4.     Tweede schipvaart (n. 3), vol. 3, pp. xlvii ff.

5.     Salinan tulisan itu dalam bahasa Belanda sudah tidak ada lagi, tetapi edisi bahasa Inggris muncul pada tahun 1599, menurut Keuning, diikuti oleh edisi bahasa Jerman pada tahun 1600 yang mendasari edisi Latin pada tahun 1601. Tweede schipvaart (n. 3), vol. 2.

6.     Pada saat Warwijck dan kedua kapalnya kembali ke Belanda, van Neck telah berangkat lagi ke Asia timur (28 Juni 1600), memimpin enam kapal yang merupakan bagian dari 'Pelayaran Keempat'. Dalam pelayaran ini ia berhasil sampai ke Ternate, namun kunjungannya mengalami nasib buruk: ia kehilangan 'sebagian besar' tangan kanannya dalam pertempuran melawan Portugis. Dia kembali ke Belanda tiga tahun kemudian (Juli 1603).De vierde schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Jacob Wilkens en Jacob van Neck (1599-1604), ed. H. A. van Foreest & A. de Booy, 2 vols., ‘s-Gravenhage, 1980-81, Werken uitgegeven door de LinschotenVereeniging, 82 and 83, vol. 1 (‘Inleiding’), pp. 92 ff.

7.     Tentang edisi-edisi dan terjemahannya, lihat  P. A. Tiele, Mémoire bibliographique sur les journaux des navigateurs néerlandais, Amsterdam, 1867, pp. 136 ff.; Tweede schipvaart (n. 3), vol. 5/2 (‘Bibliografie van het Tweede Boeck’), pp. 205 ff.; D. F. Lach & E. J. Van Kley, Asia in the Making of Europe, vol. 3: A Century of Advance, Chicago, etc., 1993, pp. 439 ff.

8.     Untuk gambaran umum modifikasi yang dilakukan pada edisi Belanda pertama tahun 1600 untuk edisi perluasan kedua tahun 1601 lihat Tiele, Mémoire (n. 7), pp. 136 ff., and Tweede schipvaart (n. 3), vol. 3, pp. xliv ff.

9.     Salinannya sudah jarang. Tiele, Mémoire (n. 7), hal. 136 f., terjadi satu kecuali tiga perempat abad kemudian, keberadaannya tidak diketahui oleh Keuning. Yang terakhir mengetahui dua salinan, satu (Amsterdam, 1600) di Perpustakaan Umum New York, dan satu lagi (Middelburgh, 1600) di Perpustakaan Negeri dan Universitas Königsberg (sekarang Kaliningrad). Fotokopi edn di New York dikirim ke Linschoten Vereeniging tetapi terlambat tiba, karena perang, untuk dimasukkan dalam edisi Keuning. Tweede schipvaart (n. 3), vol. 3, p. xlvii, vol. 5/2, p. 206.

10.    Fünffter Theil der Orientalischen Indien […], ed. J. Th. & J. I. de Bry, Franckfurt, 1601 (online edn, Universitätsbibliothek Marburg, 2010, http://archiv.ub.uni-marburg.de/eb/2010/0011/).

11.    Quinta pars Indiæ Orientalis […], ed. J. Th. & J. I. de Bry, Francofurti, 1601. Microfiche copy (Urbana, Fig.[1998]).

12.   Ander Schiffart in die Orientalischen Indien, so die Holländische Schiff […] verrichtet, ed. L. Hulsius, 2nd edn, Franckfurt, 1605 [11602]. Cf. Tiele, Mémoire (n. 7), pp. 143 f.; Tweede schipvaart (n. 3), vol. 3, pp. xlvii- f., vol. 5/2, p. 207 ff. Mengenai edisi Hulsius yang didasarkan pada edisi Belanda tahun 1600, Tiele menambahkan keterangannya :  ‘Il paraît que Hulsius a au moins consulté la 2e édition hollandaise (celle de 1601) …’. Keuning juga menghubungkan terjemahan De Bry dan Hulsius dengan edisi Belanda 1600, namun dalam pernyataan lain menyiratkan bahwa edisi De Bry berasal dari edisi Belanda kedua tahun 1601. Tentang hubungan dekat De Brys dan Hulsius serta terbitannya lihat M.van Groesen,The Representation of the Overseas World in the De Bry Collection of Voyages (1590-1634), Leiden, etc., 2008, p. 346 ff.

13.   Het tweede Boeck, Journael oft Dagh-register […], Amstelredam, 1601, ed. J. Keuning, in Tweede schipvaart (n. 3), vol. 3, pp. 1 ff. Cf. Tiele, Mémoire (n. 7), 138 ff. and Tweede schipvaart (n. 3), vol. 5/2, pp. 206 f. (‘Bibliografie van het Tweede Boeck’). Seperti edisi tahun 1600, edisi tahun 1601 diterbitkan oleh Cornelis Claesz di Amsterdam dan oleh Barent Langhenes di Middelburgh.

14.   Le second livre, journal ou comptoir […], 2nd edn, Amsterdam, 1609 [11601]; photocopy courtesy of the University Library Göttingen. Cf. Tiele, Mémoire (n. 7), pp. 138 ff., Tweede schipvaart (n. 3), vol. 5/2, pp. 206 f.

15.   The Ivornall, or Dayly Register […], London, 1601, online edn at EEBO/Early English Books Online; also as facs. repr., Amsterdam, etc., 1974. Keuning (Tweede schipvaart [n. 3], vol. 5/2, pp. 207, 210) mendapatkan terjemahan ini dari bahasa Belanda edisi 1601.

16.   Das ander Buch, Journal oder Tagh-handelbuch […], Arnhem, 1601; salinan panorama Ternate dan teks terkait diberikan atas izin Perpustakaan Universitas Munich Cf. Tweede schipvaart (n. 3), vol. 5/2, p. 208.

17.   Tiele, Mémoire (n. 7), pp. 137, 139 f., mencantumkan lempengan-lempengan di dua edisi Belanda. Terjemahan bahasa Inggris (1601, n. 15) memberikan keterangan delapan belas lempengan yang sesuai dengan edisi Belanda 1600 (ada dua puluh empat lempengan dalam edisi 1601). Salinan yang dikutip di n. 15 berikan keterangannya tetapi tidak ada ilustrasinya. Pernyataan Keuning (n. 15) memerlukan pertimbangan ulang, namun hal ini berada di luar cakupan makalah ini.

18.   Van Groesen, Representation of the Overseas World (n. 12), p. 125.

19.   Perbandingan pelat asli Belanda dengan pelat edisi De Bry: van Groesen, Representation of the Overseas World (n. 12), p. 519; Tiele, Mémoire (n. 7), pp. 143 f.

20.  Memang benar, sepasang kapal hanya terlihat sebagian di pinggir sebelah kanan, namun hal ini tidak mengubah kesan bahwa ada empat kapal sekaligus.

21.   ‘Beschryvinghe’ and ‘breeder beschryvinge’ (Tweede Boeck, n. 13), or ‘description’ and ‘description plus claire’ (Second livre, n. 14). The English edn (n. 15) has the ‘long captions’ only.

22.  Identical: C, F, G, I, K, M, O, P, S; near identical: A, D, L.

23.  Identical: A, B, C, E, F, G, H, I, K, L, M, O, P, R, S, V. Kasus garis batasnya adalah D: mengenai sebuah tiang tempat orang Ternate menggantungkan kepala musuh. Judul panjangnya menambahkan detail bagaimana sebenarnya tali itu diikatkan ke kepala. Kasus di mana teks panjang menambahkan unsur De Bry adalah N (kediaman juru bahasa raja, teks panjang menambahkan bahwa dia adalah seorang Tionghoa yang berbicara bahasa Portugis dengan baik), dan Q (Pulau Tidore, teks panjang menambahkan bahwa pulau itu ditempati oleh Portugis dan merupakan musuh besar Ternate, fakta juga disertakan dalam teks berjalan). Saya secara khusus telah membandingkan edisi De Bry (n. 10) dengan versi bahasa Jerman edisi Belanda 1601 (n. 16) karena tetap menggunakan bahasa yang sama.

24.  Demikian dalam terjemahan bahasa Jerman Belanda edisi 1601 (n. 16).

25.  Teks utama hal. 52, subjudul marginal: ‘Wie sie ihre Fische fangẽ’; caption to plate 13: ‘T. Bedeut wie sie ihre Fische fangen […]’. Fünffter Theil (n. 10)

26.  Studi klasik tentang metode ini  H. Balfour, ‘Kite-fishing’, in E. C. Quiggin, ed., Essays and Studies presented to William Ridgeway […] on his Sixtieth Birthday, 6 August 1913, Cambridge, 1913, pp. 583 ff.; H. Plischke, Der Fischdrachen, Leipzig, 1922, Veröffentlichungen des Städtischen Museums für Völkerkunde zu Leipzig, 6; B. Anell, Contribution to the History of Fishing in the Southern Seas, Uppsala, 1955, ch. 4. Untuk terbitan terbaru, diskusi, dan sejarah lihat  G. Barton & S. Dietrich, ‘This Ingenious and Singular Apparatus’: Fishing Kites of the Indo-Pacific, Norderstedt, 2010. Untuk generalisasi berikutnya, saya sebagian besar mengambil dari publikasi terakhir.

27.  Cf. D. Vermonden, ‘Reproduction and Development of Expertise within Communities of Practice: A Case Study of Fishing Activities in south Buton (southeast Sulawesi, Indonesia)’, in S. Heckler, ed., Landscape, Process and Power, New York, etc., 2009, pp. 209 f.

28.  Sebuah survei mengenai penangkapan ikan di Hindia Belanda, setelah memberikan gambaran tentang penangkapan ikan dengan layang-layang, kemudian menyebutkan peralatan lain seperti tombak, panah berduri atau tombak, namun menolak penjelasan lebih lanjut :  ‘L’emploi n’a pas besoin d’être expliqué’. S. C. J. W. van Musschenbroek, ‘Moyens d’existence: chasse et pêche’, in Catalogue de la section des colonies néerlandaises à l’Exposition internationale coloniale et d’exportation générale, tenue du 1 mai au 31 octobre 1883, à Amsterdam, Leyde, 1883, Groupe II, p. 104.

29.  Lihat Barton & Dietrich, ‘Ingenious and Singular Apparatus’ (n. 26). Misalnya, pada saat penyelesaian buku ini, tidak tersedia tambahan terbaru pada peta distribusi:Vermonden, ‘Reproduction and development’ (n. 27), on Buton.

30.  Edisi bahasa Inggris tahun 1601 (n. 15), hal. 49. Lebih mudah mengutip versi bahasa ini; ortografinya adalah yang asli.

31.   G. E. Rumphius, Herbarium Amboinense […], 6 vols., Amsterdam, 1741-50 (online edn SUB Göttingen 2003, http://resolver.sub.uni-goettingen.de/purl?PPN369547365), vol. 6, pp. 79, 81. Di Indonesia, layang-layang penangkapan ikan yang rumit dengan layar yang disusun dari sejumlah potongan daun dan dipasang pada sebuah bingkai dibatasi hanya di pulau-pulau di tenggara (Babar, Kepulauan Solor-Alor) (Gbr. 14).

32.  Barton & Dietrich, ‘Ingenious and Singular Apparatus’ (n. 26), p. 150 and Fig. 1.12.

33.  Ini bukan tempatnya untuk diskusi etnohistoris yang mendetail. Untuk jenis umpan dalam memancing menggunakan layang-layang, lihat Barton & Dietrich, ‘Ingenious and Singular Apparatus’ (n. 26).

34.  Untuk elemen naratif yang khas yang berulang kali ditemukan dalam ukiran De Bry, lihat van Groenen, Representation of the Overseas World (n. 12), p. 124.

35.  J. G. Butcher, The Closing of the Frontier: a History of the Marine Fisheries of Southeast Asia c. 1850-2000, Singapore, 2004, p. 45.

36.  H. E. Haak, ‘Memorie van overgave van de onderafdeeling Ambon’, in Ch. F. van Fraassen, ed., Bronnen betreffende de Midden-Molukken 1900-1942 (dl. 3), Den Haag, 1997, p. 202.

37.  Demikian dijelaskan oleh Th. van der Paardt, ‘Onbewoond noord-west Bali’, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e ser., 46, 1929, p. 58. Di kawasan ini, penangkapan ikan menggunakan layang-layang tidak dilakukan dari perahu, melainkan berjalan kaki menyusuri karang.

38.  M. Weber, Introduction et description de l’expédition, Siboga-Expeditie, Monographie I, livr. 3, Leiden, 1902, p. 61. Tepat pada saat ini, sekitar tahun 1900, memancing menggunakan layang-layang sedang dalam proses diciptakan kembali (terinspirasi oleh preseden Pasifik, menurut dugaan) sebagai olahraga di AS dan Inggris, lihat B. Dunn & P. Goadby, Saltwater Game Fishes of the World, South Croydon, 2000, pp. 200 f.; Balfour, ‘Kite-fishing’ (n. 26), pp. 605 f.

39.  Lihat, misalnya, terjemahan bahasa Inggris (n. 15), hal. 49, atau edisi Belanda 1601 (n. 13), hal. 122. Inilah bubu tanam dalam etnografi Maluku; lihat, sebagai contoh :  ‘Zeevisscherijen langs de kusten der eilanden van Nederlandsch-Indië, VI: Moluksche archipel’, Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indië, 26, 1882, pp. 342 f.

40.  Terjemahan Inggris (n. 15), pp. 49 f.; Edisi Belanda tahun 1601 (no 13), hal 122

 

Catatan Tambahan

a.        Armada memasuki perairan Talingami (Valentijn menulisnya Telingamu) pada 22 Mei 1599 dan mendarat di lepas pantai pada tanggal 2 Juni 1599

  • F.S.A. de Clerq, Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate  [edisi terjemahan bahasa Inggris oleh Paul Michale Taylor, Ternate : The Residency and its Sultanate....................hal 110]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar